LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Sejarah Singkat Gerakan Mahasiswa

2.1.1.1. Munculnya Gerakan Mahasiswa di Berbagai Negara Dalam perubahan sosial di berbagai negara, peran gerakan mahasiswa adalah komplek dan penting, meski tidak selalu menentukan. Mereka lebih sering mencerminkan perubahan kekuasaan di antara kelas- kelas. Demonstrasi dan gerakan mahasiswa memainkan peran yang cukup penting dalam penggulingan Peron di Argentina pada tahun 1955; kejatuhan Perez Jimenez di Venezuela pada tahun 1958; perlawanan yang sukses terhadap Diem di Vietnam pada tahun 1963; kerusuhan massif melawan Perjanjian Keamanan Jepang-AS di Jepang pada tahun 1960, yang memaksa pengunduran diri pemerintah Kishi; gerakan anti Soekarno pada tahun 1966; kejatuhan Ayub Khan di Pakistan pada tahun 1956; demonstrasi Oktober untuk kebebasan yang lebih besar di Polandia pada tahun 1956; Revolusi Hongaria tahun 1956; dan gerakan untuk pembebasan di Cekoslovakia pada tahun 1968. Gerakan mahasiswa dapat menjadi bagian dari gerakan sosial ataupun berkembang menjadi gerakan politik, yang membedakan adalah pelakunya, yaitu para mahasiswa yang merupakan kelompok generasi muda yang kritis dan memiliki intelektualitas karena merupakan kelompok yang 8 mampu mengenyam pendidikan sampai taraf tinggi. Mahasiswa juga mampu merepresentasikan barometer yang sangat sensitif yang secara setia merefleksikan animo bergerak masyarakat. Kemunculan gerakan mahasiswa dimulai sejak munculnya universitas-universitas pertama di dunia. Mahasiswa di Bologna dan Paris selama Abad pertengahan adalah sumber utama ketegangan. Kerusuhan adalah fenomena umum di banyak universitas. Martin Luther mendapatkan dukungan besar dari mahasiswa Wittenberg dan universitas di Jerman lainnya. Bahkan Martin Luther dipaksa menahan mahasiswa agar protes mereka tidak terlalu jauh hingga menyerang Paus dan Kaisar. Pada era 1960an, isu utama dari gerakan mahasiswa adalah pendidikan. Pada tahun 1964 terjadi protes di dalam Universitas California di Berkeley, AS. Sasaran protesnya adalah birokrasi otokratis dari administrasi Universitas, yang mengabaikan kebutuhan pendidikan dari mahasiswa belum bergelar, mengeksploitasi anggota staf yang lebih muda dan mempertahankan kepentingan elit akademis yang kecil; protes mengambil bentuk Perjuangan Untuk Kemerdekaan Berbicara, dengan aksi protes duduk yang tanpa kekerasan di gedung administrasi. Setelah represi berhari-hari oleh polisi, gedung administrasi dapat dikosongkan. Imbas dari tindak kekerasan tersebut telah mempolarisasi populasi, menjadi setuju atau tidak terhadap para mahasiswa. Protes Berkeley memunculkan gerakan solidaritas beratus-ratus universitas di seluruh Amerika Serikat dan menyebar ke negara-negara dari Jepang ke Perancis ke Polandia. Isu pendidikan yang menjadi awal revolusi Perancis 1986 berkembang lebih maju menjadi perombakan sistem pendidikan dan sistem politik. Slogan yang terkenal adalah: Kekuasaan Ada Di Jalan Bukan Di Parlemen Ini adalah sebuah fenomena yang membuat pemerintahan Barat menggigil, ini adalah penolakan atas institusi-institusi politik yang sangat elitis dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua mereka. Radikalisasi gerakan mahasiswa di era 1960an memiliki akarnya pada krisis imperialisme di satu sisi dan krisis yang dialami Stalinisme dan Sosial Demokrasi di sisi lain. Imperialisme sejak tahun 1950an akhir telah menghadapi banyak tantangan. Berbagai macam perlawanan gerakan Kiri terjadi, seperti di Algeria, Indocina, Kuba, Korea. Di negeri imperialis sendiri muncul beberapa perlawanan, di Amerika Serikat muncul gerakan Afro-Amerika. Sementara itu dalam bidang ekonomi, di negeri-negeri imperialis terjadi ekspansi luar biasa dalam kapasitas produksi dan kompetisi antara kekuatan industri besar untuk memperebutkan pasar semakin intensif. Perkembangan ekonomi tersebut mengakibatkan semakin besarnya kebutuhan untuk mendapatkan jumlah rakyat terdidik yang lebih banyak. Hal ini serupa dengan kemunculan politik etis di Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh UNESCO antara tahun 1950 dan 1963-1964 populasi mahasiswa melonjak tinggi. Di Perancis meningkat menjadi 3,3 kali, di Jerman barat 2,8 kali, di AS 2,2 kali, di Itali 1,3 kali. 2.1.1.2. Munculnya Gerakan Mahasiswa di Indonesia. Kaum terpelajar Indonesia muncul seiring dibangunnya sekolah- sekolah oleh Belanda pada abad ke 18. Pada tahun 1819, Belanda membangun sekolah Militer di Semarang, kemudian sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden 1826, Institut Bahasa Jawa Surakarta 1832, Sekolah Pegawai Hindia Belanda di Deflt 1842 dan Sekolah Guru Bumiputera di Surakarta 1852. Sekolah-sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai tinggi Pribumi. Baru pada tahun 1871 dikeluarkan UU Pendidikan pertama yang membuka akses pendidikan bagi kaum Pribumi. Hingga tahun 1920an tidak terdapat universitas di Hindia Belanda. Hanya Pribumi kaya, umumnya Bupati, yang mampu mengirim anak mereka belajar di Eropa. Perguruan tinggi pertama muncul pada tahun 1920, yakni Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Ini disusul dengan Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta pada tahun 1924. Munculnya kaum terpelajar turut mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial. Yang pertama adalah Sarikat Priyayi pada tahun 1906 oleh Tirto Adhi Soerjo, Thamrin Muhammad Thabrie dan R.A.A. Prawiradireja. Boedi Oetomo pada tahun 1908 dengan tokohnya E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Boedi Oetomo dimotori oleh pemuda dan mahasiswa dari STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta. Kemudian pada tahun 1911, di Solo berdiri perkumpulan bernama Sarikat Islam SI. Organisasi ini didirikan bukan semata-mata sebagai perlawanan terhadap para pedagang-pedagang Cina, tetapi juga digunakan sebagai front untuk melawan semua bentuk pernghinaan terhadap rakyat bumiputera. Ketika para mahasiswa Indonesia di Belanda kembali ke tanah air, mereka mempraktekan ide-ide mereka dengan membuat Study Clubs untuk berdiskusi dengan pimpinan-pimpinan partai dan intelektual. Salah satu study club tersebut adalah Algemeene Study Club di Bandung yang didirikan pada tahun 1925 oleh Ir. Soekarno. Pada tahun 1930 hampir semua perkumpulan pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda. Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942 terjadi pelarangan semua kegiatan yang berbau politik dan membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, serta partai politik. Banyak perguruan tinggi ditutup. Jumlah mahasiswa sendiri sangatlah kecil, pada waktu itu hanya 637 orang. Angka lain menyebutkan sekitar 387 orang. Sedangkan Joseph Fischer menyatakan, jumlah sarjana Indonesia pada permulaan masa kemerdekaan adalah 1.100 orang. Kondisi yang sangat represif itu, membuat mahasiswa dan pemuda memilih kegiatan berkumpul dan bersiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan adalah Asrama ”Angkatan Baru Indonesia” Menteng 31, Asrama ”Fakultas Kedokteran” dan Asrama ”Indonesia Merdeka” Kebon Sirih. Proklamasi dilakukan pada 17 Agustus 1945, yang sebelumnya pemuda yang berpusat di Asrama Menteng menculik Soekarno dan Hatta, serta Ibu Fatmawati dan Guntur kemudian membawanya ke Rengasdengklok. Tindakan ini diambil karena Soekarno dan Hatta ragu-ragu menyatakan kemerdekaan saat jepang telah kalah. Tanggal 1 September 1945, para pemuda yang telah berjasa mempersiapkan kemerdekaan mendirikan sebuah organisasi bernama Angkatan Pemuda Indonesia API yang diketuai oleh Wikana yang bertujuan untuk menyatukan pemuda-pemuda yang sebelumnya tergabung dalam sebuah komite aksi. Disamping itu juga berdiri Barisan Buruh Indonesia BBI, Barisan Rakyat Bara, dan Seniman Indonesia Muda SIM. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan dasar ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam HMI, kemudian diikuti Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia GMKI pada tanggal 25 Maret 1947 kemudian berdiri Perhimpunan Mahasiswa Khatolik Republik Indonesia PMKRI. Kemunculan organisasi-organisasi mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan basis ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri pada tanggal 7 Nopember 1945 dan Partai Katolik pada tanggal 8 Desember 1945. Sementara Partai Nasional Indonesia juga memiliki organisasi gerakan mahasiswa yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia GMNI yang berdiri tanggal 23 Maret 1954. Konsentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia CGMI dibentuk pada 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil mahasiswa di Bandung, Bogor dan Yogyakarta, yang selanjutnya lebih mendekat ke PKI. Selain organisasi-organisasi yang didasarkan ideologi tertentu, muncul juga banyak organisasi mahasiswa berdasarkan profesi dan komunitas, seperti Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan PMKH di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta PMD, Perhimpunan Mahasiswa Jogjakarta PMJ dan Masyarakat Mahasiswa Malang MMM. Kemudian dari dalam kampus juga muncul organisasi gerakan mahasiswa seperti Dewan Mahasiswa DM UGM tanggal 11 Januari 1950 dan Dewan Mahasiswa UI tanggal 20 Nopember 1955. 2.1.1.3. Gerakan Mahasiswa di Indonesia Tahun 1966 Dikenal dengan istilah angkatan 66, gerakan ini awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dimana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Angkatan 66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang komunis yang ditukangi oleh PKI Partai Komunis Indonesia. Eksekutif pun beralih dan berpihak kepada rakyat, yaitu dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Sukarno kepada penerima mandat Suharto. Peralihan ini menandai berakhirnya ORLA Orde Lama dan berpindah kepada ORBA Orde Baru. Angkatan 66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyaknya aktivis 66 yang duduk dalam kabibet pemerintahan ORBA. 2.1.1.4. Gerakan Mahasiswa di Indonesia Tahun 1972 Gerakan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI Malapetaka Lima Belas Januari. Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional. 2.1.1.5. Gerakan Mahasiswa di Indoensia Tahun 1980 an Gerakan pada era ini tidak populer, karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri Menteri Dalam Negeri saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan demo mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO Droup Out oleh pihak ITB pada pemilu 2004 beliau menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat IndonesiaPSI. 2.1.1.6. Gerakan Mahasiswa di Indonesia Tahun 1990 an. Isu yang diangkat pada gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKKBKK Normalisasi Kehidupan KampusBadan Koordinasi Kampus yang membekukan Dewan Mahasiswa DEMADM dan Badan Eksekutif Mahasiswa BEM. Pemberlakuan NKKBKK mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 045701990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa,bahkan tidak segan-segan untuk mengeluarkan. Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB Organisasi Tanpa Bentuk. Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis. Pemberlakuan NKKBKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena di setiap even nasional dijadikan untuk menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKKBKK. Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKKBKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI Himpunan Mahasiswa Islam, PMII Pergerakan Mahasiswa Islam INDONESIA, GMNI Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, PMKRI Pergerakan Mahasiswa Kristen Indoenesia atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. 2.1.1.7. Gerakan Mahasiswa di Indonesia Tahun 1998. Gerakan mahasiswa pada era ini mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 12 Mei 1998. Gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan mencapai klimaksnya pada tahun 1998, diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dengan agenda reformasinya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat dalam mengubah kondisi yang ada, kondisi dimana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama, politisi di luar kekuasaan pun menjadi tumpul karena terlalu kuatnya lingkar kekuasaan, dan dikenal dengan sebutan jalur ABG ABRI, Birokrat, dan Golkar. Simbol Rumah Rakyat yaitu Gedung DPRMPR menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia, seluruh komponen mahasiswa dengan berbagai atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah di gedung dewan ini, tercatat KAMMI Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, FKSMJ Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta, FORBES Forum Bersama dan FORKOT Forum Kota. Elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan, yaitu turunkan Soeharto. 2.1.1.8. Gerakan Mahasiswa di Indonesia Pasca Reformasi. Turunnya Soeharto oleh gerakan mahasiswa dan rakyat menjadikan Habibie naik menjadi Presiden RI. Pada tanggal 21 dan 22 Mei 1998, ribuan masa membentuk barisan dan berpawai menolak Habibie, menuntut dibentuknya UU Anti Monopoli, mencabut paket 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI, membebaskan tahanan politik Orde baru tanpa syarat, serta mengadili Soeharto. Persatuan sementara gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto terpecah pada periode Habibie. Gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok, gerakan mahasiswa yang mendukung Habibie, dengan beberapa syarat dan gerakan mahasiswa yang menolak Habibie. Pada masa pemerintahan Gus Dur, berawal dari diberikannya status Badan Hukum Milik Negara BHMN kepada empat Perguruan Tinggi Negeri, yaitu UGM, UI, ITB dan IPB, kemudian menuai protes dari berbagai mahasiswa dari berbagai universitas negeri. Gus Dur mencoba untuk menarik simpati masa dengan menyingkirkan elit-elit politik dan militer yang saat Pemilu mendukungnya. Hal ini berakibat konflik internal kabinet rezim Gus Dur. Kemudian gerakan mahasiswapun terjadi polarisasi antara gerakan pro Gus Dur dan gerakan anti Gus Dur. Kelompok yang pertama, Badan Eksekutif Mahasiswa se- Indonesia BEM SI melakukan aksi-aksi penolakan terhadap Gus Dur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukan Sidang Istimewa MPRDPR. Kelompok yang kedua, Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia BEM-I melakukan aksi-aksi pendukungan terhadap Gus Dur.

2.1.2. Aktivis Mahasiswa

Aktivis berasal dari kata dasar aktivitas yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah kegiatan. Aktivis adalah subyek atau orang dalam kegiatan tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan aktivis mahasiswa adalah mahasiswa yang menjadi subyek dalam kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan. Biasanya para aktivis mahasiswa terhimpun dalam organisasi kemahasiswaan atau menjadi fungsionaris atau pengurus suatu organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan adalah perkumpulan, kesatuan mahasiswa yang sudah terlembaga, mempunyai landasan hukum, dan mempunyai tujuan yang jelas guna mengembangkan peran serta dan fungsi mahasiswa di lingkungan maupun di masyarakat Buku Panduan Unnes, 2006: 23. Organisasi kemahasiswaan bisa berupa organisasi kemahasiswaan intra kampus maupun organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Ormawa tingkat universitas mempunyai landasan hukum yaitu dengan Keputusan Rektor Unnes, sedangkan Ormawa tingkat fakultas mempunyai landasan hukum yaitu dengan Keputusan Dekan Fakultas yang bersangkutan. Sedangkan untuk organisasi kemahasiswaan ekstra kampus landasan hukumnya menurut aturan yang berlaku di dalam internal organisasinya masing- masing. Organisasi kemahasiswaan dibentuk dari, oleh dan untuk mahasiswa. Di kalangan kaum muda lebih khusus lagi mahasiswa, bahwa mahasiswa dalam hal ini adalah para aktivis mahasiswa senantiasa peka terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap persoalan masyarakat ini menurut Arbi Sanit 1985 dalam Rahmat dan Najib, 2001: xii-xiii disebabkan paling tidak oleh lima hal. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa memiliki pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai golongan masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur ekonomi dan akan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat, adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya. Mahasiswa melalui penentangannya yang sistematis, menegaskan perbedaannya yang otonom dari struktur masyarakat tradisional. Suatu penentangan yang dilakukan secara sadar sebagai wujud dari kegelisahan atas kebekuan sistem sosial yang berjalan tidak normal di dalam masyarakat atau kadang-kadang dikarenakan suatu penghayatan tertentu terhadap suatu realitas yang diresapi kembali dan ditransformasikan dari struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif. Untuk konteks Indonesia, kemunculan peranan kelompok ini dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia merupakan fenomena khas abad 20. Mahasiswa, disebabkan oleh beberapa kualitasnya yang spesifik, tampil sebagai suatu lapisan masyarakat yang vokal, berorientasi ke depan sehingga menjadi idealis dan tentu saja sebagai sebuah konsekuensinya, mahasiwa memiliki suatu posisi sosial tertentu dan sangat menentukan dimana di dalamnya sejumlah privelese menjadi haknya yang dikuasai secara independen. Membicarakan mahasiswa berarti kita tengah membicarakan suatu kelompok masyarakat yang sadar dan tersadarkan. Suatu kelompok masyarakat yang sesungguhnya memiliki peran sangat penting dalam dinamika sosial suatu masyarakat secara keseluruhan. Memang sangat sulit untuk menentukan sejauh mana peran ini dapat dimainkan dikarenakan faktor situasi dan kondisi yang melingkupinya seringkali berubah. Tetapi pada umumnya dalam suatu kondisi yang melingkupinya seringkali berubah. Tetapi pada umunya dalam suatu kondisi krisis tertentu dalam suatu masyarakat, mahasiswa yang lebih memiliki kesempatan untuk tidak terlalu jauh terseret oleh krisis itu karena faktor pendidikannya, menunjukkan peran pentingnya itu melalui responnya terhadap suatu krisis seraya mendorong lahirnya alternatif-alternatif baru bagi krisis tersebut. Saat itulah kewajiban mendasar yang dituntut darinya adalah suatu tindakan ‘heroik’, sebagai wujud responnya terhadap krisis yang timbul dan sedang dihadapi oleh masyarakat. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dimana ketimpangan-ketimpangan sosial seringkali nampak jelas, terbuka peluang yang lebih besar bagi lahirnya suatu krisis di dalam suatu masyarakat. Hal ini memberikan penjelasan mengapa kemudian di negara-negara berkembang ini, suatu proses radikalisasi untuk perubahan menjadi bagian yang sangat menonjol dalam dinamika kehidupan mahasiswa. Dihubungkan dengan persoalan kesempatan yang diberikan oleh suatu sistem sosial dan politik, yang memang sangatlah buruk di banyak negara berkembang, kelompok mahasiswa biasanya menunjukkan sikap enggan untuk mematuhi sistem tersebut, alih-alih memperlihatkan penentangannya. Hal ini oleh Burhan D. Magenda dalam Rahmat, 2001: 31 disebutkan sebagai etika nobless oblige, suatu privelese yang disandang mahasiswa yang dihubungkan dengan semangatnya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Di sini timbul pertanyaan, apakah sifat ini sepenuhnya tunduk pada suatu kondisi atau situasi sosial politik tertentu. Menurut Albach, 1988: 11-15 terjadi kemerosotan dalam gerakan mahasiswa, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut: Pertama, ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk mempertahankan tingkat kegiatan politiknya, terutama dalam memobilisasikan massa, untuk waktu yang lama. Kedua, akibat dari ‘artefak media massa’. Terdapat hubungan yang dekat antara gerakan mahasiswa dengan perhatiannya terhadap gerakan mahasiswa, maka krisis akan segera terjadi pada gerakan tersebut. Ketiga, perubahan fokus perhatian mahasiswa dari isu-isu yang bersifat gerakan massa menjadi isu elite dan cenderung menjauh dari massa. Keempat, perubahan orientasi mahasiswa, khususnya dalam gaya hidup, yang lebih liberal dan cenderung berbeda berbeda dengan masyarakat umum. Kelima, diserapnya sejumlah aktivis mahasiswa ke dalam posisi-posisi profesional, termasuk pula oleh sistem politik baru. Pada saat yang sama minat terhadap studi sosial dan kemanusiaan menurun dan lebih cenderung pada bidang-bidang profesi. Dampaknya adalah menurunnya kegiatan politik yang beresiko tinggi. Keenam, perubahan kebijakan pendidikan di kampus-kampus efektif menurunkan tingkat aktivisme mahasiswa. Ketujuh, faktor populasi mahasiswa turut pula memberi pengaruh, khususnya dalam menciptakan keseimbangan baru di dalam kampus yang tidak rawan krisis. Kedelapan, gerakan mahasiswa sendiri banyak yang merasa gagal dalam menjalankan fungsinya untuk melakukan perubahan yang mendasar dan besar-besaran. Kesembilan, perubahan realitas politik eksternal. Seperti institusionalisasi lembaga- lembaga politik telah memungkinkan terserapnya sejumlah agenda politik mahasiswa dan masyarakat secara umum, walaupun tidak keseluruhan, sehingga dengan begitu aktivisme mahasiswa yang terkait erat dengan isu- isu politik masyarakat luas dapat diserap oleh institusi politik resmi.

2.1.3. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat

Kebebasan berpendapat dan berbicara merupakan ruh demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga negara. Semua segi kehidupan manusia sangat membutuhkan arus pembicaraan. Melalui pembicaraan berbagai bentuk sosialisasi, kerjasama dan konsensus di antara manusia dalam kehidupan sosial terbentuk. Presiden Roosevelt menyatakan ada 4 empat macam hak dalam The Four Freedoms Empat Kebebasan yaitu: 1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat Freedom of Speech 2. Kebebasan beragama Freedom of Religion 3. Kebebasan dari ketakutan Freedom of Fear 4. Kebebasan dari kemelaratan Freedom of Want dalam Budiardjo, 2001: 120. Kebebasan berpendapat diharapkan dalam rangka untuk mendukung terselenggaranya pemerintahan yang baik dan demokratis sesuai dengan aspirasi masyarakat. Miriam Budiardjo 2001:60 menyatakan bahwa syarat- syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law ialah: 1 perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. 2 badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak independent and impartial tribunals. 3 pemilihan umum yang bebas. 4 kebebasan untuk menyatakan pendapat. 5 kebebasan untuk berserikatberorganisasi dan beroposisi. 6 pendidikan kewarganegaraan civic education. Banyak sekali jaminan bagi kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, misalnya dalam Declaration of Human Rights, Pasal 19 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.” Demokrasi menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat warga negaranya. Pembicaraan dan perdebatan yang bebas tapi bertanggungjawab, jujur dan terbuka akan menuntun warga pada kebenaran yang diyakini bersama sebagai tindakan umum yang lebih bijak. Sebaliknya, ketidakbebasan berbicara dan berpendapat akan membuat pembicaraan penuh dengan ketidakpastian, kebohongan dan ketidakjujuran. Hal inilah yang menyebabkan banyak aspirasi masyarakat arus bawah grassroots yang tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya. Pada masa Orde Baru berkuasa, masyarakat yang melakukan aksi protes hampir selalu ditangkap dan diadili berdasarkan ketentuan pasal 510 KUHP. Meskipun pasal itu mensyaratkan ijin bagi pawai atau keramaian umum belaka, tetapi pihak aparat beranggapan bahwa ijin atas pawai atau keramaian umum berlaku pula untuk segala bentuk penyampaian pendapat yang berupa lisan dan tulisan. Artinya bahwa kegiatan aksi demonstrasi juga termasuk di dalamnya sebagai bentuk pawai dan keramaian umum. Karena pada masa itu belum ada ketentuan khusus yang mengatur tentang aturan penyampaian pendapat apalagi demonstasi, hanya UUD 1945 pasal 28 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. Padahal dalam Covenan on Civil and Political Rights, Pasal 19 berbunyi: 1 Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan. 2 Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan segala macam penerangan dan gagasan tanpa menghiraukan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya. Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat-ayat dari pasal ini membawakan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab yang khusus. Oleh karena itu dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan-pembatasan ini terbatas pada yang sesuai dengan ketentuan hukum yang perlu: a untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang lain. b untuk perlindungan kemanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan dan moral umum. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diterbitkan pada bulan Oktober 1997 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 15 2 butir a Undang-Undang Kepolisian Negara RI Nomor 28 Tahun 1997 disebutkan mengenai wewenang kepolisian memberikan ijin untuk kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. ’Kegiatan’ dalam ketentuan tersebut tidak jelas maknanya, sehingga kegiatan aksi demonstrasi mudah saja dianggap menjadi jenis ’kegiatan’ dalam ketentuan tersebut.

2.1.4. Aksi Demonstrasi Sebagai Bentuk Partisipasi Politik

Aksi demontrasi adalah suatu model pernyataan sikap, penyuaraan pendapat, opini, atau tuntutan yang dilakukan dengan jumlah massa tertentu dan dengan teknik tertentu agar mendapat perhatian dari pihak yang dituju tanpa menggunakan mekanisme konvensional birokrasi. Demonstrasi juga bertujuan untuk menekan pembuat kebijakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan partisipasi politik secara umum merupakan suatu bentuk keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aksi demonstrasi umumnya dilatarbelakangi oleh matinya jalur penyampaian aspirasi atau buntunya metode dialog.. Dalam Trias Politika, aspirasi rakyat diwakili oleh anggota legislatif. Namun dalam kondisi pemerintahan yang korup, para legislator tidak dapat memainkan perannya, sehingga rakyat langsung mengambil ‘jalan pintas’ dalam bentuk aksi demonstrasi. Aksi demonstrasi juga dilakukan dalam rangka pembentukan opini atau mencari dukungan publik. Dengan demikian isu yang digulirkan harapannya dapat menjadi snowball. Dari isu mahasiswa menjadi isu masyarakat kebanyakan, seperti dalam kasus aksi menuntut mundur Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Aksi demonstrasi adalah hak bahkan dalam situasi tertentu dapat menjadi kewajiban. Ia dilindungi oleh undang-undang positif. Selain Declaration of Human Right Freedom of Speech, hak aksi juga dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 beserta amandemennya. Secara lebih spesifik, aksi ini kemudian diatur dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Mekanisme Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Undang- Undang ini mengharuskan panitia aksi untuk memberikan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian setidaknya 3 tiga hari menjelang hari pelaksanaan. Ketentuan lainnya adalah, di dalam surat pemberitahuan itu harus ada nama penanggung jawab aksi, waktu pelaksanaan, rute yang dilewati, isu yang dibawa, jumlah massa, dan bentuk aksi. Selain itu ada juga larangan untuk melakukan aksi pada hari-hari tertentu dan tempat- tempat tertentu. Dalam pandangan aktivis, Undang-Undang ini pada awal pengesahannya dicurigai sebagai alat untuk mengebiri suara kritis mahasiswa dan rakyat. Pada perkembangannya, Undang-Undang inilah yang digunakan oleh rezim berkuasa melalui aparat kepolisian untuk mematikan suara oposan, dengan banyak menyeret para aktivis ke penjara. Aksi demonstrasi merupakan bagian dari bentuk partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah public policy dalam Sastroatmodjo, 1995: 68. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan contacting dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Partisipasi politik warga negara dipengaruhi oleh sistem politik yang diterapkan oleh suatu negara. Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory memberi definisi tentang sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan- pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. dalam Budiardjo, 2001:61 Surbakti 1992: 141-142 mengkategorikan kegiatan partisipasi politik dengan sejumlah kriteria “rambu-rambu” yang menjadi konseptualisasi dari partisipasi politik itu sendiri. Pertama, partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk dalam pengertian ini, seperti kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Ketiga, kegiatan yang berhasil efektif maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik. Keempat, kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan secara tidak langsung berarti mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap dapat meyakinkan pemerintah. Keduanya termasuk ke dalam kategori partisipasi politik. Kelima, kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar convensional dan tak berupa kekerasan non- violence, seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan petisi, melakukan kontak tatap muka, dan menulis surat maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang wajar tak konvensional dan berupa kekerasan violence, seperti aksi demonstrasi unjuk rasa, pembangkangan halus seperti memilih kotak kosong daripada memilih calon yang disodorkan pemerintah, huru-hara, mogok, pembangkangan sipil, serangan bersenjata dan gerakan-gerakan poltik, seperti kudeta dan revolusi. Almond menunjukkan macam-macam partisipasi politik sebagai berikut: Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Konvensional Non Konvensional Pemberian Suara voting Diskusi politik Kegiatan kampanye Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif Pengajuan Petisi Berdemonstrasi Konfrontasi Mogok Tindak kekerasan politik terhadap harta-benda perusakan, pengeboman, pembakaran Tindak kekerasan politik terhadap manusia penculikan, pembunuhan Perang gerilya dan revolusi Sumber:Almond,1978 dalam Suryadi, 2007: 134. Berdasarkan taraf atau luasnya partisipasi politik, Michael Rush dan Philip Althoff menggambarkannya sebagai berikut: Gambar 2.1.Hierarkhi Partisipasi Politik Sumber: Rush, Michael dan Philip Althoff, 2000:140 dalam Susanti, 2006: 7. Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb. Partisipasi dalam diskusi politik formal, minat umum dalam politik Voting pemberian suara Apathi total Berbagai jenis partisipasi yang tergambar dalam piramida yang basisnya lebar, tetapi menyempit ke atas sejalan dengan meningkatnya intensitas kegiatan politik. Di antara basis dan puncak terdekat pelbagai kegiatan yang berbeda-beda intensitasnya, berbeda menurut intensitas kegiatan maupun mengenai bobot komitmen dari orang yang bersangkutan. Termasuk di dalamnya memberi suara dalam pemilihan umum, mendiskusikan masalah politik, menghadiri rapat umum yang bersifat politik, dan menjadi anggota kelompok kepentingan. Yang lebih intensif lagi adalah melibatkan diri dalam berbagai proyek pekerjaan sosial, contacting atau lobbying pejabat-pejabat, bekerja aktif sebagai anggota partai politik dan menjadi juru kampanye, dan yang paling intensif, sebagai pimpinan partai atau kelompok kepentingan dan pekerja sepenuh waktu. Mahasiswa sebagai bagian yang cukup banyak berperan dalam hal partisipasi politik perlu mendapat perhatian. Gerakan mahasiswa dari masa ke masa selalu memberikan nuansa yang berbeda dalam hal partisipasinya untuk terlibat dalam dunia perpolitikan, namun ada beberapa fenomena dalam gerakan mahasiswa yang perlu diketahui. Phillip G. Altbach 1988: 15 berpendapat tentang adanya pergeseran fokus perhatian aktivis mahasiswa tentang isu, yaitu: ”bahwa realitas-realitas politik eksternal telah berubah. Gerakan- gerakan aktivis mahasiswa terutama lebih dirangsang oleh politik kemasyarakatan daripada oleh persoalan-persoalan di dalam universitas itu sendiri, dan perubahan-perubahan di dalam kehidupan politik secara alamiah akan mempunyai dampak penting atas gerakan mahasiswa.” Phillip G. Altbach 1988: 134 menyatakan bahwa gerakan mahasiswa bisa dibedakan menjadi tiga tahap. Pertama, tahap kecaman terhadap masalah-masalah politik secara umum. Kedua, tahap ketika mahasiswa memusatkan perhatian pada masalah-masalah universitas. Dan tahap ketiga, merupakan fase pendirian dan pengembangan secara eksplisit organisasi dan partai politik dengan landasan ideologi politik. Phillip G. Altbach 1988: 30 berpendapat bahwa relatif sedikit saja kampanye dan aksi demonstrasi kaum aktivis dan energi mahasiswa nampak mengatur bagi kegiatan-kegiatan nonpolitis. Perhatian atau atensi berkaitan dengan informasi yang kita perhatikan Baron dan Byrne, 2004: 81. Kerangka berfikir atau skema adalah kerangka mental yang berpusat pada tema-tema spesifik yang dapat membantu kita mengorganisasi informasi sosial. Kerangka berfikir telah terbukti berpengaruh terhadap semua aspek dasar kognisi sosial Wyer Srull, 1994, dalam Baron dan Byrne, 2004: 81. Dalam hubungannya dengan perhatian atau atensi, kerangka berfikir seringkali berperan sebagai sejenis penyaring: informasi yang konsisten dengan skema lebih diperhatikan dan lebih mungkin untuk masuk ke dalam kesadaran kita. Informasi yang tidak cocok dengan skema seringkali diabaikan Fiske,1993 dalam Baron dan Byrne, 2004:81, kecuali informasi tersebut sangat ekstrem sehingga mau tidak mau kita akan memperhatikannya. Di antara sekian banyak macam isu dalam masyarakat, dalam buku ”Merubah Kebijakan Publik” karya Roem Topatimasang, dkk. 2001: 63, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan bahwa suatu isu strategis untuk diadvokasi. Antara lain; faktor aktualitas sedang hangat atau sedang menjadi perhatian masyarakat, pada dasarnya, suatu isu dapat dikatakan sebagai isu yang strategis jika: a penting dan mendesak, dalam artian tuntutan memang semakin luas di masyarakat agar isu tersebut segera ditangani, jika tidak akan membawa dampak negatif lebih besar pada kehidupan masyarakat umum; b penad dengan kebutuhan dan aspirasi sebagian anggota masyarakat awam, khususnya lapisan mayoritas yang selama ini paling terabaikan kepentingannya; c akan berdampak positif pada perubahan kebijakan-kebijakan publik lainnya yang mengarah pada perubahan sosial yang lebih baik; d sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial yang lebih besar seperti yang dituntut oleh masyarakat.

2.1.5. Faktor-Faktor Pendorong Partisipasi Politik

Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara tetapi dalam kenyataan prosentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Tinggi rendahnya partisipasi politik warga negara dalam proses politik suatu negara setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah sistem politik. Kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia tinggal. Yang dimaskud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak? Surbakti, 1992: 144. Berdasarkan tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah, Paige dalam Sunarto, 2004: 25 membagi partisipasi politik menjadi empat tipe. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi maka partisipasi politik cenderung aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan apatis. Tipe partisipasi ketiga berupa militan radikal, yakni apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Selanjutnya, apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi maka partisipasi ini disebut pasif. Sebab-sebab seseorang menggunakan bentuk-bentuk partisipasi politiknya adalah berbagai motivasi yang ada pada kelompoknya dan dirinya, tentang bagaimana caranya agar tujuan-tujuannya tercapai melalui saluran-saluran politik yang ada. Partisipasi politik seseorang atau kelompok orang tentunya berbeda, hal ini dipengaruhi oleh kepentingan dari individu seseorang atau kelompok tersebut. Weber mengemukakan terdapat 5 lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut: a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik. b. perubahan-perubahan struktur kelas. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik c. pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern.. ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang. d. konflik antar kelompok pemimpin politik. Jika timbul konflik antarelit, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristocrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat. e. keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi dalam pembuatan keputusan politik. dalam Suryadi, 2007: 128 Vaughan dan Archer dalam Altbach, 1988: 198 menyatakan bahwa suatu ideologi dapat mempengaruhi aksi dalam hal menentukan tujuan dan memilih sarana tertentu, diantara berbagai sarana yang ada, untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Phillip G. Altbach 1988: 178 bahwa terdapat kesan bahwa ideologi total, yang difokuskan melalui salah satu dari nilai-nilai sentralnya, menstrukturkan persepsi, peristiwa-peristiwa yang penting, sasaran yang khas dan sarana-sarana yang dipilih pada tingkat aksi politik mahasiswa. Dengan kata, lain ideologi menuntun respon dan pola tindakan. Selain itu, ideologi merumuskan masalah dan pemecahannya pada tingkat politik nasional. Penganjur ideologi merasa bahwa peristiwa dan masalah-masalah nasional mempunyai hubungan erat dengan aksi protes di dalam universitas. Adakalanya para mahasiswa dibangkitkan oleh suatu isu politik, meskipun dalam kasus-kasus tersebut demonstrasinya cenderung kecil dan tidak tercipta gerakan atau organisasi yang langgeng Altbach, 1988: 32. Menurut Altbach 1988:199 bahwa suatu nilai atau kepercayaan politik, dalam peran sebagai kriteria selektif, mempunyai pengaruh yang lebih langsung terhadap seleksi dari tujuan untuk bertindak, dibanding pengaruh yang dimiliki kepercayaan politik, dalam peran kriteria evaluatif. Sebab sebelum prinsip moral dan aspek-aspek evaluatif kepercayaan dapat berpengaruh terhadap aksi yang mendukung konfrontasi, aspek-aspek evaluatif tersebut harus dipandang dengan suatu cara yang khas.

2.2. Kerangka Berfikir

Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa merupakan salah satu bentuk partisipasi politik mahasiswa. Sarana ini paling sering dilakukan oleh para aktivis mahasiswa, hampir setiap isu yang berkembang di masyarakat berpotensi menjadi bahan isu aksi demonstrasi. Aktivis mahasiswa dapat dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama adalah aktivis organisasi kemahasiswaan intra kampus dan kelompok yang kedua adalah aktivis organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Kedua kelompok ini memiliki karakter kekhasannya masing-masing, jika dilihat dari filosofi berdirinya organisasi, Ormawa intra kampus berdiri berdasarkan idealisme universal atau umum sedangkan Ormawa ekstra kampus berdiri berdasarkan idealisme ideologi tertentu, seperti ideologi Islam, KristenKatholik, Pancasila, Sosialis maupun Liberal. Organisasi kemahasiswaan memiliki salah satu peran yaitu melakukan pendidikan politik terhadap anggotanya. Kedua kelompok Ormawa tersebut memiliki lingkungan organisasi yang berbeda, nuansa yang berbeda, nilai-nilai yang berbeda serta idealisme yang berbeda pula. Dari perbedaan karakter kedua kelompok aktivis mahasiswa ini berpengaruh terhadap karakter pergerakannya, lebih khusus dalam penelitian ini adalah karakter aksi demonstrasi yang dilakukan oleh keduanya. Dengan rumusan masalah bagaimana fokus perhatian isu yang mereka usung dan bagaimana tingkat partisipasi keikutsertaan mereka dalam aksi demonstrasi. Kerangka berfikir di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut: Gambar 2.2. Skema Kerangka Berfikir Penelitian Partisipasi Politik Aktivis Partisipasi Politik Aktivis Aksi Demonstrasi: 1. Isu Aksi Demonstrasi 2. Tingkat partisipasi keikutsertaan dalam Aksi Demonstrasi Pendidikan Politik Pendidikan Politik Karakteristik Aksi Demonstrasi Aktivis Mahasiswa Intra Kampus Karakteristik Aksi Demonstrasi Aktivis Mahasiswa Ekstra Kampus Ormawa Intra Kampus Ormawa Ekstra Kampus

BAB III METODE PENELITIAN

Dokumen yang terkait

Pemetaan gerakan mahasiswa : (studi terhadap Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus di UIN Jakarta)

0 11 75

ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PEKERJAAN PADA AKTIVIS YANG MENGIKUTI ORGANISASI KEMAHASISWAAN ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PEKERJAAN PADA AKTIVIS YANG MENGIKUTI ORGANISASI.

0 7 18

ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PEKERJAAN PADA AKTIVIS YANG MENGIKUTI ORGANISASI KEMAHASISWAAN ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PEKERJAAN PADA AKTIVIS YANG MENGIKUTI ORGANISASI.

0 2 20

MANAJEMEN KONFLIK INTERPERSONAL PADA MAHASISWAAKTIVIS ORGANISASI KEMAHASISWAAN Manajemen Konflik Interpersonal Pada Mahasiswa Aktivis Organisasi Kemahasiswaan.

0 3 17

SOSIALISASI POLITIK DALAM ORGANISASI MAHASISWA INTRA KAMPUS DI UNIVERSITAS NEGERI MEDAN.

0 2 22

Karakteristik Aksi Demonstrasi Yang Dilakukan Oleh Aktivis Organisasi Kemahasiswaan Intra dan Ekstra Kampus Universitas Negeri Semarang.

0 1 133

BUDAYA POLITIK KAMPUS Studi terhadap Aktivis Mahasiswa Universitas Negeri Semarang.

0 0 2

PERILAKU BELAJAR AKTIVIS ORGANISASI INTRA KAMPUS (STUDI TERHADAP AKTIVIS HIMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI FIS UNNES)

0 1 53

PENERIMAAN KHALAYAK AKTIVIS ORGANISASI MAHASISWA EKSTRA KAMPUS SURABAYA TERHADAP IDEOLOGIS TOKOH GIE DALAM FILM GIE : Studi Analisis Resepsi Aktivis Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek) Cabang Surabaya Terhadap Ideologi Tokoh Gie dalam Film GIE Repo

0 0 191

INFILTRASI IDEOLOGI IKHWANUL MUSLIMIN TERHADAP ORGANISASI KEMAHASISWAAN EKSTRA DAN INTRA KAMPUS UIN ALAUDDIN MAKASSAR (Studi Kasus LDK dan KAMMI)

0 0 78