Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional

INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL
DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DIDIT HERDIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Industri Maritim dan
Peranannya Terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Didit Herdiawan
P00660090063.6DM



Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

RINGKASAN
DIDIT HERDIAWAN. Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi
Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan
Nasional. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO, HERMANTO SIREGAR dan
HARIANTO.
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis pengaruh dari industri
maritim dan distribusi pangan terhadap sistem ketahanan pangan nasional. Metode
analisis yang digunakan adalah Second Order Structural Equation Modeling. Penelitian

ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi selama ini bahwa di Indonesia masih
banyak daerah yang mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap kerawanan pangan,
sedang di beberapa daerah lain terjadi surplus pangan. Daerah yang mempunyai
kerawanan pangan tinggi telah dipetakan oleh World Food Programme ya n g berupa
Food Insecurity Atlas (FIA) diterbitkan pertama pada tahun 2005 dan yang
kedua pada tahun 2009, dimana sebagian besar daerah yang mempunyai tingkat
kerawanan pangan tinggi adalah wilayah kepulauan terpencil. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa persoalan yang harus segera diatasi adalah bagaimana
mendistribusikan pangan dari daerah yang surplus pangan ke daerah yang rawan pangan.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 248, yang terdiri dari unsur
pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk BUMN, dan unsur swasta yaitu
pelayaran rakyat, galangan kapal, dan tokoh masyarakat di wilayah terpencil rawan
pangan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting yaitu: a). Industri maritim
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem distribusi pangan di daerah
terpencil dengan nilai estimasi 0.440 dengan CR = 3.430 dan P= 0.000; b). Model
penelitian menunjukkan bahwa sistem distribusi pangan di daerah terpencil mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional dengan nilai
estimasi = 0.131 dengan CR = 1.095 dan P = 0.002; c). Industri Maritim berpengaruh
terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem distribusi pangan dengan nilai
estimasi = 0.476 dengan CR = 4.778, dan P = 0.000. Pengujian secara simultan terhadap

model penelitian telah memenuhi seluruh kriteria fitting model yang diindikasikan dengan
nilai Chi-Square kecil yaitu 735.186, RMSEA = 0.055, GFI = 0.842, CFI= 0.928, dan
CMIN/DF = 1.447.
Temuan penelitian ini memberi bukti bahwa industri maritim mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem
distribusi pangan. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka strategi yang tepat untuk
meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional pada sektor maritim adalah dengan
meningkatkan perbaikan pada subsektor yang terkait langsung terhadap sistem distribusi
meliputi industri pelabuhan, perkapalan, dan pergudangan.
Kata kunci: Distribusi Pangan, Industri Maritim, Ketahanan Pangan Nasional, Model
Persamaan Terstruktur.

SUMMARY
DIDIT HERDIAWAN. Maritime Industry and Contribution to the Distribution of
Food on the National Food Security System. Supervised by ARIEF DARYANTO,
HERMANTO SIREGAR and HARIANTO.
The purpose of this research is to analyze influences and contribution of the
maritime industry to the distribution of food on the national food security system.
The analytical method used is the Second Order Structural Equation Modelling.
This research is motivated by the phenomenon that occurred during this period

that in Indonesia there are still many areas that have a high vulnerability to food
insecurity, while in some other areas of food surplus. Areas that have a high food
insecurity has been mapped by the World Food Programme in the form of Food
Insecurity Atlas (FIA) first published in 2005 and second in 2009, where most of
the areas that have a high level of food insecurity is a remote archipelago. This
fact indicates that the issues that must be addressed is how to distribute surplus
food from the abundant of food to food-insecure areas.
The sample used in this study amounted to 248 persons who are
representatives from both central and local governments, state-owned enterprises,
and private elements in the shipping and shipbuilding sectors and as well as
community leaders in remote areas of food insecurity. The study produced several
important findings namely: a). The maritime industry has a significant impact on
the food distribution system in remote areas with the estimated value of 0.440
with CR = 3.430 and P = 0.000; b). Model studies show that food distribution
systems in remote areas have a significant impact on national food security system
with the estimated value=0.131 with CR=1.095 and P = 0.002; c). Maritime
Industry influences on national food security through food distribution systems
with estimated value = 0.476 with CR=4.778, P=0.000. Simultaneous testing of
the research model has met all the criteria of fitting models indicated by the small
value of Chi-Square is 735.186, RMSEA = 0.055, GFI=0.842, CFI=0.928, and

CMIN/DF=1.447.
The findings of this research provide evidence that the maritime industry
has a significant impact on national food security through food distribution
system. Referring to these findings, the appropriate strategy for national food
security system maritime sector is to be develop by improving directly related
sub-sectors of the distribution systems including: the port industry, shipping, and
warehousing.
Keywords: Food Distribution, Maritime Industry, National Food Security,
Structural Equation Modelling.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL
DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DIDIT HERDIAWAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Manajemen Bisnis
pada
Program Studi Manajemen dan Bisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS
(Profesor Riset PSEKP)
2. Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MSc

(Asdir Bidang Akademik dan Kemahasiswaan)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS
(Profesor Riset PSEKP)
2. Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji, DEA
(Gubernur Lemhannas RI)

Judul Disertasi : Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di
Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan
Pangan Nasional.
Nama
: Didit Herdiawan
NIM
: P00660090063.6DM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Ketua

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc

Anggota

Dr Ir Harianto, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Manajemen dan Bisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Arief Daryanto, MEc

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian Terbuka : 6 Juni 2015

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanna Wataála atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil
dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. Penelitian yang
dilakukan dalam disertasi ini sangat berguna khususnya bagi penulis sebagai
syarat penyelesaian tugas studi doktoral dan umumnya bagi para pengambil
kebijakan tentang industri kemaritiman, pendistribusian pangan dan ketahanan
pangan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Penelitian ini berhasil
mengungkapkan beberapa temuan, baik yang berhubungan dengan dinamika
faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal serta pengaruhnya bagi
industri maritim, dalam memperkokoh distribusi pangan dan peningkatan
ketahanan pangan di daerah terpencil.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian disertasi ini adalah berkat bantuan,
bimbingan dan dorongan serta koreksi dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc, Bapak Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc,
Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan
arahan, masukan, koreksi dan motivasinya. Semoga segala bentuk keahlian dan

ilmu yang telah diberikan dengan ikhlas, dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof Dr H. Susilo
Bambang Yudhoyono, MA yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor di IPB, Prof Dr Ir Herry
Suhardiyanto, MSc selaku Rektor IPB, Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku
Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku Ketua
Program Studi Manajemen Bisnis IPB. Tidak lupa kami haturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para dosen DMB yang profesional dan
dengan tulus mencurahkan ilmunya kepada kami hingga selesainya penyusunan
disertasi ini. Penghargaan setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Bapak
Prof Dr Ir Noer Azam dan Bapak Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc, serta Bapak
Prof Dr Ir Marimin MSc yang telah memotivasi dan mengarahkan penulis untuk
terus berada dalam time table penyelesaian doktor di DMB IPB.
Mengakhiri ucapan terima kasih, pada kesempatan ini kami ucapkan
terima kasih kepada Gubernur Lemhannas RI Bapak Prof Dr Ir Budi Susilo
Soepandji, DEA, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi,
SE, dan Laksamana TNI (Purn) Dr Marsetio mantan Kepala Staf TNI Angkatan
Laut yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan
program Doktor di tengah pelaksanaan tugas penulis sebagai Wakil Kepala Staf
TNI AL dan Wakil Gubernur Lemhannas RI.

Kepada istriku, Widyastuti SE, dan putra-putriku Armaidy Makawi SE,
Herdianti Merilla Putri SE, Hastuti Viana Putri dan Herdini Aprilia Putri, curahan
perhatian dan kasih sayang kalian, telah dan akan, senantiasa menjadi energi dan
inspirasi bagi penulis untuk terus melakukan yang terbaik.
Bogor,

Juli 2015

Didit Herdiawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan (Novelty)

1
1
7
8
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Industri Maritim di Indonesia
Industri Perkapalan Indonesia
Tujuan Perikanan
Industri Pelayaran di Indonesia
Industri Jasa Pelabuhan
MP3EI
Sistem Logistik Nasional (Sislognas)
Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan di Wilayah Terpencil
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional
Kajian Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Teoritis

9
11
15
16
17
18
19
21
23
25
28
31

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pendekatan Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pengambilan Contoh
Definisi Operasional Variabel
Model Penelitian
Hipotesis Penelitian
Persamaan Model Penelitian
Penentuan Jumlah Sampel
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengujian Validitas
Pengujian Reliabilitas
Structural Equation Modelling (SEM)

32
33
33
33
34
41
41
42
44
48
48
50
50

DAFTAR ISI (Lanjutan)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Responden
Model Konseptual Sistem Ketahanan Pangan Nasional
Variabel Ketahanan Pangan
Variabel Distribusi Pangan
Variabel Industri Maritim
Evaluasi Kesesuaian terhadap Model Lengkap
Pengaruh Langsung Industri Maritim terhadap Ketahanan Pangan
Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan
Pengaruh Distribusi Pangan terhadap National Food Security
Pengaruh Industri Maritim terhadap National Food Security Melalui
Distribusi Pangan
Pengaruh Industri Maritim dan Distribusi Pangan terhadap National
Food Security

86

5 IMPLIKASI MANAJERIAL
Implikasi terhadap Program Ketahanan Pangan Nasional
Implikasi terhadap Sektor Industri Maritim

87
89

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
Keterbatasan Penelitian

91
92
92

DAFTAR PUSTAKA

93

RIWAYAT HIDUP

56
58
59
68
74
81
85
85
85
86

103

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41

Ringkasan penelitian terdahulu
Daftar responden di pusat
Daftar responden tingkat provinsi
Daftar responden di kabupaten
Daftar responden dari unsur lain
Ringkasan daftar responden
Sebaran responden berdasarkan pengalaman
Sebaran responden berdasarkan usia
Sebaran responden berdasarkan pendidikan
Kebaikan model variabel ketersediaan
Hubungan variabel ketersediaan
Nilai kebaikan model variabel ketersediaan perbaikan
Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan
Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan perbaikan
Hubungan variabel keterjangkauan
Nilai kebaikan model variabel quality and safety
Modification indices variabel quality and safety
Nilai kebaikan model variabel quality and safety perbaikan
Nilai kebaikan model variabel ketahanan pangan nasional
Hubungan variabel variabel ketahanan pangan
Nilai kebaikan model variabel pengembangan sistem
Hubungan variabel pengembangan sistem
Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem
Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem perbaikan
Hubungan variabel pengelolaan sistem
Nilai kebaikan model variabel distribusi pangan
Nilai kebaikan model variabel distribusi pangan perbaikan
Hubungan variabel distribusi pangan
Nilai kebaikan model variabel Injasmar
Nilai kebaikan model variabel Injasmar perbaikan
Hubungan variabel injasmar terhadap indikatornya
Nilai kebaikan model variabel industri perkapalan
Hubungan variabel industri perkapalan
Nilai kebaikan model variabel industri pangan strategis
Nilai kebaikan model variabel industri maritim
Nilai kebaikan model variabel industri maritim perbaikan
Hubungan variabel industri maritim
Nilai kebaikan model penelitian lengkap
Hasil perhitungan model lengkap
Direct effect model output pengolahan data pada AMOS 21.0
Total effects dari output AMOS 21.0 model penelitian

28
45
46
47
47
48
57
57
58
60
61
61
63
64
64
65
66
66
67
64
69
69
70
71
71
72
73
73
75
75
76
77
77
78
79
80
80
82
83
84
84

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia
Food security indicator
Blok diagram kerangka penelitian
Model konseptual ketahanan pangan
Model national food security
Model distribusi pangan
Model industri maritim untuk ketahanan pangan
Model lengkap ketahanan pangan di wilayah terpencil
Model lengkap penelitian
Langkah teknis analisis SEM
Model konseptual pengaruh industri maritim terhadap NFS
Variabel ketahanan pangan nasional
Variabel ketersediaan
Variabel ketersediaan revisi
Variabel keterjangkauan
Variabel keterjangkauan revisi
Variabel kualitas dan keamanan
Variabel kualitas dan keamanan revisi
Model sistem ketahanan pangan
Variabel pengembangan sistem
Variabel pengelolaan sistem
Variabel pengelolaan sistem revisi
Variabel distribusi pangan
Variabel distribusi pangan revisi
Variabel injasmar
Variabel injasmar revisi
Variabel industri perkapalan
Variabel industri pangan strategis
Variabel industri maritim
Variabel industri maritim revisi
Output path diagram model penelitian
Model lengkap

2
22
32
32
36
38
40
41
44
54
58
59
60
61
63
63
65
66
67
69
70
71
72
73
74
75
76
78
79
80
81
83

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan
(archipellagic state) dengan 17.499 pulau (Dinas Hidro Oceanografi, 2004), yang
letaknya secara geografis sangat strategis, karena berada pada posisi silang di
antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Hindia dan Pasifik.
Pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh laut-laut dan selat-selat di nusantara yang
merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk sebuah negara kepulauan
yang panjangnya 5.110 km dan lebarnya 1.888 km, luas perairan sekitar 3.205.908
km², luas laut teritorial sekitar 300.000 km², perairan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) 2.707.092 km², panjang garis pantai yang sudah diumumkan resmi oleh
PBB tahun 2008 adalah 95.181 km, sedang luas daratannya 2.001.044 km².
Dengan jumlah pulau yang demikian banyak dan tersebar di wilayah yang
luas, banyak wilayah Indonesia yang berada di posisi terpencil. Kondisi tersebut
mengakibatkan banyak wilayah NKRI jauh dari akses ekonomi dan
pemerintahan, serta memiliki rintangan alamiah yang membuat wilayah tersebut
sulit dijangkau baik melalui transportasi darat, laut maupun udara. Wilayahwilayah terpencil ini memiliki potensi kerawanan pangan mengingat kondisinya
yang sulit dijangkau, serta kontur alamnya yang menyulitkan dikembangkannya
tanaman-tanaman pangan. Daerah yang mempunyai kerentanan terhadap
ketahanan pangan telah dipetakan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bekerja
sama dengan World Food Programe (WFP) pada tahun 2005, dan diperbaharui
pada tahun 2009 dengan melakukan koreksi pada indikatornya, dimana
kebanyakan daerah yang mempunyai kerentanan pangan besar adalah daerahdaerah kepulauan terpencil yang sulit dijangkau oleh moda transportasi darat
seperti terlihat pada Gambar 1. (DKP dan WFP 2009, 2010, 2013).
Kerawanan pangan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, hal tersebut
dapat dilihat dari nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun
2013 menduduki urutan ke 108 dari 187 negara yang dinilai. IPM Indonesia 2013
yaitu 0.684 yang masih tergolong sedang. IPM indonesia masih lebih rendah dari
Malaysia dan Sri Langka yang termasuk kategori IPM tinggi. IPM mengukur
pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
a.
Kualitas hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur
dengan harapan hidup saat kelahiran
b.
Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang
dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah,
atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
c.
Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural
dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.

2

(Sumber: DKP dan World Food Programe, 2010)

Gambar 1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia
Uu no 5

Kondisi geografis seperti yang terlihat pada Gambar 1 tersebut menuntut
pemerintah untuk menetapkan kebijakan dalam Undang-Undang (UU) tentang
penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia, yang diwujudkan dalam
bentuk integrasi Sistem Logistik Nasional, Sistem Transportasi Nasional,
Pembangunan Wilayah, serta Sistem Komunikasi dan Informasi. Pemerintah
juga berupaya mempercepat pembangunan dengan mengimplementasikan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
dengan strategi utama yakni menuju negara maju yang lebih sejahtera melalui
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2025,
sekaligus penjabaran kebijakan pemerintah tentang poros maritim
yang
terintegrasi dengan tol lautnya.
MP3EI dibangun berdasarkan tiga pilar utama; (i) pengembangan
potensi melalui koridor ekonomi, (ii) memperkuat konektivitas nasional, (iii)
mempercepat kemampuan Sumber daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) Nasional. Meski ketiga pilar tersebut memiliki
ketergantungan yang erat dengan maritim, namun pembangunan aspek maritim
belum menjadi prioritas. Kondisi ini merupakan gambaran dari kurangnya
pemahaman kemaritiman yang terjadi di pemerintahan. Contoh lain adalah
ketika diubahnya Dewan Kemaritiman Indonesia yang didirikan pada 1999 saat
Presiden Abdurrahman Wahid menjabat. Dewan ini diubah menjadi Dewan
Kelautan Indonesia pada tahun 2007 dengan dikeluarkannya Keppres No. 21
Tahun 2007, dengan alasan nomenklatur DMI (Dewan Maritim Indonesia)
memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas
dewan tersebut.
Pemahaman tentang kemaritiman adalah hal penting untuk mewujudkan
program-program pembangunan yang tertuang dalam MP3EI. Penggunaan
kata laut, sangat membatasi lingkup dari suatu kewenangan, mengingat laut
diartikan sebagai ‘kumpulan air asin dalam jumlah banyak dan luas yang
menggenangi dan membagi daratan, pulau atau benua (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Sedangkan maritim adalah segala hal yang berkenaan dengan laut,
berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Menurut kamus Oxford

3
pengertian maritim sebagai hal yang terhubung dengan laut, terutama dalam
kaitannya dengan perdagangan lewat laut atau hal-hal menyangkut angkatan
laut. Maka jelaslah, bahwa laut hanya sekedar fisik dan bagian kecil dari
maritim. Pemahaman ini berdampak terhadap fokus dari pembangunan yang
dituangkan dalam rencana jangka panjang pemerintah, masih jauh dari prioritas
kemaritiman.
Maritim bukan hanya persoalan perikanan dan kelautan, akan tetapi
maritim adalah segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan
kemaritiman/kelautan baik yang langsung maupun tidak langsung (Alexander P,
1998). Sebagai contoh misalnya dari industri maritim; galangan kapal, teknologi
perkapalan, desain kapal, perbaikan kapal, manufaktur komponen kapal dan
lainnya. Kemudian dari aktivitas ekspor/impor; pemeliharaan, penyediaan,
perbaikan, bongkar muat, layanan broker kapal, asuransi untuk para pelaut, jasa
angkutan dan pelabuhan. Dari pariwisata diantaranya; wisata pantai, wisata
bawah laut, jasa penginapan, wisata sejarah, bahkan budaya masyarakat sekitar
pantai yang menjadi daya tarik turis manca negara. Ditambah pula dengan
budidaya perikanan, seperti budidaya air tawar, budidaya air payau, dan
budidaya laut (Bergheim K dkk, 2015). Itu semua baru sebagian kecil dari
aktivitas maritim. Jika Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensi maritim
yang ada, bias dibayangkan berapa besar pendapatan negara yang dapat
dialokasikan untuk kesejahteraan yang akan mengurangi kemiskinan, dapat
membantu mencerdasan bangsa, serta membangun kekuatan Negara (Allison,
2011).
Dalam naskah MP3EI, sudah direncanakan pembangunan transportasi
dan infrastruktur laut. Namun nyatanya, alokasi dana masih berpihak kepada
pembangunan infrastruktur dan transportasi darat. Tak dapat dipungkiri bahwa
tersedianya infrastruktur yang memadai akan memberikan pengaruh positif
terhadap sistem perekonomian suatu daerah (Mulyono, 2010). Dilansir dari
berita yang dimuat pada website Sektretariat Kabinet RI, Ketua Asosiasi Logistik
Indonesia, Zaldy Masita, mengatakan bahwa selama ini lebih dari 60%
investasi MP3EI ditujukan untuk pembangunan darat. Terlihat juga, bahwa
yang menjadi konektivitas kawasan strategis dalam MP3EI bukanlah perbaikan
atau pembangunan pelabuhan, tetapi justru pembangunan Jembatan Selat Sunda
(JSS).
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Prof. Wiratman
Wangsadinata, seorang pakar dan praktisi bidang konstruksi Indonesia, biaya
JSS diestimasikan sebesar US$ 10 milliar atau setara dengan 100 triliun rupiah
hanya untuk konstruksi jembatannya saja dan akan membutuhkan waktu 13
tahun untuk menyelesaikannya (Wangsadinata, 2013), jika ditambah dengan
pengembangan kawasan diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar US$ 25
milliar atau setara dengan Rp 250 trilliun. Rencana pembangunan Jembatan Selat
Sunda telah direncanakan di MP3EI. Pada dokumen tersebut, anggaran
pembangunan yang diperlukan untuk membangun Jembatan Selat Sunda sebesar
Rp. 150 trilliun, atau setara dengan US$ 15 milliar. JSS tidak hanya terdiri dari
pembangunan jalan tol saja, melainkan juga dilengkapi dengan prasarana lainya
seperti rel kereta api, jaringan utilitas, sistem navigasi pelayaran dan infrastruktur
lainnya, termasuk energi terbarukan yang terintegrasi (Perpres No. 86 Tahun
2011). Menurut Prof. Daniel Rosyid, seorang pakar kelautan Indonesia, estimasi

4
biaya tersebut dapat membengkak, hal tersebut dapat dilihat dari kasus
pembangunan Jembatan Suramadu. Dengan panjang 5 km saja, biaya
pembangunan Jembatan Suramadu dapat membengkak 20%. Berdasarkan
pengalaman tersebut, maka biaya JSS yang panjangnya mencapai 30 km, dapat
membengkak karena harus lebih lebar enam jalur, lebih tebal, menara
penyangganya lebih tinggi, dan lebih dalam karena berada di lingkungan
yang secara tektonik dan vulkanik sangat aktif (Rosyid 2009).
Pembangunan ekonomi di Negara kepulauan seperti Indonesia sangat
membutuhkan industri maritim yang handal agar konektifitas antar pulau
dapat terlaksana. Industri Maritim tersebut meliputi Industri Perkapalan, Industri
Pelayaran dan Industri Jasa Pelabuhan, untuk mengelola dan mengolah sumber
daya kelautan dan sumber daya alam lainnya yang ada, sehingga bermanfaat
untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, utamanya dalam
ketersediaan pangan di wilayah-wilayah terpencil yang sulit terjangkau oleh
jalur transportasi darat dan udara. Pemerintah telah mengembangkan upaya di
bidang industri jasa maritim dengan membangun sepuluh sektor ekonomi
kelautan unggulan yaitu perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan hasil
perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, serta
pariwisata bahari.
Salah satu bagian dari industri jasa maritim adalah industri
perkapalan nasional. Industri perkapalan sangat penting bagi negara maritim
seperti Indonesia untuk menjamin interaksi dan konektivitas antar pulau tetap
terpelihara. Interaksi dan konektivitas ini memungkinkan terjadinya pertukaran
komoditas dari satu tempat yang surplus ke tempat lain yang membutuhkan.
Dalam konteks ketahanan pangan, industri perkapalan nasional menjadi ujung
tombak dalam memelihara transportasi dan distribusi pangan dari sumber
(produsen) kepada pengguna (konsumen). Temuan dari penelitian yang dilakukan
oleh Sahara dan Daryanto bahwa pola perdagangan komoditas pangan antar
daerah di Indonesia lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dari kedua
belah pihak yaitu petani dan pembeli. Jika temuan ini diterapkan dalam
setting maritim yang kompleks, maka keberadaan industri perkapalan yang
tangguh sangat berperan penting untuk menjamin pengambilan hasil pangan
yang berumur pendek dari petani, untuk bisa dijual di tempat lain. Ketika
kapal-kapal yang digunakan pembeli untuk mengangkut komoditas pangan di
suatu daerah terkendala oleh faktor teknis dan non teknis (misalnya cuaca),
dan mengakibatkan keterlambatan kedatangan, dapat berakibat pada rusaknya
hasil pertanian dan berdampak pada turunnya kepercayaan petani terhadap
pembeli.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Research Institute,
negara Belanda memiliki garis pantai hanya 1.914 km, peringkat 81 dunia. Tapi,
hal tersebut dimanfaatkan Belanda sebaik mungkin hingga saat ini pelabuhan
negara ini berperan penting sebagai pusat perdagangan Eropa, sekaligus menjadi
karakteristik negara Belanda. Pemasukan Belanda sebagian besar berasal dari
transportasi perdagangan (perkapalan), distribusi, dan logistik. Bisnis
perkapalan Belanda ini juga didukung oleh infrastruktur maritim yang
komprehensif, antara lain administrasi maritim, keuangan, asuransi maritim,
akuntansi, broker, penyewaan, hingga urusan limbah pembuangan, ditambah lagi
dengan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan perkapalan yang

5
menguntungkan para pemilik kapal. Membandingkan kenyataan tersebut dengan
Indonesia, negara kita yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km
menduduki peringkat 4 dari 149 negara dengan garis pantai terpanjang harusnya
dapat lebih memanfaatkan sektor maritimnya lebih dibandingkan Belanda agar
dapat memajukan dan menyejahterakan bangsa.
Dalam bidang perikanan, menurut data statistik perikanan dan kelautan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2012, konsumsi
ikan masyarakat Indonesia baru mencapai 33 kg/tahun per kapita, dan masih
mampu dipenuhi oleh produksi nasional. Produksi ikan Indonesia pada 2012
berkisar 15,9 ton. Jika dibandingkan konsumsi daging yang hanya 2,5 kg per
tahun per kapita, industri perikanan memiliki potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan di pasar domestik. Meski demikian, produksi ikan nasional masih
jauh dibawah Malaysia dan Jepang. Bahkan, negara seperti Thailand dan Vietnam
menjadikan hasil laut sebagai salah satu sumber pemasukan negara dengan
memberikan berbagai kemudahan fiskal bagi para nelayan. Para nelayan dari
kedua negara ini seringkali mencari ikan di perairan negara lain, termasuk
Indonesia, untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Bagi mereka, laut Indonesia
yang memiliki kandungan nutrisi yang sangat kaya, telah menjadi surga bagi
beberapa jenis ikan dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi. Salah satu perairan
di Indonesia yang mempunyai produktivitas ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis)
yang tinggi adalah perairan Halmahera. Tingginya produktivitas ikan Cakalang di
perairan tersebut, akibat pertemuan dua pusaran massa air (pusaran eddy) yang
dikenal dengan nama arus pusar Mindanao dan arus pusar Halmahera.
Bidang lain yang termasuk dalam industri jasa maritim adalah industri
pelayaran. Industri ini mengatur rute-rute kapal yang menjadi alat transportasi
penumpang maupun barang, untuk meningkatkan efisiensi operasionalnya.
Dalam industri ini dilibatkan berbagai bentuk transaksi mulai dari penetapan
tarif angkut, asuransi, rute yang dilalui, hingga ketenagakerjaan (Roach dan
Kirton, 2011). Industri pelayaran di Indonesia hingga saat ini masih belum
dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri, meski pemerintah telah menetapkan
asas cabotage. Asas ini berarti bahwa semua angkutan barang dan
penumpang dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan Indonesia lainnya harus
diangkut oleh kapal berbendera Indonesia. Industri ini sangat terkait dengan
industri perkapalan yang membangun berbagai kapal untuk dapat memenuhi
kebutuhan domestik maupun internasional. Dalam konteks ketahanan pangan,
industri pelayaran memiliki sumber daya yang sangat besar untuk dipergunakan
dalam mengatur pengangkutan komoditas yang dihasilkan berbagai wilayah di
Indonesia. Selain itu, industri ini juga memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang dapat dimanfaatkan dalam situasi krisis untuk mencapai berbagai
wilayah-wilayah terpencil.
Industri maritim yang tak kalah penting adalah industri pelabuhan, yang
memegang peranan vital dalam mendukung ketiga industri lainnya yaitu
perkapalan, pelayaran dan perikanan. Keberadaan pelabuhan yang memiliki
fasilitas labuh dan infrastruktur yang memadai akan dapat meningkatkan proses
pelayanan dan penanganan barang atau penumpang. Kemampuan tersebut
menjadi force multiplier yang dapat mencegah terjadinya penumpukan barang
untuk didistribusikan dan penumpang untuk diberangkatkan melalui laut secara
cepat, aman dan nyaman (Talley, 2013). Dalam permasalahan ketahanan pangan

6
di wilayah terpencil, pelabuhan-pelabuhan yang dibangun di seluruh wilayah
Indonesia akan memberikan kemudahan dalam distribusi pangan dan
komoditas, serta mempercepat proses bantuan ketika situasi krisis.
Karakteristik bahan pangan yang tidak dapat bertahan lama, dan
ketidakpastian iklim yang dapat menghambat distribusi pangan, maka keberadaan
suatu fasilitas penyimpanan/ pergudangan yang memadai merupakan faktor yang
sangat penting (Van der Vorst dan Beulens, 2002; Walakira, 2012). Fasilitas ini
mendukung kemampuan pelabuhan untuk menampung berbagai komoditas yang
akan didistribusikan. Industri ini membutuhkan infrastruktur yang baik dalam hal
tersedianya sumber energi dan akses yang cepat dari pelabuhan ke supplier
maupun kepada konsumen. Gudang yang baik memiliki sistem pengawasan
barang yang disesuaikan dengan karakteristik barang-barang tersebut agar tidak
rusak akibat kesalahan penyimpanan. Selain itu, perputaran barang di gudang
membutuhkan ketelitian dan kecepatan agar barang yang dikirimkan sesuai
dengan yang disepakati, baik dalam hal jumlah maupun kualitasnya. Dalam
sistem ketahanan pangan, industri pergudangan berfungsi untuk menampung
distribusi komoditi pangan, baik yang akan dikeluarkan maupun yang baru
didatangkan. Kondisi gudang yang dikelola dengan baik akan dapat mencegah
terjadinya kerusakan bahan pangan baik akibat suhu, gangguan hewan, maupun
pencurian. Dengan demikian, distribusi menjadi lebih aman dan sesuai
dengan kuantitas dan kualitasnya (McMeekin dkk, 2006).
Ketersediaan pangan bagi masyarakat terpencil sangat penting untuk
terus dipelihara agar terbangun kepercayaan masyarakat tersebut terhadap
pemerintah (Mohanty dan Peterson, 2005). Dengan kata lain, pemerintah perlu
menjamin terbangunnya ketahanan pangan di wilayah-wilayah terpencil ini
dengan memanfaatkan industri maritim sebagai sebagai konektor sekaligus
katalisator dalam pembangunan ketahanan pangan yang sustainable dan
berkelanjutan. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan (Zuniga, 2007). Pada tahun 2005, BKP dan WFP menerbitkan
Indonesian Food Insecurity Atlas (FIA) 2005 untuk pertama kalinya, dan telah
diperbaharui dengan Food Insecurity Atlas (FIA) 2010 yang membahas
tentang Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA),
menyebutkan bahwa ketahanan pangan dibangun atas tiga pilar, yaitu: (i)
ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan.
Menurut dokumen tersebut, ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan
secara fisik di daerah yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik,
impor/perdagangan maupun bantuan pangan.
Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya
pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan
pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan
bantuan pangan (Benton dan Maloni , 2005). Ketersediaan pangan dapat dihitung
pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat. Selanjutnya,
akses pangan adalah kemampuan untuk memperoleh cukup pangan, baik yang

7
berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan
pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu
daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki
akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui
mekanisme tersebut di atas (Tarasuk dan Beaton, 1999; Deaton, 1989).
Pemanfaatan pangan menurut FAO (2006a) merujuk pada penggunaan
pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan
memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh).
Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan
penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses
pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan
terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi
makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu
(pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing
anggota rumah tangga. Pemahaman akan seyogianya diberikan sejak usia dini
kepada anak-anak baik melalui pendidikan formal maupun informal (Lewis, 1992;
Korhonen, 1999; Thingkamol, 2011b, 2011c, 2012). Perilaku manusia yang
merusak lingkungan telah mengakibatkan kemampuan alam untuk menyediakan
bahan makan, sehingga diperlukan strategi untuk menjaga lingkungan hidup untuk
dapat meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan keterlibatan dan peranan
semua pihak sangat dibutuhkan (Arendt dan Sneed, 2008; Barret, 2002).
Indonesia secara aktif memanfaatkan peluang perdagangan internasional untuk
kegiatan ekspor dan impor komoditas agribisnis, termasuk pangan. Ekspor
komoditas agribisnis Indonesia terbesar adalah ke Amerika Serikat dan Jepang,
negara ASEAN relatif kecil, kecuali Singapura (Arifin, 2009). Impor Indonesia
terbesar dari negara ASEAN menurut data statistik pertanian 2014 adalah beras,
terutama dari Thailand, yang jumlahnya meningkat cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Sejak tahun 1995 impor beras dari Thailand mencapai 30 persen dari total
impor beras Indonesia. Ketergantungan yang sangat besar pada impor untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri perlu dihindari, karena akan membahayakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik (Herdiawan. 2011).

Perumusan Masalah
Peningkatan Industri pangan di dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa
sangat penting, sehingga kondisi dan proses pemenuhannya menjadi masalah yang
sangat peka. Berbagai permasalahan utama yang dihadapi pada saat ini adalah
tingginya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan
penyediaannya. Permintaan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, serta perubahan gaya hidup.
Dinamika permintaan menyebabkan kebutuhan pangan nasional meningkat dalam
jumlah, mutu, dan keberagaman. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi
pangan nasional lambat atau malahan stagnan, karena adanya kompetisi
pemanfaatan dan penurunan kualitas sumber daya alam.
Hasil produksi pangan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia pada
saat ini terkendala oleh sistim distribusi yang masih lemah. Surplus pangan di

8
suatu wilayah tidak mudah dimanfaatkan untuk mengatasi kerentanan pangan di
wilayah lain terutama di wilayah terpencil karena faktor transportasi sebagai
sarana distribusi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah untuk
penguatan sistem distribusi sebagai basis ketahanan pangan. Pendistribusian
Pangan sangat penting untuk pemerataan ketahanan pangan dan kesejahteraan jika
produk unggulan di wilayah-wilayah terpencil dapat ditingkatkan produksinya,
tata niaganya, dan kelembagaan yang terkait dengan subsistem agrologistik, maka
dapat dijamin bahwa konsep agroindustri dan agribisnis dapat berjalan dengan
baik, dan pendapatan petani meningkat. Meningkatnya pendapatan petani akan
berkontribusi pada meningkatnya daya beli masyarakat, yang selanjutnya akan
mendorong meningkatnya ketahanan pangan individu, ketahanan pangan
keluarga, ketahanan pangan wilayah, dan ketahanan pangan nasional. Menyikapi
persoalan tersebut pemerintah dituntut untuk merumuskan strategi yang tepat
dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan (Maleha dan Susanto, 2006)
Berdasarkan uraian perumusan masalah yang disampaikan sebelumnya
dapat dirumuskan pertanyaan utama penelitian sebagai berikut “Bagaimana
meningkatkan industri maritim di Indonesia agar distribusi pangan di wilayah
terpencil terlaksana dengan baik dan merata sehingga dapat memperkokoh
ketahanan pangan nasional?”. Dalam rangka menjawab pertanyaan utama tersebut
dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan pendukung sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh industri maritim di Indonesia saat ini terhadap
ketahanan pangan?
2. Bagaimana pengaruh sistem pendistribusian pangan di wilayah terpencil
terhadap ketahanan pangan?
3. Bagaimana pengaruh industri maritim di Indonesia saat ini terhadap
ketahanan pangan dan hubungannya dengan pendistribusian pangan di
wilayah terpencil?
4. Bagaimana upaya memperkokoh ketahanan pangan melalui kebijakan
disektor industri maritim dan pendistribusian pangan di wilayah terpencil?

Tujuan Penelitian
Dengan mengacu kepada latar belakang dan perumusan masalah, maka
tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pengaruh industri maritim di Indonesia terhadap
sistem ketahanan pangan nasional.
2. Untuk menganalisis pengaruh pendistribusian pangan di wilayah terpencil
dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan nasional.
3. Untuk menganalisis pengaruh industri maritim di Indonesia terhadap
pendistribusian pangan di wilayah terpencil dalam rangka memperkokoh
ketahanan pangan nasional.
4. Untuk merumuskan strategi memperkokoh ketahanan pangan berdasarkan
pemerataan dalam keadilan melalui industri maritim dan sistem
pendistribusian pangan.

9
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran ilmiah bagi ilmuan maupun peneliti lainnya yang lebih spesifik
dan menarik.
2. Manfaat praktis. Pertama, untuk para pengambil kebijakan, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan strategis untuk menentukan
kebijakan yang berlaku dan pola pendekatan dalam setiap kegiatan untuk
dapat bekerja lebih optimal dalam mendukung tugas sehingga dapat
menjadi pedoman untuk masa yang akan datang. Kedua, peneliti
menggunakan sebagai dasar berpijak dalam melakukan kajian ulang dan
mengembangkan penelitian secara lebih terperinci dengan variabelvariabel yang lebih kompleks, dan dapat peneliti gunakan sebagai bahan
pelajaran untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Kebaruan (Novelty)
Beberapa hal kebaruan (novelty) dari penelitian ini, yaitu :
1. Pengembangan model ketahanan pangan yang didasarkan pada definisi
FAO, GFSI, dan World Food Programe dengan menambahkan variabel
Industri Maritim dan Distribusi Pangan di wilayah terpencil.
2. Penerapan model SEM (Structural Equation Model) untuk menguji
pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan dalam rangka
memperkokoh ketahanan pangan nasional.
3. Penerapan model SEM untuk mengetahui sejauh mana industri maritim
berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Industri Maritim di Indonesia
Definisi Industri menurut UU Perindustrian No 5 Tahun 1984 adalah
kegiatan ekonomi yang mengelola bahan mentah, bahan baku, barang setengah
jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya termasuk kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan industri.
Industri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk. Selain itu industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan
sumber daya alam secara optimal. Industri adalah suatu usaha atau kegiatan
pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang
memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau
assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak
hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.

10
Definisi industri maritim menurut San Diego Maritime Industry Report
2012 adalah suatu industri yang berhubungan dengan aktivitas maritim. Mengacu
pada definisi tersebut, maka dapat dikemukakan disini bahwa Industri maritim
merupakan perusahaan yang kegiatannya menyediakan produk dan layanan yang
berkaitan dengan sektor maritim. Secara umum, industri maritim mencakup semua
perusahaan yang bergerak di bisnis merancang, membangun, manufaktur,
memperoleh, operasi, penyediaan, perbaikan dan/atau pemeliharaan kapal, atau
bagian komponennya, mengelola dan/atau operasi jalur pelayaran, dan jasa
perdagangan, galangan kapal, dermaga, kereta api laut, bengkel laut, pengiriman
dan jasa pengiriman barang dan perusahaan sejenis (Makundan, 2007; Kosuri,
2011). Industri ini muncul juga termasuk komponen penting dari minyak dan gas
serta energi terbarukan.
Lambatnya pembangunan dan perkembangan industri maritim di Indonesia
disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, hambatan pada sistem finansial.
Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia sampai saat ini
belum berpihak kepada sektor maritim. Kedua, hambatan sistem perpajakan.
Sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang pelaksanaan pajak
pertambahan nilai yang dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan barang kena
pajak tertentu dan/atau penyerahan jasa kena pajak tertentu, bahwa sektor
perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu
kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang pajak pertambahan nilai
yang terutang pada impor atau pada saat perolehan barang kena pajak tertentu
disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan. Artinya
kebijakan tersebut kurang signifikan. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5
tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga
penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen).
Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun,
paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung
rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus
membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian,
industri maritim di negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut.
Sebaliknya, yang terjadi di Singapura pemerintah akan memberikan insentif,
seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi
perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas USD 20 juta. Mereka sadar
bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga
diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga
membebaskan pajaknya.
Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan
biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia
1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung
jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan
berawak 100 persen orang Indonesia sangat tinggi (UU No 17 tahun 2008).
Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan
perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.
Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian
Perhubungan. Sistem klasifikasi di Indonesia seperti ini membuat industri maritim

11
Indonesia semakin sulit berkembang. Semua kapal yang diklasifikasi atau
disertifikasi, tidak mendapatkan pengakuan dari asuransi perkapalan global.
Kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi kapal, masih kurang
profesional, penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga klasifikasi kapal
masih sarat dengan praktek-praktek yang tidak selayaknya. Sebab itu sebagian
pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di
Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun
2008 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena mereka menganggap
klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI hanya sebagai syarat pelengkap sehingga
diragukan oleh kalangan industri maritim global terutama kalangan shipping
manufacture dan pelayaran.
Industri maritim Indonesia akan dapat berkembang dengan pesat dan siap
bersaing dengan industri sejenis jika pemerintah khususnya Kementerian
Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian
Keuangan secara bersama memberi kemudahan perijinan dan memberi prioritas
untuk dapat mengakses sumber pembiayaan. Salah satu kebijakan yang harus
dilakukan, adalah merevitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga
Indonesia bisa kompetitif. Perombakan total di lingkungan lembaga pemberi
klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian perlu
dilakukan, begitu juga pada sistem pendidikannya, agar sesuai dengan arah
kebijakan pembangunan Indonesia, perlu dilakukan peninjauan ulang kurikulum
lembaga pendidikan maritim oleh Kemendikbud agar Indonesia mempunyai SDM
maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Bunga bank yang tinggi dan kurangnya perhatian lembaga keuangan dan
perbankan dalam memberikan perkreditan kepada perusahaan pelayaran nasional,
menyebabkan investor di bidang penyiapan infrastruktur angkutan laut kurang
berjalan dengan baik dan lancar. Jasa kelautan yang terdiri dari segala jenis
kegiatan yang bersifat menunjang dan mempelancar kegiatan penyediaan
infrastruktur sektor kelautan seperti jasa pelayan pelabuhan, keselamatan
pelayaran, perdagangan, pengembangan sumber daya kelautan seperti pendidikan,
pelatihan dan penelitian serta profesionalitas sumber daya manusia (SDM) dan
dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan yang berkualitas
merupakan faktor yang menentukan dalam penyiapan infrastruktur industri dan
jasa maritim sektor transportasi laut.

Industri Perkapalan di Indonesia
Sebagai Negara maritim yang mempunyai wilayah perairan yang sangat
luas, Indonesia tentunya memerlukan moda transportasi laut untuk dapat
menjangkau pulau-pulau dan menghubungkan daratan yang satu ke daratan yang
lainnya. Pada kondisi ini peran kapal sangatlah penting dan dibutuhkan, yang
fungsinya tidak hanya sebagai sarana transportasi penumpang dan barang, namun
juga berfungsi untuk mendukung sistem pertahanan di wilayah perairan Indonesia.
Selain itu sistem transportasi laut yang baik akan dapat meningkatkan ketahanan
pangan nasional terutama untuk wilayah kepulauan dan wilayah-wilayah lain yang
terpencil yang sulit dijangkau menggunakan moda transportasi lain.

12
Konstelasi geografis dan kondisi morfologis wilayah negara Indonesia
sebagai negara kepulauan yang sangat besar, meliputi Luas Wilayah Laut
Yurisdiksi Nasional. Menurut data dari Dinas Hidro Oseanografi TNI AL luas
wilayah perairan Indonesia adalah 5,9 Jt Km² jauh melebihi daratannya yaitu:
1,9jt Km². Hal ini telah membawa suatu konsekwensi alamiah yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, yai