LAPORAN KASUS Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Saraf “CIDERA KEPALA SEDANG”

  

LAPORAN KASUS

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Saraf

“CIDERA KEPALA SEDANG”

  Diajukan Kepada:

Pembimbing: dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc

Disusun Oleh:

  Nony Triyana Macelia H2A013056P KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN

  

ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA

2017

LAPORAN KASUS A.

  Nama : Ny. S Umur : 52 tahun 6 bulan 6 hari Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Alamat : Karangsari 3/10 Kupang Amabarawa Kab. Semarang Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SLTP Status : Sudah menikah No CM : 068xxx-20xx Tanggal Masuk RS : 6 Juli 2017 Tanggal keluar RS : 9 Juli 2017 B.

DATA DASAR

  Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada 7 Juli 2017, jam 13.30 WIB C.

   Keluhan Utama : Pingsan setelah kecelakaan lalu lintas.

D. Riwayat Penyakit Sekarang :

  Menurut keterangan keluarga pasien, 2 hari yang lalu 30 menit SMRS pasien mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda motor setelah menabrak sepeda motor dari arah yang berlawanan saat menyalip. Pasien mengalami patah tulang terbuka dibagian kaki kanan. Saat kejadian pasien menggunakan pengaman kepala (helm) dan pasien telempar tidak jauh dari sepeda motor yang dikendarainya, pasien terjatuh di aspal rata dengan posisi badan sebelah kanan dahulu yang menyentuh aspal bagian tangan dan kaki kanan sebagai tumpuan kemudian kepala bagian belakang terbentur aspal cukup keras. sesaat setelah kejadian pasien tidak sadarkan diri dan terdapat memar di bagian pelipis kanan. Kemudian oleh warga, pasien dibawa ke IGD RSUD Ambarawa Menurut keterangan keluarga pasien yang didapatkan dari warga, pasien tidak sadar kurang lebih 30 menit setelah tertabrak. Saat ditanyakan mengenai kejadian, pasien tidak ingat proses kejadian sampai tidak sadarkan diri.

  Pasien juga merasakan nyeri kepala, pusing berputar, nyeri seperti ditekan, bila diberi skala nyeri pasien memberikan skala nilai 6/10 dari nyeri yang dirasakannya, lokasi nyeri di kepala bagian belakang, nyeri menetap terus-menerus,pasien mengatakan saat di IGD nyeri kepala disertai mual, memar dibagian pelipis kanan. nyeri dirasakan mengganggu pasien.

  Pasien dapat mengetahui dia sedang berada di RS, dapat menyebutkan beberapa nama benda, pasien dapat mengikuti perintah yang diberikan seperti menggerakan tangan atau kaki kirinya, mengetahui sedang berada dimana.Pasien mengatakan tidak mengalami gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, penghidu, tidak baal, tidak Kesemutan, dapat melokalisir sumber nyeri, dapat membedakan sebuah benda, wajah simetris, kejang, rasa mengantuk terus menerus, kekakuan pada leher, tidak keluar darah atau carian dari telinga, tidak memar pada bagian mata maupun belakang telinga, BAK dan BAB dalam batas normal, berkeringat berlebihan tidak ada, rasa berdebar debar tidak ada, tidak muntah, tersedak tidak ada dan mengecap makanan masih dalam batas normal.

  .

E. Riwayat Penyakit Dahulu: 1.

  Riwayat sakit seperti ini sebelumnya : disangkal 2. : disangkal

  Riwayat trauma sebelumnya 3. : disangkal

  Riwayat kejang 4. : disangkal

  Riwayat hipertensi 5. : disangkal

  Riwayat kencing manis 6. : disangkal

  Riwayat alergi 7. : disangkal

  Riwayat batuk lama 8. : disangkal

  Riwayat nyeri kepala 9. : disangkal

  Riwayat asam urat F.

   Riwayat Penyakit Keluarga:

  1. : disangkal Riwayat Hipertensi

  2. : disangkal Riwayat DM

  3. : disangkal Riwayat batuk lama

  4. : disangkal Riwayat penyakit jantung G.

   Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi :

  Pasien tidak merokok dan tidak minum minuman keras. Pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien menggunakan biaya pribadi untuk pengobatan.

H. Anamnesis Sistem : 1.

  Sistem Serebrospinal : Nyeri kepala (+),pusing (+), pingsan (+), mual (+), kelemahan anggota gerak (-), kesemutan/baal (-), bicara pelo (+)

  2. Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-) 3. : Sesak napas (-), batuk (-)

  Sistem Respirasi 4. Sistem Gastrointestinal : Mual (+), muntah (-), Diare (-) 5. Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak kanan (-)

  6. : Hematom (+) Sistem Integumen

  7. : BAK normal, tidak ada keluhan Sistem Urogenital I.

RESUME ANAMNESIS

  Seorang perempuan berusia 52 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan cedera kepala setelah mengalami kecelakaan ditabrak sepeda motor ketika sedang menyalip 2 hari yang lalu. Pasien kehilangan kesadaran kurang lebih 30 menit. Saat sadar, pasien tidak ingat kronologi kecelakaan. Pasien juga merasakan nyeri kepala, dimulai saat pasien sadar, nyeri seperti ditekan, bila diberi skala nyeri pasien memberikan skala nilai 6/10 dari nyeri yang dirasakannya, lokasi nyeri di kepala bagian belakang, nyeri menetap terus- menerus,pasien mengatakan saat di IGD nyeri kepala, pusing disertai mual, memar dibagian pelipis kanan.

  J. DIAGNOSIS SEMENTARA 1. Diagnosis Klinis

  Trauma kepala + Chepalgia 2.

   Diagnosis Topis

  Intrakranial

  • 3.

  Ekstrakranial

   Diagnosis Etiologi

  Traumatic Brain Injury Primary

  • Traumatic Brain Injury Secondary - K.

   DISKUSI I

  Dari anamnesa didapatkan pasien sempat tidak sadarkan diri setelah tertabrak motor dari arah berlawanan. Hal ini dapat disebabkan karena terganggunya fungsi otak yang dapat disebabkan oleh cedera kepala. Cedera kepala trauma tertutup sering diikuti dengan amnesia pasca trauma, ditemukan juga keadaan yang tidak menetap seperti bingung dan disorientasi. Di karakteristikkan dengan amnesia anterogad dan retrogad dan gangguan perilaku, insomnia, psikomotor agitasi, lemah,confabulasi dan kadang-kadang kelainan afektif serius dan gejala psikotik. Amnesia pasca trauma cenderung menjadi indikator cedera otak trauma tertutup dan elemen penting keadaan fungsional.Semakin lama periode amnesia pasca trauma semakin buruk cedera otak trauma tertutup dan semakin buruk keadaan fungsionalnya. Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terletak di lobus oksipitalis, lobus parietalis, dan lobus temporalis. Dampak lain dari amnesia adalah ketidakmampuan membayangkan masa depan. Penelitian terakhir yang dipublikasikan dalam jaringan di Proceeding of the National Academy of Sciences menunjukkan bahwa amnesia dengan kerusakan di hipokampus tidak dapat membayangkan masa depan. Hal ini terjadi karena bila seseorang normal membayangkan masa depan , mereka menggunakan pengalaman masa lalu untuk merekonstruksi skenario yang mungkin dihadapi. Amnesia neurologis terjadi ketika terjadi kerusakan atau penyakit pada otak yang merusak lobus temporal medial dan diencephalon medial. Amnesia neurologis menyebabkan kesulitan berat dalam mempelajari hal baru terkait fakta dan peristiwa baru setelah kejadian trauma kapitis (amnesaia anterogad). Pasien dengan amnesia neurologis juga di spesifikkan dengan kesulitan dalam mengingat fakta dan peristiwa sebelum peristiwa amnesia (amnesia retrogad). Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami cedera kepala tumpul dimana pasien mengalami kecelakaan yaitu ditabrak oleh motor dan terbentur oleh aspal. Dari anamnesis juga didapatkan bahwa kemungkinan pasien mengalami cedera kepala sedang karena pasien sempat tidak sadar dan tidak didapatkan kelainan neurologis. Pasien sempat tidak sadarkan diri disebebkan karena batang otak mengalami akselerasi yaitu gerakan yang cepat dan mendadak kemudian teregang dan terjadi blokade reversible pada lintasan retikularis asendens difus kemudian otak tidak mendapat input aferan mengakibatkan pingsan.

  L. CEDERA KEPALA a. Definisi

  Cidera kepala atau trauma kapitis adalah cidera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

  1 Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu

  kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

  2 b.

   Anatomi

  1) Kulit Kepala (Scalp)

  Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:

  2

  a) Skin atau kulit

  b) Connective Tissue atau jaringan penyambung

  c) Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak d)

  Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

  e) Perikarnium

  Gambar 1. Lapisan kulit kepala Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk

  2 mengeluarkannya.

  2) Tulang Tengkorak

  Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan

  1,2 serebelum.

  Gambar 2. Tulang tengkorak

  3) Meningen

  Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang

  2,3 subdural.

  Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub

  2,3 araknoid.

  Gambar 3. Lapisan meningens 4)

  Otak Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak.

  Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior).

  Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).

  Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula

  2 spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.

  Gambar 4. Bagian-bagian otak manusia 5)

  Cairan serebrospinal Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan

  2,4

  kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus komunikans) 6)

  Tentorium Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus oculomotorius (N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak

  2 selalu.

c. Fisiologi

  1) Tekanan Intrakranial

  Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah

  2 cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

  2) Doktrin Monro-Kellie

  Merupakan suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar

  2,5 kurva berapa banyak volume lesi masanya.

  Gambar 4. Doktrin Monro-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap masa yang 5 ekspansi.

  3) Aliran Darah Otak (ADO)

  ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non- trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.

  2,4 d.

   Epidemiologi

  Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Sedangkan yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.

  2 Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu

  rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%- 10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

  2

e. Klasifikasi 1) Mekanisme Cedera Kepala

  

c.

  Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:

  3) Morfologi Cedera

  Tabel 1. Derajat cedera kepala

  GCS = 9-12

  

e.

  Amnesia post trauma 1 – 24 jam.

  Dapat disertai fraktur tengkorak

d.

  Terdapat lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan

c.

  Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6 jam

b.

  GCS = 13 – 15 Berat (Moderate Head Injury)

a.

  Amnesia post trauma < 1 jam

d.

  Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

  5 2) Beratnya Cedera

  Hilang kesadaran < 10 menit

b.

  GCS = 15 Sedang (Mild Head Injury)

a.

  Tidak ada amnesia post trauma

c.

Tidak ada defisit neurologi

d.

  Tidak ada penurunan kesadaran

b.

  6 Ringan (Simpel Head Injury)

a.

  Menurut Perdossi (2006) cedera kepala diklasifikasikan menjadi :

  c) Cedera Kepala Berat (GCS ≤ 8) (Greenberg, 2001)

  b) Cedera Kepala Sedang (GCS: 9-13)

  a) Cedera Kepala Ringan (GCS: 14-15)

  kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS, sebagai berikut :

  Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara

  Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio, dan hematom. a) Fraktur Kranium

  Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak membutuhkan pemeriksaan CT scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

  7 Tanda-tanda tersebut antara lain : i.

  Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign) ii. Ekimosis retro aurikuler (Battle`s sign) iii. Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) iv.

  Parese nervus facialis ( N VII )

  b) Fraktur Basis Kranii

  Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata) (Fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa media). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis

  7 kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior. c) Lesi Intrakranial i.

  Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.

  Umumnya terjadi pada regio temporal atau temporopariental akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (fase sadar diantara dua fase tidak sadar karena bertambahnya volume darah). Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologis unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil

  7 edema dan gejala herniasi transcentorial.

  Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah, ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Berdasarkan foto rontgen didapatkan garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningea media atau salah satu

  7 cabangnya.

  Gambar 5. Perdarahan intrakranial ii.

  Perdarahan Subdural Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan,sinus venosus duramater atau robeknya arachnoidea. Perdarahan terletak diantara duramater dan arachnoidea. Subdural Hemorrage (SDH) ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran.

  Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural. Perdarahan subdural terbagi atas 3 bagian yaitu :

  7

  (a) Perdarahan subdural akut

  Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak. Perdarahan subdural akut memberi gejala dalam 24 jam.

  7

  (b) Perdarahan subdural subakut

  Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 25

  • – 65 jami setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.

  7

  (c) Perdarahan subdural kronik

  Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan- pelan ia meluas. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

  7 iii.

  Perdarahan Subarachnoid Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid). Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan muntah. Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini memiliki spesifitas yang rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT angiografi untuk mengecek

  7 perdarahan subarachnoid.

  Komplikasi yang paling sering pada perdarahan subarachnoid adalah vasospasme dan perdarahan ulang. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal

  7 tunggal dan lesi multiple luas.

  Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 1200-220 mmHg.Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan

  7 epilepsi.

  d) Perdarahan Intraserebral dan Kontusio

  Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau vena yang ada di bagian parenkim otak. Region frontal dan temporal merupakan daerah yang paling sering terkena namun selain itu dapat pula terjadi di lobus parietalis maupun pada serebelum. Kontusio intraserebral yangdapat terjadi karena trauma melalui jejas coup atau countercoup. Jika kepala bergerak saat terjadi jejas, kemungkinan kontusio terjadi disisi yang jauh dari tempat terjadinya jejas (countercoup). Apabila dua pertiga lesi adalah darah, jejas terseebut disebut perdarahan. Gejala klinis pada perdarahan intraserebral, yaitu adanya penurunan kesadaran, defisit neurologis, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh), papill edema (pembengkakan mata). Pada hasil CT scan didapatkan hasil CT scan yang abnormal dan pada pemeriksaan penunjang cariran serebrospinal didapatkan cairan yang berdarah. Penatalaksanaan sedikit kompleks karena mempertimbangkan region serta luas dari perdarahan yang sering terjadi :

  i.

  Perdarahan <15cm ditatalaksana secara konservatif bila tidak ada herniasi.

ii. Perdarahan >15cm pada region frontal posterior/inferior dan temporal memerlukan pembedahan.

  iii.

  Perdarahan pada batang otak, ganglia basal atau thalamus ditatalaksana secara konservatif.

  e) Komosio Serebri

  Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS.

  Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : pening/nyeri kepala, tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit, amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat- pusat di korteks lobus temporalis. Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.

  Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde.

  Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom f)

  Kontusio cerebri Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa adanya kerusakan duramater. Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat, yang penting untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus.

  Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan- perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan.Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di tempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan (lesi kontusio

  “contrecoup”). Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang garis gaya benturan ini, dan pada permukaan bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat benturan.

d. Patofisiologi

  Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan countrecoup.

  Gambar 2. Mekanisme cidera kepala tertutup Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut countrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

  Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

e. Komplikasi

  Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala addalah; 1.

  Edema pulmonal Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut. 24

  2. Peningkatan TIK Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.

  3. Kejang Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

  4. Kebocoran cairan serebrospinalis Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah 25 hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.

5. Infeksi.

M. PEMERIKSAAN FISIK

  Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 7 Juli 2017, jam 14.00 WIB Keadaan Umum : Tampak lemah Kesadaran : Compos Mentis GCS : E

  5 M

  4 V

  6 Status Gizi : Cukup Vital sign

  TD : 120/80 mmHg Nadi : 78 x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup RR : 20 x/menit Suhu : 36,8 C secara aksiler

  Status Internus

  Kepala : Mesocephal, hematoma (+) pelipis kanan Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek

  (+/+), reflek kornea (+/+) ptosis (-) Telinga : Sekret (-/-) Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)

  Mulut : Bibir sianosis (-), karies dentis (-) atrofi papil lidah (-), lidah deviasi (-)

  Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (Normal)

  Thorax :

  Cor :

  Inspeksi : tidak tampak ictus cordis Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS Perkusi : Batas jantung dalam batas normal Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)

  Pulmo :

  Depan Dextra Sinistra Inspeksi Pergerakan simetris, Pergerakan simetris, retraksi (-) retraksi (-) Palpasi Vokal fremitus normal Vokal fremitus normal kanan = kiri kanan = kiri Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru Auskultasi SD paru vesikuler (+), SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-) wheezing (-), ronki (-)

  Depan Belakang Abdomen : Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit sama dengan warna kulit sekitar Auskultasi : Bising usus (+) normal Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-) Palpasi : Hepar & lien tak teraba Ekstremitas : Atas : Oedem (-/-), CRT (<2 dtk), Akral dingin (-/-) Bawah : Oedem (-/-), CRT (< 2 dtk), Akral dingin (-/-)

  Status Neurologis

  Sikap Tubuh : Simetris Gerakan Abnormal : Tidak ada Cara berjalan : Normal

  Pemeriksaan Saraf Kranial

  Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri

  N. I. Olfaktorius Daya penghidu Baik Baik N. II. Optikus Daya penglihatan Baik Baik

  Pengenalan warna Sdn Sdn Lapang pandang Sdn Sdn N.

  III.

  Okulomotor

  Ptosis - - Gerakan mata ke medial Baik Baik Gerakan mata ke atas Baik Baik Gerakan mata ke bawah Baik Baik Ukuran pupil 3 mm 3 mm Bentuk pupil Bulat Bulat Refleks cahaya langsung + + Refleks cahaya konsensual

  • N. IV. Troklearis Strabismus divergen - -

  Gerakan mata ke lat-bwh Baik Baik Strabismus konvergen - -

  N. V. Trigeminus Menggigit Sdn Sdn Membuka mulut + + Sensibilitas muka + + Refleks kornea + + Trismus - -

  N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral + + Strabismus konvergen - -

  N. VII. Fasialis Kedipan mata Baik Baik Lipatan nasolabial Simetris Simetris Sudut mulut Simetris Simetris Mengerutkan dahi + + Menutup mata N N Meringis Sdn Sdn Menggembungkan pipi + + Daya kecap lidah 2/3 ant Sdn Sdn N.

  VIII.

  Vestibulokoklearis

  Mendengar suara bisik + + Mendengar bunyi arloji TD TD Tes Rinne TD TD Tes Schwabach TD TD Tes Weber TD TD N.

  IX. Glosofaringeus Arkus faring TD TD Daya kecap lidah 1/3 post Sdn Refleks muntah TD Sengau - Tersedak -

  N. X. Vagus Denyut nadi 81 x/menit Arkus faring TD Bersuara TD Menelan Normal

  N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala + + Sikap bahu normal Normal Mengangkat bahu + + Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi N.

  XII.

  Hipoglossus

  Sikap lidah Asimetris Artikulasi Sdn

  Fasikulasi lidah +

  • Menjulurkan lidah Trofi otot lidah Eutrofi Pemeriksaan Motorik T B 5 5 N N Eu Eu T B 5 5 N N Eu Eu

  G K Tn Tr

  Refleks Fisiologi SDN N Refleks Patologis SDN N SDN N SDN N

  Pemeriksaan Sensibilitas : Dalam batas normal Pemeriksaan Fungsi Vegetatif: Miksi : BAK normal, inkontinentia urine (-), retensio urine (-), anuria (-) Defekasi : BAB normal, diare berlendir (-), inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-) Koordinasi dan keseimbangan Cara berjalan : Normal Tes Romberg : Normal Tes Fukuda : Normal Tes telunjuk hidung : Normal Tes telunjuk telunjuk : Normal Disdiadokinesis : Normal Dismetria : Normal Rebound Phenomenon : Normal

  Pemeriksaan Rangsang Meningeal : Kaku kuduk : (-) Kernig sign : (-) Brudzinsky I : (-) Brudzinsky III : (-) Brudzinsky II : (-) Brudzinsky IV : (-) N.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1.

  Laboratorium Darah & Kimia klinik (6 Juli 2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

  Hematologi Hemoglobin 14.6 g/dl

  13.2

  • – 17.3 g/dl Leukosit 14.4 ribu
  • – 5.9 juta Hematokrit 43.5 %
  • – 400 ribu
  • – 115 mg/dl Glukosa 2 jam PP 183 mg/dl H <120 mg/dl SGOT - U/L – 50 U/L SGPT - IU/L
  • – 50 IU/L Ureum 24.9 mg/dl
  • >– 1.1 mg/dl Laju endap darah 45 mm/jam H 0
  • – 20 mm/jam 2.

  3.8 – 10.6 ribu Eritrosit 4.69 juta

  4.4

  40 – 52 Trombosit 265 ribu 150

  Kimia Klinik Glukosa puasa 139 mg/dl H 82

  10 – 50 mg/dl Kreatinin 0.78 mg/dl

  0.62

3. CT Scan (6 Juli 2017)

  Hasil : a.

  Tak lesi hipodens pada white midler lobus occipital kanan b.

  Sulci corticalis hemisfer kanan kiri sempit c. Fissure sylvi kanan kiri sempit d.

  Diffensiasi white-grey matter kabur e. Tak tampak midle shifting f. Sistem vertikel lateral kanan kiri III dan IV normal g.

  Sisterna perimesensefalic normal h. Batang otak dan serebelum normal i. Tak tampak kesuraman/penebalan mukosa sinus paranasales dan mastoid air cell j.

  Tak tampak fraktur pada os calvaria, maxillofacial dan vertebra cervical yang tervisualisasi Kesan : a.

  Gambaran brain swelling dengan focal vasogenic edem ec cerebral contusio lobus occipital kanan b.

  Tak tampak tanda peningkatan tekanan intracranial saat ini c. Tak tampak fraktur pada os calvaria, maxxillo facial dan vertebra cervical yang tervisualisasi

O. DIAGNOSIS AKHIR

  1. : Cedera kepala sedang Diagnosis Klinis

  2. : Intrakranial Diagnosis Topis

  3. : Moderate Traumatic Brain Injury Diagnosis Etiologi

DISKUSI II

  Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran pasien E

  4 M

  6 V 5 yang

  menunjukkan bahwa pasien compos mentis. Tekanan darah pasien 120/80 mmHg, nadi 78x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup, laju napas 20 x/menit, suhu 36,5 C secara aksiler. Tidak didapatkan demam yang merupakan tanda adanya infeksi.

  Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri kepala atas + skala 3/10 menandakan nyeri kepala pada pasien telah berkurang dari sebelumnya. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan peningkatan leukosit serta ditemukan penurunan Hb, eritrosit dan hematokrit. Peningkatan leukosit merupakan pertanda adanya reaksi inflamasi atau infeksi. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis 14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah komosio.Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang sederhana juga bisa sebagai marker atau penanda. Pada pemeriksaan penunjang CT Scan kepala tanpa kontras. Hb, Eritrosit dan Hematokrit yang menurun diakrenan fraktur terbuka yang dialami pasien dibagian ekstremitas bawah sehingga terjadi perdarahan. Pada pemeriksaan penunjang Foto rontgen cranium di IGD tidak ditemukan adanya fraktur atau cedera kepala lainnya. Menunjukan pada pasien sesuai dengan pemeriksaan fisik yaitu tidak terdapat lebam pada bagian mata dan belakang telinga yang merupkan penanda fraktur basis cranii.