Efektivitas ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) sebagai larvasida nyamuk culex quinquefasciatus

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN TAPAK DARA
(Catharanthus roseus) SEBAGAI LARVASIDA NYAMUK Culex
quinquefasciatus

ROFINDRA ROHANANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas Ekstrak
Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex
quinquefasciatus” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Rofindra Rohananto
NIM B04080092

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penilitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
ROFINDRA ROHANANTO. Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara
(Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus.
Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUPRIYONO.
Nyamuk merupakan serangga pengisap darah yang berkaitan dengan
penyakit manusia karena peranannya sebagai vektor biologis. Penggunaan zat
sintetik sebagai pengendalian nyamuk menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
senyawa ini dan toksik terhadap manusia dan hewan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengukur kemampuan dan efektivitas ekstrak daun tapak dara
(Catharanthus roseus) terhadap mortalitas larva nyamuk Culex quinquefasciatus.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari - Agustus 2013. Penelitian ini
dilakukan dua tahap, tahap pertama pengujian fitokimia dan ekstraksi; kemudian
pengujian terhadap larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian larva Cx.
quinquefasciatus sebanyak 47% pada konsentrasi 2000 ppm setelah 24 jam
paparan. Peningkatan mortilitas larva seiring dengan peningkatan konsentrasi dan
durasi paparan. Nilai LC50 Cx. quinquefasciatus adalah 3469 ppm. Berdasarkan
nilai LC50 ekstrak daun tapak dara kurang efektif terhadap mortalitas larva Cx.
quinquefasciatus.
Kata kunci : Catharanthus roseus, Culex quinquefasciatus, larvasida

ABSTRACT
ROFINDRA ROHANANTO. Effectiveness of Tapak Dara (Catharanthus
roseus) Leaf Extract as Mosquito Larvicide Againts Culex quinquefasciatus.
Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO.
Mosquitoes are blood-sucking insects related to human disease because its
role as a biological vectors. The control of mosquitoe’s that using a synthetic
substance leads to resistance and toxic to human and animals. This research was
conducted to measured the activity and effectivity of tapak dara (Catharanthus
roseus) leaves extract to the mosquitoe’s larvae of Culex quinquefasciatus
mortality. The research was conducted in February - August 2013. This research

were carried out in two steps, i.e. the extraction of tapak dara leaves and the
phytochemical test; and the effication test of the extract against the larvae of
Culex quinquefasciatus. The result showed that the mortality of Cx.
quinquefasciatus larvae with concentration 2000 ppm after 24 hours exposured
was 47%. The increasing of leaves extract concentration and the duration of the
exposured were followed by the increasing of the larvae mortality rate. The LC50
value of Cx. quinquefaciatus was 3469 ppm. Based on the LC50 value tapak dara
leaves extract was not effective against the larvae of Culex quinquefasciatus.
Keywords: Catharanthus roseus, Culex quinquefasciatus, larvicide

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN TAPAK DARA
(Catharanthus roseus) SEBAGAI LARVASIDA NYAMUK Culex
quinquefasciatus

ROFINDRA ROHANANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Penelitian

:

Nama
NIM

:
:

Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus
roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex
quinquefasciatus
Rofindra Rohananto

B04080092

Disetujui oleh

Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Pembimbing I

drh Supriyono
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

Judul Penelitian

Nama


NIM

Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus
roseus)
sebagai
Larvasida N yamuk
Culex
quinquefasciatus
Rofindra Rohananto
B04080092

Disetujui oleh

Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Pembimbing I

Tanggal Lulus: J..1

3 SEW- セ 0H


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari - Agustus 2013
ini ialah larvasida biotik, dengan judul Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara
(Catharanthus roseus) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Hj Upik Kesumawati
Hadi, MS dan Bapak drh Supriyono selaku pembimbing yang telah banyak
memberi masukan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada seluruh staf Laboratorium Entomologi FKH IPB yang telah membantu
selama perjalanan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ayahanda, Ibunda, kakakku dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman Avenzoar FKH45,
teman satu kost Wisma Biru dan patner kerja PKM yakni Jamaludin dan Smita.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Rofindra Rohananto


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Tapak Dara (Catharanthus roseus)

2

Nyamuk Culex quinquefasciatus

4


METODE

8

Waktu dan Tempat

8

Persiapan Daun Tapak Dara

8

Ekstraksi

8

Uji Fitokimia

8


Persiapan Larva Nyamuk

9

Uji Aktivitas Larvasida

10

Analisis Data

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Hasil

11

Pembahasan

13

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1 Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun tapak dara
2 Efektivitas ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas larva nyamuk
Cx. quinquefasciatus

11
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Tapak dara (Catharanthus roseus)
Siklus hidup Cx. quinquefasciatus
Persiapan Daun Tapak Dara
Uji Fitokimia
Persiapan Larva Nyamuk
Pengujian Larvasida
Nilai LC50 dan LC90 hasil dari analisis probit ekstrak daun tapak dara
terhadap larva Cx. quinquefasciatus pada pengamatan 24, 48 dan 72
jam setelah pemaparan

3
6
8
9
10
11

13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Uji Aktivitas Larvasida Cx. quinquefasciatus
2 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 24 jam
3 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 48 jam
4 Hasil Uji analisa ragam (ANOVA) dan uji Duncan (taraf nyata 5%)
persentase kematian larva Cx. quinquefasciatus pada paparan 72 jam

18
19
20
21

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyamuk Culex quinquefasciatus adalah contoh nyamuk rumah dengan
aktifitas di malam hari. Nyamuk ini menyukai darah manusia dan hewan. Nyamuk
ini tersebar di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk ini umumnya berwarna coklat
dan aktifitas mengisap darah pada malam hari dan puncaknya pada jam 22.00 –
02.00 WIB (Hadi dan Koesharto 2006).
Nyamuk Cx. quinquefasciatus berperan sebagai vektor penyakit filariasis
(kaki gajah) dan Japanesse encephalitis (JE). Filariasis merupakan penyakit
infeksius yang disebabkan oleh cacing mikrofilaria. Penyakit ini dapat
menyebabkan kecacatan, psikososial, dan penurunan produktivitas penderita serta
lingkungannya. Hasil survei tahun 2009 tercatat sebanyak 40 juta orang
mengandung mikrofilaria di 386 Kabupaten/Kota di Indonesia. Penyakit ini
menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang sangat besar (Kemenkes 2012).
Japanesse encephalitis merupakan penyakit viral yang menyebabkan
ensefalitis (radang otak) pada manusia terutama anak-anak dan ternak. Kasus
kematian yang disebabkan oleh penyakit ini sekitar 20 - 50% (Tsai 2000). Kasus
JE dikonfirmasi positif sebanyak 67 kasus di Indonesia pada tahun 2005 (PATH
2006). Kasus JE dan filariasis dapat dikendalikan dengan memutus daur hidup
nyamuk tersebut. Upaya pengendalian populasi nyamuk saat ini lebih banyak
menggunakan insektisida sintetik. Masalah yang muncul dari penggunaan zat
sintetik menyebabkan terjadinya resistensi nyamuk terhadap senyawa tersebut.
Efek lain dari penggunaan insektisida sintetik adalah toksik terhadap manusia dan
hewan. Amakye (2005) melaporkan penggunaan temephos menyebabkan
kematian fauna non-target dan residu di Sungai Musola Republik Equator.
Penggunaan bahan alami dari tanaman sebagai insektisida biotik adalah cara
alternatif yang aman dalam pengendalian nyamuk. Lebih dari 2400 jenis tanaman
yang termasuk ke dalam 255 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida.
Selasih, germanium dan zodia adalah contoh tanaman pengusir nyamuk karena
memiliki aroma yang khas. Tanaman tersebut mengandung senyawa, antara lain
metil eugenol dan beberapa unsur mikro Iainnya, seperti linalool, terpincol,
eugenol, sincol, geraniol (Kardinan 2001, 2005).
Tanaman yang berpotensi sebagai larvasida adalah tapak dara
(Catharanthus roseus). Tapak dara dikenal sebagai tanaman hias karena bunganya
yang indah sehingga banyak ditanam di pekarangan rumah. Tanaman tapak dara
mempunyai berbagai senyawa aktif seperti golongan alkaloid (seperti vinblastin,
vinkristin, vinceine), tanin dan triterpenoid (Hariana 2008). Eufrocinio et al.
(2002) melaporkan kombinasi antara tapak dara dan Trichoderma harzianum
bersifat antimikroba terhadap gram positif. Tapak dara juga diketahui sebagai
insektisida biotik larva Spodoptera exigua dengan titik tangkap kerja sebagai
penghambat makan (Luijendijk et al. 1996).
Ketersediaan tanaman tapak dara cukup melimpah karena digunakan
sebagai tanaman hias atau dijadikan tanaman pagar. Penggunaan larvasida biotik
yang alami dan murah diharapkan menjadi kemudahan bagi masyarakat sebagai
larvasida untuk mengurangi penggunaan bahan kimia sintetik. Pengujian secara

2
ilmiah ekstrak daun tapak dara perlu dilakukan sebagai larvasida nyamuk Cx.
quinquefasciatus.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengukur kemampuan dan efektivitas
ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) terhadap mortalitas larva nyamuk
Cx. quinquefasciatus.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus)
dapat dimanfaatkan sebagai larvasida biotik yang ramah lingkungan dalam
mengendalikan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus.

TINJAUAN PUSTAKA
Tapak Dara (Catharanthus roseus)
Tapak dara (Catharanthus roseus) merupakan satu di antara jenis tanaman
hias yang memiliki nama sinonim Vinca rosea, Ammocalis rosea, atau Lochnera
rosea. Nama umum bahasa inggrisnya adalah cape periwinkle atau rose
periwinkle. Tapak dara dikenal di Indonesia dengan berbagai nama, diantaranya
adalah kembang serdadu, kembang tembaga, atau kembang sari cina. Klasifikasi
tanaman tapak dara adalah:
Dunia
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Gentianales
: Apocynacaeae
: Catharanthus
: Catharanthus roseus

Tanaman tapak dara memiliki tinggi 0.2 - 0.8 m dan batangnya bercabang
banyak. Bentuk daun memanjang dengan bulu-bulu halus di kedua sisinya dan
posisi daun saling berhadapan. Bunga tapak dara tumbuh di ketiak daun berukuran
kecil, sepintas mirip telapak burung merpati. Tanaman ini dijuluki dengan tapak
dara (telapak merpati). Tapak dara pada umumnya adalah berbunga putih dan
ungu yang terdiri atas 5 kelopak. Tanaman ini juga memiliki buah yaitu sepasang
folikel dengan panjang 2 - 4 cm dan lebar 3 mm (Kardinan 2003).

3

Gambar 1 Tapak dara (Catharanthus roseus) (Dok pribadi).

Kandungan Daun Tapak Dara
Kandungan senyawa aktif tapak dara sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, geografis, dan unsur hara di dalam tanah. Oleh karena itu, kandungan
bahan aktif ekstrak dapat berbeda-beda di setiap daerah. Tanaman tapak dara
banyak mengandung senyawa aktif seperti golongan alkaloid (seperti vinblastin,
vinkristin, vinceine), tanin dan triterpenoid (Hariana 2008). Alkaloid
diklasifikasikan menurut kesamaan sumber asal molekulnya (precursors) dan
metabolisme pathway (metabolic pathway) yang dipakai untuk membentuk
molekul itu. Golongan alkaloid hingga sekarang dikenal sekitar 10.000 senyawa
dengan struktur sangat beragam (Harborne 1996). Senyawa alkaloid dari tanaman
ini berperan sebagai pengobatan kanker dan bersifat depresan.
Saponin adalah metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri
atas gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Senyawa ini
digunakan untuk pembasmi hama tertentu dan bersifat racun bagi binatang
berdarah dingin. Sifat-sifat saponin yaitu berasa pahit, berbusa dalam air,
mempunyai sifat detergen yang baik dan anti eksudatif. Saponin mempunyai
aktifitas dapat menghemolisis sel darah merah dan anti inflamasi (Harborne 1996).
Flavonoid adalah senyawa terdiri atas dari 15 atom karbon terdapat di sel
epidermis dan sebagian tersimpan di vakuola sel. Tiga kelompok yang umum
dipelajari, yaitu antosianin, flavonol dan flavon. Antosianin adalah pigmen
berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu dan biru
(Harborne 1996).
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terbentuk dengan
kondensasi turunan flavonoid. Tanin bersifat menyamak kulit atau mempresipitasi
gelatin dari cairan dan dikenal sebagai astringensi. Senyawa ini mampu berikatan
dengan protein dan terbentuk kompleks tanin - protein yang larut dan tidak larut
(Giner dan Cannas 2001).
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari skualena. Senyawa ini
berstruktur siklik yaitu nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau

4
asam karboksilat. Senyawa triterpenoid jika bergabung dengan saponin dapat
menghambat pertumbuhan kanker (Shibata 2001).
Arti Penting Tapak Dara
Tanaman tapak dara diketahui banyak mengandung senyawa alkaloid,
terutama vinscristine dan vinblastine (senyawa tunggal alkaloid). Vinscristine
merupakan senyawa yang berperan dalam menghambat mitosis sel pada fase
matafase, sedangkan vinblastine berperan sebagai zat anti metabolik. Kedua
senyawa ini yang digunakan sebagai pengobatan kanker dan mengatur perubahan
sulfat di dalam darah (Gamal et al. 2011). Kombinasi antara tapak dara dan
Trichoderma harzianum mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri,
seperti Eschericia, Staphylococcus dan Pseudomonas (Eufrocinio et al. 2002).
Daun tapak dara efektif digunakan sebagai larvasida biotik dalam
pengendalian larva instar III dan IV Ae. aegypti di India. Mortalitas nyamuk
menunjukkan sebesar 77% setelah 24 jam pemaparan pada konsentrasi 250 ppm
(Logaswamy dan Remia 2009). Sejauh ini penggunaan daun tapak dara sebagai
larvasida biotik terhadap larva Cx. quinquefasciatus belum pernah dilakukan.
Oleh sebab itu pengujian lebih lanjut pada daun tapak dara perlu dilakukan untuk
mendapat senyawa yang berpotensi sebagai sebagai larvasida Cx.
quinquefasciatus.

Nyamuk Culex quinquefasciatus
Morfologi Dewasa dan Siklus Hidup
Nyamuk Cx. quinquefasciatus termasuk kedalam subfamili Culicinae.
Nyamuk ini memiliki panjang dengan ukuran 3-6 mm dengan warna coklat pucat
pada toraks dan abdomen. Kepala nyamuk ini mempunyai bentuk agak membulat,
hampir seluruh kepala diliputi oleh sepasang mata majemuk yang hampir
bersentuhan. Panjang ukuran mulut nyamuk betina disesuaikan untuk menusuk
dan mengisap darah. Bagian mulut ini terdiri atas labium bagian bawah yang
mempunyai saluran dan bagian atas terdiri atas labrum - epifaring, hipofaring,
sepasang mandibula dan maksila bergigi (Hadi dan Koesharto 2006).
Antenanya berukuran panjang dan langsing yang terdiri atas 15 segmen.
Menurut Bill et al. (2009) antena nyamuk berperan sebagai organ utama olfaktori.
Antena Cx. quinquefasciatus memiliki 5 tipe morfologi sensilla, antara lain 1)
sepasang sensilla coeloconica yang terdapat di ujung distal antena, 2) sensilla
chaetica berukuran panjang dan pendek yang terdapat di seluruh segmen antena,
3) sensilla ampullace banyak ditemukan di proksimal dari flagela antena, 4) tipe
sensilla grooved pegs yang terdapat di sepanjang flagela dan 5) tipe sensilla
trichodea terdapat di seluruh flagela antena.
Antena nyamuk jantan memiliki banyak bulu (plumose), sedangkan betina
memiliki sedikit berbulu (pilose). Maksilari palpi pada nyamuk betina langsing
dan berbulu, sedangkan jantan panjang dan dihiasi dengan jumbai-jumbai rambut.
Pada betina ukuran maksilari palpi lebih pendek dari separuh panjang probosisnya.
Toraks nyamuk ini ditutupi oleh skutum di bagian dorsal dengan warna coklat
keemasan. Bagian toraks dilengkapi dengan 3 pasang kaki yang panjang dan

5
lansing (Guimaraes et al. 2000). Seluruh kaki berwarna gelap, kecuali pada bagian
persendian dan femur (Russel 1996).
Sepasang sayap dan halter muncul dari samping toraks yang merupakan
alat keseimbangan saat terbang. Posterior dari toraksnya terdapat skutelum yang
berbentuk trilobus. Perut Cx. quinquefasciatus berwarna gelap di setiap segmen
dan bagian ventral berwarna pucat sampai bagian lateral. Bagian posterior perut 2
sersi caudal yang berukuran kecil pada nyamuk betina, sedangkan jantan memiliki
organ seksual yang disebut hipopigium (Hadi dan Koesharto 2006).
Nyamuk Cx. quinquefasciatus mengalami metamorfosis sempurna di dalam
siklus hidupnya. Cx. quinquefasciatus mampu meletakan telurnya 100-400 butir
secara berkelompok di atas permukaan air dan berbentuk seperti rakit sehingga
mampu mengapung. Telur akan menetas yang kontak dengan air dalam kurun
waktu 1 - 2 hari pada suhu 30 C. Larva mengalami 4 kali pergantian kulit (instar)
dan kemudian berubah menjadi pupa. Pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh faktor suhu, makanan dan hewan predator. Larva dapat tumbuh
dalam kurun waktu 7 hari pada suhu 27 C. Larva yang diberi ekstrak hati dan
vitamin B komplek dapat tumbuh sekitar 4 – 8 hari pada suhu 28 C (Hadi dan
Koesharto 2006).
Pupa merupakan stadium terakhir dari larva nyamuk dengan bentuk oval
yang berada di dalam air. Stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi
pembentukan sayap. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi nyamuk dewasa
sekitar 2 - 3 hari, tetapi dapat diperpanjang hingga 10 hari pada suhu rendah,
bahkan tidak berkembang pada suhu dibawah 10 C. Nyamuk dewasa jantan
umumnya dapat bertahan hidup selama 6 - 7 hari dan makanannya adalah cairan
tumbuhan atau nektar, sedangkan betina mengisap darah manusia atau hewan dan
dapat bertahan mencapai 2 minggu. Darah ini dibutuhkan untuk produksi telur
(Hadi dan Koesharto 2006).
Habitat dan Perilaku Mengisap Darah
Cx. quinquefasciatus adalah contoh nyamuk rumah yang sering ditemukan
di dalam maupun di luar rumah. Hasil penangkapan nyamuk Cx. quinquefasciatus
pada jam 21.00 - 24.00 WIB dengan metode bare leg collection (BLC)
menunjukkan persentase sebesar 98,82% yang dilakukan di Komplek Perumahan
Pegawai IPB daerah Cikampak Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor (Ginanjar
2011). Taviv (2005) melaporkan populasi nyamuk ini paling banyak tertangkap
selama bulan Februari – Juli di Desa Segara Kembang Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKU) Sumatera Selatan dengan persentase sebesar 28,3. Hal ini disebabkan
kondisi lingkungan Desa Segara Kembang berupa kebun durian, karet, duku dan
damar.
Cx quinquefasciatus bersifat aktif pada malam hari (nokturnal). Nyamuk ini
aktifitas mengisap darah dimulai pada jam 21.00 WIB dan puncaknya pada jam
23.00 - 24.00 WIB. Cx quinquefasciatus mengisap darah di dalam rumah
Perumahan Pegawai FKH IPB Cikampak Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor
pada jam 21.00 WIB menunjukkan persentase 19,78, sedangkan pada jam 23.00 24.00 WIB persentasenya dapat mencapai 22,96. Hal ini berkolerasi dengan
kelembaban ruang. Semakin tinggi kelembaban ruang, maka semakin tinggi
jumlah kepadatan nyamuk (Ginanjar 2011). Nyamuk ini aktifitas mengisap darah
juga dipengaruhi oleh suhu. Menurut Novianto (2007) aktifitas Cx

6
quinquefasciatus mengisap darah meningkat pada suhu 26 - 29 C di perumahan
sekitar Kampus Universitas Sebelas Maret. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
metabolisme nyamuk, jika suhu diatas 35 C tubuh nyamuk akan mengalami
dehidrasi melaui trakea sehingga populasi nyamuk terbatas.
Nyamuk betina yang sudah mengisap darah akan beristrahat selama 2- 3
hari. Nyamuk ini menyukai tempat istirahat yang gelap dan lembab juga sedikit
berangin di dalam rumah, contohnya di kamar tidur, kamar mandi maupun ruang
dapur, sedangkan di luar rumah beristrahat di kaleng dan ban bekas. Tempat
berkembang biaknya diberbagai tempat baik air bersih maupun air kotor,
contohnya selokan terbuka, genangan air dan kolam ikan. Air menggenang dan
kotor merupakan tempat potensial untuk perkembangan telur dan larva Cx.
quinquefasciatus. Satriyo (2009) melaporkan Cx quinquefasciatus tertangkap
sebesar 63,87% pada kondisi tersebut di Desa Babakan Dramaga. Novianto
(2007) melaporkan larva Cx. quinquefasciatus dapat tumbuh baik pada selokan
dengan kandungan organik limbah rumah tangga di perumahan padat sekitar
kampus Universitas Sebelas Maret.
Nyamuk ini bersifat antropozoofilik, yang berarti dapat berkembang biak
dalam lingkungan pemukiman ataupun dekat dengan hewan. Taviv (2005)
melaporkan nyamuk tertangkap sebanyak 739 ekor di perumahan warga yang
dekat dengan peternakan kerbau di Desa Segara Kembang Kabupaten OKU
Sumatera Selatan.

1. Telur

2. Larva

4. Nyamuk dewasa

3. Pupa

Gambar

2

Siklus hidup Cx. quinquefasciatus (Sumber:
http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au)

7
Arti Penting Nyamuk Cx. quinquefasciatus
Cx. quinquefasciatus berperan dalam transmisi agen secara biologi yang
menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Beberapa penyakit penting yang
ditularkan oleh nyamuk ini diantaranya Japanesse encephalitis (JE) dan filariasis
(kaki gajah). Pada beberapa kasus, nyamuk ini berperan sebagai vektor Dirofilaria
immitis (cacing jantung pada anjing). Japanesse encephalitis satu di antara
penyakit berasal dari hewan dan ditularkan ke manusia (zoonosis) melalui gigitan
Cx. quinquefasciatus. Japanesse encephalitis adalah penyakit viral yang
menyerang susunan saraf dan menyebabkan peradangan otak pada manusia dan
hewan. Kasus kematian yang disebabkan oleh penyakit ini sekitar 20 - 50%
dengan masa inkubasi 4 - 14 hari. Kasus yang terjadi pada anak usia 1 - 15 tahun
sekitar 20% dapat sembuh dari penyakit ini, tetapi menimbulkan cacat mental dan
fisik (CDC 2010). Penyakit ini endemik di daerah Asia diperkirakan ada 35.000
kasus di Asia setiap tahun (Endy dan Nisalak 2002). Penyebarannya mulai dari
Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, Thailand, Malaysia, Indonesia serta India.
Kasus JE dikonfirmasi positif sebanyak 67 kasus di Indonesia pada tahun
2005 (PATH 2006). Bali merupakan hiperendemik penyakit JE, kasus yang terjadi
mencapai 36% (Bahri dan Sendow 2005). Kasus penyakit ini akan meningkat
pada musim hujan, hal ini ditunjukkan dari isolasi virus JE pada nyamuk Culex di
berbagai wilayah Indonesia. Winarno (2005) melaporkan bahwa virus JE berhasil
diisolasi dari beberapa spesies nyamuk Culex di Indonesia diantaranya di Bogor,
Jakarta, Semarang, Lombok dan Pontianak. Penyebaran ke seluruh wilayah
Indonesia disebabkan oleh unggas dan kalelawar (carier) yang terinfeksi oleh
virus JE dan babi merupakan amplifier penyakit ini.
Penyakit lainnya yang ditularkan oleh nyamuk ini adalah filariasis atau kaki
gajah. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing, yaitu Brugia
malayi, Wucheria bancrofti dan Brugia timori. Cacing tersebut hidup dalam
saluran dan kelenjar getah bening. Manifestasi gejala akut berupa demam
berulang 3 - 5 hari dan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening.
Stadium lanjut menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan
alat kelamin akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal dan hidupnya
bergantung pada orang lain (Palumbo 2008). Daerah endemis filariasis adalah
dataran rendah, terutama di pedesaan, persawahan, rawa-rawa, dan hutan (Depkes
2009).
Kasus filariasis kebanyakan terjadi di daerah tropis dan beberapa daerah
subtropis sekitar 1,3 miliar orang di dunia terinfeksi penyakit ini. Penyebarannya
terjadi di Asia, Afrika, Pasifik Barat dan Asia Tenggara, khususnya Indonesia
merupakan negara dengan kasus filariasis yang paling tinggi (WHO 2008). Kasus
filariasis di Indonesia sepanjang tahun 2004 - 2005 dilaporkan terjadi di Sumatera
Selatan sebanyak 48 kasus, Tangerang 32 kasus, Depok 1 kasus, dan lebih 17
Kabupaten di Jawa Barat termasuk Bogor (Haryuningtyas dan Subekti 2005). OKI
merupakan satu di antara daerah di Sumatra Selatan endemis penyakit filariasis.
Pada tahun 2005 dilakukan pemeriksaan di Kabupaten OKI dan ditemukan tujuh
orang positif terkena mikrofilaria dari jenis Brugia malayi dengan tingkat
mikrofilaria (mf rate) 2,05% (Yahya 2009). Provinsi yang mengalami juga
peningkatan kasus filariasis adalah Jawa Barat, khususnya Kecamatan Jati
Sampurna. Kasus tersebut terdiri atas kasus klinis sebanyak 3 orang dan non klinis
sebanyak 97 orang, mf rate sebesar 5,5% (Djaja et al. 2010). Selain itu, nyamuk

8
ini juga berperan sebagai vektor filariasis pada anjing dengan prevalensi 7,7% di
Jawa dan Bali (Manalu 2008; Hadi dan Koesharto 2006). Faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya kejadian dirofilariasis adalah populasi anjing
reservoir, potensi nyamuk sebagai vektor, serta kondisi daerah yang mendukung
kejadian dirofilariasis (Karmil 2002).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung selama Februari - Agustus 2013 dan dilakukan
dua tahap. Tahap pertama mengekstraksi daun tapak dara yang dilakukan di
Laboratorium Farmakologi Anatomi Farmakologi dan Fisiologi Fakultas
Kedokteran Hewan IPB, sedangkan tahap kedua pengujian larvasida dilakukan di
Laboratorium Entomologi Kesehatan Departemen IPHK FKH IPB.

Persiapan Daun Tapak Dara
Sampel yang digunakan adalah daun tapak dara dengan tidak membedakan
pemilihan daun muda atau tua. Daun ini diperoleh di Cangkurawok, Kota Bogor.
Daun yang diperoleh dicuci terlebih dahulu dan dipisahkan antara batang dan
daun, kemudian disortir untuk mendapatkan daun yang baik. Daun tersebut
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 45 C selama 3 hari dan digiling.

a

b

c

Gambar 3 Daun Tapak Dara (a), Pengeringan Daun (b), Serbuk Daun (c)

Ekstraksi
Serbuk daun tapak dara kering diekstraksi dengan etanol 70% secara
maserasi. Daun tersebut diaduk setiap jam selama 3 hari. Remaserasi dilakukan
hingga filtrat tidak berwarna hijau lagi. Ekstrak kemudian disaring dan dipekatkan
dengan evaporator.

9
Uji Fitokimia (metode Harborne)
Uji Alkaloid
Sebanyak 1 gram serbuk daun tapak dara dilarutkan dalam 10 ml kloroform
dan 4 tetes NH4OH kemudian disaring dan filtratnya dimasukkan ke dalam tabung
reaksi tertutup. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 6 ml
H2SO4 2 M dan lapisan asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang lain.
Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Meyer,
Wagner, dan Dragendorf. Adanya kandungan alkaloid ditunjukkan dengan adanya
perubahan warna berturut-turut dari putih, merah jingga hingga coklat.
Uji Saponin dan Flavonoid
Sebanyak 1 gram serbuk daun tapak di masukkan ke dalam gelas piala
kemudian ditambahkan 100 ml air panas dan didihkan selama 5 menit. Setelah itu,
disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Uji saponin, 10 ml filtrat
dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup kemudian dikocok selama 10 detik
dan dibiarkan selama 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya
buih yang stabil. Sebanyak 10 ml filtrat yang lain ditambahkan 0.5 gram serbuk
Mg, 2 ml alkohol klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan
perbandingan 1:1), dan 20 ml alkohol kemudian dikocok dengan kuat.
Terbentuknya warna merah, kuning dan jingga pada lapisan amil alkohol
menunjukkan adanya flavonoid.
Uji Tanin
Sebanyak 5 gram sampel dilarutkan dalam akuades kemudian dipanaskan
selama 5 menit, lalu disaring dengan menggunakan kertas saring. Sebanyak 5 ml
filtrat hasil penyaringan ditambahkan 3 tetes FeCl3 10%. Terbentuknya warna biru
tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapat senyawa tanin.
Uji Triterpenoid dan Steroid
Sebanyak 2 gram sampel dilarutkan dengan 25 mL etanol dan disaring
kedalam pinggan porselin kemudian diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan
1 ml dietil eter dan dihomogenasikan. Selanjutnya ekstrak dipindahkan ke dalam
lempeng tetes lalu ditambahkan 1 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4
pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan kandungan triterpenoid sedangkan
warna hijau atau biru menunjukkan kandungan steroid.

a

b

Gambar 4 Uji Alkaloid (a), Uji Saponin (b)

10
Persiapan Larva Nyamuk
Koloni nyamuk Cx. quinquefasciatus diperoleh dari Laboratorium
Entomologi Kesehatan IPHK FKH IPB. Koloni nyamuk dewasa ditempatkan ke
dalam kandang nyamuk. Nyamuk diberikan air gula 10% sebagai makanan.
Nyamuk betina diberikan makan berupa darah marmut. Marmut diletakkan ke
dalam kandang jepit sebagai handling. Bulu marmut dicukur di bagian punggung
dan dimasukkan ke dalam kandang nyamuk. Nyamuk betina yang telah mengisap
akan bertelur.
Telur Cx. quinquefasciatus yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam
nampan yang diisi air sebanyak 800 ml. Telur tersebut akan menetas dan menjadi
larva instar I sekitar 24 jam atau lebih. Instar dua berkembang setelah 2 - 3 hari
telur menetas, instar tiga terjadi setelah 3 - 4 hari telur menetas. Larva tersebut
akan tumbuh menjadi pupa selama 6 - 7 hari. Larva tersebut diberi makan berupa
pelet ikan atau rebusan hati ayam. Penelitian ini menggunakan larva instar III,
karena memiliki ketahanan dan fisiologi tubuh yang siap terhadap cekaman
lingkungan

a

b
Gambar 5 Larva instar 1 (a), Larva Instar 3 (b)

Uji Aktivitas Larvasida
Ekstrak kasar dilarutkan dalam pelarut air dan diencerkan untuk
mendapatkan konsentrasi tertentu. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
konsentrasi 0, 125, 250, 500, 1000, dan 2000 ppm untuk ekstrak etanol. Kontrol
positif menggunakan senyawa temephos dengan konsentrasi 1 ppm sedangkan
kontrol negatif menggunakan air. Larva instar III Cx. quinquefasciatus sebanyak
20 ekor dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi larutan ekstrak tapak dara
sebanyak 200 ml. Pengamatan kematian larva dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam
setelah perlakuan.

11

Gambar 6 Pengujian Larvasida

Analisis Data
Pengujian aktivitas Larvasida dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dan analisis probit. Percoban ekstrak daun tapak dara dilakukan dengan
lima perlakuan pada konsentrasi 0, 125, 250, 500, 1000, dan 2000 ppm dan
kontrol positif pada larva instar III Cx. quinquefasciatus. Percobaan dilakukan
dengan tiga kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Ekstraksi dan Fitokimia Ekstrak Daun Tapak Dara
Hasil ekstrak daun tapak dara diperoleh 12 gram dari berat kering 160 gram,
sehingga rendemen yang diperoleh sebesar 7.5% (berat kering/berat ekstrak).
Ekstrak tersebut dilakukan uji fitokimia secara kualitatif terhadap senyawa
alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida. Hasil uji
kualitatif fitokimia ekstrak daun tapak dara ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun tapak dara

Jenis pengujian fitokimia
Alkaloid
Saponin
Tanin
Flavonoid
Triterpenoid
Steroid
Glikosida

Hasil pengujian
++++
+++
++++
++
++++
+++
++

Keterangan: (-) Negatif, (++) Sedang, (+++) kuat, (++++) Kuat sekali

12
Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara terhadap Mortalitas larva Cx.
quinquefasciatus.
Hasil pengamatan efektivitas ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas
larva nyamuk Cx. quinquefasciatus menunjukkan bahwa konsentrasi 125, 250,
500 ppm tidak berbeda nyata pada 24, 48, 72 jam setelah pemaparan. Hasil
pengamatan pada konsentrasi 1000 dan 2000 menunjukkan perbedaan nyata pada
jam 48 dan 72 setelah pemaparan, akan tetapi pada konsentrasi 1000 ppm pada 24
jam setelah pemaparan tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan konsentrasi
125, 250, 500 ppm. Hasil efektivitas daun tapak dara ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Efektivitas ekstrak daun tapak dara terhadap mortalitas larva Cx.
quinquefasciatus.

Mortalitas (%)

Konsentrasi
(ppm)

24 jam

48 jam

72 jam

125

5c

13.3d

18.33c

250

5c

15d

18.33c

500

5c

11.67d

18.33c

1000

15c

30c

58.33b

2000
Kontrol positif
(Temephos)

46.7b

71.67b

85a

100a

100a

100a

Kontrol negative

0c

0e

0d

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
pada taraf 5% (p

Dokumen yang terkait

Efikasi Larvasida Bacillus Thuringiensis Israelensis Terhadap Kematian Larva Culex Quinquefasciatus Dari Daerah Bekasi

1 8 57

Pemanfaatan tanaman herbal ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) sebagai antihiperglikemia dengan metode enkapsulasi nano kitosan

2 10 27

Efektivitas Ekstrak Daun Mundu (Garcinia dulcis) sebagai Larvasida Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti

0 4 32

Enkapsulasi Nanokitosan pada Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) sebagai Antihiperglikemia

1 8 38

PEMANFAATAN EKSTRAK BUNGA TAPAK DARA (Catharanthus roseus) SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI PEMBUNUH Pemanfaatan Ekstrak Bunga Tapak Dara (Catharanthus roseus) Sebagai Insektisida Alami Pembunuh Nyamuk Aedes aegypti.

0 8 15

PEMANFAATAN EKSTRAK BUNGA TAPAK DARA (Catharanthus roseus) SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI PEMBUNUH Pemanfaatan Ekstrak Bunga Tapak Dara (Catharanthus roseus) Sebagai Insektisida Alami Pembunuh Nyamuk Aedes aegypti.

0 6 17

PENDAHULUAN Pemanfaatan Ekstrak Bunga Tapak Dara (Catharanthus roseus) Sebagai Insektisida Alami Pembunuh Nyamuk Aedes aegypti.

0 5 9

DAFTAR PUSTAKA Pemanfaatan Ekstrak Bunga Tapak Dara (Catharanthus roseus) Sebagai Insektisida Alami Pembunuh Nyamuk Aedes aegypti.

0 14 4

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN TAPAK DARA (Catharanthus roseus G) TERHADAP KADAR GLUKOSA Uji Efek Ekstrak Etanol 70% Daun Tapak Dara (Catharanthus Roseus G) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar.

0 0 11

Efek Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus G.Don) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada Mencit.

0 1 28