Difteri, Tren Global dan Regional

(1)

Difteri, Tren Global dan Regional

Oleh

Yuki Yunanda

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

MEDAN


(2)

Abstrak

Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan toxin yang dihasilkan oleh Corynebactrium diphtheriae. Difteri masih merupakan penyakit endemi pada negara didunia. Epidemi terakhir yang dilaporkan dan dicatat oleh WHO terjadi di Rusia ditahun 1990-an. Ancaman terjadinya epidemi difteri masih memungkinkan terjadi dan telah terjadi perubahan tren penyakit baik secara global maupun regional. Walaupun difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui program imunisasi, bukan berarti bagi yang telah mendapatkan imunisasi bebas dari penyakit ini. Laporan mengenai cakupan imunisasi didunia oleh WHO juga memberikan kecenderungan ini. Pencegahan dan persiapan menghadapi epidemi merupakan langkah yang penting untuk mencegah kejadian yang sama seperti di Rusia. Pencatatan dan pelaporan yang baik merupakan hal penting dalam memberantas dan mencegah penyakit difteri. Kata kunci: difteri, epidemiologi, epidemi, tren, global, regional.


(3)

Daftar Isi hal. Abstrak Daftar isi Daftar Tabel Daftar Gambar Kata Pengantar

1. Bab 1 Pendahuluan 2. Bab 2 Pembahasan

2.1.Definisi dan etiologi 2.2.Penularan

2.3. Epidemiologi 2.3.1. Tren global 2.3.2. Tren regional

2.3.3. Insidensi difteri pada negara maju

2.3.4. Insidensi difteri pada negara berkembang 2.4.Perkiraan jumlah kasus dan kematian akibat difteri 2.5.Pencegahan dan persiapan epidemi difteri

3. Kesimpulan Daftar Pustaka i ii iii iv v 1 2 2 2 2 2 3 5 6 7 8 10 11


(4)

Daftar Tabel

hal 1. Tabel 2.1 Jumlah kasus difteri yang dilaporkan oleh World Health

Organization (WHO) dari negara berkembang dan negara maju periode 1974-1994, berdasarkan laporan pada Maret 2006

2. Tabel 2.2 Siklus kejadian difteri di dunia periode abad 16-19

3. Tabel 2.3 Analisis faktor penentu kejadian myocarditis pada pasien difteri 4. Tabel 2.4 Perkiraan kasus dan kematian akibat difteri berdasarkan wilayah

(World Development Region)

5. Tabel 2.5 Angka cakupan imunisasi tiga dosis DPT regional dan global

3

4 6 8


(5)

Daftar Gambar

1. Gambar 2.1 Insidens tahunan kasus difteri yang dilaporkan oleh WHO berdasarkan wilayah, 1974-1994, laporan pada Maret 1996

2. Gambar 2.2 Status kekebalan berdasarkan umur sebelum dan sesudah vaksin digunakan secara luas

4

5


(6)

Bab 1 Pendahuluan

Difteri masih merupakan penyakit endemi di banyak negara di dunia. Awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi difteri pada negara bekas Uni Soviet dikarenakan kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemi yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemi masih terjadi dan menjalar ke negara tetangga tersebut.(1)

Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia >14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39000 kasus difteri dengan kematian 1100 kasus (CFR=2,82%). Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebesar 200 kasus, dan 50%-nya adalah anak berusia lebih dari 15 tahun.

Sebelum era vaksinasi, difteri masih merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi Difteri-Pertusis-Tetanus (DPT) pada tahun 1974 di Indonesia , maka kasus dan kematian akibat difteri berkurang sangat banyak. Angka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki dari rumah sakit dibeberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar dan Palembang rata-rata sebesar 15%.

(1-3)

(1)

Di RSUP Ujung Pandang didapati 39 kasus periode 1987-1989, sedangkan pada RSUP M. Jamil Padang dilaporkan 48 kasus pada periode tahun 1990-1992.(2) Berdasarkan suatu laporan di kota Semarang pada tahun 2003 dilaporkan 33 kasus.(1)


(7)

Bab 2 Pembahasan

2.1 Definisi dan etiologi

Difteri berasal dari bahasa Yunani yaitu diphtera = leather hide = kulit yang tersembunyi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae.(1-4) Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi akut dan menular yang ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala umum karena eksotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut.(1-6)

2.2 Penularan

Difteri merupakan penyakit kontagius, yang berarti penularan terjadi antara manusia tanpa ada keterlibatan vektor ataupun pembawa (vehicle).(5) Penularan terjadi bila pejamu kontak dengan carrier difteri, dan hanya menusia sebagai reservoir pada penyakit ini.(3,4) Basil langsung ditularkan dengan kontak langsung melalui batuk, bersin atau berbicara. Kontak tidak langsung dapat melalui debu, baju, kuku dan produk susu walaupun hal ini jarang.(4)

2.3 Epidemiologi 2.3.1 Tren global

Penyakit ini terdistribusi diseluruh dunia terutama negara miskin dan negara berkembang, yang penduduknya tinggal pada tempat permukiman yang rapat, higene dan sanitasi yang buruk dan fasilitas kesehatan yang kurang.(2) Walaupun demikian bukan berarti negara maju telah bebas dari penyakit difteri. Sejak tahun 1974 World Health Organization (WHO) telah melaporkan kejadian difteri dari banyak negara,


(8)

dan negara berkembang memberikan kontribusi penurunan kasus dari 87% kasus penyakit difteri diseluruh dunia pada tahun 1991 menjadi 13% pada tahun 1994 (tabel 2.1). Kejadian epidemi penyakit difteri didunia telah dilaporkan sejak abad ke 16 yang tejadi di Spanyol pada tahun 1583 (tabel 2.2).(4)

2.3.2 Tren regional

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada laporan insiden kasus difteri yang dikeluarkan oleh WHO berdasarkan wilayah (gambar 2.1). Sejak pertengahan tahun 1980-an, terjadi penurunkan kasus difteri yang terjadi hampir diseluruh dunia. Namun diawal 1990-an, terjadi peningkatan kasus kembali khususnya di Eropa dan Amerika.

Tabel 2.1 Jumlah kasus difteri yang dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) dari negara berkembang dan negara maju periode 1974-1994, berdasarkan laporan pada Maret 2006


(9)

Tabel 2.2 Siklus kejadian difteri di dunia periode abad 16-19

Gambar 2.1 Insidens tahunan kasus difteri yang dilaporkan oleh WHO berdasarkan wilayah, 1974-1994, laporan pada Maret 1996


(10)

2.3.3 Insidensi difteri pada negara maju

Penerapan program imunisasi dengan skala besar telah terbukti memberikan kontribusi yang besar pada penurunan penyakit difteri, dan difteri telah dapat dieliminasi pada beberapa negara lebih dari tiga dekade. Di beberapa negara Eropa tidak satu kasuspun dilaporkan lebih dari 10 tahun. Program imunisasi tidak hanya berhasil menurunkan insidensi dari kasus difteri, tetapi juga memberikan perubahan status kekebalan pada kelompok umur yang berbeda.

Tingkat kekebalan tubuh yang tinggi pada usia kanak-kanak memberikan hasil penurunan insidensi dari kasus difteri. Sedangkan pada kelompok usia dewasa tingkat kekebalan ini mulai menurun (gambar 2.2).

(3,4)

(4)

Hal ini menyebabkan orang dewasa menjadi lebih rentan terhadap penyakit difteri seperti yang dilaporkan Lumio pada tahun 2003 yang megakibatkan myocarditis (tabel 2.3).

Gambar 2.2 Status kekebalan berdasarkan umur sebelum dan sesudah vaksin digunakan secara luas

(3)


(11)

Tabel 2.3 Analisis faktor penentu kejadian myocarditis pada pasien difteri

2.3.4 Insidensi difteri pada negara berkembang

Difteri bukan merupakan masalah kesehatan yang besar pada negara berkembang. Hal ini dikarenakan status keekebalan tubuh terjaga secara alamiah, termasuk yang dikarenakan infeksi kulit oleh C. diphthriae. Keberadaan kasus penyakit difteri di negara berkembang bersifat endemik.

Perubahan sosio-ekonomi, terutama yang dikarenakan proses urbanisasi dan perubahan sosio-kultural, termasuk perubahan gaya hidup , juga telah mengubah pola penyakit ini menjadi lebih serius dan berbahaya. Algeria, Ekuador, Yordania, dan


(12)

Yaman telah melaporkan kejadian luar biasa dari penyakit difteri ini yang terjadi setelah 5-10 tahun cakupan imunisasi. Kejadian ini ditandai dengan case fatality rate (CFR) yang besar pada keompok usia remaja dan dewasa.

Sistem pelaporan yang tidak baik dan statistik yang tidak akurat dikarenakan kurang lengkapnya data yang didapat pada surveilen s, dan hanya didapat dari laporan rumah sakit.

(4,5)

Lengkapnya pelaporan berdasarkan atas dua elemen. Pertama, fasilitas kesehatan harus terjangkau dan digunakan oleh publik. Kedua fasilitas kesehatan harus melaporkan setiap kasus secara akurat dan teratur kepada otoritas kesehatan. Berdasarkan keseluruhan laporan dari 13 negara berkembang, kurang dari 10% effisiensi dari vaksin untuk mencegah penyakit, walaupun pekiraan ini bukan secara spesifik untuk kasus difteri. Dan yang lebih utama adalah membuat system surveilens yang lebih baik dalam mendeteksi penyakit sesuai dengan target.

(4)

(1,4)

2.4 Perkiraan jumlah kasus dan kematian akibat difteri

Jumlah kasus yang dilaporkan pada negara maju dianggap lebih akurat, dan diperkirakan paling tidak 60% kasus lengkap yang telah dilaporkan pada tahun1990. Sedangkan untuk negara maju dimana system pelaporan masih kurang baik, kurang dari 20% kasus difteri yang telah dilaporkan pada tahun yang sama.

Diasumsikan CFR dari kasus difteri berkisar 10% dari keseluruhan kasus yang terjadi di dunia pada tahun 1990 dari keseluruhan kasus difteri yaitu 11000 kasus (tabel 2.4). Sedangkan kemungkinan terjadi komplikasi berupa myocarditis berkisar 10% dan kebanyakan anak dibawah usia 5 tahun. Kelainan neurologi karena difteri


(13)

Tabel 2.4 Perkiraan kasus dan kematian akibat difteri berdasarkan wilayah (World Development Region)

2.5 Pencegahan dan persiapan epidemi difteri

Difteri toksoid merupakan satu dari tiga komponen yang terdapat dalam vaksin difteri-pertusis-tetanus (DPT).Imunisasi DPT diberikan kepada bayi pada bulan ke-2, 3, dan 4 sejak bay lahir.(1,4) Cakupan global tiga dosis imunisasi DPT berkisar 45% pada 1983, 83% pada 1990 dan menurun menjadi 81% pada 1995. Perlu diperhatikan bahwa nilai cakupan ini tentunya akan bervariasi sesuai wilayah regional dan pada negara tertentu (tabel 2.5).(4)


(14)

Tabel 2.5 Angka cakupan imunisasi tiga dosis DPT regional dan global

Setelah pemberian tiga dosis vaksin DPT, difteri level antitoksin difteri akan menurun secara bertahap. Pada negara maju lebih dari setengah orang dewasa megalami kekurangan imunitas terhadap difteri, dan dianjurkan untuk mendapat dosis booster difteri toksoid. Keadaan yang sama tidak terjadi dinegara berkembang. Hal ini dikarenakan terjadi paparan yang terus menerus dengan difteri kulit, dan tidak diajurkan untuk mendapat booster difteri toksoid.

Persiapan menghadapi epidemi merupakan isu yang penting yang diakibatkan epidemi yang dialami oleh Uni-Soviet. Manajemen epidemi difteri memerlukan perencanaan yang baik. Pada saat terjadinya epidemi, perhatian harus ditujukan pada penyediaan dan pengiriman vaksin yang cepat untuk populasi yang terjangkit. Pada keadaan epidemi yang menjangkiti banyak orang dewasa, imunisasi missal harus dilakukan untuk orang dewasa yang memiliki risiko tinggi, termasuk juga tenaga kesehatan, guru dan militer.

(1,4)


(15)

Kesimpulan Bab 3

Difteri merupakan penyakit infeksi menular yang dapat menjangkiti seluruh kelompok umur. Berdasarkan laporan yang telah ada, bahwa kejadian epidemi difteri memungkinkan untuk terjadi kembali didunia.

Berdasarkan laporan terakhir bahwa terjadi perubahan pola penyakit, yaitu penyakit difteri pada awalnya berdampak buuruk pada negara yang berkembang, kini terjadi pada negara yang maju. Kejadian kasus difteri pada negara berkembang masih bersifat endemi. Haltersebut dikarenakan paparan yang terjadi secara terus menerus melalui kulit.

Pencegahan terhadap penyakit difteri yang terpenting untuk dilakukan, yaitu pemberian tiga dosis imunisasi DPT pada tahun pertama kehidupan. Pada negara maju dianjurkan bagi orang dewasa untuk diberikan booster difteri toksoid untuk menjaga cakupan kekebalan tubuh tetap optimal, sedangkan pada negara berkembang tidak dianjurkan untuk mendapat booster bagi orang dewasa.


(16)

Daftar Pustaka

1. Widoyono. Penyakit tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2008. hal

2. Acang N. Difteri. Dalam: Noer HMS, Waspaji S, Rachman AM, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H.(editor). Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.; 1996.hal. 483

3. Lumio J. Studies on the Epidemiological and Clinical Characteristics of Diphtheria during of Russian Epdidemic of the 1990’s. PhD dissertation. University of Tampere. Tampere ;2003

4. Galazka AM, Robertson SE. Diphtheria. Dalam: Murray CJL, Lopez AD, Mathers CS.(editor) The global epidemiology of infectious disease. WHO. Newton, MA: Deigital Design Group; 2004.hal.55-70

5. Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom T. Basic epidemiology. 2nd

6. Sharma NC, Banavaliker JN, Ranjan R, Kumar R. Bacteriological & epidemiological characteristics of diphtheria cases in & around Delhi – A retrospective study. Indian J Medicine [online] 2007;126: hal. 545-552. Didapat dari: http://www.icmr.nic.in/ijmr/2007/december/1209.pdf [Diakses 20 Maret 2010]

ed. WHO; 2006.hal.117


(1)

Tabel 2.3 Analisis faktor penentu kejadian myocarditis pada pasien difteri

2.3.4 Insidensi difteri pada negara berkembang

Difteri bukan merupakan masalah kesehatan yang besar pada negara berkembang. Hal ini dikarenakan status keekebalan tubuh terjaga secara alamiah, termasuk yang dikarenakan infeksi kulit oleh C. diphthriae. Keberadaan kasus penyakit difteri di negara berkembang bersifat endemik.

Perubahan sosio-ekonomi, terutama yang dikarenakan proses urbanisasi dan perubahan sosio-kultural, termasuk perubahan gaya hidup , juga telah mengubah pola


(2)

Yaman telah melaporkan kejadian luar biasa dari penyakit difteri ini yang terjadi setelah 5-10 tahun cakupan imunisasi. Kejadian ini ditandai dengan case fatality rate

(CFR) yang besar pada keompok usia remaja dan dewasa.

Sistem pelaporan yang tidak baik dan statistik yang tidak akurat dikarenakan kurang lengkapnya data yang didapat pada surveilen s, dan hanya didapat dari laporan rumah sakit.

(4,5)

Lengkapnya pelaporan berdasarkan atas dua elemen. Pertama, fasilitas kesehatan harus terjangkau dan digunakan oleh publik. Kedua fasilitas kesehatan harus melaporkan setiap kasus secara akurat dan teratur kepada otoritas kesehatan. Berdasarkan keseluruhan laporan dari 13 negara berkembang, kurang dari 10% effisiensi dari vaksin untuk mencegah penyakit, walaupun pekiraan ini bukan secara spesifik untuk kasus difteri. Dan yang lebih utama adalah membuat system surveilens yang lebih baik dalam mendeteksi penyakit sesuai dengan target.

(4)

(1,4)

2.4 Perkiraan jumlah kasus dan kematian akibat difteri

Jumlah kasus yang dilaporkan pada negara maju dianggap lebih akurat, dan diperkirakan paling tidak 60% kasus lengkap yang telah dilaporkan pada tahun1990. Sedangkan untuk negara maju dimana system pelaporan masih kurang baik, kurang dari 20% kasus difteri yang telah dilaporkan pada tahun yang sama.

Diasumsikan CFR dari kasus difteri berkisar 10% dari keseluruhan kasus yang (4)


(3)

Tabel 2.4 Perkiraan kasus dan kematian akibat difteri berdasarkan wilayah (World Development Region)

2.5 Pencegahan dan persiapan epidemi difteri

Difteri toksoid merupakan satu dari tiga komponen yang terdapat dalam vaksin difteri-pertusis-tetanus (DPT).Imunisasi DPT diberikan kepada bayi pada bulan ke-2, 3, dan 4 sejak bay lahir.(1,4) Cakupan global tiga dosis imunisasi DPT berkisar 45% pada 1983, 83% pada 1990 dan menurun menjadi 81% pada 1995. Perlu diperhatikan bahwa nilai cakupan ini tentunya akan bervariasi sesuai wilayah regional dan pada negara tertentu (tabel 2.5).(4)


(4)

Tabel 2.5 Angka cakupan imunisasi tiga dosis DPT regional dan global

Setelah pemberian tiga dosis vaksin DPT, difteri level antitoksin difteri akan menurun secara bertahap. Pada negara maju lebih dari setengah orang dewasa megalami kekurangan imunitas terhadap difteri, dan dianjurkan untuk mendapat dosis booster difteri toksoid. Keadaan yang sama tidak terjadi dinegara berkembang. Hal ini dikarenakan terjadi paparan yang terus menerus dengan difteri kulit, dan tidak diajurkan untuk mendapat booster difteri toksoid.

Persiapan menghadapi epidemi merupakan isu yang penting yang diakibatkan epidemi yang dialami oleh Uni-Soviet. Manajemen epidemi difteri memerlukan perencanaan yang baik. Pada saat terjadinya epidemi, perhatian harus ditujukan pada penyediaan dan pengiriman vaksin yang cepat untuk populasi yang terjangkit. Pada keadaan epidemi yang menjangkiti banyak orang dewasa, imunisasi missal harus dilakukan untuk orang dewasa yang memiliki risiko tinggi, termasuk

(1,4)


(5)

Kesimpulan Bab 3

Difteri merupakan penyakit infeksi menular yang dapat menjangkiti seluruh kelompok umur. Berdasarkan laporan yang telah ada, bahwa kejadian epidemi difteri memungkinkan untuk terjadi kembali didunia.

Berdasarkan laporan terakhir bahwa terjadi perubahan pola penyakit, yaitu penyakit difteri pada awalnya berdampak buuruk pada negara yang berkembang, kini terjadi pada negara yang maju. Kejadian kasus difteri pada negara berkembang masih bersifat endemi. Haltersebut dikarenakan paparan yang terjadi secara terus menerus melalui kulit.

Pencegahan terhadap penyakit difteri yang terpenting untuk dilakukan, yaitu pemberian tiga dosis imunisasi DPT pada tahun pertama kehidupan. Pada negara maju dianjurkan bagi orang dewasa untuk diberikan booster difteri toksoid untuk menjaga cakupan kekebalan tubuh tetap optimal, sedangkan pada negara berkembang tidak dianjurkan untuk mendapat booster bagi orang dewasa.


(6)

Daftar Pustaka

1. Widoyono. Penyakit tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2008. hal

2. Acang N. Difteri. Dalam: Noer HMS, Waspaji S, Rachman AM, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H.(editor). Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.; 1996.hal. 483

3. Lumio J. Studies on the Epidemiological and Clinical Characteristics of Diphtheria during of Russian Epdidemic of the 1990’s. PhD dissertation. University of Tampere. Tampere ;2003

4. Galazka AM, Robertson SE. Diphtheria. Dalam: Murray CJL, Lopez AD, Mathers CS.(editor) The global epidemiology of infectious disease. WHO. Newton, MA: Deigital Design Group; 2004.hal.55-70

5. Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom T. Basic epidemiology. 2nd

6. Sharma NC, Banavaliker JN, Ranjan R, Kumar R. Bacteriological & epidemiological characteristics of diphtheria cases in & around Delhi – A retrospective study. Indian J Medicine [online] 2007;126: hal. 545-552. Didapat dari: http://www.icmr.nic.in/ijmr/2007/december/1209.pdf

[Diakses 20 Maret 2010]

ed. WHO; 2006.hal.117