KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI LATAR DALAM CERPEN DEMI BU CAMAT KARYA YUSRIZAL K.W. SISWA KELAS VII SMP NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2011/2012

ABSTRAK
KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI LATAR DALAM CERPEN
DEMI BU CAMAT KARYA YUSRIZAL K.W. SISWA KELAS VII
SMP NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG
TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Oleh
Mei Yusevan Sari
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan mengidentifikasi latar
dalam cerpen Demi Bu Camat karya Yusrizal K.W. siswa kelas VII SMP Negeri 3
Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan kemampuan mengidentifikasi latar dalam cerpen Demi Bu Camat
karya Yusrizal K.W. siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar Lampung Tahun
Pelajaran 2011/2012.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, maksudnya
penulis mendeskripsikan kemampuan siswa, yaitu kemampuan mengidentifikasi latar
dalam cerpen Demi Bu Camat Karya Yusrizal K.W. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012.
Populasi berjumlah 258 siswa yang tersebar dalam delapan kelas. Karena jumlah
populasi yang lebih kurang dari 500 (populasi kecil) maka sampel diambil sebesar
10% dari jumlah siswa setiap kelas sehingga sampelnya berjumlah 24 siswa. Dalam


Mei Yusevan Sari
penentuan sampel, peneliti menggunakan teknik cluster random sampling atau
pengambilan sampel secara acak. Data kemampuan mengidentifikasi latar dalam
cerpen diperoleh melalui tes tertulis dalam bentuk pemberian tugas, yaitu siswa
diberi tugas mengidentifikasi latar dengan memanfaatkan cerpen Demi Bu Camat
karya Yusrizal K.W.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan mengidentifikasi latar dalam
cerpen Demi Bu Camat karya Yusrizal K.W. siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar
Lampung tahun pelajaran 2011/2012 tergolong dalam kategori baik, berada pada
interval 75%-84%. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kemampuan siswa secara
keseluruhan, yaitu 77,89. Kemampuan mengidentifikasi latar ditinjau dari
menunjukkan latar tempat tergolong dalam kategori baik sekali dengan nilai ratarata 85. Kemampuan mengidentifikasi latar ditinjau dari menunjukkan latar sosial
tergolong dalam kategori baik dengan nilai rata-rata 76,6 sedangkan kemampuan
mengidentifikasi latar dalam cerpen ditinjau dari menunjukkan latar waktu
tergolong dalam kategori cukup dengan nilai rata-rata 71,5.

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan cabang seni yang menjadikan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa adalah
bahan baku kesusastraan. Karya sastra yang indah bukan saja karena bahasanya yang beralun dan
penuh irama, melainkan karena adanya dua unsur pembangun di dalamnya yakni unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Intrinsik merupakan unsur pembangun dari dalam suatu karya sastra tersebut
sedangkan ekstrinsik merupakan unsur pembangun dari luar karya tersebut.
Sebagai salah satu unsur yang membangun dari dalam karya sastra itu, unsur intrinsik inilah
yang menyebabkan karya sastra hadir melalui kepaduan antarberbagai unsur intrinsik, yaitu
unsur-unsur yang dikemas dalam wujud struktur karya sastra yang terdapat dalam latar, tema,
tokoh, dan alur. Unsur tersebut menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca atau
pendengar.
Karangan fiksi merupakan salah satu karya sastra. Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu
karangan fiksi. Cerita pendek (short story) adalah cerita atau narasi yang fiktif merupakan rekaan
pengarang, bercerita tentang kehidupan, relatif singkat, dan padat. Dalam karangan fiksi cerita
pendek termasuk yang paling sederhana. Setiap cerpen tidak terlepas dari unsur-unsur intrinsik,
seperti tema, tokoh, alur, latar, amanat, sudut pandang, dan sebagainya. Seperti halnya karya
sastra yang lain, cerpen juga mampu menerima dan sekaligus memberi pengaruh kepada
masyarakat. Dalam cerpen juga mengandung nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat, seperti


nilai moral, nilai sosial, dan nilai-nilai keagamaan. Hal ini memberikan tanggapan bahwa sastra
merupakan realitas sosial budaya. Kata realitas yang merupakan tekanan dari fiksi memiliki arti
apa-apa yang terjadi (tetapi belum tentu terjadi) (Tarigan, 1985: 122).
Suatu karya fiksi harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu, seperti halnya dengan
kehidupan ini juga berlangsung dalam ruang dan waktu. Fiksi adalah sebuah dunia dalam kata
yang di dalamnya terjadi pada kehidupan, yakni kehidupan para tokoh dalam peristiwa-peristiwa
tertentu. Jika dalam fiksi lama (klasik) tempat kejadian cerita dan tahun-tahun terjadinya cerita
disebutkan secara panjang lebar dan kurang digarap sebagai elemen struktural fiksi yang penting,
tidak demikian dengan fiksi modern. Di dalam fiksi modern, ruang dan waktu terjadinya
peristiwa digarap pengarang menjadi elemen cerita yang penting, yang terjalin erat dengan
pengarang menjadi elemen lainnya, seperti dengan karakter dan plot. Oleh karena itu, pembaca
fiksi modern hanya mengetahui kapan dan di mana suatu cerita terjadi tidaklah cukup.
Latar sebagai unsur intrinsik sastra berpengaruh dalam membentuk sebuah cerita. Unsur latar
sangat penting dalam menciptakan sebuah cerpen. Dengan kejelasan latar seseorang akan mudah
dalam mengapresiasi suatu karya sastra di mana dan bagaimana terjadinya sebuah cerita. Latar
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini untuk memberikan kesan realitas
kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan
terjadi (Nurgiyantoro, 1998:217).
Pengajaran sastra di SMP pada dasarnya bertujuan agar siswa mampu memiliki rasa peka
terhadap karya sastra sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk mempelajarinya. Di dalam

pengajaran sastra terjadi suatu proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman,
dan penikmatan terhadap karya sastra sehingga siswa mampu menerapkan temuannya dalam

kehidupan nyata. Siswa akan memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya, yakni
membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta,
dan rasa serta menunjang pembentukan watak.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia kelas VII SMP Negeri 3 Bandar Lampung terdapat butir yang menyebutkan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai siswa, yakni mengidentifikasi unsur intrinsik pada pembacaan
cerpen. Salah satu indikator pembelajarannya yaitu dapat mengidentifikasi latar pada cerpen.
Tujuannya agar peserta didik memiliki kemampuan memahami unsur intrinsik suatu karya sastra
dan mengetahui di mana, kapan dan status sosial para tokoh dalam cerita serta dapat
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Unsur intrinsik dalam cerpen juga
khususnya aspek latar sangat penting dipelajari agar dapat lebih memahami pesan yang ada di
dalam cerpen.
Guru dapat memanfaatkan cerpen dalam proses pembelajaran, melalui cerpen, pengarang dapat
menumpahkan pikirannya dengan bahasa yang menarik, penuh imajinatif, dan mengandung
nilai-nilai kehidupan serta tak jarang ditemui cerpen yang dapat menghibur pembacanya. Latar
sebagai unsur intrinsik sastra berpengaruh dalam membentuk sebuah cerita. Mengingat
pentingnya deskripsi latar yaitu untuk mengetahui bagaimana keadaan, pekerjaan, dan status

sosial para tokoh dan fungsinya, selain itu agar siswa mampu memahami latar serta dapat
mengidentifikasi waktu, tempat, dan suasana kejadian-kejadian dalam cerita. Penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian tentang latar dalam cerpen karya Yurizal K.W.
Penulis memilih cerpen “Demi Bu Camat” karya Yurizal K.W. dengan alasan bahwa cerita
dalam cerpen tersebut sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesenjangan sosial

mengakibatkan adanya tingkat sosial antara orang yang lebih tinggi status sosialnya dengan
orang yang status sosialnya lebih rendah dalam masyarakat. Dengan cerpen tersebut, diharapkan
pembaca khususnya siswa SMP Negeri 3 Bandar Lampung dapat menentukan tempat dan waktu
kejadian dalam cerita serta dapat mengambil nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung di
dalamnya.
Pemilihan SMP Negeri 3 Bandar Lampung sebagai tempat penelitian karena SMP Negeri 3
Bandar Lampung adalah sekolah berstandar nasional dengan status akreditasi A dan termasuk
salah satu SMP favorit di Bandar Lampung. Pemilihan SMP Negeri 3 Bandar Lampung juga
disebabkan tempat penulis mengenyam bangku SMP di sekolah tersebut. Berdasarkan uraian di
atas, penulis ingin meneliti kemampuan siswa SMP Negeri 3 Bandar Lampung tahun pelajaran
2011/2012 dalam mengidentifikasi latar pada cerpen “Demi Bu Camat” karya Yusrizal K. W..
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut
“Bagaimanakah kemampuan mengidentifikasi latar dalam cerpen “Demi Bu Camat” karya

Yusrizal K. W. siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar Lampung?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan kemampuan
mengidentifikasi latar dalam cerpen “Demi Bu Camat” karya Yusrizal K. W. siswa kelas VII
SMP Negeri 3 Bandar Lampung tahun pelajaran 2011/2012.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan siswa SMP Negeri 3 Bandar Lampung dalam me-mahami unsurunsur intrinsik dalam cerpen khususnya pada aspek latar.

2. Menambah pengetahuan siswa SMP Negeri 3 Bandar Lampung dalam menggolongkan
unsur-unsur latar dalam cerpen tersebut.
3. Informasi bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Negeri 3 Bandar Lampung
tentang tingkat kemampuan siswa dalam menentukan latar dalam cerpen.
4. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan mahasiswa yang akan menjadi calon guru Bahasa
dan Sastra Indonesia dan Daerah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1. Subjek penelitian yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar Lampung tahun pelajaran
2011/2012.
2. Objek penelitian ini adalah kemampuan mengidentifikasi latar dalam cerpen “Demi Bu
Camat” karya Yusrizal K. W.
3. Tempat penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Bandar Lampung.

4. Waktu penelitian dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2011/2012.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Kemampuan Mengidentifikasi
Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, keuletan, dalam mengungkapkan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya (Poerwadarminta, 2000:628). Kemampuan adalah kapasitas
seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Dapat diartikan pula
bahwa kemampuan adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang.
Ketika seseorang melakukan berbagai tugas dalam satu pekerjaan dan dinilai oleh orang lain,
maka dapat diketahui kemampuan yang dimiliki orang tersebut.
Mengidentifikasikan adalah menetapkan atau menentukan identitas (orang,benda, dsb),
memastikan, memutuskan,memberi batasan (Depdiknas, 2005:417). Taksonomi Bloom membagi
tujuan pendidikan menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi
kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Cognitive Domain(Ranah
Kognitif) merupakan salah satunya yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek
intelektual, seperti pengetahuan (Knowledge) yang berisikan kemampuan untuk mengenali dan
mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, dan urutan. Jenis pertanyaan yang
sesuai salah satunya adalah mengidenifikasi.

Kemampuan mengidentifikasi dapat dilihat dari proses belajar. Proses belajar dalam konteks
pendidikan formal, merupakan proses yang dialami secara langsung dan aktif oleh pebelajar pada
saat mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar yang direncanakan atau disajikan di sekolah, baik
yang terjadi di kelas maupun di luar kelas (Soedijarto, 1993: 94). Proses belajar yang berkualitas
dan relevan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu direncanakan. Belajar

merupakan kegiatan aktif pebelajar dalam membangun makna atau pemahaman sehingga
diperlukan dorongan kepada pebelajar dalam membangun gagasan. Oleh karena itu diperlukan
penciptaan lingkungan yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab pebelajar untuk
belajar sepanjang waktu. Dengan adanya proses belajar yang berkualitas dan pebelajar yang
aktif, hal itu dapat memengaruhi kemampuan masing-masing pebelajar.
Proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks, yang melibatkan setiap kata, pikiran,
tindakan, dan sampai sejauh mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan
rancangan pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung. Ini
berarti, dalam pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan perhatian pebelajar ke dalam nuansa
proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan. Di dalam proses pembelajaran masih terdapat
kendala-kendala yang dihadapi siswa sehingga tujuan pembelajaran kurang tercapai. Adapun
kendalanya yakni 1) pebelajar kurang respon tehadap pembelajaran yang diberikan, seperti
kurang memperhatikan tugas yang diberikan, 2) pebelajar malas berpikir kreatif terhadap tugas
yang diberikan, 3) pebelajar kurang termotivasi sehingga cenderung tidak sungguh-sungguh

mengerjakan tugas yang diberikan, dan 4) Keadaan internal dan eksternal kelas juga dapat
mempengaruhi proses pembelajaran, seperti ribut, cuaca panas sehingga keadaan kelas menjadi
tidak nyaman dan tidak kondusif.
Untuk itu diperlukan membangun ikatan emosianal dengan pebelajar, yaitu dengan menciptakan
kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan ancaman. Hal ini merupakan
faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Studi-studi
menunjukkan bahwa pebelajar lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang,
dan ramah. Dengan kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan yang

berhubungan dengan bahan pelajaran, hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan dari masingmasing pebelajar, dari kemampuan yang dimiliki pebelajar yang cenderung kurang menjadi lebih
baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman terhadap fenomena belajar dan pembelajaran,
sehingga dalam implementasinya dapat lebih efektif dan efesien (Walberg, 1997 dalam Deporter,
B., 2002: 23).
2.2 Pengertian Cerita Pendek (Cerpen)
Cerita pendek atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan short story, merupakan satu karya sastra
yang sering kita jumpai di berbagai media massa. Bentuk cerpen adalah bentuk yang paling
banyak digemari dalam dunia kesusastraan Indonesia. Bentuk ini tidak saja digemari oleh para
pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikirannya.
Pembaca yang ingin menikmati hasil sastra tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu.
Dalam satu jam saja seseorang bisa menikmati sebuah cerpen (Ajip Rosidi, 1968:11).

Cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan baik diri sendiri ataupun orang lain yang
memberikan kesan pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi oleh hal-hal yang
tidak perlu (Notosusanto dalam Tarigan, 1985:176). Cerita pendek adalah karangan nasihat yang
bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat
tetapi padat (Susanto dalam Tarigan, 1985:176).
Cerita pendek adalah cerita yang hanya menceritakan satu peristiwa dari seluruh kehidupan
pelakunya (Asul Wiyanto, 2005:77). Secara umum dapat penulis simpulkan bahwa cerita pendek
adalah karangan narasi yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan
pelakunya yang memberikan kesan pada jiwa pembaca relatif singkat tetapi padat.
2.2.1 Ciri-Ciri Cerita Pendek

Masih banyak orang belum mengetahui ciri-ciri sebuah cerita pendek. Mengenai hal tersebut, di
bawah ini penulis kemukakan ciri-ciri sebuah cerita pendek adalah sebagai berikut.
1. Ceritanya pendek, bersifat rekaan (fiction), dan bersifat naratif.
2. Singkat, padu, dan intensif.
3. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak.
4. Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian.
5. Cerita Pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai
kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang

pertama-tama menarik perasaan, dan baru menarik pikiran pembaca.
7. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja, dan
yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
8. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.
9. Cerita pendek harus mempunyai pelaku utama.
10. Cerita pendek harus satu efek atau kesan yang menarik.
11. Cerita pendek bergantung pada (satu) situasi.
12. Cerita pendek memberikan impresi tunggal.
13. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek.
14. Cerita pendek menyajikan satu emosi.
15. Jumlah kata-kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak
boleh lebih dari 10.000 (Tarigan, 1984:177).
2.2.2 Pembagian Cerpen

Mengadakan pembagian atau klasifikasi terhadap cerpen dapat dilakukan dari berbagai sudut
pandangan. Adapun pembagian cerpen sebagai berikut.
2.2.2.1 Berdasarkan Jumlah Kata
Berdasarkan jumlah kata yang dikandung oleh cerpen maka dapatlah dibedakan menjadi 2
tipe, yakni:

1. cerpen yang pendek (short short story).
Cerpen dengan jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5000 kata
maksimum 5000 kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat
dibaca dalam waktu kira-kira seperempat jam.
2. cerpen yang panjang (long short story).
Cerpen yang jumlah katanya mencapai 5000 sampai 10.000 kata, atau kira-kira 33
halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat dibaca kira-kira setengah jam.
2.2.2.2 Berdasarkan Nilai Sastra
Setelah membaca cerita pendek, maka dapat diketahui cerpen yang benar-benar bernilai
sastra, yaitu memenuhi norma-norma yang dituntut oleh seni sastra, dan di samping itu ada
pula beberapa yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditunjukkan untuk menghibur saja.
Klasifikasi cerpen tersebut dibedakan menjadi 2 tipe, yakni.
1. Cerpen Sastra
Cerpen yang isinya mengandung sastra, biasanya terfokus pada satu tema dengan plot
dan jalan cerita yang sangat jelas. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat konvensional
dan berdasar pada realitas (fakta).
2. Cerpen Hiburan

Cerpen yang terfokus pada satu tema dengan plot (alurnya) tidak terstruktur dan
kadang-kadang dibuat mengambang oleh cerpenisnya. Cerpen jenis ini biasanya enak
dibaca dan mudah dipahami isinya. Cerpen jenis ini pada umumnya bersifat
kontemporer, dan ditulis berdasarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang orisinal,
sehingga lajim disebut sebagai cerpen ide (cerpen gagasan). Cerpen jenis ini sulit sekali
dipahami oleh para pembaca awam sastra, harus dibaca berulang kali baru dapat
dipahami.
Memang sulit membuat batas yang tegas antara cerpen sastra dengan cerpen hiburan, karena
cerpen sastrapun mungkin pula mengandung hiburan, dan cerpen hiburan pula mengandung
sastra. Dari buku atau majalah yang memuat cerpen itu dapat diketahui termasuk jenis mana
cerpen tersebut. Di Indonesia misalnya, cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah:
Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Cerita Pendek Horison, Budaya Jaya, adalah
cerpen sastra, dan yang dimuat dalam majalah Terang Bulan dan sejenisnya, adalaha cerpen
hiburan (Tarigan, 1984:178).
2.2.3 Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik cerpen adalah unsur yang membangun kelengkapan dan keutuhan sebuah cerpen.
Adapun unsur-unsur intrinsik cerpen sebagai berikut.
1. Tema
Tema adalah ide sebuah cerita yang diyakini dan dijadikan sumber cerita. Tema dalam karya
sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembacanya. Pengalaman yang
dibeberkan cerita harus mempunyai permasalahan. Macam tema banyak sekali sebab
permasalahan manusia juga sangat banyak. Misalnya: tema ketuhanan, tema kemasyarakatan,
tema kejiwaan, tema kesenian, tema kemanusiaan, dan sebagainya.

2. Plot/alur
Unsur yang sangat menonjol dalam karya fiksi adalah jalannya cerita. Fiksi di mulai dengan
menceritakan suatu keadaan, keadaan itu mengalami perkembangan dan pada akhirnya
ditutup dengan sebuah penyelesaian. Jadi pola cerita selalu perkenalan, keadaan,
perkembangan penutup. Alur merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk suatu cerita.
Peristiwa-peristiwa tersebut saling berhubungan secara runtut sehingga terjalin suatu cerita
yang bulat.
Alur dibagi menjadi 3 yaitu
1. Alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutanwaktu kejadian
atau cerita yang bergerak ke depan terus.
2. Alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan
waktu kejadian atau cerita yang bergerak mundur (flashback).
3. Alur campuran adalah campuran antara alur maju dan alur mundur.
3. Penokohan
Penokohan disebut juga perwatakan. Perwatakan atau karakteristik adalah pemberian sifat
pada pelaku-pelaku cerita. Sifat yang diberikan itu akan tercermin pada pikiran dan perbuatan,
ucapan, dan pandangannya terhadap sesuatu. Sifat inilah yang membedakan tokoh satu
dengan yang lainnya.
4. Latar atau Setting
Latar (setting) adalah tempat, waktu, suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus
jelas di mana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta keadaan ketika cerita
berlangsung. Latar meliputi.

1. Latar Waktu
Latar waktu adalah keterangan tentang kapan peristiwa dalam cerpen itu terjadi.
Misalnya, pagi hari, siang hari, atau malam hari. Dapat juga mengacu pada bulan, tahun,
atau periode sejarah.
2. Latar Tempat
Latar tempat menunjukkan keterangan tempat peristiwa itu terjadi. Misalnya di rumah, di
dalam bus, di halaman, atau di Jakarta.
3. Latar Suasana
Latar suasana menggambarkan suasana peristiwa yang terjadi. Misalnya suasana gembira,
sedih atau romantis.
5.Sudut Pandang/Point of View
Sudut Pandang/Point of View adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil
pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Ada 4 macam sudut pandangan pencerita, yakni:
1. sudut pandangan yang mahakuasa, seluruh cerita dituturkan pengarang seolah dia maha tahu
segalanya.
2. sudut pandangan orang pertama, pengarang memilih seorang tokoh saja yang mengetahui
seluruh cerita. Pengarang biasanya menggunakan gaya “aku” untuk bercerita.
3. sudut pandangan peninjau, pengarang memilih salah satu tokohnya untuk diikuti ceritanya.
Lazim juga disebut dengan gaya “dia”.

6. Gaya/Style Pengarang

Gaya adalah ciri khas pengarang, baik dari segi bahasa maupun tema cerita. Setiap pengarang
biasanya mempunyai gayanya sendiri. Pengarang yang religius akan tampak dalam
karangannya. Pengarang yang matang dalam kehidupan akan menghasilkan karangan yang
penuh dengan filosofi kehidupan. Pengarang remaja biasanya mengungkapkan kehidupan atau
problema remaja dalam cerita.
7. Amanat
Tiap cerita ditulis dengan maksud tertentu. Suasana cerita dan lewat dialog-dialog
menegaskan maksud pengarang. Amanat atau tujuan pengarang terkadang tampil secara
tersirat juga kadang dengan lugas ditampilkan lewat dialog-dialognya.
2.2.4 Unsur Ekstrinsik Cerpen
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi karya sastra.
Unsur ekstrinsik meliputi:
1. nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, sosial, ekonomi).
2. latar belakang kehidupan pengarang.
3. situasi sosial ketika cerita itu diciptakan.
2.3 Latar
Pada hakikatnya berhadapan dengan sebuah karya sastra seperti cerpen, kita berhadapan dengan
sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahannya. Namun, hal
itu kurang lengkap, sebab tokoh dan segala pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang
lingkup, tempat, dan waktu. Sebagaimana halnya dengan kehidupan manusia di dunia nyata, fiksi
selain membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga perlu latar. Hal itu karena keberadaan dan

karakter seorang tokoh tidak terlepaskan dari waktu dan tempat tokoh bertindak (Nurgiyantoro,
1998:216).
Untuk memahami suatu latar dalam cerpen, siswa harus mampu menguasai ke-terampilan
berbahasa, yaitu keterampilan membaca. Membaca itu sendiri merupakan suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan untuk memperoleh tempat dan waktu suatu kejadian dalam cerita
serta untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata
atau bahasa tulis.
Informasi yang diperoleh pembaca semakin baik jika pembaca mempunyai kemampuan yang
lebih baik. Dalam menentukan latar siswa juga harus menguasai keterampilan menyimak.
Menyimak adalah suatu proses. Proses itu sangat rumit dan terbagi pula atas beberapa fase. Perlu
diketahui bahwa setiap fase itu hampir bersamaan terjadinya atau lebih cepat terjadinya secara
berurutan dalam selang waktu yang relatif singkat.
2.3.1 Pengertian Latar
Elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita di mana dan kapan suatu kejadian-kejadian di
dalam suatu cerita berlangsung disebut dengan setting ‘latar’. Dengan demikian, yang termasuk
di dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti sebuah desa, di kampus,
di sekolah, di dalam sebuah penjara, di rumah, di kapal dan sebagainya; waktu, hari, tahun,
musim, atau periode sejarah seperti di zaman revolusi fisik, di saat upacara sekaten, di musim
kemarau yang panjang dan sebagainya, demikian halnya dengan ‘kerumunan’ (orang), juga
termasuk bagian dari latar, yakni kerumunan orang sendiri tidak termasuk (Suminto, 1997:79).

Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Latar mencakup tempat
dalam waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dari kegiatan itu. Latar
acapkali sangat penting dalam memberi sugesti akan ciri-ciri tokoh, dan dalam menciptakan
suasana suatu karya sastra. Semua ini selalu dikembangkan dengan pemerian atau deskripsi
(Tarigan, 2008:164).
Latar atau setting disebut juga dengan landas tumpu, menyarankan pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Nurgiyantoro, 1998:216). Jadi, latar (setting) adalah elemen fiksi yang menunjukkan kepada
kita di mana, kapan dan lingkungan sosial suatu kejadian dalam suatu cerita berlangsung. Latar
mencakup tempat dalam waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dari
cerita tersebut.
Tiap-tiap karya sastra mengambil tempat dalam suatu latar tertentu yang terdiri dari daerah
pemukiman (rumah, masyarakat, wilayah, negara) dan kepercayaan-kepercayaan serta nilai-nilai
(sosial, moral, ekonomi, politik, psikologis) dari orang-orang yang tinggal di situ. Dalam satu
dua karya, kalaupun ada latarnya tidak begitu berarti, tetapi kepentingannya mungkin sekali
beraneka ragam bergantung pada maksud dan tujuan kepercayan seorang pengarang bahwa
lingkungan membayangkan, menentukan serta mengawasi kehidupan manusia atau bahwa suatu
karya akan menggambarkan sikap serta moral orang-orang.
2.3.2 Hubungan Latar dengan Unsur Intrinsik yang Lain
Latar pada karya fiksi yang sekedar penyebutan tempat, waktu, dan sosial tertentu secara umum
memiliki sifat yang netral, jadi tidak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.
Hal itu berarti kurang berpengaruh terhadap unsur-unsur fiksi yang lain, khususnya alur dan

tokoh. Akan tetapi latar yang mendapat penekanan dan dilengkapi dengan sifat-sifat khasnya
sangat memengaruhi pengaluran dan penokohan. Perbeedaan latar baik yang menyangkut
hubungan tempat, waktu, dan sosial akan memengaruhi pengaluran dan penokohan (Nurgiantoro,
1994:225).
Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifatsifat latar akan mempengaruhi sifat tokoh. Jadi sifat tokoh akan dibentuk oleh latarnya. Status
sosial tokoh juga berpengaruh dalam penokohan. Pengangkatan tokoh dari kelas sosial rendah
akan berbeda dengan tokoh dari kelas sosial tinggi.
Penokohan dan pengaluran memang tidak hanya ditentukan oleh latar, namun peranan latar tetap
diperhitungkan supaya tidak terjadi ketidakseimbangan antara latar dengan penokohan yang
menyebabkan cerita kurang wajar dan kurang meyakinkan.
Jadi, latar yang baik adalah latar yang dapat menopang penokohan. Penunjukan latar dalam
karya sastra akan mempengaruhi sifat tokoh. Jafi, sifat tokoh akan dipengaruhi oleh latarnya.
Selain itu, latar itu harus dapat menopang alur dan gaya bahasa. Gaya bahasa pengarang yang
digunakan dalam mengungkapkan latar dalam ceritanya akan berfungsi sebagai suatu proyeksi
keadaan internal tokoh.
2.3.3 Unsur Latar
Unsur latar fiksi secara garis besar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni tempat, waktu,
sosial, atau keadaan. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang
berbeda dan dapat dibicarakan sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling
mempengaruhi dengan yang lainnya.

Unsur-unsur latar meliputi:
2.3.3.1 Latar Tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadi peristiwa yang dibicarakan dalam sebuah
karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan
nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar tempat
adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan
masalah historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Latar tempat
menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi. Melalui tempat terjadinya peristiwa
diharapkan tercermin pemerian tradisi masyarakat, tata nilai, tingkah laku, suasana, dan
hal-hal yang mungkin dapat berpengaruh pada tokoh dan karakteristiknya. Misalnya saja
tingkah laku dan tata nilai masyarakat yang tinggal di desa berbeda dengan yang tinggal
di kota. Tempat-tempat yang berupa desa, jalan, laut, rumah, dan lain-lain tentu memiliki
ciri khas yang memadainya. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis penting untuk
mengesani pembaca seolah-olah yang diceritakan itu sungguh ada dan terjadi, yaitu di
tempat dan waktu yang diceritakan itu.
Contoh latar tempat adalah sebagai berikut:
…aneh sekali, ketika dunia mengerutkan kening karena laju pertumbuhan
penduduk yang mengerikan, Kota Ningi malah makin lama makin berkurang
penduduknya. Ketika aku membongkar-bongkar arsip catatan tahun 1974
menunjukkan jumlah 688.771 orang, namun ketika aku menghitungnya kembali
pada tahun1979 ternyata ternyata penduduknya sudah menjadi 329.271 orang.
Kemana yang 359.500 orang itu pergi? (Kota Ningi, 2002: 83-83).
Latar tempat Kota Ningi dalam kutipan di atas diperlihatkan sebagai kota yang misterius.
Karena jumlah penduduknya selalu menurun dan penduduk Kota Ningi terbiasa hidup
dengan orang-orang yang tidak terlihat. Orang-orang yang tidak terlihat tersebut diakui
sebagai penduduk kota.

Penggunaan latar dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak
tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masingmasing tempat memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan yang lain,
jika terjadi ketidaksesuaian deskripsi antara keadaan tempat secara realistis menyebabkan
karya yang bersangkutan kurang meyakinkan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis
ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguhsungguh ada dan terjadi, yaitu di tempat (dan waktu) seperti yang diceritakan itu.
Unsur latar sebagai bagian keseluruhan karya dapat jadi dominan dan koherensif, namun
hal itu lebih ditentukan oleh unsur latar yang lain. Ketidakjelasan menunjukkan tempat
dapat juga mengisyaratkan bahwa peristiwa yang diceritakan dapat terjadi di tempat lain
sepanjang memiliki sifat khas latar sosial (dan waktu) yang mirip. Keberhasilan latar
tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan
unsur yang lain sehingga semuanya saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar
itu sendiri antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi yang lain dan
tuntutan cerita secara keseluruhan.
2.3.3.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan
dalam waktu faktual. Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa secara historis
dalam plot. Dengan jelasnya saat kejadian, akan tergambar pula tujuan fiksi tersebut
secara jelas. Rangkaian peristiwa yang tidak mungkin terjadi terlepas dari perjalanan

waktu dapat ditinjau dari jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang
melatarbelakanginya.
Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan
untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berupaya memahami dan
menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya berasal dari luar cerita
yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan atau kesejahteraan waktu tersebut
juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguhsungguh ada dan terjadi.
Latar waktu harus juga dikaitkan dengan latar tempat dan sosial sebab pada kenyataannya
memang saling berkaitan. Keadaan suatu yang diceritakan mau tidak mau harus mengacu
pada waktu tertentu karena tempat itu akan berubah sejalan dengan perubahan waktu.
Misalnya, Gunung Kidul tahun 1950-an seperti dalam cerpen Gunung Kidul karya
Nugroho, tentunya tidak sama dengan Gunung Kidul dewasa ini. Ceritanya mungkin
sekali tidak bisa lagi diterapkan dalam waktu kini walau untuk lokasi yang sama
sekalipun. Ketidaksesuaian antara deskripsi tempat dengan perkembangan waktu pun
menyebabkan adanya “anakronisme”. Anakronisme adalah adanya ketidaksesuaian
dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Dalam sebuah cerita fiksi
yang mengandung anakronisme terjadi kekacauan dan kerancuan penggunaan waktu.
2.3.3.3 Latar Sosial
Latar suasana atau latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat
seseorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Tata
cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup

kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang
tergolong latar spiritual. Status tokoh fiksi di dalam kehidupan sosialnya dapat
digolongkan menurut tingkatannya, seperti latar sosial menengah kebawah atau rendah,
latar sosial menengah ke atas atau tinggi.
Jika untuk mengangkat latar tempat ke dalam karya fiksi pengarang perlu menguasai
medan, hal itu juga berlaku untuk latar sosial. Ini mencakup unsur tempat, waktu, dan
sosial budaya sekaligus. Di antara ketiganya unsur latar sosial memiliki peranan yang
cukup menonjol. Hal ini karena deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi
latar tempat sekaligus latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat
yang bersangkutan.
Tentu saja tidak selalu ketiga deskripsi latar tersebut memberikan kontribusi yang
memadai bagi pembentukkan karakter tokoh, tetapi kita tidak bisa mengabaikan bahwa
cukup banyak pengarang yang memerhatikan deskripsi latar dalam fiksinya untuk
mengendapkan karakter tokoh.
Hal-hal tersebut yang telah dikemukakan mengarahkan kepada kita pada simpulan bahwa
paling tidak terdapat empat unsur yang membentuk latar fiksi, yaitu (1) lokasi geografis,
termasuk di dalamnya gambaran pemandangan bahkan detail interior sebuah ruangan (2)
pekerjaan dan cara hidup tokoh sehari-hari (3) waktu terjadinya peristiwa/tindakan (4)
lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.
Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi, ia berada dalam
kepaduannya dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur

tersebut dalam satu kepaduan jelas akan menyarankan pada makna yang lebih khas dan
meyakinkan daripada secara sendiri-sendiri. Ketepatan latar sebagai salah satu unsur fiksi
pun tak dilihat secara terpisah dari berbagai unsur yang lain, melainkan justru dari
kepaduan dan koherensinya dengan keseluruhan (Nurgiyantoro,1998:227).
2.3.4 Tipe Latar
Biasanya latar suatu fiksi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu neutral setting ‘latar netral’ dan
spiritual setting ‘latar spiritual’. Perbedaan ini merupakan perbedaan teknis karena jarang
dijumpai latar yang hanya bersifat netral atau spiritual saja.
Kadang kita jumpai latar pada sebuah fiksi dengan porsi lebih sedikit daripada suatu hal yang
merefleksikan kebenarannya, dalam kasus ini pengarang lebih terfokus pada tokoh dan
karakternya, sedangkan latar hanya diciptakan secukupnya.
2.3.4.1 Latar Netral (Neutral Setting)
Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung
sebuah cerita membutuhkan landas tumpu, pijakan. Sebuah nama tempat hanya sekadar
sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tak lebih dari itu. Sebuah kota
misalnya Yogyakarta, sebagai kota yang mungkin disertai dengan sifat umum sebuah
kota, jika disebutkan nama jalan, misalnya Malioboro, sebagai jalan raya yang mungkin
disertai deskripsi sifat umum sebuah jalan raya. Latar netral adalah latar yang hanya latar,
tidak memilki kaitan yang fungsional dengan elemen fiksi yang lainnya, akan tetapi perlu
disadari bahwa batas-batas netralitas tidaklah bersifat mutlak.

Pengarang yang piawai akan selalu berupaya jika perhatiannya juga tercurahkan untuk
menggarap latar fiksinya melalui pengamatan dan penggambaran yang tepat dan hati-hati,
sehingga pembaca akan menyadari adanya kompleks nilai-nilai yang saling berbenturan,
yang mungkin bersatu pada suatu tempat dan waktu.
Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang
terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar netral lebih merupakan sifat
umum terhadap hal yang sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar sehingga dapat berlaku
di mana saja. Artinya jika tempat-tempat tersebut dipindahkan (diganti namanya). Hal itu
akan mempengaruhi pemplotan dan penokohan. Hal yang sama dapat juga berlaku untuk
latar waktu dan hubungan sosial.
Dalam latar netral kadang-kadang kita tidak tahu cerita terjadi di mana, kapan dan
lingkungan sosial yang mana. Dengan demikian, latar tak bersifat fungsional, tak terjalin
secara koherensif dengan unsur fiksi yang lain. Namun, hal itu tak harus berarti
melemahkan karya fiksi yang bersangkutan. Mungkin sekali pengarang sengaja tak
berniat menonjolkan unsur latar dalam karya itu,melainkan lebih menekankan unsur yang
lain khususnya alur atau tokoh.
Latar tidak hanya merupakan suatu latar yang statis tempat kejadian, tindakan dan
peristiwa berlangsung membentangkan dirinya, tapi juga bersifat dinamis. Dia mampu
mendorong dirinya masuk kedalam tindakan, memengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut,
sampai akhirnya latar dapat nampak mengangkat peran karakternya.
2.3.4.2 Latar Spiritual (Spiritual Setting)

Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau
sesuatu yang berisfat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat,
kepercayaan dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Hal-hal inilah
yang disebut dengan latar spiritual (spiritual setting). Jadi latar spiritual adalah nilai-nilai
yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar spiritual dalam fiksi, khususnya
karya-karya fiksi Indonesia, pada umumnya dihadirkan bersama dengan latar fisik. Hal
itu akan memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik yang bersangkutan.
Latar spiritual adalah latar yang hanya mengumpulkan atau mengisyratkan nilai-nilai
tertentu seperti tampak pada pelukisan latar pedesaan karya-karya Ahmad Tohari, baik
kubah maupun trilogi spiritualnya, yang menunjukkan bagaimana pranata nilai
berlangsung di desa itu.

1

BAB III
METODE PENELITIAN

1.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode
yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah dengan
cara mengumpulkan data, menyusun data, menganalisis, dan
menginterpretasikannya.
3.2 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3
Bandar Lampung tahun pelajaran 2011/2012, yang berjumlah 258 orang yang
tersebar dalam delapan kelas. Perinciannya dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 Jumlah Populasi Penelitian
Kelas
VII.A
VII.B
VII.C
VII.D
VII.E
VII.F
VII.G
VII.H
Jumlah
3.3 Sampel

Jumlah Siswa
33
33
33
32
32
33
31
31
258

2

Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diteliti oleh peneliti (Arikunto,
2002: 109). Mengingat jumlah populasi lebih dari 100 siswa, peneliti hanya
mengarah pada sampel. Untuk mengambil sampel, penulis mengacu pada
pendapat Arikunto (2002: 112) yang menyatakan apabila jumlah subjeknya besar
dapat diambil antara 10% sampai dengan 15% atau 20% sampai 25% atau lebih
bergantung pada kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana, sempit
luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, dan besarnya resiko yang
ditanggung oleh peneliti.
Dalam pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan propotional cluster
random samplingatau teknik random sampling (sampel acak). Sampel random
sampling dilakukan dengan cara mengadakan undian. Pada kertas kecil-kecil kita
tuliskan nomor subjek sebanyak jumlah populasi, yaitu 258 orang, satu nomor
untuk setiap kertas kemudian kertas digulung. Selanjutnya kita mengambil kertas
tersebut sebanyak sampel yang telah ditentukan. Karena jumlah populasi yang
lebih dari 100 dalam pengambilan sampel tidak menggunakan perhitungan
statisktik. Berdasarkan hal tersebut, sampel diambil sebesar 10% dari jumlah
siswa setiap kelas sehingga sampelnya berjumlah 24 siswa. Berikut ini tabel
perhitungan sampel dari jumlah siswa.

Tabel 2 Perhitungan Sampel Penelitian

3

Kelas

Jumlah Siswa

VII.A
VII.B
VII.C
VII.D
VII.E
VII.F
VII.G
VII.H

33
33
33
32
32
33
31
31
Jumlah

10% dari jumlah
siswa
3,3
3,3
3,3
3,2
3,2
3,3
3,1
3,1

Sampel yang
ditetapkan
3
3
3
3
3
3
3
3
24

3.4 Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan berupa hasil kerja siswa. Cerpen yang
digunakan adalah cerpen “Demi Bu Camat” karya Yusrizal K.W. sebagai alat
untuk memperoleh sumber datanya. Alasan penulis memilih cerpen tersebut
karena cerita tersebut sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesenjangan
sosial mengakibatkan adanya tingkat sosial antara orang yang lebih tinggi status
sosialnya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah dalam masyarakat.
Dengan cerpen tersebut, diharapkan pembaca khususnya siswa SMP Negeri 3
Bandar Lampung dapat menentukan tempat dan waktu kejadian dalam cerita serta
dapat mengambil nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari 24 siswa yang dijadikan sampel
dalam penelitian yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar Lampung tahun
pelajaran 2011/2012.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

4

Untuk memperoleh data yang diinginkan maka peneliti menggunakan teknik tes.
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk
mengukur kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok,
mengukur keterampilan, dan pengetahuan intelegensi (Arikunto, 2010:193).
Bentuk tes yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bentuk tes tertulis, terdiri
atas soal esai (uraian) yang berisi tentang latar, meliputi latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial. Soal esai (uraian) berfungsi untuk mengukur hasil belajar yang
kompleks, seperti kemampuan mengidentifikasi, menganalisis, memahami,
memecahkan masalah dan menerapkan sesuatu. Dalam wktu 80 menit siswa
diperintahkan untuk membaca dan memahami cerpen “Demi Bu Camat” karya
Yusrizal K.W. serta dilanjutkan mengerjakan tes kemampuan mengidentifikasi
latar tempat, waktu, dan suasana.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan penulis dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.
1. Mengoreksi hasil tes mengidentifikasi latar dalam cerpen pada sampel
terpilih. Dalam hal ini penulis menggunakan dua penskor yang
dimaksudkan agar skor yang diperoleh siswa benar-benar objektif. Adapun
penskor pertama adalah penulis (penskor1) dan penskor kedua adalah
teman sejawat bernama Shinta Putrie, S.Pd., dari Pendidikan Bahasa Dan
Sastra Indonesia.
2. Memberikan skor per siswa berdasarkan indikator yang telah ditetapkan.
Indikator tersebut dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut.

5

Tabel 3 Indikator Penilaian dan Skor Tes Kemampuan Mengidentifikasi
Latar dalam Cerpen “Demi Bu Camat” Karya Yusrizal K. W.
No.
1.

2.

Indikator
Dapat menunjukkan
latar tempat dalam
cerita.

Dapat menunjukkan
latar waktu dalam
cerita.

Deskriptor penilaian

skor

Menunjukkan latar tempat
dengan tepat, lokasi
terjadinya peristiwa dalam
cerita diuraikan secara
terperinci.

4

Menunjukkan latar tempat
dengan tepat, lokasi
terjadinya peristiwa dalam
cerita tidak terperinci.

3

Menunjukkan latar tempat
tidak tepat, lokasi
terjadinya peristiwa dalam
cerita diuraikan secara
terperinci.

2

Menunjukkan latar tempat
tidak tepat, lokasi
terjadinya peristiwa dalam
cerita tidak diuraikan
secara terperinci.
Menunjukkan latar waktu
dengan tepat, waktu
peristiwa dalam cerita
diuraikan secara terperinci.

1

Menunjukkan latar waktu
dengan tepat, waktu
peristiwa dalam cerita
diuraikan tidak terperinci.

3

Menunjukkan latar waktu
tidak tepat, waktu
peristiwa dalam cerita
diuraikan secara terperinci.

2

Menunjukkan latar waktu
tidak tepat, waktu
peristiwa dalam cerita
tidak diuraikan secara
terperinci.

1

Skor
maksimal

4

4

4

6

3.

Ketepatan
menunjukkan latar
sosial dalam cerita.

Menunjukkan latar sosial
dengan tepat, status sosial
tokoh dalam cerita
diuraikan secara terperinci.

4

Menunjukkan latar sosial
dengan tepat, status sosial
tokoh dalam cerita
diuraikan tidak terperinci.

3

Menunjukkan latar sosial
tidak tepat, status sosial
tokoh dalam cerita
diuraikan secara terperinci.

2

Mampu menunjukkan latar
sosial tidak tepat, status
sosial tokoh dalam cerita
tidak diuraikan secara
terperinci.

1

4

Kisi-kisi pengumpulan data dalam memahami latar, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4 Kisi-Kisi Pengumpulan Data Memahami Latar
No.
Soal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jumlah

Latar Tempat

Latar Waktu

Latar Sosial









3

3


3

3. Menentukan rata-rata kemampuan mengidentifikasi latar dalam cerpen
dengan rumus.

X

 X 100%
N

7

Keterangan:
X


N

= Skor rata-rata
X

=Jumlah skor hasil kemampuan mengidentifikasi latar dalam cerpen
=Jumlah skor maksimal.

4. Menentukan kemampuan mengidentifikasi latar dalam cerpen “Demi Bu
Camat” karya Yusrizal K. W. siswa kelas VII SMP Negeri 3 Bandar
lampung

tahun

pelajaran

2011/2012.

Tingkat

kemampuan

mengidentifikasi latar dalam cerpen berdasarkan tolok ukur penilaian
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5 Tolok Ukur Penilaian Mengidentifikasi Latar dalam Cerpen
“Demi Bu Camat” Karya Yusrizal K. W.
Interval Presentasi Tingkat Kemampuan

Keterangan

85%-100%

Baik Sekali

75%-84%
60%-74%
40%-59%
0%-39%

Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang

(dimodifikasi dari Nurgiantoro, 2001:399)

KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI LATAR DALAM CERPEN
DEMI BU CAMAT KARYA YUSRIZAL K.W. SISWA
KELAS VII SMP NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG
TAHUN PELAJARAN 2011/2012

(Skripsi)

Oleh
Mei Yusevan Sari
0813041031

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI LATAR DALAM CERPEN
DEMI BU CAMAT KARYA YUSRIZAL K.W. SISWA KELAS VII
SMP NEGERI 3BANDAR LAMPUNG
TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Oleh
Mei Yusevan Sari
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2012

DAFTAR ISI

ABSTRAK .........................................................................................................
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
PENGESAHAN .................................................................................................
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
MOTO ................................................................................................................
PERSEMBAHAN ...............................................................................................
SANWACANA ..................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................

halaman
ii
iv
v
vi
vii
viii
ix
xii
xiv
xv

I. PENDAHULUAN..........................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................
1.4 Kegunaan Penelitian ...............................................................................
1.5 Ruang Lingkup .......................................................................................

1
1
5
5
5
6

II. LANDASAN TEORI. ...................................................................................
2.1Kemampuan Mengidentifikasi ................................................................
2.2 Pengertian Cerita Pendek (cerpen) ........................................................
2.2.1 Ciri-Ciri Cerita Pendek ..............................................................................
2.2.2 Pembagian Cerpen ........................................................................
2.2.2.1 Berdasarkan Jumlah Kata ..................................................
2.2.2.2 Berdasarkan Nilai Sastra....................................................
2.2.3Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen ........................................................
2.2.4Unsur Ekstrinsik Cerpen ......................................