Formulasi Kebijakan Kenaikan Harga Air B

ABSTRAK

Nama

:Rr. Mayang Ayu Puspitasaheti

Program Studi

: Ilmu Administrasi Fiskal

Judul Skripsi : Formulasi Kebijakan Kenaikan Harga Air Baku (HAB) sebagai Upaya Peningkatan Fungsi Regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung

Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan proses formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung dan menganalisis kendala yang dihadapi selama proses formulasi kebijakan tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data kualitatif. Dari hasil penelitian, proses formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) yang diatur dalam peraturan walikota ini melewati empat tahapan, yakni tahap persiapan, tahap analisis, tahap pelaporan (lokakarya 1-4), dan tahap penyusunan peraturan walikota (lokakarya 5-6). Menurut sudut pandang Wajib Pajak, kendala di dalam proses formulasi kebijakan ini adalah terjadinya miskomunikasi antara instansi yang berwenang dengan Wajib Pajak terkait dengan partisipasi Wajib Pajak dalam perumusan kebijakan. Akan tetapi, sebenarnya miskomunikasi ini tidak dapat dianggap sebagai kendala yang berarti karena tidak diharuskan adanya partisipasi Wajib Pajak dalam pembuatan sebuah peraturan walikota.

Kata Kunci: Pajak Air Tanah, Pajak Daerah, Formulasi Peraturan Walikota.

ABSTRACT

Name

: Rr. Mayang Ayu Psupitasaheti

Study Program

: Fiscal Administration

Title : Formulation of Increasing Water Prices Policy Related to Efforts in Enhancing Regulerend Function of Groundwater Tax in Bandung

The study was conducted to describe the policy formulation process of increasing water prices as the government’s effort in enhancing regulerend function of groundwater tax in Bandung municipality and also to analyze any constraints which the Government faced during the process. The study was conducted with a qualitative approach and qualitative data collection. The research results revealed that there were four stages in the formulation process of increasing water prices policy: preparation stage, analysis stage, reporting stage, and legal drafting stage. From the tax payer’s point of view, the constraint of this policy formulation process was a miscommunication happened between the tax payer and the policy maker due to tax payer’s participation issue in a policy formulation process. However, this miscommu nication can’t be considered as a serious constraint because tax payer’s participation is not a main requirement in establishing a major regulations.

Keyword: Groundwater Tax, Local Tax, Policy Formulation.

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Perbedaan Jenis Pajak Daerah pada UU No. 34 Tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2009 …………………………………

2 Tabel 1.2. Banyaknya Perusahaan Industri Besar dan Sedang di Kota Bandung (2009 – 2013)…………………………………………

5 Tabel 1.3. Jumlah Hotel dan Penginapan di Kota Bandung (2009 – 2013)..

6 Tabel 1.4. Pendapatan Asli Daerah per- Kota di Jawa Barat Tahun 2014….

7 Tabel 1.5. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung Tahun 2014.

8 Tabel 1.6. Perbandingan Harga Air PDAM dengan Harga Air Baku……...

9 Tabel 1.7. Rekapitulasi Pengambilan Air Tanah Per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2014………………………………………… 10 Tabel 2.1. Matriks Tinjauan Pustaka………………………………………. 20 Tabel 2.2. Model Formulasi Kebijakan……………………………………. 34 Tabel 2.3. Klasifikasi Jenis Tarif Berdasarkan Efektivitas Terhadap

Ko nservasi Air………………………………………………….. 48 Tabel 2.4. Metode Penentuan Nilai Air……………………………………. 50 Tabel 4.1. Bobot Komponen Kompensasi ………………………………… 71 Tabel 5.1. Volume Penggunaan Air Tanah di Kota Bandung (dalam meter

kubik) …………………………………………………………… 76 Tabel 5.2. Pembagian Urusan Pemerintahan Sub Urusan Geologi Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ………………………………………………………….. 93

Tabel 5.3. Alternatif Kebijakan dalam Mendukung Upaya Peningkatan Fungsi Regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung ………… 97

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kondisi Muka Air Tanah di Kota Bandung…………………..

11 Gambar 1.2. Penurunan Tanah (Land Subsidence) di Kota

12 Bandung………......................................................................... Gambar 1.3. Formula Penghitungan Pajak Air Tanah ……………………..

13 Gambar 2.1. Tahapan Kebijakan Publik …………………………….……...

28 Gambar 2.2. Siklus Kebijakan Publik ...…………………………………….

31 Gambar 2.3. Dampak Pengenaan Pajak terhadap Permintaan Air .......……..

43 Gambar 2.4. Alur Kerangka Pemikiran ……………………………………..

53 Gambar 5.1. Desain Sumur Imbuhan Dalam ………………………………..

85 Gambar 5.2. Peta Zonasi Air Tanah Kota Bandung Tahun 2014 ……….......

88 Gambar 5.3. Proses Penyusunan Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air

sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah

…………. 100

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal lahir sebagai konsekuensi dari dilaksanakannya

otonomi daerah. Desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai penyerahan sebagian dari tanggung jawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintahan di bawahnya (provinsi, kabupaten, atau kota) (Kumorotomo, 2008). Hal ini sesuai dengan prinsip money follows function dimana pendelegasian wewenang dari Pusat ke Daerah dibarengi pula dengan pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang dialihkan kepada Daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat kebijakan di bidang keuangan dan pengelolaan anggaran di sisi penerimaan dan pengeluaran (Center for Economic and Social Studies, 2001).

Dengan adanya desentralisasi fiskal, artinya pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola sumber keuangannya sendiri. Sumber keuangan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain- lain pendapatan yang sah. PAD berasal dari beberapa sumber, yakni pajak daerah, retribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Dana Perimbangan berasal dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus, sedangkan lain-lain pendapatan yang sah berasal dari pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Filosofi otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (Haryanto, n.d.). Upaya peningkatan PAD diperlukan guna mengurangi tingkat ketergantungan Daerah terhadap Dana Transfer karena, sejatinya, agar pemerintah Daerah bisa benar- benar otonom, semua pengeluaran Pemerintah Daerah harus dapat dicukupi oleh Pendapatan Asli Daerah (Lutfi, Inayati, Hendrawan, dan Rosdiana, 2013).

Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah adalah pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Tujuan utama dari pemberlakuan peraturan perundangan ini adalah untuk memberikan kewenangan Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah adalah pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Tujuan utama dari pemberlakuan peraturan perundangan ini adalah untuk memberikan kewenangan

Tabel 1.1. Perbedaan Jenis Pajak Daerah pada UU No. 34 Tahun 2000

dengan UU No. 28 Tahun 2009

UU No. 34 Tahun 2000 UU No. 28 Tahun 2009 Pajak Provinsi

Pajak Provinsi

1. Pajak Kendaraan Bermotor

1. Pajak Kendaraan Bermotor

2. Bea Balik Nama Kendaraan

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Bermotor

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Bermotor

4. Pajak Pengambilan dan

4. Pajak Air Permukaan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

5. Pajak Rokok

dan Air Permukaan

Pajak Kabupaten/Kota Pajak Kabupaten/Kota

1. Pajak Hotel

1. Pajak Hotel

2. Pajak Restoran

2. Pajak Restoran

3. Pajak Hiburan

3. Pajak Hiburan

4. Pajak Reklame

4. Pajak Reklame

5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)

5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)

6. Pajak Parkir

6. Pajak Parkir

7. Pajak Pengambilan Bahan Galian

7. Pajak Mineral Bukan Logam dan Gol. C

Batuan (perubahan nomenklatur)

8. Pajak Air Tanah (pengalihan dari provinsi )

9. Pajak Sarang Burung Walet (baru)

10. PBB Perdesaan dan Perkotaan (baru)

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (baru)

Sumber: Materi Presentasi Dirjen Pajak Agustus 2011, diolah penulis Berdasarkan tabel 1.1. di atas dapat terlihat perbedaan-perbedaan antara

UU No. 34 Tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2009. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terdapat pada penambahan jenis pajak yang dipungut oleh Daerah (pajak provinsi ditambah pajak rokok sedangkan pajak kabupaten/kota ditambah Pajak Sarang Burung Walet, PBB-P2, dan BPHTB) dan perubahan nomenklatur pada Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C menjadi Pajak

Mineral Bukan Logam dan Batuan. Selain itu, Pajak Air Tanah yang tadinya merupakan Pajak Provinsi, dialihkan pengelolaannya menjadi Pajak Kabupaten/Kota sehingga pemungutan dan administrasi Pajak Air Tanah sepenuhnya ada di tangan kabupaten/kota, tidak lagi dengan sistem bagi hasil dari provinsi.

Kebijakan pengalihan pengelolaan Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi menjadi pajak kabupaten/kota memberikan sebuah kesempatan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam meningkatkan fungsi pajak dalam pembangunan di daerahnya masing-masing, baik dari sisi budgetair, maupun sisi regulerend. Dari sisi budgetair Pemerintah Kabupaten/Kota dapat meningkatkan peran Pajak Air Tanah sebagai sumber penerimaan PAD yang sangat bermanfaat bagi pembangunan, sementara di sisi lain Pemerintah Kabupaten/Kota juga dapat memaksimalkan fungsi regulerend Pajak Air Tanah untuk mengatur penggunaan dan meminimalisasi dampak eksternalitas negatif yang muncul akibat pemanfaatan air tanah yang berlebihan serta tidak bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan yang pernyataan UNDP, bahwa “pendesentralisasian pemerintahan bisa menjadi alat yang efektif untuk mencapai tujuan penting visi pembangunan sumber daya manusia, meningkatkan akses jasa, kredit, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan, memberantas kemiskinan, mewujudkan keadilan sosial ekonomi yang lebih besar, dan memelihara lingkungan ” (Manan & Soeriaatmadja, 2005, p. 253).

Meski telah disahkan sejak tahun 2009, pengalihan pengelolaan Pajak Air Tanah dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dilaksanakan langsung pada tahun yang sama. Hal ini dikarenakan pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan berbagai perangkat terkait dengan pengalihan pengelolaan tersebut, salah satunya yang paling mendasar adalah peraturan daerah. Provinsi Jawa Barat sendiri menyerahkan pengelolaan Pajak Air Tanah kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota sejak tahun 2011. Terhitung pada tahun itu pula, Kota Bandung melaksanakan pengelolaan Pajak Air Tanah dengan berlandaskan pada beberapa perda, yaitu Peraturan Daerah Kota Bandung No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah, Peraturan Walikota Bandung No. 107 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air dalam Rangka Penetapan Nilai Perolehan Air

Tanah, dan Peraturan Walikota Bandung No. 108 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Standar Operasional Prosedur Pemungutan Pajak Air Tanah. Berdasarkan peraturan-peraturan ini, ditentukan bahwa objek Pajak Air Tanah di Kota Bandung adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah, dengan pengecualian dari objek pajak adalah sebagai berikut.

a. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

b. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat.

c. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk kepentingan sarana peribadatan, penanggulangan bahaya kebakaran, kepentingan penelitian, dan penyelidikan yang tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air dan lingkungannya atau bangunan pengairan beserta tanah turutannya.

Kota Bandung merupakan ibukota provinsi Jawa Barat. Wilayah Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 meter dari permukaan laut dengan topologi wilayah yang beragam, yaitu cenderung datar di wilayah utara dan berbukit-bukit di wilayah selatan. Letak Kota Bandung terbilang strategis karena berada di pertemuan poros jalan barat-timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara, dan utara-selatan yang memudahkan lalu lintas ke perkebunan, yaitu Subang dan Pangalengan (Kota Bandung dalam Angka, 2014)

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Kota Bandung memiliki potensi industri dan pariwisata yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah usaha di sektor industri, baik skala sedang maupun besar, dan fasilitas pendukung pariwisata terutama hotel dan penginapan yang tersebar di wilayah Kota Bandung. Jumlah usaha di sektor industri dan fasilitas pendukung pariwisata tersebut semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang terjadi di Kota Bandung.

Secara umum, terdapat empat jenis industri di Provinsi Jawa Barat yang digolongkan berdasarkan skalanya, yakni usaha kerajinan rumah tangga, industri kecil, industri sedang, dan industri besar. Pengelompokan ini ditentukan dari jumlah tenaga kerja yang terserap. Usaha kerajinan rumah tangga adalah industri Secara umum, terdapat empat jenis industri di Provinsi Jawa Barat yang digolongkan berdasarkan skalanya, yakni usaha kerajinan rumah tangga, industri kecil, industri sedang, dan industri besar. Pengelompokan ini ditentukan dari jumlah tenaga kerja yang terserap. Usaha kerajinan rumah tangga adalah industri

Tabel 1.2. Banyaknya Perusahaan Industri Besar dan Sedang di Kota Bandung (2009 – 2013)

Prosentase Tahun

Banyaknya Usaha

Peningkatan/Penurunan

Sumber: “Bandung dalam Angka (2014)”

Jumlah industri skala sedang dan besar di Kota Bandung terbilang fluktuatif jika dilihat dari data yang dihimpun dalam kurun waktu 2009 sampai dengan 2013. Pada tahun 2010 misalnya, jumlah usaha di sektor industri di Kota Bandung meningkat cukup tinggi, yakni sebesar 39%. Begitu pula pada tahun 2011, terjadi peningkatan jumlah usaha di sektor industri sebesar 12%. Akan tetapi, pada tahun 2012 terjadi penurunan jumlah usaha di sektor industri sebesar 16%. Meski demikian, kembali terjadi peningkatan banyaknya usaha di sektor industri sebesar 2% di tahun 2013. Kendati bersifat fluktuatif, jumlah banyaknya usaha di sektor industri di Kota Bandung mengalami trend yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Tabel 1.3. Jumlah Hotel dan Penginapan di Kota Bandung (2009 – 2013)

Prosentase Tahun

Jumlah Hotel dan

Penginapan

Peningkatan/Penurunan

Sumber: Diolah dari publikasi “Bandung dalam Angka” dan “Provinsi Jawa Barat dalam Angka”

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa jumlah hotel dan penginapan sebagai pendukung sektor pariwisata di Kota Bandung terus meningkat dari tahun ke tahun. Besar prosentase peningkatan jumlah hotel dan penginapan berkisar antara 2% sampai dengan 13% dalam kurun waktu tahun 2009 – 2013. Peningkatan paling tinggi terjadi pada tahun 2011, dimana jumlah hotel dan penginapan di Kota Bandung mengalami peningkatan sebesar 13% dari tahun sebelumnya.

Berbagai peningkatan dan pertumbuhan dalam berbagai sektor, termasuk dari sektor industri dan pariwisata yang menjadi potensi andalan Kota Bandung, sudah tentu mempengaruhi besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung di Tahun 2014 bahkan terlihat paling tinggi apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di Provinsi Jawa Barat. Secara lebih lengkap, perbandingan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung dengan kota-kota lain di Provinsi Jawa Barat tersaji dalam tabel 1.4. berikut.

Tabel 1.4. Pendapatan Asli Daerah per-Kota di Jawa Barat Tahun 2014

PAD Kota

(dalam jutaan rupiah)

Bandung 1.242.784 Bekasi

Sumber: Data Realisasi APBD TA 2014, diolah dari www.djpk.go.id

Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa pada tahun 2014, Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung mencapai Rp1.242.784.000.000, paling tinggi apabila dibandingkan dengan sejumlah kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Kota Bekasi menduduki urutan kedua dengan PAD sebesar Rp792.070.000.000, disusul oleh Bogor di urutan ketiga dengan perolehan PAD sebesar Rp378.342.000.000 pada tahun 2014. Kota Cimahi ada di urutan terakhir dengan perolehan PAD sebesar Rp134.476.000.000.

Sumber keuangan Kota Bandung berasal dari PAD dan dana transfer. Pemasukan Kota Bandung dari sisi PAD meliputi pendapatan-pendapatan dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta lain-lain PAD yang sah.

Tabel 1.5. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung Tahun 2014

Jenis Pendapatan

Jumlah (dalam jutaan

Kontribusi terhadap

rupiah)

PAD

Pajak Daerah

81,8% Retribusi Daerah

7,8% Hasil Pengelolaan

0,7% Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-lain PAD yang Sah

Sumber: Data APBD tahun 2014, diolah dari www.djpk.go.id Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa pajak daerah adalah kontributor

terbesar dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung. Sebesar 81,8% dari total PAD Kota Bandung pada tahun 2014 merupakan pendapatan dari pajak daerah. Sementara itu, sumber pendapatan yang lain seperti retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah jumlahnya hanya 18,2% saja dari keseluruhan jumlah PAD Kota Bandung pada tahun 2014.

Berbagai peningkatan dalam hal ekonomi dan pembangunan yang terjadi di Kota Bandung seperti berbanding terbalik dengan kondisi lingkungan Kota Bandung yang mengalami degradasi. Pembangunan di Kota Bandung yang semakin pesat membuat daerah resapan air makin berkurang, sementara kebutuhan akan air terus bertambah. Para pelaku bisnis di sektor industri dan perhotelan yang kini kian menjamur di wilayah Kota Bandung cenderung lebih memilih untuk menggunakan air tanah dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih. Salah satu sebabnya adalah tingkat harga air PDAM yang jauh lebih tinggi daripada air tanah.

Tabel 1.6. Perbandingan Harga Air PDAM dengan Harga Air Baku

3 Harga Air PDAM (per m 3 ) Harga Air Baku (per m )

BUMD, Sosial

Tanah Niaga

Dalam BUMN

Rp720,- Rp1.800,- Rp3.100,- Rp750,-

Rp500 Rp125 Rp1.500,- Rp2.875,- Rp4.250,-

Sumber: Diolah dari berbagai sumber Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang besar

antara harga air PDAM dengan Harga Air Baku (HAB) yang merupakan salah satu komponen penentu Harga Dasar Air (HDA) dalam penghitungan Pajak Air Tanah. Hal ini nampak pada range harga air PDAM yang jauh lebih tinggi, yakni Rp750,- s.d. Rp4.250,- per meter kubik, kontras dengan range Harga Air Baku (HAB) yang hanya berkisar antara Rp125,- s.d. Rp500,- per meter kubik. Jika dihitung dengan prosentase Pajak Air Tanah sebesar 20% dari Nilai Perolehan Air (NPA), maka dengan volume pemanfaatan air yang sama, para pelaku bisnis di bidang industri dan perhotelan otomatis akan mengeluarkan biaya yang lebih rendah untuk pemanfaatan air tanah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan air PDAM. Hal ini menjadi salah satu penyebab kuat yang membuat para pelaku usaha lebih tertarik untuk menggunakan air tanah yang lebih murah dibandingkan dengan air PDAM.

Hal ini berimbas pada tingginya tingkat eksploitasi air tanah di Kota Bandung. Tingkat eksploitasi air tanah di Kota Bandung dan kabupaten serta kota lain di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dalam tabel 1.7. berikut ini.

Tabel 1.7. Rekapitulasi Pengambilan Air Tanah Per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2014

No. 3 Kab./Kota Jumlah Jumlah Volume (m )

Wajib Pajak

Titik

1. Kab. Bogor

2. Kota Bogor

3. Kota Depok

4. Kab. Sukabumi

5. Kota Sukabumi

6. Kab. Cianjur

7. Kab. Purwakarta

8. Kab. Karawang

9. Kab. Bekasi

10. Kota Bekasi

11. Kab. Subang

12. Kab. Bandung

13. Kab. Bandung Barat

14. Kota Bandung

15. Kab. Sumedang

16. Kab. Garut

17. Kab. Tasikmalaya

18. Kab. Ciamis

19. Kota Tasikmalaya

20. Kota Cimahi

21. Kota Banjar

22. Kab. Cirebon

23. Kota Cirebon

24. Kab. Indramayu

25. Kab. Kuningan

26. Kab. Majalengka

27 Kab. Pangandaran

JUMLAH TOTAL

Sumber: “Rekapitulasi Pengambilan Air Tanah Per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2014”, Publikasi DESDM Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan tabel 1.7. tersebut dapat terlihat bahwa Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi menjadi lima kabupaten dan kota dengan jumlah titik eksploitasi dan volume pemanfaatan air tanah yang paling tinggi di Jawa Barat. Kabupaten Kuningan juga termasuk salah satu kabupaten yang memiliki volume pemanfaatan air tanah yang tinggi walau jumlah titik eksploitasinya tidak sebanyak lima kota dan kabupaten yang telah disebutkan sebelumnya. Pada tahun 2014, tercatat ada 644 Wajib Pajak Air

Tanah di Kota Bandung, dengan titik eksploitasi sejumlah 965 titik, dan volume pemanfaatan air tanah sebesar 13.373.243 meter kubik. Angka ini tergolong tinggi karena jika diperbandingkan dengan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung menduduki peringkat kedua kota dengan jumlah Wajib Pajak, jumlah titik eksploitasi, dan besar volume pemanfaatan air tanah tertinggi di Provinsi Jawa Barat.

Salah satu akibat yang ditimbulkan dari eksploitasi air tanah adalah terjadinya penurunan muka air tanah. Hal ini berpotensi menimbulkan kelangkaan air tanah di daerah dengan tingkat eksploitasi air tanah tersebut. Kondisi ini sudah dialami oleh Kota Bandung, dimana terdapat penurunan muka air tanah di beberapa daerah di Kota Bandung.

Tahun 2000 Tahun 2013

Gambar 1.1. Kondisi Muka Air Tanah di Kota Bandung

Sumber: Materi Presentasi “Kajian Ilmiah tentang Mata Air” oleh Lambok M. Hutasoit, Maret 2014.

Dari gambar 1.1. di atas, dapat terlihat perbedaan kondisi muka air tanah Kota Bandung pada tahun 2000 dan tahun 2013. Kondisi muka air tanah yang ditunjukkan oleh gambar tersebut adalah hasil dari simulasi numerik, dimana kondisi muka air tanah dibagi ke dalam empat zona, yaitu zona aman dengan penurunan muka air tanah di bawah 40%, zona rawan dengan penurunan sebesar 40%-60%, zona kritis dengan penurunan sebesar 60%-80%, dan zona rusak Dari gambar 1.1. di atas, dapat terlihat perbedaan kondisi muka air tanah Kota Bandung pada tahun 2000 dan tahun 2013. Kondisi muka air tanah yang ditunjukkan oleh gambar tersebut adalah hasil dari simulasi numerik, dimana kondisi muka air tanah dibagi ke dalam empat zona, yaitu zona aman dengan penurunan muka air tanah di bawah 40%, zona rawan dengan penurunan sebesar 40%-60%, zona kritis dengan penurunan sebesar 60%-80%, dan zona rusak

Dampak lain dari eksploitasi air tanah secara berlebihan adalah terjadinya penurunan tanah (land subsidence). Penurunan tanah terjadi sebagai tahap lanjutan dari penurunan muka air tanah, dimana penurunan muka air tanah ini menyebabkan pengurangan gaya angkat tanah sehingga terjadi peningkatan tegangan efektif tanah dan mengakibatkan penyusutan butiran tanah. Akibatnya, terjadilah land subsidence (Kodoatie& Sjarief, 2010).

Gambar 1.2. Penurunan Tanah (Land Subsidence) di Kota Bandung

Sumber: Chaussarda, Amelung, Abidin, and Hong. (2013). Sinking cities in Indonesia: ALOS PALSAR detects rapid subsidence due to groundwater and gas extraction. . Remote Sensing of Environment , Volume 128, p. 155.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chaussarda, Amelung, Abidin, dan Hong (2013), penurunan tanah (land subsidence) terjadi di beberapa titik di Indonesia, seperti di Lhokseumawe, Medan, Jakarta, Blanakan, Pekalongan, Semarang, Sidoarjo, Bekasi, dan Bandung. Penurunan tanah ini Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chaussarda, Amelung, Abidin, dan Hong (2013), penurunan tanah (land subsidence) terjadi di beberapa titik di Indonesia, seperti di Lhokseumawe, Medan, Jakarta, Blanakan, Pekalongan, Semarang, Sidoarjo, Bekasi, dan Bandung. Penurunan tanah ini

Menyadari permasalahan lingkungan yang tengah dihadapi, Pemerintah Kota Bandung tak tinggal diam. Ridwan Kamil, selaku walikota Bandung, beserta masyarakat yang tergabung dalam perkumpulan Relawan Jaga Seke (Relawan Penjaga Mata Air), telah melakukan usaha pencarian dan konservasi kembali potensi mata air di Kota Bandung yang sebagian masih tertutup tanah akibat pembangunan ataupun terbengkalai dan tak terkelola dengan baik (Krisis Air, 2014). Selain itu, dilakukan pula upaya pengendalian pemanfaatan air tanah dari sisi perpajakan dengan cara menaikkan Harga Air Baku (HAB) air tanah dalam di Kota Bandung.

Gambar 1.3. Formula Penghitungan Pajak Air Tanah

Sumber: Diolah dari Lampiran X Keputusan Menteri ESDM No. 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penentuan Nilai Perolehan Air dari Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam Penghitungan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah

Harga Air Baku (HAB) adalah harga rata-rata air tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan nilai investasi untuk mendapatkan air Harga Air Baku (HAB) adalah harga rata-rata air tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan nilai investasi untuk mendapatkan air

Sebagai salah satu langkah dalam menanggulangi permasalahan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya air tanah di Kota Bandung, Pemerintah Kota Bandung menerapkan kebijakan kenaikan Harga Air Baku terhitung sejak bulan April tahun 2014. Kenaikan HAB ini cukup signifikan, yakni sebesar 1000%, dari awalnya Rp500,- menjadi Rp5.000,- per meter kubik.

Kenaikan HAB yang merupakan salah satu komponen dalam perhitungan Harga Dasar Air Tanah (HDA) ini akan berpengaruh pada meningkatnya jumlah Pajak Air Tanah yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Kebijakan ini ditujukan sebagai alat pengendali penggunaan air tanah di Kota Bandung dengan cara mendorong masyarakat untuk lebih bijak dalam melakukan pemanfaatan air tanah sehingga ketersediaan air tanah dan kelestarian alam pun dapat terjaga.

1.2. Pokok Permasalahan Pemakaian air tanah besar-besaran di Kota Bandung, terutama oleh sektor

industri dan perhotelan, menimbulkan kondisi degradasi lingkungan yang semakin parah dan mengancam keselamatan warga Kota Bandung. Tingkat pemakaian air tanah yang tinggi disebabkan oleh besar Pajak Air Tanah yang masih jauh lebih rendah daripada harga air PDAM. Kondisi ini mendorong pelaku industri dan perhotelan untuk lebih memanfaatkan air tanah ketimbang air PDAM yang harganya jauh lebih mahal. Untuk itu, pemerintah membuat sebuah kebijakan guna menanggulangi permasalahan tersebut, yakni dengan menaikkan Harga Air Baku (HAB) sebagai upaya meningkatkan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung.

Kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) dalam Pajak Air Tanah di Kota

Bandung telah berlaku sejak April 2014. Di satu sisi, kebijakan ini ditanggapi positif oleh sebagian Wajib Pajak dengan menurunkan konsumsi air tanah sehingga beban pajak yang harus dipikul pun berkurang. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menuai kekagetan dan juga gelombang protes dari sejumlah Wajib Pajak di Bandung, terutama pelaku bisnis hotel yang mengaku banyak memanfaatkan sumber air bawah tanah. Para pelaku bisnis perhotelan di Kota Bandung yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) telah menyampaikan protes tersebut kepada Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil. Para pelaku bisnis hotel dan restoran tersebut mengaku tidak mengerti bagaimana proses penentuan harga hingga ditentukan keputusan bahwa Harga Air Baku (HAB) dinaikkan dengan prosentase yang sangat tinggi, yakni sebesar 1000% (Anggota PHRI Tetap Keberatan, 2014). Meski begitu, Pemerintah Kota Bandung tetap memungut Pajak Air Tanah dengan berdasarkan perhitungan Harga Air Baku (HAB) yang baru, yakni Rp5.000,- per meter kubik, sesuai dengan peraturan yang telah berlaku.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku dalam penghitungan Harga Dasar Air sebagai upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung?

2. Apakah kendala yang dihadapi dalam proses formulasi kebijakan tersebut?

1.3. Tujuan Berdasarkan pokok permasalahan di atas, terdapat dua tujuan yang ingin

dicapai melalui penelitian ini.

1. Menjelaskan proses formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku dalam penghitungan Harga Dasar Air sebagai upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung.

2. Mengidentifikasi kendala yang timbul dalam proses formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung.

1.4. Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademis maupun

secara praktis.

1. Signifikansi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses formulasi kebijakan perpajakan dan dapat menjadi acuan bagi penelitian serupa dengan lingkup yang lebih luas dan mendalam di masa yang akan datang.

2. Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan perpajakan, khususnya kebijakan-kebijakan perpajakan yang terkait dengan upaya pemerintah dalam mendukung kelestarian lingkungan.

1.5. Sistematika Penulisan Secara garis besar penelitian ini terdiri dari enam bab. Sistematika

penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini berisi pembahasan mengenai latar belakang permasalahan yang mendasari penelitian, pokok permasalahan yang akan diangkat, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN

Bab ini berisi pembahasan mengenai tinjauan pustaka yang mendasari penelitian, teori-teori yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

BAB 3 METODE PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan penelitian, jenis penelitian, Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan penelitian, jenis penelitian,

BAB 4 GAMBARAN UMUM PEMUNGUTAN PAJAK AIR TANAH

Bab ini memaparkan mengenai sejarah pemungutan pajak air tanah, ketentuan umum pemungutan Pajak Air Tanah, dan gambaran mengenai mekanisme pemungutan pajak air tanah di Kota Bandung

BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA AIR BAKU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN FUNGSI REGULEREND PAJAK AIR TANAH DI KOTA BANDUNG

Bab ini memaparkan analisis mengenai formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) dalam penghitungan Pajak Air Tanah di Kota Bandung, meliputi pemaparan latar belakang yang menjadi dasar pembuatan kebijakan, proses pembuatan kebijakan, dan kendala-kendala yang ditemukan pada proses pembuatan kebijakan tersebut.

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memaparkan simpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran peneliti yang relevan dengan hasil penelitian

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka Dalam melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melihat hasil

penelitian terdahulu mengenai Pajak Air Tanah. Peneliti mencoba mengambil bahan rujukan dengan topik bahasan yang relevan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.

Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Antonius

Hendiarto (Sarjana FISIP UI, 2006) dengan judul Analisis Pengendalian Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Berkaitan dengan Fungsi

Pajak Regulerend (Studi Kasus Dipenda Provinsi DKI Jakarta). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran perlakuan perpajakan yang diterapkan Dipenda DKI Jakarta terhadap Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam mendukung fungsi pajak regulerend dan juga menganalis implikasi pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah yang diakukan Dispenda DKI Jakarta atas konsumsi air bawah tanah di Provinsi DKI Jakarta dalam mendukung fungsi pajak regulerend. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.

Hasil dari penelitian ini Harga Dasar Air yang terlalu rendah jika dibandingkan dengan air PDAM menjadi suatu penyebab dari ketidakberhasilan fungsi pajak regulerend dari Pajak Air Tanah di DKI Jakarta. Selain itu, peraturan mengenai penentuan Harga Dasar Air tidak didasarkan pada marginal scarcity rent dari air tanah. Konsekuensinya adalah secara ekonomi masyarakat lebih memilih untuk menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya air dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Penelitian kedua adalah penelitian berjudul Kebijakan Kenaikan Tarif

Harga Dasar Air (HDA) dalam Mendukung Fungsi Regulerend Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Studi Kasus: Formulasi Kebijakan PPABT di Provinsi DKI Jakarta) yang dilakukan oleh Yayan

Suryana (Sarjana FISIP UI, 2008). Penelitian ini berisi analisis peneliti mengenai Suryana (Sarjana FISIP UI, 2008). Penelitian ini berisi analisis peneliti mengenai

Hasil dari penelitian ini adalah temuan bahwa bentuk formulasi kebijakan kenaikan tarif Harga Dasar Air (HDA) sebagai dasar penghitungan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah adalah menghasilkan sebuah draft rancangan Pergub DKI Jakarta yang mengatur mengenai penetapan Nilai Perolehan Air sebagai dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah kenaikan tarif HDA di atas air PDAM yang baru. Dalam perancangan draft peraturan gubernur ini Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA) Provinsi DKI Jakarta telah melakukan pembahasan dengan melibatkan unit kerja Dinas Pertambangan, BPLHD, Badan Regulator PDAM Jaya, dan tim pakar dari ITB dan UI pada bidang hidrologi, geologi, dan perpajakan yang memberikan rekomendasi bahwa Harga Dasar Air harus dilakukan penyesuaian karena sudah tidak sesuai dengan kondisi DKI Jakarta pada saat itu, khususnya sebagai upaya mengatasi dampak lingkungan. Formulasi kebijakan yang dihasilkan ini telah sesuai untuk memenuhi fungsi regulerend Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah, yaitu untuk mengatur penggunaan air tanah dengan cara mendorong masyarakat untuk menggunakan air PDAM.

Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Novilia Anggraini

Rahayu (Sarjana FISIP UI, 2010) dengan judul Analisis Dampak Kenaikan Harga Dasar Air dalam Pajak Air Bawah Tanah ditinjau dari Fungsi

Regulerend, Suatu Studi di DKI Jakarta. Skripsi ini berisi analisis mengenai dampak kenaikan Pajak Air Bawah Tanah terhadap tingkat konsumsi air bawah tanah di DKI Jakarta serta dampak penerimaan daerah atas kenaikan Harga Dasar Air pada Pajak Air Tanah sebesar 4-14 kali lipat yang bersumber dari Harga Dasar Air. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, penelitian lapangan, dan wawancara mendalam.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh simpulan bahwa kendati Harga Dasar Air (HDA) telah dinaikkan, masyarakat cenderung tetap menggunakan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa kualitas air PAM belum baik. Sementara itu, kenaikan penerimaan PABT sebesar 4-14 kali lipat hanya mencerminkan pemenuhan fungsi budgetair dari PABT, sedangkan dari sisi regulerend belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang masih saja memilih menggunakan air tanah daripada air PAM.

Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Suryati (Sarjana FISIP UI, 2011) dengan judul Analisis Formulasi Kebijakan Pajak Air Tanah di Kota Bogor. Penelitian ini berisi analisis peneliti mengenai proses formulasi Peraturan Daerah mengenai Pajak Air Tanah di Kota Bogor pada tahun 2011, seiring dengan dialihkannya Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (P3ABT) dari tingkat provinsi ke tingkat kabupaten/kota. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan studi kepustakaan, penelitian lapangan dan wawancara mendalam

Hasil dari penelitian ini adalah temuan bahwa bentuk pengendalian terhadap pemanfaatan potensi air bawah tanah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor adalah menghasilkan sebuah draft rancangan Peraturan Daerah Kota Bogor yang mengatur tentang Pajak Air Tanah. Proses perumusannya meliputi tahap perencanaan, tahap perancangan, tahap pembahasan, dan tahap pengundangan.

Tabel 2.1. Matriks Tinjauan Pustaka

Antonius Hendiarto

Novilia Anggraini

Rr. Mayang Ayu

Yayan Suryana (2008)

Dwi Suryati (2011)

Puspitasaheti (2015) Judul

(2006)

Rahayu (2010)

Analisis Pengendalian

Kebijakan Kenaikan Tarif Analisis Dampak

Analisis Formulasi

Formulasi Kebijakan

Penelitian

Kebijakan Pajak Air Tanah Kenaikan Harga Air Pemanfaatan Air Bawah dalam Mendukung Fungsi Air dalam Pajak Air

Pengambilan dan

Harga Dasar Air (HDA)

Kenaikan Harga Dasar

Baku (HAB) sebagai Tanah Berkaitan dengan Regulerend Pajak

di Kota Bogor

Upaya Peningkatan Fungsi Pajak Regulerend Pengambilan dan

Bawah Tanah Ditinjau

Fungsi Regulerend Pajak (Studi Kasus Dipenda

dari Fungsi Regulerend,

Air Tanah di Kota Provinsi DKI Jakarta)

Pemanfaatan Air Bawah

Suatu Studi di DKI

Tanah (Studi Kasus:

Jakarta

Bandung

Formulasi Kebijakan PPABT di Provinsi DKI Jakarta)

Tujuan

Menganalisis peran

Mengetahui dan

Menganalisis dampak

Menjelaskan proses

Menjelaskan proses

Penelitian

perlakuan perpajakan

kenaikan pajak air bawah formulasi Peraturan Daerah formulasi kebijakan yang diterapkan Dipenda formulasi kebijakan

menganalisis bagaimana

kenaikan Harga Air Baku DKI Jakarta terhadap

tanah terhadap tingkat

mengenai Pajak Air Tanah

dalam penghitungan Pajak Pengambilan dan

kenaikan tarif Harga Dasar konsumsi air bawah

di Kota Bogor pada tahun

Harga Dasar Air sebagai Pemanfaatan Air Bawah perhitungan Pajak

Air (HDA) sebagai dasar

tanah di DKI Jakarta dan 2011.

upaya peningkatan fungsi Tanah dalam mendukung Pengambilan dan

menganalisis dampak

regulerend Pajak Air fungsi pajak regulerend

penerimaan daerah atas

Tanah di Kota Bandung dan menganalis implikasi Tanah dalam upaya

Pemanfaatan Air Bawah

kenaikan Harga Dasar

dan mengidentifikasi pemungutan Pajak

Air pada Pajak Air Tanah

kendala yang timbul Pengambilan dan

mendukung fungsi

sebesar 4-14 kali lipat

dalam proses formulasi Pemanfaatan Air Bawah Pengambilan dan

regulerend Pajak

yang bersumber dari

kebijakan tersebut. Tanah yang dilakukan

Harga Dasar Air.

Pemanfaatan Air Bawah

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Dispenda DKI Jakarta atas konsumsi ABT di Prv. DKI Jakarta dalam mendukung fungsi Pajak regulerend

Tanah

Metode Penelitian

Pendekatan kualitatif, jenis penelitian deskriptif, pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan penelitian lapangan.

Pendekatan kuantitatif, jenis penelitian desktiptif, teknik pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan dan wawancara mendalam.

Pendekatan penelitian kualitatif, pengumpulan data dengan studi kepustakaan, penelitian lapangan, dan wawancara mendalam.

Pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan, penelitian lapangan dan wawancara mendalam.

Pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan, penelitian lapangan, dan wawancara mendalam.

Simpulan

Fungsi pajak regulerend belum sepenuhnya berhasil karena Harga Dasar Air terlalu rendah jika dibandingkan dengan air PDAM. Peraturan mengenai penentuan Harga Dasar Air tidak didasarkan pada marginal scarcity rent dari air tanah. Konsekuensinya adalah secara ekonomi masyarakat lebih memilih untuk menggunakan air tanah untuk memenuhi

Bentuk formulasi kebijakan kenaikan tarif Harga Dasar Air (HDA) sebagai dasar penghitungan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah adalah menghasilkan sebuah draft rancangan Pergub DKI Jakarta yang mengatur mengenai penetapan Nilai Perolehan Air sebagai dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah kenaikan tarif HDA

Masyarakat cenderung tetap menggunakan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya karena kualitas air PAM belum baik. Kenaikan penerimaan PABT sebesar 4-14 kali lipat hanya mencerminkan pemenuhan fungsi budgetair dari PABT, sedangkan dari sisi regulerend belum berjalan dengan baik.

Bentuk dari pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor adalah menghasilkan sebuah draft rancangan Peraturan Daerah Kota Bogor yang mengatur tentang Pajak Air Tanah. Proses perumusannya meliputi tahap perencanaan, tahap perancangan, tahap pembahasan, dan tahap pengundangan

Terdapat empat tahapan dalam proses formulasi kebijakan kenaikan HAB di Kota Bandung, yakni tahap persiapan, tahap analisis, tahap pelaporan, dan tahap penyusunan peraturan walikota. Menurut sudut pandang Wajib Pajak, kendala di dalam proses formulasi kebijakan ini adalah terjadinya miskomunikasi antara instansi yang berwenang dengan Wajib Pajak terkait dengan partisipasi Terdapat empat tahapan dalam proses formulasi kebijakan kenaikan HAB di Kota Bandung, yakni tahap persiapan, tahap analisis, tahap pelaporan, dan tahap penyusunan peraturan walikota. Menurut sudut pandang Wajib Pajak, kendala di dalam proses formulasi kebijakan ini adalah terjadinya miskomunikasi antara instansi yang berwenang dengan Wajib Pajak terkait dengan partisipasi

Wajib Pajak dalam air.

di atas air PDAM yang

baru, telah sesuai unyuk

perumusan kebijakan.

memenuhi fungsi

Akan tetapi, sebenarnya

regulerend Pajak

miskomunikasi ini tidak

Pengambilan dan

dapat dianggap sebagai

Pemanfaatan Air Bawah

kendala yang berarti

Tanah.

karena tidak diharuskan adanya partisipasi Wajib Pajak dalam pembuatan sebuah peraturan walikota

Sumber: Dihimpun dari Perpustakaan Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah disarikan oleh Peneliti, dapat terlihat bahwa penelitian yang dilakukan oleh Peneliti berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Judul dari penelitian yang dilakukan oleh Peneliti adalah Formulasi Kebijakan Kenaikan Harga Air Baku (HAB)

sebagai Upaya Peningkatan Fungsi Regulerend Pajak Air Tanah di Kota

Bandung. Tema penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Antonius Hendiarto (2006) dengan judul Analisis Pengendalian Pengambilan dan Pemanfaatan

Air Bawah Tanah Berkaitan dengan Fungsi Pajak Regulerend (Studi Kasus

Dipenda Provinsi DKI Jakarta). Perbedaan peneilitian Hendiarto (2006) dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat dari site penelitian. Hendiarto (2006) meneliti mengenai pelaksanaan fungsi regulerend Pajak Air Bawah Tanah di Provinsi DKI Jakarta, sedangkan peneliti melakukan penelitian mengenai upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung. Selain itu, penelitian Hendiarto (2006) bertujuan untuk mengetahui peran perlakuan perpajakan Pemprov DKI dalam mendukung fungsi regulerend Pajak Air Bawah Tanah, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih berusaha untuk menggambarkan bagaimana proses formulasi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung dalam meningkatkan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung.

Penelitian kedua yang dilakukan Yayan Suryana (2008) dengan judul

Kebijakan Kenaikan Tarif Harga Dasar Air (HDA) dalam Mendukung

Fungsi Regulerend Pajak memiliki kesamaan objek penelitian dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu mengenai peran Harga Dasar Air dalam pemenuhan fungsi regulerend Pajak Air Bawah Tanah. Perbedaan terletak pada fokus pembahasan penelitian yang dilakukan peneliti yang sifatnya lebih khusus, yakni kebijakan mengenai Harga Air Baku yang merupakan salah satu komponen penentu penghitungan Harga Dasar Air. Perbedaan selanjutnya terletak pada pendekatan penelitian yang digunakan, yakni pendekatan kuantitatif. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif.

Tema penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahayu (2010) dengan judul Analisis Dampak Kenaikan Harga Dasar Air dalam Pajak Air Bawah

Tanah ditinjau dari Fungsi Regulerend, Suatu Studi di DKI Jakarta memiliki perbedaan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Perbedaan terletak pada site penelitian dan fokus penelitian. Penelitian yang dilakukan Rahayu (2010) berfokus pada dampak dari kenaikan Harga Dasar Air (HDA) dengan site penelitian di DKI Jakarta, sedangkan penelitian yang Peneliti lakukan berfokus pada formulasi kenaikan Harga Air Baku (HAB) dengan site penelitian di Kota Bandung.

Sementara itu, apabila dibandingkan dengan penelitian Suryati (2011) dengan judul Analisis Formulasi Kebijakan Pajak Air Tanah di Kota Bogor, terdapat kesamaan tujuan penelitian, yakni menjelaskan proses formulasi sebuah kebijakan. Akan tetapi, terdapat perbedaan fokus penelitian. Suryati (2011) meneliti mengenai formulasi peraturan daerah tentang pajak air tanah di Kota Bogor, dimana pada saat penelitian dilakukan pengalihan pengelolaan P3ABT dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota baru dilakukan. Sementara itu, peneliti melakukan penelitian mengenai formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung yang efektif berlaku pada bulan April tahun 2014 yang lalu.

2.2. Kerangka Teori

2.2.1. Kebijakan Publik Pada dasarnya, titik berat kebijakan publik terletak pada “publik dan

masalah- masalahnya”. Kebijakan publik membahas tentang bagaimana isu-isu dan persoalan disusun, didefinisikan, dan bagaimana semua persoalan tersebut diletakkan dalam agenda kebijakan (Fermana, 2009). Thomas Dye mengemukakan bahwa “public policy is whatever governments choose to do or not to do ” (Soebarsono, 2006, p. 2). Dari definisi kebijakan publik yang diungkapkan Dye tersebut terkandung dua makna yang dapat diambil, yakni bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan bukan kebijakan yang dibuat oleh organisasi swasta, serta kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.

Sementara itu, Anderson (2006) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah yang Sementara itu, Anderson (2006) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah yang

Beberapa definisi lain mengenai kebijakan publik juga diungkapkan beberapa ahli lainnya, sebagaimana dikutip dari Agustino (2008). Richard Rose mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan. Sementara itu, Carl Friedrich berpendapat bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.