PENGUJIAN FORMIL

1. PENGUJIAN FORMIL

Menimbang bahwa pada intinya Pemohon mendalilkan, Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 karena prosedur persetujuannya bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kesimpulan tersebut didasarkan atas konstruksi pemikiran Para Pemohon bahwa DPR dalam melaksanakan kekuasaannya membentuk undang-undang, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, terikat oleh ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 20 UUD 1945, serta Peraturan Tata Tertib DPR, sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPR RI Nomor: 03A/DPR RI/I/2001-2002, yang merupakan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (5) undang-undang yang bersangkutan;

Menimbang bahwa, menurut Para Pemohon, tindakan Pimpinan Rapat Paripurna DPR yang memaksakan pengambilan putusan dengan Menimbang bahwa, menurut Para Pemohon, tindakan Pimpinan Rapat Paripurna DPR yang memaksakan pengambilan putusan dengan

Menimbang bahwa guna membuktikan kebenaran dalil Pemohon tersebut Mahkamah telah memeriksa Risalah Rapat Paripurna Ke-17 DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2001-2002, bertanggal 23 Oktober 2001, yakni rapat paripurna yang mengesahkan RUU Minyak dan Gas Bumi menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam risalah dimaksud, dalil Pemohon yang menyebutkan ada 12 (dua belas) anggota DPR yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Minyak dan Gas Bumi dengan mengajukan minderheidsnota terbukti benar (vide Risalah hal. 70-74). Namun, dalam risalah yang sama, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa pada bagian akhir rapat paripurna dimaksud, tatkala seluruh fraksi telah menyampaikan Pendapat Akhir-nya dan pimpinan rapat (A.M. Fatwa) menanyakan apakah RUU a quo dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, risalah mencatat bahwa seluruh anggota DPR setuju tanpa ada lagi pernyataan keberatan atau tidak setuju, sehingga pimpinan rapat kemudian mempersilahkan wakil pemerintah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk menyampaikan sambutannya (vide Risalah hal. 158);

Menimbang bahwa guna lebih meyakinkan Mahkamah akan kebenaran dalil-dalil Para Pemohon, Mahkamah selain mendengar keterangan lisan pihak Dewan Perwakilan Rakyat telah pula membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan (Dewan Perwakilan Rakyat) bertanggal 10 Februari 2004 yang pada intinya menerangkan sebagai berikut:

a. bahwa setiap Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibahas oleh DPR bersama dengan Pemerintah didasarkan pada mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. RUU tentang MIGAS, yang sekarang menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001, pembahasannya dilakukan berdasarkan mekanisme yang lama atau sebelum diadakan perubahan tingkat pembahasan RUU di DPR dari empat tahap menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama keterangan pemerintah, tahap kedua pandangan fraksi-fraksi, tahap ketiga pembahasan dalam Komisi VIII, dan tahap keempat putusan dalam rapat paripurna;

b. bahwa berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR, pembahasan atas RUU MIGAS tidak terdapat kekurangan atau penyimpangan. Setiap pengambilan keputusan, baik dalam Rapat Komisi VIII yang merupakan pembahasan tingkat III, berdasarkan data absensi, kuorum rapat selalu terpenuhi. Demikian juga pada saat pengambilan keputusan atas persetujuan DPR terhadap RUU tentang MIGAS pada Rapat Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 telah sesuai dengan kuorum rapat, yaitu dihadiri oleh 348 orang dari 483 orang anggota DPR. Dengan demikian, kuorum rapat dan pengambilan keputusan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi telah terpenuhi dan keputusan yang diambil adalah sah sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR No. 03A/DPR RI/2001-2002 serta tidak terdapat pertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c. bahwa terdapat sebanyak 12 orang anggota yang menyatakan keberatan atau lazim dikenal minderheidsnota pada saat pengambilan keputusan atas RUU tentang MIGAS dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 dapat diterangkan bahwa sikap seperti itu merupakan suatu bentuk dan praktik demokrasi dalam pengambilan keputusan di DPR. Selain minderheidsnota, seorang atau beberapa orang atau fraksi dalam pengambilan keputusan dapat menyatakan persetujuan, penolakan/tidak setuju, atau abstain atas sebagian atau keseluruhan hal yang dimintakan persetujuan rapat untuk diambil keputusan. Minderheidsnota bukan merupakan penolakan/tidak setuju secara penuh, tetapi memperkenankan dilaksanakan pengambilan keputusan di mana dalam keputusan diberikan catatan dari anggota yang menyatakan minderheidsnota tersebut. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan atas RUU tentang MIGAS, pernyataan 12 orang anggota Dewan dijadikan catatan “nota” dan itu dibacakan sebagai minderheidsnota. Dengan demikian, minderheidsnota, kendati dihargai sebagai sikap dan praktik dalam pengambilan keputusan, tidak mempunyai sifat menghambat atau membatalkan suatu persetujuan;

d. bahwa berdasarkan uraian tadi, tidak terdapat alasan untuk menyatakan pembahasan RUU tentang MIGAS bertentangan dengan atau menyimpang dari prosedur formil;

Berdasarkan Risalah Sidang Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 yang mengesahkan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi menjadi undang-undang, keterangan tertulis DPR maupun keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan, ternyata Para Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah dalam membuktikan kebenaran dalil permohonannya, sehingga dengan demikian permohonan pengujian formil Pemohon terhadap undang-undang a quo harus ditolak;