Falsafah Hukum Perjanjian Mudharabah

Yustisia Edisi Nomor 69 Sept. - Desember 2006 46 Syari’ah, kedua, kedudukan jaminan dalam perjanjian pembiayaan mudharabah, ketiga, fungsi jaminan dalam perjanjian pembiayaan mudharabah dan keempat, persoalan- persoalan yang timbul dalam hubungannya dengan jaminan di dalam perjanjian pembiayaan mudharabah?

B. Tinjauan Pustaka

1. Falsafah Hukum Perjanjian Mudharabah

Liquat ali Khan Niazi dalam bukunya yang berjudul “Islamic Law of Contract” menyatakan bahwa “Mudharabah is a form of Partnership where one of the Contract- ing Parties…” Liquat ali Khan Niazi, 1990: 232. Disebut perjanjian kerjasama karena antar pemilik modal dan pelaku usaha merupakan pasangan partner yang secara langsung saling membutuhkan satu dengan yang lain. Pemilik modal secara langsung membutuhkan seorang pelaku usaha yangdapat menjalankan dana yang dimilikinya untuk suatu kegiatan usaha yangdapat menghasilkan keuntungan. Di lain pihak, pelaku usaha mempunyai keahlian, kesempatan dan kemampuan untuk melakukan usaha, secara langsung membutuhkan modal bagi usaha yang akan dilakukannya. Kepentingan saling membutuhkan secara langsung inilah yang diakomodasi dalam mudharabah Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1985: 14. Pengkategorian mudharabah sebagai bentuk kerjasama adalah berangkat dari falsafah hukum ekonomi Islam yang menganggap bahwa modal dan kerja profesionalitas usaha bukan sebagai faktor yang terpisah, tetapi sebagai kesatuan dasar yangsaling menguntungkan. “Islam does not regard capital and interpreneurship as distinct factors with a separate basis foreward, rather as copartners with a uniform basis on return” Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1985: 5. Berdasarkan falsafah ini, maka modal mempunyai kedudukan yang sam adan sederajat dengan profesionalitas usaha. Profesionalitas usaha tidak dapat di subordinasikan dengan modal. Sebaliknya, modal juga tidak dapat di subordinasikan dengan profesionalitas usaha. Kedudukan yang sama dan sederajat ini harus diaktualisasikan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara pemilik modal dan profesionalitas usaha. Jika ternyata di dalam perjanjian mudharabah terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan dasar persamaan antara modal dan profesionalitas usaha yang menimbulkan ketidakadilan, maka dapat dipersoalkan secara hukum. Memang dapat difahami bahwa seorang pelaku usaha yang meminjam uang kepada orang lain atau ke perbankan untuk melakukan suatu kegiatan bisnis dapat dikatakan sebagai kerjasama. Namun kerjasama yang demikian hanyalah merupakan kerjasama secara tidak langsung. Di sini tidak ada bentuk kerjasama secara langsung, karena ada pranata yang menjadi perantara di antara dua kepentingan yaitu pranata pinjam meminjam atau utang piutang. Pranata perantara yang disebut pinjam meminjam atau utang piutang uang ini menempatkan pemilik modal dan pelaku usaha dalam kedudukan yang tidak sederajat, tetapi dalam kedudukan sub ordinatif. Hubungan keduanya adalah dalam kategori hubungan kreditur dan debitur. Oleh karena itu konstruksi normatif yang ditimbulkan dari hubungan yang demikian adalah bukan sebagai bentuk hubungan hukum kerjasama tetapi hubungan hukum antara kreditur dan debitur. Hak dan kewajiban yang dapat dikonstruksikan oleh hukum terhadap hubungan kreditur dan debitur akan berbeda dengan hak dan kewajiban dalam hubungan kerjasama. Maka ketentuan- ketentuan normatif yang berlaku dalam Kedudukan, Fungsi, dan Problematika ... Yustisia Edisi Nomor 69 Sept. - Desember 2006 47 hubungan pinjam meminjam atau utang piutang tidak dapat diterapkan di dalam hubungan kerjasama mudharabah. Mudharabah sebagai suatu bentuk kerjasama adalah sangat penting untuk difahami sebagai dasar atau landasan berfikir. Jika mudharabah tidak difahami dengan baik sebagai suatu bentuk kerjasama, maka akan dapat menimbulkan persoalan tentang ketidakadilan.

2. Dasar-Dasar Efektifitas Kerjasama