IMPLIKASI METODE KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING BANDAR LAMPUNG

(1)

DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING

BANDAR LAMPUNG

(Studi pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung) Oleh

BAYU UTOYO

Masalah penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara fungsi Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban PKL, tidak menciptakan ketentraman dan ketertiban umum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan preemtif dalam metode kerja Satuan Polisi Pamong Praja merupakan tahapan yang paling baik dalam menertibkan PKL di Pasar Bambu Kuning. Temuan penelitian mengenai metode kerja Satuan Polisi Pamong Praja dan implikasinya adalah: (1) Tahapan Preemtif, Satuan Polisi Pamong Praja melakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada PKL


(2)

penyuluhan mengenai tujuan menciptakan ketertiban dan keindahan kota Bandar Lampung. Implikasi tahap preemptif Penertiban PKL oleh Satuan Polisi Pamong Praja ini merupakan tahap yang paling baik karena berdampak positif bagi PKL, dengan adanya kegiatan penyuluhan atau pembinaan tersebut maka para PKL mengetahui adanya perlindungan hukum bagi PKL dan mengetahui kewajiban yang harus dipenuhi oleh PKL. (2) Tahapan Preventif (pencegahan), Satuan Polisi Pamong Praja melakukan patroli dan penjagaan dalam rangka mencegah adanya pelanggaran Peraturan Daerah dan memberikan teguran lisan maupun tertulis para PKL yang mengganggu ketertiban di Pasar Bambu Kuning. Implikasi tahap preventif Penertiban PKL oleh Satuan Polisi Pamong Praja merupakan tahap yang baik karena berdampak positif bagi PKL, dengan adanya kegiatan pengawasan atau patrol tersebut maka para tindakan pembongkaran atau penggusuran PKL dapat diminimalisasi. (3) Tahapan Represif (Penegakan), Satuan Polisi Pamong Praja melakukan penegakan Perda yaitu melakukan penertiban terhadap PKL yang melanggar ketertiban umum di Pasar Bambu Kuning. Tahap ini merupakan alternatif terakhir bagi Satpol PP dalam menertibkan PKL yang tidak mengindahkan peraturan daerah Kota Bandar Lampung tentang ketertiban dan keindahan kota. Implikasi tahap represif Penertiban PKL oleh Satuan Polisi Pamong Praja merupakan tahap yang tidak baik karena berdampak negatif, dengan adanya tindakan yang keras maka PKL akan melakukan perlawanan terhadap aksi penertiban atau penggusuran terhadap usaha mereka.


(3)

IMPLICATION OF WORK METHOD OF CIVIL SERVICE POLICE UNIT IN REGULATING STREET VENDORS AT

BAMBU KUNING MARKET OF BANDAR LAMPUNG

(Study on Civil Service Police Unit of Bandar Lampung City)

By BAYU UTOYO

This research problem is the gap between the Civil Service Police Unit functions as the assistant regional chief in the enforcement of local regulation and implementation of peace and good order of society, however, the reality on the ground indicate that the particular approach to Civil Service Police Unit in regulating street vendors, it does not create peace and public order.

The purpose of this research was to describe implication of work method of civil service police unit in regulating street vendors at Bambu Kuning Market of Bandar Lampung. Type of research used in this research is qualitative descriptive research.

The results showed that preemptive stage in the working methods of the Civil Service Police Unit is the best stage in the curb vendors in Bambu Kuning Market. The research's findings concerning the working methods of the Civil Service Police Unit and its implications are: (1) Preemptive phase, Civil Service


(4)

municipal regulation, technical implementation of enforcement and education about the purpose of bringing order and beauty of Bandar Lampung City. Implications of preemptive step by street vendor Control Unit of the Civil Service Police is the best stage for a positive impact on street vendors, with the existence of the extension or development of the street vendors are aware of any legal protection for street vendors and know the obligations that must be met by the street vendors. (2) Preventive phase, Civil Service Police Unit patrolling and guarding in order to prevent any violation of local regulations and provide oral or written reprimand of the street vendors who disturb order in Bambu Kuning Market. Control Implications of preventive stage street vendor by Civil Service Police Unit is a good stage for a positive impact on street vendors, with the supervision or patrol activities highlights the act of demolition or eviction of street vendors can be minimized. (3) Repressive phase, Civil Service Police Unit enforcing the law regulating the conduct of street vendors who violate the public order in Bambu Kuning Market. This stage is the last alternative for Civil Service Police Unit in order the municipal street vendors who do not heed the rules of Bandar Lampung City order and beauty of the city. Control Implications of repressive phase of street vendors by the Civil Service Police Unit is a stage that is not good because it has a negative impact, given the harsh measures it will take the fight against street vendors, demolition or eviction action against their efforts.


(5)

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) banyak menjadi permasalahan di kota-kota besar, karena pada umumnya kebijakan tersebut berpotensi merugikan usaha masyarakat kecil dalam mencari rezekinya. Kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan penertiban PKL terutama pedagang sayur-sayuran, buah-buahan dan penjual makanan selalu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja karena mereka bertugas untuk melaksanakan penertiban dan peraturan daerah (Agustinawati, 2000: 4).

Kebijakan yang merugikan PKL tersebut, pada dasarnya bertentangan dengan tujuan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) khususnya Alinea IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut juga termasuk dalam sistem negara kita yang menganut sistem welfare state atau negara kesejahteraan yakni semua kebijakan pemerintah harus bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya baik pemerintah maupun daerah (Agustinawati, 2000: 5).


(6)

Kebijakan pemerintah dalam melakukan penertiban sering berupa penggusuran PKL selalu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja. Untuk melaksanakan tugasnya, polisi pamong praja sudah dibekali Peraturan Daerah yang selalu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan penertiban PKL. Setiap daerah dalam menata dan mengatur sistem pemerintahannya pasti mempunyai cita-cita yang ingin dicapai. Cita-cita dan tujuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai dasar pijakan dalam melaksanakan pembangunan didaerahnya. Karena cita- cita merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maka antara negara satu dengan negara lainnya tidak sama dalam hal pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Aris Ananta, 2002: 6)

Sehubungan dengan adanya kondisi ketentraman dan ketertiban baik dalam hal PKL yang berjualan di atas trotoar jalan, maka perlu diadakan pembinaan terhadap ketentraman dan ketertiban di daerah secara terencana dan terpadu. Dalam penanggulangan ancaman gangguan ketentraman dan ketertiban diterapkan suatu sistem pembinaan ketentraman dan ketertiban menurut pola-pola tertentu, baik melalui usaha-usaha masyarakat maupun pemerintah melalui pendekatan prosperity atau kemakmuran dan security atau keamanan (Aris Ananta, 2002: 7)

Untuk dapat terciptanya suatu kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap di daerah, perlu dilakukan suatu pembinaan yang meliputi segala usaha, tindakan, pengarahan serta pengendalian segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban. Kondisi ketentraman dan ketertiban yang


(7)

mantap dan terkendali dalam masyarakat akan mendorong terciptanya stabilitas nasional dan akan menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di daerah maupun pelaksanaan pembangunan daerah maka tugas Kepala Daerah akan bertambah, terutama dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketentraman masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja (Pasal 148 Ayat 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja Daerah Kota Bandar Lampung. Pada Pasal 24 disebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Satuan yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.

Selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Produk Hukum Daerah. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi:

(1) Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, serta penegakan Produk Hukum Daerah;

(2) Pelaksanaan Kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di Daerah;


(8)

(3) Pelaksanaan kebijakan penegakan Produk Hukum Daerah;

(4) Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Produk Hukum Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya;

(5) Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Produk Hukum Daerah;

(6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Permasalahan yang melatabelakangi penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara Pasal 25 Ayat (2) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2008, yang mengemukakan bahwa fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Pelaksanaan Kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di Daerah. Fungsi ini menunjukkan bahwa keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja adalah strategis sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa khususnya pendekatan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban PKL justru tidak menciptakan ketentraman dan ketertiban umum.

Berdasarkan data prariset dengan melakukan wawancara kepada Agus Franata Siregar, selaku Ketua Persatuan PKL Kota Bandar Lampung maka diperoleh penjelasan:


(9)

Selama ini kinerja Satpol PP dalam menertibkan PKL selalu menggunakan pendekatan yang bersifat refresif (mengedepankan kekerasan), dengan melakukan pembongkaran, penggusuran dan mengangkut paksa lapak-lapak sebagai tempat usaha para PKL. Hal ini dapat disebabkan karena PKL dianggap sebagai kelompok pengganggu keindahan wajah perkotaan, sehingga penertiban yang dilakukan sangat merugikan dan menimbulkan rasa tidak aman dan penuh ketidakpastian bagi PKL (Sumber: Wawancara prariset dengan Agus Franata Siregar, Ketua Persatuan PKL Kota Bandar Lampung, 31 Oktober 2011)

Menurut penjelasan Agus Franata Siregar:

Jumlah PKL di Bandar Lampung mencapai 10.000 dan keberadaannya bukan untuk digusur atau dihapuskan, tetapi seharusnya diupayakan pembinaan dan diberikan tempat usaha. Pemerintah Kota hendaknya persuasif dan proaktif melakukan upaya pencegahan dan penertiban dengan langkah yang bijaksana dan berprinsip pada konsep manajemen konflik yang saling menguntungkan (win win solution). Prinsip tersebut mutlak diperlukan agar upaya penertiban ini tidak menimbulkan gelombang reaksi dan protes dari PKL khususnya dan masyarakat luas pada umumnya yang merasa dirugikan hak-hak mereka untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak (Sumber: Wawancara prariset dengan Agus Franata Siregar, Ketua Persatuan PKL Kota Bandar Lampung, 31 Oktober 2011)

Metode penertiban PKL dengan cara kekerasan cenderung menimbulkan permasalahan baru seperti pemindahan lokasi usaha PKL yang justru akan membawa dampak yang dikhawatirkan menurunnya tingkat pendapatan PKL tersebut bila dibandingkan dengan di lokasi asal karena lokasinya menjauh dari konsumen, adanya permasalahan perlawanan dari PKL karena tidak mau lokasi usahanya dipindahkan dan berbagai permasalahan ikutan lainnya yang timbul dari adanya penertiban tersebut. Pada sisi lain perkembangan PKL semakin hari semakin bertambah sehingga bila didiamkan sudah pasti akan membuat permasalahan kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan kota. Dengan demikian, dapat dikatakan adanya persoalan PKL ini menjadi beban berat yang harus ditanggung pemerintah kota dalam penataan kota.


(10)

Permasalahan lain yang terjadi pada penertiban PKL adalah masih berkembangnya anggapan bahwa PKL dianggap sebagai kelompok pengganggu keindahan wajah perkotaan, sehingga upaya penertiban lebih cenderung pada tindakan represif (kekerasan), tidak mengedepankan upaya-upaya persuasif. Tindakan-tindakan penertiban dengan cara-cara kekerasan ini menimbulkan rasa tidak aman dan penuh ke tidakpastian bagi PKL dalam menjalankan usahanya.

Penelitian yang dilakukan Sandra Birawan (2011) yang berjudul Peran Satpol PP dalam Menegakkan Perda No 09 Tahun 2003 Tentang Pengaturan dan Pembinaan PKL di Kawasan Simpang Lima Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa kemampuan dan kinerja satuan Polisi Pamong Praja sangatlah berpengaruh terhadap suksesnya pelaksanaan tugas dan fungsi sehingga wewenangnya dapat dilaksanakan secara optimal, dengan kemampuan yang handal diharapkan satuan Polisi pamong Praja dapat melakukan tindakan penertiban terhadap tindakan masyarakat yang melanggar ataupun tidak melaksanakan ketentuan dalam peraturan daerah Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penegakkan Peraturan daerah perlu adanya koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan tugas guna terjadinya kesinambungan yang selaras dalam menjaga ketentraman dan ketertiban bersama. Peran Satuan Polisi Pampong Praja dalam penegakkan Peraturan daerah di kecamatan purwodadi kabupaten Grobogan sudah cukup baik, karena Polisi Pamong Praja sering melakukan operasi yang meliputi operasi dengan system Preventif maupun Represif atau dengan penyuluhan-penyuluhan tersebut, dan mengadakan patroli rutin terhadap pelanggaran


(11)

peraturan daerah dan penjagaan ditempat rawan pelanggaran peraturan daerah. Disamping itu Polisi Pamong Praja juga solid dalam kelembagaan yang tersusun rapi setiap kegiatan dalam program kerja tahunan yang didukung dengan sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan dan kemampuan sesuai bidangnya serta kerjasama dengan instansi terkait seperti Polres, Dinas Perhubungan Serta instansi lain yang bersangkutan.

Penelitian lain yang dilakukan Wahyu Basuki (2008), yang berjudul Peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Mengimplementasikan Peraturan Daerah Tentang Pedagang Kaki Lima di Kota Malang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran Satpol PP dalam dalam Mengimplementasikan Peraturan Daerah Tentang Pedagang Kaki Lima di Kota Malang hanya dilakukan oleh dua seksi saja yaitu Seksi Ketentraman dan Ketertiban serta Seksi Penyelidikan dan Penuntutan. Sedangkan seksi lain tidak melakukan fungsi implementasi ini. Kendala yang dihadapi adalah sarana prasarana dan sumberdaya manusia professional yang belum optimal.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam skripsi yang berjudul: Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung.


(12)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan implikasi metode kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi Satuan Polisi Pamong Praja dalam meningkatkan kinerja khususnya di bidang penertiban PKL.


(13)

A. Pengertian Implikasi

Menurut Islamy (2003, 114-115), implikasi adalah segala sesuatu yang telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan kebijakan. Dengan kata lain implikasi adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya kebijakan atau kegiatan tertentu.

Menurut Winarno (2002:171-174):

Setidaknya ada lima dimensi yang harus dibahas dalam memperhitungkan implikasi dari sebuah kebijakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi: pertama, implikasi kebijakan pada masalah-masalah publik dan implikasi kebijakan pada orang-orang yang terlibat. Kedua, kebijakan mungkin mempunyai implikasi pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan.Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai implikasi pada keadaan-keadaan sekarang dan yang akan datang. Keempat, evaluasi juga menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik. Kelima, biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

Menurut Silalahi (2005: 43), implikasi adalah akibat yang ditimbulkan dari adanya penerapan suatu program atau kebijakan, yang dapat bersifat baik atau tidak terhadap pihak-pihak yang menjadi sasaran pelaksanaan program atau kebijaksanaan tersebut.


(14)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka yang dimaksud dengan implikasi dalam penelitian ini adalah suatu akibat yang terjadi atau ditimbulkan pelaksanaan kebijakan atau program tertentu bagi sasaran pelaksanaan program baik yang bersifat baik atau tidak baik.

B. Tinjauan Tentang Metode Kerja 1. Pengertian Metode Kerja

Menurut A.S. Moenir (2002: 69):

Metode kerja merupakan tolok ukur dalam menilai efektivitas dan efisiensi kinerja instansi pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Secara konseptual prosedur diartikan sebagai langkah-langkah sejumlah instruksi logis untuk menuju pada suatu proses yang dikehendaki. Proses yang dikehendaki tersebut berupa pengguna-pengguna sistem proses kerja dalam bentuk aktivitas, aliran data, dan aliran kerja. Prosedur operasional standar adalah proses standar langkah- langkah sejumlah instruksi logis yang harus dilakukan berupa aktivitas, aliran data, dan aliran kerja.

Metode kerja digunakan dalam kebijakan pemerintah dalam upaya mewujudkan kinerja pelayanan publik di lingkungan unit kerja pemerintahan yang terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya, pemerintah daerah perlu memiliki dan menerapkan prosedur kerja yang standar. Prosedur kerja merupakan pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan.


(15)

Harus diakui bahwa paradigma governance membawa pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip good governance. Penerapan prinsip good governance juga berimplikasi pada perubahan manajemen pemerintahan menjadi lebih terstandarisasi, artinya ada sejumlah kriteria standar yang harus dipatuhi instansi pemerintah dalam melaksanakan aktivitas-aktivitasnya. Standar kinerja ini sekaligus dapat menilai kinerja instansi pemerintah secara internal dan eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural inilah yang disebut dengan prosedur.

Metode kerja tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal, karena prosedur selain digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik yang berkaitan dengan ketepatan program dan waktu, juga digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan tidak semua satuan unit kerja instansi pemerintah memiliki prosedur, karena itu seharusnyalah setiap satuan unit kerja pelayanan publik instansi pemerintah memiliki standar operasional prosedur sebagai acuan dalam bertindak, agar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi dan terukur.

Selanjutnya menurut Handoko (2004: 43):

Metode kerja adalah suatu sistem kerja dan aliran kerja yang teratur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan; menggambarkan bagaimana tujuan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku; menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan kegiatan berlangsung; sebagai sarana tata urutan dari pelaksanaan dan pengadministrasian pekerjaan harian sebagaimana aturan yang ditetapkan; menjamin konsistensi dan proses kerja yang sistematik; dan menetapkan hubungan timbal balik antarsatuan kerja. Metode merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan instansi.


(16)

Metode kerja sebagai suatu dokumen/instrumen memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan suatu standar yang sudah baku. Pengembangan instrumen manajemen tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagai suatu instrumen manajemen, prosedur berlandaskan pada sistem manajemen kualitas, yaitu yakni sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

Metode kerja merupakan tahapan dalam tata kerja yang harus dilalui suatu pekerjaan baik mengenai dari mana asalnya dan mau menuju mana, kapan pekerjaan tersebut harus diselesaikan maupun alat apa yang harus digunakan agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan.

2. Metode Kerja Satpol PP

Menurut Agustinawati (2000: 34), metode kerja yang digunakan Satpol PP dalam konteks penegakan Peraturan Daerah dan menjaga ketentraman serta ketertiban umum dapat dilakukan secara bertahap yaitu:

1. Tahap Pre emtif Dalam tahap ini dilakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada masyarakat dan instansi yang terkait agar Peraturan Daerah dipatuhi.

2. Tahap Preventif (pencegahan) Dalam tahap ini dilakukan patroli dan penjagaan dalam rangka mencegah adanya pelanggaran Peraturan Daerah. Disamping itu dilakukan pula teguran lisan maupun tertulis kepada pihak-pihak yang melanggar Peraturan Daerah agar mematuhi Peraturan Daerah dan tidak melanggar lagi.


(17)

3. Tahap Represif (Penegakan) Dalam hal pelanggaran Peraturan Daerah sudah tidak bisa ditoleransi, misalnya sudah ditegur secara lisan maupun tertulis tetap ada pelanggaran Peraturan Daerah maka dilakukan tindakan represif. Pelaku pelanggaran akan ditindak baik secara yustisial maupun non yustisial. Dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja dapat melibatkan aparat penegak hukum.

Berdasarkan pendapat di atas maka metode kerja Satpol PP yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tahapan pre emtif, preventif dan represif.

C. Tinjauan Tentang Kinerja 1. Pengertian Kinerja

Menurut Hasibuan (2000: 176):

Kinerja (perfomance) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities). Kinerja sebagai tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan. Kinerja merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya sifat keadaan dan kondisi eksternal. Tingkat keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan antar pribadi serta kecakapan teknik.

Menurut Siagian (2004: 65), kinerja pada dasarnya adalah hasil kerja seseorang pegawai selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau kinerja yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah di sepakati bersama.

Menurut Handoko (2003: 23):

Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Kinerja pegawai adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi.


(18)

Menurut Soewarno Handayaningrat (2004: 19), kinerja adalah cara menjalankan tugas dan hasil yang diperoleh. Kinerja merupakan setiap gerakan, perbuatan, pelaksanaan, kegiatan atau tindakan sadar yang diarahkan untuk rnencapai suatu tujuan atau target tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka yang dimaksud dengan kinerja dalam penelitian ini adalah hasil kerja yang dicapai oleh suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya atau sebagai gambaran mengenai tentang besar kecilnya hasil yang dicapai dari suatu kegiatan baik dilihat secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan visi, misi suatu organisasi yang bersangkutan.

2. Ruang Lingkup Kinerja

Menurut Soewarno Handayaningrat (2004: 21, ruang lingkup kinerja dapat adalah sebagai berikut :

a. Kinerja merupakan aktivitas dasar, dan dijadikan bagian essensial dari kehidupan manusia.

b. Kinerja itu memberikan status, dan mengikat pada individu lain dan masyarakat.

c. Pada umumnya baik wanita maupun pria menyukai pekerjaan, jadi mereka suka bekerja. Jika ada orang yang tidak menyukainya maka kesalahannya terletak pada kondisi psikologis dan kondisi sosial dari pekerjaan itu dan tidak pada kondisi individu yang bersangkutan. d. Insentif kerja itu banyak sekali bentuknya; diantaranya ialah uang. e. Moral pekerja dan pegarvai itu tidak mernpunyai kaitan langsung

dengan kondisi fisik dan materiil dari pekerjaan. Pekerjaan yang betapapun berat, kotor, dan berbahayanya, akan dilaksanakan dengan senang hati oleh satu tim kerja yang, memiliki solidaritas kelompok yang kokoh dan moral tinggi.


(19)

Sementara itu menurut A.S. Moenir (2000:4), ruang lingkup kinerja adalah: a. Pekerjaan yang diorganisir, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang:

(1) Tunduk terhadap aturan organisasi yang bersangkutan

(2) Ada analisa, uraian metode, dan hubungan antara pekerjaan itu (3) Satu dengan yang lain saling tergantung dan terikat

(4) Terbagi pada beberapa orang atau kelompok orang

(5) Pada umumnya basil akhir merupakan gabungan kesatuan dari berbagai jenis pekerjaan

(6) Hasil pekerjaan atau jerih payah tidak secara langsung dapat dinikmati oleh pekerja yang besangkutan.

(7) Menimbulkan dampak terhadap pemberian gaji, upah, dan sejenisnya yang merupakan penghasilan untuk pemangku pekerjaan yang bersangkutan

b. Pekerjaan bebas, tidak terorf;anisir mempunyai sifat-sifat pokok: (1) Tidak terikat oleh aturan tertentu kecuali norma sosial yang umum. (2) Biasanya berbentuk tunggal tidak tergantung pada hasil pekerjaan

lain.

(3) Hasil pekerjaan atau jerih payah dupat langsung dinikmati sendiri

3. Penilaian Kinerja

Menurut Siagian (2004: 67):

Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh seorang pimpinan, walaupun demikian pelaksanaan kinerja yang obyektif bukanlah tugas yang sederhana. Penilaian harus dihindarkan adanya kesukaan dan ketidaksukaan dari penilai, agar obyektifitas penilaian dapat terjaga. Kegiatan penilaian ini penting, karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para pegawai tentang kinerja mereka.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja berhubungan dengan bagaimana melakukan suatu pekerjaan dan menyempurnakan hasil pekerjaan berdasarkan tanggungjawab namun tetap mentaati segala peraturan-peraturan, moral maupun etika.


(20)

Menurut Siagian (2004: 68):

Penilaian kinerja pegawai dalam organisasi memiliki dua kegunaan, yaitu: a) Kegunaan untuk mengukur kinerja untuk tujuan memberikan

penghargaan atau dengan kata lain untuk membuat keputusan administratif mengenai si pegawai. Promosi atau punishment pegawai bisa tergantung pada hasil penilaian kinerja, yang sering membuat penilaian kinerja menjadi sulit untuk dilakukan oleh para manajer. b) Kegunaan pengembangan potensi individu yang dilakukan dengan

melakukan survey, test, atau evaluasi sehingga pengukuran tersebut dapat menghasilkan nilai yang menjadi gambaran potensi individu.

Selanjutnya menurut Siagian (2004: 67), komponen-komponen penilaian kinerja adalah sebagai berikut:

a. Komponen input, mengukur sumber daya yang diinvestasikan dalam suatu proses, program, maupun aktivitas untuk menghasilkan keluaran (output maupun outcome). Komponen ini mengukur jumlah sumberdaya seperti anggaran (dana), sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan perundang-undangan dan sebagainya yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan.

b. Komponen output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari sesuatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan / atau non fisik. Komponen ini digunakan untuk mengukur output yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Dengan membandingkanoutput yang direncanakan dan yang betul-betul terealisir, instansi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Komponen output hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Komponen output harus sesuai dengan lingkup dan kegiatan instansi.

c. Komponen outcome, adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output (efek langsung) pada jangka menengah. Dalam banyak hal, informasi yang diperlukan untuk mengukur outcome seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karena itu, setiap instansi perlu mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur outcome dari output suatu kegiatan. Pengukuran komponen outcome seringkali rancu dengan pengukuran komponen output. Contohnya, penghitungan jumlah bibit unggul yang dihasilkan oleh sesuatu kegiatan merupakan tolok ukur output. Akan tetapi perhitungan besar produksi per hektar yang dihasilkan oleh bibit-bubit unggul tersebut merupakan komponenoutcome.

d. Komponen benefit, menggambarkan manfaat yang diperoleh dari komponen outcome. Benefit (manfaat) tersebut pada umumnya tidak segera tampak. Setelah beberapa waktu kemudian, yaitu dalam jangka menengah atau jangka panjang dari benefitnya tampak. Komponen


(21)

benefit menunjukan hal-hal yang diharapkan untuk dicapai bila output dapat diselesaikan dan berfungsi optimal (tepat lokasi dan tepat waktu). e. Komponen impact memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan dari

benefit yang diperoleh. Seperti halnya komponen benefit, komponen impact juga baru dapat diketahui dalam jangka waktu menengah atau jangka panjang. Komponen impact menunjukan dasar pemikiran dilaksanakannya kegiatan yang menggambarkan aspek makro pelaksanaan kegiatan, tujuan kegiatan secara sektoral, regional dan nasional.

D. Tinjauan Tentang Satuan Polisi Pamong Praja

1. Pembentukan, Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, untuk membantu kepala daerah menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satpol PP. Pembentukan organisasi Satpol PP ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah (Pasal 2).

Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat (Ayat 1) Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

Menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, Satpol PP mempunyai fungsi:


(22)

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman dan perlindungan masyarakat;

b. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

Sehubungan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang semakin maju memerlukan anggota Polisi Pamong Praja yang mempunyai wawasan pengetahuan yang luas profesionalisme dan sikap disiplin serta ketahanan mental yang tinggi, sehingga dimungkinkan terwujudnya aparatur Polisi Pamong Praja yang mempunyai pola pikir yang cepat, produktif, proaktif dan berwibawa disertai dengan amal perbuatan dharma bhakti dan pengabdian yang nyata. Terlebih dalam rangka pemantapan penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada daerah otonom.

2. Wewenang, Hak, Dan Kewajiban Satuan Polisi Pamong Praja

Menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP berwenang:

a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

c. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;


(23)

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Memperhatikan tugas Polisi Pamong Praja terutama di lapangan sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat tersebut, maka Polisi Pamong Praja dituntut untuk tanggap dan mampu menciptakan suatu kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap dan terkendali, oleh sebab itu perlu dilakukan suatu pembinaan yang meliputi berbagai usaha maupun tindakan dan segala kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pembangunan, pengarahan serta pengendalian segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban secara berdayaguna dan berhasil guna sehingga peranan Polisi Pamong Praja lebih dirasakan manfaatnya di semua bidang termasuk pembangunan pemerintah dan kemasyarakatan yang tertib aman dan teratur dalam kepedulian terhadap peraturan daerah.

Polisi Pamong Praja dituntut untuk memperbaiki dan menyelenggarakan berbagai kinerja yang masih lemah dengan mempertahankan dan meningkatkan serta memelihara yang sudah mantap melalui suatu pola pembinaan yang tepat dan lebih konkret bagi Polisi Pamong Praja, sehingga peranan Polisi Pamong Praja dapat lebih dirasakan manfaatnya disemua bidang termasuk pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan. Menyadari bahwa laju pembangunan di masa mendatang cenderung terus meningkat kapasitas maupun intensitasnya serta semakin komplek masalahnya, maka


(24)

akan membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat dengan tingkat kebutuhan yang cenderung mengalami peningkatan yang semakin kompleks.

Menurut Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP mempunyai hak sarana dan prasarana serta fasilitas lain sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Polisi Pamong Praja dapat diberikan tunjangan khusus sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib:

a. Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat; b. Menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik polisi pamong

praja;

c. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. Melaporkan kepada kepolisian negara republik indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana; dan

e. Menyerahkan kepada penyidik pegawai negeri sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap perda dan/atau peraturan kepala daerah.

3. Kerja Sama dan Koordinasi Satuan Polisi Pamong Praja

Menurut Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya. Satpol PP dalam hal meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya bertindak selaku koordinator operasi lapangan. Kerja sama tersebut didasarkan atas hubungan


(25)

fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hierarki dan kode etik birokrasi yang berlaku.

E. Pedagang Kaki Lima (PKL) 1. Pengertian Pedagang Kaki Lima

Menurut Aris Ananta (2002: 12), pengertian pedagang kaki lima adalah orang-orang golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari, makanan, atau jasa yang modalnya relatif sangat kecil, modal sendiri atau modal orang lain, baik berjualan di tempat terlarang ataupun tidak.

Menurut Aris Ananta (2002: 13):

Istilah “pedagang kaki lima” sudah sangat populer di negara Indonesia. Kepopuleran ini mempunyai arti yang positif maupun negatif. Positifnya, pedagang kaki lima secara pasti dapat memberikan kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang menganggur. Para penganggur ini kemudian berkreasi, berwirausaha dengan modal sendiri ataupun tanpa modal. Barang yang dijual umumnya merupakan barang convenien, yang dibeli secara emosional. Harga yang mereka tawarkan mula-mula sangat tinggi namun pada akhirnya dapat ditawar dengan harga yang relatif rendah. Dengan cara demikian, maka baik pedagang maupun pelanggan merasa mendapatkan keuntungan. Negatifnya, pedagang kaki lima tidak menghiraukan masalah ketertiban, keamanan, kebersihan dan kebisingan, sehingga dapat menimbulkan ketidak rapian, bising, dan banyak sampah. Akibat dari arti negatif ini, sebagian besar masyarakat merasa enggan untuk mendatangi usahanya.

Menurut Agustinawati (2000:16), pengertian pedagang kaki lima adalah terdiri dari orang-orang yang menjual barang-barang atau jasa dari tempat-tempat masyarakat umum, terutama di jalan-jalan atau di trotoar.


(26)

Menurut Agustinawati (2000:17):

Pandangan atau persepsi pemerintah kota tentang keberadaan pedagang kaki lima akan mempengaruhi sikap dan kebijakan penanganannya, yang dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa pedagang kaki lima merupakan sektor liar dan sektor yang mengganggu, akan menyebabkan pedagang kaki lima tidak banyak mendapatkan perhatian dan penanganan serta pembinaan. Sebaliknya, apabila pemerintah kota memberikan pengakuan terhadap kegiatan pedagang kaki lima sebagai lapangan usaha yang potensial dalam membantu penyediaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah maka akan melahirkan kebijakan yang berusaha mempertahankan eksistensinya.

Pedagang kaki lima merupakan satu hal yang sangat menarik untuk diteliti dan dipahami secara lebih mendalam, mengingat golongan ini mampu bertahan dan bahkan membengkak meskipun berbagai kebijaksanaan yang membatasi mereka. Menurut gambaran yang paling buruk, pedagang kaki lima dipandang sebagai parasit dan sumber kejahatan yang tergolong dalam masyarakat kelas jelata atau semata-mata dipandang sebagai pekerjaan yang tidak relevan sedang menurut pandangan yang paling baik, mereka dipandang sebagai korban dari langkanya kesempatan kerja yang produktif di kota, mereka dipandang sebagai alternatif terakhir dari kesempatan kerja bagi banyak orang agar terhindar dari predikat pengangguran.

Menurut Winardi (2000: 17):

Pengertian pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha produksi, penjualan barang-barang dan jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu di dalam masyarakat, dimana dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Pedagang kaki lima senagai seseorang atau sekelompok orang yang menerapkan kemampuannya untuk mengatur, menguasai alat-alat produksi dan menghasilkan produk yang berlebihan yang selanjutnya dijual atau ditukarkan untuk memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut.


(27)

2. Ciri-Ciri Pedagang Kaki Lima

Ciri-ciri pedagang kaki lima menurut Aris Ananta (2002) yaitu: 1) kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, 2) tidak memiliki surat ijin usaha, 3) tidak teratur dalam kegiatan usaha, baik ditinjau dari tempat usaha maupun jam kerja, 4) bergerombol di trotoar atau di tepi jalan protokol, di pusat-pusat keramaian, 5) menjajakan barang dagangannya sambil teriak-teriak, kadang berlari sambil mendekati konsumennya.

Ciri-ciri pedagang kaki lima menurut Agustinawati (2000: 18) adalah:

a) Umumnya tergolong angkatan kerja produktif, banyak pedagang yang berusia produktif tetapi tidak mendapat pekerjaan di sektor formal sehingga banyak yang berusaha di sektor informal.

b) Umumnya sebagai mata pencaharian pokok. Seorang pedagang kaki lima tidak mempunyai pekerjaan lain selain sebagai pedagang kaki lima sehingga pekerjaan itu menjadi pekerjaan utama untuk keluarganya.

c) Tingkat pendidikan relatif rendah. Banyak pedagang kaki lima yang tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi, mereka hanya mengandalkan pengalaman yang mereka punya selama menekuni sebagai pedagang.

d) Pekerjaan sebelumnya umumnya sebagai petani atau buruh, karena hasil yang didapatkan sebagai petani dan buruh tidak dapat mencukupi kebutuhannya maka banyak dari mereka yang kemudian beralih menjadi pedagang kaki lima.

e) Permodalannya lemah dan omzet penjualannya kecil. Pedagang kaki lima tidak mau mengambil kredit dari lembaga perbankan menyebabkan mereka kekurangan modal dan kesulitan untuk mengembangkan usahanya sehingga menyebabkan omzet mereka pun menjadi kecil.

f) Barang dagangannya umumnya adalah bahan pangan, sandang, dan kebutuhan sekunder. Banyak pedagang yang menjual makanan, minuman, dan banyak pula pedagang yang meniru pedagang lain yang berhasil dengan barang dagangannya.

g) Tingkat pendapatannya relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan keluarga di perkotaan.

Sementara itu menurut Winardi (2000: 34-35), ciri-ciri pedagang kaki lima adalah sebagai berikut:


(28)

a) Merupakan pedagang pada umumnya namun kadang-kadang juga memproduksi barang-barang atau menyelenggarakan jasa-jasa yang sekaligus dijual kepada konsumen

b) Mereka umumnya menjajakan barang-barang dagangan dengan gelaran tikar di pinggir-pinggir jalan atau toko-toko yang dianggap strategis, menggunakan meja, kereta dorong, maupun kios kecil.

c) Umumnya menjajakan bahan-bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya, termasuk didalamnya barang-barang-barang-barang konsumsi tahan lama secara eceran.

d) Umumnya bermodal kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya merupakan alat bagi pemilik modal, dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya.

e) Pada umumnya kelompok pedagang kecil merupakan kelompok marginal, bahkan ada pula yang tergolong pada kelompok sub marginal.

f) Umumnya kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah.

g) Volume omzet para pedagang kecil relatif tidak seberapa besar karena juga dipengaruhi jumlah modal yang kecil pula.

h) Para pembeli umumnya mempunyai tingkat daya beli yang rendah. i) Kasus pedagang kecil berhasil secara ekonomis, sehingga akhirnya

memiliki tangga dalam jenjang hirarki pedagang yang sukses agak langka.

j) Pada umumnya usaha pedagang kecil merupakan usaha family enterprises, yaitu ibu, anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

k) Barang-barang yang diperdagangkan pedagang kecil biasanya tidak berstandar dan penggantian barang-barang yang diperdagangkan sering terjadi.

PKL sebagai pelaku ekonomi perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan usahanya dalam rangka mendukung perkembangan ekonomi sektor informal. Hal ini dapat diterapkan dengan perencanaan penataan PKL yang komprehensif sehingga PKL yang ada tidak mengganggu pandangan, kebersihan, serta kelancaran lalu lintas, khususnya bagi pejalan kaki. Selain itu untuk mewujudkan kondisi perkotaan yang aman, tertib, lancar, dan sehat. Penertiban PKL yang selama ini dilakukan dengan pendekatan represif harus ditinggalkan dan lebih mengedepankan pembinaan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan seluruh masyarakat.


(29)

3. Kekuatan dan Kelemahan Pedagang Kaki Lima

Kekuatan pedagang kaki lima menurut menurut Winardi (2000: 38-39) adalah sebagai berikut:

a) Pedagang kaki lima memberikan kesempatan kerja yang umumnya sulit didapat pada negara-negara yang sedang berkembang.

b) Dalam prakteknya mereka biasa menawarkan barang dan jasa dengan harga bersaing mengingat mereka tidak dibebani pajak.

c) Sebagian masyarakat kita lebih senang berbelanja pada pedagang kaki lima mengingat faktor kemudahan dan barang-barang yang ditawarkan relatif lebih murah (terlepas dari pertimbangan kualitas).

Kelemahan pedagang kaki lima menurut menurut Winardi (2000: 38-39) adalah sebagai berikut:

a) Mereka dimasukkan ke dalam kelompok marginal dan sub marginal dengan modal kecil. Modal yang relatif kecil menyebabkan laba relatif kecil padahal pada umumnya banyak anggota keluarga bergantung pada hasil yang minim ini. Oleh karena itu terciptalah keadaan dimana hasil yang mereka capai pas-pasan untuk sekedar hidup. Bahkan tidak ada kemungkinan untuk akumulasi modal.

b) Karena rendahnya pendidikan dan kurangnya keterampilan, maka unsur efisiensi kurang mendapat perhatian, sehingga akan mempengaruhi kelancaran usaha

c) Ada kalanya pedagang kaki lima melihat padagang kaki lima lainnya yang sukses dengan jenis barang dagangan tertentu mengikuti jejak mereka menyebabkan suatu jenis usaha tertentu menjadi terlampau padat, sehingga akhirnya sebagian dari mereka berguguran dan terpaksa harus gulung tikar di tengah jalan.

d) Seringkali terdapat unsur penipuan dan penawaran dengan harga yang tinggi, sehingga menyebabkan citra masyarakat tentang pedagang kaki lima kurang positif. Di samping itu, tidak jarang diantara mereka terjadi persaingan yang tidak sehat dan merugikan banyak pihak.

F. Sektor Informal

Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup dibandingkan sektor usaha lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal lebih independen atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan, dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungannya


(30)

Menurut Winardi (2000: 14):

Sektor informal telah menjadi pusat perhatian para perencana pembangunan terutama di negara-negara berkembang. Sektor informal dipandang merupakan salah satu alternatif yang cukup penting dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam beberapa periode terakhir ini, sektor informal di perkotaan Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Membengkaknya sektor informal mempunyai kaitan dengan menurunnya kemampuan sektor formal dalam menyerap angkatan kerja di kota yang semakin lama semakin meningkat. Pertambahan angkatan kerja di kota juga disebabkan karena urbanisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kesempatan kerja yang ada. Akibatnya tidak sedikit yang datang ke kota hanya akan menambah pengangguran, terutama di kalangan penduduk usia muda dan alternatif kesempatan kerja yang dapat diambil adalah masuk dalam usaha sektor informal

Sektor informal sering dijadikan kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalulintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah kebawah.

Menurut Agustinawati (2000: 20):

Timbulnya sektor informal sebagai sumber kesempatan kerja di kota merupakan manifestasi dari tidak sebandingnya pertumbuhan angkatan kerja dengan kesempatan kerja pada satu pihak dan ketidakmampuan sektor formal untuk menampung kelebihan tenaga kerja di lain pihak. Sektor informal dapat bertindak sebagai katup pengaman bagi sejumlah orang yang menganggur di kota. Sektor informal merupakan suatu kegiatan bisnis yang dilakukan sambilan, oleh seseorang yang dibantu oleh sanak keluarga

Sektor informal cukup efisien dalam berbagai kegiatannya karena mampu menyediakan kebutuhan yang murah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Sektor informal timbul di masyarakat karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup sehingga kegiatan ekonomi berlangsung diluar sektor yang terorganisasikan. Akibatnya para pendatang


(31)

yang tidak dapat masuk ke sektor formal terlempar ke luar, kemudian berusaha masuk ke sektor informal yang memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk masuk ke dalamnya. Karena itu sektor informal dikenal juga sebagai katup pengaman dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan.

Selanjutnya menurut Agustinawati ( 2000: 24):

Banyaknya angkatan kerja yang terserap dalam sektor informal merupakan refleksi ketidakmampuan sektor formal dalam membuka kesempatan kerja lebih luas terhadap sebagian besar penduduk angkatan kerja. Sektor formal sebagai sektor ekonomi yang mendapat bantuan dan perlindungan pemerintah dewasa ini kurang mampu membuka kesempatan kerja lebih banyak bagi angkatan kerja meskipun penyediaan kesempatan kerja oleh sektor formal terbuka untuk semua orang, namun dalam kenyataannya kesempatan kerja ini membutuhkan syarat-syarat keterampilan dan pendidikan khusus yang tidak banyak dimiliki oleh sebagian besar pencari kerja

Menurut Aris Ananta (2002) ciri-ciri sektor informal adalah:

a. Kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik b. Belum mempunyai ijin usaha yang resmi c. Teknologi yang digunakan sangat sederhana d. Modal serta perputaran usahanya sangat terbatas

e. Pendidikan formal dari para pengelolanya tidak menjadi pertimbangan dalam mengelola usahanya

f. Usahanya bersifat mandiri, jika ada karyawan biasanya dari keluarga sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa bahwa ciri-ciri sektor informal diantaranya adalah usahanya bersifat padat karya, yaitu dilakukan oleh banyak orang, kegiatan usaha belum terorganisasi dengan baik, sebagian pekerja berasal dari keluarga, modal dan perputaran usaha sangat kecil, teknologi yang digunakan bersifat tradisional.


(32)

G. Kerangka Pikir

Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja pada dasarnya adalah strategis karena mempunyai fungsi sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, namun kenyataan di lapangan khususnya pendekatan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban PKL. PKL dianggap sebagai kelompok pengganggu keindahan wajah perkotaan, sehingga penertiban yang dilakukan bersifat represif dengan berbagai tindakan dilakukan secara mendadak dan menimbulkan rasa tidak aman dan penuh ketidakpastian bagi PKL.

Keberadaan PKL bukan untuk digusur atau dihapuskan, tetapi seharusnya diupayakan pembinaan dan diberikan tempat usaha. Pemerintah Kota hendaknya persuasif dan proaktif melakukan upaya pencegahan dan penertiban dengan langkah yang bijaksana dan berprinsip pada konsep manajemen konflik yang saling menguntungkan (win win solution), sebelum PKL yang berjualan di trotoar sepanjang jalan protokol kota tumbuh pesat. Prinsip tersebut mutlak diperlukan agar upaya penertiban ini tidak menimbulkan gelombang reaksi dan protes dari PKL khususnya dan masyarakat luas pada umumnya yang merasa dirugikan atau disabotase hak-hak mereka untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui mengetahui Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir sebagai berikut:


(33)

Gambar 1.

Kerangka Pikir Penelitian Metode Kerja

Satuan Polisi Pamong Praja Bandar Lampung

Penertiban PKL di Pasar Bambu

Kuning Tahap Preventif Tahap

Preemtif

Tahap Represif

Implikasi


(34)

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang diterapkan adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bugdon dan Taylor dalam Moleong (2005: 5-6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif adalah prosedur analisis yang tidak menggunakan analisis statistik atau cara kuantifikasi/ perhitungan.

Berdasarkan pengertian di atas maka tipe kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui dan menjelaskan fenomena berupa Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung.

B. Fokus Penelitian

Menurut Moleong (2005; 93), masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada suatu fokus penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah pada masalah


(35)

Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung, yang terdiri dari:

a) Tahapan Pre Emtif

Tahap Pre emtif adalah suatu proses pelaksanaan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada masyarakat dan instansi yang terkait agar Peraturan Daerah dipatuhi. Indikatornya adalah pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada PKL terkait dengan penertiban PKL Pasar Bambu Kuning

b) Tahapan Preventif (pencegahan)

Tahapan preventif adalah proses pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran Perda oleh Pedagang Kaki Lima. Indikatornya adalah pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan patroli dan penjagaan dalam rangka mencegah adanya pelanggaran Peraturan Daerah dan memberikan teguran lisan maupun tertulis para PKL yang mengganggu ketertiban di Pasar Bambu Kuning

c) Tahapan Represif (Penegakan)

Tahapan represif adalah tindakan tegas yang dilakukan Satuan Polisi Pamong setelah tahapan pre emtif dan preventif tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Indikatornya adalah pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan penegakan Perda yaitu melakukan penertiban terhadap PKL yang melanggar ketertiban umum di Pasar Bambu Kuning.


(36)

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif pada umumnya mengambil jumlah informan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk penelitian lainnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu atau perorangan. Untuk memperoleh informasi yang diharapkan, peneliti terlebih dahulu menentukan informan yang akan dimintai informasinya. Dalam penelitian ini informan peneliti dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan informan secara tidak acak, tetapi dengan pertimbangan dan kriteria tertentu, yaitu sebagai berikut:

1. Informan merupakan subyek telah lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menadi sasaran atau perhatian peneliti dan ini biasanya ditandai dengan kemampuan memberikan informasi mengenai suatu yang ditanya peneliti.

2. Informan merupakan subyek yang masih trika secara penuh aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran dan perhatian peneliti. 3. Informan merupakan subyek yang dalam memberikan informasi tidak

cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka informan peneliti ini adalah: 1. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung : 1 orang 2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung: 2 orang 3. Perwakilan Persatuan PKL Kota Bandar Lampung : 2 orang +


(37)

D. Jenis Data

Jenis data penelitian ini meliputi:

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber atau lokasi penelitian, yaitu dengan melakukan wawancara pada informan penelitian, yaitu Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung, Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dan Perwakilan Persatuan PKL Kota Bandar Lampung.

2. Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian, yaitu Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi, Visi dan Misi, Tujuan Struktur dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

1. Wawancara, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data melalui percakapan langsung dengan para informan yang berkaitan dengan masalah penelitian dan dilakukan menggunakan pedoman wawancara. Kegiatan wawancara dilaksanakan dengan terlebih dahulu menyampaikan surat izin penelitian, mengkonfirmasi kesediaan informan untuk memberikan informasi dan melakukan wawancara. Wawancara dengan para informan dari Satuan Polisi Pamong Praja Bandar Lampung pada hari Rabu- Kamis tanggal 11- 12 Januari 2012 dan informan Persatuan Pedagang Kaki Lima (PPKL) Kota Bandar Lampung pada hari Jumat 13 Januari 2012


(38)

2. Dokumentasi, yaitu teknik untuk mendapatkan data dengan cara mencari informasi dari berbagai sumber atau referensi yang terkait dengan penelitian.

Kegiatan yang penulis lakukan adalah mengambil data dokumentasi berupa Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi, Visi dan Misi, Tujuan Struktur dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Bandar Lampung pada hari Rabu- Kamis tanggal 11- 12 Januari 2012.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan mengatur catatan lapangan, dan bahan lainnya yang ditemukan di lapangan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif yang berpijak dari data yang didapat dari hasil wawancara serta hasil dokumentasi, melalui tahapan sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan dituangkan ke dalam bentuk laporan selanjutnya direduksi, dirangkum, difokuskan pada hal-hal penting. Dicari tema dan polanya disusun secara sistematis. Kegiatan yang dilakukan pada tahap reduksi data adalah memilih dan merangkum data dari hasil wawancara dan dokumentasi yang sesuai dengan fokus penelitian ini.

2. Penyajian Data (Display Data)

Untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian harus diusahakan membuat bermacam matriks, grafik, jaringan, dan bagian atau bisa pula dalam bentuk naratif saja. Kegiatan dilakukan pada tahap display data adalah menyajikan data secara naratif, yaitu


(39)

menceritakan hasil wawancara ke dalam bentuk kalimat dan disajikan pada Bab V skripsi.

3. Mengambil Kesimpulan atau Verifikasi Data.

Peneliti berusahan mencari arti, pola, tema, yang penjelasan alur sebab akibat, dan sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian berlangsung, dalam hal ini dengan cara penambahan data baru. Kegiatan yang penulis lakukan pada tahap verifikasi data adalah membuat kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, sebagaimana disajikan pada Bab VI skripsi ini.


(40)

Pada subbab hasil penelitian dan pembahasan ini akan dideskripsikan Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung, yang terdiri dari tahapan preemtif, tahapan preventif dan tahapan represif.

A. Tahapan Preemtif

Pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada PKL terkait dengan penertiban PKL Pasar Bambu Kuning. Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Hi. Cik Raden S.Pd. selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja maka diperoleh penjelasan bahwa dalam tahapan preemtif, pihak Satuan Polisi Pamong Praja berupaya seoptimal mungkin untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam hal penertiban PKL, oleh karena itu setiap personil Polisi Pamong Praja harus memahami dengan benar makna perencanaan penertiban PKL di Pasar Bambu Kuning.

Pelaksanaan suatu kegiatan atau program penertiban Pedagang Kaki Lima dapat berjalan efektif apabila tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat tercapai. Dalam penertiban Pedagang Kaki Lima ini penulis menetapkan beberapa indikator untuk mengukur ketercapaian tujuan pelaksanaan penertiban Pedagang Kaki Lima tersebut.


(41)

Keberhasilan suatu pelaksanaan kegiatan penertiban Pedagang Kaki Lima oleh Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dapat berjalan etektif apabila dapat menyusun dan melaksanakan program kerja yang efekrif. Program tersebut dapat dikatakan efektif apabila dapat mengatasi masalah-masalah ketertiban umum yang sering ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima, seperti kemacetan lalu lintas, kebersihan, penataan parkir serta pengendalian perkembangan dan pertumbuhan jumlah Pedagang Kaki Lima.

Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Larnpung memiliki program kerja yang terkait ketentraman dan ketertiban umum yaitu :

1. Menyusun personil yang akan melaksanakan operasi penyelenggaraan transtibum.

2. Melaksanakan patroli kota bersama instansi terkait untuk menjaga ketentraman dan ketertiban Kota Bandar Lampung. Patroli yang diselenggarakan setiap harinya dari pukul 09.00 wib dan 15.00 wib.

3. Melaksanakan penjagaan terhadap keramaian kota (pasar, mall dan keramaian lainnya).

4. Memantau dan menerima laporan keadaan trantibum pada seluruh kecamatan 5. Melaksanakan koordinasi dengan Kasi Penegakan Perda dalam rangka

menunjang penegakan Perda.

6. Melaksanakan koordinasi dengan Kasi Bimas Umum dalam rangka pengamanan izin keramaian yang telah ditertibkan

7. Mengamankan keramaian kota berkerjasama dengan irstansi terkait.

8. Mengawasi, menertibkan dan menindak masyarakat/badan hukum yang mengganggu trantibum.


(42)

9. Melaksanakan penindakan terhadap masyarakat/badan hukum yang melakukan pelanggaran Perda.

Berdasarkan program kerja yang disusun oleh seksi ketertiban umum nampaknya upaya untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum yang dilakukan penertiban Pedagang Kaki Lima oleh Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dapat berjalan efektif dengan memperhatikan sumberdaya organisasi serta keadaan lingkungan yang dihadapi. Petunjuk teknis operasi penertiban lebih mengarah pada Protap Operasional yang penyusunan secara nasional sehingga penertiban ini berjalan mengalir begitu saja.

Drs. Hi. Cik Raden S.Pd. selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung menjelaskan:

“Pada tahapan preemtif, Satuan Polisi Pamong Praja mensosialisasi kepada PKL mengenai dasar penertiban PKL, yaitu untuk menciptakan keamanan dan ketertiban kota, bukan untuk menggusur para PKL. Ketentraman dan ketertiban adalah suatu keadaan dinamis yang rnemungkinkan pemerintah atau masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tentram, tertib dan teratur guna menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah secara berkesinambungan, ketentraman dan ketertiban merupakan kebutuhan dasar dalam melaksanakan pelayanan kesejahteraan masyarakat. (Hasil wawancara, Rabu 11 Januari 2012) Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di Daerah dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 148 dan Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.


(43)

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung telah melakukan koordinasi dengan Dinas/instansi terkait dalam menegakkan Peraturan Daerah, Keputusan Walikota dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk gangguan ketertiban umum adalah terkait keberadaan Pedagang Kaki Lima yang menggunakan fasilitas umum seperti trotoar-trotoar jalan, lahan parkir di pasar, taman kota yang bukan peruntukkannya. Hal ini jelas tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pernbinaan Umurn, Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Kesehatan dan Keapikan dalam wilayah Kota Bandar Lampung pasal 16. Sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, maka wewenang yang dimiliki Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung adalah: mengawasi, menertibkan dan menindak Pedagang Kaki Lima yang rnengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta melakukan tindakan represif non yustisial terhadap Pedagang Kaki Lima.

Operasi Penertiban di lapangan yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Dasar melakukan penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Pedagang Kaki Lima dan secara operasional penertiban dilakukan sesuai dengan Protap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja yang berlaku, tidak boleh keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan.


(44)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa seluruh kerja yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam protap operasional yang berlaku dan Perda yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar seluruh anggota Satuan Polisi Pamong Praja memiliki persamaan dasar atau pemahaman yang sama untuk melakukan tindakan yang terkait dengan tugas-tugasnya sebagai aparat yang memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Peraturan yang menjadi dasar bagi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dalam melaksanakan penertiban terhadap Pedagang Kaki Lima di wilayah Kota Bandar Lampung menjadi referensi bagi seluruh anggota Satuan Polisi Pamong Praja terutama tim operasional yang dibentuk agar memiliki persamaan pemaharnan dalam prosedur pelaksanaan tugas-tugasaya. Selain itu peraturan tersebut juga berperan sebagai pembatas agar kerja tim penertiban dapat berjalan sebagaimana mestinya dan memiliki arah yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Herman Karim:

Satuan Polisi Pamong Praja telah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan penertiban Pedagang Kaki Lima yang melanggar Perda yaitu dengan melakukan penyuluhan, pembinaan atau pendekatan preventif untuk meningkatkan kesadaran para pedagang bahwa lokasi tempatnya berjualan bukan peruntukkannya, menyampaian teguran baik secara lisan maupun tertulis agar para pedagang untuk mencari lokasi baru yang tidak melanggar Perda dan tindakan represif/operasi penertiban seperti membongkar lapak atau menyita gerobak dagang pedagang (Sumber: Hasil Wawancara, 11 Januari 2012).


(45)

Langkah penertiban yang dilakukan tidak serta merta dengan operasi penertiban, ada penyuluhan dan pembinaan terhadap para Pedagang Kaki Lima untuk menghilangkan atau mengurangi segala bentuk ancaman dan gangguan ketertiban dikarenakan keberadaan lokasi berjualan mereka yang tidak memperhatikan kenyamanan penggunaan jalan lainnya.

Tujuan dari pembinaan ketentraman dan ketertiban adalah untuk menghilangkan atau mengurangi segala bentuk ancaman dan gangguan terhadap ketentraman dan ketertiban di masyarakat serta menjaga roda pemerintahan dan peraturan perundang-undangan dapat berjalan lancar sehingga pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan aman, tertib dan teratur dalam rangka memantapkan ketahanan nasional. Salah satu cara pembinaan Ketenteraman dan Ketertiban Umum adalah sosialisasi produk hukum, terutama Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan produk hukum perundangan lainnya dalam menjalankan roda Pemerintahan di daerah kepada masyarakat. Hal tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sekaligus akan tetapi tertahap dan berkesinambungan, sehingga masyarakat akan memahami arti pentingnya ketaatan dan kepatuhan terhadap produk hukum daerah. Oleh karena itu pada tahun 2011 Satpol PP Kota Bandar Lampung melaksanakan sosialisasi internal terhadap personil Satpol PP, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:


(46)

Tabel 1. Sosialiasi Internal Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Tahun 2011

No Sosialisasi Internal Pemateri Waktu

1 Penentuan sasaran sosialisasi seperti perorangan, kelompok atau Badan Usaha

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampung  Kepala Seksi

Ketertiban Umum

Januari– Maret 2011

2 Penetapan Materi Sosialisasi yang disesuaikan dengan subjek, objek dan sasaran sosialisasi.

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampung  Kepala Seksi

Ketertiban Umum

April–Juni 2011

3 Penentuan dukungan Administrasi

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampung  Kepala Seksi

Ketertiban Umum

Juli– September 2011 4 Penetapan tempat, sosialisasi

yang dilakukan dapat bersifat formal dan Informal, hal tersebut sangat tergantung kepada kondisi dilapangan

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampun  Kepala Seksi

Ketertiban Umum

Oktober– Desember 2011

Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Tahun 2012

Penyuluhan dan pembinaan merupakan kegiatan dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima secara persuasif yaitu untuk menumbuhkan kesadaran para Pedagang Kaki Lima bahwa mereka selama ini telah melanggar peraturan yang berlaku yaitu dilarang berjualan disepanjang trotoar-trotoar jalan maupun lahan parkir.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Hi. Cik Raden S.Pd, maka diketahui: Tujuan kegiatan penyuluhan adalah untuk menambah pengetahuan para Pedagang Kaki Lima dan menyadarkan mereka bahwa tempat mereka berjualan merupakan lokasi yang dilarang Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk berjualan. Penyuluhan dan pembinaan kepada Pedagang Kaki Lima dilakukan secara langsung atau bersifat insindental. (Sumber: Hasil Wawancara, 11 Januari 2012).


(47)

Penyuluhan ini biasanya dilakukan sekali dalam seminggu yang berkoordinasi dengan Dinas Pasar, penyampaian informasi juga dilakukan melalui kelompok/paguyuban Pedagang Kaki Lima yang ada di setiap pasar. Namun untuk penyuluhan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima yang berada diluar lingkungan pasar dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja secara langsung bersamaan dengan patroli dan operasi penertiban. Informasi yang biasanya disampaikan kepada para pedagang ialah terkait lokasi berjualan yang dilarang, masalah kebersihan dan kerapihan tempat berjualan agar tidak mengganggu aktivitas lainnya. Sosialisasi materi yang disampaikan oleh petugas baik itu dan Dinas Pasar atau Satuan Polisi Pamong Praja kepada semua Pedagang Kaki Lima terkait dengan lokasi yang tidak diperbolehkan untuk berdagang, kebersihan dan kerapihan tempat berjualan.

Selain upaya penyuluhan yang dilakukan secara langsung, penyampaian informasi tentang peraturan hukum mengenai ketertiban umum juga melalui media massa lainnya seperti media elektronik, spanduk-spanduk dan memasang papan larangan yang bekerjasarria dengan instansi terkait dan masyarakat. Pemasangan papan larangan terdapat di Pasar Bambu Kuning, sehingga informasi tersebut dapat diketahui dan dipahami tidak hanya oleh Pedagang Kaki Lima namun semua lapisan masyarakat dalam menjaga ketertiban umum. Namun demikian masih banyak Pedagang Kaki Lima yang menggunakan trotoar-trotoar jalan, bahu jalan, lahan parkir di pasar. Selain itu tingkat kebersihan dan kerapihan tempat berjualan memperlihntkan kondisi kumuh dan tidak teratur, masih sangat mudah menemukan sampah-sampah yang berserakan.


(48)

Penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung dilakukan secara langsung ke lapangan dan media tulis seperti koran dan papan larangan dengan harapan para Pedagang Kaki Lima dan masyarakat dapat mengambil manfaatnya. Walaupun ada koordinasi dan komunikasi dengan instansi terkait dan Persatuan Pedagang Kaki Lima dalam pelaksanaan kegiatan ini, namun tindak lanjut setelah diadakan penyuluhan ini belum berjalan karena sampai saat ini kesadaran para pedagang kaki lima untuk tidak berjualan di lokasi-lokasi yang terlarang masih kurang, bahkan tujuan untuk mengendalikan jumlah Pedagang Kaki Lima tidak tercapai.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Hi. Cik Raden S.Pd, maka diperoleh penjelasan sebagai berikut:

Penertiban PKL berkaitan dengan permasalahan ekonomi para PKL, oleh karena itu penertiban PKL harus selaras dengan upaya mengembangkan Kota Bandar Lampung sebagai pusat jasa dan perdagangan berbasis ekonomi kerakyatan, tujuan misi ini antara lain adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ekonomi kerakyatan. maka kebijakan yang ditempuh untuk mencapai misi ini antara lain adalah pengembangan ekonomi kerakyatan.

PKL tumbuh berkembang karena usahanya yang sederhana tanpa birokrasi yang berbelit-belit, modal yang dibutuhkan relatif kecil, dan tidak memerlukan pendidikan yang tinggi mengundang berbagai persoalan dilematis, misalnya dalam melakukan kegiatan usahanya, PKL memanfaatkan ruang dan waktu semaksimal mungkin. Antara lain dengan memanfaatkan trotoar dan emperan toko, bahkan juga bahu-bahu jalan, sehingga mengganggu para pengguna jalan, belum lagi masalah kebersihan, ketertiban, penyebab lingkungan kumuh dan kotor karena tidak jarang PKL menggunakannya tempat usaha sebagai tempat tinggal.


(49)

Sehubungan dengan hal ini Pemerintah Kota Bandar Lampung mengupayakan adanya alokasi lahan untuk usaha sektor informal seperti PKL. Hal ini diperkuat dengan visi Bandar Lampung sebagai kota perdagangan dan jasa, dengan visi pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan. Untuk menuju visi kota pedagangan dan jasa, diperlukan aturan komprehensif, untuk mengatur kegiatan ekonomi, baik sektor formal maupun sektor informal. Namun PKL selama ini masih selalu diposisikan sebagai usaha sektor informal yang mempunyai stigma tidak baik bagi pemerintah kota. Hal ini karena keberadaan PKL dianggap merusak keindahan, kumuh, mengganggu ketertiban dan penyebab kemacetan lalu lintas (kongesti).

Sesuai dengan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa tujuan penertiban PKL di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut:

1) Adanya perlindungan hukum dari institusi pemerintahan daerah terhadap keberadaan PKL di Bandar lampung, sehingga keberadaan PKL tidak lagi dianggap sebagai penggangu namun diberikan penghargaan yang layak sebagai salah satu penopang PAD dan sendi dasar ekonomi global.

2) Menjadikan sektor PKL sebagai satu unit Usaha Mikro dan kecil yang diarahkan untuk ikut mengambil bagian secara aktif, berdisiplin, tertib dan bertanggung jawab dalam rangka pembangunan perekonomian daerah.

3) Membantu meningkatkan PKL sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidup PKL. Dalam melaksanakan usaha pengembangan ini dirumuskan dalam program jangka pendek dan panjang pembangunan daerah 4) Menjaga keindahan, kebersihan dan ketertiban Kota Bandar Lampung


(50)

PKL merupakan jenis pekerjaan yang ditekuni masyarakat dari sektor informal atau sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal ini merupakan sumber kesempatan kerja terutama dan mendapatkan penghasilan. PKL pada umumnya adalah penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan berusaha dalam kegiatan ekonomi yang menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. PKL adalah penjual barang/ jasa yang independen yang berdagang di tempat-tempat umum namun usahanya terkait dengan jaringan sosial-ekonomi yang melingkupinya.

Menurut penjelasan Agus Pranata Siregar selaku Ketua Persatuan Pedagang Kaki Lima Kota Bandar Lampung maka diketahui:

Pejabat kota dan kaum elite lokal yang lain biasanya memandang PKL sebagai gangguan yang membuat kotor dan tidak rapi, menyebabkan kemacetan lalu lintas, pembuangan sampah di sembarang tempat, gangguan para pejalan kaki, saingan pedagang toko yang tertib membayar pajak, serta penyebar penyakit lewat kontak fisik dan penjualan makanan yang kotor (Sumber: Hasil wawancara, 13 Januari 2012)

Penggusuran terhadap keberadaan PKL seringkali dilakukan dengan dalih karena PKL dianggap ilegal karena menggunakan fasilitas umum tanpa izin Pemangku Kebijakan. PKL dianggap bukan bagian dari kegiatan ekonomi produktif; Selama ini PKL belum dilihat dari sisi ekonomi produktif, padahal potensinya besar. Bahkan dalam badai krisis tahun 1998, PKL justru lebih dapat bertahan dan cepat bangkit dari keterpurukan. PKL dianggap bukan bagian dari sistem perdagangan pasar tradisional dan modern. PKL dianggap biang kesemrawutan tata kota, ketidak indahan kota, kekotoran kota. PKL dianggap penyebab utama kemacetan lalu lintas; dan PKL dianggap menyebabkan situasi pasar menjadi tidak aman.


(51)

Pembangunan dalam perspektif hak asasi manusia dimaknai sebagai upaya pembangunan yang berpusat pada manusia, partisipatif, dan memperhatikan lingkungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi tetap dibutuhkan, akan tetapi proses pembangunan juga harus menjamin distribusi yang merata, peningkatan kemampuan manusia dan ditujukan untuk memperbanyak pilihan-pilihan bagi mereka. Pembangunan dilihat sebagai suatu proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif. Obyek pembangunan adalah kemajuan yang terus menerus pada kesejahteraan dari segenap penduduk dan individu yang didasarkan pada partisipasi bebas, aktif dan berarti dan mereka dalam proses pembangunan.

Penjelasan di atas sesuai dengan Pasal 28D ayat (2) UUD RI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa "setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Ketentuan tersebut mengafirmasi konstitusionalitas hak atas pekerjaan dan hak dalam bekerja sebagai HAM. Konsekusi dari pasal tersebut bahwa negara wajib memberikan fasilitas keterbukaan dan ketersediaan lapangan pekerjaan berikut juga memberikan ruang aktualisasi kehidupan bermartabat dalam dunia kerja yang dijalankan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk merealisasikan hak-hak tersebut dengan sebaik-baiknya.

Tumbuh berkembangnya pekerja sektor informal di perkotaan, khususnya PKL, terjadi karena kegagalan negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Krisis multidemensi yang terjadi akibat proses reformasi pemerintahan di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dalam berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sosial masyarakat. Sulitnya mencari pekerjaan, banyaknya karyawan yang


(1)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada:

Allah SWT, Kedua Orang Tuaku (Suharto dan Siti Yuliah)

yang telah memberikan segala daya upaya dalam kehidupanku, yang telah mendidik serta membimbingku sejak kecil dan memberikan

doanya kepadaku. Kakek dan nenekku tercinta

Kakak dan Adikku Supri Yanti S. Pd dan Masruroh

yang telah memberikan semangat serta doa untukku keponakan tercinta

Zal Zabil Kanoya (Bal,,bil,,bul)

yang selalu memberikan semangat untuku dalam mengerjakan skripsi, DRM, P , C T, U P S, St

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang Kota Bandar Lampung pada tanggal 19 April 1989, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara buah hati pasangan Suharto dan Siti Yuliah.

Jenjang Akademis Penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Kampung Sawah Lama Tanjung Karang Kota Bandar Lampung, lulus pada tahun 2001. kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 21 Bandar Lampung, lulus pada tahun 2004 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) AL - Azhar 3 Bandar Lampung, lulus pada tahun 2007, Kemudian pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.


(3)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja

dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai

gelar Sarjana Ilmu Pemeritahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang tentunya sepenuh hati meluangkan waktu dengan ikhlas memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Sekaligus Pembimbing Akademik,

3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Pembimbing Utama Skripsi Saya yang telah meluangkan waktunya dan dengan sabar memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

4. Bapak Drs. Ismono Hadi M.Si. Selaku Pembahas Dosen yang telah meberikan saran dan masukan nya.

5. Keluarga Besar Dosen Ilmu Pemerintahan,Pak Robi, Pak Ariska,Pak Sigit, Pak Budi,Pak Safarudin, dan paling istimewa pak piping.

6. Keluarga Besar FISIP Ilmu Pemerintahan Non.reg 07 Kucuy beserta jajaran LTB, Bintang sang gombal cinta, Gemma selalu santai, Rakhmad anak Boz, Dedi nya princes, Bos Ajiz, Dede scorpio S.Ip, Muhalis mu jadi polisi S.Ip, Bang Keling Kay, Renaldi Sang Vokalis, Habibi Tampan , Ibnu Sang Raja Ngobau, Rahmadi Yang Kalem, Yongki Sang Fotografer, Kyai Reza Juga Bisa (Brother), Zulvan Sang Pembalap, Haris, Hinfa, Rendra yang sabar, dan bagi teman–teman yang belum selesai tetap semangat, kalian pasti bisa. 7. Keluarga Besar Ilmu Pemerintahan Reguler Angkatan 07.

8. Keluarga Besar ZAM – ZAM NET. Idung, Doyok, Kancil, Boz Willem, Jibril, Aci dan Lalet

9. Keluarga besar di Umbul Kapuk, Baik Tante, Oom, dan Ponakan

10. Seluruh pihak yang membantu memberi inspirasi dan motivasi penulis untuk bisa menjadi seseorang lebih baik dan optimis menyongsong masa depan.

Semoga sumbangsih yang telah mereka berikan, Insyaallah akan dibalas oleh Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kemajuan ummat, Amien.

Bandar Lampung Februari 2012 Penulis


(5)

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di Universitas Lampung maupun di Perguruan Tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari ada penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, Februari 2012 Yang Membuat Pernyataan

BAYU UTOYO NPM. 0746021013


Dokumen yang terkait

IMPLIKASI METODE KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING BANDAR LAMPUNG

4 33 110

REAKSI PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP KINERJA SAT POL PP DALAM PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung)

0 5 2

REAKSI PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP KINERJA SAT POL PP DALAM PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung)

0 3 1

REAKSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP KINERJA SAT POL PP PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA (Stdudi di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung)

1 16 2

KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT KEGIATAN OLAHRAGA RAKYAT (PKOR) WAY HALIM

3 30 82

RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENERTIBAN SATPOL PP (Studi Kasus di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung)

4 39 96

IMPLEMENTASI PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA OLEH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) Implementasi Penertiban Pedagang Kaki Lima Oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 (Studi Kasus di Kawasan Taman P

0 1 18

KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM KEBIJAKAN PEMBINAAN DAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN PANCASILA KABUPATEN KARANGANYAR

0 0 8

PENGEMBANGAN MODEL KOMPETENSI APARAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SURABAYA

0 0 10

Kebijakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Karanganyar dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) - UNS Institutional Repository

0 0 9