Mempersiapkan Tanggung Jawab Hidup

b) Masa-masa Menjadi Ayah yang Tidak Bahagia

Sidharta menjadi seorang ayah setelah lama menikah (di umur 29 dengan perhitungan tradisional). Anaknya diberi nama Rahula, yang menurut salah satu terjemahan berarti "belenggu". Selaras dengan terjemahan ini, dapat disimpulkan bahwa ayah baru tersebut tidak bahagia atas kelahiran anaknya. Ia tampaknya melihatnya sebagai beban, sebuah belenggu.

Kami tidak tahu apakah Sidharta meninggalkan kehidupan rumah tangganya tepat pada malam kelahiran anaknya seperti yang diceritakan di kitab komentar, tapi kita tahu bahwa anaknya masih sangat kecil ketika Ia pergi. (Cerita yang lebih lengkap dari peristiwa keberangkatannya dari istana akan dibahas dalam Bab 2: Dari Perumah-tangga menuju pengembaraan). Bahkan, anak itu begitu kecil sampai ia tidak memiliki ingatan akan wajah ayahnya. Ketika Buddha kembali ke Kapilavatthu tujuh tahun kemudian untuk membabarkan Dhamma kepada Suku Sakya, Yasodhara harus menunjukkan yang mana Buddha di antara puluhan biksu kepada Rahula. Menurut biografi Rahula sendiri, ia berusia tujuh tahun ketika ia bergabung dengan Sangha. Melalui perhitungan sederhana, dapat diverifikasi bahwa Buddha meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju petapaan ketika anaknya masih bayi. (Cerita lebih lanjut tentang pertemuan antara Buddha dan anaknya di Bab

46 | Kisah Tersirat: Sebuah Apresiasi Analitis atas Kisah Buddha

9: Kembali ke Kapilavatthu, dan hubungan mereka berkembang setelah Rahula bergabung dalam Sangha).

c) Hubungan Rumit Dengan Ayahnya

Kita bisa melihat bagaimana hubungan antara Sidharta dengan ayahnya meskipun tidak banyak data yang dapat digali dari Kitab Pali. Jelas bahwa Suddhodana adalah orang tua yang menyayangi dan memanjakan anak-anaknya. Khusus untuk Sidharta, selain memandikan dia dengan kenyamanan dan kemewahan material, ia juga tidak mencampuri pilihan anaknya dalam memilih istri. Itu merupakan hal penting karena biasanya pada masa itu, orang tua akan memilihkan pasangan untuk anak-anak mereka yang mana anak akan menuruti pilihan orangtuanya. Terlihat bahwa Suddhodana mendahului zamannya.

Tapi seperti kebanyakan hubungan ayah-anak sepanjang masa, tampak bahwa mereka tidak terlalu banyak berkomunikasi dengan satu sama lain dan mereka memiliki harapan dan cita-cita yang sangat berbeda. Suddhodana menginginkan ahli waris yang akan membawa kejayaan bagi kaumnya seperti ketenaran dan kekayaan. Sidharta tidak mau memenuhinya: Ia introspektif dan tidak tertarik pada dunia sekuler. Kita dapat bayangkan bagaimana terperangahnya seorang Suddhodana yang pragmatis dalam melihat anak sulungnya yang semakin tertarik dengan

Hidup Sebagai Awam | 47

spiritualitas. Ketika Sidharta akhirnya meninggalkan rumah untuk menjadi seorang petapa, hati Suddhodana pasti hancur. Bertahun-tahun kemudian, Buddha sendiri mengatakan bahwa orangtuanya (karena ibunya sudah meninggal, ia pasti merujuk kepada ayahnya dan ibu tirinya)

"menangis dengan berlinang air mata" 11 ketika ia meninggalkan rumah. Itu jelas bukan perpisahan yang menyenangkan.

Suddhodana akhirnya membulatkan tekad untuk menerima keputusan anaknya tentang pilihan hidupnya. Ketika ia mendengar bahwa anaknya telah mulai membabarkan Dhamma dan mendirikan sekte baru, ia segera mengirimkan utusan meminta Buddha mengunjungi rumahnya. Seorang ayah yang sudah tua jelas merindukan anaknya dan cintanya pasti begitu besar hingga ia tidak memikirkan harga dirinya (ia hanya manusia biasa sehingga mungkin ada perasaan seperti itu) dan bertindak dahulu untuk berdamai. (Cerita lengkap tentang reuni mereka akan dibahas dalam Bab 9: Kembali ke Kapilavatthu). Akhir yang bahagia untuk Suddhodana, yaitu akhirnya ia merealisasikan nibbana saat akan meninggal dengan bimbingan langsung dari Buddha. Dengan demikian, Buddha telah membayar hutangnya kepada sang ayah.

11 Ňāṇamoli dan Bodhi, op.cit., Hal. 256.

48 | Kisah Tersirat: Sebuah Apresiasi Analitis atas Kisah Buddha