KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT KEGIATAN OLAHRAGA RAKYAT (PKOR) WAY HALIM

(1)

ABSTRAK

KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT KEGIATAN

OLAHRAGA RAKYAT (PKOR) WAY HALIM

Oleh

Meyliza Indriyani Putri

The purpose of this study was to discribe the performance of employees Satpol PP Lampung Province in the execution of their duties to curb street vendors in PKOR Way Halim. Data were obtained from the sult of field observations an in depth interviews with the study subjects (Informan). Were selected purposively (aim) and by reviewing secondary data derived from the secretariat office Satpol PP Lampung Province. As for the results of this study show that the performance of employees Satpol PP Lampung Province relatively well. This can be obtained from the productivity, responsibility and accountability of the performance of employees Satpol PP Lampung Province.

Infact that is still not sarisfactory in their efforts to curb street vendors in PKOR Way Halim is the performance quality of service for these indicators can be said to be run by effectively if the community as informants satisfied to the performance of these institutions, in fact performance Satpol PP Lampung Province is still considered to be ineffetive in providing service related to


(2)

do not understand Perda. And also the need for parties Satpol PP Lampung Province approach with the street vendorse that good relations and a good view of street vendorse as well as performance related comunity Satpol PP Lampung Province.

Keywords : Productivity, Service Quality, Responsiveness, Responsibility, And Accountability


(3)

ABSTRAK

KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT KEGIATAN

OLAHRAGA RAKYAT (PKOR) WAY HALIM

Oleh

Meyliza Indriyani Putri

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kinerja pegawai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Lampung dalam pelaksanaan tugasnya melakukan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di PKOR Way Halim. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi lapangan dan wawancara mendalam terhadap subjek penelitian (informan) yang dipilih secara purposive (bertujuan), dan dengan mengkaji data sekunder yang berasal dari Kantor Sekretariat Satpol PP Provinsi lampung. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja pegawai Satpol PP Provinsi Lampung relatif cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari aspek produktivitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja dari pegawai Satpol PP Provinsi Lampung.

Pada kenyataannya yang masih belum memuaskan dalam upaya mereka melakukan penertiban PKL di PKOR Way Halim adalah kinerja kualitas pelayanan karena indikator ini dapat dikatakan berjalan dengan efektif apabila masyarakat sebagai informan puas kepada kinerja dari instansi tersebut, pada


(4)

Halim. Dalam hal penertiban PKL di PKOR Way Halim diperlukan adanya penyuluhan dan sosialisasi Perda tentang PKL karena masih banyaknya PKL yang kurang memahami Perda. Dan juga perlunya pihak Satpol PP Provinsi Lampung melakukan pendekatan dengan para PKL agar terjalinnya hubungan yang baik serta pandangan yang baik dari PKL serta masyarakat terkait kinerja Satpol PP Provinsi Lampung.

Kata Kunci : Produktivitas, Kualitas Pelayanan, Responsivitas, Responsibilitas, Dan Akuntabilitas


(5)

KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT KEGIATAN OLAHRAGA

RAKYAT (PKOR) WAY HALIM

Oleh

MEYLIZA INDRIYANI PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(6)

KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT KEGIATAN OLAHRAGA

RAKYAT (PKOR) WAY HALIM

(Skripsi)

Oleh:

MEYLIZA INDRIYANI PUTRI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka Pikir ... 32 1.2 Struktur Organisasi Satpol PP Provinsi Lampung ... 56


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... i

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kinerja ... 9

B. Indikator Kinerja ... 15

C. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ... 20

D. Penertiban ... 24

E. Pedagang Kaki Lima ... 27

F. Kerangka Pikir ... 30

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 33

B. Lokasi Penelitian ... 34

C. Informan ... 35

D. Fokus Penelitian ... 35

E. Jenis Data ... 37

F. Teknik Pengumpulan Data ... 37

G. Teknik Pengolahan Data ... 40

H. Teknik Analisis Data ... 41

I. Keabsahan Data ... 43

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Satuan Polisi Pamong Praja ... 44

B. Pergantian Nama Satuan Polisi Pamong Praja ... 48

C. Tugas, Pokok, dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja ... 49

D. Visi dan Misi Satuan Polisi Pamong Praja ... 52

E. Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung ... 52

F. Strategi Kebijakan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung .... 55

G. Bagan Struktur Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung ... 56


(9)

H. Kegiatan-Kegiatan Lain Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi

Lampung ... 57

I. Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR) ... 59

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 60

1. Produktivitas ... 63

2. Kualitas Pelayanan ... 67

3. Responsivitas ... 70

4. Responsibilitas ... 72

5. Akuntabilitas ... 75

B. Pembahasan ... 77

VI. PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

(11)

(12)

MOTO

Selama kita belum tahu apa maksud Allah memberi ujian, selama itu pula jangan pernah berhenti berbuat kebaikan (Ayum Daigo)

“Success is not a final, only an achievement” (Meyliza Indriyani Putri)

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah. (Thomas Alva Edison)


(13)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya skripsi ini untuk kedua orang tuaku dan

saudara-saudaraku tersayang :

Ayahanda (Syaffaruddin) tersayang yang telah memberi semangat,

doa dan dukungan baik dalam hal moril dan materil.

Ibunda (Triwahyuningsih) tersayang yang telah dengan penuh kasih

sayang memberi semangat, doa, dan dukungan dalam segala hal.

Uwo (Kiki Novia Pebriyanti S.Si) dan adik (Trinita Wulan Sari)

terbaik yang telah memberi dukungan, kebersamaan, canda tawa


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 12 Mei 1993, sebagai anak kedua dari 3 bersaudara, dari Bapak Syaffaruddin dan Ibu Triwahyuningsih. Penulis mulai menempuh pendidikan pertama di Taman Kanak-kanak AmartaTani Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 1999, dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar di Al-Azhar 1 Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2005, setelah itu dilanjutkan dengan pendidikan Menengah Pertama di Mts Negeri 2 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008, dan pendidikan Menengah Atas di SMA Negeri 5 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2011.

Kemudian pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung dengan jalur masuk UM (Unila Mandiri).


(15)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayat-Nya proses yang dijalani dalam pembuatan skripsi yang berjudul “Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pusat Kegiatan Olahraga Rakyat (PKOR) Way Halim” dapat berjalan dengan baik. Selesainya skripsi ini merupakan salah satu syarat penulis untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan di Universitas Lampung. Dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fisip Unila;

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si , selaku Ketua Jurusan

Ilmu Pemerintahan serta selaku Pembimbing utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. Bapak Drs. R. Sigit Krisbintoro, M.IP , selaku Penguji Utama pada ujian skripsi. Terima kasih untuk masukan dan saran-saran pada seminar proposal terdahulu;

4. Bapak Darmawan Purba, S.IP., M.IP , selaku Pembimbing Akademik yang telah membantu dan memberikan motivasi selama penulis menjalani proses perkuliahan;

5. Bapak dan Ibu Dosen serta segenap karyawan di Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila, atas ilmu, bimbingan dan bantuan kepada penulis;


(16)

dan dukungan kepada penulis;

7. Sahabat main M. Rizky Arief Setiawan S.H, Yunita Septriani A, Agung Prastyo S.E atas bantuan, kebersamaan dan dukungan kepada penulis; 8. Sahabat CANTIK tersayang yang sudah seperti saudara di Jurusan Ilmu

Pemerintahan Unila yaitu Dian Seputri, Feby Puspitasari, Nadia Anissa M, Yuyun Diah Anggraini, Zakiyah Handayani terima kasih atas kebersamaan dalam melewati tahap demi tahap perkuliahan, senang maupun susah yang telah kita lewati bersama akan menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan oleh penulis;

9. Teman-teman angkatan 2011, Pertiwi Agustina, Indra Rinaldi, Merari Defri, Redo Putra, Nando, Genta Rizkyansyah, Adelia Pramadita, Aan Lesmana, Santy, Balqis, Bertha Nanda, Winda, Leni Novelina, Leni Yuliani, Rya Clara, Ifit Chytrine, Sedy, Endah, Wirda, Putri Dian, Riyadhi Adyansyah, Hazi Kurnia, Yuanita, Nurdiana, Leni Olandari, Eki Anes Wijaya, Rizqi Khusniah, Nur Halimah, Miranti Andini, Restia Permata Sari dll yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

10. Serta seluruh mahasiswa jurusan ilmu pemerintahan angkatan 2011 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selama ini telah memberikan canda dan tawa selama perkuliahan.


(17)

balasan pahala yang terbaik bagi semua pihak yang telah membantu penulis selama ini dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Bandar Lampung, 28 Oktober 2015 Penulis


(18)

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Seorang Kepala Daerah dibantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah.

Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja satu dagangan yang menggunakan gerobak. Saat ini istilah pedagang kaki lima juga digunakan untuk sekumpulan pedagang yang menjual barang dagangannya di tepi-tepi jalan umum, trotoar, yang jauh dari kesan rapi dan bersih. Pengertian dari Pedagang kaki lima itu sendiri adalah orang dengan modal yang relatif kecil berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan, dan dilakukan di tempat-tempat yang dianggap strategis.


(20)

Pada umumnya pedagang kaki lima adalah self-employed, yaitu mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Keberadaan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal, sebagai alternatif lapangan pekerjaan bagi kaum urban. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit ikut mendukung semakin banyaknya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang kaki lima. Di beberapa kota di Indonesia, keberadaan pedagang kaki lima telah menjadi dilema yang tidak hanya menimbulkan pro-kontra, demonstrasi, bentrok antar warga maupun antara warga dan aparat. Untuk menyikasi hal ini maka Pemerintah Daerah perlu untuk membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah yang mengatur PKL.

Fenomena pembongkaran para PKL yang dilakukan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) dalam rangka penerapan Perda (Peraturan Daerah) seringkali tidak manusiawi. Pemerintah Daerah selalu menggunakan kata penertiban dalam melakukan pembongkaran para PKL. Sangat disayangkan sekali pada kenyataannya Satpol PP dalam melakukan penertiban seringkali terjadi hal-hal yang tidak mencerminkan kata-kata tertib itu sendiri, kalau yang dimaksud dengan kata tertib itu adalah suatu proses membuat sesuatu menjadi tertib tanpa menimbulkan kekacauan.

Menurut observasi yang telah saya lakukan, Satpol PP dalam melakukan penertiban seringkali tidak memerhatikan penyebab PKL berdagang di tempat yang tidak diperuntukan untuk PKL dan seringkali merusak barang dagangan maupun sarana berdagang milik PKL. Di beberapa kota di


(21)

Indonesia, keberadaan pedagang kaki lima telah menjadi dilema yang tidak hanya menimbulkan pro-kontra, demonstrasi, bentrok antarwarga maupun antara warga dan aparat.

Di Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pasal 1 ayat (2) adalah Undang-undang yang khusus mengatur tentang PKL. Padahal fenomena PKL sudah merupakan permasalahan yang pelik dan juga sudah merupakan permasalahan nasional, karena di setiap kota besar maupun kecil pasti ada PKL. Pengaturan mengenai PKL ini hanya terdapat dalam Perda. Perda ini antara lain mengatur tentang lokasi yang diizinkan untuk berdagang bagi PKL, hak maupun kewajiban PKL, dan lain-lain. Lebih lanjut Satpol PP tetap dipertahankan keberadaannya dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Hal ini memberi arti bahwa Satpol PP merupakan aparat yang sangat dibutuhkan oleh Kepala Daerah dalam pemeliharaan ketentraman, ketertiban masyarakat dan penegakan Perda.

Pemerintah Provinsi Lampung juga mengalami permasalahan atas keberadaan PKL, jika keberadaan PKL tidak diatur dan tidak dibina akan menimbulkan permasalahan di bidang pembangunan, tata ruang maupun gangguan ketertiban umum. Keberadaan PKL di Provinsi Lampung menjadi agenda penting Pemerintahan Provinsi Lampung sebab PKL merupakan salah satu pengusaha sektor informal yang tidak dapat


(22)

dipisahkan dari kompleksitas pembangunan perkotaan, sebagai sebuah kegiatan yang merupakan kegiatan sektor informal tersebut, memiliki ciri fleksibilitas usaha, dengan modal minimum dan lokasi usaha yang mendekati konsumen, karena cirinya itulah maka usaha di sektor informal ini justru kuat bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi.

Kehadiran PKL seringkali tidak memerhatikan dampak terhadap kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota yang telah ada sebelumnya. Sebagai akibatnya adalah munculnya ketidak serasian lingkungan kota, dalam hal ini adalah ruang publik dengan apa fungsi sebenarnya, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai terhadap wajah kota pada umumnya dan ruang publik itu sendiri pada khususnya. Hal ini dapat kita jumpai dimana-mana dimana kehadiran PKL akan menimbulkan permasalahan tata kota dan gangguan ketertiban umum.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Pasar Bambu Kuning PKL mengelilingi kawasan pusat perdagangan di Pasar Bambu Kuning dengan posisi yang tidak beraturan, sebagian menghadap ke jalan dan sebagian menghadap trotoar sehingga terlihat ketidakteraturan di sekitar Pasar Bambu Kuning. Selain itu, menimbulkan kemacetan arus lalu lintas khususnya kemacetan di Jalan Imam Bonjol dan Jalan Kartini. PKL juga banyak yang menempati badan jalan, bahu jalan dan trotoar, maka dari itu para PKL ditertibkan oleh Satpol PP dan direlokasikan ke tempat yang telah disediakan. Selanjutnya, keberadaan angkutan plat hitam dan


(23)

ojek semakin membuat sempit jalan karena kapasitas jalan menurun dan terganggunya aktivitas lain seperti para pejalan kaki.

Dari hasil penelitian sebelumnya tentang PKL yang berada di Pasar Bambu Kuning yang telah ditertibkan oleh Satpol PP dan direlokasikan ketempat yang telah disediakan, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang penertiban PKL di PKOR Way Halim. Contoh penertiban yang dilakukan Satpol PP di PKOR (Pusat Kegiatan Olahraga Rakyat) Way Halim dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:

Saibumi.com, Bandar Lampung – puluhan Anggota Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung, dibantu aparat Koramil Tanjung Karang Timur dan Polsek Kedaton, merobohkan lapak/kios liar yang berada disekitar PKOR Way Halim.

“hari ini kita dibantu aparat Kepolisisan dan TNI, dari Kooramil TKT, dan Polsek Kedaton merobohkan kios-kiosLiar yang berdiri

di PKOR Way Halim,” ujar Kabid Ketentraman dan Ketertiban

Masyarakat Pol PP Prov.Lampung, A. Munawar, kepada saibumi.com, jumat 22 Agustus 2014 sore. Lebih lanjut dia mengatakan upaya ini dilakukan karena banyaknya keluhan masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan lapak/kios liar yang berada disekitar PKOR. “sebelum bulan ramadhan sudah kita layangkan imbauan kurang lebih 3 kali, untuk membongkar kios/lapak liar terhadap pemiliknya, tetapi masih ditemukan pemilik kios yang membandel, sehingga kita ambil tindakan tegas untuk membongkar bangunan liar tersebut,”tuturnya.

Pantauan saibumi.com, tidak ada perlawanan dari pemilik kios/lapak liar ketika aparat gabungan membongkar paksa, kejadian tersebut menjadi tontonan masyarakat sekitar yang ingin tahu aktivitas pembongkaran yang dilakukan aparat gabungan. (http://www.saibumi.com/artikel-56781-lapak-liar-di-pkor-way-halim-bandar-lampung-dirobohkan.html)

Diakses pada tgl 31 maret 2015 pukul 10:30 wib

Dari problematika di atas dapat dikatakan bahwa PKL dan pemilik kios atau lapak liar sebelum bangunan tersebut dibongkar paksa oleh Satpol PP telah diberikan imbauan, tapi pada kenyataannya kios atau lapak liar di


(24)

PKOR Way Halim yang telah dibongkar paksa oleh Satpol PP pada Agustus 2014 itu ternyata kembali berdiri. Dapat dilihat dari uraian dibawah ini :

KENDATI jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WIB, kondisi jalan raya di Kota Bandarlampung pada Sabtu (14/2) masih ramai. Sebelum memarkirkan kendaraan, Radar memutuskan mengelilingi kompleks PKOR Wayhalim terlebih dahulu. Saat itu, Radar cukup dikagetkan dengan kondisi PKOR di malam hari. Ternyata, karaoke remang-remang kembali berdiri di PKOR. Jumlahnya ada sekitar empat unit. Padahal pada Agustus 2014, ratusan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Lampung pernah menertibkan karaoke remang-remang tersebut.

(http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/77559-miras-dijual-bebas)

Diakses pada tgl 8 april 2015 pukul 13:15 wib

Selanjutnya, jika ditelusuri lebih dalam bahwa terciptanya kinerja Satpol PP Provinsi Lampung yang lebih optimal tak terlepas dari adanya koordinasi yang baik antar berbagai bagian dalam instansi pemerintah itu sendiri dimana koordinasi merupakan bagian yang tak terlepaskan dari sebuah organisasi. Sebagai langkah awal agar koordinasi dalam instansi pemerintahan dalam hal ini adalah Satpol PP Provinsi Lampung berjalan dengan baik maka harus ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan agar setiap pekerjaan tersebut sesuai dengan sasaran yang diinginkan mengingat begitu kompleksnya bimbingan atau penyuluhan yang harus diberikan pada masyarakat sebagai pelanggar maka setiap aparat Satpol PP Provinsi Lampung meningkatkan kinerjanya sebaik mungkin dengan jalan memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya.


(25)

Namun kenyataanya yang terjadi didalam kinerja Satpol PP Provinsi Lampung kurang optimal terutama yang berhubungan dengan pelanggaran perda karena banyak PKL yang kurang memahami isi Perda tersebut. Hal ini karena pihak Satpol PP Provinsi Lampung kurang memberikan pengarahan ataupun bimbingan pada PKL. Kondisi ini menandakan bahwa fungsi Satpol PP sebagai pelaksanaan penegakan Perda kurang berjalan optimal sehingga banyak PKL yang melakukan pelanggaran karena kurang adanya pembinaan dan penertiban terhadap PKL.

Berdasarkan problematika yang dipaparkan tersebut, menurut observasi di PKOR Way Halim pun terjadi kekacauan. Oleh karena itu, untuk membuktikan dugaan tersebut, penulis akan melakukan penelitian yang

berjudul “Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam

Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pusat Kegiatan Olahraga Rakyat (PKOR) Way Halim”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis merumuskan sebagai berikut :

Bagaimana Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim ?


(26)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

Untuk mengetahui Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca berkaitan dengan salah satu kajian Manajemen Pemerintahan, khususnya Manajemen Pelayanan Publik, yaitu Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran akan pentingnya Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim demi tercipta nya tempat yang ramah lingkungan. Serta memberikan informasi serta masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi lembaga atau instansi pemerintahan.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kinerja

Pengertian kinerja secara sederhana adalah prestasi kerja atau hasil

pelaksanaan kerja. Istilah kinerja berasal dari kata “performance”,

sedangkan pengukuran kinerja disebut dengan “performance

measurement”. Kinerja (performance) adalah catatan hasil yang dihasilkan dari fungsi suatuu pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode waktu tertentu.

Sedangkan pengukuran kinerja adalah sebagai suatu metode untuk menilai kemajuan atau hasil yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kinerja adalah hasil capaian atau prestasi kerja yang diperoleh oleh suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan pengukuran kinerja merupakan alat atau metode yang digunakan untuk memberikan penilaian seberapa besar tingkat prestasi kerja atau pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan.

Pengertian “performance” atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat


(28)

sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Mengusulkan bahwa paling tidak, ada tiga konsep yang adapat digunakan sebagai indikator kinerja organisasi pemerintah yaitu, responsibility (responsibilitas), responsiveness (responsif), dan accountability (akuntabilitas. Dalam mengukur kinerja organisasi pemerintah (birokrasi publik) disesuaikan dengan tugas dan fungsi yang dijalankan. Menurut Snelbecker (dalam Moeloeng, 2002 : 34) mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan sebuah teori dalam penelitian sangat penting, karena teori dapat memandu peneliti untuk mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya dalam penelitian tersebut, sekaligus dapat memperoleh pengetahuan tentang hubungan antar variabel yang mengandung fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang telah dicapai sesuai dengan fungsi dan wewenang serta kegiatan dalam mewujudkan tujuan yang telah


(29)

disepakati. Hal ini diperkuat dalam (Prawirosentono, 1999:2) yang mengemukakan bahwa kinerja adalah merupakan suatu hasil kerja yang di capai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Menurut (Fahmi, 2011:2) kinerja adalah hasil yang diperoleh oleh suatu organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan non profit oriented yang di hasilkan selama satu periode waktu. Lalu pengertian kinerja menurut (Mahsun, 2006:25) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planing suatu organisasi. (Mangkunegara, 2007:9) mengemukakan bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas nya sesuai dengan tanggung jawab yang di berikan kepadanya.

Kinerja adalah suatu kata dalam Bahasa Indonesia dari kata dasar “kerja” yang menerjemahkan kata dari bahasa asing “prestasi”. Bisa pula berarti “hasil kerja”. Pengertian kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja oleh Lembaga Administrasi Negara dalam (Widodo, 2005:206) diartikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu


(30)

kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi, organisasi.

(Keban, 2004:191) istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai “penampilan untuk

kerja” atau prestasi. Dalam praktek pengukuran kinerja seringkali

dikembangkan secara ekstensif, instensif, eksternal. Pengembangan kinerja secara ekstensif mengandung maksud bahwa lebih banyak bidang kerja yang diikutsertakan dalam pengukuran kerja, sedangkan pengembangan secara eksternal diartikan lebih banyak pihak luar yang diperhitungkan dalam pengukuran kinerja. (Keban, 2004:192) pemikiran seperti ini sangat membantu untuk dapat lebih secara valid dan objektif melakukan penilaian kinerja karena lebih banyak parameter yang dipakai dalam pengukuran dan lebih banyak pihak yang terlibat dalam penilaian.

Menurut Achmad Ruky istilah “kinerja/prestasi” sendiri sebenarnya adalah pengalihbahasaan dari kata “PERFORMANCE”. Sebagaimana dikatakan oleh Bemardin dan Russel dalam Ruky (2002) yang memberikan definisi tentang performance adalah sebagai berikut :

(Ruky, 2002:15) “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specificied time period.”

(prestasi adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu).

Yang ditekankan disini adalah pengertian prestasi sebagai “hasil” atau


(31)

organisasi. Sedangkan menurut (Keban, 2004:209) kinerja yaitu : hasil kerja yang dijanjikan kepada publik pada setiap tahun anggaran termasuk yang dijanjikan dalam pemilihan umum atau pengangkatan dalam jabatan.

Pengertian kinerja, dari berbagai pengertian diatas, pada dasarnya menekankan apa yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa yang keluar (outcomes). Apa yang terjadi dalam sebuah pekerjaan, bila disimak lebih lanjut merupakan suatu proses yang mengolah input menjadi output (hasil kerja), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja dari seseorang atau kelompok orang dalam organisasi berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan dan disepakati bersama.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan lain bahwa makna kinerja menunjukan taraf tercapainya hasil setelah melakukan proses usaha yang dilakukan secara sistematis. Kerja yang efektif dapat dilakukan melalui sikap mental yang berpandangan bahwa mutu kerja merupakan aspek yang dikedepankan. Menurut (Dharma, 2005:101) bahwa penilaian kinerja didasarkan pada pemahaman pengetahuan, keahlian, kepiawaian, dan perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik dan analisis tentang atribut perilaku seseorang sesuai kriteria yang ditentukan untuk masing-masing pekerjaan. (Dharma, 2005:130) mendeskripsikan bahwa kriteria bagi penilaian kinerja harus berimbang di antara:


(32)

 Pencapaian dalam hubungannya dengan berbagai sasaran.

 Perilaku dalam pekerjaan sejauh memengaruhi peningkatan kinerja.  Efektivitas sehari-hari.

Penilaian terhadap kinerja bagi setiap organisasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Penilaian tersebut dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu. Selain itu dapat pula dijadikan input atau masukan bagi perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi selanjutnya. Sebagaimana diungkapkan oleh (Dwiyanto, 2006:48) bahwa penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dapat mencapai misinya. Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa.

Penilaian kinerja merupakan bagian dari sistem manajemen kinerja, yang mana penerapan sistem manajemen kinerja akan membawa dampak positif bagi sebuah organisasi, karena dengan melakukan penelitian terhadap kinerja organisasi baik dari level yang paling rendah maupun level yang tertinggi dalam organisasi, akan berpengaruh terhadap manajemen organisasi, kepemimpinan, dan juga meningkatkan kualitas dalam kehidupan kerja karyawan.

Dalam sebuah organisasi suatu instansi pemerintah peningkatan kinerja Satpol PP sangatlah dibutuhkan, hal ini dilakukan agar instansi pemerintah


(33)

mampu mencapai target yang telah ditentukan. Disini peningkatan kinerja Satpol PP tersebut akan berhasil apabila instansi pemerintah tersebut memiliki sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas sehingga mampu menjalankan pekerjaan tersebut dengan optimal tapi lain halnya apabila instansi pemerintah tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas maka hasil pekerjaan yang dihasilkannya pun tidak optimal.

Berbagai langkah memang harus dilakukan instansi pemerintah agar peningkatan kinerja Satpol PP tersebut bisa terbentuk yaitu dengan adanya hubungan timbal balik yang berupa koordinasi dan komunikasi antara atasan dan bawahan . maksud dari adanya hubungan timbal balik tersebut nantinya akan menciptakan suasana kerja yang harmonis antara atasan dengan bawahan sehingga apabila terdapat kendala dalam pelaksanaan pekerjaan hal ini cepat segera diatasi dalam hal pemecahannya.

B. Indikator Kinerja

Menurut (Mahmudi, 2005:147) indikator kinerja merupakan sarana atau alat untuk mengukur hasil suatu aktivitas, kegiatan, atau proses, dan bukan hasil atau tujuan itu sendiri. Indikator berfungsi untuk mengukur kinerja organisasi yang akan digunakan oleh manajemen untuk mengambil tindakan tertentu. Indikator penyusun kinerja sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penelitian yang dilakukan, seperti indikator yang diungkapkan oleh Lenvinne dalam (Ratminto dkk, 2005:174) :


(34)

1) Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya tanggap providers terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan konsumen.

2) Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

3) Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian antara penyelenggara pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki oleh stakeholders, seperti nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.

Pada dasarnya menurut Dwiyanto (2006) terdapat beberapa indikator yang biasanya digunakan dalam mengukur kinerja. Indikator-indikator yang biasa digunakan dalam menilai kinerja organisasi publik antara lain :

1. Produktivitas

Produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas dirasa begitu sempit dan kemudian General Accounting office mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.


(35)

2. Kualitas Pelayanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang tebentuk mengenai organisasi muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat tersedia secara murah dan mudah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas disini menunjukan keselarasan antara program dan kegiatan pelayan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan kedalam salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukan kegagalan organisasi dalam


(36)

mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang kurang baik pula.

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas berhubungan dengan seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat. Selanjutnya dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan norma yang berkembang dalam masyarakat.


(37)

Dalam penelitian ini mengukur kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dalam penertiban pedagang kaki lima di PKOR Way Halim penulis menggunakan indikator kinerja dari teori (Ratminto dkk, 2005), yaitu responsivitas, resbonsibilitas, dan akuntabilitas. Tidak hanya menggunakan indikator kinerja dari teori Ratminto dkk saja, tetapi penulis juga menggunakana indikator kinerja dari teori (Dwiyanto, 2006), yaitu produktivitas dan kualitas pelayanan. Menurut (Ratminto dkk, 2005) responsivitas adalah untuk mengukur daya tanggap providers terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan konsumen, dalam penelitian ini yang dimaksud responsivitas yaitu untuk mengukur daya tanggap Satpol PP Kota Bandar Lampung dalam mengenali kebutuhan masyarakat.

Lalu responsibilitas adalah untuk mengukur proses pelayanan publik, yang dimaksud responsibilitas dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui seberapa jauh pelayanan terhadap publik yang dilakukan Satpol PP Kota Bandar Lampung. Sedangkan akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat penyelenggara pelayanan, dalam penelitian ini akuntabilitas digunakan untuk mengetahui bagaimana penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan Satpol PP Kota Bandar Lampung terhadap masyarakat terkait penertiban PKL.

Sedangkan menurut teori (Dwiyanto, 2006) indikator kinerja yang penulis gunakan adalah produktivitas dan kualitas pelayanan. Produktivitas adalah untuk mengukur tingkat efisien dan efektivitas pelayanan, dalam penelitian ini produktivitas digunakan untuk mengetahui apakah kinerja


(38)

Satpol PP Kota Bandar Lampung sudah efektif dan efisien dalam pelayanan terhadap publik. Lalu kualitas pelayanan adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap pelayanan suatu instansi, dalam penelitian ini yaitu untuk mencari tahu apakah masyarakat puas terhadap pelayanan Satpol PP Kota Bandar Lampung selama ini.

C. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Satuan Polisi Pamong Praja disingkat (Satpol PP) adalah bagian perangkat pemerintah daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan peraturan daerah. Pengertian Satuan Polisi Pamong Praja menurut Pasal 1 butir 8 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja adalah bagian perangkat daerah dalam penegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Tugas, Pokok, dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satuan Polisi Pamong Praja memiliki tugas menegakkan Peraturan Daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satuan Polisi Pamong Praja berwenang :


(39)

1) Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Peraturan Kepala Daerah.

2) Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang menggangu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

3) Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat.

4) Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Peraturan Kepala Daerah.

5) Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan atau Peraturan Kepala Daerah.

Adapun beberapa fungsi dari satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, yaitu :

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan peraturan daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.

b. Pelaksanaan kebijakan penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah.


(40)

e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya.

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh kepala daerah.

Selanjutnya pengertian kewajiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menjadi keharusan untuk dikerjakan. Di dalam Bab III (8) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan mengenai kewajiban Satuan polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya, yakni :

1) Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat. 2) Membantu menyelesaikan perselisihan masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

3) Melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana.

4) Menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah.

5) Menaati disiplin Pegawai Negeri Sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja.


(41)

A. Visi

Visi Satuan Polisi Pamong Praja :

“Terciptanya Ketertiban , Ketentraman Dan Keindahan Kota Lampung” B. Misi

Misi Satuan Polisi Pamong Praja :

1) Melaksanakan tindakan persuasif dan represif bagi pelanggar peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

2) Meningkatkan pengawasan terhadap pelanggaran peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

3) Meningkatkan peran serta masyarakat guna mewujudkan ketentuan, ketertiban dan keindahan kota yang kondusif.

Jumlah anggota Satpol PP Provinsi Lampung yang mencapai 87 (delapanpuluh tujuh) orang maka Susunan organisasi Satuan Polisi Pamong PrajaProvinsi Lampung, yang terdiri dari:

a. Kepala Satuan ;

b. Sekretariat, membawahkan ; 1) Subbagian Program.. 2) Subbagian Keuangan.

3) Subbagian Umum dan Kepegawaian.

c. Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, membawahkan;

1) Seksi Operasi dan Pengendalian. 2) SeksiKerja Sama..


(42)

1) Seksi Pengawasan dan Penyuluhan.. 2) Seksi Penyelidikan dan Penyidikan.

e. Bidang Perlindungan Masyarakat, membawahkan; 1) Seksi Satuan Linmas.

2) Seksi Bina Potensi Masyarakat.

f. Bidang Sumber Daya Aparatur, membawahkan; 1) Seksi Pelatihan Dasar.

2) Seksi Teknik Fungsional.

D. Penertiban

Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi fenomena yang lazim terdapat pada kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah Daerah sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk mengelola dinamika masyarakat, mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam menyikapi fenomena tersebut.

Penertiban dalam pemanfaatan ruang adalah usaha atau kegiatan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang sesuai rencana dapat terwujud. Kegiatan penertiban dapat dilakukan dalam bentuk penertiban langsung dan penertiban tidak langsung. Penertiban dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan penertiban tidak langsung dilakukan dalam bentuk sanksi disinsentif, antara lain melalui


(43)

pengenaan retribusi secara progresif atau membatasi penyediaan sarana dan prasarana lingkungannya.

Bentuk-bentuk pengenaan sanksi yang berkenaan dengan penertiban antara lain :

a) Sanksi administratif, dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat pada terhambatnya palaksanaan program pemanfaatan ruang. Sanksi dapat berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan hak.

b) Sanksi perdata, dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan seseorang, kelompok orang, atau badan hukum. Sanksi dapat berupa tindakan pemngenaan denda atau ganti rugi.

c) Sanksi pidana, dikenakan terhadap pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan umum. Sanksi dapat berupa tindakan penahan dan kurungan.

Demi ketertiban, kebersihan, dan kelancaran lalu lintas dan lain sebagainya maka PKL perlu dilakukan Penataan. Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedomana Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika,


(44)

kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dilakukan penertiban dikarenakan struktur ekonomi formal pada kenyataannya tidak mampu memberikan biaya ekonomi dan sosial yang cukup bagi subjeknya sehingga memaksa mereka terkait juga dengan gaya hidup kota melalu sektor informal. Di sini sektor informal mengambil peran interaktif pensubsidi bagi sektor formal dalam posisi yang mutualistik peran yang signifikan terhadap perubahan masyarakat PKL (society group) maupun keseluruhan masyarakat perkotaan.

Pemerintah daerah diberi wewenang untuk menata PKL di lingkup daerahnya untuk pembinaan dalam penataan dan pemberdayaan diatur dalam Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pasal 8, Bupati/Walikota melakukan penataan PKL dengan cara:

1. pendataan PKL; 2. pendaftaran PKL; 3. penetapan lokasi PKL;

4. pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL; dan 5. peremajaan lokasi PKL.

Dalam pelaksanaan tugas Penegakan Peraturan Daerah dan kebijakan atau Keputusan Kepala Daerah terhadap PKL, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sering mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat dalam melakukan penertiban PKL, bahkan aparat Satpol PP dianggap sebagai


(45)

suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan penggusuran atau pengerusakan atas hak milik barang dagangan PKL. Hal ini sering kita dengar, padahal disisi lain hak-hak masyarakat perlu kita perhatikan, seperti hak pejalan kaki atau pengguna jalan

E. Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal di daerah perkotaan. Kekhususan tersebut karena kehadiran PKL di tengah melimpahnya tenaga kerja dan sedikitnya lapangan kerja mampu menyerap sebagian besar tenaga kerja untuk memasukinya. PKL merupakan unit usaha kecil yang melakukan kegiatan produksi atau distribusi barang dan jasa, dengan sasaran utama untuk menciptakan lapangan kerja dan penghasilan kegiatan usaha yang dilakukan sendiri dan memberikan penghasilan bagi dirinya sendiri.

Kebanyakan Pedagang Kaki Lima memilih berjualan di tempat keramaian, stasiun bis dan kereta, seperti pasar atau halte-halte dan tempat wisata. Pedagang kaki Lima menggunakan berbagai perlengkapan sebagai sarana berjualan, seperti grobak, menggunakan pikulan, membuat lapak ataupun gendongan. Berikut macam-macam perlengkapan para Pedagang Kaki Lima menurut (Permadi 2007):


(46)

1. Grobak

Ada yang biasa dipakai oleh para Pedagang Kaki Lima, gerobak sepeda dan gerobak dorong. Perbedaannya, gerobak sepeda mempunyai tiga roda, sedangkan gerobak dorong mempunyai dua roda dan satu penahan di bagian depan.

2. Lapak

Lapak adalah sejenis kios kecil yang bangunannya terbuat dari kayu, triplek atau bambu. Lapak Pedagang Kaki Lima juga ada dua jenis, yang tidak permanen dan yang semi/setengah permanen. Lapak yang tidak permanen, jika para Pedagang Kaki Lima berjualan, dibongkar dan dibawa pulang. Sementara, yang setengah permanen, rangka kios kayu yang dipakai jualan ditutup dengan terpal, lalu dibuka lagi jika akan berjualan kembali esoknya.

3. Pikulan

Ada juga Pedagang Kaki Lima yang masih menggunakan pikulan untuk berjualan. Biasanya pedagang pikulan ini masih banyak terdapat di daerah-daerah, diantaranya penjual bakso, siomai, dan lain-lain. Mereka menjajakan jualannya dengan berkeliling dari rumah ke rumah.

4. Gendong

Gendong adalah alat yang umum digunakan oleh penjual jamu tradisional Jawa. Para pedagangnya kebanyakan perempuan dan menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah. Ada juga pedagang sayur atau


(47)

makanan keliling yang menggunakan gendongan sebagai alat berjualan. Tidak jarang juga para pedagang jamu berjualan di stasiun atau terminal dan menggelar dagangannya di trotoar dan emperan toko.

5. Sepeda

Dibeberapa daerah tertentu, ada Pedagang Kaki Lima yang memakai sepeda untuk berjualan. Jenis sepeda yang digunakan biasanya sepeda tua atau yang biasa dikenal sepeda kumbang. Sepeda mereka dimodifikasi begian belakangnya, sehingga bisa digunakan untuk menyimpan dagangannya.

Dilihat dari macam-macam perlengkapan yang digunakan PKL di atas dapat diketahui Pedagang Kaki Lima kebanyakan bermodal kecil, dimana yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Kebanyakan pula dari mereka tidak mempunyai keterampilan. Mereka hanya punya semangat untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha informal dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tetap, dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat konsumen, dan ada yang memiliki ijin usaha maupun tidak. Sedangkan peraturan daerah tentang Pedagang Kaki Lima adalah aturan yang sah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk mengatur pedagang yang menjalankan kegiatan


(48)

usaha dagang dan jasa informal dalam jangka waktu tertentu yang menggunakan lahan fasilitas umum baik dengan perlengkapan mudah dipindahkan, dan/atau dibongkar pasang.

F. Kerangka Pikir

Kinerja Satpol PP merupakan kemampuan Satpol PP dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam memberikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat guna mencapai tujuan dan misi secara optimal. Kinerja ini diharapkan mampu menjelaskan apakah Satpol PP Provinsi Lampung mampu melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diembankan kepadanya secara optimal agar berhasil dalam melayani masyarakat dengan menciptakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat yang aman dan nyaman.

Kriteria yang digunakan dalam mengukur kinerja Satpol PP Provinsi Lampung ini adalah berdasarkan (Dwiyanto, 2006) yaitu produktivitas dan kualitas pelayanan. Tidak hanya menggunakan teori dari Dwiyanto saja, tetapi penulis juga menggunakan teori dari (Ratminto, 2005) yaitu responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Berdasarkan penelitian ini yang dimaksud responsivitas yaitu untuk mengukur daya tanggap Satpol PP Provinsi Lampung dalam mengenali kebutuhan masyarakat. Responsibilitas dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui seberapa jauh pelayanan terhadap publik yang dilakukan Satpol PP Provinsi Lampung. Serta akuntabilitas digunakan untuk mengetahui bagaimana


(49)

penyelenggaraan pelayanan yang dilakukan Satpol PP Provinsi Lampung terhadap masyarakat terkait penertiban PKL.

Sedangkan produktivitas digunakan untuk mengetahui apakah kinerja Satpol PP Provinsi Lampung sudah efektif dan efisien dalam pelayanan terhadap publik. Lalu kualitas pelayanan adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap pelayanan suatu instansi, dalam penelitian ini yaitu untuk mencari tahu apakah masyarakat puas terhadap pelayanan Satpol PP Provinsi Lampung selama ini.

Di dalam penelitian ini kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dikatakan berhasil apabila melaksanakan tugasnya sesuai dengan kelima indikator kinerja tersebut yaitu produktivitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas, jika sudah sesuai dengan prosedur dan sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2007 maka akan dipastikan akan adanya keberhasilan kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dalam penertiban PKL. Kerangka pikir dari penelitian dapat dilihat dari gambar berikut ini :


(50)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pusat Kegiatan

Olahraga Rakyat (PKOR) Way Halim

Indikator Kinerja : Agus Dwiyanto (2006)

- Produktivitas

1. Prosedur Pelaksanaan 2. Tolak Ukur

- Kualitas Pelayanan

1. Tingkat Kepuasan Masyarakat Ratminto dkk (2005)

- Responsivitas

1. Mengenali Kebutuhan Masyarakat - Responsibilitas

1. Batasan Perilaku 2. Tindakan Pendekatan - Akuntabilitas

1.Persiapan yang dilakukan


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. (Masyhuri dan Zainudin, 2008 :12) penelitian kualitatif adalah penelitian yang pemecahan masalahnya dengan data empiris. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 3), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. (Hadari dan Mimi, 1996 :176) Obyek penelitian kualitatif adalah segala bidang aspek kehidupan manusia,yakni manusia dan segala aspek yang di pengaruhi manusia.

Menurt Morissan (2012:77) pendekatan deskriptif untuk menggambarkan situasi atau peristiwa kemudian peneliti menjelaskan apa yang diamatinya. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. (Masyhuri dan Zainudin, 2008:24-25) dalam penelitian kualitatif yang harus diperhatikan adalah sumber dan jenis data ,manusia sebagai instrumen, pokok persoalan pengamatan, teknik wawancara, cara peneliti mencatat data dalam catatan lapangan, penggunaan dokumen, sampling, dan satuan kajian. Jadi peneliti ini berusaha menggambarkan atau


(52)

mendeskripsikan bagaimana kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dengan menggunakan beberapa indikator kinerja dalam upaya penertiban PKL di PKOR wayhalim.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Satpol PP Provinsi Lampung JL. Jendral Gatot Subroto No. 44, Enggal Kota Bandar Lampung dan di Pusat Kegiatan Olahraga Rakyat (PKOR) JL. Sumpah Pemuda, PKOR, Way Halim Bandar Lampung. Adapun pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu : Satpol PP Provinsi Lampung merupakan salah satu lembaga pemerintah yang berwenang dalam hal ketertiban umum dan ketentraman masyarakat yang dituntut untuk mengoptimalkan kinerjanya guna menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Penelitian dilakukan pada tanggal 7 Juni, 28 Juli dan 3 Agustus.

Penentuan lapangan penelitian menurut (Basrowi dan Suwandi, 2008:85) ialah dengan mempertimbangkan teori substantif dengan menjajaki lapangan untuk melihat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian. Penetapan lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah atau memperlancar objek yang menjadi sasaran dalam penelitian, sehingga penelitian tersebut akan terfokus pada pokok permasalahannya.


(53)

C. Informan

Penentuan informan dalam penelitian kualitatif dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung. Menurut Sugiyono (2006:54) penentuan informan caranya dengan peneliti memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukam, selanjutnya berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari informan sebelumnya itu, peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data lebih lengkap.

Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Menurut Sugiyono (2006:53) purposive sampling adalah teknik pengambilan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu, yaitu berdasarkan tugas dan fungsi aparat Satpol PP Provinsi Lampung yang berkaitan dengan penertiban PKL. Informan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Kepala Satuan POL PP Provinsi Lampung

2. Bidang Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat, 3. Bidang Penegak Perundang-Undangan Daerah,

4. Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim.

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini merupakan pedoman untuk mengambil data apa saja yang relevan dengan permasalahan penelitian. Fokus penelitian harus


(54)

konsisten dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang diterapkan terlebih dahulu. Menurut Moleong (2006:92) Fokus penelitian juga berfungsi sebagai pedoman terhadap hasil penelitian yang telah diterapkan.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti memfokuskan penelitian ini pada kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dalam penertiban PKL di PKOR Way Halim yang dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut :

1. Produktivitas, yaitu tingkat efisien dan efektivitas pelayanan yang diberikan.

2. Kualitas Pelayanan, yaitu kinerja organisasi pelayanan publik. Hal ini mengenai informasi tentang kepuasan kualitas pelayanan.

3. Responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat.

4. Responsibilitas, yaitu prinsip-prinsip yang dilaksanakan dalam kegiatan organisasi publik sesuai dengan kebijakan organisasi.

5. Akuntabilitas, yaitu seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tersebut konsisten dengan kehendak masyarakat banyak yang diwakilkan oleh pejabat politik.

Dari kelima indikator kinerja tersebut jika dilaksanakan maka akan terwujudnya pencapaian atau keberhasilan kerja pada suatu organisasi atau instansi yaitu pada penelitian ini akan terwujudnya penertiban PKL di PKOR Way Halim yang dilakukan oleh Satpol PP Provinsi Lampung.


(55)

E. Jenis Data

Menurut Sugiyono (2013:2) kriteria data dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang pasti adalah data yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar terliha, terucap, tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh peneliti dari lapangan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan cara tatap muka antara peneliti dan informan. Untuk mendapatkan data primer melalui wawancara tatap muka maka informan telah ditentukan secara sengaja, artinya dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa informan mengetahui secara baik tentang kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dalam penertiban PKL di PKOR Way Halim. 2. Data Sekunder menurut Lofland dalam (Moleong, 2006:157) merupakan

data yang diperlukan dalam penelitian untuk melengkapi informan yang diperoleh dari data primer. Data sekunder dapat berupa naskah, dokumen resmi dan sebagaimya yang menunjang penelitian ini. Data sekunder yang didapat pada penelitian berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.


(56)

Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang diterapkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

(Subagyo, 2011: 62-63) yaitu metode pengumpulan data yang yang dilakukan melalui wawancara yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkap pertanyaan-pertanyaan pada para responden, wawancara bermakna berhadapan langsung antara interviews dengan responden dan kegiatannya di lakukan secara lisan.

Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informan dengan cara bertatap muka langsung dengan informan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti dengan menggunakan metode wawancara mendalam, terperinci, dan gambaran jelas mengenai kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dalam penertiban PKL di PKOR Way Halim.

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tanya jawab dengan informan yakni sebagai berikut

1) Bidang Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat, 2) Bidang Penegak Perundang-Undangan Daerah,


(57)

4) Pedagang soto di PKOR Way Halim, 5) Pedagang mie ayam di PKOR Way Halim, 6) Pedagang bakso malang di PKOR Way Halim, 7) Pedagang minuman di PKOR Way Halim.

2. Observasi

(Subagyo, 2011: 62-63) bentuk alat pengumpulan data yang lain dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan, observasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitiaan, mengingat setiap penelitian tidak menggunakan alat pengumpul data demikian, observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, observasi yang dimaksud adalah mengamati kinerja Satpol PP yang bertugas dalam pengawasan di PKOR kepada PKL. Observasi dilakukan pada tanggal 18 September sampai dengan 3 Oktober pada pukul 15:00 – 16:00 WIB.

(Nawawi, 1993 :7) yang akan di lakukan penulis adalah observasi langsung yaitu mengumpulkan data langsung melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana peristiwa terjadi. (Nawawi, 1993 :7-9) observasi tidak langsung yaitu pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek


(58)

penelitian yang pelaksanaannya tidak langsung di tempat atau pada saat peristiwa.

Dalam penelitian ini kegiatan pengamatan yang dilakukan tanpa peran serta pengamat, dimana pengamat hanya melakukan pengamatan pada kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dalam penertiban Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim.

3. Dokumentasi

(Mashyuri dan Zainudin, 2008 :28) dokumentasi adalah kegiatan peneliti menggunakan dokumen, bisa resmi maupun tidak. Berdasarkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, dokumentasi yaitu bisa berupa bukti-bukti kinerja Satpol PP dalam pelaksanaan penertiban PKL di PKOR Way Halim. Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang telah dirumuskan, meliputi surat tugas penertiban di PKOR Way Halim, peraturan-peraturan, arsip-arsip, dan catatan resmi. Teknik pengumpulan data ini, untuk melengkapi data tentang kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam penertiban padagang kaki lima di PKOR Way Halim

G. Teknik Pengolahan Data

Setelah data diperoleh dari lapangan dan terkumpul semua maka tahap selanjutnya adalah mengolah data tersebut. Pengolahan data meliputi tahapan sebagi berikut :


(59)

1. Editing, yaitu kegiatan memeriksa data yang terkumpul dan memeriksa kelengkapan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan guna menghindari kekeliruan dan kesalahan penulisan, sehingga akan mendukung proses penelitian selanjutnya. Data yang diedit dalam penelitian ini berupa data hasil wawancara dengan Aparatur Satpol PP Provinsi Lampung dan PKL di PKOR Way Halim.

2. Interpretasi, yaitu mendeskripsikan hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti dari lokasi penelitian berupa data primer dan kemudian diinterpretasikan untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan sebagai hasil penelitian. Interpretasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan menjabarkan kesimpulan yang didapat dari hasil wawancara.

H. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan sejumlah langkah sebagai berikut :

1) Reduksi Data

(Sugiyono, 2012) data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu harus segera dilakukan analisi data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan


(60)

memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik.

2) Penyajian Data

(Sugiyono, 2012) setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

3) Verifikasi Data

(Sugiyono, 2012) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data dan berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredible.


(61)

I. Keabsahan Data

Untuk mendapatkan keabsahan data maka penulis menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data, yaitu dengan menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik untuk memeriksa data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding. Teknik yang paling banyak digunakan adalah memeriksa sumber-sumber lainnya. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang diidepan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu

4. Membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi yang berkaitan.

Maka dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan yang terperinci mengenai permasalahan penelitian mengenai Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Lampung dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di PKOR Way Halim.


(62)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Satuan Polisi Pamong Praja

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai Pemerintahan Daerah yang didalamnya terdapat pasal 148 mengenai Polisi Pamong Praja, dimana dalam UU tersebut dijelaskan bahwa Polisi Pamong Praja adalah Perangkat Daerah yang membantu tugas Kepala Daerah dalam rangka menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah.

Keberadaan Polisi Pamong Praja dimulai pada era Kolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both, bahwa kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan. Karena pada waktu itu Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari penduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan ketenteraman dan keamanan. Untuk menyikapi hal tersebut maka dibentuklah Bailluw, semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga, serta menjaga ketertiban dan ketenteraman warga.


(63)

Kemudian pada masa kepemimpinan Raaffles, dikembangkanlah Bailluw dengan dibentuk satuan lainnya yang disebut Besturss Politieatau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di Tingkat Kawedanan, yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman serta keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan Jepang Organisasi polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dan peran dan fungsinya bercampur baur dengan Kemiliteran.

Pada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung Keberadaan Polisi Pamong Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948, di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pembentukan yang pertama pada tanggal 30 Oktober 1948 dari jawatan Praja Derah Istimewa Yogyakarta

dengan nama “Detasemen Polisi Penjaga Keamanan Kapanewon”. Satuan

Polisi Pamong Praja, disingkat Satpol PP, adalah perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah, sedangkan di Daerah Kabupaten/Kota, Satuan Polisi Pamong Praja


(64)

dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. Polisi Pamong Praja didirikan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret1950 moto Praja Wibawa, untuk mewadahi sebagian ketugasan pemerintah daerah.

Sebenarnya ketugasan ini telah dilaksanakan pemerintah sejak zaman kolonial. Sebelum menjadi Satuan Polisi Pamong Praja setelah proklamasi kemerdekaan dimana diawali dengan kondisi yang tidak stabil dan mengancam NKRI, dibentuklah Detasemen Polisi sebagai Penjaga Keamanan Kapanewon di Yogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat. Pada tanggal 10 November 1948, lembaga ini berubah menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja. Di Jawa dan Madura Satuan Polisi Pamong Praja dibentuk tanggal 3 Maret 1950. Inilah awal mula terbentuknya Satpol PP.

Oleh sebab itu, setiap tanggal 3 Maret ditetapkan sebagai hari jadi Satuan Polisi Pamong Praja dan diperingati setiap tahun. Pada Tahun 1960, dimulai pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja di luar Jawa dan Madura, dengan dukungan para petinggi militer /Angkatan Perang. Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya untuk membedakan dari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalam UU No 13/1961 tentang Pokok-pokok Kepolisian. Tahun 1963 berubah nama lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja.


(65)

Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak pemberlakuan UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Pasal 86 (1) disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi. Saat ini UU 5/1974 tidak berlaku lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.

B. Pergantian Nama Satuan Polisi Pamong Praja

Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama, adapun secara rinci perubahan nama dari Polisi Pamong Praja dapt dikemukakan sebagai berikut :

1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 didrikanlah Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewon yang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja.

2. Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.

3. Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar Baya.


(66)

4. Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja.

5. Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.

6. Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.

7. Terakhir dengan diterbitkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memperkuat Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagi pembantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum dan ketenteraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Meskipun keberadaan kelembagaan Polisi Pamong Praja telah beberapa kali mengalami perubahan baik struktur organisasi maupun Nomenklatur, yang kemungkinan dikemudian hari masih berpeluang untuk berubah, namun secara subtansi tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja tidak mengalami perubahan yang berarti.

C. Tugas, Pokok, dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja

Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.6 Tahun 2010, Satuan Polisi Pamong Praja memiliki tugas menegakkan Peraturan Daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah


(67)

Republik Indonesia No.6 Tahun 2010, Satuan Polisi Pamong Praja berwenang :

1. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Peraturan Kepala Daerah.

2. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang menggangu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

3. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat.

4. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga mayarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Peraturan Kepala Daerah.

5. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Peraturan Kepala Daerah.

Adapun beberapa fungsi dari satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.6 Tahun 2010, yaitu :

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan peraturan daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.

b. Pelaksanaan kebijakan penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah.


(68)

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat.

e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya.

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh kepala daerah. Adapun syarat

untuk menjadi Satuan Polisi Pamong Praja : 1) Pegawai negeri sipil;

2) berijazah sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau yang setingkat;

3) Tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm (seratus enam puluh sentimeter) untuk laki-laki dan 155 cm (seratus lima puluh lima sentimeter) untuk perempuan;

4) Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun; 5) Sehat jasmani dan rohani; dan

6) Lulus Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja. Polisi Pamong Praja diberhentikan karena:

1. Alih tugas;

2. Melanggar disiplin Polisi Pamong Praja;

3. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan/atau


(1)

kocek dalam-dalam untuk menikmati berbagai wahana permainan yang biasa dijumpai di tempat wisata kenamaan di Kota Tapis Berseri. PKOR Way Halim yang terletak di ruas Jl. Sultan Agung, setiap tahun mengadakan hajat besar tingkat provinsi. Yaitu gelaran Lampung Fair, yang unik adalah disini telah berjajar rapih rumah-rumah adat tiap Kabupaten Kota di Provinsi Lampung yang dibuat permanen dan dikenal dengan istilah anjungan. Bukan rumah-rumahan alakadarnya, namun sengaja dibuat sebagus-bagusnya dan mencerminkan kabupaten nya.

Jadi pada dasarnya jika anda datang ke Lampung Fair, anda bisa melihat sekaligus mengetahui berbagai hal tentang semua Kabupaten Kota di Provinsi Lampung, tanpa harus bersusah payah berkeliling. Karena di PKOR Way Halim Bandar Lampung, anda juga bisa menikmati makanan khas, busana adat bahkan kehidupan tradisional yang ada hanya dalam satu kawasan terpadu.

Namun ironisnya, kawasan hutan kota yang berada di dekat lapangan perak PKOR Way Halim, juga tampak tidak terawat. Kawasan tersebut justru menjadi tempat pembuangan sampah. Di beberapa sudut lainnya, ada pula yang menjadi tempat pembuangan sisa-sisa bangunan yang ditumpuk. Padahal, seharusnya kawasan taman hutan kota di PKOR ini bisa menjadi alternatif ruang terbuka hijau di Bandar Lampung.


(2)

84

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1) Kinerja yang dilakukan Satpol PP Provinsi Lampung dalam penertiban PKL dengan cara: 1) produktivitas , dalam melakukan kinerja ini dapat mengetahui seberapa besar pelayanan yang dilakukan Satpol PP terhadap masyarakat. 2) kualitas pelayanan, dalam melakukan kinerja ini Satpol PP dapat menjelaskan kinerja Satpol PP terhadap masyarakat. 3) responsivitas, kinerja ini tidak dilakukan dikarenakan dalam penertiban PKL di Provinsi Lampung selalu melakukan dialog dengan PKL untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan para PKL serta kenyamanan bagi masyarakat. 4) responsibilitas, dalam kinerja ini Satpol PP melakukan kegiatan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan sesuai dengan kebijakan Satpol PP itu sendiri. 5) akuntabilitas, kinerja ini berhubungan dengan kepatuhan Satpol PP menjalankan tugas sesuai perintah atasan. Dari ke lima indikator di atas, yang berjalan dengan efektif adalah produktivitas, responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas. Sedangkan kualitas pelayanan tidak berjalan dengan efektif.


(3)

2) Kinerja Satpol PP Provinsi Lampung dalam penataan PKL di PKOR Way Halim adalah penertiban dan sosialisasi. Penertiban dilakukan dengan bekerjasama berbagai instansi pemerintah daerah. Sosialisasi dilakukan sebagai fungsi Satpol PP selain tugas pokoknya adalah penertiban, sehingga anggota Satpol PP harus bisa berkomunikasi dengan baik dengan PKL. Satpol PP melakukan penertiban apabila PKL melanggar aturan. Tetapi pada kenyataan nya sosialisasi itu tidak dilakukan, Satpol PP Provinsi hanya sebatas menegur PKL yang dirasa mengganggu ketertiban umum saja.

3) Kendala-kendala yang dihadapi Satpol PP dalam penertiban PKL di Provinsi Lampung berasal dari 1) faktor internal berupa keterbatasan anggota dan sarana, prasarana dan 2) faktor eksternal berupa Pedagang Kaki Lima kurang memahami Perda tentang PKL.

B. SARAN

Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, saran peneliti adalah sebagai berikut:

1) Perlunya penyuluhan atau sosialisasi secara intensif tentang Perda mengenai PKL dan Satpol PP walaupun bukan tugas pokoknya, karena masih banyak PKL kurang memahami Perda tersebut sehingga masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan.


(4)

86

2) Perlunya pihak Satpol PP Provinsi Lampung melakukan pendekatan dengan para PKL agar terjalinnya hubungan yang baik serta pandangan yang baik dari PKL serta masyarakat terkait kinerja Satpol PP Provinsi Lampung.


(5)

Daftar Pustaka

Basrowi, M. dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. PT Rineka Cipta :Jakarta.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Kencana: Jakarta.

Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja : Falsafah Teori dan Penerapannya. Pusataka Pelajar : Jakarta.

Dwiyanto, Agus. 2006. Reformasi Administrasi Publik di Indonesia. Pustaka Belajar : Yogyakarta.

Husaini, Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. PT. Bumi Aksara : Jakarta.

Fahmi, Irham. 2011. Manajemen Kinerja. Alfabet : Bandung.

Keban, Yeremias. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep,

Teori, dan Isu. Gava Media : Yogyakarta.

Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN : Yogyakarta.

Mahsun, Mohamad. 2009. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. UPP STIM YKPN : Yogyakarta.

Mangkunegara, Anwar Prabu A.A. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Remaja rosdakarya : Bandung.

Masyhuri dan Zainudin. 2008. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan

Aplikatif. PT Refika Aditama : Bandung.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Ramaja Rosdakarya : Bandung.

Morissan, dan Andy, Hamid Farid. 2012. Metode Penelitian Survei. Prenada Media Group : Jakarta.

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Penerbit GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS : Yogyakarta.

Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi. 1996. Penelitian Terapan. Penerbit GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS : Yogyakarta.


(6)

Prawirosentono, Suryadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan. BPFE UGM : Yogyakarta

Permadi, Gilang. 2007. Pedagang Kaki Lima, Riwayatmu Dulu, Nasimu Kini. Yudisthira : Jakarta.

Ratminto dan Winarsih Atik Septi. 2005. Manajemen Pelayanan. Penerbit Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Ruky, S. Ahmad. 2002. SistemManajemen Kinerja. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Subagyo, Joko. 2011. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta.

Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. CV Alfabeta : Bandung. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta :

Bandung.

Widodo, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Bayumedia Publishing : Malang.

Sumber Dokumen :

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja . Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2007 Tentang

Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Provinsi Lampung

Media

(http://www.saibumi.com/artikel-56781-lapak-liar-di-pkor-way-halim-bandar-lampung-dirobohkan.html)

Diakses pada tgl 31 maret 2015 pukul 10:30 wib

(http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/77559-miras-dijual-bebas) Diakses pada tgl 8 april 2015 pukul 13:15 wib