Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Perbankan Syariah (Murabahah, Musyarakah Dan Mudharabah)

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN PEMBIAYAAN

DENGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH

(MURABAHAH, MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH)

TESIS

Oleh

NETTI SUMIATI

097011126

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN PEMBIAYAAN

DENGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH

(MURABAHAH, MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NETTI SUMIATI

097011126

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH (MURABAHAH, MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH)

Nama Mahasiswa : Netti Sumiati

Nomor Pokok : 097011126

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) Ketua

(Chairani Bustami,SH,SpN,MKn) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 19 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA


(5)

ABSTRAK

Pada permulaan perkembangannya perbankan syariah menawarkan produk- produk perbankan yang bebas bunga yaitu mudharabah dan musyarakah, dua produk yang diasumsikan berdasarkan pada sistem bagi hasil, atau yang lebih dikenal sebagai Profit and Loss Sharing. Dengan dua produk itu bank tidak beroperasi dengan bunga bank, tetapi berbagi hasil dengan nasabah, baik bank syariah maupun nasabah secara bersama-sama menanggung resiko usaha dan membagi hasil usaha berdasarkan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak, bank syariah dan nasabahnya berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Selain pembiayaan diatas bank syariah juga menyalurkan dana kepada mansyarakat melalui pembiayaan murabahah. Pada pembiayaan murabahah itu transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya, Bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli, harga jual adalah harga beli bank dan pemasok di tambah keuntungan (margin). Akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank yang berprinsip syariah dalam pelaksanaannya tidaklah semuanya sesuai dengan syariah masih ada penyimpangan terutama dalam akad pembiayaan murabahah dimana yang dikehendaki adalah jual beli antara nasabah dengan bank, akan tetapi dalam prakteknya yang terjadi adalah transaksi jual beli antara pemilik barang (pemasok) dengan nasabah dengan dibuktikan penandatanganan Akta Jual Belinya terlebih dahulu baru ditanda tangani akad pembiayaan murabahahnya.

Penelitian ini bersifat yuridis normatif yang didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang dapat memberikan gambaran yang bersifat kualitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang perjanjian pembiayaan dengan sistem perbankan syariah (murabahah, musyarakah dan mudharabah) dianalisa secara kualitatif dan dideskripsikan.

Hasil penelitian menunjukkan, aspek hukum perjanjian pembiayaan menurut prinsip syariah dimana dalam membuat perjanjian, bank syariah wajib membuat akad sesuai prinsip syariah dengan ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan ( maslahah) dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram. Pelaksanaan perjanjian pembiayaan pada bank yang berprinsip syariah masih ada penyimpangannya di dalam penerapaannya terutama pada perjanjian murabahah dimana objek yang dibeli masih menjadi hak orang lain, seharusnya barang yang dijual kepada nasabah harus benar-benar milik bank, sehingga pembiayaan murabahah benar-benar berprinsip syariah, akan tetapi di dalam pelaksanaan perbankan sehari-hari tidak demikian. Sedangkan terhadap pelaksanaan perjanjian pembiayaan musyarakah dan mudharabah bank di dalam perjanjiannya telah memakai prinsip- prinsip syariah karena didalam klausula perjanjian sudah mengikuti Fatwa dari Dewan syariah Nasional yang mengatur tentang pembiayaan syariah yakni musyarakah dan mudharabah. Dalam pembuatan akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan syariah antara bank dan nasabah


(6)

dibuat secara tertulis yang bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditetapkan oleh bank yang mengacu pada aturan bank syariah, dimana perjanjian pembiayaannya dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara notariil.

Diharapkan kepada pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana dari UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, dan diharapkan juga pada bank yang berprinsip syariah mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam pembuatan akad perjanjian pembiayaannya. terutama akad pembiayaan murabahah yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan Hukum Islam. Perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah merupakan perjanjian baku, dimana nasabah berada dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu disarankan kepada para nasabah yang ingin mengajukan permohonan pembiayaan harus minta penjelasan yang akurat kepada bank tentang pembiayaan yang akan diambil serta maksud dan isi perjanjian tersebut, agar tidak terjadi salah paham diantara bank dan nasabah tentang perjanjian pembiayaan yang diambil.


(7)

ABSTRACT

Since earlier development, syariah banking offered free-interest products: mudharabah and musyarakah, two products assumed to be based on equity system, or often called as Profit and Loss Sharing. With these two products, bank does not operate through interest rate of bank, rather than it will share the profit with customers, either syariah bank or customers are collectively to carry the risk of business and to share the profit of business based on profit and loss sharing principle or revenue sharing methods between both parties, syariah bank and customers based on predetermined nisbah. In addition to costing above, syariah bank also distributes the fund to peoples through costing of murabahah. In costing of murabahah, the transaction, in which the bank mentioned the number of profit, bank acts as seller, while customer is a buyer, the sample price is the purchase price of bank and supplier plus the margin. All agreement of costing conducted by bank on syariah principle is not completely consistent with implementation of syariah, there is still some distortion especially in murabahah costing in which the point will be a transaction between customer and bank, however in the practice the transaction is between object owner (supplier) with customer proven by signing the Transaction Act, and then signature of agreement of murabahah costing.

This is a juridical and normative research based on library research to get secondary data with qualitative description, i.e., the data gained from result of research about costing agreement with banking system of syariah (murabahah, musyarakah and mudharabah), and then it is analyzed qualitatively and descriptively

The result of research indicated, the law aspect of costing agreement according to syariah principle, the syariah bank is obliged to make an agreement according to syariah principle complying with basic requirement of Islam Law, including justice principle and equilibrium (‘adl watawazun), kemaslahatan (maslahan) and universalism (alamiah) and containing no gharar, masyri, riba, dazalim, riswah, and object of harm. The implementation of costing agreement in the bank of syariah principle still indicates some distortion in application especially in murabahan agreement in which the object bought still is right of others, actually the object sold to customers should belong to bank, thus the costing of murabahan will be based on true syariah principle, however in daily practice the implementation of bank is even opposite. Whereas on implementation of costing agreement of musyarakah and mudharabah, the agreement have used syariah principles because in clause of agreement , it has followed the Fatwa by National Syariah Board regulating about the syariah costing, i.e., musyarakah and mudharabah. The agreement of costing based on syariah principle in syariah banking system between bank and customers, it is made in writing whose content, requirements have been determined by bank by refering on rules of syariah bank, in which the agreement of costing can be made under hand or through notary.

It is expected for government to publish the government regulation as enforcers of the Law No. 21/2008 regarding the syariah banking, and it is also


(8)

expected for bank through syariah principle to comply with all rules that have been stipulated by Fatwa of National Syariah Board in preparation the costing agreement, especially the agreement of murabahah costing which in it’s implementation is not consistent with Fatwa of National Syariah Board (MUI) and Islamic Law. The costing agreement between syariah bank with customer is a standard agreement, in which customer is under weak position. Therefore, it is suggested for customers who want to propose the costing application to ask for accurate explanation with bank about the costing to be taken and intention or content of the agreement itself to prevent the occurrence of misunderstanding between bank and customers about the costing agreement taken.


(9)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, dengan ini penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah S.W.T, yang senantiasa telah memberikan nikmat dan petunjuknya kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul :

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH (MURABAHAH, MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di Medan. Penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya arahan, bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak, hingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum., atas kesediaan Bapak/Ibu dalam memberikan bimbingan, arahan maupun petunjuk kepada penulis, sejak awal penyusunan proposal penelitian sampai selesainya tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr, Ramlan Yusuf Rangkuti, MA., dan Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum., selaku dosen penguji yang telah sangat banyak memberikan masukan, petunjuk, dan arahan yang sangat


(10)

berguna dalam menyempurnakan tesis ini, sejak tahap seminar proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dorongan penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

3. Ketua dan Staff Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu kepada

Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program

studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ibu Dr. Keizeirina Devi A, SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Seluruh Staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum


(11)

4. Bapak – Ibu Guru Besar dan Staff pengajar pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

5. Pimpinan dan Staff PT. Bank Muamalat Cabang Langsa.

6. Secara Khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Ayahanda Alm. Mayor. Asnawi dan Ibunda Nurmila br. Siregar, dan kepada Suami Ir. Sebayak lingga serta ketiga anak penulis Randy Fahrizal Lingga, Bayu Iqbal Lingga, Anggi salsha Musdalifa Lingga, yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

7. Kepada rekan-rekan mahasiswa di Magister Kenotariatan terutama dalam kelas penyetaraan yakni rekan Bapak Bukhari Muhammad, Bapak Taufik, Bapak Rudy Haposan Siahaan, Ibu Lila Mutia, Ibu Gomsalati dan Ibu Adawiyah, yang telah memberi bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan khazanah baru dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat di dunia perbankan syariah dan pendidikan di Indonesia.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

Nama : NETTI SUMIATI, SH, SpN

Tempat/ Tgl. Lahir : Asahan, 31 Desember 1967

Jenis Kelamin : Perempuan

Perkawinan : Kawin

Alamat : Jalan Iskandar Muda No.17 Kuala Simpang

Kabupaten Aceh Tamiang

Telp/Hp : 0641-332769 / 081361630229

II. Pendidikan

1980 : Lulus SD Negeri Pematang Siantar

1983 : Lulus SMP Negeri Pematang Siantar

1986 : Lulus SMA Negeri Pematang Siantar

1991 : Lulus S1 - Hukum Universitas Islam Sumatera Utara

1996 : Lulus SpN Universitas Sumatera Utara

2010 : Lulus Program Studi Magister Kenotariatan FH - USU

III. LATAR BELAKANG PEKERJAAN

1999 – Sekarang : Notaris Wilayah Kerja Kabupaten Aceh Tamiang


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi... 23

G. Metode Penelitian... 25

BAB II. ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MENURUT PRINSIP SYARIAH ………... 29

A. Pengertian Bank Syariah ... 29

B. Perjanjian Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan... 39


(14)

D. Aspek Hukum Perjanjian Pembiayaan Menurut Prinsip

Syariah... 56

BAB III.PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN DALAM SISTEM PERBANKAN SYARIAH... 60

A. Tentang Perjanjian Pembiayaan Murabahah... 60

B. Tentang Perjanjian Pembiayaan Musyarakah ... 64

C. Tentang Perjanjian Pembiayaan Mudharabah ... 69

D. Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Perbankan Syariah... 74

BAB IV.MEKANISME AKAD PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DALAM SISTEM PERBANKAN SYARIAH... 81

A. Proses Pembiayaan Murabahah, Musyarakah dan Mudharabah... 81

B. Wewenang Pengawasan Bank Syariah Dalam Pembiayaan ... 85

C. Pencantuman Ketentuan Hukum Perdatata Dalam Perjanjian Pembiayaan ... 87

D. Penyelesaian Perselisihan... 91

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran-saran ... 99


(15)

ABSTRAK

Pada permulaan perkembangannya perbankan syariah menawarkan produk- produk perbankan yang bebas bunga yaitu mudharabah dan musyarakah, dua produk yang diasumsikan berdasarkan pada sistem bagi hasil, atau yang lebih dikenal sebagai Profit and Loss Sharing. Dengan dua produk itu bank tidak beroperasi dengan bunga bank, tetapi berbagi hasil dengan nasabah, baik bank syariah maupun nasabah secara bersama-sama menanggung resiko usaha dan membagi hasil usaha berdasarkan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak, bank syariah dan nasabahnya berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Selain pembiayaan diatas bank syariah juga menyalurkan dana kepada mansyarakat melalui pembiayaan murabahah. Pada pembiayaan murabahah itu transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya, Bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli, harga jual adalah harga beli bank dan pemasok di tambah keuntungan (margin). Akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank yang berprinsip syariah dalam pelaksanaannya tidaklah semuanya sesuai dengan syariah masih ada penyimpangan terutama dalam akad pembiayaan murabahah dimana yang dikehendaki adalah jual beli antara nasabah dengan bank, akan tetapi dalam prakteknya yang terjadi adalah transaksi jual beli antara pemilik barang (pemasok) dengan nasabah dengan dibuktikan penandatanganan Akta Jual Belinya terlebih dahulu baru ditanda tangani akad pembiayaan murabahahnya.

Penelitian ini bersifat yuridis normatif yang didasarkan pada penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang dapat memberikan gambaran yang bersifat kualitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang perjanjian pembiayaan dengan sistem perbankan syariah (murabahah, musyarakah dan mudharabah) dianalisa secara kualitatif dan dideskripsikan.

Hasil penelitian menunjukkan, aspek hukum perjanjian pembiayaan menurut prinsip syariah dimana dalam membuat perjanjian, bank syariah wajib membuat akad sesuai prinsip syariah dengan ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan ( maslahah) dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram. Pelaksanaan perjanjian pembiayaan pada bank yang berprinsip syariah masih ada penyimpangannya di dalam penerapaannya terutama pada perjanjian murabahah dimana objek yang dibeli masih menjadi hak orang lain, seharusnya barang yang dijual kepada nasabah harus benar-benar milik bank, sehingga pembiayaan murabahah benar-benar berprinsip syariah, akan tetapi di dalam pelaksanaan perbankan sehari-hari tidak demikian. Sedangkan terhadap pelaksanaan perjanjian pembiayaan musyarakah dan mudharabah bank di dalam perjanjiannya telah memakai prinsip- prinsip syariah karena didalam klausula perjanjian sudah mengikuti Fatwa dari Dewan syariah Nasional yang mengatur tentang pembiayaan syariah yakni musyarakah dan mudharabah. Dalam pembuatan akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan syariah antara bank dan nasabah


(16)

dibuat secara tertulis yang bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditetapkan oleh bank yang mengacu pada aturan bank syariah, dimana perjanjian pembiayaannya dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara notariil.

Diharapkan kepada pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana dari UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, dan diharapkan juga pada bank yang berprinsip syariah mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam pembuatan akad perjanjian pembiayaannya. terutama akad pembiayaan murabahah yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan Hukum Islam. Perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah merupakan perjanjian baku, dimana nasabah berada dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu disarankan kepada para nasabah yang ingin mengajukan permohonan pembiayaan harus minta penjelasan yang akurat kepada bank tentang pembiayaan yang akan diambil serta maksud dan isi perjanjian tersebut, agar tidak terjadi salah paham diantara bank dan nasabah tentang perjanjian pembiayaan yang diambil.


(17)

ABSTRACT

Since earlier development, syariah banking offered free-interest products: mudharabah and musyarakah, two products assumed to be based on equity system, or often called as Profit and Loss Sharing. With these two products, bank does not operate through interest rate of bank, rather than it will share the profit with customers, either syariah bank or customers are collectively to carry the risk of business and to share the profit of business based on profit and loss sharing principle or revenue sharing methods between both parties, syariah bank and customers based on predetermined nisbah. In addition to costing above, syariah bank also distributes the fund to peoples through costing of murabahah. In costing of murabahah, the transaction, in which the bank mentioned the number of profit, bank acts as seller, while customer is a buyer, the sample price is the purchase price of bank and supplier plus the margin. All agreement of costing conducted by bank on syariah principle is not completely consistent with implementation of syariah, there is still some distortion especially in murabahah costing in which the point will be a transaction between customer and bank, however in the practice the transaction is between object owner (supplier) with customer proven by signing the Transaction Act, and then signature of agreement of murabahah costing.

This is a juridical and normative research based on library research to get secondary data with qualitative description, i.e., the data gained from result of research about costing agreement with banking system of syariah (murabahah, musyarakah and mudharabah), and then it is analyzed qualitatively and descriptively

The result of research indicated, the law aspect of costing agreement according to syariah principle, the syariah bank is obliged to make an agreement according to syariah principle complying with basic requirement of Islam Law, including justice principle and equilibrium (‘adl watawazun), kemaslahatan (maslahan) and universalism (alamiah) and containing no gharar, masyri, riba, dazalim, riswah, and object of harm. The implementation of costing agreement in the bank of syariah principle still indicates some distortion in application especially in murabahan agreement in which the object bought still is right of others, actually the object sold to customers should belong to bank, thus the costing of murabahan will be based on true syariah principle, however in daily practice the implementation of bank is even opposite. Whereas on implementation of costing agreement of musyarakah and mudharabah, the agreement have used syariah principles because in clause of agreement , it has followed the Fatwa by National Syariah Board regulating about the syariah costing, i.e., musyarakah and mudharabah. The agreement of costing based on syariah principle in syariah banking system between bank and customers, it is made in writing whose content, requirements have been determined by bank by refering on rules of syariah bank, in which the agreement of costing can be made under hand or through notary.

It is expected for government to publish the government regulation as enforcers of the Law No. 21/2008 regarding the syariah banking, and it is also


(18)

expected for bank through syariah principle to comply with all rules that have been stipulated by Fatwa of National Syariah Board in preparation the costing agreement, especially the agreement of murabahah costing which in it’s implementation is not consistent with Fatwa of National Syariah Board (MUI) and Islamic Law. The costing agreement between syariah bank with customer is a standard agreement, in which customer is under weak position. Therefore, it is suggested for customers who want to propose the costing application to ask for accurate explanation with bank about the costing to be taken and intention or content of the agreement itself to prevent the occurrence of misunderstanding between bank and customers about the costing agreement taken.


(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bank Syariah1 merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”.2

Bank Syariah yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.

Adapun pengertian dari prinsip syariah sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 13 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan sebagai berikut:

Prinsip Syariah adalah aturan Hukum Islam antara Bank dengan Pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan dengan syariah, antara lain Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

1

Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Nasional menyatakan Bank Syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip

Syariah Islam yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 12


(20)

(mudharabah), Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan Pemindahan Kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).3

Sedangkan didalam UU Nomor 20 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan Prinsip Syariah adalah Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang di keluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang Syariah.4

Secara umum konsep perbankan syariah menawarkan sistem perekonomian khususnya kepada lembaga perbankan, yaitu suatu sistem yang sesuai dengan syariat Islam/prinsip syariah, yang sangat berbeda dengan konsep perbankan konvensional yang memakai sistem bunga yang mengandung unsur riba yang bertentangan dengan syariah Islam.

Konsep pelarangan riba dalam berbagai jenis di dalam Al-qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw, terdapat dari berbagai surat dan hadis Rasulullah saw, sebagai berikut :.5

• Dalam surah Ar-Ruum ayat 39 yang artinya adalah : “ Dan sesuatu riba

(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).

• Dalam surah An-Nisaa’ ayat 160 – 161 yang artinya adalah; “Maka disebabkan

kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka

3

Pasal 1 angka 13 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

4

Pasal 1 angka 12 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

5


(21)

memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.

• Dalam surah Ali Imran ayat 130 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

• Dalam surah Al-Baqarah ayat 278-279 yang artinya : “Hai orang-orang yang

beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa ( dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.6

Pada permulaan perkembangannya perbankan syariah menawarkan produk- produk perbankan yang bebas bunga yaitu mudharabah dan musyarakah, dua produk yang diasumsikan berdasarkan pada sistem bagi hasil, atau yang lebih dikenal sebagai Profit and Loss Sharing. Dengan dua produk itu bank tidak beroperasi dengan bunga bank, tetapi berbagi hasil dengan nasabah.

Kinerja perbankan syariah yang meliputi perkembangan aset, penghimpunan dana, dan pembiayaan dimana perkembangan kinerja bank syariah berada pada tahap pertumbuhan yang semakin tinggi (increasing growth) dan minat masyarakat untuk terus dan mau memakai produk perbankan syariah.

Perbankan Syariah dalam melakukan penyaluran dana kepada masyarakat dapat melalui prinsip bagi hasil, yang salah satunya adalah akad pembiayaan musyarakah. Dengan menggunakan prinsip bagi hasil ini, baik bank syariah maupun nasabah secara bersama-sama menanggung resiko usaha dan membagi hasil usaha berdasarkan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi

6


(22)

pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak, bank syariah dan nasabahnya berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Dalam melakukan transaksi investasi ini, nasabah perbankan syariah dapat di fasilitasi melalui akad pembiayaan musyarakah.

Menurut penjelasan pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 “musyarakah” adalah :

Transaksi penanaman dana dari pemilik dana dari dua atau lebih dari pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.7

Selanjutnya didalam Penjelasan atas Pasal 19 ayat 1 huruf c UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan di bagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. 8

Jadi pembiayaan musyarakah ini merupakan transaksi yang bersifat investasi dalam rangka penyediaan modal (atau barang usaha) yang dilakukan secara bersama (dua pihak memberikan kontribusi modal), dengan pembagian keuntungan

7

Penjelasan pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank syariah.

8


(23)

berdasarkan nisbah tertentu yang disesuaikan secara proporsi berdasarkan modal masing-masing sebagaimana telah disepakati dalam kontrak/akad.

Di dalam Hukum Islam pembiayaan musyarakah ini mengacu kepada dalil-dalil yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Hadis maupun ‘Ijma, yaitu :

a. Al-Qur’an surah Shad (38);24

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.

b. Hadis Riwayat Abu Daud yang disahihkan oleh Al-Hakim dari Abu Hurairah. Rasullullah SAW berkata :

“Allah SWT berfirman :’Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, ‘Aku keluar dari mereka.”

c. Taqrir Nabi

Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu setelah Rasulullah SAW diutus menjadi Nabi, masyarakat telah mempraktekkan kontrak musyarakah, kemudian Rasullullah menetapkan akad musyarakah sah untuk digunakan masyarakat, sebagaimana banyak juga hadis Rasulullah yang menjelaskan keabsahan akad musyarakah.

d. ‘Ijma Ulama

‘Ijma Ulama atas kebolehan musyarakah sebagaimana dikutip dari Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, ulama muslim sepakat akan


(24)

keabsahan kontrak musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara mereka atas beberapa jenis musyarakah, secara eksplisit, ulama telah sepakat akan praktik kontrak musyarakah, sehingga kontrak ini mendapat pengakuan dan legalitas syar’i.

Perjanjian atau akad dalam pembiayaan musyarakah juga mirip dengan perjanjian pengikatan pada pembiayaan kredit di bank konvensional namun pembiayaan musyarakah mempunyai ciri khas tersendiri oleh karena konsepnya yang berdasar pada prinsip-prinsip syariah Islam. Perbedaan yang nampak dalam perjanjian (aqad) pembiayaan yang terdapat pada bank syariah dengan perjanjian kredit di bank konvensional dapat dilihat dalam klausula-klausula perjanjian (aqad) pembiayaan atau kredit baik yang dibuat oleh perbankan syariah ataupun bank konvensional.

Pada perjanjian musyarakah diperbolehkan kepada bank syariah untuk meminta jaminan (borg), hal ini diperbolehkan sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah yang tertuang dalam angka 3 tentang modal yakni : “Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Didalam prakteknya pada bank syariah yang dijadikan jaminan adalah barang yang pengadaannya dibiayai oleh bank itu sendiri.

Perjanjian pembiayaan musyarakah pada bank berprinsip syariah tentu tidak semuanya berjalan dengan mulus, ada kalanya timbul resiko dalam akad pembiayaan


(25)

musyarakah. Yakni apabila terjadi kerugian, resiko kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan, hal tersebut sesuai dengan prinsip musyarakah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagai keuntungan maupun risiko kerugian.

Resiko utama dari produk pembiayaan musyarakah ini adalah resiko pembiayaan (credit risk) yang terjadi jika debitur wanprestasi (default), selain itu resiko pasar juga dapat terjadi jika pembiayaan musyarakah diberikan dalam Valuta Asing yaitu resiko dari pergerakan nilai tukar.

Selain pembiayaan musyarakah dalam hal bagi hasil masih ada satu prodak bagi hasil dalam perbankan syariah yaitu yang kita kenal dengan pembiayaan mudharabah yang merupakan transaksi yang bersifat Investasi dalam rangka penyediaan modal usaha untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama antara bank dan nasabah.

Menurut penjelasan pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007:

Mudharabah adalah Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.9

9

Penjelasan pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007. Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank syariah.


(26)

Penjelasan pasal 19 ayat 1 huruf c Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang UU Syariah bahwa yang di maksud dengan akad mudharabah dalam pembiayaan adalah :

Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama ( malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua ( amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.10

Perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan juga telah mendorong berkembangnya inovasi transaksi-transaksi perbankan syariah yang memenuhi prinsip syariah secara istiqomah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, yang kemudian di implementasikan secara lebih rinci aspek teknis dalam ketentuan perbankan syariah sebagaimana termuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagai Pengganti Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian di perlengkapi dengan Surat Edaran bank Indonesia nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan dimaksud dengan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah yang ditujukan kepada semua Bank Syariah di Indonesia.

10


(27)

Sekarang aturan perbankan syariah bukan hanya didasarkan pada peraturan Bank Indonesia, melainkan juga telah mempunyai dasar hukum yang kuat berupa aturan per Undang-Undangan Perbankan Syariah sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Didalam UU Nomor 21 tahun 2008 dalam pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.11

Perbankan Syariah di samping melakukan penghimpunan dana dari masyarakat, perbankan syariah juga melakukan kegiatan usaha penyaluran dana kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah baik Bank umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat melakukan kegiatan usaha penyaluran dana perbankan kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah.

Penyaluran dana kepada masyarakat tersebut dilakukan berupa pembiayaan dengan mempergunakan prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam meminjam. Dengan demikian, produk pembiayaan syariah tersebut sesuai dengan penggunaannya menurut undang-undang Perbankan Syariah UU No.21/2008 pasal 1 ayat 25 dinyatakan:

“ Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang di persamakan dengan itu berupa :

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah.

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah Muntahiya bittamlik.

11


(28)

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna. d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh dan

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi Multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan atau Unit-Unit Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan Ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil. 12

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu cara perbankan syariah melakukan penyaluran dana kepada masyarakat adalah melalui prinsip jual beli yang didasarkan pada akad atau fasilitas, antara lain, murabahah. Dengan adanya jual beli, maka terjadi peralihan atau perpindahan kepemilikan hak atas suatu barang atau benda dari penjual kepada pembelinya. Dalam melakukan transaksi jual beli ini, nasabah perbankan syariah dapat di fasilitasi melalui akad murabahah, sehinggga melahirkan penyaluran dana melalui pembiayaan murabahah.

Penjelasan pasal 19 ayat 1 huruf d, UU nomor 21 nomor 2008 tentang undang-undang Perbankan Syariah bahwa “ Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati”.13

Pada pembiayaan murabahah itu transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya, Bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli, harga jual adalah harga beli bank dan pemasok di tambah keuntungan (margin).

12

Pasal 1 ayat 25 UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

13


(29)

Pembiayaan murabahah ini secara prinsip merupakan saluran penyaluran dana bank syariah dengan cepat dan mudah, dimana bank syariah mendapat profit yaitu margin dari pembiayaan serta mendapatkan fee based income ( administrasi, komisi asuransi). Sementara bagi nasabah, pembiayaan murabahah ini merupakan alternatif pendanaan yang memberikan keuntungan kepada nasabah dalam bentuk membiayai kebutuhan nasabah dalam hal pengadaan barang, seperti pembelian dan renovasi bangunan, pembelian kendaraan, pembelian barang produktif seperti mesin produksi dan pengadaan barang lainnya, disini nasabah akan mendapat peluang mengangsur pembayarannya dengan jumlah angsuran tidak akan berubah selama masa perjanjian.

Resiko utama dari pembiayaan murabahah ini adalah resiko pembiayaan (credit risk) yang terjadi jika debitur wanprestasi atau default, resiko pasar apabila murabahah diberikan dalam bentuk Valuta Asing yaitu resiko dari pergerakan nilai tukar.

Pembiayaan pada akad bagi hasil ini menempatkan bank sebagai pihak penyandang dana. Untuk itu bank berhak atas kontraprestasi berupa bagi hasil sebesar nisbah terhadap pendapatan atau keuntungan yang diperoleh oleh pemilik usaha (Mudharib) sedangkan apabila bank hanya bertindak sebagai penghubung antara pengusaha dan nasabah, ia berhak atas kontraprestasi berupa fee.14

Metode penghitungan bagi hasil dibedakan menjadi 3 (tiga) cara yakni:

14

Rachmadi Usman,Produk dan akad Perbankan Syariah di Indonesia Implementasi dan Aspek Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hal 208.


(30)

1. Menggunakan metode profit and loss sharing, yaitu para pihak akan memperoleh bagian hasil sebesar nisbah yang telah disepakati dikalikan besarnya keuntungan (profit) yang di peroleh oleh pengusaha (mudharib), sedangkan apabila terjadi kerugian, ditanggung bersama sebanding dengan kontribusi masing-masing pihak. 2. Menggunakan metode profit sharing, artinya para pihak mendapatkan bagian hasil sebesar nisbah dikalikan dengan perolehan keuntungan yang di dapatkan oleh pengusaha (mudharib), sedangkan apabila terjadi kerugian, secara financial akan ditanggung oleh pemilik dana (shahibul maal).

3. Menggunakan metode revenue sharing, yaitu para pihak mendapatkan bagian hasil sebesar nisbah dikalikan dengan besarnya pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh pemilik usaha (mudharib) 15

Sehubungan dengan pembiayaan yang diberikan bank syariah kepada nasabahnya, terjadi hubungan kontraktualnya dilakukan dengan akad pembiayaan yang akadnya dapat dibuat secara dibawah tangan atau di buat secara autentik oleh Notaris.

Akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank dengan nasabahnya dibuat secara notariil, sehinggga akan mendapatkan kekuatan akad pembiayaan sebagai bukti formil yang sangat kuat dan pasti, hal ini lah yang menarik untuk dilakukan pengkajian dan analisis terhadap hal diatas, karena masih banyak bank-bank yang berprinsip syariah dalam pembuatan akad pembiayaannya masih dibuatkan akadnya secara dibawah tangan serta apakah bank syariah sudah menerapkan prinsip syariah dalam pelaksanaan pembiayaan kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami kiranya perlu diadakan penelitian untuk mengetahui sampai dimana penerapan terhadap perjanjian pembiayaan dengan sistem perbankan syariah, apakah telah sesuai dengan prinsip syariah yang sebenarnya atau sama dengan prinsip bank-bank konvensional lainnya, dimana

15


(31)

penerapan sebenarnya dalam hal perbankan syariah ialah prinsip bagi hasil / bagi keuntungan.

B. Perumusan Masalah.

Dari uraian yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Bagaimana aspek hukum perjanjian pembiayaan dalam Hukum Islam untuk menjalankan kegiatan perbankan syariah ?

2. Apakah pelaksanaan perjanjian pembiayaan yang dilakukan oleh Perbankan syariah sudah sesuai dengan Prinsip Syariah?

3. Bagaimana prosedure akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan syariah.

C. Tujuan Penelitian.

Dari permasalahan yang ada diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan Aspek hukum perjanjian pembiayaan menurut prinsip syariah. 2. Untuk menjelaskan apakah pelaksanaan pembiayaan yang dilakukan oleh

perbankan syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah.

3. Untuk mengetahui bagaimana prosedure akad pembiayaan dengan prinsip syariah.

D. Manfaat Penelitian.

Manfaat penulisan ini dapat kita lihat dari 2 ( dua) aspek, yaitu : 1. Aspek secara teoritis.


(32)

Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur kepustakaan

Tentang hukum perjanjian khususnya terhadap praktek pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, baik dari sudut pandang syariat Islam maupun dari sudut pandang ketentuan yang berlaku.

2. Aspek secara praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kalangan praktisi hukum khususnya para Notaris dan kalangan perbankan yang berprinsip syariah dalam membuat perjanjian akad pembiayaan yang dibuat dengan akta otentik. E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya dengan judul :

“Analisis Yuridis dengan Sistem Perbankan Syariah”.

Namun pernah ada penelitian dari mahasiswa kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul :

1. Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah, oleh Ridha Kurniawan Adnans, dimana dalam penelitian tersebut titik berat pembahasannya adalah mengenai proses terjadinya jual beli dan peralihan hak atas rumah dalam pembiayaan berdasarkan system murabahah pada Bank Syariah.

2. Jaminan Dalam Akad Pembiayaan Pada Bank Syariah Yang Mengandung Konflik, oleh Saudara Ahmad Fauzi, dimana penelitian tersebut titik berat


(33)

pembahasannya adalah mengenai jaminan dalam hal pembiayaan pada Bank Syariah.

3. Perjanjian Pembiayaan Murabahah Pada Bank dengan Prinsip-prinsip Syariah Islam, oleh Rifki Suryadi, dimana penelitian tersebut titik berat permasalahannya adalah mengenai jaminan dalam pembiayaan murabahah dan penyelesaian terhadap pembiayaan macet yang diikat dengan perjanjian murabahah.

Adapun penelitian-penelitian yang sebelumnya tersebut berbeda permasalahan dengan yang akan diteliti dan permasalahan tersebut hanya mengacu pada satu akad pembiayaan saja, oleh karena itu penelitian dan penulisan tesis ini dijamin keaslian dan dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional. 1. Kerangka Teori

Untuk penelitian hukum diperlukan kerangka teoritis yang dalam ilmu hukum, agar permasalahan yang diteliti menjadi jelas.

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodelogi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”. 16

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesipik atau proses tertentu terjadi dan harus diuji dengan menghadapkannya pada faktor-faktor yang dapat menunjukan ketidak benaran.17

16

Sujono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta 1986. Hal 6

17

JJJ M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Asas-asas penyunting, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996 Hal 203


(34)

Membahas mengenai perjanjian pembiayaan dengan sistem perbankan syariah tidak dapat dilepaskan dari asas kebebasan berkontrak yang merupakan asas penting dari hukum perjanjian. Untuk menganalisis data mengenai hal tersebut diatas, maka dalam hal ini digunakan dua teori yakni teori konsep hukum dan teori laisser faire (teori ekonomi klasik).

Teori tentang konsep hukum yang menggambarkan fungsi dari hukum. Menurut Gunarto Suhardi dari Antony Allot dalam The Limit of Law, menguraikan berbagai arti fungsi dari hukum. Dikemukakan, hukum adalah ketentuan dan informasi yang bersifat abstrak tetapi berpengaruh, pengertian hukum berupa norma-norma hukum positif dan selanjutnya hukum sebagai proses atau akibat berlakunya hukum itu sendiri. 18

Batasan-batasan hukum adalah sebagai berikut :19

1. Ada kekuatan-kekuatan sosial yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan. Hal ini sesudah membentuk hukum yang bersifat abstrak.

2. Hukum positif yang berupa struktur dan aturan-aturan. 3. Pengaruh dari hukum terhadap perilaku nyata.

Teori tentang konsep hukum adalah untuk memahami kebiasaan-kebiasaan dalam dunia usaha yang disebut etika bisnis dan akhirnya berkembang menjadi hukum dalam berbagai transaksi bisnis yang dikemudian dipatuhi dan menjadi kekuatan sosial dalam masyarakat. Teori ini juga berguna untuk memahami pengaruh

18

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonom, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002, hal. 4.

19


(35)

sosial dari suatu peraturan hukum sehingga akibat hukumnya dapat diprediksi (predictable) sebagai nuansa yang sangat penting dalam transaksi bisnis dimana para pelaku usaha dapat membuat perhitungan perbandingan biaya dan keuntungan dari suatu usaha.

Sedangkan teori ekonomi klasik berasal dari asas Kekebasan berkontrak yang dilahirkan oleh prinsip ekonomi ultilitarianism, teori ekonomi klasik (laisser faire) ternyata terbukti dapat menimbulkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sering tidak terjadi sehingga negara menganggap perlu untuk campur-tangan guna melindungi pihak yang lemah. Kebebasan berkontrak dalam konsep ekonomi Islam atau Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya, haruslah didasarkan pada pemikiran bahwa setiap kontrak yang terjadi dalam perdata syari’ah ditekankan pada prinsip syariat Islam.

Lebih jelas dikatakan bahwa kebebasan berkontrak dalam konsep hukum Islam dalam rangka upaya untuk mengatur kepentingan-kepentingan individual (fardiyah), kolektif (ijtimi’yah) dan kepentingan negara (dusturiyah) serta agama (diniyah). Bertolak dari falsafah hukum Islam sebagaimana yang dituangkan dalam fiqh al mu amalah, maka kebebasan berkontrak dalam lembaga keuangan syari’ah


(36)

perlu dilandasi oleh ajaran keseimbangan, keselarasan dan keserasian untuk menghasilkan suatu kebebasan yang bertanggungjawab.20

Asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan perlu dipelihara sebagai modal pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian hidup lahir batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.21 Kebebasan berkontrak merupakan tulang punggung hukum perjanjian, sebab melalui kebebasan itu angggota-anggota masyarakat dapat mengembangkan kreativitasnya. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak bukan merupakan kebebasan yang tak terbatas, karena dibatasi oleh tanggungjawab para pihak, sehingga bermanfaat bagi para pihak itu sendiri.

Sedangkan Pengertian akad (al’agd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan/perjanjian, sedangkan istilah akad itu berasal dari Al-Qur’an surah Almaidah (5) ayat 1 artinya :

“ hai orang-orang yang beriman penuhilah akad ( al-aqd) diantara kamu “.22

Akad syariah yang dapat di pergunakan dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan disebutkan antara lain, dalam ketentuan pasal 3 huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menetapkan bahwa :

20

Ronny Sautma Hotma Bako; Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan deposito, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. hal. 7

21

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, 1981, hal. 123-124

22


(37)

“Dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan mempergunakan antara lain, akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna’, ijarah, ijarah muntahiyahbittamilk, dan qard”.23

Dalam praktek perbankan di Indonesia pelaksanaan akad perjanjian kredit atau akad pembiayaan pada system perbankan syariah dapat dilakukan dengan dua bentuk atau dua cara yaitu :

a. Perjanjian kredit atau akad pembiayaan yang dibuat dibawah tangan atau akta dibawah tangan.

b. Perjanjian kredit yang dibuat dihadapan Notaris atau akta otentik.

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbs tanggal 17 Maret 2008 perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, pada poin III angka 3 ayat 1 menyatakan bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

1. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang.

2. Barang adalah objek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, harga perolehan, dan spesifikasinya;

3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagai mana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character) dan/atau aspek usaha, antara lain meliputi analisa

23


(38)

kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital) dan/atau prospek usaha (condition);

5. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;

6. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;

7. Kesepakatan atas margin ditentukan hanya satu kali pada awal pembiayaan atas dasar murabahah dan tidak berubah selama periode pembiayaan.

8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar murabahah;

9. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada bank ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah.

Adapun unsur-unsur pembiayaan/kredit adalah:

1. Adanya orang/badan yang memiliki uang, barang atau jasa dan bersedia untuk meminjamkannya kepada pihak lain biasanya disebut kreditur.

2. Adanya orang/badan sebagai pihak yang memerlukan/meminjamkan uang, barang atau jasa, biasanya disebut debitur.

3. Adanya kepercayaan kreditur terhadap debitur.

4. Adanya janji dan kesanggupan membayar dari debitur kepada kreditur.

5. Adanya perbedaan wakyu yaitu perbedaan antara saat penyerahan uang, barang dan jasa oleh kreditur dengan saat pembayaran kembali oleh debitur.

6. Adanya resiko sebagai akibat dari adanya perbedaan waktu.24

Dalam akad pembiayaan pada bank berprinsip syariah akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan, pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab dan qabul.

“Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri sedangkan qabul

24

H. Hadiwijaya, R.A. Rivai Wirasasmita, Analisa Kredit (dilengkapi telaah khusus) Pionir Jaya, Bandung, 1997 Hal 7


(39)

adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuan untuk mengikatkan diri. Atas dasar ini menurut Mustafa Ahmad Az-zarqa’ setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu aqad disebut dengan mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan oleh pihak lain setelah ijab disebut dengan qabil (pelaku) antara pihak mana yang memulai pernyataan pertama itu 25

Ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad yakni : 1. Pihak-pihak telah cakap melakukan perbuatan hukum (mukallaf).

2. Objek akad harus diakui sah oleh syara’. 3. Akad tidak dilarang oleh Al-Qur’an dan Hadist

4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus suatu akad. 5. Akad itu bermanfaat

6. Pernyataan ijab tetap utuh dan syahih sampai terjadinya Qabul.

7. Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majelis yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.

8. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui syara.26

Para ulama fiqih menetapkan bahwa akad yang memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan dari akad itu.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian berprinsip syariah yang dikemukakan oleh Fathurrahman Djamil dalam tulisannya yang berjudul Hukum Perikatan Syariah yakni sebagai berikut :

1. Dari segi subjek aqad atau para pihak.

25

M. Hasballah Thaib, Hukum aqad (Kontrak) dalam fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah, Universitas Sumatera Utara, Medan 2005 hal 3.

26


(40)

a. Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum, artinya orang dewasa dan bukan mereka yang secara hukum berada dibawah pengampuan atau perwalian, apabila orang yang di bawah perwalian atau pengampuan maka didalam melakukan perjanjian wajib diwakili oleh wali atau pengampunya. b. Identitas Para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perjanjian harus

jelas, apakah bertindak untuk dirinya sendiri atau mewakili sebuah Badan Hukum.

c. Tempat dan saat perjanjian dibuat, untuk kebaikan sebaiknya harus disebutkan dengan jelas di dalam aqad.

2. Dari segi tujuan dan objek aqad.

a. Disebutkan secara jelas tujuan dari dibuatnya akad tersebut, misalnya jual beli, sewa menyewa, bagi hasil dan seterusnya sesuai dengan apa yang diatur oleh undang-undang perbankan syariah.

b. Sekalipun diberikan kebebasan dalam menentukan objek aqad, namun jangan sampai menentukan suatu objek yang dilarang oleh ketentuan syariah Islam, dengan kata lain objek aqad harus halal.

3. Adanya kesepakatan, dalam hal yang berkaitan dengan:

a. Waktu perjanjian, baik bermula atau berakhirnya perjanjian, jangka waktu angsuran dan berakhirnya, harus diketahui dan disepakati sejak awal akad oleh bank dan nasabah, tidak boleh berubah ditengah atau di ujung perjalanan pelaksanaan kesepakatan, kecuali bila hal itu disepakati oleh kedua belah pihak.


(41)

b. Jumlah dana, dana yang dibutuhkan, nisbah atau margin yang disepakati, biaya-biaya yang diperlukan, dan hal-hal lainnya.

c. Mekanisme kerja, disepakati sejauh mana kebolehan melakukan operasional, pengawasan dan penilaian terhadap suatu usaha (khususnya mudharabah dan musyarakah).

d. Jaminan, bagaimana kedudukan jaminan, seberapa besar jumlah dan kegunaan jaminan tersebut serta hal-hal lain berkaitan dengannya.

e. Penyelesaian, bila terjadi perselisian atau adanya ketidak sesuaian antara dua belah pihak, bagaimana cara penyelesaian yang disepakati, tahapan-tahapan apa yang harus dilalui dan seterusnya.

f. Objek yang diperjanjikan dan cara-cara pelaksanaannya. 4. Adanya Persamaan/Kesetaraan/Kesederajatan/Keadilan

a. Dalam hal menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara bank dan nasabah.

b. Dalam penyelesaian ketika mengalami kegagalan usaha dan jaminan. Dalam akad-akad di lingkungan Bank Syariah kesederajatan atau kesetaraan dan keadilan diantara bank dan nasabah wajib senantiasa dipegang teguh, dan harus selalu tercermin, baik dalam pasal-pasal yang memuat segi-segi hukum materialnya, maupun segi hukum formalnya.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep


(42)

adalah suatu kontruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.27

Suatu kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala ini sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan dalam fakta tersebut.28

Dalam rangka melakukan penelitian ini, perlu disusun serangkaian operasional dan beberapa konsep yang di pergunakan dalam penulisan ini. Hal ini untuk menghindarkan salah pengertian dan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.

1. Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih29

2. Akad.

Adalah kesepakatan tertulis antara Bank syariah atau Usaha Unit Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.30

3. Prinsip syariah

27

Soejono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif sesuatu Tinjauan singkat,

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7

28

Soejono soekanto, opcit hal. 132.

29

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

30


(43)

Adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah.31

4. Perbankan syariah

Adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan unit Usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.32

5. Pembiayaan

Adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa : a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Usaha unit syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.33

G. Metode Penelitian.

Metode penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dan metode keilmuan, dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan.

31

Pasal 1 ayat 12 UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

33


(44)

1. Sifat Penelitian.

Sifat penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti yang kemudian didukung dengan data primer dan sekunder.

2. Pendekatan Penelitian.

Dalam hukum perjanjian suatu perjanjian yang telah disepakati akan menjadi hukum yang bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya dengan demikian ketika mengkaji hukum perjanjian penulis akan melakukan tinjauan hukum melalui dua pendekatan, karena kedua pendekatan tersebut pada hakekatnya merupakan bagian dari teori studi hukum Islam yang digunakan untuk memahamkan bagaimana sesungguhnya cara mengamalkan prinsip syariah dalam kehidupan pada umumnya. Dari teori pendekatan hukum tersebut kemudian penulis gunakan untuk mempermudah memahami bagaimana cara penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kontek hukum perjanjian.

- Pendekatan pertama ialah melihat hukum dari segi materil yang secara langsung bersumber dari syariah Allah (Al-Qur’an) karena hukum bersumber langsung dari syariat Allah maka pemberlakuannya pun menjadi kewajiban.

- Pendekatan kedua ialah melihat hukum sebagai peraturan tambahan karena disusun dan diterapkan untuk menjamin pelaksanaan hukum yang bersifat materil. karena itu untuk tujuan kemaslahatan. Penerapan peraturan yang bersifat


(45)

prosuderal ini hukumnya dibolehkan dengan syarat selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah itu sendiri.

3. Sumber Data.

Adapun sumber data dari penelitian ini adalah bahan-bahan hukum yang dikaji meliputi :

a. Bahan Hukum Primer.

Yakni bahan hukum yang terdiri dari perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Yakni bahan hukum yang terdiri dari atas buku-buku teks (teksbook) yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi dan hasil seminar/symposium yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier.

Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ekslopedia dan lain-lain.


(46)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterprestasikan hukum yang berlaku.

Pengumpulan data juga mencakup studi terhadap dokumen akta pembiayaan yang dibuat oleh Notaris.

5. Analisa Data.

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya, untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis.


(47)

BAB II

ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MENURUT PRINSIP SYARIAH

A. Pengertian Bank Syariah 1. Pengertian bank syariah

Pengertian bank menurut undang-undang perbankan Indonesia adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningktkan taraf hidup rakyat banyak. Sehingga secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari msyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary).

Sedangkan makna harfiah syariah (bahasa Arab: Syari’ah) adalah “jalan menuju sumber kehidupan” dan dalam pengertian teknis kata ini digunakan untuk menyebut sistem hukum yang sesuai aturan perilaku yang dikehendaki oleh Al-Quran dan Hadits (Hadits Shahih).34 Dengan demikian pengertian syariah adalah ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qurán dan Al-Hadits.35

Istilah “bank syariah” itu sendiri sebenarnya adalah khas Indonesia yang tidak dijumpai di negara lain. Di tempat lain, lembaga itu disebut “bank Islam”

34

Mervyn K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dari buku Islamic Banking, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semseta, 2005, hal. 30.

35

Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: PT. Intermasa, 2003, hal. 316.


(48)

(Islamic Bank).36 Di Indonesia istilah atau penyebutan yang dipakai ialah “bank Islam” atau “bank syariah” dan “perbankan Islam”. Namun dari sekian istilah yang ada tersebut masyarakat Indonesia lebih dekat dengan nama “bank syariah”. Hal tersebut juga dapat dilihat pada pencantuman kata “syariah” dibelakang nama-nama bank di Indonesia yang melakukan berdasarkan prinsip syariah.37 Pemakaian kata “syariah” di belakang nama bank, menunjukkan bahwa dalam operasional bank tersebut memakai prinsip-prinsip syariah yang berdasarkan hukum Islam.

Bank syariah dalam undang-undang perbankan Indonesia termasuk dalam kelompok bank umum, yang diberikan pengertian sebagai “bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah”. Prinsip syariah di sini diberikan pengertian sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah.38

Setelah piagam Jakarta, istilah syariat masuk pertama kali ke dalam khasanah hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, di mana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 :

36

Adiwarman A. Karim, Bank-Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004, hal. XXII

37

Dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, diatur bahwa bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata ”syariah” sesudah kata ”bank” pada penulisan namanya.

38

Istilah ini digunakan dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.


(49)

“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”

Dalam Pasal ini diterangkan dengan jelas bahwa yang dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Jadi istilah syariah di sini disamakan dengan hukum Islam.39

Dari beberapa pendapat istilah yang dipergunakan antara “bank Islam” atau “bank syariah”, dalam penulisan ini penulis menggunakan istilah “bank syariah” dan “perbankan syariah”, hal tersebut didasari oleh rumusan Peraturan Bank Indonesia yang menggunakan istilah “bank syariah” dalam praktik di perbankan yang menggunakan kata “syariah” di belakang nama sebuah bank, hal ini menunjukkan bahwa bank tersebut menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. 2. Prinsip-prinsip Bank Syariah

Perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga atau riba. Pelarangan inilah yang membedakan sistem perbankan Islam dengan sistem perbankan konvesional. Pelarangan riba diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 278-279:

39

Rifyal Ka’bah, The Jakarta Charter and The Dynamic of Islamic Shariah in the History of Indonesian Law, Jakarta: PT. Kurnia Sejati, 2006, hal. 32-33.


(50)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan lepaskan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu modalmu. Kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal dasar yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba.40

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.41 Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.42 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaks jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.43

40

Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dari buku Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram ,Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, hal. 58.

41

Abdullah Saeed, Islamic Banking Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation, Laiden: Ej Brill, 1996, diambil dari buku Muhammad Syafi’i Antonio,

Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hal. 37.

42

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999

43

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2001,hal. 37.


(1)

Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta pelayanan Jasa Bank Syariah. Demikian pula syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah terpenuhi, karena syarat sahnya perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan syariah Islam.

3. Prosedur perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan syariah antara bank dan nasabah dibuat secara tertulis yang bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditetapkan oleh bank yang mengacu pada aturan bank syariah, dimana perjanjian pembiayaannya dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara notariil. Selanjutnya dalam hal ini ada juga beberapa ketentuan dalam akad yang mencantumkan ketentuan hukum yang dikenal dalam hukum perdata, sebagai salah satu contoh dicantumkannya lembaga hukum jaminan yang diatur dalam ketentuan hukum perdata. Dan yang terakhir bahwa apabila terjadi sengketa dalam hal perjanjian tersebut maka para pihak memilih lembaga penyelesaian perselisihan atau sengketa di Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).

B. SARAN

1. Agar aspek hukum perjanjian pembiayaan yang ada dalam perbankan syariah berjalan dengan prinsip syariah diharapkan pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana dari UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah, dan diharapkan juga pada bank yang berprinsip syariah mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam pembuatan akad perjanjian pembiayaannya, sehinggga bank benar-benar mengacu


(2)

2. Diharapkan Pemerintah harus tegas kepada bank-bank yang berprinsip syariah untuk mematuhi aturan-aturan akad pembiayaan dalam penyaluran dana kepada masyarakat terutama akad pembiayaan murabahah yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan Hukum Islam. 3. Perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah merupakan perjanjian

baku, dimana nasabah berada dalam posisi yang lemah. Oleh karena itu disarankan kepada para nasabah yang ingin mengajukan permohonan pembiayaan harus minta penjelasan yang akurat kepada bank tentang pembiayaan yang akan diambil serta maksud dan isi perjanjian, resiko pada pembiayaan tersebut, agar tidak terjadi salah paham diantara bank dan nasabah tentang perjanjian pembiayaan yang diambil. Dan diharapkan kepada pemerintah agar membuat lembaga jaminan yang berprinsip syariah sehingga perjanjian akad pembiayaan tidak lagi mencantumkan clausula hukum perdata didalamnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Algoud M. Latifa Lewis K Mervyn , Perbankan Syariah, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dari buku Islamic Banking, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,

2005)

Al-Qardhawi Yusuf, Bunga Bank Haram, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dari buku Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003)

Antonio Syafi’i Muhammad, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).

Antonio Syafi’I Muhammad, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

Badrulzaman Darus Mariam, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, 1981

Bako Hotma Sautma Ronny, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan deposito, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Dewi Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, Edisi Revisi Cetakan Ke 3, (Jakarta: Kencana, 2006)

Dewi Gemala, Wirdyaningsih, Barlinti Salma Yeni, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)

Gunarto Shardi, Peranan Hukum Dalam pembangunan Ekonomi, Universitas Atmajaya, Yogjakarta, 2002.

Hadiwijaya, R.A. Rivai Wirasasmita, Analisa Kredit (dilengkapi telaah khusus ), Pionir Jaya, Bandung, 1997.


(4)

Karim A Adiwarman., Bank-Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004)

Lewis K Mervyn, Algaoud M Latifa, Perbankan Syariah, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dari buku Islamic Banking, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semseta, 2005

Masadi A Ghufran, Fiqih Muamalah Konstektual, cet, I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002

Manurung Mandala, Prathama Rahardja, Uang, PErbankan Ekonomi Moneter, (Jakarta: Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004).

Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005.

S. Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta, Fakultas Ekonomi & Bisnis UGM, 2009.

Sjahdeini Remy Sutan, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993)

Soekanto Soejono dan Mamudji Sri, Penelitian hukum Normatif sesuatu Tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

Sukanto Sujono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta 1986.

Suhardi Gunarto, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002

Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kesepuluh, (Jakarta : Intermasa, 1985)

Thaib Hasballah M, Hukum aqad (Kontrak) dalam fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah, Universitas Sumatera Utara, Medan 2005

Usman Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Adinya Bakti, Bandung, 2000

Usman Rachmadi, Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia Implementasi dan Aspek Hukum, Bandung PT. CITRA ADITYA BAKTI, 2009


(5)

Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank Dengan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan deposito, PT.Citra aditya Bakti, Bandung, 1995.

Wirasasmita Rivai R.A. Hadiwijaya H, Analisa Kredit (dilengkapi telaah khusus) Pionir Jaya, Bandung

Wuisman JJJ M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Asas-asas penyunting, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996

Wasilah Sri Nurhayati, Akutansi Syariah Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2008.

B. Al-Quran dan Hadist

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

D. Jurnal, Kamus, Majalah, Surat Kabar, Seminar, Internet, Dll.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)

Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003).


(6)

Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Masih Diperbedatkan, http://www.hukumonline.com/detail,asp?id,=15428&cl,=Berita, diakses tangga l2 April 2010

Zulkarnain, Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah di Daerah Kabupaten Deli Serdang (studi Kasus BPR Syariah Kafalatul Ummah Sunggal dan BPR Syariah Al-Wasliyah Tanjung Morawa), Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2000.


Dokumen yang terkait

Analisis pengaruh pendapatan murabahah, mudharabah dan musyarakah terhadap profitabilitas Bank

6 52 133

pengaruh penyaluran pembiayaan mudharabah,pembiayaan musyarakah,pembiayaan murabahah,dan non performing financing (npf) terhadap kinerja bank pembiayaan rakyat syariah di Indonesia periode januari 2010-maret 2015

0 7 122

Pengaruh Risiko pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas Perbankan Syariah

1 9 150

ANALISIS PENGARUH PEMBIAYAAN MURABAHAH, MUDHARABAH dan MUSYARAKAH TERHADAP PROFITABILITAS BANK SYARIAH Analisis Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Mudharabah, dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (periiode Desember 2007-Desember 2014).

1 3 12

ANALISIS PENGARUH PEMBIAYAAN MURABAHAH, MUDHARABAH, dan MUSYARAKAH TERHADAP PROFITABILITAS Analisis Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Mudharabah, dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (periiode Desember 2007-Desember 2014).

0 4 17

PENGARUH PEMBIAYAAN MURABAHAH, PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Musyarakah Dan Pembiayaan Mudharabah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (Studi Kasus pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.).

0 3 15

PENGARUH PEMBIAYAAN MURABAHAH, PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Musyarakah Dan Pembiayaan Mudharabah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (Studi Kasus pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.).

0 2 15

PENGARUH PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH TERHADAPPROFIT PERBANKAN SYARIAH Pengaruh Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah Terhadao Profit Perbankan Syariah di Indonesia.

0 2 12

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH, MUSYARAKAH, MURABAHAH, DAN SEWA IJARAH TERHADAP Analisis Pengaruh Pendapatan Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Dan Sewa Ijarah Terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah Di Indonesia Periode

0 2 15

PENGARUH RISIKO PEMBIAYAAN MUDHARABAH, RISIKO PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN RISIKO PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP PROFITABILITAS BANK SYARIAH

1 3 18