Undang-Undang juga menetapkan persyaratan Perda yang mengatur tentang retribusi harus memuat :
a nama, objek, dan subjek Retribusi;
b golongan retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
2; c
cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan; d
prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi;
e struktur dan besarnya tarif retribusi;
f wilayah pemungutan;
g tata cara pemungutan;
h sanksi administrasi;
i tata cara penagihan;
j tanggal mulai berlakunya;
k masa retribusi;
l pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam
hal-hal tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya.
Kritik terhadap pengaturan retribusi yang ditetapkan dalam Perda adalah ketidaksinkronan antara peraturan dalam satu daerah
Kabupaten Kota atau antar Kabupaten Kota yang berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi atau dianggap bertentangan dengan peraturan di
atasnya.
E. Wewenang Penetapan Sanksi Pidana Perda.
1. Asas legalitas Penetapan Sanksi Perda.
Pembentukan pemerintahan pada hakekatnya dimaksudkan untuk menciptakan suatu tatanan guna menciptakan keteraturan dan ketertiban
di dalam masyarakat. Jaminan keteraturan dan ketertiban merupakan prasyarat bagi keberlangsungan proses hidup di dalam masyarakat.
Rasyid menyatakan bahwa “pemerintah yang dibentuk untuk
menyelenggarakan pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi kemajuan
bersama”
116
. Pemerintah dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban di dalam masyarakat dapat dilakukan dengan menetapkan peraturan
bertingkah laku yang mengikat warga masyarakat, termasuk menetapkan sanksi pidana pada Perda yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi.
Sesuai dengan prinsip demokrasi dalam negara hukum, peraturan bertingkah laku bagi masyarakat yang ditetapkan dalam bentuk produk
hukum tidak lagi bersumber pada kekuasaan penguasa, tetapi dalam pembentukan hukum mengharuskan ada keterlibatan masyarakat serta
tunduk pada asas-asas hukum yang berlaku, terlebih-lebih peraturan itu menyangkut sanksi pidana yang berpotensi mengekang kebebasan warga
masyarakat. Berkaitan dengan penetapan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengandung sanksi pidana, di dalam khasanah
hukum pajak dan retribusi terdapat ungkapan yang sangat terkenal yaitu, “no taxation without representation” yang artinya tidak ada pajak tanpa
ada persetujuan parlemen atau “taxation without representation is roberry” yang artinya pajak tanpa persetujuan parlemen adalah
116
Ryaas Rasyid, 1996, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan, PT Yarsif watampone, Jakarta, hlm.: 10
perampokan
117
. Ungkapan itu mengandung arti bahwa setiap pajak memerlukan persetujuan dari parlemen sebagai representasi dari
kepentingan rakyat. Tanpa persetujuan dari rakyat, peraturan yang menetapkan pajak dan retribusi dianggap sebagai kejahatan. Dalam
perspektif hukum Indonesia, penarikan pajak hanya dapat dilakukan setelah ada peraturan perundang-undangan yang melibatkan pemerintah
dengan DPR atau Pemda dengan DPRD. Dengan kata lain Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus ditetapkan melalui UU, dan pada
tingkat daerah harus ditetapkan berdasarkan Perda. Secara konstitusional, keharusan pungutan uang kepada rakyat
dalam bentuk Perda dapat dirunut melalui Pasal 23 A dan Pasal 18 UUD 1945. Pasal 23 A menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang Undang”. Dalam pengertian ini, Undang-Undang dapat diartikan
secara formil maupun secara materiil. Pengertian UU dalam arti formil adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden. Berdasarkan Pasal 23 A tersebut, setiap Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa harus mendapatkan persetujuan DPR yang dianggap sebagai representasi dari rakyat. Keharusan mendapatkan
persetujuan dari rakyat tidak lain adalah perwujudan dari asas“no taxation without representation” dalam hukum pajak. Menurut
117
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pers, hlm.: 65
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania bukan hanya karena ditetapkan
dalam UUD pengaturan pajak harus berdasarkan UU, karena dalam ketentuan itu tersirat falsafah pajak yang lebih mendalam. Pajak
merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan
kekayaan demikian itu, dalam kata sehari-hari, hanya dapat berupa penggarongan, perampasan, pencopetan dengan paksa, atau pemberian
hadiah dengan sukarela dan ikhlas tanpa paksaan. Maka supaya peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah tidak dikatakan
sebagai perampokan atau pemberian hadiah secara sukarela, disyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan, harus mendapatkan persetujuan dari
rakyat terlebih dahulu. Dewan Perwakilan Rakyat, anggota-anggotanya dipilih secara langsung dan demokratis oleh rakyat, sehingga jika DPR
RI sudah menyetujui rancangan undang-undang, hal ini berarti bahwa pungutan pajak sudah disetujui oleh rakyat, dan ketentuan DPR itu
bersama Presiden dituangkan ke dalam bentuk undang-undang
118
. Dalam pemerintahan lokal, pengertian persetujuan dari rakyat
direpresentasikan ke dalam DPRD, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 UUD 1945. Menurut Pasal 18 ayat 3 disebutkan bahwa ”Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum”. Adapun produk hukum daerah yang dibentuk oleh dewan
118
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania, ibid, hlm.: 7-8.
perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah dinamakan Perda atau Peraturan Daerah. Sedangkan kewenangan
Pemda membuat Perda ditentukan Pasal 18 UUD 1945, khusus ayat 6 yang menyatakan ”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
Perkembangan syarat penetapan pajak harus dengan UU dikenal pula dengan asas “dengan kekuasaan Undang-Undang” de heerschappij
van de wet. Di bidang Hukum Administrasi Negara dikenal pula adanya asas “het bestuur aan de wet is onderworpen” bahwa pemerintah tunduk
pada UU, atau het legaliteitbeginsel houdt in dat alle algemene de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten yang berarti
asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada UU
119
. Asas legalitas merupakan prinsip negara hukum yang sering
dirumuskan secara khas dalam Hukum Administrasi Negara dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur”. Di dalam
hukum pidana asas ini dapat disejajarkan dengan asas legalitas ”nullum delictum sine praevia lege poenali”
120
Asas yang menyatakan semua ketentuan yang mengikat warga masyarakat harus didasarkan dengan UU menandakan bahwa asas
119
Ridwan HR, ibid
120
ibid
legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk UU dan
berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum
menuntut penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan UU dan harus memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar
rakyat. Berdasarkan pengertian ini menunjukkan bahwa asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dan sekaligus menjadi
jaminan perlindungan hak-hak rakyat. Syachran Basah menyimpulkan
bahwa asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat
berdasarkan prinsip monodualis selaku pilar-pilar yang merupakan sifat hakekat konstitutif
121
.
Penerapan asas legalitas, menurut Indroharto
122
akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan.
Kesamaan perlakuan terjadi karena orang yang berada dalam situasi seperti yang ditentukan dalam suatu ketentuan UU itu berhak dan
berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam UU tersebut, sedangkan kepastian hukum akan terjadi karena semua
peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan
121
Syachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hlm.: 2
122
Indroharto, 1993, Usaha Memahami UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.:83-84.
pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada asasnya
lalu dapat dilihat atau dapat diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan.
Di samping itu, asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintahan. Asas
legalitas merupakan dasar dalam pembentukan Perda yang menyangkut penarikan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, termasuk pula dalam
penetapan perbuatan pidana maupun penetapan sanksi pidana atas perbuatan yang dikriminalisasikan di daerah.
Uraian tersebut di atas memberikan gambaran dengan jelas, berdasarkan asas legalitas, peraturan yang mengikat warga masyarakat
harus ditetapkan lebih dahulu dalam peraturan tertulis dalam bentuk UU. Namun demikian, sekalipun terdapat keunggulan-keunggulan hukum
tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan para sarjana hukum tetap memberikan catatan penting, karena hukum tertulis atau
perundang-undangan mempunyai beberapa kelemahan. Menurut Bagir Manan kelemahan hukum tertulis adalah sebagai berikut.
a. Kaidah tertulis sering tidak fleksibel karena tidak dapat
mengikuti tuntutan perkembangan masyarakat. Kaidah hukum yang dahulu dianggap memenuhi rasa keadilan
masyarakat pada perkembangan berikutnya dianggap sudah tidak memenuhi rasa keadilan;
b. Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat maka
harus melalui proses politik yang sulit. Apabila peraturan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat itu
dipaksakan berlakunya maka akan diperoleh ketidakadilan yang berakibat penolakan dari masyarakat;
c. Kaidah tertulis adakalanya tidak mengatur persoalan secara
detail, sehingga memungkinkan adanya kekosongan hukum rechtsvacum.
Perda yang berisi aturan hukum pidana telah berkembang sedemikian pesat yang ditujukan untuk menciptakan keteraturan dan
ketertiban masyarakat di daerah yang bersangkutan dan tidak berlaku di daerah lain. Sebagaimana telah disinggung di muka, secara historis,
peraturan daerah sebagai hukum lokal telah ada sejak zaman Hindia Belanda, dalam bentuk hukum pidana adat dan hukum pidana tertulis
yang ditetapkan oleh pemerintah lokal dipergunakan untuk mengatur kepentingan hukum tersendiri yang ditimbulkan oleh masyarakat
daerah. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang semakin
menguat, hukum pidana lokal menjadi bagian penting sebagai sarana menegakkan aturan-aturan lokal. Bidang hukum yang menjadi bagian
dalam tulisan ini dibatasi pada hukum pidana tertulis yang ditetapkan oleh Pemda yang berlaku di Kabupaten Kota untuk menegakkan kaidah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Politik Hukum penggunaan Sanksi Pidana.