Evaluasi Kondisi Lingkungan Perairan Muara Badak, Kalimantan Tirnur kaitannya dengan Larva Kepiting Bakau (Scylla sp.))

EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN MUARA
BADAK, KALIMANTAN TIMUR KAITANNYA DENGAN
LARVA KEPITING BAKAU (ScyZZa sp.)

OLEH

DHANI DIANTHANI

PROGRAM PASCASARJANA
TNSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK

DEANI DIANTHANL Evaluasi Koadisi Liigkungan Perairan Muara Badak,
Kalimantan Timur kaitannya dengan Larva Kepiting Bakau (Scyflasp.). Dibawah
bimbingan Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA dan Dr. Ir. Salistiono, MSc
Sebagai salah satu swnber daya perikanan yang berniIai ekonomis penting kepiting
bakau (Scyflasp.) diduga populasinya telah mengalami penurun, baik sebagai akibat dari
kegiatan pengrusakan habitat hidupnya, yaitu lahan mangrove yang dikonversikan untuk
wilayah pertambakan maupun peruntukkan lainnya d m pemanfaatan kayu-kayu

mangrove, maupun upaya penangkapan kepiting bakau yang berlebihan (overfishing)
yang tidak memperhatikan aspek kelestariannya. Dampak ekologis adalah
menghilangnya biota tersebut pada mats nmtai ekosistem yang akan mengganggu
keseimbangan alamiah ekosistem hutan mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengkaji kondisi lingkungan perairan yang baik bagi kehidupan larva kepiting
bakau di dam. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi tentang
keberadaan dan densitas larva kepiting bakau yang berkaitan dengan kondisi, yang dapat
berguna bagi data dasar kegiatan budidaya.
Penelitian ini dilaksanakan di perairan hutan mangrove, Kec. Muara Badak, Kab.
Kutai Timur, Kalimantan Timur. Penelitian ini berlangsung sejak Juli-September 2000.
Terdapat 7 stasiun penelitian (A, B, C, D, E, F dan G) yang dipusatkan di sekitar
ekosistem mangrove dan ditentukzm berdasarkan pengamatan visual secara meyeIwuh
terhadap penyebran vegetasi mangrove baik jenis maupun kewpatannya serta
karakteristik khusus yang terdapat pada stasiun-stasiun tersebut.
Bedasarkan fiasil g e n g u p ~
selama penelitian, .suhu air pada perairan Muara Badak
berkisar antara 29-31 C , salimtasnya berkisar 19-29 9i0, pH 5,5-7,8, konsentmsi nitrit
0,001-0,014 ppm, kisaran konsentrasi nitrat 0,2884,49 ppm, kisaran konsentrasi
ammonia 0,032-0,89 1 ppm, kisaran konsentrasi ortophosphat 0,00 1-0,113 ppm,
sedangkan konsentrasi oksigen terlarut 2,76-5,39 ppm

Dalam pengamatan yang dilakukan di perairan Muara Badak hanya terdapat 9
spesies dari 4 famili pohon bakau Dari famili Rhizophoraceae terdapat jenis Rhizophora
apiculata, R mucronata, R stylosa. Bmguiera gvmnorrhzza dan Ceriops decandra. Dari
famili Verbenaceae terdapai jenis Avicennia alba. Dari fbmili Sonneratiaceae terdapat
Sonneratia caseolaris, sedangkan dari famili Palmae terdapat jenis Padannus tectorius
dan Nyphafiuticans.
Perairan Muara Badak telah ditemukan sebanyak 24 jenis plankton baik
zooplankton maupun fitoplankton. Jenis fitoplankton yang terarnati dari kelompok
Bacillariophyta adalah Chaetocheros sp., T7mIassionh-ix sp., Nitzschia sp., Pleurosrgma
sp,Stephanopymu sp., Coscinodiscus sp., Rhizosolenia sp., Bacteriastrum sp., Bacilluriu
sp., BiriduIphia sp., Milosera sp., Thnlossionema sp., dan Nuvicula sp., kelompok
Cyanophyta adalah Trichodesmiurn sp. dan OscilCatoria ssp, dan kelompok Ctdorophyta
hanya terdapat 1 genus yaitu Spirogyra sp. Zooplankton yang teramati dari Protozoa
adalalt 4 genus Tintinopsis sp.. Prorosenhzmt sp., Triserarium sp. dan Ceratium sp.

Rotifera ada juga 1 genus yaitu Bmhionus sp., sedangkan Crustacea ada 3 genus yaitu
Acartia sp., Daphia sp. dan Calanus sp.
Bedasarkan Analisis Kompotten Utama (Princ~jxdComponent Analysis, PCA)
dan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis, CA) terhadap variabelvariabel kualitas air, jenis mangmve, substrat dan jenis pbkton di perairan Muara
Badak. didapatkan karakteristik stasiun-stasiun habitat dimana Iarva kepiting bakau


didapatkan.
Pada beberapa stasiun jumlah larva kepiting bakau yang didapatkan relatif rendah.
Keberadaannya diduga karena faktor karakteristik yang mencirikan tiap stasiun. Stasiun
C,D dan G memiliki karak?eristik pH, s d u , nitrit WOz) dm ortophospat yang tinggi,
denvegetasi mangrove Rhizophora mucronata, Panabnnus tectorius dan Sonerafia.
caseolaris.
Sedangkan jenis plankton yang teramati adalah Stepharwpyma sp.,
TMosszonema sp., Pleurasigma sp., ProrosenhYm sp.,. Brachionus sp. Bacteriushzrm
sp., Biddu&hia sp-, Thalassiontrix sp., Trichodesmium sp., OsciZiatoria sp. dan Daphnia
sp. Fase latva kepiting bakauyang teramati adalah zoea.
Stasiun A, B, E dan F dicirikan oleh karakteristik suhu, konsentrasi ortophospat,
konsentrasi amonia dan kandungan
keasaman perairan (pH) konsentrasi nitrit m),
nitrat yang cukup tinggi dan jumlah larva yang relatif banyak pula dengan substrnt liat
berpasir. Secfangkan jenis mangrove yang tumbuh di stasiun ini adalah Bruguera
m r r h i z a , Rhizcphora sqlosa, Nypha jfuticans, R apiculafa, Avicenia alba,
Pan&tecrorius dan Soneratia cuseoIarisSJenis plankton yang teramati adalah
kcillaria sp., Acartia sp., Colanus sp., Chaetocheros sp., Rhizosolenia sp, Milosera sp.,
dan Navicula sp.


SURAT PERNYATAAN

Dengan ini menyatalcan bahwa tesis yang berjudul :

EVALUASI KONDfSI LINGKUNGAN PERAIRAN MUARA BADAK,
KALIMANTAN TIMUR KAITANNYA DENGAN LARVA KEPITING
BAKAU (Scyla sp.)
&ah

benar mempakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikaa

Sernua sumber data dan infonnasi yang digunakan telah dinyatakan secarajelas clan dapat

diperiksa kebexmmmya

EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN MUARA
BADAK, KALIMANTAN TIMUR KAITANNYA DENGAN
LARVA KEPITING BAKAU (ScylEa sp.)


DHANI DIANTHANI
IKL 996 15

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Magister Sains
Pada
Program Pasea Sarjana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARTANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul

:Evaluasi Kondbi Lingkungan Perairan Muara Badak,

Kalimantan Tirnur katitannya dengan Larva Kepiting
Bakaa (S&
sp)

Nama Mahasiswa

: Dhani Dianthani

Nomor Register Pokok

: 9%15

Program Studi

: Ilmu Kelsutan

Meoyetojui :
1. Komisi Pembimbing,

Ketua

2. Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan


.
.-

am Pasca Sarjana IPB

u
4
Dr. Ir, Mutia Purba, MSc

Tanggal LuIus : 14 Januari 2002

frida Manuwoto, MSc,

RIWAYAT HIDUP

DHANI DIANTHANL

Lahir di Surabaya, 18 Mei 1976, merupakan anak

pertama dari dua bersaudara dari Adriyadi dan Melina Hutabarat.

Menamatkan Sekolah Dasar Gayungan 2 di Surabaya pada tahun 1988, Sekolah
Menengah Pertama 22 di Surabaya tahun 1991 dan Sekolah Menengah Atas 16 di
Surabaya tahun 1994. Jenjang pendidikan tinggi dimulai pada tahun 1994 pada program

studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan. Universitas Mulawarman lulus pada tahun
1999.
Pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan strata 2 pada Program Pascasajana
Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan lulus pa& tanggal 14 Januari 2002.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sampailcan pada Tuhan Yesus Kristus karem atrts lcasih
karunia Beliau maka penulis &pat menyelesaikan tesis ini.
Dengan sefesainya tesis ini maka dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Ir.
Sulistiono, MSc. masing-masing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, atas
waktu, saran dan bimbingan beliau sehingga tesis ini &pat terselesaikan.
Penelitian yang berjudul : Evatuasi Kondisi Lingkungan Perairan Muara
Badak, Kalimantan Timur kaitannya dengan Lawa Kepiting Bakau (ScyICa sp.)


dilandssi oleh pmikiran beliau yang peduli terhadap kelestarian kepiting bakau
Akhintya penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi
p e m k

Bogor, 14 Januari 2002
Penulis

UCAPAN TERIMA KASEH
Penulis menyampaikan terirnakasih setinggi-tingginya kepada Tuhan Yesus
Kristus, atas kasih, damai sejahtera, sukacita, kekuatan dan segala kebaikan yang
ditunjukkan selama hidup dan menyelesaikan kuliah serta tesis ini. Tesis yang berjudul

Evaluasi Kondisi Lingkungan Perairnn Muars Badak, Kalimaatan
kaitannya dengan Larva Kepiting B a k u (Scyfla sp.)

,s e b d

Timur

kaqa yang sangat


sederhana yang penulis persembahkan bagi peIestarian karya ciptaan Tuhan.
Dia berjanji untuk mengakhiri apa yang Dia telah mulai, and He does it ! Segala
pujian dan horrnat dan kemuliaan hanya bagi Dia selamanya

Pada kesempatan ini penulis ingin menyarnpaikan u c a p terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada :
1.

Papa Adriyadi, Mama Melina Hutabarat d m Adikkx tersayang Anggun,
untuk kasih dan perhatian yang tetap dan tidak pernah berakhir. I love you.

2. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA dan Dr. fr. Sulistiono, MSc. yang telah

memberikan perhatian dan bimbingan sejak awal penelitian hingga
penyelesaian penulisan tesis ini. Semoga Tuhan Yesus Kristus senantiasa
memberikan kasihNya dan mencurahkan anugrahNya melimpah.
3. Bapak Wawan clan B u Linda Hartawan untuk kasih, dukungan dan

perhatian yang selalu tersedia. Saya akan selalu mengingat waktu-waktu

yang kalian telah berikan. Thank you.

4.

Welly Simbar, Robby Wanggai, Pelra Y. Sekwn dan Agustina TB, dan
jemaat di Samarinda untuk kasih, dorongm dan dukungan kalian selama
saya kuliah disini. You always be in my heart, guys.

5. Dike H. Siahaan,

Lamris Napitupuly Rosalin G. Tobing, Junita Sutanto,

Jdia Eka Astarini untuk d m persahabatan, sukacita, teguran dan... for

being a good friend. Sulit mencari d m melupakan yang seperti Italian di
dunia ini. There are none like you.

6. Teman-teman di Samarinda yang selalu menanyakan kapan saya kemWi.
I miss you too, guys.
7. Teman-teman di IKL 99, kalian memberikan pengalaman yang indah di

masa muda saya
8. Teman-&man di GAP Bogor, buat jxmahhtan dan persau-

yang

tulus. I wish we. always be together...
9. Semua orang yang telah membantu penulis, untuk kasih dan doronganuya

yang ti& dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Tuhan Yesus Kristus memberkati

DAFTAR TABEL

...............................................................

DAFTAR GAMBAR

............................................................

I. PENDAHULUAN ............................................................
1.1. Latar Belnrkang ........................... .
......................
1.2. Tujuan clan Manfaat Peneiitian .................................
1.3. Hipotesis ..........................................................
1.4. Pendekatan Masalah ............................................

Halaman
...

X~II

xiv
1
1
1
1
2

I1. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................
2.1. Kepiting Bakau .................................................
2.1.1. Klasifikasi Kepiting Bakau .......................
2.1.2. Daur Hidup dan Habitat Kepiting Bakau
......
2.1.3. Perkawinan dan Pemijahan ........................
2.1.4. Makanan dan Kebiasaan Makan
...............
2.1.5. Perkembangan Larva Kepiting Bakau .........
2.1.6. Kualitas Air ..........................................
1. Suhu
..........................................
2 . Salinitas .........................................
3. Derajat Keasaman (pH) ........................
4. Nibit(N02)
.................................
5 . Nitrat (N03) .....................................
6. Amonia (NH3-N) ................................
7. Ortophospat (PO4-P) ...........................
8. Oksigen terlarut @O) ...........................
9. Fraksi Substrat
.................................
2.2. Hutan Mangrove
..........................................
2.2.1. Pengertian Hutan -grove
........................
2.2.2. Potensi Hutan Mangrove
........................
III. METODOLOGl PENELITIAN ........................................
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
................................
3.2. Mat dan Bakm Penelitian .....................................
3.3. Metode Penelitian
.........................................
3.3.1. Lokasi Penelitian ....................................
1 Deskripsi Lokasi Penelitkin
..................
2. Penentuan Stasiun Penelitian
...............
3.3.2. Prosedur Pengumpulan Data ......................
1. Kerapaatan Jenis Mangrove .....................
2. Kualitas Air, Substrat dan Semsah ............
3. Pengambilan Contoh Plankton ...............
4. Pengambilan Contoh Lama Kepiting Bakau..

.

33
34

3.3.3. Analisa Data ................................................
1. Kelirnpahan Larva Kepiting f3akau .............
2. Kerapatan Mangrove ..............................
3.Pengelompokkan Habitat ........................
3.1. Analisis Komponeo Utama ..........
3.2. Analisis Faktorial Koresponden ......
4. Penghittmgan Data Plankton .....................

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................

Kadteristik Habitat Daerah Penelitian ....................
4.1.I . Kualitas Air ...........................................
1. Suhu Air ...........................................
2 . Salinitas ...........................................
3. Derajat Keasaman ................................
4. Nitrit (N02) .......................................
5 . Nitrat (NO3) .......................................
6. Ammonia (NH3-N) ...............................
7. Ortophospat (P04-P) ............................
8. Oksigen Terlarut (DO) ...........................
4.1.2. Vegetasi Mangrove ..................................
1. Komposisi dan Penyebaran Jenis ..............
2. Kerapatan Jenis .................................
4.1.3. KetimpahanPlankton ...............................
4.1.4. Substrat .................................................
4.2. Hubungan Larva Kepiting Bakau dengan Kamkteristik Habitat
4.1.

V . KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................
5.1.
5.2.

Kesimpulan ...................................................
...........................................................
S-

DAFTAR PUSTAKA

...................................................

DAFTAR TABEL

Teks

Nomor

1.

Alat clan Bahan yang digunakan selama penelitian ...... ... ......

2.

Deskripsi stasiun-stasiun peneIitian ...... ............ ... ... ... ......

3.

Parameter yang diukur, Satuan, AlatlMetode dan Tempat
Pengukuran ...... .............. ..... ... .. ............... ...... ... ...

.

.

.

4.

Data Kisaran Parameter Kualitas Air Perairan Muara Badak ...

5.

Data Jumlah dan Ease Larva Kepiting Bakau

...... ......... ... ...

Nomor

Halaman

Teks

...............................................

1.

Diagram Pendekatan Morsalah

2.

Daur Hidup Kepiting Bakau menurut Soim, 1994........................

5

3.

Perkembangan Larva Kepiting Bakau (ScyIIu sp.) dari telur sampai
fase Zoea 5 (menurut Keenan, er al., 1998).................................

9

Larva Kepiting Bakau (Scylu sp.) fase Megalopa (menurut Keenan, et
al., 1998). ........................................................................

9

Larva Kepiting Bakau (ScyZIa sp.) fase Kepiting Muda (menurut
Keenan, et al., 1998)............................................................

10

4.
5.

.........................................................

2

6.

Peta Lukasi Penelitian

7.

Peta Stasiun Penelitian Muara Badak, Kalimantan Timur

8.

Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) KoreIasi antat Variabel (A)
@ sebaran skasiun penelitian (B) Sumbu 1 clan Sumbu 2 (FIX E2) ....

47

Grafik Analisis Kornponen Utama (PCA) Korelasi antar Variabel (A)
dan sebaran stasiun penelitian (E3) Sumbu 1 dan Sumbu 3 (Flx F3) ....

48

Grafik Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Awiysis,
CA) Stasiun Pengamatan dengan Mangrove pada Surnbu 1 dan 2 (El
x F2). ...........................................................................

54

9.
10.

11.

12.

13.

...............

30

31

Grafii Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Anaiysis,
CA) Stasiun Pengamatan dengan Mangrove pads Sumbu 1 dan 3 (El
x F3) ............................................................................

55

Graflk A d i s i s Faktorid Koresponden (Correspondence A ~ b s i s ,
CA) Stasiun Pengamatan dengan Plankton pada Sumbu 1 dan 2 (F1 x

59

Grafik Andisis Falctorial Koresponden (Correspondence Amtysis,
CA) Stasiun Penaamatan dengat Plankton pada Sumbu 1 dan 3 @I x

14

I5

16.

Grafik Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis,
CA) Stasiun Pengamatan dengan Substrat pada Sumbu 1 dan 2 (F1 x
F2) ...............................................................................

63

Larva Kepiting Bakau (ScyIia sp.) fase mea yang tmtangkap di lokasi
penelitian di Perairan Muara Bad& Kalimantan Timur. (foto oleh
penulis) ..........................................................................

66

Larva Kepiting Bakau (Sqilln sp.) fase megalopa yang tertangkap di
lokasi penelitian di Perairan Muara Badak, Kalimantan Timur. (foto
oleh penulis) ....................................................................

67

1.1. Latar Belakang

Sebagai salah satu sumber daya perikanan yang bernilai ekonomis penting
(SuIistiono, dkk, 1994), kepiting bakau (Scyiia sp.) diduga populasinya telah
mengalami penunman, baik sebagai akibat dari kegiatan pengrusakan habitat
hidupnya, yaitu lahan mangrove yang dikonversikan untuk wilayah pertammaupun peruntukkan laimya dan pemanfaatan kayu-kayu mangrove, maupun upaya
penangkapan

kepiting

bakau

yang

berlebihm

(ove@shing)

yang

tidak

memperhatikan aspek kelestariannya. Dampak ekologis adalah menghilangnya biota
tersebut pada ma- nintai ekosistem yang akan mengganggu keseimbangan alamiah
ekosistem hutan mangrove.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan habitat hidup
kepiting bakau. Upaya ini merupakan bagian dari kegiatan konservasi dalam rangka
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi lingkungan perairan
yang baik bagi kehidupan larva kepiting bakau di dam.

Dari penelitian ini

-

diharapkan dapat diperaleh informasi tentang keberadaan dan densitas larva kepiting
bakau yang berkaitan dengan kondisi, yang dapat berguna bagi data dasar kegiatan
budidaya.

1.3. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini a d a i d kondisi lingkungm perairan
akan memberikan pengaruh terhadap densitas larva kepiting bakau.

1.4. Pendekatan Masalah

Untuk mengetahui parameter yang berperan, maka perlu pendebtan rnasalah

1.

Menetapkan tipe

habitat

larva

kepiting bakau

berclasukan variasi

karakteristik lingkungan.

2.

Pada tiap tipe habitat diamati/diukur jenis dan kerapatan mangrove,

parameter kualitas air dan substrat serta ketersediaan makanan alami larva
kepiting bakau.

3.

Selanjutnya dapat ditentukan densitas larva kepiting bakau berdasarkan

kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.

Kualitas Air

Alami

1

I Tiue Habitat :

angr grove

Densitas larva
kepiting bakau

I

1
dengm tambak Iuas
2.Mangrove dengantambak tidak Iuas

I

Gambar 1. Diagram Pendekatan Masalah

XI. TIIYJAUAN PUSTAKA

2.3. Kepiting Bakau
2.1.1.

Kla~ifikaSiKepiting Bakau

Menurut 0c:mardjati (1992), klasifikasi kepiting bakau adalah sebagai
berikut:
Filum

: Arthropods

Kel as

: Crustacea

Sub kelas

: Pvfitlacostraca

Ordo

: Decapoda

-

Sub Ordo

: Branchyura

Famili

: Portunidae

Genus

: Scylla

Genus Scylla terdiri dari tiga jenis dan satu varieas (Estampador 1949 dalam
Mo'toh, 1977), yaitu : ScyIIa serrata (Forskal), Scylla oceattica (Dana), ScyIIa
mquebarica (Fahricius) dan Scylia serrata Var. paramamosain (Estampador).

2.1.2.

Daur hidup dan Habitat Kepiting B a k u
Kepiting b h u dalarn menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai

ke perairan laut. kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke
perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung,
men&

makanan atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan

perkawinan akan memasuki perairan bakau atau tarnbak.

Setelah perkawinan

berIangsung, secara perlaha-lahan kepiting betina yang telah melakukm perkawim

ini akan beruaya ke perairan bakau atau tarnbak ke tepi pantai dan selanjutnya ke

perkawinan atau
tengah laut untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melak~~kan
telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak irtau di sela-sela bakm atau paling
jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang
organisme mak8nannya melimpah (Kasry, 1996).
Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari
perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, khususnya terhadap
suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka &an munc~dlarva tingkat 1
(Zoea I) yang akan terus menerus berganti kulit, kemudian terbawa arus ke perairan
pantai hingga mencapai tingkat Zoea V (lima kali berganti kulit) dan proses tersebut
membutullkan waktu minimal 18 hari.

Setelah itu zoea V &an mengalami

pergantian kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan
kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat
megalopa, kepiting bakau akan beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan
pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke
perairan berhutan bakau untuk kembali melakukan perkawinan.
Menurut Ong (1977) dalam Moosa, er al. (198.5), kepiting bakau riulai dari
telur

hingga

dewasa

mengalami beberapa

tingkat

perkembangan.

Tingkat

perkembangan tersebut ialah zoea, megalopa, kepiting ~ n u d adar~kepiting dewasa.
Pada setiap kali pergantian kulit zoea turnbuh dan berkemballg yang antara lain
ditandai dengan setae renang pa& endopod maxilliped-nya (Warner, 1977 daiarn
Kasry, 1986). Megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering dimjuk sebagai
kepiting pada tingkat p s c a larva. Dari tingkat megalopa ke titigkat kepiting muda

-

diperlukan 11 12 hari (Motoh,1977).

Kepiting bal~au,menurut Afrianto clan Liviawaty (1992), dapat dikatakan
dewasa pada umur 12-14 bulan dan dapat memijah. Untuk mendapatkan gambman
yang lebih jelas tentang daur hidup kepiting bakau, dapat dilihat pada Garnbar 2.

2.13.

Perkawinan dan Pernijahan

Menurut Afrianto dan Liviawaty (l992), jenis kelamin kepiting sengat mudah
ditentukan, yaittl dengan mengamati alat kelaminnya yang ada di bagian perut
(dada).

Pada kepiting jantan urnumnya terdapat organ kelarnin yang berbentuk

segitiga yang sempit dan agak meruncing di bagian depan.

SerJangkan organ

kelamin betina berbentuk segitiga yang reiatif besar dan bagian depannya agak
t?unpul (lonjong).
I

---1

Gambar 2. Daur hidup kepiting bakau menurut Soim, 1994

Jenis keiamin kepiting juga &pat

dibedakan dengan nrembandinglcan

pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh. Kepiting jantan dan betina y m g lebar
karapaksnya 3-10 cm berat capitnya sekitar 22% dari berat tubuh. Setelah ukuran
karapasnya mencapai I 0-1 5 cm capit jantan menjadi lehih berat yaitu 3035% berat
tubuh, sedang capit betina tetap sama yaitu 22% (Soim.1993).
Mcnurut Soim (1993), kepiting bakau dewasa akan bemaya ke laut lepas
untuk meiakukan pemijahan. Dalam melakukan ruaya biasanya ~nengikutiperiode
buIan, khususnya pada bulan-bulan yang barn dengan jarak r u y a tidak lebih dari
satu kilometer dari pantai dengan kedalaman tertentu. Kepiting b a h u j u p sering
ditemukan memijah di tambak-tambak yang dikelola secara tradisiclnal.
Bila saat perkawinan akan berfangsung, menurut Kasry (1996), kepiting
bakau bet in^. akan mclakukan pergantian kulit (moulting).

Pada saat demikian,

kepiting betim yang dagingnya masih sangat lunak akan mengeluarkan bau-bauan
yang bertujuan untuk menarik perhatian kepiting jantm.

Icepiting juntan y m g

tertarik akan datang untuk mengawini kepiting bcAina tersebut.

Kepiting jantan

mengapit kepiting betina di bawah perutnya dengan posisi bagian penrt sama-sama
menghadap ke dasar peraim. Pada saat demikian perge&n

renangnya dilaMran

oleh kepiting jantan &I d a p t berlangsung sampai lima hari atau lebih.
Perkawinan biasanya berlangsung 7-12 jam dan setelah itu berpisah

dilanjutkan dengan kopulasi kurang lebih 7 hari, kemudian telrx menetas selama
kurang lebih 3-5 jam (Torro,1982).
Kepiting bakau meletakkan telur-telurnya dibawah perut.

Telur-telur ini

melekat pada umbi-umbai kaki renang (Moosa, et al., 1985). Kepiting betina

diperkirakan mengadung dua sampai delapan juta telur tergantung ukauan dan

umurnya dan yang berhasil menempel pada pleopodnya sekitar sepertiganya (Kasry,

1996).
2.1.4.

Mnkanan dan Kebiasaan Makan

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), larva kepiting bakau membutuhkan

pakan dalam jumlah tertentu untuk rnenunjang aktivitas pertiunbuhamya.

pakan yang dikonsumsi kepiting juga bWvariaSi, tergantung @a

Jenis

ukuran kepiting

yang dipelihara. Kepiting yang masih berbentuk larva menyukai pakan yang berupa
plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan uku-an mulut kepiting
yang juga relatif kecil. Menurut Kasry (19961, berbeda dengall kepiting dewma,
Iarva kepiting bakau lebih bersifirt pemakan plankton, khususnya larva tingkattingkat awal. Makanamya terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom,

T e t r d m i s chuiz, ChloreIZa sp., rotifer (Brachionus sp.), larva echinodermata. larva

berbagai mofuska. cacing dan lain-lain.

Dengan kata lain, makin tinggi tingkat

lruranya makanan pun lebih bersifkt karnivor-ornnivor.

Dalam pemelihmwn di laboratorium, makanan hidup yanp diberikan keyada
larva diusahakan berukuran tub& yang lebih kecil daripada u k m larva seslmi
dengan tingkatan larvanya. Zoea tingkat-tingkat a w l (meal, 2 dan 3) tidak aktif
mencari makanan. Itulah sebabnya untuk Iarva tingkat-tingkat a w d ini sebaiknyo

diberi rotifer (Brachionus plicotifis) dm fitoplankton (Kasry,1996). Menurut
Aiiianto clan Liviawty (1992) j i b tel& memasulci fase megaJopa, kepiting

menyuliai organisme yang bedcuran relatif besar.
Menurut penelitian yang dilaicukan Munir (1999), menunjukkan pakan alami

berupa Brachionus sp. dengan kornbinasi Tehzseimis sp. memberikan kehgsungan
hidup yang paling tin&.

Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemahan bangkai
(omnivorous-scavenger).

Mereka m e a n tumbuh-tumbuhar~,bangkai hewan,

bahkan bangunan-bangunan kayu dan bambu di tamhak (Kasry, 1996). Menurut
Soim (1 999), kepiting bakau lebih rnenyukai makanan alami herupa algae, bangkai
hewan dan udang-udangan. Rajinder, et al. (1986)dalurn Mangampa, et al. (1987)
menyebutkan bahwa aktivitas makan kepiting jantan lebih tinggi daripada aktivitas
makan kepiting betina. Selanjutnya Lavina (1977) daiam Mangsmpr, et al. (1987)
mendapatkaa bahwa pada kepiting betina energi yang ada digunakan untuk
bertumbuh dan perkembangan gonad sehingga aktivitas makan kepiting bedewasa menurun.

2-15. Perkembangan Larva Kepiting B a b u
Perkembangan larva kepiting bakau secara m u m ditunjukkan dengan
perkembangan morfologi larva yaitu ukuran bukaan mulut larva, pertambahan

panjang total, saluran pencemaan, pembentukan mata dan warm (Slatnet, et d..
1996).

Tingkat perkembangan pada kepiting dapat dibagi dalam tigd fase yaiiu fase
telw (embrionik), fbe larva dan f b e kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat wea

1, 2, 3, 4, 5 dan megalopa, sedangkan pada fase kepiting dikend dengan tingkat
kepiting mu& dan kpiting dewasa. Waktu yang diperlukan setiap tingkat dari m a
1 sampai zoea 5 umumnya 3-5 hari, sedang Iamanya perkembangan pa& fase

megalopa 11-12 b-ipada dinitas 29-33 % sebelum herganti Irc~litmenjadi tingkat
kepiting pertams. Bila salinitas air pemeliharaan lebih rendah (2 1-27 %), periode
megalopa berlangsung rnenjadi 7-8 hari (Kasry, k 996).

Gambar 3. Perkembangan Larva Kepiting Bakau (Scylla sp.) dari telur
Zoea 5 (menurut Keenan, et al., 1998).

fase

Gambar 4. Larva Kepiting Bakau (Scyla sp.) faoe Megalopa (menurut Keenan, et
al.. 1998).

Gmbw 5. L a m Kepitmg Balm (Scylu sp.) fase Kepi-

Muda (menurut Keenan,

et al.,1998).

M e n d W j o n o , ef 01. (1994), pda perkembgm setiap sub stadium
liwa kqnting bakaumempunyai ciri s
e
w berikut :
Zma I : ~

t

m paqiangtubuh
s
~1,15 mm, duri m&m 035 mm, duri

dwsal 0,48 mm, duri lateral 0,19 mm, mtrr mmempeI, antmule tiW bersegmen,

pendek dan mempunyai 3 &tes
a n h a menapah duri pen&k

panjang antem beroturi p$mg, mwte

dan s&a perujang, mandibule lebar, d

f has

dua gigi dan pinggirzta m
g
itajam, d d l e mempunyai edqmiite
bersegmen 2, segm-1

sebuah do pi it^ titerminal

den-

1 se@

segmen-2 den*

deqm

bemeginen yang mempmyai 4 & m i dsea dm 2 sub

maxillepd-1 clan maxikpd-2 mempyai....4 rmlataqry
.-. seta-..pads
.
.

a
m
,

6 seta, madla

aw~menterdiri

5 pplmm~re,p&

A

pii~&-2

endopodite maxilluie seperti pada mea I; exopodite pada kedua maxilleped masingmasing mempunyai 6 natatory seta; pleomers3 sampai pleomere-5 mempunyai duri
lateral terputus; bagian dalam telson furca terlihat perkembangan 1 pasang seta kecil.

Zoea 3 : panjang tubuh 1,93 mm, duri rostrum 0,52 mm, duri dorsal 0,63 mm, duri
lateral 0,24 mm, antennde seperti pada zoea 2 tetstpi Iebih besar ;antena merupakau
kuncup kecil yang berpangkal pada flagellum, exopodite pada maxillepd-1 terdiri
dari 8 natattory seta dan pada maxilleped-2 terdiri dari 9 natatory seta;
perkembangan bagian thoracic belum sempuma; duri lateral pada pleomere-3 sampai
pleumere-5 p j a n g dan abdomen menpunyai 8 somite.
Zoea 4: panjang tub& 2,40 mm, duri rostnun 0,72 mm, duri dorsal 0,86 mm, duri
lateral 0,28 mm; antennule mempunyai aesthetes panjang dan 1 seta pada terminal
serta 2 aesthetes panjang dan 2 seta pada sub terminal; aatemt mempunyai flagellum
atau endapodite panjang ;maxilleped- 1 terdiri dari 10 natatory seta pada exopochte,

pa& maxilleped-2 terdiri dari 10 seta p j a n g dan 1 atau 2 seta pendek,
perkembangan thoracic semakin besar, terbentuk maxilleped-3 dan cheliped bercaga
dua (bifid); seta terdapat pada sekeliling posterior dan bagian lateral karapas;
abdomen dengan lcuncupkuncup pleopod pada pleomere-2 sampai pleomere-6, tiga
seta pada dorsal posterior dari pleomere-1, duri lateral bertambab pada pleomem-3

sampai pleomem-5; terdapat seta tambahan pada telson furca.
Zoea 5: panjang tubuh 3,43 mm, duri rostnun 1,07 mm, duri dorsal 1,31 mm, duri

lateral 0,32 mm; antennule dengan aesthetes &am

tiga tingkatan dan endopodiote

merupakan kuncup; endopodite antenna bertumbuh p j a n g ; exopodite pada
maxillped-1 terdiri dari 11 seta panjag dan 1-4 seta pendek, exopodite pada
maxilleped-2 mempunyai 12 seta panjang dan 2-3 seta pendek, rnaxilleped-3

munglua terdiri dari sedikit sew, seLunrh pereipoda bertambah panjang dan mulai
krsegmen; kuncupkuncup pleopod pada pleomere-2 sampai pleomere sudah
terbentuk dan exopodite terdiri dari sedikit seta; duri lateral pleornere-3 meluas ke
atah posterior sampai kin-kira 1-3 bagian anterior dari pleomere-5; terdapat 5
pasang seta pada telson furca.
Megalopa: panjang karapas (termasuk duri rostnun) 2,18 mm, lebar karapas 1,42

mm, panjang abdomen 1,87 rnrn, panjang tub& total 4,l mm; antenule merupakan
peducle dengan segrnen 3 besar dan 2 flagella satu flagella bersegmen tunggal dan
yang lain bersegmen 5; antena memanjang dan terdiri dari 11 segrnen; mandibule
keras berbentuk rnangkuk bergigi tajam pada bagian pinggir; maxiiulle dengan 2 duri
pendek pada segmen distal endopodite, cheliped mempunyai duri melengkung pada
pemukaan ventral dari ischiopodite, segmen yang lain tidak berduri; periopod-2
rnempunyai duri lurus juga terdapat pada ternurn, pereiopod-5 mempunyai dactylus
sedikit rata,dikelilingi 7-9 seta panjang pada bagian fuar, 3-5 seta pada bagian dalam

p d a hgian proximal.

2.1.6.

Kualitas Air

Pengamatan terhadap kualitas air sangat penting karena fkktor kualitas air &pat
menyebabkan perkembangan larva terganggu dan mempengaruhi kelangsungm
hidup larva kepiting bakau.

1. Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme laut dan estuaria (muara
sungai) tennasuk kepiting b a b u . P e ~ b a h a nsuhu sangat berperan dalam kecepatan
rnetabolisme dan kegiatan organisme lainnya.

Untuk clapat menyesuaikan diri

dengan perubahan suhu dilakukan dengan cam membenamkan diri dalam lubang
berlumpur atau melalui transpirasi dan pengubahan warna.

Pada suhu perairan yang tinggi laju metabolisme dan aktivitas gerak meningkat,
demikian pula sebaliknya.

Suhu juga berperan dalam berbagai fungsi organime

seperti laju perkembangan embrionik, pergerakan, pertumbuhrtn dan reproduksi.
Toleransi kepiting terhadap suhu ditentukan oleh tingkat umur, tingkat daur hidup

dan jenis kelamin (Kasry, 1996).
Menurut Hill (I974), kondisi perairan yang tepat pada tingkat stadia larva
khususnya satinitas dan temperatur tidak saja akan &pat menunjukkan tingkat yang
mereka kehendaki, akan tetapi juga kondisi dimana mereka dapat hidup normal.
Dikatakannya bahwa kurang dari 90% contoh larva tahan hidup (survive) pada
temperatur lebih dari 2 5 O dan
~ menurun kurang dari 50% pada suhu 36,5O~.
Ong (1954) meneliti pada tingkat temperature 24,5O~ sampai 3 1 . 5 ~pada
~
salinitas (3 1+2) ppt, mengemukakan bahwa mortalitas yang tinggi tejadi fase zoea I

dan zoea 11. Menurut Rusdi, et d.(1994), suhu air yang baik pada saat telur kepiting
menetas adalah 2 6 , 5 - 2 9 , ~ ~ Zoea
~.
ke lima pertama dicapai d d a m waktu 15 hari

pada suhu pemeliharaan rata-rata 27,5O~(Ong, 1964 &lam Kasry, 1986), 14-15 hari
pada suhu 2 2 , 5 O ~(Brick, 1974), 13-14 hari pada suhu 27%

(Motoh, 1977).

Sedangkan untuk pemeliharaan larva suhu yang baik adalah pada kisaran 28-31°c
(Marichamy dan Rajapackiam, 1992 dalam Yunus et al.. 1994).

Menurut Kasry (1996), pada saat pertama kali kepiting bakau ditetaskan, suhu air
laut urnumnya berkisar 25-27% dan secara gradual ke arah pantai akan semakin
rendah.

Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki

muara sungai akan dapat mentolerir salinitas air yang rendah dan suhu diatas loOc.

2. Salinitas
Menurut Nontji (1993), salinitas (kadar garam atau kegaraman) ialah jumlah
berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya
dinyatakan dengan satuan %O (permil, gram per liter).
Menurut Mardjono

ef

al. (1992), salinitas akan mempengaruhi keseimbangan

cairan, koefisien penyerapan, tekanan osmosis dan viskositas. Perubahan salinitas

akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme.

Untuk dapat

menyesuaikan diri dengan pembahan dinitas, kepiting akan mengubah konsentrasi
cairan tubuhnya sesuai dengan tingkungannya melahi kombinasi proses osmosis dan
difusi.

Menurut Kasry (1996), pada salinitas perairan yang rendah, larva tingkat-tingkat
akhir lebih toleran daripada larva tingkat-tingkat awal.

Keadaan ini diperlukan

karena larva tingkat-tingkai akhir harus mencari perairan rnuara sungai atau berhutan
bakau yang salinitasnya lebih rendah untuk berlindmg clan mencari makanan.
Biasanya kisaran total salinitas yang &pat ditoleransi organisme lebih besar pada
perairan payau, asin atau sangat asin dari pada perairan tawar.
Dalam penelitian pemeliharaan larva kepiting bakau yang dilakukan oleh Brick
(1974) serta Haesrnan dan Fielder (1983) dalam Yunus et al. ( 1994), masing-masing
menggunakan salinitas 33,O-34,s

stadium wea.

%o

dan 30 f 2 %U untuk pemeliharaan larva pada

Selanjutnya kelangsungan hidup tertinggi zoea diperoleh p d a

salinitas 33 %o (Hamid, 1992 &Iam lMardjono et al., 1992). Menurut Kasry (1996),
salinitas air yang digunakan cialam pemeliharaan larva kepiting bakau pa& tingkat
zoea berkisar 29-33 %O sedangkan pada fase megalopa perkembangan tercepat
dicapai pada salinitas yang lebih rendah yaitu 21-27 %o. Ong (1964) rneneliti bahwa

ScylCa serrara fase pasca larva pertumbuhan rata-mtanya pada salinitas 2 1-26 %a jauh

lebih cepat daripada salinitas 25-26
pada salinitas 29-33

%a

%o

atau 30-31 960.

Kasry (1996) menyatakan

umumnya telur kepiting bakau ditetaskan dan akan &pat

mentolerir salinitas air yang rendah yaitu berkisar 10-24 %a ketika melewati fase
larva.
Dalarn penelitian yang dilakukan Kasly (1996), umumnya pada salinitas
pemeliharaan 29-33 960 perkembangan dari zoea sampai megalopa memerlukan
paling kurang 18 hari dan setiap tingkat zoea berlangsung paling kurang 3-4 hari
sebelum berganti kulit menjadi tingkat selanjutnya. Tingkat megalopa berlangsung
selama 11-12 hari pada salinitas 29-33 %a sebelum berganti kulit menjadi tingkat
kepiting pertama.

Bila salinitas pemeliharaan lebih rendah, 21-27 %o, periode

megalopa berlangsung menjadi 7-8 hari.

Dalam perkembangannya megalopa

bergerak di alam ke arah pantai memasuki perairan payau (brakish water) yang
bersalinitas lebih rendah.

3. Derajat Keasaman (pH)
Menurut Fardiaz (1992), nilai pH air yang norma1 adalah sekitar netral yaitu

antara pH 6 dan 8, sedangkan pH air yang terpolusi, misalnya air buangan berbedabeda tergantung jenis buangannya. Sebagai contoh, air buangan pabrik pengalengan
mempunyai pH 6,2- 7,6, sedangkan air buangan pabrik pulp dan kertas biasanya
mempunyai pH 7,6-9,5. Pada industri-industri rnakanan, peningkatan keasaman air
buangan umumuya disebabkan oleh kandungan asam-asam organik. Air buangan
industri-industri bahan anorganik pada umumnya mengandung asam mineral dalam

jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi atau pH-nya rendah.

Adanya

komponen besi sulfur (FeS2) &lam jumlah tinggi dalam air juga akan meningkatkan

keasamannya karena FeS2 dengan udara dan air akan membentuk H2S04 dan besi
(Fe) yang terlarut. Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah alkali (pH
naik) maupun ke arah asam (pH menurun), akan sangat mengganggu kehidupan ikan
dan hewan air di sekitarnya.
pH air adalah parameter yang menunjukkan tingkat keasaman air yang
dihitung berdasarkan nilai konsentrasi ion @. Bila ion @ dalam air makin banyak,
maka pH makin rendah dan perairan bersifat asam. Sebaliknya makin sedikit ion
pH makin tinggi dan bersifat basa.
biokimiawi,

Nilai pH &pat rnempengarulu ahifitas

perubahan dalarn sikt kimia alami perairan

dan pencemaran

(Lin41979). Surnber atau penyebab perubahan keasaman air (pH) s u a t u perairam

adalah sifat tanah dasar d m kandungan karbondioksida (C02) dalam air. Bila tanah
suatu perairan merniliki potensi keasaman misalnya memililu kadar bahan organik
tinggi, maka pH air dapat turun (Ahmad, 1988).

Dari hasiI penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa kisaran pH antara 7,98,3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dpelihara; Yunus et al. (1994),
kisaran pH yang layak bagi pemeliharaan larva kepiting bakau adalah 8,O-8,4;
Haesman dan Fielder (1983) dan Soim (1999), batas optimum pH bagi kelangsungan
hidup kepiting bakau d l a h 7,2-7,8; Dianthani (1999) &lam

penelitiannya

menunjukkan kisaran pH 6,9-7,4 layak bagi kelangsungan hidup larva kepiting

bakau.
4.

Nitrit (Nos)

Udara terdiri dari sekitar 80% volume nitrogen dan 20% volume oksigen.
Fardiaz (1992) menyatitkan bahwa nitrit

dan gas

0 2

(Ne)
dibentuk dari reaksi antara gas NO

. ReakSi pembenNran ini tejadi Mam jwnlah relatif kecil, meskipun

dengan adanya udara berlebih. Pembentukan NO2 sangat lambat disebabkan
kecepatan reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi NO. Reaksi
pembentukan NOz berlangsung lebih lambat pa& suhu yang lebih tinggi. Pada suhu
1loo0 C jumlah NO2 yang terbentuk biasanya kurang dari 0,5% dari total NO,.

Kecepatan reaksi pembentukan NO2 dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen dan

k u d r a t dari konsentrasi NO. Hal ini berarti jika konsentrasi NO bertambah menjadi

dua kali maka kecepatan reaksi &an naik menjadi empat kali.
Hollerman dan Boyd (1980) dalarn Boyd (1982) menyatakan bahwa nib-it berasal

dari reduksi nitrat oleh W e r i &lam lurnpur atau air anaerobik. Ketidakseimbangan
dalam reaksi nitrifikasi dapat menimbulkan akumulasi nitrit.
Menurut Alaerts dan Santika (1987), nitrit (NOZ)biasanya tidak bertahan lama

dan mempakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia d m nitrat. Ilyas, et
al. (1987) dan Ranoemihardjo (1989), nitrit di perairan sebaiknya kurang dari 0,5

ppm.

Batas maksimum nitrit dalam persyaratan baku mutu air bagi budidaya

perikanan addah 0 2 5 ppm dan optimum 0,O ppm.
Konsentrasi nitrit yang tinggi dalam suatu perairan, menurut Boyd (19821,
bersifat toksik bagi organisme dan &pat menyebabkan kematian.
5, Nitrat (Nos)

-

Pembentukan NO3 di udara menurut Fardiaz (1992), melalui proses reaksi yang
melibatkan NO2 maksimum dan 0 3 sebagai berikut :
NO2

+

0 s

No3 +

0 2

Proses reduksi nitrat menjadi nitrogen bebas disebut denitrifikasi. Bakteri yang
berperan &lam proses ini adalah bakteri fakultatif anaerob. Mereka &pat berada di

perairan yang kaya oksigen namun juga aktif dalam keadaan suplai oksigen rendah.

Pada keadaan oksigen rendah, enzim bakteri bekerja untuk merubah nitrat.

Dari

kedua keadaan tersebut, respirasi dengan oksigen lebih baik daripada dengan enzym
bakteri untuk mereduksi nitrat (Rheinheimer, 1976).
Nitrat dan nitrit dirombak dari ammonia oleh bakteri aerob Nitrosomo~.rdan
Nztrobakter.

Pada proses tersebut dibutuhkan sumber karbon dan oksigen yang

cukup sebagai sumber energi (Chien, 1992).
Keberadaan nitrat dalam air d a p t menjadi indikator dari kesuburan perairan
karena nitrat mempakan senyawa yang dibutuhkan &lam

proses fotosintesa.

Semakin tinggi kandungan nitrat d d a m perairan, maka semakin subur perairan
tersebut dan keadaan ini baik selama tidak tejadi blooming plankton (Poemorno,
1988).
Konsentrasi nitrat menurut Liaw (1969) dalam Andriani (1999) diklasifikasikan
kesuburan perairan tersebut sebagai berikut : < 0,226 ppm, rendah ; 0,227-1,129

ppm, sedang ; 1,130-1 1,29 ppm, baik ; >11,30 ppm, sangat baik. Sedangkan pada
baku

mutu

air

golongan

A

yang

dikeluarkan

pemerintah

02/MENKLWl/l988, dinyatakan bahwa konsentrasi nitrat

Warn

Kep.

maksimum yang

dianjurkan adalah 5 m&l dan maksimum yang diperbolehkan adalah 10 mg/I.

6. Ammonia (NH3-N)
Menurut Boyd (1982), ammonia di d a m berasal dari pupuk, kotoran dan
pelapukan mikrobial dari senyawa nitrogen.

Tumbuhan secara cepat menyerap

ammonia, bakteri tertentu mengoksidasi ammonia menjadi nitrat dan ammonia

-

mungkin hilang melalui jalan lain. Dalam air, ammonia yang tidak terionisasi berada
dalam keseimbangan dengan ion ammonium tergantung pada pH dan suhu :
N H 3

+

Hz0

NH+4

+ OK- ; K = 1 0 - ~ . ~ ~

Ammonia yang tidak terionisasi sangat toksik terhadap organisme perairan, tetapi ion
ammonium relatif tidak toksik. Jumlah ammonia tidak terionisasi d m ion ammonium
disebut total ammonia nitrogen. Perbandingan total ammonia nitrogen yang
terbentuk sebagai ammonia yang tidak terionisasi meningkat dengan meningkatnya
suhu dan pH. Pengaruh pH terhadap konsentrasi ammonia yang tidak terionisasi
lebih besar dari pada pengaruh suhu.
Menurut Alaerts dan Santika (1987), ammonia merupakan senyawa yang
menjadi amonium pada pH rendah.

Ammonia di perairan berada dalam kondisi

teredulcsi. W d a (1984) dan Merkens dan Downing (1957) daiam Boyd (1982)
menambahkan, bila kadar oksigen terlarut rendah maka daya racun ammonia akan
meningkat.

Namun demikian, efek ini mungkin hilang &lam perairan karena

konsentrasi karbon dioksida biasanya tinggi jika kadar oksigen terlarut rendah.
Lloyd ditn Herbert (1960) rialam Boyd (1982), menyatakan bahwa toksisitas
ammonia menurun dengan naiknya konsentrasi karbon dioksi&.
The European Inland Fisheries Advisory Commision (1973) daiam Boyd
(1982), menyatakan bahwa konsentrasi yang toksik untuk perendaman jangka
pendek adalah antara 0,6 dan 2 mg/l m - N untuk kebanyakan spesies. Mudjiman
(1989) menyatakan bahwa agar organisme perairan tidak terganggu oleh senyawa
ammonia maka harus diupayakan kadarnya tidak lebih dari 1,2 ppm.

Sedangkan

pada baku mutu air golongan B yang diketuarkan pemerintah d a h n Kep.
02/MENKLWl/I988, dinyatakan bahwa konsentrasi maksimum yang dianjurkan
&ah

0,O 1 mgd dan maksimum yang diperbolehkan 0,5 mg/l.

7.

Ortophosphat (PO4-P)

Ortophophat merupakan bentuk fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh
organisme.

Fosfor merupakan nutrien kunci yang menjadi faktor pembatas

produktivitas primer di perairan. Fosfor sangat penting dalam metabolisme energi.
Kandungan fosfat minimal untuk pertumbuhan alga adalah 0,0184,090 ppm
(Andrias, I991 dalum Yuniar, 2000). Ketersediaan fosfor dalam perairan b e d
dari fosfolipid, gula terfosforilasi dan phitin. Untuk merombak senyawa fosfor

dibutuhkan mikroorganisrne. Mikroorganisme yang berperan &lam merombak
senyawa fosfor adalah Pseudomanas, Aeromonas. Bacillus, Micrococcus dan E. cofi
(Rheinheimer, 1991).
Chiou dan Boyd (1974) d&m

Boyd (1982) menemukan bahwa Iumpur

merupakan sumber fosfat yang baik untuk fitoplankton dalam kultur laboratorium

dan kepadatan algae dalam kultur meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
fosfat dalam lumpw. Selanjutnya Hepher (1966) &lam Boyd (1382) menyimpulkan
bahwa pelepasan fosfat dari sedirnen merupakan surnber penting dari unsur hara ini
&lam perairan.
Klasifikasi kesuburan menurut Liaw (1969) &lam Andriani (1999) berdasarkan
tingkat konsentrasi ortophosphat di perairan adalah 0,000-0,020 ppm, rendah ; 0,02 10,050 ppm, sedang ;0,05 1-0,100 ppm, baik ;dan *,I01
8.

ppm, sangat baik.

Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut &lam air. Menurut
Mintardjo, et al- (1988), sumber utama oksigen &lam perairan adalah hasil difusi
langsung dari udara dan dari hasil fotosintesa tanaman. Kandungan oksigen &pat
berkurang karena untuk pernafasan organisme &lam air dan untuk perombakan

bahan organik. Nybakken (1992)rnenyatakan bahwa penyebaran oksigen di dalam
lautan bervariasi menunit kedalaman. Satu penampang vertikal tertentu dar~
kandungan oksigen memperlihatkan jumlah oksigen maksimum terdapat pada
pemukaan air sampai kedalaman 10-20meter dimana kegiatan fotosintesis tumbuhhunbuhan dan d i h i oksigen dari atmosfer sering mengakibatkan kelewat jenuh.
Dengan bertambahnya kedalaman, kandungan oksigen menurun.
Welch (1952)ahlam Andriani (1999)menyatakan bahwa kaditr oksigen terlarut
minimum d a b perairaa disarankan tidak kurang dari 4 ppm dan &lam kondisi
tidak krdapat senyawa beracun, konsentrasi 2 ppm sudah cukup mendukung
kehidupan perairan. Penelitian yang dilakukan X'viangampa, et al. (1987)terhadap
kepiting bakau dewasa di tambak menunjukkan nilai kisaran DO 3,s-5,lmg/l masih
dapat mendukung pertumbuhan kepiting bakau. Menurut Cook dan Ranabal (1978)
dalam Sari (1998),kisaran optimum yang diinginkan bagi organisme perairan adalah

4-7pprn dan konsentrasi maksimrrm adalsrb 10 ppm.
9. Fraksi Substrat
Hutan mangrove terdapat pada daerah-daerah p t a i yang lautnya tenang dengan
tiupan angin yang tidak terlalu kencang dan ombak yang tidak terlalu besar.
Keadaan tersebut biasa dijumpai di teluk-teluk, delta-delta, atau di muara-muara
sungai.

Pada tempt-tempat tersebut banyak terjadi pengendapan lumpur yang

dibawa oleh arus air sungai (Sugiarh dan Ekariyono, 1996). Clough (1986) dalam
Sirait (1997)menyatakan bahwa tekstur substrat di sekitar hutan bakau umumnya
terdiri dari lumpur dan liat. Ong (1982) dalam Mackinon, ef al. (2000)hutan bakau
merupakan vegetasi yang menempati pantai berlumpur di dalam wilayah pasang
surut.

Namun, menurut Sugiarto dan Ekariyono (1996), hutan mangrove dapat juga
dijumpai pada pantrti yang berbatu karang dan terumbu koral yang telah mati yang
kemudian t e m p lapisan pasir atau lumpur.
Kepiting bakau hidup di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang
berlumpur yang organisme makanannya melimpah O(asry, 1396). Organisme ini
pada siang hari Iebih &if di dasar perairan yang bertekstur liat berpsir (Afrianto

dan Liviawaty, 1993). Pada tingkatan juvenil (muda), organisme ini jarang terlihat dl
daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke daiam lumpur (Soim, 1999).
2.2 Hutan Mangrove
2.2.1.

Pengertian Hutan Mangrove

Menurut Nybakken (1982), hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas aiau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Bakau &lah tumbuhan
daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan

untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi sekuruh
komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.

Ong (1982) dalam

Mackinon et al. (2000), menyatakan bahwa hutan bakau hanya terdapat di pantai
yang kekuatan ombaknya terpecah oleh penghalang berupa pasir, terumbu k-g
atau pulau.

Sedmgkan Darsidi (1986), menyebutkan arti kata mangrove adalah

vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, sehingga mangrove
mempakan tipe hutan yang dipengruhi oleh pasang surut air laut.
Hutan bakau menwut Mackinon, et aZ. (2000) sering menunjukkan zonasi
jenis yang jelas. Keberadaan dan kelimpahan suatu jenis dipengaruhi oleh tiga -or

utama : kekerapan dan lama penggenangan oleh air laut, tingkat pencampuran antara
air asin dan air taw di muara sungai, kadar air payau, clan konsistensi tanah
(berpasir atau berlempung). Di pesisir terbuka yang terlindung, komunitas perintis
urnumnya didominasi oleh api-api Avicennia marina, bogen A. alba atau perepat
Soneratia alba. Avicenia tumbuh di tanah p s i r yatlg kokoh, sedangkan Soneraria

berassosiasi dengan lumpur yang lunak. Di belakang dua assosiasi tersebut dan di
sungai-sungai kecil, komunitas tumbuhan didominasi oleh pohon-pohon bakau
Rhizopora, yang ditopang oleh akar-akar tunjang dengan pola percabangan yang

khas ;R rnucronata membuka jalan bagi R apicuIara untuk dapat tumbuh lebih jauh
ke arah pantai.

Berus Bruguiera gvmnorhiza dan nyirih Xylocarpus granatum

biasanya berasosiasi dengan bakau dan & tegakan-tegakan yang lama barangkali
terdapat vegetasi bawah yang terdiri atas tengar Ceriops tagal- Daerah-daerah yang
lebih kering dan lebih ke atas lagi dari pantai, pada tanah liat yang keras tumbuh
pohon-pohon Bruguiera, yang akar-akar lututnya hanya tergenang air pada pasang
naik tertinggi.

Asosiasi Bruguiera cylindrica yang berkembang den-

baik

mungkin dapat tumbuh di dalam hutan yang sedang meluas Uf,sedangkan B.
g~mnorhizahanya tumbuh di sisi hutan bakau yang menghadap ke darat.

Di

se