2. Sanksi pidana.
Secara teoretik, ada atau tidak adanya ketentuan sanksi pidana pada Perda tergantung pada pertimbangan pembentuk peraturan, yaitu
apakah kaidah dalam Perda yang bersangkutan perlu dipertahankan dengan hukum pidana atau tidak. Hal ini dikarenakan Perda, khususnya
yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada dasarnya termasuk bidang hukum administrasi
224
, sehingga ketentuan pidana tidak mutlak harus ada di dalam suatu Perda Perda. Sebagai
hukum administrasi, penegakan hukumnya sebenarnya cukup dengan sanksi administrasi. Demikian pula apabila sanksi pidana dilihat dari
segi kebijakan, maka tidak ada keharusan penggunaan sanksi pidana sebagai sarana menegakkan norma.
Sungguhpun demikian, banyak Perda yang sebenarnya masuk dalam bidang hukum administrasi, di dalamnya mencantumkan sanksi
pidana sebagai sarana agar masyarakat lebih menaati kaidah yang telah ditetapkan. Dalam hal ini terdapat kecenderungan sanksi pidana
224
Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa, selain hukum pidana administrasi, bidang hukum ini sering disebut dengan kejahatan tindak pidana administrasi, hukum pidana
dari aturan-aturan, atau hukum pidana pemerintahan. Disebut dengan hukum pidana administrasi, karena bidang hukum ini dibuat untuk memberikan sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran administrasi. Berhubung hukum administrasi pada hakekekatnya merupakan hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan
mengatur regulatory powers, maka dengan dimasukkannya sanksi pidana pada aturan itu, bidang hukum ini disebut dengan hukum pidana dari aturan-aturan ordnung
strafrecht. Di samping itu, karena hukum administrasi terkait dengan tata pemerintahan, maka istilah hukum pidana administrasi disebut dengan hukum pidana
pemerintahan Bestuurstrafrecht.
dipandang sebagai sarana yang paling efektif agar masyarakat bersedia menaati kaidah di bidang hukum administrasi.
Apabila kaidah tersebut dipandang perlu untuk dipertahankan dengan hukum pidana maka ditetapkanlah perbuatan yang diberi
ancaman sanksi pidana, tetapi apabila dipandang tidak perlu, maka untuk untuk menegakkan norma yang ditetapkan dapat digunakan
sarana lain non hukum pidana. Dalam hal ini dapat dikatakan sanksi pidana merupakan bentuk fungsionalisasi operasionalisasi
instrumentalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi
225
in casu Perda yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Apabila pembentuk Perda telah menetapkan sanksi pidana sebagai sarana untuk menegakkan norma yang ditetapkan, maka secara
teoretik pembentuk Perda akan menghadapi dua persoalan yang paling mendasar, yaitu perbuatan pidana apakah yang akan diancam dengan
pidana, dan pidana apakah yang akan dikenakan terhadap seseorang yang dianggap telah mencocoki perbuatan tersebut. Perbuatan yang
ditetapkan dan diberi sanksi pidana di dalam hukum pidana disebut dengan perbuatan pidana, atau tindak pidana, atau delik.
Dalam hukum pidana maupun hukum acara pidana, rumusan perbuatan dan pidana merupakan hal yang paling esensial, karena dua
hal tersebut akan bertalian dengan penerapan konkrit dari asas legalitas.
225
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.: 15.
Perbuatan dan sanksi pidana hanya mungkin dikenakan terhadap perbuatan yang terlebih dahulu ditentukan oleh pembentuk Undang-
Undang. Fungsi ini mengingatkan pada rasio asas legalitas yang dinamakan fungsi melindungi dari hukum dan fungsi petunjuk bukti
226
. Maksud dari fungsi melindungi dari hukum adalah bilamana pembentuk
peraturan berketetapan untuk membuat sesuatu norma perilaku menjadi norma hukum untuk seluruhnya atau sebagian, maka yang terkandung
dalam maksudnya adalah untuk memberi perlindungan kepada kepentingan umum yang berhubungan dengan norma itu. Tentu saja
perlindungan itu tidak mungkin mutlak, tetapi dapat diharapkan bahwa penentuan dapat dipidana itu akan membantu ditepatinya norma
tersebut. Kepentingan yang hendak dilindungi ini dinamakan dengan kepentingan hukum. Sedangkan fungsi petunjuk bukti bertalian dengan
adanya kewajiban dalam bidang hukum acara pidana untuk membuktikan terjadi perbuatan yang dilanggar atas unsur-unsur
perbuatan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka sanksi pidana
tidak dapat dipisahkan dengan perbuatan yang dilarang atau yang seharusnya dilakukan oleh wajib pajak. Penyebutan perbuatan pidana di
bidang perpajakan, memang belum ada kesatuan istilah. Ada yang
226
Schaffmeister et all, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P K hlm.: : 26
menyebut dengan tindak pidana fiskal, tindak pidana pajak atau ada pula yang menyebut dengan istilah tindak pidana di bidang perpajakan
227
Pelaksanaan penetapan sanksi pidana pada Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada saat dilakukan penelitian terdapat dua
Undang-Undang yang dipakai sebagai acuan, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 18 Tahun 1997 jo. UU
No. 34 Tahun 2004. Di dalam BAB VII UU No. 22 Tahun 1999 tentang Perda dan
Keputusan Kepala Daerah, Pasal 71 ayat 2 dinyatakan bahwa: Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama
enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 lima juta rupiah dengan atau tidak merampas barang tertentu
untuk Daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, maka berdasarkan Pasal 239, UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku.
Selanjutnya tentang wewenang Pemda menetapkan sanksi pidana ditentukan di dalam Pasal 143 yang menyatakan:
1 Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan
biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya tau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2 Perda dapat memuat acaman pidana kurungan paling
lama 6 enam bulan atau denda paling banyak RP. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah.
227
Suparman ,2001, Berbagai Aspek Penegakan Hukum di Bidang Perpajakan, Fortun Mandiri Karya, Jakarta, hlm.: 23
3 Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain
sebagaimana dimaksud pada ayat 2, sesuai dengan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan UU yang baru ini, telah terjadi perubahan besaran ancaman denda, yang semula Rp. 5.000.000,00 lima juta
rupiah diubah menjadi RP. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. Di samping itu berdasarkan ketentuan ayat 3, Perda dapat
menyimpang dari buku pertama KUHP, yaitu apabila UU yang menjadi dasar acuannya telah menyimpang dari buku I KUHP. Hal
yang demikian memang dimungkinkan melalui Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai
dengan BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain”. Adanya frasa “kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan
lain” merupakan kunci pembuka sebuah UU menyimpang dari dari buku I KUHP. Menurut Pasal 37 UU No. 18 Tahun 1997 sanksi
pidana yang diancamkan adalah pidana danatau denda paling banyak 4 empat kali dari jumlah pajak yang terutang, sedangkan
Pasal 39 dan Pasal 40 pidana yang diancamkan adalah pidana atau denda. Dalam kaitan ini dapat menjadi persoalan, apakah yang
dimaksud dengan denda dalam pasal itu, karena dalam hukum pidana administrasi denda dapat mempunyai makna denda
administrasi, tetapi juga dapat berupa pidana denda. Mengingat
dalam KUHP yang dimaksudkan adalah sanksi pidana, maka menurut hemat kami denda yang dimaksudkan disini adalah denda
pidana Selain UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No No. 32 Tahun
2004, di dalam penetapan sanksi pidana, pembentuk Perda juga mendasarkan pada UU 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000
tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Atribusi wewenang pembentuk Perda menetapkan sanksi pidana dapat ditemukan pada Pasal 37, 39 dan Pasal 40 UU No. 18
Tahun 1997. Pasal 37:
1 Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang
tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun dan atau
denda paling banyak 2 dua kali jumlah pajak yang terutang.
2 Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak
benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan atau denda
paling banyak 4 empat kali jumlah yang terutang.
Pasal 39 Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 enam bulan atau denda paling banyak 4 empat kali jumlah
retribusi yang terutang.
Pasal 40
1 Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 enam bulan atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00 dua juta rupiah.
2 Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1 dan
ayat 2, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 lima juta
rupiah.
3 Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dan ayat 2 hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
4 Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dapat ditinjau kembali dengan Peraturan
pemerintah.
Berdasarkan atribusi wewenang penetapan sanksi pidana Perda menurut UU Pemerintahan Daerah dan UU Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa: 1.
Sanksi pidana Perda menurut Pasal 143 UU No. 22 Tahun 1999 dapat memuat sanksi pidana kurungan selama-lamanya 6 enam
bulan. Adanya frasa “dapat memuat acaman pidana kurungan” menunjukkan bahwa sanksi pidana pada Perda pajak dan retribusi
daerah bersifat fakultatif, artinya dapat digunakan tetapi juga dapat tidak digunakan. Sanksi pidana akan digunakan atau tidak
digunakan, hal itu sangat tergantung pada pertimbangan pembentuk Perda apakah kaidah di dalam perda dipandang perlu
ditegakkan dengan sarana hukum pidana atau tidak. 2.
Menurut UU No. 18 Tahun 1997 jo. UU No. 34 Tahun 2000, sanksi pidana dapat berupa pidana penjara selama-lamanya 2 dua
tahun dan atau denda sebanyak 2 dua kali jumlah yang terutang. Adanya frasa dan atau denda, maka pidana yang dapat
diancamkan dapat bersifat komulatif antara pidana kurungan dengan pidana denda. Ketentuan sanksi pidana yang demikian ini
merupakan bentuk penyimpangan terhadap Buku Pertama KUHP, karena menurut stelsel KUHP ketentuan sanksi antara pidana
pokok dengan pidana pokok lainnya bersifat alternatif. Walaupun demikian apakah secara yuridis hal itu bertentangan dengan buku
pertama KUHP dan UU No. 22 Tahun 1999 yo. UU No. 32 Tahun 2004, menurut hemat penulis tidak bertentangan, karena di dalam
Pasal 103 KUHP ada pengecualian yang dimungkinkan oleh UU. Walaupun dari sisi perundang-undangan penyimpangan
atas Buku I KUHP dimungkinkan, tetapi ada kemungkinan lain akan terjadinya suatu keadaan penetapan pidana yang berbeda-beda
antar daerah Kabupaten Kota atas suatu perbuatan yang sama, yaitu ada daerah yang mendasarkan pada maksimum sanksi pada
UU No. 22 Tahun 1999, tetapi daerah lain mendasarkan pada maksimum sanksi yang ditetapkan berdasarkan UU No. 18 tahun
1997 yo UU No. 34 Tahun 2000. Kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan terjadinya disparitas penetapan maksimum sanksi
pidana antar daerah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian berkenaan
dengan adanya perbedaan dasar hukum yang menjadi acuan
penetapan sanksi pidana, ialah persoalan apakah sanksi denda yang dimaksudkan di dalam Perda sebagai denda administrasi ataukah
denda pidana. Pembedaan antara sanksi denda administrasi dan denda pidana penting berkaitan dengan uang hasil eksekusi akan
dimasukkan ke Kas Daerah ataukah Kas Negara.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah dalam Disertasi, data yang disajikan dan dianalisis berikut ini merupakan jawaban atas dua
persoalan utama, pertama apakah kebijakan penetapan perbuatan dan penetapan sanksi pidana telah mempertimbangkan fungsionalisasi Perda
Pajak dan Retribusi Daerah pada tahap aplikasi hukum ? dan kedua faktor- faktor apakah yang mempengaruhi fungsionalisasi sanksi pidana Perda ?
A. Penyajian Data. 1. Fungsionalisasi penetapan sanksi pidana Perda Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif berbagai
hal yang terkait dengan fungsionalisasi sanksi pidana Perda Pajak dan Retribusi Daerah, secara detail data disajikan berdasarkan urutan
sebagai berikut. a. Badan yang menetapkan Perda Pajak dan Retribusi
Telah diuraikan pada BAB II halaman 121, pungutan uang kepada rakyat yang bersifat memaksa berupa pajak atau
retribusi berpotensi menindas rakyat, sehingga di dalam hukum pajak berlaku adagium “tidak ada pajak tanpa persetujuan
parlemen no taxation without representation”. Sehubungan dengan adagium itu, hukum menetapkan segala bentuk pungutan
kepada rakyat harus melalui persetujuan parlemen dan dituangkan