Larangan Penyadapan Dan Pengecualiannya

3.2. Larangan Penyadapan Dan Pengecualiannya

Sebagaimana dinyatakan diatas bahwa penyadapan yang merupakan tindak pidana adalah penyadapan yang dilakukan baik oleh pihak yang berwenang, pihak penyelenggara sendiri atau pihak lain tanpa dasar hukum. Hal tersebut sesuai dengan norma dasar, yaitu hak asasi manusia untuk melakukan hubungan komunikasi dengan pihak lain dan juga merupakan hak asasi manusia terhadap kerahasian informasi dalam lingkup privat antara para pihak.

Berdasarkan pasal 22 jo pasal 50 Undang-Undang tentang Telekomunikasi dan pasal 40 jo pasal 56 Undang-Undang tentang Telekomunikasi penyadapan adalah merupakan tindak pidana, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

Pasal 22 Undang-Undang tentang Telekomunikasi : “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau

memanipulasi:

167 Ibid., 167 Ibid.,

b. akses jasa telekomunikasi; dan atau

c. 168 akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

Larangan didalam ketentuan pasal 22 diancam ketentuan pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 50 Undang-Undang tentang Telekomunikasi sebagai berikut: “Barangsiapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus

juta rupiah).” 169

Pasal 40 Undang-Undang tentang Telekomunikasi:

“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk

apapun.” 170

Larangan dalam ketentuan pasal 40 ini juga dikenakan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 Undang-Undang tentang Telekomunikasi: “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima 171 belas) tahun.”

Selanjutnya dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 47 Undang- Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang juga mengatur bahwa penyadapan adalah tindak pidana, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain,

168 Op.Cit., pasal 22. 169 Op.Cit., pasal 50. 170 Op.Cit., pasal 40. 171 Op.Cit., pasal 56.

baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang

ditransmisikan. 172

Pasal 47 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”. 173

Maka pada prinsipnya penyadapan adalah merupakan perbuatan yang melanggar hukum atau perbuatan yang melawan hukum, oleh karena untuk melindungi hak privasi yang merupakan salah satu yang dilindungi oleh negara yang berdasarkan hukum yang menghormati hak asasi manusia warganya, sebagaimana dinyatakan Edmon Makarim, sebagai berikut:

“Sesuai norma dasar, adalah hak azasi manusia untuk melakukan hubungan komunikasi dengan pihak lain dan juga merupakan hak azasi manusia terhadap hak kerahasiaan informasi dalam lingkup privat antara para pihak. Oleh karena itu pada dasarnya tindakan mendengarkan tanpa hak atau mencegat informasi (intersepsi) itu

sendiri adalah kegiatan yang dilarang oleh hukum.” 174 Sebagaimana tersebut diatas, undang-undang secara tegas melarang

penyadapan, namun dalam keadaan tertentu, misalnya dalam rangka penegakan hukum pidana, larangan penyadapan dikecualikan, sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (2) jo pasal 43 Undang-Undang tentang Telekomunikasi dan pasal

31 ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang tentang Telekomunikasi: “Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa

telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

172 Op.Cit., pasal 31 ayat (1) dan ayat (2). 173 Op.Cit., pasal 47. 174 Op. Cit. Edmon Makarim, halaman 231.

b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku”. 175

Pasal 43 Undang-Undang tentang Telekomunikasi :

“Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak

merupakan pelanggaran Pasal 40.” 176

Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik:

“Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum

lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”. 177 Dengan demikian hak privasi bukan merupakan hak absolut, sehingga bisa

diberlakukan pembatasan khususnya berkaitan dengan proses penegakkan hukum yang tatacara atau prosedural dan mekanisme pemantauan atas mekanisme izin serta mekanisme komplain diatur dalam perundang-undangan. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan Sinta Dewi, bahwa dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan jelas bahwa hak privasi merupakan hak dasar yang harus dilindungi di Indonesia dan penyadapan merupakan pelanggaran terhadap hak privasi disamping itu Mahkamah Konstitusi juga mengakui bahwa hak privasi bukan merupakan hak yang absolut sehingga bisa diberlakukan pembatasan khususnya berkaitan dengan proses penegakkan hukum untuk pengungkapan tindak kejahatan tertentu yang memerlukan proses penyadapan tetapi tatacara

penyadapan tersebut harus diatur dengan undang-undang. 178

Selanjutnya mengenai pembatasan hak privasi atas penyadapan untuk penegakkan hukum, Edmon Makarim menyatakan, bahwa hal itu hanya dapat

175 Op.Cit., pasal 42 ayat (2). 176 Op.Cit., pasal 43. 177 Op.Cit., pasal 31 ayat (3). 178

Sinta Dewi, Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Pembentuk Hukum Dikaitkan Dengan Perlindungan Hak Privasi Di Indonesia, dalam Idris, Rachminawati dan Imam Mulyana (ed), Penemuan Hukum Nasional dan Internasional: Dalam Rangka Purnabakti Prof. DR. Yudha Bhakti, SH.MH., Bandung:PT.Fikahati Aneska, 2012, halaman 562.

diintervensi oleh hukum demi kepentingan hukum yang lebih besar yakni untuk kepentingan penegakan hukum dalam melindungi kepentingan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana layaknya suatu tindakan penggeledahan dan penyitaan (search & seizure) terhadap orang maupun barang, maka intersepsi adalah suatu upaya paksa terhadap sifat kerahasiaan informasi dalam komunikasi para pihak, dengan cara melakukan akses secara paksa kepada saluran komunikasi dan mengamankan konten percakapan para pihak. Dengan kata lain intersepsi atau penyadapan sebenarnya adalah merupakan upaya melakukan penggeledahan dan penyitaan untuk melakukan akses dan memperoleh informasi yang dikomunikasikan oleh para pihak. Hal tersebut perlu tentunya diatur agar Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur hukum (due process of law) yang baik bukan dengan cara yang sewenang-wenang atau melawan hukum, sebagaimana telah diamanatkan dalam

pasal 31 UU – ITE. 179