Efikasi Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC Terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi tahun 2015

(1)

DAERAH BEKASI PADA TAHUN 2015

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Oleh :

Fitriana Nurharyani Haryono

NIM: 1112103000045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi dengan judul “Efikasi Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC Terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus dari Daerah Bekasi pada Tahun 2015” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua saya Bapak Haryono dan Ibu Tugiyah serta adik saya Rizkhy Ramadhana Haryono yang telah banyak mendukung dan mendoakan untuk keberhasilan dan kesuksesan saya.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih terutama kepada pembimbing penelitian dan penulisan skripsi ini yaitu Ibu Silvia Fitrina Nasution, M. Biomed dan dr Dyah Ayu Woro, M. Biomed. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada dr. Flori selaku ketua tim riset angkatan 2012 yang telah memfasilitasi berlangsungnya kegiatan skripsi ini. Tak lupa juga terima kasih kepada teman-teman angkatan 2012 yang telah membantu dan memberikan semangat dan masukan demi terselesaikannya skripsi ini.

Semoga segala keikhlasan dan kebaikan yang saya terima selama ini mendapat balasan dan karunia yang tiada henti dari-Nya.

Akhir kata, harapan saya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dengan kebesaran hati saya menerima kritik dan saran.


(6)

vi

ABSTRAK

Fitriana Nurharyani Haryono. Program Studi Pendidikan Dokter. Efikasi Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC Terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi tahun 2015.

Latar Belakang : Penggunaan insektisida secara luas dan dalam waktu yang lama telah mengakibatkan resistensi terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. Nyamuk

Culex quinquefasciatus banyak dilaporkan telah resisten terhadap berbagai jenis insektisida termasuk golongan piretroid. Cypermethrin merupakan insektisida golongan piretroid sintetik yang belum banyak digunakan dalam penggunaan kelambu celup. Tujuan : Untuk mengetahui efikasi kelambu celup insektisida

Cypermethrin 100 EC terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus.

Metode : Eksperimental dengan sampel nyamuk dewasa betina dari daerah Bekasi, Jawa Barat yang dilakukan dengan cara bioassay pemaparan nyamuk dalam kelambu celup Cypermethrin 100 EC, dengan konsentrasi (100, 200, 300, 400, dan 500) mg/m2. Untuk mengetahui efikasi dari residu Cypermethrin 100 EC dalam kelambu celup tersebut, uji dilakukan dalam minggu 1, 4, dan 8 dan dilihat jumlah kematian nyamuk (selama 24 jam) pada minggu tersebut. Hasil : Kematian nyamuk meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi

Cypermethrin 100 EC dan menurun sejalan dengan pertambahan waktu. Kematian tertinggi dicapai pada konsentrasi 500 mg/m2 sebanyak 96% pada minggu I, 76% minggu IV dan 64% pada minggu VIII. Perbedaan konsentrasi Cypermethrin 100 EC tidak berpengaruh terhadap kematian nyamuk dengan nilai p=0,374. Namun perbedaan waktu mempengaruhi efek residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC terhadap kematian nyamuk dengan nilai p= 0,001. Hasil analisis Probit menunjukkan nilai LC50 pada minggu I sebesar 57,565 mg/m2, 191,361 mg/m2

pada minggu IV, dan 383,627 mg/m2 di minggu VIII. Kesimpulan : Kelambu celup Cypermethrin 100 EC efektif membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus

dengan LC50sebesar 383,627 mg/m2 sampai minggu VIII.

Kata kunci : Efikasi, Cypermethrin,Culex quinquefasciatus, Kelambu celup, Bioassay


(7)

vii

ABSTRACT

Fitriana Nurharyani Haryono. Program Studi Pendidikan Dokter. Efficacy of Cypermetrin 100 EC impregnated bednets against Culex quinquefasciatus

collected from Bekasi.

Background : A widely use and long term application of insecticide had roled resistance on mosquitoes. The resistance on Culex quinquefasciatus have been several reported to various insecticides including to pyrethroid. Nevertheles, Cypermethrin as a generation of pyrethroid has been uncommon utilized as an impregnated bednets. Purpose: The study was conducted to evaluate the efficacy of Cypermethrin 100 EC impregnated bednets (IBN) against Cx.quinquefasciatus.. Methods : Experimental study was designed to conduct Bioassay to adult female of the mosquitoes collected from Bekasi, West Java, which exposured to the IBN of Cypermethrin 100 EC by four concentrations of active ingredient 100, 200, 300, 400, and 500 mg/m2.To evaluate the residual

effect of IBN’s, several bioassays were conducted in 1st, 4th, and 8th week and 24

hour of mortality was calculated for each week. Finding Result : An increased mortality was significantly occured due to increased concentration, but contrary decreased mortality due to increased time of IBN’s. The highest mortality was occured by concentration of 500 mg/m2 which showed 96% mortality in first week,

76% in fourth week, and 64% in eighth week. Different concentration of Cypermethrin 100EC was not significantly different to cause mortality of mosquitoes, with p value = 0.374. However, the lenghtened of time was significantly decrease residual effect on the IBNs against mortality of the mosquitoes, with p value = 0,001. The Probit has calculated an LC50 at week I as

57,565mg/m2, 191,361 mg/m2 in week IV, and 383,627 mg/m2 in week VIII..

Conclution :The study has determined that IBNs Cypermethrin 100 EC was effective to cause mortality of Cx. quinquefasciatus with LC50 on 383,627 mg/m2

until week VIII.

Keyword : Efficacy, Cypermethrin, Culex quinquefasciatus, Insecticide Treating Nets, Bioassay


(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan masalah ... 3

1.3Hipotesis ... 3

1.4Tujuan Penelitian ... 3

1.5Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ... 5

2.1.1 Klasifikasi Nyamuk Culex quinquefasciatus ... 5

2.1.2 Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Qulex quinquefasciatus ... 5

2.1.3 Jenis, Kandungan dan Cara KerjaInsektisida yang digunakan sebagai Pemberantasan Vektor Nyamuk di Indonesia ... 9

2.1.4 Aplikasi penggunaan Cypermetrin pada kelambu celup dalam pengendalian vektor nyamuk di Indonesia ... 14

2.1 .5 Cypermethrin ... 15

2.1.6 Efek kelumpuhan (Knock down effect) pada serangga ... 16

2.1.7 Mekanisme Resistensi Insektisida piretroid sintetik pada nyamuk Culex quinquefasciatus ... 17

2.1.8 Uji resistensi Insektisida pada nyamuk ... 18

2.2 Kerangka Teori ... 21

2.3 Kerangka Konsep ... 22

2.4 Definisi Operasional ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 24

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.3 Kriteria Sampel ... 24

3.3.1 Kriteria Inklusi ... 24

3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 25

3.4 Besar Sampel ... 25

3.5 Identifikasi variabel ... 26

3.5.1 Variabel Bebas ... 26

3.5.2 Variabel Terikat ... 26

3.6 Alat dan Bahan ... 26


(9)

ix

3.6.2 Bahan ... 26

3.7 Cara Kerja Penelitian ... 27

3.7.1. Persiapan dan pengumpulan sampel ... 27

3.7.2. Pembuatan kelambu celup Cypermethrin dengan berbagai konsentrasi ... 27

3.7.3. Uji pendahuluan ... 30

3.8 Alur Penelitian ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Sampel ... 33

4.2 Hasil Uji Esterase ... 33

4.3 Hasil Uji Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC ... 34

4.5 Hasil Analisa Statistik ... 40

4.5.1 Uji Normalitas Data ... 40

4.5.2 Uji Varian Data ... 41

4.5.3 Uji ANOVA one way ... 41

4.5.5 Uji Regresi Linier ... 41

4.5.6 Analisis Probit ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46

LAMPIRAN 1 ... 50

LAMPIRAN 2 ... 61


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta resistensi insektisida Cypermethrin oleh nyamuk Aedes aegypti

di Jawa tengah ... 2

Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk ... 5

Gambar 3. Telur nyamuk Culex quinquefasciatus ... 6

Gambar 4. Larva instar 4 nyamuk Culex quinquefasciatus ... 7

Gambar 5. Pupa nyamuk Culex quinquefasciatus... 8

Gambar 6. Nyamuk betina dewasa Culex quinquefasciatus ... 9

Gambar 7. Nyamuk jantan dewasa Culex quinquefasciatus ... 9


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Konsentrasi pemakaian insektisida piretroid sintetik di Indonesia ... 15

Tabel 2.2 Konsentrasi pemakaian insektisida golongan piretroid sintetik siap pakai di Indonesia... 15

Tabel 4.1Nilai Absorbance Value (AV) larva uji pada ELISA ... 34

Tabel 4.2 Hasil kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan ... 35

Tabel 4.3Hasil kematian nyamuk dalam 24 jam pada uji pendahuluan ... 36

Tabel 4.4Tabel kelumpuhan/knockdown nyamuk pada 30 menit pasca perlakuan di tiap minggu perlakuan ... 38

Tabel 4.57Hasil Kematian nyamuk tiap minggu perlakuan ... 39


(12)

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan ... 35

Grafik 4.2 Hasil kematian nyamuk setelah 24 jam pasca paparan ... 36

Grafik 4.3 Presentase Knockdown 30 menit pada tiap minggu perlakuan... 38

Grafik 4.4 Presentase kematian nyamuk pada tiap minggu perlakuan... 40


(13)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

AChE : Asetilkolinesterase

DEF : S,S,S,-tributylphosphorotrithioate

DEM : Diethyl maleate

EC : Emulsifiable Concentrate

GSTs : Glutathione transferase

ITNs : Insecticide Treated Net

LC : Lethal Consentration

LLINs : Long Lasting Insecticidal Net

OP : Organophosphate PBO : Piperonyl butoxide


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyamuk merupakan salah satu vektor penularan penyakit, diantaranya penyakit Filariasis. Untuk memutus penularan penyakit ini, banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat, salah satunya dengan penggunaan insektisida.1

Penggunaan insektisida yang lama telah mengakibatkan resistensi bagi kematian nyamuk. Hal ini dikarenakan resistensi dapat terjadi jika penggunaan insektisida secara terus – menerus selama 2-20 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Zulhasril pada tahun 2010 di Tanjung Priok dan Mampang Prapatan didapatkan hasil bahwa penggunaan insektisida golongan organofosfat telah mengakibatkan resistensi bagi nyamuk Aedes aegypti.2

Resistensi terhadap insektisida golongan organofosfat menyebabkan penggunaan insektisida pun beralih ke golongan piretroid. Piretroid digunakan sebagai pengganti karena efeknya yang secara langsung bekerja pada sistem saraf serangga sehingga efektifitasnya pun lebih tinggi. Selain itu, insektisida golongan piretroid sintetik juga lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida golongan organofosfat.3

Menurut Widiarti, nyamuk Aedes aegypti dilaporkan mengalami resistensi terhadap insektisida Cypermethrin 0,05% di beberapa wilayah di Jawa Tengah yaitu di Jepara, Blora, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota Magelang, dan Kota Purwokerto.4 Hasil ini juga didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Sayono et al di daerah Semarang.5 Resistensi terhadap

Cypermethrin yang terjadi pada Aedes aegypti ini juga berpengaruh terhadap status resistensi nyamuk Culex quinquefasciatus karena jumlahnya yang banyak dan terdapat pada lingkungan yang sama.6


(15)

Gambar 1. Peta resistensi insektisida Cypermethrin oleh nyamuk Aedes aegypti di Jawa Tengah7

Berdasarkan penelitian Hosain dkk nyamuk Culex quinquefasciatus

lebih resisten dibandingkan nyamuk Anopheles gambiae terhadap insektisida permetrin. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Lagunes (1980), nyamuk

Culex quinquefasciatus memiliki gen yang resisten terhadap tiga jenis insektisida yaitu Temefos, Propuksur dan Permetrin. Hal ini terjadi karena adanya penguunaan insektisida secara bergantian sehingga menyebabkan resistensi silang antar insektisida.8 Menurut Intan Ahmad (2009), mekanisme inilah yang mendasari terjadinya resistensi nyamuk Culex quinquefasciatus terhadap berbagai insektisida di beberapa wilayah di Indonesia.9

Banyak cara yang digunakan untuk pengaplikasian insektisida di masyarakat, salah satunya dengan kelambu celup berinsektisida. Kelambu celup insektisida digunakan karena efek residunya yang lebih tahan lama dibandingkan dengan pengaplikasian jenis lainnya.10 Penggunaan kelambu celup insektisida golongan piretroid sintetik juga merupakan rekomendasi WHO untuk program pengendalian vektor. Salah satu zat aktif yang digunakan adalah Cypermethrin.1

Untuk mengetahui seberapa besar resistensi vektor terhadap suatu insektisida dapat digunakan uji biokimia dan uji bioassay. Uji biokimia merupakan suatu teknik untuk mendeteksi status resistensi nyamuk berdasarkan


(16)

kuantifikasi enzim yang bekerja pada penurunan status resistensi serangga sedangkan uji bioassay merupakan uji resistensi yang dinilai berdasarkan kematian nyamuk terhadap pemberian insektisida tertentu.11

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi (LC50 dan LC90)

insektisida Cypermethrin 100 EC pada kelambu celup terhadap kematian nyamuk

Culex quinquefasciatus serta mengetahui pengaruh konsentrasi dan waktu terhadap kematian nyamuk.

1.2 Rumusan Masalah

Resistensi merupakan salah satu masalah dalam program pemberantasan vektor nyamuk di Indonesia. Penggunaan Cypermethrin dari golongan piretroid sintetik direkomendasikan sebagai pengganti golongan organofosfat yang telah banyak mengalami resistensi di Indonesia. Bagaimana efikasi kelambu celup

Cypermethrin 100 EC terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus yang dilaporkan telah mengalami resistensi terhadap berbagai jenis insektisida?

1.3 Hipotesis

Kelambu celup Cypermethrin100 EC efektif menyebabkan kematian Culex quenquifasciatus dari wilayah Bekasi, Jawa Barat.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Mengetahui efikasi dari residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus di wilayah Bekasi, Jawa Barat.

b. Tujuan Khusus

Mengetahui efek Cypermethrin 100 EC pada konsentrasi 100, 200, 300, 400 dan 500 mg/m2 mengenai :

1. Konsentrasi Cypermethrin 100 EC mana yang menyebabkan kematian nyamuk ≥ 50% pada minggu 1,4 dan 8.

2. Perbedaan efikasi antara konsentrasi Cypermethrin terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus.


(17)

3. Perbedaan efikasi antara usia kelambu celup Cypermethrin 100 EC pada minngu 1,4 dan 8 pada tiap konsentrasi terhadap kematian nyamuk.

4. Konsentrasi kematian (Lethal Concentration/ LC50 dan LC90)

Cypermethrin 100 EC pada minggu 1,4 dan 8.

5. Lama efek residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Memberikan tambahan informasi tentang status resistensinyamuk Culex quinquefasciatus terhadap Cypermethrin di wilayah Bekasi, Jawa Barat. b. Memberikan tambahan informasi tentang manfaat penggunaan kelambu

celup insektisida Cypermethrin sebagai salah satu cara pemberantasan vektor nyamuk yang efektif.


(18)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Culex quinquefasciatus12

Kingdom : Animalia Kelas : Insecta Ordo : Diphtera Family : Culicidae Genus : Culex

Spesies : Culex quinquefasciatus

2.1.2. Siklus Hidup dan Morfologi Nyamuk Culex quinquefasciatus

Secara umum, siklus hidup nyamuk terdiri dari 4 (empat) siklus, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Mulai dari siklus telur hingga pupa berlangsung 8-14 hari dan berlangsung di dalam air. Sedangkan jika pupa telah berubah menjadi nyamuk dewasa akan bertahan sekitar 1-4 minggu.13


(19)

a.Telur

Siklus hidup pertama yang dialami oleh seekor nyamuk adalah fase telur. Hampir semua jenis nyamuk akan meletakkan telurnya pada permukaan air atau permukaan tempat yang lembab. Saat pertama kali diletakkan warna telur nyamuk akan berwarna putih. Akan tetapi, warna tersebut akan berubah menjadi coklat atau hitam kurang lebih 12- 14 jam setelah telur diletakkan.13,15

Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh nyamuk genus Culex adalah peletakan telurnya yang bergerombol membentuk menyerupai rakit.1 Dalam setiap gerombolan, biasanya terdapat 100 telur atau lebih yang akan menetas 24-30 jam setelah diletakkan di dalam air.16

Gambar 3. Telur nyamuk Culex quinquefasciatus17

b.Larva

Setelah sebuah telur menetas, maka telur tersebut akan berubah menjadi larva. Pada fase larva ini terdapat 4 tahap perubahan, mulai dari larva instar I, larva instar II, larva instar III, hingga larva instar IV. Pada setiap perubahan antar instar, seekor larva akan berganti kulitnya. Proses pergantian kulit ini disebut sebagai proses “moulting”.13,15

Secara anatomis, seekor larva 3 segmen yaitu kepala, thoraks, dan abdomen. Pada bagian abdomen terdapat delapan segmen. Selain itu pada larva

Culex sp terdapat ciri khas yaitu siphon yang panjangnya 4 kali lebih panjang daripada larva nyamuk jenis lain.16 Selain itu tubuh larva juga ditutupi oleh


(20)

bulu halus. Untuk bertahan hidup larva memakan alga, jamur, bakteri, bahan organik, serta organisme – organisme kecil yang terdapat di dalam air. Dengan bentuk tubuhnya yang ramping, seekor larva berenang dengan membentuk sebuah gerakan seperti menyapu yang dikenal dengan gerakan “wriggle”.13,15

Gambar 4.Larva instar 4 nyamuk Culex quinquefasciatus18

c. Pupa

Secara umum waktu yang dibutuhkan seekor larva menjadi seekor pupa antara 5 – 8 hari. Pupa nyamuk memiliki bentuk seperti koma dan bergerak secara aktif. Fase pupa ini berlangsung 1 – 3 hari. Selama waktu tersebut, jaringan larva akan berubah menjadi jaringan dewasa sehingga siap untuk menjadi nyamuk dewasa. Ketika seekor pupa telah matang, maka kulitnya akan terbelah sehingga nyamuk dewasa siap untuk keluar.13,15

Secara anatomis, pupa memiliki dua segmen yaitu peleburan antara kepala dan thoraks ( cephalothoraks) dan abdomen. Bagian cephalothoraks

memiliki warna yang bervariasi bergantung pada variasi habitatnya dan akan menghitam pada bagian posteriornya. Pada cephalothoraks juga terdapat sebuah trumpet yaitu bagian berbentuk seperti pipa yang makin membesar dan makin pudar warnanya saat bagian tersebut menjauhi tubuh. Trumpet tersebut berfungsi sebagai alat pernapasan pada pupa. Sedangkan pada bagian abdomen terdiri dari 8 segmen dimana 4 segmen anterior lebih gelap digandingkan dengan 4


(21)

segmen posterior. Pada bagian apeks abdomen juga terdapat paddle yang berwarna translusen dan kuat dengan 2 setae (rambut kaku) pada bagian akhir posteriornya.16

Gambar 5. Pupa nyamuk Culex quinquefasciatus19

d. Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa Culex sp berukuran panjang sekitar 3.96 hingga 4.25 mm. Pada nyamuk dewasa, tubuhnya terdiri dari tiga segmen yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Pada bagian kepala terdapat sepasang antena yang berguna sebagai sensor informasi bagi seekor nyamuk. Selain antena, pada bagian kepala juga terdapat mulut yang berkembang sempurna pada nyamuk dewasa betina. Mulut tersebut yang dinamakan probosis digunakan untuk menghisap darah dari manusia. Pada nyamuk Culex sp. probosis dan antena memiliki panjang yang tidak sama atau panjang antenna lebih pendek daripada probosis. Sedangkan pada bagian perut atau abdomen bertanggung jawab terhadap pencernaan dan perkembangan telur nyamuk.13,15

Lama kehidupan nyamuk jantan lebih pendek dari nyamuk betina, yaitu kurang dari 1 minggu. Untuk energi, nyamuk dewasa memakan nectar tumbuhan. Selain memakan nectar, nyamuk betina juga menghisap darah hewan berdarah panas, seperti burung dan mamalia untuk perkembangan telur. 13,15


(22)

Gambar 6. Nyamuk betina dewasa Culex quinquefasciatus20

Gambar 7. Nyamuk jantan dewasa Culex quinquefasciatus21

2.1.3 Jenis, Kandungan dan Cara Kerja Insektisida yang digunakan sebagai Pemberantasan Vektor Nyamuk di Indonesia

Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan dan membunuh serangga. Dalam fungsinya untuk mengendalikan dan membunuh serangga sebagai vektor, insektisida bekerja terhadap tubuh serangga melalui 2 cara yaitu mode of action dan mode of entry. Mode of action adalah cara insektisida memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target size) di dalam


(23)

tubuh serangga. Titik tangkap dalam tubuh serangga dapat berupa enzim atau protein, sedangkan mode of entry adalah cara insektisida masuk kedalam tubuh serangga. Secara umum terdapat 5 cara kerja insektisida di dalam tubuh serangga yaitu :10

1. Mempengaruhi sistem saraf 2. Menghambat produksi energi 3. Mempengaruhi sistem endokrin 4. Menghambat produksi kutikula 5. Menghambat keseimbangan air

Secara umum terdapat 2 kelompok besar insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor, yaitu Insektisida kimiawi dan Insektisida biologis. a. Insektisida Kimiawi

1. Organofosfat

Insektisida jenis organofosfat bekerja di dalam tubuh serangga dengan mengganggu kerja sistem saraf. Gangguan yang ditimbulkan dikarenakan adanya inhibisi enzim asetilkolinesterase (AchE) yang penting dalam penghantaran impuls saraf. Penghambatan enzim ini akan mengakibatkan akumulasi asetilkolin didalam sistem saraf sehingga mengakibatkan konvulsi, paralisis, hingga kematian pada organism yang terkena paparan insektisida golongan organofosfat.22 Insektisida golongan organofosfat ini

biasa digunakan sebagai space spraying, IRS, maupun larvasida. Contoh insektisida organofosfat adalah malation, fenitrotion, temefos, metal-pirimifos, dan lain – lain.10

Menurut Loretta (1992), penggunaan malathion yang merupakan salah satu contoh golongan oerganofosfat mengakibatkan banyak kerugian baik bagi manusia, mamalia, unggas, dan lingkungan. Bagi manusia jika terjadi toksisitas akut akan mengakibatkan berupa sakit kepala, mual, muntah, pandangan buram, konstriksi pupil, depresi nafas hingga koma. Pada paparan jangka lama, organofosfat dapat mengakibatkan defek kelahiran, masalah


(24)

reproduksi dan defek genetic bagi manusia. Bagi mamalia lingkungan,

malathion memiliki potensi tinggi untuk mengkontaminasi tanah dan air.22 2. Karbamat

Insektisida jenis karbamat bekerja pada serangga dengan cara menghambat sistem saraf yaitu enzim esterase. Penghambatan ini berlangsung secara

reversible. Artinya penghambatan enzim tersebut tidak akan berlangsung lama dan pada suatu waktu enzim kolinesterase akan kembali diproduksi. Karena sifatnya yang reversible maka jenis karbamat terbilang lebih aman dibandingkan jenis organofosfat. Contoh insektisida jenis karbamat adalah bendiocarb, propoksur, dan lain – lain.10

3. Piretrin

Piretrin merupakan insektisida alami yang dibuat dari sintesis bunga kering Chrysanthemum cinerariaefolium dan / atau Chrysanthemum cineum. Sebagai insektisida alami, piretrin memiliki sifat – sifat sebagai berikut23 :

a. Titik didih tinggi

b. Sensitif terhadap oksidasi

c. Tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama d. Tidak tahan terhadap cahaya langsung

e. Waktu paruh < 5 jam dibawah sinar matahari langsung

Dikarenakan sifatnya diatas maka pada tahun 1924, Staudinger dan Ruzicka mengembangkan sintesis piretrin dan menghasilkan 6 konstituen piretrin yaitu piretrin I dan II, cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II. Keenam hasil tersebut dinamakan berdasarkan kandungan chrysanthemic dan asam piretrik di dalamnya. Dari keenam hasil tersebut yang digunakan sebagai insektisida adalah Piretrin I dan II. Keduanya digunakaan karena Piretrin I (eg. permetrin) memiliki efek lethal yang tinggi sedangkan Piretrin II (eg. deltametrin) memiliki efek knockdown yang tinggi.23


(25)

Piretroid merupakan insektisida sintetik dari piretrin yang memiliki cara kerja sama. Piretroid sintetik ini dikembangkan untuk meningkatkan spesifitas dan aktifitas dari piretrin dengan tetap menjaga efek knockdown yang tinggi dan efek toksik yang rendah terhadap vertebra. Tingkat aktifitas dari piretroid ini ditentukan dari penetrasi, metabolisme, dan sensitifitas target.23

Berdasarkan struktur dan toksikositasnya, piretroid digolongkan menjadi tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan golongan piretroid yang tidak memiliki gugus α-cyano dan tipe II yang memiliki gugus α-cyano.23

Secara umumcara kerja piretroid adalah dengan mengganggu sistem saraf serangga. Tipe I piretroid bekerja dengan cara induksi berulang pada akson sehingga serangga menjadi restlessness, un-coordination, dan hiperaktifitas yang diikuti dengan prostration dan paralisis. Sedangkan tipe II piretroid bekerja dengan cara depolarisasi terus menerus pada akson saraf yang bersifat

irreversible. Depolarisasi terus menerus pada akson ini mengakibatkan serangga menjadi konvulsi pada serangga. Efek yang ditimbulkan oleh tipe I berlangsung 10-100 milisecond, sedangkan tipe II berefek selama beberapa detik.24

Terdapat beberapa cara masuk dan pengaruh piretroid dalam tubuh organisme, yaitu23 ;

1. Penetrasi melalui epidermis

Cara ini memungkinkan piretroid untuk penetrasi secara cepat kedalam tubuh organisme melalui folikel yang terdapat pada epidermis kulit.

2. Central Nervous System (CNS)

Piretroid mempengaruhi CNS organisme dapat melalui difusi piretroid dalam sel epidermis yang didistribusikan ke CNS atau secara langsung melalui kontak dengan organ sensori pada sistem saraf tepi.

3. Penetrasi melalui udara

Hanya sedikit molekul yang masuk ke dalam tubuh organisme dengan cara penetrasi melalui udara ini.

4. Penetrasi melalui jalur hemolimf

Penggunaan jenis piretroid banyak untuk pengendalian vektor serangga dewasa (space spraying dan IRS), kelambu celup atau Insecticide Treated


(26)

Net (ITN), Long Lasting Insecticidal Net (LLIN), dan sebagai formulasi berbagai insektisida rumah tangga. Contoh insektisida jenis peritroid antara lain metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin, permetrin, sipermetrin, deltametrin, etofenproks, dan lain-lain. 10

5. Insect Growth Regulator (IGR)

Insect Growth Regulator bekerja mengganggu proses dan pertumbuhan serangga. IGR terbagi dalam 2 kelas, yaitu :10

 Juvenoid

Lebih dikenal sebagai Juvenille Hormone Analog (JHA). Pemberian juvenoid pada serangga akan berakibat pada perpanjangan stadium larva dan kegagalan pembentukan pupa, sehingga stadium dewasa pun tidak terbentuk. Contoh JHA adalah fenoksikrab, metopren, piriproksifen, dan lain – lain.10

Chitin Synthesis Inhibitor (CSI)

CSI bekerja mengganggu proses ganti kulit pada serangga dengan menghambat pembentukan kitin. Proses penggantian kulit diperlukan oleh serangga untuk berubah dari satu stadium ke stadium lain. Contoh insektisida CSI adalah diflubensuron, heksaflumuron, dan lain – lain. 10

b. Insektisida Biologis

Insektisida biologis yang banyak digunakan untuk pengendalian vektor adalah mikroba. Mikroba yang banyak digunakan untuk insektisida antara lain

Bacillus thuringinensis var israelensis (Bti), Bacillus sphaericus (BS), abamektin, spinosad, dan lain – lain. 10


(27)

2.1.4 Aplikasi penggunaan Cypermetrin pada kelambu celup dalam pengendalian vektor nyamuk di Indonesia

Penggunaan kelambu celup insektisida sebagai salah satu cara pengendalian vektor telah disarankan oleh WHO sejak tahun 2007. Oleh WHO, kelambu celup insektisida dibagi menjadi 2 jenis, yaitu10 :

1. Long Lasting Insecticidal Nets (LLINs)

LLINs merupakan kelambu insektisida yang efektif untuk penggunaan jangka lama sekitar 3-5 tahun tanpa pencelupan ulang. Dalam proses pencelupannya, terdapat 3 proses yang dilakukan, yaitu :

- Pencampuran pada serat benang (fiber) - Pelapisan pada serat benang

- Pencelupan insektisida tahan lama pada kelambu yang sudah jadi

Bahan yang dapat digunakan untuk LLINs antara lain katun, nilon,

polyester dan polyethylene.

2. Impregnated Bed Nets (IBN) atau Insecticide Treated Nets (ITN)

IBN atau ITN adalah kelambu biasa (tidak berinsektisida) yang dicelup dengan insektisida tertentu. Kelambu ini dapat bertahan kurang lebih selama 6-12 bulan dengan pencucian kelambu setiap 6 bulan. Agar tetap efektif , harus dilakukan pencelupan ulang dengan insektisida setiap 6- 12 bulan sekali bergantung dengan insektisida ynag digunakan. Jenis bahan yang digunakan untuk kelambu celup ulang adalah katun, nilon, polyester, dan polyethylene.

Pencelupan kelambu biasanya menggunakan insektisida golongan Piretroid Sintetik yang konsentrasinya telah direkomendasikan oleh WHO dan terdaftar di KOMPES (Komisi Pestisida) berdasarkan tabel 2.1.


(28)

Tabel 2.1 Konsentrasi pemakaian insektisida piretroid sintetik di Indonesia25

Insektisida Konsentrasi (per m2) Alpha-cypermethrine 10 SC 20 – 40 mg

Cyfluthrin 5 % EW 50 mg

Deltamethrin 1 % SC/WT 25 % 15 – 25 mg

Etofenprox 10 % EW 200 mg

Lamdacyhalothrin 2,5 % CS 10 – 20 mg

Permethrin 10 % EC 200-500 mg

Insektisida yang digunakan dapat juga berupa insektisida siap pakai dengan konsentrasi yang telah direkomendasikan oleh WHO dan terdaftar di KOMPES (Komisi Pestisida) yang terlihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Konsentrasi pemakaian insektisida golongan piretroid sintetik siap pakai di Indonesia25

Insektisida Konsentrasi per kelambu Alpha-cypermethrine 10 % SC 6 ml

Cyfluthrin 5 % EW 15 ml

Deltamethrin 1 % SC 40 ml

Deltamethrin WT 1 tablet

Etofenprox 10 % EW 30 ml

Lamda-cyhalothrin 2,5 % CS 10 ml

Permethrin 10 % EC 75 ml

2.1.5 Cypermethrin

Cypermethrin merupakan salah satu insektisida yang tergolong kedalam gologan Piretroid. Cypermethrin pertama kali disintesis pada tahun 1974. Secara kimiawi, Cypermethrin memiliki rumus molekul C22H19Cl2NO3. Cypermethrin


(29)

Chrysanthemum. Akan tetapi golongan piretroid didesain agar lebih lama efektif dibandingkan dengan golongan Pyrethrin.26

Dalam fungsinya sebagai insektisida, cypermethrin bekerja mempengaruh secara langsung sistem saraf pusat dari serangga yang mendekat. Pada paparan jangka lama, Cypermethrin akan menghasilkan impuls berulang pada susunan saraf. Pengulangan impuls ini akan mengakibatkan kanal Na terbuka lebih lama dari normal.27-28

Selain mempengaruhi pembukaan kanal Na, Cypermethrin juga menghambat kerja ATPase. Pada serangga, ATPase merupakan enzim yang menghasilkan energy bagi kelangsungan hidup. Sehinga penghambatan enzim ini akan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan keseimbangan ion. 28

Di Indonesia, Cypermethrin digunakan secara luas untuk pengendalian serangga seperti nyamuk, lalat dan kecoa. Penggunaan Cypermethrin pada kelambu celup juga digunakan untuk mencegah malaria.10

2.1.6 Efek kelumpuhan (Knock down effect) pada serangga

Knock down effect merupakan salah satu ciri khas dari insektisida piretroid sintetik. Pada serangga, efek ini berlangsung secara langsung saat seekor serangga terpapar insektisida piretroid sintetik. Ketika seekor serangga terpapar oleh piretroid, mereka akan pingsan tetapi tidak mati. Untuk serangga yang masih rentan terhadap piretroid maka akan mati secara permanen. Serangga yang sudah resisten terhadap piretroid akanpulih kembalidan kembali terbang setelah


(30)

beberapa saat. Waktu yang dibutuhkan untuk akan semakin meningkat seiring dengan status resistensi suatu serangga. 30

Serangga yang telah resisten terhadap suatu insektisida akan dapat dan terbang kembali dikarenakan setelah piretroid masuk kedalam tubuh maka tubuh akan melakukan proses metabolisme untuk detoksifikasi piretroid. Proses detoksifikasi inilah yang akan membuat kadar piretroid lama – kelamaan akan berkurang di dalam tubuh serangga sehingga serangga dapat pulih dan terbang kembali.30

2.1.7 Mekanisme Resistensi Insektisida piretroid sintetik pada nyamuk Culex quinquefasciatus

Piretroid merupakan insektisida yang telah digunakan secara luas untuk pengendalian vektor baik secara indoor maupun outdoor. Piretroid juga merupakan satu – satunya senyawa kimia yang direkomendasikan untuk mosquito nets oleh WHO. Penggunaan yang secara luas dan dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan beberapa perubahan karena terjadinya resistensi piretroid pada nyamuk.23

Resistensi merupakan kemampuan vektor dalam bertahan hidup pada suatu konsentrasi insektisida yang dalam keadaan normal dapat mematikan vektor.10 Resistensi terhadap piretroid yang terjadi pada serangga dapat terlihat

dari adanya penurunan sensitifitas kanal sodium karena adanya perubahan struktur, penurunan sensitifitas terhdap piretroid melalui perubahan pada kinetika kanal sodium, penurunan jumlah kanal yang dapat mengikat piretroid, dan perubahan membran lipid disekitar saraf.23

Secara umum mekanisme resistensi piretroid pada nyamuk dapat dibagi menjadi dua mekanisme, yaitu metabolic detoxification dan pengikatan protein target pada channel sodium.31

 Detoksikasi metabolik (Metabolic detoxification)

Mekanisme resitensi insektisida yang paling sering terjadi pada nyamuk adalah dengan peningkatan metabolic detoxification. Hal yang berperan pada


(31)

detoksikasi metabolik tersebut antara lain metabolime Cytochrome P450, Gluthation transferase (GSTs), dan esterase atau karboksilesterase.31 Metabolisme

Cytochrome P450 memiliki peran yang paling besar pada proses resistensi insektisida pada nyamuk. Peran Cytocrhome P450 adalah untuk detoksifikasi, aktivasi xenobiotics dan untuk metabolisme senyawa endogen.31 Glutathione transferase (GSTs) merupakan protein larut dimer yang berperan dalam metabolisme, detoksifikasi, dan eksresi dari senyawa endogen dan eksogen31 Esterase atau karboksilase merupakan kumpulan enzim heterogen yang terdapat pada sebagian besar organisme. Enzim ini berperan dalam proteolisis, fungsi sistem saraf, metabolism hormon, dan metabolisme insektisida/sequistrasi.31

Pada nyamuk yang masih rentan terhadap insektisida metabolisme enzim dan protein tersebut akan menurun seiring dengan naiknya senyawa piperonyl butoxide (PBO), S,S,S,-tributylphosphorotrithioate (DEF), dan diethyl maleate

(DEM) yang merupakan inhibitor dari Cytochrome P450 monooksigenase,

hidrolase, dan glutathione S-transferase (GST). Namun pada nyamuk yang telah mengalami resistensi terhadap insektisida terjadi penurunan dari PBO, DEF, dan DEM sehingga terjadi proses inhibisi pada proses detoksifikasi.31

 Pengikatan protein target pada kanal sodium

Piretroid merupakan insektisida dengan sifat neurotoksin yang bekerja dengan mengikat protein pada voltage – gated sodium channel (VGSC). VGSC ini memiliki peran dalam depolarisasi potensial aksi pada membran neuron dan proses eksitasi elektrik dari sel. Oleh sebab itu, jika terjadi pengikatan protein pada VGSC akan menginhibisi repolariasi. Inhibisi repolarisasi ini akan menyebabkan depolarisasi terus menerus pada sistem saraf sehingga menyebabkan hipereksitasi pada serangga.31-33

2.1.8 Uji resistensi Insektisida pada nyamuk

Secara umum terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui status resistensi nyamuk terhadap insektisida. Uji resistensi nyamuk terhadap


(32)

insektisida dilakukan dengan pengujian aktivitas enzim esterase spesifik dan non spesifik sebagai berikut34 :

a. Bioassay test

Uji bioassay merupakan uji resistensi yang mudah dilakukan dan dapat mendeteksi resistensi berdasarkan letak atau geografis suatu tempat. Uji ini menggunakan nyamuk dewasa dengan standar usia, jenis kelamin dan status fisiologis yang sama untuk menghindari faktor perancu dari hasil uji. Meskipun mudah dilakukan, uji ini tidak dapat menentukan secara pasti level status resistensi insektisida pada suatu populasi karena keterbatasan sensitifitasnya. Penilaian resistensi didasarkan pada standar WHO yaitu jika kematian nyamuk di suatu populasi <80%.34

Salah satu cara yang dipakai untuk uji bioassay adalah dengan kelambu celup berinsektisida. Uji bioassay dengan kelambu celup berinsektisida digunakan sebagai salah satu cara untuk mengukur efek residual insektisida pada kematian nyamuk. Penggunaan insektisida sebagai bahan untuk kelambu celup harus memenuhi kriteria WHO yaitu memiliki daya bunuh tinggi, penggunaan yang aman bagi manusia, serta memiliki efek residu yang panjang. Salah satu bahan insektisida yang direkomendasikan oleh WHO yaitu golongan piretroid sintetik. Banyak golongan piretroid sintetik yang digunakan untuk bahan kelambu celup antara lain : permetrin, cypermethrin, delta metrin dan lamda sihalotrin.35 Selain itu WHO juga menetapkan kriteria nyamuk yang digunakan untuk uji bioassay ini yaitu sugar-fed dengan usia kurang dari 7 hari setelah menetas dari pupa.36

b. Biochemical test

Uji biokimia merupakan suatu uji yang didasarkan pada deteksi perubahan enzim yang terkait dengan insektisida uji yang digunakan. Pengujian ini dapat mendeteksi resisten yang terjadi pada insektisida golongan organofosfat dan karbamat dengan melihat peningkatan pada enzim asetilkolinesterase (AChE). Peningkatan yang terjadi mengakibatkan perubahan warna yang dapat dilihat jelas tanpa alat bantu tertentu. Akan tetapi uji ini memiliki batasan sensitifitas dan spesifitas karena peningkatan yang terjadi dapat terjadi pula karena faktor lain diluar insektisida.34


(33)

c. Molecular test

Uji molekular dikembangkan untuk mendeteksi alel kdr pada nyamuk. Uji ini biasanya dilakukan oleh peneliti di laboratorium untuk pemantauan resistensi insektisida secara bertahap terkait dengan program nasional pemberantasan malaria. Deteksi mutasi genetik yang terjadi pada nyamuk yang telah resisten dapat menjadi peringatan dini bagi status resistensi di suatu populasi.34

Dari ketiga uji yang dapat dilakukan terdapat kelebihan dan kekurangan dari masing – masing uji sebagai berikut.

Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Deteksi Resistensi Insektisida34

Metode Kelebihan Kekurangan

Uji bioassay dengan dosis insektisida yang ditetapkan

oleh WHO

Terstandar, mudah untuk dilakukan, mendeteksi tanpa

memperhatikan mekanisme resistensi

Kurang sensitif, tidak dapat mengetahui level dari status

dan tipe resistensi pada nyamuk secara langsung

Uji bioassay dengan dosis yang responsif

Dapat mengetahui level status resistensi pada suatu populasi

tanpa memperhatikan mekanismenya

Membutuhkan sampel yang besar untuk sekali pengujian,

data pada grup insektisida yang berbeda tidak dapat

dibandingkan

Uji biokimia

Dapat mengetahui informasi spesifik tentang mekanisme

resistensi insektisida berdasarkan perubahan enzim

Hanya dapat mendeteksi mekanisme resistensi yang berkaitan dengan perubahan

enzim

Uji molekular

Sangat sensitif, dapat menjadi peringatan dini bagi mekanisme terjadinya

resistensi selanjutnya

Membutuhkan alat dan tenaga ahli dalam pengerjaannya, hanya dapat dilakukan pada sedikit mekanisme resistensi


(34)

2.2 Kerangka Teori

Kekejangan pada nyamuk Hipereksitasi Depolarisasi terus menerus Peningkatan senyawa

piperonylbutoxide (PBO), S,S,S,-tributyl phosphoro trithioate (DEF), dan diethyl

maleate (DEM)

Mengikat protein pada kanal sodium Metabolic

detoxification Neurotoksin pada nyamuk Insektisida

Cypermethrin

Kematian pada nyamuk Penurunan Cytochrome

P450 monooksigenase, hidrolase, dan glutathione S -transferase (GST)

Proses detoksifikasi racun insektisida tidak terjadi pada


(35)

2.3 Kerangka Konsep

Stadium larva

Nyamuk Culex quinquefasciatu s Homogenat larva direaksikan dengan substrat Uji enzim esterase dengan ELISA Nyamuk dewasa Identifikasi berdasarkan kriteria Lee : • 0 – 0,7 = sangat

peka • 0,7 – 0,9 =

resistens edang • > 0,9 = sangat

resisten Peningkatan nilai Absorbance Value pada ELISA Konsentrasi Cypermethrin 100 mg/m2, 200 mg/m2,

300 mg/m2, 400 mg/m2, dan 500

mg/m2 Uji Bioassay dengan kelambu celup Cypermethrin Paralisis yang diamati pada

menit ke 30 pasca paparan

Menyebabkan hipereksitasi, konvulsi, paralisis dan kematian nyamuk

Mengganggu system saraf dan metabolism

nyamuk Memiliki efek neurotoksin dan racun

perut

Kematian yang diamati pada 24

jam pasca paparan


(36)

2.4 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat

Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur 1. Variabel terikat :

Kelumpuhan/Knock down nyamuk Culex quinquefasciatus

Banyaknya nyamuk yang jatuh atau tidak aktif bergerak terbang setelah terpapar dengan

kelambu celup. Tidak ada Jumlah nyamuk yang lumpuh Numerik

2. Variabel terikat : Mortality atau Kematian nyamuk

Banyaknya nyamuk yang mati setelah 24

jam di luar kelambu celup pasca paparandan diberi pakan larutan gula

Tidak ada Jumlah nyamuk yang mati Numerik 3.

Variabel bebas : Konsentrasi Cypermethrin 100 EC

Cypermethrin dalam bentuk larutan 100 EC

(Emulsifiable Concentration) yang dibuat dalam beberapa

konsentrasi dengan pelarut air/aquades Mikro pipet Konsentrasi Cypermethrin

100 EC yaitu 100 mg/m2, 200

mg/m2, 300 mg/m2, 400 mg/m2, dan 500

mg/m2


(37)

24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini bersifat eksperimental, dengan metode penelitian secara bioassay terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dengan menggunakan kelambu celup insektisida cypermetrin 100 EC. Pengambilan sampel nyamuk dilakukan secara purposive sampling.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di daerah Bekasi, Jawa Barat. Sampel yang diambil berupa telur dan larva nyamuk Culex quinquefasciatus instar 1-4 beserta air tempat hidupnya. Sampel yang telah diambil kemudian dibiakkan untuk mendapatkan nyamuk dewasa sebagai sampel uji. Pengujian sampel dilakukan sejak April 2015 sampai Juli 2015 di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3 Kriteria Sampel 3.3.1 Kriteria Inklusi

a. Sampel untuk uji resistensi enzim esterase

Sampel yang digunakan untuk uji resistensi enzim esterase adalah larva nyamuk instar 3-4 yang diambil dari tempat pengambilan sampel. Kriteria yang digunakan untuk sampel uji adalah :

 Larva instar 3-4

 Bergerak aktif dalam media biakan

b. Sampel untuk uji kelambu celup Cypermethrin 100 EC

Sampel yang digunakan untuk uji kelambu celup Cypermethrin 100 EC adalah nyamuk dewasa betina yang telah dibiakkan di Laboratorium


(38)

Parasitologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kriteria sampel uji yang digunakan ;

 Nyamuk dewasa betina

 Usia 1-2 hari setelah menetas dari pupa  Masih aktif bergerak

 Masih aktif makan (pakan berupa larutan gula)

3.3.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

 Larva atau nyamuk yang telah lumpuh, atau mati sebelum diberi perlakuan.  Usia nyamuk > 2 hari

 Nyamuk tidak sehat atau cacat

3.4 Besar Sampel

Banyaknya nyamuk dewasa betina yang digunakan dalam penelitian adalah 150 ekor nyamuk atau sebanyak 25 ekor untuk setiap kelompok perlakuan.

Penentuan banyaknya sampel yang digunakan pada setiap wadah menggunakan rumus Federer12, yaitu :

(n-1) (t-1) ≥ 15 Keterangan :

n = banyak sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Karena pada penelitian ini digunakan 5 kelompok perlakuan dengan 1 kelompok kontrol, maka banyaknya sampel yang digunakan adalah:

(n-1) (t-1) ≥ 15 (n-1) (5-1) ≥ 15 (n-1) 4≥ 15 4n - 4≥ 15 4n ≥ 20


(39)

n ≥ 5

Dari hasil perhitungan didapatkan minimal sampel yang digunakan untuk setiap kelompok perlakuan adalah 5 ekor.

Pada penelitian ini digunakan 25 ekor nyamuk untuk setiap kelompok perlakuan dan 3 kali ulangan.

3.5 Identifikasi Variabel 3.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Cypermethrin 100 EC dengan konsentrasi 100, 200, 300, 400 dan 500 mg/m2

3.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kelumpuhan/knock down nyamuk pada menit ke 30 dan kematian nyamuk dewasa betina setelah 24 jam pasca paparan dengan kelambu celup Cypermethrin 100 EC dengan konsentrasi yang berbeda.

3.6 Alat dan Bahan 3.6.1 Alat

Kandang nyamuk, pipet tetes, mikropipet, paper cup, gelas ukur, nampan plastik, sarung tangan, masker, label, aspirator, termometer, kelambu, pengaduk, kasa, kapas, dan microplate ELISA. Foto alat dilampirkan pada lampiran 1.

3.6.2 Bahan

Larva Culex quinquefasciatus instar IV, nyamuk dewasa betina Culex quinquefasciatus, Cypermethrin 100 EC, air aquades sebagai pelarut, pellet ikan sebagai pakan larva, air gula sebagai pakan nyamuk dewasa dan bahan uji esterase : larutan phosphate buffer saline (PBS) 0,02 M, coupling reagen, α-naftil asetat dan asam asetat 10%. Foto bahan dilampirkan pada lampiran 1.


(40)

3.7 Cara Kerja Penelitian

3.7.1 Persiapan dan pengumpulan sampel

Sampel didapatkan dari biakan larva nyamuk Culex quenquifasciatus yang diambil dari daerah Bekasi, Jawa Barat. Larva yang telah dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam wadah dan dibawa ke Laboratorium Parasitologi untuk dibiakkan. Kemudian, nyamuk betina diambil untuk uji bioassay.

3.6.2 Pembuatan kelambu celup Cypermethrin 100 EC dengan berbagai konsentrasi

Sebelum dilakukan proses pencelupan kelambu berbahan nilon, maka dilakukan pengukuran larutan Cypermethrin 100 EC yang dibutuhkan dalam berbagai konsentrasi. Pemilihan bahan nilon dibandingkan bahan katun karena bahan nilon memiliki daya bunuh nyamuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan katun pada konsentrasi yang sama.35 Kelarutan cairan dalam bahan nilon adalah 15 ml/m2.10

Untuk itu dilakukan pengukuran luas kelambu yang berbentuk tabung terlebih dahulu dengan rumus :

Luas kelambu = Luas tabung

= ( 2 x Luas lingkaran ) + Luas persegi panjang = ( 2 x ��2 ) + ( p x l )

= 2��2 + ( keliling lingkaran x tinggi ) = 2��2 + 2πrt

r = 11 cm


(41)

= 2πr (r + t )

= 2 x 3,14 x 11 (11 + 34 ) = 3108.6 cm2

= 0.31086 m2

Dari luas kelambu tersebut, dapat dihitung kebutuhan larutan

Cypermethrin 100 EC yang digunakan yaitu sebagai berikut:

Kebutuhan larutan Cypermethrin = luas kelambu x 15 ml/m2

= 0.31086 m2 x 15 ml/m2

= 4.6629 ml

Setelah mendapat jumlah larutan Cypermethrin 100 EC yang dibutuhkan maka kita dapat membuat larutan Cypermehtrin 100 EC dalam berbagai konsentrasi dengan perhitungan sebagai berikut.

Rumus kebutuhan insektisida10 :

Luas kelambu (m2) x konsentrasi (gram/m2) x 1/konsentrasi insektisida 1. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 100 mg/m2

= luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr = 0.31086 m2 x 100 mg/m2 x 1000 ml/ 100 gr

= 0.31086 ml = 31.086 µl

Kebutuhan air sebagai pelarut

= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin = 4.6629 ml – 0.31086 ml

= 4.35204 ml

2. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 200 mg/m2 = luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr = 0.31086 m2 x 200 mg/m2 x 1000 ml/ 100 gr


(42)

= 62.172 µl

Kebutuhan air sebagai pelarut

= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin = 4.6629 ml – 0.62172 ml

= 4.04118 ml

3. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 300 mg/m2 = luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr = 0.31086 m2 x 300 ml/m2 x 1000 ml/ 100 gr

= 0.93258 ml = 93.258 µl

Kebutuhan air sebagai pelarut

= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin = 4.6629 ml – 0.93258 ml

= 3.73032 ml

4. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 400 mg/m2 = luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr = 0.31086 m2 x 400 ml/m2 x 1000 ml/ 100 gr

= 1.24344 ml = 124.344 µl

Kebutuhan air sebagai pelarut

= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin = 4.6629 ml – 1.24344 ml

= 3.41946 ml

5. Kebutuhan Cypermethrin untuk konsentrasi 500 mg/m2 = luas kelambu x konsentrasi Cypermethrin x 1000ml/100gr = 0.31086 m2 x 500 mg/m2 x 1000 ml/ 100 gr

= 1.5543 ml = 155.43 µl


(43)

= kebutuhan larutan – kebutuhan cypermethrin = 4.6629 ml – 1.5543 ml

= 3.1086 ml

Setelah didapatkan banyaknya Cypermethrin 100 EC dan air yang dibutuhkan, kedua bahan tersebut dicampur di dalam sebuah wadah.. Pencelupan kelambu dalam larutan Cypermethrin 100 EC dilakukan sesuai dengan masing-masing konsentrasi yang berbeda. Setelah dicampur, dilakukan pengeringan pada tempat yang teduh (tidak terkena sinar matahari langsung).10

3.6.3. Uji pendahuluan

A. Uji resistensi enzim esterase terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus

dengan metode Lee

Sebelum dilakukan uji bioassaydengan kelambu celup Cypermethrin 100 EC, maka dilakukan uji esterase dengan ELISA terlebih dahulu untuk mengetahui status kerentanan nyamuk terhadap insektisida. Uji esterase dilakukan pada larva yang nantinya akan menjadi nyamuk yang akan digunakan dalam bioassay.37

Sebelum dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA, dilakukan persiapan sampel dengan reagen terlebih dahulu.Berikut adalah tahapan – tahapan persiapan sampel tersebut. 37

a. Ambil seekor larva instar 4 dan taruh dalam wadah kecil.

b. Haluskan larva tersebut dan tambahkan 0,5 ml larutan Phosphat Buffer Saline ( PBS ) 0,02 M, pH = 7.

c. Aduk homogenat yang berisi larva dan larutan PBS 0,5 ml.

d. Pindahkan homogenate tersebut kedalam microplat sebanyak 50 µl dengan mikropipet.

e. Kedalam setiap sumur microplat tambahkan 50 µl larutan α-naftil asetat dan diamkan selama 60 detik.


(44)

g. Selanjutnya dilakukan pembacaan aktivitas enzim esterase secara kuantitatif dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.10

B. Uji Bioassay Kelambu celup Cypermethrin 100 EC38

a. Siapkan kelambu yang telah dicelup dalam larutan Cypermethrin 100 EC dengan konsentrasi 100, 200, 300,400 dan 500 mg/m2

b. Pada kelambu tersebut dimasukkan 25 ekor nyamuk dewasa betina Culex quenquifasciatus.

c. Nyamuk dewasa betina yang telah dimasukkan kedalam kelambu didiamkan selama 30 menit di dalam kelambu lalu dicatat jumlah nyamuk yang pingsan(knock down). Setelah dicatat, nyamuk dikeluarkan dengan aspirator dengan perlahan, dan ditaruh didalam sebuah wadah (paper cup) tertutup kasa.

d. Nyamuk diberi makan berupa larutan gula 10% yang diletakkan pada permukaan kasa di bagian mulut cup.

e. Pengamatan dan penghitungan terhadap kematian nyamuk dilakukan setelah 24 jam pasca pemaparan di luar kelambu celup.

Uji pendahuluan ditujukan untuk menentukan rentang konsentrasi insektisida yang efektif memberikan kematian pada nyamuk uji serta menentukan rentang waktu yang dibutuhkan untuk pemaparan atau kontak nyamuk dalam kelambu.


(45)

3.8 Alur Penelitian

Nyamuk yang mati maupun yang masih hidup setelah 24 jam ditaruh dalam paper cup kemudian dimasukkan dalam

freezer -200C atau diberi alhohol 70%. Pengujian dilakukan pada minggu ke 1, 4,

dan 8 pasca pencelupan 1. Kelompok 1 : konsentrasi

Cypermethrin 100 mg/m2 2. Kelompok 2 : konsentrasi Cypermethrin 200 mg/m2 3. Kelompok 3 : konsentrasi Cypermethrin 300 mg/m2 4. Kelompok 4 : konsentrasi Cypermethrin 400 mg/m2 5. Kelompok 5 : konsentrasi Cypermethrin 500 mg/m2 Pengujian memakai 5 kelompok perlakuan dan

3 kali ulangan

Larva yang telah dikumpulkan dari lapangan dibiakkan hingga menjadi nyamuk

dewasa

Siapkan 25 ekor nyamuk dewasa betina untuk

setiap perlakuan Pilih nyamuk betina sebagai sampel penelitian Larva dilaskukan uji

esterase untuk melihat resistensi terhadap

insektisida

Diamkan nyamuk pada cup dengan diberi larutan

gula selama 24 jam Amati kematian nyamuk

pada 24 jam paska perlakuan Diamkan nyamuk didalam kelambu celup

selama 30 menit

Hasil dilakukan analisis data

Amati kelumpuhan nyamuk pada menit ke 30


(46)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Sampel

Karakteristik Sampel Jumlah / keterangan lain

1. Nyamuk Culex quinquefasciatus

1.1. Betina dewasa 1.2 Larva instar 3-4

2. Usia nyamuk

3. Jumlah sampel tiap perlakuan konsentrasi

4. Konsentrasi Cypermethrin 100 EC

5. Jenis kelambu celup

450 ekor per satu kali uji/minggu 1 ekor per ulangan

1-2 hari setelah keluar dari pupa 25 ekor

100 mg/m2, 200 mg/m2, 300 mg/m2, 400

mg/m2, 500 mg/m2

Nilon

4.2 Hasil Uji Esterase

Sebelum dilakukan pengujian utama, terlebih dahulu dilakukan uji esterase pada larva nyamuk untuk mengetahui status kerentanan nyamuk terhadap insektisida. Uji esterase dilakukan dengan metode Lee yang mengukur tingkat resistensi berdasarkan jumlah enzim esterase yang diproduksi oleh tubuh nyamuk. Dari hasil pada tabel 4.1 , rata – rata nilai AV dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm adalah 1.363 dan 1.101. Dari hasil tersebut, maka larva sampel uji termasuk kriteria sangat resisten.

Hasil ini didasarkan pada penelitian Lee (1990) dengan kriteria37 :  0 – 0,7 = sangat peka

 0,7 – 0,9 = resisten sedang  0,9 = sangat resisten


(47)

Tabel 4.13Nilai Absorbance Value (AV) larva uji pada ELISA

Percobaan ke

Nilai AV pada tiap ulangan Rata – rata nilai AV

1 2 3 4 5

1 1.257 1.483 1.508 1.333 1.240 1.364 2 1.311 1.479 1.369 1.347 1.310 1.101

Kriteria tersebut menunjukkan bahwa nyamuk Culex quinquefasciatus di daerah pengambilan sampel sudah resisten terhadap insektisida golongan Organofosfat, Karbamat, dan Piretroid. Pada keadaan normal, insektisida Organofosfat bekerja menghambat produksi enzim esterase pada tubuh nyamuk. Sedangkan pada keadaan resistensi, hambatan enzim esterase tidak dapat terjadi karena produksi enzim esterase yang berlebih pada tubuh nyamuk. Hambatan enzim esterase ini akan semakin besar seiring dengan banyaknya paparan nyamuk terhadap insektisida.33

4.3 Hasil Uji Kelambu Celup Cypermethrin 100 EC 100 EC

a. Uji pendahuluan

Setelah dilakukan uji esterase, dilakukan pula uji pendahuluan untuk mengetahui konsentrasi awal yang dapat dijadikan acuan untuk uji utama. Uji pendahuluan dilakukan dengan menggunakan 4 konsentrasi rendah, yaitu 20 mg/m2, 40 mg/m2, 80 mg/m2, dan 100 mg/m2 serta kontrol. Pengujian dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Sampel uji yang digunakan untuk uji pendahuluan adalah nyamuk keturunan pertama (F1) yang merupakan nyamuk biakan laboratorium. Pengamatan dilakukan dengan menghitung knockdown/ kelumpuhan nyamuk pada 30 menit pasca paparan dan kematian nyamuk 24 jam pasca paparan.

Berdasarkan tabel 4.2 dan grafik 4.1 dapat diketahui bahwa semakin besar konsentrasi Cypermethrin 100 EC maka semakin banyak nyamuk yang mengalami kelumpuhan.


(48)

Tabel 4.2 Hasil kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan

Konsentrasi (mg/m2)

Knockdown 30 menit pada tiap ulangan (ekor)

Knockdown 30 menit rata - rata (ekor)

Presentase Knockdown 30 menit rata

- rata (%)

Jumlah sampel (ekor)

I II III

Kontrol 0 0 0 0 0% 10

20 1 1 1 1 10% 10

40 1 1 1 1 10% 10

80 2 1 1 1,3 13% 10

100 2 2 2 2 20% 10

Grafik 4.1 Kelumpuhan/knockdown nyamuk pada uji pendahuluan Sedangkan hasil kematian nyamuk yang diamati dalam 24 jam pasca 30 menit perlakuan dapat dilihat pada tabel 4.3 dan grafik 4.2

0% 5% 10% 15% 20% 25%

20 40 80 100

% K noc k D ow n


(49)

Tabel 4.35Hasil kematian nyamuk dalam 24 jam pada uji pendahuluan

Konsentrasi (mg/m2)

Kematian nyamuk pada tiap ulangan (ekor)

Kematian nyamuk rata - rata

(ekor)

Presentase Kematian nyamuk rata

- rata (%)

Jumlah sampel (ekor)

I II III

Kontrol 0 0 0 0 0% 10

20 0 0 0 0 10% 10

40 1 1 2 1,3 13% 10

80 2 1 2 1,67 16,7% 10

100 2 2 2 2 20% 10

Grafik 4.2 Hasil kematian nyamuk setelah 24 jam pasca paparan

Dari uji pendahuluan didapatkan hasil bahwa dengan konsentrasi Cypermethrin 100 EC 20 mg/m2, 40 mg/m2, 80 mg/m2, dan 100 mg/m2 hanya menyebabkan sekitar < 20% kematian nyamuk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nyamuk ini masihdapat bertahan terhadap perlakuan dengan Cypermethrin

100 EC. Hal ini dimungkinkan karena nyamuk yang digunakan untuk uji

0% 5% 10% 15% 20% 25%

20 40 80 100

% K e m a ti a n


(50)

pendahuluan merupakan nyamuk keturunan laboratorium (F1) dimana belum

terdapat paparan terhadap insektisida sehingga metabolisme detoksifikasi zat aktif insektisida belum terjadi. Hal lain yang memungkinkan terdapatnya kematian nyamuk < 20% karena jumlah sampel yang digunakanuntuk uji pendahuluan hanya 10 ekor tidak sebanding dengan luas kelambu celup yang digunakan. Hal ini menyebabkan paparan insektisida yang diterima oleh nyamuk lebih sedikit sehingga efek yang ditimbulkan oleh insektida lebih rendah.

b. Uji Utama

Setelah dilakukan uji pendahuluan, maka ditetapkan konsentrasi 100 mg/m2 sebagai konsentrasi awal meskipun pada uji pendahuluan konsentrasi tersebut menyebabkan kematian < 20%. Hal tersebut dimungkinkan karena pada uji pendahuluan masih banyak faktor – faktor perancu (suhu, kelembaban udara, makanan nyamuk, usia nyamuk, dll) yang mempengaruhi kematian nyamuk. Namun, pada uji utama ini faktor – faktor tersebut diharapkan sudah dapat terkontrol sehingga jumlah kematian nyamuk tidak lagi disebabkan oleh faktor perancu tersebut. Selain itu penentuan konsentrasi Cypermethrin 100 EC yang dipakai juga didasarkan konsentrasi yang direkomendasikan oleh WHO.

Pada uji utama dilakukan pengujian untuk melihat banyaknya nyamuk yang

knockdown dan nyamuk yang mati pada tiap konsentrasi di minggu ke 1, 4, dan 8 pasca pencelupan. Konsentrasi yang digunakanpada uji utama adalah 100 mg/m2, 200 mg/m2, 300 mg/m2, 400 mg/m2, dan 500 mg/m2. Pengujian dilakukan dengan 3 kali pengulangan dan dilakukan dalam waktu yang berbeda, mulai dari minggu ke-1, 4, dan 8 setelah dilakukan pencelupan insektisida.

 Hasil kelumpuhan/knockdown

Kelumpuhan/knockdown pada nyamuk diamati pada menit ke 30 pasca paparan insektisida Cypermethrin 100 EC. Perhitungan dilakukan pada nyamuk yang tidak dapat bergerak (pingsan), tidak dapat terbang, ataupun jika alat gerak nyamuk telah terlepas. Dari tabel 4.4 dan grafik 4.3 dapat terlihat bahwa KD 50% diperoleh pada konsentrasi 100 mg/m2 di minggu I dan IV perlakuan, sedangkan


(51)

pada minggu VIII KD meningkat menjadi 64%. Untuk KD 90% dicapai padakonsentrasi 400 mg/m2 dan 500 mg/m2 pada minggu ke IV.

Tabel 4.46Tabel kelumpuhan/knockdown nyamuk pada 30 menit pasca perlakuan di tiap minggu perlakuan

Konsentrasi

Minggu I Minggu IV Minggu VIII

Jumlah Sampel (ekor) KD (30 menit) KD (30 menit) KD (30 menit)

Jumlah (ekor) Presentase (%) Jumlah (ekor) Presentase (%) Jumlah (ekor) Presentase (%)

Kontrol 0 0% 0 0% 0 0% 25

100 14 56% 13 52% 16 64% 25

200 17 68% 17 68% 18 72% 25

300 19 76% 18 72% 19 76% 25

400 20 80% 23 92% 21 84% 25

500 21 84% 24 96% 23 92% 25

Grafik 4.3 Presentase Knockdown 30 menit pada tiap minggu perlakuan Dari tabel 4.4 dan grafik 4.3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi

Cypermethrin 100 EC yang digunakan maka akan semakin banyak nyamuk yang lumpuh / knockdown yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erna K (2013) di Lombok Barat.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

100 200 300 400 500

% K n oc k d ow n

Konsentrasi Cypermethrin (mg/m2)

Minggu I Minggu IV Minggu VIII


(52)

Knockdown terjadi karenacara kerja Cypermethrin sebagai racun perut yang akan menginhibisi proses detoksifikasi racun serta sebagai neurotoksin yang mengakibatkan hipereksitasi sehingga nyamuk yang sudah lumpuh akan dapat bergerak aktif kembali.30-33 Proses inhibisi ini berlangsung semakin cepat seiring dengan bertambahnya paparan insektisida yang diterima oleh nyamuk.32

 Hasil kematian nyamuk

Kematian pada nyamuk diamati setelah 24 jam pasca paparan. Perhitungan dilakukan pada nyamuk yang sudah benar – benar tidak dapat bergerak. Dari pengamatan didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.57Hasil Kematian nyamuk tiap minggu perlakuan

Konsentrasi

Minggu I Minggu IV Minggu VIII

Jumlah Sampel Kematian (24 jam) Kematian (24 jam) Kematian (24 jam)

Jumlah (ekor) Presentase (%) Jumlah (ekor) Presentase (%) Jumlah (ekor) Presentase (%)

Kontrol 0 0% 0 0% 0 0% 25

100 17 68% 10 40% 7 28% 25

200 20 80% 12 48% 8 32% 25

300 20 80% 13 52% 10 40% 25

400 24 96% 17 68% 12 48% 25

500 24 96% 19 76% 16 64% 25

Berdasarkan tabel 4.5 dan grafik 4.4 dapat terlihat bahwa angka kematian nyamuk meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi yang diberikan. Pada minggu I angka kematian tertinggi dicapai oleh konsentrasi 400 mg/m2 dan 500 mg/m2 dengan 96% kematian. Untuk minggu ke IV angka kematian tertinggi dicapai oleh konsentrasi 500 mg/m2 dengan 76% kematian dan pada minggu VIII angka kematian tertinggi dicapai oleh konsentrasi 500 mg/m2 dengan 64% kematian. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelambu celup Cypermethrin 100 EC masih efektif menyebabkan kematian nyamuk > 50% pada minggu ke VIII pasca pencelupan kelambu.


(53)

Grafik4.4 Presentase kematian nyamuk pada tiap minggu perlakuan

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwarsono (2004) bahwa kematian nyamuk terus menurun seiring dengan bertambahnya usia residu insektisida pada kelambu celup. Hal tersebut dikarenakan semakin bertambahnya usia kelambu celup maka kandungan insektisida yang terdapat pada kelambu celup semakin berkurang.6 Hal lain yang dapat menurunkan

efektifitas kelambu celup insektisida adalah cara penyimpanan yang tidak baik. Salah satu contohnya adalah debu – debu yang menempel pada kelambu celup dapat mengurangi paparan insektisida terhadap kelambu celup sehingga menyebabkan menurunnya kematian nyamuk.39

4.5 Hasil Analisa Statistik

4.5.1 Uji Normalitas Data

Sebelum dilakukan uji ANOVA one way, data harus memenuhi syarat distribusi normal dan sebaran normal. Untuk mengetahui sebaran normal dilakukan uji Saphiro-Wilk karena sampel <50 dengan menggunakan SPSS 21.0. Pada tabel normalitas berikut didapatkan hasil p value > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

100 200 300 400 500

% K e m a ti a n

Konsentrasi Cypermethrin (mg/m2)

Minggu I Minggu IV Minggu VIII


(54)

4.5.2 Uji Varian Data

Syarat dilakukannya uji ANOVA one way adalahharus memiliki sebaran normal dan memiliki varian data yang sama atau homogen. Untuk mengetahui varian data sama atau tidak digunakan varian data dengan menggunakan SPSS 21.0. Dari tabel dapat dilihat bahwa p value bernilai p>0,05. Dapat disimpulkan bahwa varian data homogen. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

4.5.3 Uji ANOVA one way

Setelah didapatkan hasil data berdistribusi normal dengan sebaran yang sama, maka data dapat dilakukan uji ANOVA one way.

Hasil uji ANOVA didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kematian nyamuk dengan perbedaan konsentrasi, yang ditunjukkan dengan nilai p=0,374. Namun terdapat perbedaan nyata antara minggu perlakuan dengan kematian nyamuk, dengan nilai p=0,001. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

4.5.5 Uji Regresi Linier

Hasil uji regresi linier didapatkan bahwaperbedaan konsentrasi

Cypermethrin 100 EC tidak berpengaruh terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai R=0,561. Sedangkan perbedaan waktu efek residu kelambu celup Cypermethrin 100 EC memiliki pengaruh yang kuat terhadapterhadapkematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai R=0,966. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

4.5.6 Analisis Probit

Berdasarkan hasil pengamatan pada kematian nyamuk yang dilakukan pada minggu ke I, IV, dan VIII dapat dilakukan perhitungan LC50 dan LC90

pada tiap minggu perlakuan. Setelah dilakukan uji probit didapatkan hasil sebagai berikut.


(55)

Tabel84.6 Lethal Concentration (LC50& LC90) tiap minggu perlakuan

Minggu ke LC50 LC90

I 57.565 355.345

IV 191.361 1598.27

VIII 383.627 4093.3

Grafik 4.5 Lethal Concentration (LC50 & LC90) tiap minggu perlakuan

Dari tabel 4.6 dan grafik 4.5 dapat dilihat bahwa kelambu celup masih efektif mengakibatkan 50% kematian nyamuk hingga minggu ke VIII pada konsentrasi ≤500 mg/m2. Namun kelambu celup Cypermetrin 100 EC ini tidak lagi efektif untuk digunakan lebih dari 8 minggu. Dari grafik diatas juga digambarkan bahwa efek kematian 90% bisa diperoleh bila konsentrasi

Cypermetrin 100 EC dinaikkan >500 mg/m2, yang berarti bahwa cypermetrin tidak efektif digunakan untuk membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus

dengan konsentrasi yang rendah dan aman bagi lingkungan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwarsono (2004) didapatkan bahwa efek residu kelambu celup permetrin (piretroid sintetik) berbahan nilon masih efektif hingga 3 bulan dengan satu kali pencucian dengan LC50 0,04

ml/m2.6 Sedangkan menurut Nasir (2013) kelambu celup permetrin dengan

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

Minggu I Minggu IV Minggu VIII

Le th a l C on cent ra ti on ( LC )

Kematian nyamuk minggu ke

LC90 LC50


(56)

konsentrasi 200 mg/m2 masih efektif hingga 5 bulan pasca pencelupan.39 Dengan demikian diperkirakan efikasi kelambu celup dapat bertahan selama 2-3 bulan tanpa pencucian.


(57)

44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Konsentrasi Cypermethrin 100 EC yang menyebabkan kematian nyamuk ≥50% adalah : 100-500 mg/m2 pada minggu I, 300-500 mg/m2 pada minggu IV, dan 500 mg/m2 pada minggu VIII

2. Perbedaan konsentrasi Cypermethrin 100 EC tidak berpengaruh terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai p=0,374.

3. Perbedaan waktu mempengaruhi efek residu kelambu celup Cypermethrin

100 EC terhadap kematian nyamuk Culex quinquefasciatus dengan nilai p=0,001.

4. Nilai terendah dari LC50 dan LC90 didapatkan pada minggu I. Semakin lama

usia kelambu celup maka nilai LC (Lethal Concentratiion) akan semakin tinggi.

5. Kelambu celup Cypermethrin 100 EC efektif mengakibatkan kematian nyamuk 50% hingga 2-3 bulan tanpa pencucian pada konsentrasi 400-500 mg/m2.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pengujian dalam ukuran kelambu yang lebih besar atau ukuran tempat tidur di dalam rumah, dan bisa juga digunakan untuk gorden jendela rumah.

2. Merekomendasikan kepada dinas kesehatan setempat tentang penggunaan kelambu celup insektisida golongan piretroid sintetik turunan terbaru dengan konsentrasi yang lebih rendah dan efek residu lebih lama ( > 6 bulan) untuk digunakan secara masal dalam program pemberantasan vektor nyamuk di wilayah endemis.


(58)

3. Perlu dilakukan adanya uji efek penggunaan insektisida serta limbah pencelupannya terhadap dampak lingkungan dan hewan bukan sasaran.


(59)

46

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Pedoman penggunaan kelambu berinsektisida menuju eliminasi malaria. Jakarta : Kemenkes RI. 2011

2. Zulhasril and Lesmana SD. Resistensi larva Aedes aegypti terhadap insektisida organofosfat di Tanjung Priok dan Mampang Prapatan. Majalah Kedokteran FK UKI 2010 Vol XXVII No.3

3. Kemenkes RI. Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam pengendalian vector. Jakarta : Kemenkes RI. 2012

4. Widiarti, Heriyanto B, Damar TBD. Peta resistensi vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti terhadap insektisida kelompok organophosfat, karbamat dan pyrethroid di Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Buletin Penelit Kesehatan. 2011;39(4)

5. Sayono DS. Distribusi resistensi nyamuk aedes aegypti terhadap insektisida sipermetrin di Kota Semarang. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. LPPM Unimus. 2012

6. Suwasono H, Boewono DT, Sutopo, Suwaryono T, Raharjo. Uji efikasi kelambu celup insektisida berbahan aktif Alphacypermethrin terhadap vector filariasis Culexquinquefasciatus . Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 3. No 3. Desember 2004 : 118-122

7. Ikawati B, Sunaryo, Widiastuti D. Peta status kerentanan Aedes aegypti

(Linn.) terhadap insektisida cypermethrin dan malathion di JawaTengah. Aspirator, 7(1). 2015, pp. 23-28

8. Lagunes,. lmpact of the use of mixture and sequences of tissues in the evolution of resistance in Culex quinquefaciatus. University of California Riverside. 1980

9. Ahmad I, Astari S, Resti R, Hariani N. Status kerentanan Aedes aegypti

(Diptera : Culicidae) pada tahun 2006-2007 terhadap Malation di Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang, dan Palu. Biosfera 26 (2). Mei 2009


(60)

10. Kemenkes RI. Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam pengendalian vector. Jakarta : Kemenkes RI. 2012

11. Dindin W and Teguh BP. Aedes mosquito susceptibility test for the insecticide used in dengue Haemorrhagice fever (dhf) controling programs Incimahi city of west java province. Bandung : Politeknik Kesehatan Bandung. 2012

12. University of Michigan Museum of Zoology. Culex quinquefasciatus. [Cited 23 November 2014, 6:52 PM]. Available from : http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Culex_quinquefasciatus/clas sification/

13. World Health Organization. World Health Organization Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis : a Handbook for National Elimination Programmes. Geneva : WHO, 2013

14. Astuti MAW. Uji daya bunuh ekstrak bunga kecombrang (Nicolaiaspeciosa/ blumehoran) terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus say .2011

15. New Zealand Biosecure Entomology Laboratory. Culex quinquefasciatus. New Zealand, 2008

16. Stephanie H and Roxanne C. Southern house mosquito Culex quinquefasciatus Say. USA : Institut of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. May 2013

17. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from : http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/eggraft_quinq.jpg 18. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito

photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from : http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/culex_quinquefascia tus_larvgroup.jpg

19. NSW Arbovirus Surveillance and Vector Monitoring Program. Mosquito photos : Culex quinquefasciatus. [cited at 26 July 2015]. Download from : http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/culex_quinquefascia tus_pupa.jpg


(1)

b.

Hubungan antara kematian nyamuk

Culex quinquefasciatus

dengan minggu

perlakuan

Tabel uji normalitas

Saphiro Wilk

Tests of Normality

minggu_ke Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

kematian

1 .877 5 .295

4 .943 5 .687

8 .943 5 .685

*. This is a lower bound of the true significance.

Tabel uji homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

kematian

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.205 2 12 .818

Tabel uji ANOVA

oneway

ANOVA kematian

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 4462.933 2 2231.467 11.786 .001

Within Groups 2272.000 12 189.333

Total 6734.933 14

Tabel uji LSD

Multiple Comparisons (I) minggu_ke (J) minggu_ke Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

1 4 27.200

* 8.702 .009 8.24 46.16

8 41.600* 8.702 .000 22.64 60.56

4 1

-27.200-* 8.702 .009 -46.16- -8.24-

8 14.400 8.702 .124 -4.56- 33.36

8 1

-41.600-* 8.702 .000 -60.56- -22.64-

4 -14.400- 8.702 .124 -33.36- 4.56


(2)

c.

Uji Regresi Linier

Model Summaryc Mode

l

R R

Square

Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson

1 .561a .314 .262 18.848

2 .966b .934 .923 6.096 1.053

a. Predictors: (Constant), konsentrasi

b. Predictors: (Constant), konsentrasi, minggu_ke c. Dependent Variable: kematian

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 35.867 11.413 3.143 .008

konsentrasi .084 .034 .561 2.441 .030

2

(Constant) 61.070 4.391 13.907 .000

konsentrasi .084 .011 .561 7.547 .000

minggu_ke -5.816 .549 -.787 -10.595 .000


(3)

d.

Tabel uji Probit

Minggu I

No Point

Exposure Concentration

(mg/m2)

95% Confidence Limit

Lower Upper

1 LC1 2.114 .006 11.304

2 LC2 3.114 .015 14.526

3 LC3 3.981 .026 17.033

4 LC4 4.789 .040 19.204

5 LC5 5.566 .055 21.173

6 LC10 9.325 .176 29.623

7 LC20 17.419 .713 44.584

8 LC30 27.333 1.948 60.024

9 LC40 40.168 4.585 77.626

10 LC50 57.565 10.157 99.178

11 LC60 82.495 22.304 127.844

12 LC70 121.233 50.565 171.667

13 LC80 190.235 119.605 267.056

14 LC90 355.345 255.023 762.885

15 LC95 595.313 381.474 2267.678

16 LC96 691.872 424.625 3146.376

17 LC97 832.299 483.004 4719.898

18 LC98 1064.052 571.302 8119.171


(4)

Minggu IV

No Point

Exposure Concentration

(mg/m2)

95% Confidence Limit

Lower Upper

1 LC1 4.060 .304 12.992

2 LC2 6.377 .632 18.038

3 LC3 8.492 1.004 22.218

4 LC4 10.535 1.422 25.994

5 LC5 12.553 1.887 29.538

6 LC10 22.912 4.983 45.856

7 LC20 47.478 16.075 78.459

8 LC30 80.290 37.132 116.411

9 LC40 125.784 74.897 165.341

10 LC50 191.361 139.206 237.918

11 LC60 291.126 233.938 378.639

12 LC70 456.084 355.297 714.227

13 LC80 771.288 539.252 1612.846

14 LC90 1598.273 931.424 5153.840

15 LC95 3476.092 1648.898 17998.137

16 LC96 4311.967 1930.174 25482.193

17 LC97 5742.211 2378.856 40470.170

18 LC98 9018.927 3304.953 83954.819


(5)

Minggu VIII

No Point

Exposure Concentration

(mg/m2)

95% Confidence Limit

Lower Upper

1 LC1 5.218 .247 17.526

2 LC2 8.634 .601 24.956

3 LC3 11.885 1.056 31.242

4 LC4 15.114 1.613 37.004

5 LC5 18.377 2.276 42.476

6 LC10 35.954 7.402 68.353

7 LC20 81.039 30.529 122.945

8 LC30 145.610 82.596 192.774

9 LC40 240.244 177.971 307.543

10 LC50 383.627 300.341 577.903

11 LC60 612.582 443.290 1241.644

12 LC70 1010.707 644.932 2933.702

13 LC80 1816.041 984.275 8154.447

14 LC90 4093.301 1751.748 33992.723

15 LC95 8008.370 2809.851 110897.457

16 LC96 9737.591 3223.449 156552.555

17 LC97 12383.243 3815.705 239225.577

18 LC98 17044.852 4773.807 420424.221


(6)

PERSONAL DATA

Nama

: Fitriana Nurharyani Haryono

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir

: Jakarta, 8 Maret 1995

Status

: Belum Menikah

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Rawa Bebek Rt 015/013 No 34, Penjaringan,

Jakarta Utara

No. Telepon/HP

: 0812-9061-7921

Email

:

fitriana.nurharyani@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1998-2000

: TK Nurul Huda, Demak, Semarang, Jawa Tengah

2000-2001

: SD Negeri Jatilawang, Boyolali, Jawa Tengah

2001-2002

: SD Negeri Mangunranan, Kebumen, Jawa Tengah

2002-2006

: SD Negeri Penjaringan 09 Petang, Jakarta Utara

2006-2009

: SMP Negeri 21 Jakarta

2009-2012

: SMA Negeri 2 Jakarta

2012-sekarang

: Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta