Efektivitas Metopren dan kelainan morfologi pada larva Culex quinquefasciatus

EFEKTIVITAS METOPREN DAN KELAINAN MORFOLOGI
PADA LARVA Culex quinquefasciatus

IWAN SAEPUDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas Metopren
dan Kelainan Morfologi pada Larva Culex quinquefasciatus” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari hasil karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014
Iwan Saepudin
NIM B04100132

ABSTRAK
IWAN SAEPUDIN. Efektivitas Metopren dan Kelainan Morfologi pada Larva
Culex quinquefasciatus. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan
SUPRIYONO.
Cx. quinquefasciatus merupakan nyamuk yang sering mengganggu di sekitar
permukiman. Nyamuk ini menjadi vektor beberapa penyakit penting di antaranya
Japanese Encephalitis dan filariasis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
efektivitas metopren sebagai larvasida Cx. quiquefasciatus. Penelitian dilakukan
terhadap larva Cx. quinquefasciatus instar ke-3 dengan konsentrasi bertingkat
mulai dari 0.0108 g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L, 0.0433 g/L, dan 0.0541 g/L. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kematian larva/pupa Cx. quinquefasciatus setelah
120 jam paparan adalah 66.8% pada konsentrasi 0.0108 g/L, 87.2% (0.0217 g/L),
90.4% (0.0325 g/L), 96% (0.0433 g/L), dan 99.2% (0.0541 g/L). Hal ini berarti
konsentrasi metopren yang efektif adalah mulai dari 0.0217 g/L–0.0541 g/L. Hasil
pengamatan metopren terhadap konsentrasi dan waktu paparan yang sama pada
larutan residu berumur 720 jam menunjukkan hasil yang tidak efektif karena

kematian larva/pupa di bawah 80% pada semua konsentrasi. Kelainan morfologi
yang terjadi pada larva dan pupa setelah terpapar metopren berupa (1) kerusakan
tubuh larva sebanyak 2%, (2) kerusakan abdomen pupa (12%), (3) kekakuan pada
tubuh pupa (76%), dan (4) kegagalan eklosi pada pupa (10%).
Kata kunci : Culex quinquefasciatus, efektivitas larvasida, metopren

ABSTRACT
IWAN SAEPUDIN. Efficacy Methoprene and Morphological Abnormalities of
Culex quinquefasciatus Larvae. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and
SUPRIYONO.
Cx. quinquefasciatus is important ectoparasite that often interfere
settlements. This species is the vector of several important diseases including
Japanese Encephalitis and Filariasis. The aim of this study was to determine the
efficacy of the larvacides methoprene to Cx. quiquefasciatus. The test conducted
to Cx. quinquefasciatus 3rd instar larvae with gradual concentrations from 0.0108
g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L, 0.0433 g/L, and 0.0541 g/L. The result showed that
the mortality of Cx. quinquefasciatus larvae/pupae after 120 hours of exposure
were 66.8% at 0.0108 g/L concentration, 87.2% (0.0217 g/L), 90.4% (0.0325
g/L), 96% (0.0433 g/L), and 99.2% (0.0541 g/L). This suggests that the effective
concentration of methoprene was ranging from 0.0217g/L–0.0541g/L. The

observation on the same concentrations and exposure time of methoprene at 720
hours age residual solution was not effective to kill larvae/pupae because the
mortality was less than 80% of all concentrations. The morphological
abnormalities of the larvae and the pupae after methoprene exposure were (1)
damaged of larvae bodies was 2%, (2) damaged of pupae abdomen (12%), (3)
pupae with a rigid body (76%), and (4) failed eclotion of pupae (10%).
Keyword : Culex quinquefasciatus, efficacy of larvacide, methoprene

EFEKTIVITAS METOPREN DAN KELAINAN MORFOLOGI
PADA LARVA Culex quinquefasciatus

IWAN SAEPUDIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi karena atas curahan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Efektivitas Metopren dan Kelainan Morfologi pada Larva Culex quinquefasciatus.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dalam memperoleh
gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penulisan skripsi ini:
1 Kedua orangtua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan doa serta
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2 Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing I dan Drh
Supriyono, MSi selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan membimbing
dan memberikan pengarahan, kritik, dan saran kepada penulis selama
penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini selesai.
3 Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan banyak motivasi dan saran kepada penulis
selama masa perkuliahan.
4 Seluruh staf Bagian Entomolgi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan
dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
5 Teman-teman seperjuangan Acromion FKH-47 yang telah memberikan
semangat dan warna-warni selama kuliah di kampus ungu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat berguna khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca, serta untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dibidang kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, Desember 2014

Iwan Saepudin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Nyamuk Cx. quinquefasciatus
Zat Pengatur Tumbuh Serangga (Insect Growth Regulator)
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas Larva/Pupa Cx. quinquefasciatus terhadap Metopren yang
Dilarutkan Selama 24 Jam
Mortalitas Larva/Pupa Cx. quinquefasciatus terhadap Metopren yang
Dilarutkan Selama 720 Jam (30 Hari)
Bentuk Kelainan Morfologi Stadium Pradewasa Cx. quinquefasciatus
yang Terpapar Metopren
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
1
1
2
2
2
2
5
6
6
6
7
7
7
8

10
12
12
13
13
16

DAFTAR TABEL
1 Persentase kematian larva/pupa Cx. quinquefasciatus setelah terpapar
residu metopren berumur 24 jam
2 Persentase kematian larva/pupa Cx. quinquefasciatus setelah terpapar
residu metopren berumur 720 jam (30 hari)

7
9

DAFTAR GAMBAR
1 Nyamuk Cx. quinquefasciatus dewasa
2 Siklus hidup nyamuk
3 LT50 dan LT90 metopren yang dilarutkan selama 24 Jam terhadap

larva/pupa Cx. quinquefasciatus
4 LT50 dan LT90 metopren yang dilarutkan selama 720 Jam terhadap
larva/pupa Cx. quinquefasciatus.
5 Bentuk-bentuk larva dan pupa normal, serta kelainan yang terjadi
setelah terpapar metopren

2
3
8
9
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyamuk merupakan serangga yang banyak terdapat di lingkungan sekitar
permukiman. Genangan air di sekitar rumah merupakan habitat potensial nyamuk.
Keberadaan nyamuk di lingkungan dapat mengganggu karena mengisap darah dan
berperan sebagai vektor penyakit. Jenis-jenis nyamuk tersebut diantaranya adalah
Aedes sp., Culex sp., dan Anopheles sp..
Nyamuk rumah atau Cx. quinquefasciatus merupakan vektor Japanese

Encephalitis (JE) (Hadi et al. 2011) dan filariasis atau kaki gajah (Foster dan
Walker 2002). Kasus JE di Indonesia pada tahun 2005 hingga 2006 yang
dikonfirmasi positif tercatat sebanyak 67 kasus. Kasus tersebut tersebar di 6
provinsi yaitu, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua (PATH 2006). Kasus filariasis sejak
tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan sebanyak 11 914 kasus yang tersebar di 401
kabupaten/kota di Indonesia (Kemenkes 2010). Selain kedua penyakit tersebut,
Cx. quinquefasciatus juga berperan sebagai vektor dirofilariasis atau penyakit
cacing jantung pada anjing (Elmer dan Glenn 1989).
Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan nyamuk yang mempunyai
aktivitas menggigit pada malam hari dengan puncaknya pada jam 22.00–02.00.
Larva nyamuk ini dapat ditemukan pada habitat seperti saluran air yang kotor,
septiktank, dan got (Hadi dan Koesharto 2006). Pengendalian nyamuk Cx.
quinquefasciatus dapat dilakukan secara biologis dan kimiawi. Pengendalian
secara biologis dapat menggunakan musuh alami atau predator sebagai pemangsa,
sedangkan pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida
kimiawi. Pengendalian menggunakan insektisida kimiawi banyak dilakukan
karena mudah didapat dan bekerja cepat membunuh serangga sasaran.
Beberapa golongan insektisida kimiawi yang sering digunakan dalam
pengendalian nyamuk adalah organofosfat, karbamat, piretroid, dan Insect growth

regulator (IGR) (Hadi dan Koesharto 2006). Senyawa yang termasuk ke dalam
IGR satu diantaranya adalah metopren. IGR merupakan zat pengatur tumbuh
serangga yang berperan dalam mengganggu atau menghambat pertumbuhan
normal serangga. Pertumbuhan yang tidak normal ditandai dengan perpanjangan
stadium larva atau kegagalan menjadi pupa atau menjadi dewasa mandul. IGR
sering digunakan dalam pengendalian serangga karena toksisitas pada mamalia
umumnya sangat rendah. Selain itu, kerja IGR adalah mengganggu proses
pertumbuhan yang spesifik pada serangga sasaran. Senyawa IGR bekerja dengan
menghambat sintesa kitin dan hormon juvenoid. Hormon ini merupakan senyawa
yang menghambat proses pergantian kulit (molting) pada stadium pradewasa
(Wirawan 2006).
Pemanfaatan insektisida IGR metopren sebagai larvasida dalam
pengendalian terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus perlu dilakukan uji efikasi
terlebih dahulu. Uji ini bertujuan mengukur efektivitas insektisida tersebut
terhadap serangga sasaran. Penggunaan insektisida kimiawi yang tidak tepat
sasaran dapat menimbulkan beberapa efek, yaitu resistensi terhadap serangga,

2
resurjensi, pencemaran lingkungan, residu insektisida, dan dapat menekan
perkembangan musuh alami hama (Metcalf 1982).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas metopren terhadap larva
nyamuk Cx. quinquefasciatus.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi efektivitas
insektisida IGR sebagai larvasida nyamuk Cx. quinquefasciatus.

TINJAUAN PUSTAKA
Nyamuk Cx. quinquefasciatus
Klasifikasi
Cx. quinquefasciatus atau sering disebut nyamuk rumah termasuk ke dalam
famili Culicidae. Penyebaran nyamuk ini bersifat kosmopolit atau terdapat di
seluruh dunia mulai dari tropis sampai subtropis. Menurut Clements (1963),
klasifikasi Cx. quinquefasciatus adalah sebagai berikut:
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diptera
Subordo
: Nematocera
Famili
: Culicidae
Subfamili
: Culicinae
Genus
: Culex
Spesies
: Culex quinquefasciatus

Gambar 1 Nyamuk Cx. quinquefasciatus dewasa (UF 2009)

3
Morfologi
Cx. quinquefasciatus adalah nyamuk berukuran sedang dengan panjang
sayap kurang dari 4 mm dan mempunyai 3 pasang kaki yang panjang keluar dari
daerah toraks (Depkes 2008). Tubuh Cx. quinquefasciatus dibagi menjadi 3
bagian yaitu kepala, dada (toraks), dan perut abdomen. Panjang tubuh nyamuk Cx.
quinquefasciatus berkisar antara 10–15 mm, dengan tubuh dan kaki berwarna
coklat. Perangkat mulut nyamuk Cx. quinquefasciatus betina dewasa membentuk
probosis (alat pengisap darah) dan panjang pedipalpus nyamuk betina biasanya
hanya ¼ dari panjang probosis (Taylor et al. 2007).
Cx. quinquefasciatus mempunyai sepasang antena dengan 14–15 segmen
yang nyata. Nyamuk betina mempunyai bulu antena yang jarang (pilose),
sedangkan nyamuk jantan bulu antenanya panjang dan lebat (plumose). Nyamuk
dewasa genus Culex istirahat dengan posisi menyudut dan posisi abdomen
mengarah pada permukaan (Elmer dan Glenn 1989). Nyamuk Cx.
quinquefasciatus memiliki 2 pasang sayap tembus cahaya, serta urat-urat sayap
yang sangat jelas terlihat. Pasangan sayap pertama tipis sedangkan pasangan
sayap kedua sangat kecil dan disebut dengan halter atau balancer yang berfungsi
sebagai alat keseimbangan tubuh sewaktu terbang (Hadi dan Soviana 2010).
Siklus Hidup dan Perilaku
Nyamuk Cx. quinquefasciatus mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola). Daur hidupnya terdiri atas 4 stadium dimulai dari telur, larva,
pupa, dan dewasa. Fase telur, larva, dan pupa merupakan fase akuatik, sedangkan
nyamuk dewasa merupakan fase terestrial. Telur Cx. quinquefasciatus diletakkan
oleh induk nyamuk secara berderet-deret membentuk suatu rakit kecil (Elmer dan
Glennn 1989). Telur berwarna coklat berbentuk oval dengan ukuran panjang
kurang lebih 1 mm. Telur Cx. quinquefasciatus menetas dalam waktu 12–24 jam
dan kemudian menjadi larva (Clements 2000).

Terestrial

Akuatik

Telur

Larva

Dewasa
Akuatik

Akuatik
Pupa

Gambar 2 Siklus hidup nyamuk (CDC 2012)

4
Stadium larva Cx. quinquefasciatus mengalami 4 instar dimana setiap instar
terjadi pergantian kulit (molting). Larva Cx. quinquefasciatus akan berubah
menjadi pupa dan selanjutnya menjadi dewasa. Tahap pupa merupakan fase
pradewasa dimana akan terbentuk organogenesis nyamuk dewasa dan pada fase
ini pupa tidak makan. Pupa akan menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 24–48
jam dengan fenomena eklosi, yaitu keluarnya nyamuk dewasa dari kulit pupa.
Nyamuk dewasa yang muncul akan melakukan perkawinan kemudian mencari
darah vertebrata (Clements 2000). Nyamuk Cx. quinquefasciatus bersifat
antropofilik dan anautogeni, artinya hanya nyamuk betina dewasa saja yang
mengisap darah manusia maupun hewan dengan tujuan untuk mematangkan selsel telur.
Peran Nyamuk Cx. quinquefasciatus
Penularan penyakit oleh vektor nyamuk Cx. quinquefasciatus dapat terjadi
melalui gigitan. Cx. quinquefasciatus berperan sebagai vektor beberapa penyakit
penting pada manusia yaitu Japanese Enchepalitis, Saint Louis Encephalitis, West
Nile Virus (CDC 2009), dan filariasis. Selain itu, nyamuk Cx. quinquefasciatus
juga berperan menularkan penyakit cacing jantung pada anjing (Dirofilariasis)
(Hadi dan Koesharto 2006).
Filariasis atau kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing
Wucericia bancrofti dengan vektor nyamuk Cx. quinquefasciatus. Cacing tersebut
hidup dalam saluran dan kelenjar getah bening. Manifestasi gejala akut berupa
demam berulang 3–5 hari dan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening.
Stadium lanjut menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan
alat kelamin (Palumbo 2008).
Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
flavivirus yang patogen pada manusia. Indonesia merupakan wilayah yang
endemis akan penyakit JE terutama di daerah Bali (Yamanka et al. 2010).
Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan vektor yang dapat menyebarkan virus
JE tersebut (OIE 2010). Penyakit ini memunculkan tanda klinis encephalitis pada
manusia yang terinfeksi dan dapat berujung pada kematian.
St. Louis Encephalitis (SLE) merupakan penyakit yang hampir mirip dengan
JE. Penyakit ini ditularkan oleh vektor nyamuk Cx. pipiens dan Cx.
quinquefasciatus ke burung-burung di sekitar permukiman yang menjadi inang
utamanya. Burung tesebut antara lain gereja rumah dan merpati. Virus SLE
berkembang dalam tubuh burung, namun infeksi virus ini tidak menunjukkan
gejala klinis. Penyakit SLE pada manusia akan menyebabkan kelumpuhan,
kehilangan memori, dan kerusakan keterampilan memori otak (Catherine et al.
2010).
West Nile Virus (WNV) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
dari golongan flavivirus. WNV ditularkan ke manusia melalui gigitan vektor
nyamuk Cx. quinquefasciatus dan akan masuk ke dalam tubuh melalui sistem
peredaran darah, selanjutnya virus ini akan mengganggu sistem saraf pusat.
Penyakit WNV pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1999 dan
kemudian penyakit ini menyebar ke Afrika, Asia Barat, Timur Tengah, dan
sebagian Eropa pada tahun 2003 (Donald et al. 2011).

5
Zat Pengatur Tumbuh Serangga (Insect Growth Regulator)
Insect growth regulator (IGR) atau disebut sebagai zat pengatur tumbuh
serangga merupakan insektisida mirip hormon tiruan yang mengatur pertumbuhan
pada siklus hidup pradewasa serangga. IGR terbagi ke dalam 2 kelas yaitu: (1)
Juvenile hormone analog dan (2) Chitin synthesis inhibitor (KemenKes 2012).
Juvenile hormone analog pertama kali diekstraksi oleh Williams pada tahun 1956
yang dikenal dengan istilah Insect Growth Regulator Synthetic (IGRs).
Sebagian besar komponen dari senyawa IGR adalah hormon kemudaan
(juvenile hormone) yang dihasilkan di otak. Juvenile hormone berfungsi
memerintahkan serangga untuk tetap pada stadium pradewasa. Pada kondisi
pertumbuhan serangga normal, ketika pertumbuhan serangga sudah dianggap
cukup maka produksi juvenile hormone akan berhenti dan memicu serangga untuk
berganti kulit menjadi stadium dewasa (Wirawan 2006)
Senyawa IGR selain mengganggu sistem endokrin juga menghambat
produksi kutikula sehingga menghambat proses sintesa kitin (chitine biosynthesis
inhibitor). Kitin adalah lapisan utama penyusun tubuh serangga (eskoskleton).
Serangga yang terpapar senyawa ini juga tidak mampu mengganti kulit (molting)
sehingga siklus pertumbuhan dari serangga dihambat. Senyawa-senyawa yang
termasuk ke dalam IGR adalah fenoxycarb, hydropene, nylar, methoprene dan
pyriproxyfen (Lim dan Lee 2005; Minakuchi dan Riddiford 2006; Wanamaker dan
Massey 2009).
Metopren dengan rumus kimia C19H34O3 merupakan senyawa juvenile
hormone yang terdapat dalam insektisida altosid 1.3 G. Metopren adalah juvenile
hormone pertama yang digunakan di Amerika sejak tahun 1975, selanjutnya
metopren digunakan secara resmi pada tahun 1985 (NPIC 2012). Secara prinsip
hormon ini bekerja mempengaruhi dan mengganggu perkembangan serta
metamorfosis serangga sasaran tetapi tidak mengganggu golongan vetebrata atau
invertebrata lain. Metopren bekerja sebagai hormon pengatur pertumbuhan pada
serangga dan mempunyai target kerja yang spesifik terhadap serangga sasaran
sehingga senyawa ini aman digunakan (Wirawan 2006).
Metopren terbukti efektif untuk jenis-jenis nyamuk di berbagai negara,
seperti penggunanan metopren sebagai larvasida pada nyamuk Aedes aegypti
untuk kontrol kasus DBD di Brazil (Braga et al. 2011) dan sebagai larvasida
nyamuk Ae. aegypti, Ae. albopictus, Ae. taeniorhynchus, An. quadimaculatus, Cx.
nigripalpus dan Cx. quinquefasciatus di Florida, Amerika Serikat (Nayar et al.
2002). Selain sebagai larvasida pada nyamuk, metopren juga terbukti efektif untuk
serangga lain seperti kecoa Blatella germanica (Maiza et al. 2004) dan golongan
kutu, yaitu Cimex lectularius dan Rhodnius prolixus di London, Inggris (Naylor et
al. 2008).
Mekanisme kerja hormon metopren tidak mematikan nyamuk secara
langsung namun menghambat terbentuknya kitin sehingga pupa tidak dapat
menjadi nyamuk dewasa atau menghasilkan nyamuk tetapi tidak normal (Shinta et
al. 2011). Metopren merupakan senyawa non toksik pada mamalia maupun
manusia pada saat terhirup maupun tercerna, sehingga senyawa ini aman
diaplikasikan karena toksisitasnya yang rendah terhadap mamalia (Wirawan
2006).

6

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor pada Bulan Mei 2014 sampai dengan Agustus 2014.

Metode Penelitian
Pemeliharaan Nyamuk dan Penyediaan Larva Uji
Satu rakit telur nyamuk Cx. quinquefasciatus dari 1 indukan nyamuk
dipindahkan dari ovitrap untuk ditetaskan ke dalam tray pemeliharaan yang
terpisah berukuran 20 x 15 x 10 cm3 yang berisi 1 liter air. Telur yang telah
menjadi larva diberi makan tepung hati ayam ditambah cat food (1:1) yang telah
dihaluskan. Pupa dikumpulkan dalam wadah (cup) yang kemudian dimasukkan ke
dalam kandang hingga menjadi dewasa. Selanjutnya nyamuk diberi makan darah
marmot dan dibiarkan bertelur. Pengujian insektisida dilakukan pada larva instar
ke-3.
Aplikasi Insektisida
Insektisida yang digunakan berbahan aktif metopren dengan kandungan
sebesar 1.3% berbentuk granul. Aplikasi insektisida dilakukan dengan 5 tingkatan
konsentrasi dan 1 kontrol yaitu 0.0108 g/L, 0.0217 g/L, 0.0325 g/L, 0.0433 g/L,
dan 0.0541 g/L.
Insektisida ditaburkan ke dalam tray yang berisi air sebanyak 1 liter dan
dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu sebanyak 50 larva Cx. quinquefasciatus
dimasukkan ke dalam setiap tray tersebut dan diberi pakan secukupnya. Pengujian
dilakukan dengan 5 kali ulangan di dalam ruangan berukuran 4 x 4 x 3 m2.
Pengujian serupa dilakukan pada insektisida yang telah dilarutkan dalam air
selama 720 jam (30 hari).
Pengamatan Kematian Larva/Pupa
Banyaknya larva/pupa nyamuk Cx. quinquefasciatus yang mati pada setiap
pengujian dihitung pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 24, 48, 72, 96, dan 120 jam
setelah perlakuan.
Pengamatan Morfologi Larva/Pupa
Larva/pupa yang mengalami kematian diamati dengan menggunakan
mikroskop stereo, selanjutnya gambar diambil dengan menggunakan perangkat
kamera optilab®.
Koreksi Angka Kematian
Apabila angka kematian pada kelompok kontrol diantara 5–15%, maka
angka kematian pada kelompok perlakuan dikoreksi menurut rumus Abbot, yaitu :

7
(A-C)
AI =

x 100%
( 100 - C)

Keterangan :
AI = Angka kematian setelah dikoreksi
A = Angka kematian pada perlakuan
C = Angka kematian pada kontrol

Analisis Data
Data jumlah kematian larva dianalisis dengan sidik ragam ANOVA, bila
terdapat perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan dilanjutkan dengan uji
wilayah berganda Duncan. Setiap perlakuan kemudian dilakukan analisis Probit
untuk mengetahui LT50 dan LT90 (Lethal Time 50% dan 90%). LT50 adalah waktu
yang diperlukan untuk membunuh 50% populasi hewan uji, sedangkan LT90
adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh 90% populasi hewan uji.
Insektisida dikatakan efektif jika dapat mematikan lebih dari 80% jumlah total
populasi hewan uji (WHO 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas Larva/Pupa Cx. quinquefasciatus terhadap Metopren yang
Dilarutkan Selama 24 Jam
Persentase kematian, LT50, dan LT90 stadium pradewasa Cx.
quinquefasciatus akibat terpapar metopren disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3.
Tabel 1 Persentase kematian larva/pupa Cx. quinquefasciatus setelah terpapar
residu metopren berumur 24 jam.
Waktu
Pengamatan (Jam)
1
2
3
4
5
6
24
48
72
96
120
Kematian
(%)
Keterangan:

Konsentrasi (g/L)
Kontrol

0.0108

0.0217

0.0325

0.0433

0.0541

0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00a
0 ± 0.00a
1.2 ± 0.83b
7.2 ± 3.34d
33.4 ± 4.39d

0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00a
0 ± 0.00a
1.2 ± 1.09b
14.8 ± 4.91c
43.6 ± 2.51c

0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00a
0 ± 0.00a
1.8 ± 1.92b
19 ± 3.39bc
45.2 ± 3.27bc

0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0.2 ± 0.44a
0.2 ± 0.44a
1.4 ± 1.14b
21.8 ± 5.80b
48 ± 1.22ab

0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0 ± 0.00
0.2 ± 0.44a
0.2 ± 0.44a
8.2 ± 2.38a
49.2 ± 1.30a
49.6 ± 0.89a

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

66.8

87.2

90.4

96

99.2

0

Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan uji berbeda nyata
pada taraf 5% (p0.05)
namun berbeda nyata dengan konsentrasi 0.0541 g/L (P0.05) namun berbeda nyata dengan
konsentrasi 0.0108 g/L dan 0.0541 g/L (P