Konservasi Hutan Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo, Nusa Tenggara Timur

KONSERVASI HUTAN GUNUNG MUTIS OLEH MASYARAKAT
MOLLO, NUSA TENGGARA TIMUR

DEWI JULLY ANNA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konservasi Hutan
Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo, Nusa Tenggara Timur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Dewi Jully Anna
NIM E34100133

ABSTRAK
DEWI JULLY ANNA. Konservasi Hutan Gunung Mutis oleh Mayarakat Mollo,
Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan SITI
AMANAH.
Ketergantungan masyarakat terhadap hutan akan menciptakan pola adaptasi lokal
dalam mengelola hutan, sebagaimana banyak dijumpai pada suku-suku di Indonesia
termasuk masyarakat Mollo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Mollo
menggantungkan hidupnya pada hutan Gunung Mutis yang merupakan hutan homogen
Ampupu (Eucalyptus urophylla) terbesar di Indonesia yang sebagian wilayahnya berstatus
sebagai kawasan cagar alam. Sebagai kawasan hutan negara yang paling ketat
pengelolaannya, cagar alam hanya diperuntukkan untuk penelitian, pendidikan, penyerapan
karbon dan pemanfaatan plasma nutfah dalam rangka perlindungan dan pengawetan

keanekaragaman hayati. Sedangkan sebagian aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam oleh
masyarakat Mollo dilakukan dalam hutan ini. Penelitian ini mengkaji sistem pengelolaan
hutan Gunung Mutis oleh masyarakat Mollo dan upaya konservasinya. Data diperoleh dari
studi literatur, wawancara dengan amaf sebagai informan kunci dan observasi lapang serta
dianalisis secara kualitatif berdasarkan pendangan, nilai lokal, aturan adat serta aktivitas
masyarakat didalam hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun aktivitas
pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan oleh masyarakat Mollo di dalam kawasan cagar
alam, namun pemanfaatannya berlandaskan prinsip-prinsip konservasi: (1) Masyarakat
Mollo menata wilayahnya sesuai fungsinya terutama untuk perlindungan sumberdaya air;
(2) pengambilan madu di lakukan secara tradisional dan hanya di musim tertentu; dan (3)
pengambilan ranting kayu Ampupu sebagai kayu bakar dapat membantu pertumbuhan
anakan karena sifatnya yang intoleran.
Kata kunci: hutan Gunung Mutis, masyarakat Mollo, NTT, pengelolaan cagar alam.

ABSTRACT
DEWI JULLY ANNA. Mount Mutis Forest Conservation by Mollo Community
East Nusa Tenggara. Guided by ARZYANA SUNKAR and SITI AMANAH.
Community dependence on the forest would create a local adaptation pattern in
managing their forest, as seen in many tribes in Indonesia including the Mollo community
of East Nusa Tenggara. Mollo people depended on Gunung Mutis Forest for their survival,

yet, some of Gunung Mutis area formed a part of a strict nature reserve. Gunung Mutis is
home to the largest to the Ampupu (Eucalyptus urophylla) of homogen forest in Indonesia.
As the state forest area with the most strict rules applied to its management, a Strict Nature
Reserve is only intended to be used for research, education, carbon absorption and germ
plasm preservation purposes. Based on regulation, no resource extraction activities should
occurred in the reserve. The research examined the Mollo local knowledge and situated it
within the wider context of forest conservation in the Gunung Mutis forest. Data were
collected from a literature study, interviews with amaf as key informants, and field
observation, and data were analyzed qualitatively based on the views, local values,
customary rules and activities of the community in the forest. Results indicated that most
of the activities conducted within the Strict Nature Reserve were based on conservation
principles: (1) the Mollo people designated their areas according to functions especially for
water protection purposes; (2) honey harvesting is done traditionally during the drier
periods of the year (3) harvesting of Ampupu as firewood actually helps the grown of
Ampupu seedlings as the are intolerant.
Keywords : East Nusa Tenggara, Mollo community, Gunung Mutis forest, strict nature
reserve management

KONSERVASI HUTAN GUNUNG MUTIS OLEH MASYARAKAT
MOLLO, NUSA TENGGARA TIMUR


DEWI JULLY ANNA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Konservasi Hutan Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo, Nusa
Tenggara Timur
Nama
: Dewi Jully Anna
NIM

: E34100133

Disetujui oleh

Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Pembimbing I

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

**/&%'/ $"'&+'/ *("/)*"/*('/$/',&(/ $$/*'/
"&/


*&/





  



/




'(**/$/

*#&/ /

&/

&/






"/
/



(*/$/

"/
**'/

   

&/

&/(/ !"/ /
!#/

/

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Febuari 2014 ini ialah
Konservasi Hutan Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo di Nusa Tenggara Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc dan Dr Ir
Siti Amanah, MSc selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan dorongan
semangat, saran, nasihat dan bimbingan selama penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada BKSDA NTT atas
bantuan yang diberikan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Meilati
Ligar, Shut, Bapak Gabriel Nino, Bapak Totok yang telah membantu penulis dalam
pengumpulan data. Terima kasih kepada Bapak Mateos Anin sekeluarga yang telah
memberikan fasilitas kepada penulis selama penelitian. Terima kasih penulis
sampaikan kepada Ayah (Sujarwadi), Ibu (Sri Sayekti), adik-adik tersayang
(Anggara dan Ayu), serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih

sayang kepada penulis. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Rhamdoni,
Shut, Ahda Agung, Shut, Lyan Lavista, Winahyu A W, Shut, teman-teman
Nepenthes rafflesiana KSHE 47, Rahmalia Susanti STp dan staf pengajar DKSHE,
serta pihak-pihak lain yang telah membantu dan memberikan dukungan dan
masukan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

Dewi Jully Anna

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Instrumen

3

Prosedur Pengambilan Data dan Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Kawasan Hutan oleh BKSDA

5
5

Pengelolaan Hutan Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo dan Nilai
Konservasinya

6

Gagasan Konsep Pengelolaan

16

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

19

DAFTAR TABEL
1 Parameter data konservasi hutan oleh masyarakat Mollo
2 Bentuk pemanfaatan sumberdaya kayu dan bukan kayu
oleh masyarakat Mollo

4
11

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Peta lokasi penelitian
Sketsa zona lahan hutan Gunung Mutis oleh masyarakat Mollo
Hutan larangan
Faut kanaf Oe kanaf
Padang penggembalaan
Rumah adat Mollo (lopo)
Ladang masyarakat
Ternak lepas
O’af
Pengumpulan kayu bakar
Pengambilan kayu bakar
Tradisi tenun
Benang tenun dengan pewarna alami
Jamur ampupu muda
Jamur ampupu tua
Ilustrasi zonasi Cagar Biosfer

3
7
7
8
9
9
9
12
12
14
14
15
15
16
16
17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konservasi merupakan sebuah ilmu dan alat dalam pengelolaan biosfer
secara bijaksana untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga menghasilkan
manfaat yang berkelanjutan bagi generasi kini dan generasi mendatang (Kumar
1999, Melchias 2001, Alikodra 2012). Kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan
hutan konservasi merupakan salah satu tujuan pembentukan kawasan konservasi.
Hutan merupakan media penghubung timbal balik antara manusia dan
makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam seperti proses ekologi dan
merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan. Hutan
memiliki peranan penting bagi manusia seperti terlihat dari berbagai suku adat di
Indonesia (Uluk et al. 2001) yang menjadikan hutan sebagai dasar penerapan
filosofi pemanfaatan sumberdaya alam. Kehidupan masyarakat adat yang
bergantung pada hutan melahirkan pola-pola pengelolaan hutan. Sebagai contoh,
adanya hutan larangan pada masyarakat Iban di Kalimantan Barat (Purba 2001),
masyarakat Baduy (Iskandar 2009), masyarakat Toro di Sulawesi Tengah
(Nainggolan 2007), di Jawa Barat masyarakat Kasepuhan di Gunung Halimun
(Adimihardja 2007).
Sama seperti masyarakat adat lainnya, masyarakat Mollo yang merupakan
masyarakat adat di wilayah Mollo Provinsi Nusa Tenggara Timur, memanfaatkan
hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kegiatan buday (WWF 2010).
Kegiatan masyarakat Mollo yang dilakukan di dalam hutan Gunung Mutis
merupakan tradisi yang sudah dijalankan turun temurun. Hal yang menarik adalah
bahwa sebagian dari hutan tempat masyarakat Mollo memenuhi kebutuhan seharihari adalah kawasan hutan negara yaitu Cagar Alam Gunung Mutis (CAGM).
Cagar Alam Gunung Mutis ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2007 dengan fungsi sebagai tempat pengawetan
keanekaragaman dan ekosistemnya, serta sebagai sistem penyangga kehidupan.
Terkait dengan fungsi tersebut, maka terdapat pembatasan aktivitas manusia
didalam kawasan cagar alam, atau dengan kata lain, secara legal formal
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan CAGM tidak diperbolehkan. Namun
pada kenyataannya, masyarakat Mollo masih menggantungkan sebagian
pemenuhan kebutuhan hidupnya pada CAGM .
Perumusan Masalah
Mengacu pada UU No.5 Tahun 1990, cagar alam (CA) adalah kawasan
suaka alam (KSA) yang karena keadaan alamnya, mempunyai kekhasan
tumbuhan,satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami. Fungsi pokok hutan CA adalah
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, dan sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sesuai PP No.28
tahun 2011, pemanfaatan di cagar alam hanya diperbolehkan untuk kegiatan
pendidikan dan penelitian, penyerapan karbon, pengawetan plasma nutfah untuk
kepentingan budidaya dan pemanfaatan jasa lingkungan. Penunjukan CAGM

2
sebagai kawasan suaka alam didasari pada keberadaan hutan Ampupu (Eucalyptus
urophylla) yang mengindikasikan keunikan pulau Timor karena merupakan hutan
homogen Ampupu terluas di Indonesia (Petocz 1989 dalam Monk et al. 2000).
Keberadaan CA memberi perlindungan dan pelestarian bagi ampupu dan
ekosistemnya agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara
alami.
Sebagian dari kawasan hutan yang menjadi tempat masyarakat Mollo
menggantungkan hidupnya berada didalam kawasan CAGM. Berdasarkan aturan
formal, hutan CAGM adalah kawasan pengawetan keanekaragaman hayati beserta
ekosistemnya, sedangkan bagi masyarakat, CAGM adalah hutan yang menunjang
kebutuhan hidup dan budaya mereka. Hal ini mengisyaratkan adanya pemanfaatan
fungsi CAGM yang tidak sesuai dengan status kawasannya sebagai cagar alam.
Namun demikian, pandangan masyarakat yang mengibaratkan hutan Gunung Mutis
sebagai mama (ibu), serta keyakinan mereka bahwa batu, pohon, tanah, dan air
adalah cerminan organ tubuh mereka yang berarti CAGM memberikan kehidupan
untuk mereka, mengindikasikan bahwa masyarakat Mollo akan menjaga dan
memanfaatkan hutan Gunung Mutis secara lestari. Oleh karenanya, pertanyaan
yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat Mollo ?
2.
Apakah pengelolaan hutan oleh masyarakat Mollo mampu mempertahankan
fungsi dan peran Cagar Alam Gunung Mutis ?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk merumuskan nilai-nilai
konservasi hutan Gunung Mutis oleh masyarakat Mollo, yang dapat dibagi menjadi
dua tujuan yang lebih khusus yaitu:
1. Mengenali bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Mollo
berdasarkan prinsip-prinsip tradisional/adat.
2. Menguraikan nilai-nilai pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat Mollo.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan mengenai pengelolaan hutan konservasi oleh masyarakat adat serta
peranan hutan negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2014 sampai dengan 20
Maret 2014 di hutan Gunung Mutis tepatnya di 2 desa yang berbatasan langsung
dengan CAGM yaitu Desa Fatumnasi dan Desa Nenas Kabupaten Timor Tengah

3
Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 1). Pemilihan 2 lokasi ini
didasarkan pada letak desa dimana dari 14 desa yang berbatasan dengan CAGM,
Desa Fatumnasi dan Desa Nenas berbatasan langsung dengan hutan ampupu di
Gunung Mutis. Hutan ampupu merupakan kawasan larangan bagai masyarakat
Mollo.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Alat dan Instrumen
Alat bantu yang digunakan dalam penelitian meliputi: alat tulis, kamera
digital dan perekam suara. Panduan wawancara digunakan sebagai instrumen
pengambilan data primer di lokasi penelitian. Panduan tersebut terdiri atas poinpoin pertanyaan mengenai (1) hukum adat dan sejarah, (2) interaksi masyarakat
terhadap hutan Gunung Mutis, dan (3) pengelolaan hutan oleh masyarakat Mollo.
Prosedur Pengambilan Data dan Analisis Data
Data yang diambil tediri atas data primer yang dikumpulkan langsung dari
sumbernya, dan data sekunder tentang kondisi hutan Mutis, aturan dan kebijakan
pengelolaan hutan dari BKSDA Provinsi NTT dan jurnal-jurnal ilmiah sebagai data
penunjang penelitian dan analisis. Cakupan data yang diambil untuk kebutuhan
penelitian serta sumber data dan metode yang digunakan dalam pengambilan data
tersaji dalam Tabel 1.

4
Tabel 1 Parameter data konservasi hutan oleh masyarakat Mollo
Parameter
Data
Metode
Sumber data
Hukum adat
Studi pustaka dan
 Peraturan adat yang Wawancara
dan studi
wawancara Amaf
terkait dengan
pustaka
Mollo
konservasi
 Aplikasi hukum
adat
 Manfaat hukum
adat
Sejarah

 Filosofi
 Mitologi
keberadaan
masyarakat

Wawancara

Amaf Mollo

Interaksi
masyarakat
dengan hutan
mutis

 Frekuensi masuk
kawasan hutan
 Aktivitas yang
dilakukan yang
mengaplikasikan
konservasi
 Peraturan dan
kebijakan terkait
kawasan hutan
larangan Gunung
Mutis
 Dampak
pengelolaan
kawasan hutan
larangan Gunung
Mutis

Observasi
lapang; studi
pustaka dan
wawancara

Pustaka dan
wawancara Amaf
dan Masyarakat
Mollo

Studi pustaka;
wawancara
dan observasi
lapang

Studi pustaka;
wawancara
Masyarakat Mollo
di Desa Fatumnasi
dan Nenas

Pengelolaan

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) sebagai proses pengelolaan keterangan atau informasi untuk tujuan
penelitian melalui tanya jawab secara langsung dengan menggunakan panduan
wawancara. Sedangkan dalam pengumpulan data ditentukan informan kunci yaitu
amaf Desa Fatumnasi dan Nenas. Amaf adalah pembantu usif (raja) dalam
menjalankan pemerintahan, terutama dalam merumuskan kebijakan dan aturanaturan adat, baik yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam maupun dalam
penyelenggaraan kehidupan masyarakat. Amaf dapat dikatakan sebagai kepala suku,
yang menguasai lahan maupun hutan dalam suatu kawasan serta mengatur
pemanfaatannya. Bagi masyarakat Mollo, seseorang yang dipilih sebagai amaf
adalah Fam (marga) Anin. Pada saat penelitian dilaksanakan, posisi tersebut
dipegan oleh Bapak Mateos Anin. Amaf dipilih sebagai informan kunci karena di
anggap sebagai orang yang paling banyak mengetahui tentang kehidupan
masyarakat. Pemilihan Amaf sebagai informan juga didukung oleh pernyataan
masyarakat yang menginginkan semua informasi ditanyakan melalui amaf mereka.

5
Selain wawancara dilakukan juga observasi lapang yang berfungsi untuk
megetahui hal-hal terkait budaya dan aktivitas masyarakat Mollo. Observasi
dilakukan dengan mengamati (1) kegiatan keseharian,(2) pemanfaatan yang
dilakukan didalam hutan, (3) kondisi rumah tangga yang meliputi : tempat tinggal,
jumlah anak dan tanggungan, dan penghasilan. Observasi lapang mampu
memberikan informasi tentang bentuk pemanfaatan masyarakat dan dampak
pemanfaatan yang dilakukan masyarakat. Hasil observasi diolah dan dijadikan
indikator keadaan kawasan yang lestari.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dimana data ditelusuri
seluas-luasnya dan sedalam mungkin sesuai variasi yang ada agar data dapat
dideskripsikan secara utuh (Bungin 2003). Poin analisis yang dilakukan di
antaranya adalah :
1.
Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat Mollo berdasarkan prinsip-prinsip
tradisional dilihat dari pandangan dan nilai-nilai lokal, aturan adat, serta
aktivitas masyarakat di dalam hutan Mutis.
2.
Upaya konservasi terhadap hutan dilihat dari sistem pengelolaan hutan
masyarakat Mollo.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Kawasan Hutan oleh Pemerintah (BKSDA)
Sesuai PP 28 tahun 2011, pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) bertujuan untuk pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa dalam rangka mengurang laju kepunahan spesies, melindungi
sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
lestari. Pengelolaan KSA dan KPA adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk
mengelola kawasan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian (PP Nomor 28. Pasal 1 tahun 2011).
Hal ini menunjukakan bahwa pengelolaan hutan merupakan kegiatan pemeliharaan,
pelestarian dan pemanfaatan lingkungan.
Sesuai hasil Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 89/Kpts-II/1983 kawasan
hutan Gunung Mutis ditetapkan sebagai cagar alam yang selanjutnya melalui Surat
Keputusan Menhutbun No.423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999, luasan yang
ditentukan adalah sebesar 17,211.95 hektar. Berdasarkan data dari WWF 2010, CA
Gunung Mutis memiliki nilai yang dapat ditinjau dari tiga level baik secara lokal,
regional, maupun internasional. Secara lokal kawasan ini dikelola dan
dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya sebagai sumber ekonomi
dan kehidupannya. Bagi masyarakat Mollo, kawasan CAGM merupakan sebagai
tempat menggembalakan hewan-hewan ternak mereka serta penyedia sumber air
bagi rumah tangga, bahan bangunan, dan kayu bakar. Hasil hutan bukan kayu
seperti madu hanya sebagai penambahan pendapatan rumah tangga. Sedangkan
secara regional, CAGM merupakan daerah tangkapan air (catchment area) dan
sumber air utama di Pulau Timor serta secara internasional, Mutis memiliki
ekosistem yang unik di mana terdapat hutan pegunungan atas musiman berupa

6
tegakan homogen Ampupu (Eucalyptus urophylla). Penetapan status cagar alam
merupakan bentuk upaya konservasi dari pemerintah untuk mempertahankan
keanekaragaman didalam hutan Gunung Mutis terutama keberadaan tumbuhan
Eucalyptus urophylla (ampupu).
Pengelolaan Hutan Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo dan Nilai
Konservasinya
Penataan hutan Gunung Mutis
Suatu pandangan, sejarah, mitos ataupun filosofi masyarakat tentang hutan
mampu mendorong masyarakat untuk melindungi, menjaga dan melestarikan hutan.
Pandangan masyarakat adat terhadap hutan pada umumnya berlandaskan
kepercayaan bahwa sumberdaya alam, termasuk hutan sangat penting bagi
eksistensi manusia. Sehingga ketergantungan terhadap alam menciptakan rasa
kebutuhan untuk melestarikan alam.
“MUTIS” berarti sumber air dimana memiliki fungsi memancarkan air untuk
melayani banyak orang. Terdapat empat mata air yang mengairi Pulau Timor yang
berasal dari Gunung Mutis dan bermuara di daratan Timor, yaitu : (1) Noel pune
yang mengalir ke Noemila lalu ke laut Bena, (2) dari Oel Neanin, ke Noel Besi, lalu
ke Benanain hingga Betun Beskama, (3) mata air Aplal mengalir ke Oekisi (Timor
Leste), dan Noelbisasi/Noel Lelo melewati Oe’polli hingga laut yang berbatasan
dengan Alor. Gunung Mutis bagi masyarakat Mollo diibaratkan sebagai Mama
(Ibu). Fungsi Gunung Mutis yang mampu mengairi pulau Timor untuk kesuburan
tanah dan kesejahteraan makhluk hidup, diibaratkan seperti sikap seorang ibu
terhadap anak-anaknya. Selain itu, masyarakat Mollo juga menggambarkan hutan
Gunung Mutis sebagai tanah yang melambangkan daging mereka, air sebagai darah,
batu sebagai tulang, dan pohon sebagai rambut mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
hutan merupakan bagian dari diri manusia sehingga perlu dijaga. Pandangan dan
kepercayaan masyarakat Mollo menjadikan hutan Gunung Mutis sebagai tempat
sakral dan sangat dilindungi, namun juga merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
Tata guna lahan dapat mengungkapkan sejarah dan tradisi yang berperan
penting dalam kehidupan mereka (Suharjito et al. 2003). Masyarakat Mollo
melakukan pembagian kawasan sebagai bentuk pengelolaan dan perlindungan
sumber daya alam berdasarkan pada aturan adat. Sebagaimana masyarakat adat
lainnya seperti Baduy (Iskandar 1992) dan Kasepuhan (Suganda 2009), masyarakat
Mollo juga menata kawasannya berdasarkan peranan dan fungsinya (Gambar 2)
serta melakukan kegiatanpengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam, sebagai
upaya mempertahankan kelestarian sumberdaya alam yang ada (Baso 2007).
Kawasan hutan Mutis dibagi menjadi 3 yaitu kawasan hutan larangan, padang
penggembalaan, dan perkampungan.

7

Keterangan : (1) Nais – Tala’ (hutan larangan); (2) padang penggembalaan; (3) pemukiman;
(a) ladang masyarakat; (b) Faut Kanaf-Oe Kanaf (batu dan danau tempat ritual)

Gambar 2 Sketsa zonasi lahan hutan Gunung Mutis oleh masyarakat Mollo
Nais – Tala’ (hutan larangan) (Gambar 3) adalah kawasan dengan ekosistem
hutan alam yang masih alami yang dianggap keramat bagi masyarakat Mollo.
Kawasan hutan larangan meliputi kawasan hutan ampupu hingga puncak Gunung
Mutis. Seluruh bagian hutan larangan masuk didalam kawasan CAGM.

Gambar 3 Hutan larangan
Hutan larangan merupakan tempat pelaksanaan ritual yang didalamnya terdapat
Faut kanaf-Oe kanaf (Gambar 4) dari sebagian fam (marga). Faut kanaf-Oe kanaf
adalah batu yang dimiliki setiap fam yang digunakan sebagai tempat upacara
terhadap leluhur mereka. Hutan tersebut dikeramatkan oleh sukunya dan disegani
oleh suku-suku lain karena diyakini memiliki kekuatan gaib yang dapat membawa
rejeki atau sebaliknya dapat menimbulkan malapetaka. Tempat-tempat sakral yang

8
dimiliki oleh masyarakat Mollo sebagian terletak di dalam dan diperbatasan
kawasan hutan larangan.

(a)

(b)

(c)
Gambar 4 Faut kanaf-Oe kanaf: (a) Batu dua putri (b) Batu penyembahan batu
israel (c) Nua lulat (goa tulisan)
Semua bentuk kehidupan di dalam hutan larangan tidak boleh diambil dan
semua pelaksanaan kegiatan harus melalui persetujuan ketua adat. Larangan
menebang pohon di hutan larangan diberlakukan sangat keras.,Sesuai isi peraturan
yang dibuat oleh raja, masyarakat Mollo tidak diperbolehkan untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan baik dalam hal penebangan
pohon, pemanenan hasil hutan maupun perburuan satwa liar, sehingga hutan
Gunung Mutis terlindungi dari penebangan liar dan perburuan liar. Larangan akan
dicabut, setelah dipandang menurut kriteria obyektif, hasil telah memenuhi syarat
panen yang diawali dengan upacara adat. Aturan adat dan pandangan masyarakat
mengenai hutan menjadikan mereka sebagai pelindung hutan. Pada dasarnya makna
dari aturan adat adalah menjaga dan melestarikan hutan serta plasma nutfah dan
perlindungan sumberdaya alam (Geriya 2001). Oleh karena itu, dengan adanya
peraturan adat mampu memelihara, memanfaatkan sekaligus melestarikan hutan,
dan sawah lengkap dengan flora dan fauna yang ada di dalamnya yang dimiliki
secara komunal (Dhana 2001). Disisi lain, masyarakat juga percaya bahwa alam lah
yang akan menghukum mereka jika mengeksplitasi sumberdaya secara berlebihan.
Geriya (2001) mengatakan bahwa sanksi mampu menciptakan rasa takut untuk
melakukan pelanggaran bagi suatu masyarakat.

9
Selain sanksi yang diterapkan dalam aturan adat, adapula perintah adat
untuk melakukan penanaman pohon di sekitar sumber-sumber mata air dengan
menanam pohon-pohon pelindung seperti beringin (Ficus sp.), bambu (Bambossa
sp) dan asam (Tamarindus indicus). Penanaman pohon juga dilakukan di sekitar
mata air, di tepian sungai, di tanah rawan longsor dan di tempat-tempat batu berhala.
Hal ini sudah dilakukan selama beberapa generasi demi terjaganya sumber air dan
aliran air yang dimiliki.
Padang penggembalaan (Gambar 5) berada di luar Nais–Tala’ dimana lahan
tersebut berupa hutan tanaman. Sebagian dari kawasan ini masuk kedalam kawasan
CA. Pada lahan ini berdasarkan peraturan adat, masyarakat dapat memanfaatkan
kayu bakar, madu, tali hutan, dan lain-lain tanpa merusak alam. Padang
penggembalaan sebelumnya merupakan lahan terbuka yang diijinkan oleh
pemerintah untuk ditanami tanaman kehutanan seperti kemiri dan cemara pada
dilahan ini juga terdapat tanaman hias seperti anggrek, kaktus dan lainnya.

Gambar 5 Padang penggembalaan
Kawasan permukiman masyarakat Mollo berada di luar kawasan padang
penggembalaan yang merupakan kawasan kampung dan ladang masyarakat Mollo.
Kawasan kampung memiliki rumah-rumah adat masyarakat Mollo yang diberi
nama Lopo (Gambar 6) serta pekarangan rumah yang ditanami dengan berbagai
tanaman hias yang didapat dari hutan. Selain itu kawasan ladang (Gambar 7) yang
berada di sekitar rumah mereka juga ditanami dengan tanaman-tanaman musiman.

Gambar 6

Rumah adat Mollo
(Lopo)

Gambar 7 Ladang masyarakat

Adanya pengaturan tata ruang berdasarkan peraturan adat, memiliki fungsi
sosial, ekonomi dan religi melalui pelestarian hutan dengan cara konservasi alami
dalam bentuk larangan, pembatasan warga dalam memasuki kawasan dan

10
mengeksploitasi lahan sekitarnya. Pengamanan kawasan hutan larangan yang
dilakukan oleh masyarakat Mollo merupakan upaya pelestarian dalam bentuk
perlindungan sumberdaya alam terutama air.
Pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat Mollo
Hutan merupakan tempat bergantungnya hidup masyarakat Mollo, sehingga
interaksi masyarakat dengan CAGM cukup tinggi. Sebagian kawasan CAGM
digunakan masyarakat sebagai padang penggembalaan. Selain itu, sumberdaya
alam dalam kawasan CAGM dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan akan kayu
bakar, hasil hutan bukan kayu terutama madu hutan, zat pewarna tenun, jamur
Ampupu serta dihunakan sebagai tempat ritual.
Kawasan budaya
Mayoritas masyarakat Mollo sudah beralih kepercayaan yang dari animisme
dinamisme, menjadi pemeluk Agama Kristen. Upacara atau kegiatan keagamaan
seringkali dilakukan didalam hutan seperti berdoa bersama. Walaupun masyarakat
Mollo sudah beralih kepercayaan, namun upacara adat masih dilakukan seperti
pada upacara (pemanenan madu), penyambutan tamu, upacara pengikraran janji.
Upacara pemanenan madu dilakukan di masing-masing Faut kanaf-Oe kanaf dari
setiap Famnya. Setiap Fam (marga atau suku) memiliki Faut kanaf-Oe kanaf (batu
nama, air nama) di dalam hutan yang diyakini memiliki kekuatan gaib yang dapat
membawa rejeki atau dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia.
Konservasi alam dengan mengkramatkan suatu tempat atau situs juga banyak
ditemukan di suku budaya lainnya Indonesia. Program konservasi keanekaragaman
hayati di dalam suatu kawasan tidak cukup hanya dengan upacara mengusahakan
konservasi jenis-jenis dan habitat yang telah ada, namun strategi terbaik adalah
mengkombinasikannya dengan konservasi keanekaragaman budaya (cultural
diversity) (Purwanto 2009). Menurut Lubis (2009), perhatian komunitas tradisional
terhadap lingkungan terbentuk dari pembatasan akses terhadap situs-situs keramat
sehingga tercipta pemeliharaan yang baik terhadap kawasan serta kekayaannya. Hal
ini menunjukkan bahwa situs keramat alami memiliki peran penting dalam
menjamin kelestarian konservasi keanekaragaman hayati maupun budaya.
Kawasan pemanfaatan untuk memenuhi sosial ekonomi
Masyarakat adat Suku Mollo di sekitar Gunung Mutis meyakini bahwa tanpa
adanya kawasan hutan Mutis sama artinya dengan tidak ada kehidupan. Mereka
meyakini bahwa kawasan Mutis merupakan sumber kehidupan mereka dimana
masyarakat memperoleh air, madu, bahan pangan, kayu bangunan, bahan bakar,
tempat pengembalaan ternak (Tabel 2).
Bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan masyarakat Mollo
dalam kaitannya dengan pemanfaatan kayu dan bukan kayu meliputi: (i)
penggembalaan liar, (ii) pemanenan madu hutan, (iii) pengambilan kayu bakar, (iv)
pengambilan zat warna tenun, (v) pengambilan jamur Ampupu, dan (vi) kegiatan
pemanfaatan ruang atau tempat untuk upacara ritual dan keagamaan. Secara lebih
terperinci masing-masing kegiatan diatas diuraikan dalam sub bab berikutnya.

11
Tabel 2 Bentuk pemanfaatan sumberdaya kayu dan bukan kayu oleh masyarakat
Mollo.
Kegiatan

Yang dilakukan

Penggembalaan • Penggembalaan ternak
liar
sapi dan kuda secara
lepas
• Masyarakat masuk
hutan hanya untuk
mengecek kondisi
ternak setiap hari

Bentuk pemanfaatan

Keterangan

Menjaga ternak
yang berada
didalam hutan

Dilakukan
minimal dua
hari sekali

Dilakukan dua
kali dalam
setahun pada
saat cuaca cerah
setelah
melakukan
upacara adat

Pemanenan
madu

• Dilakukan secara
tradisional
• Tidak boleh terlambat
memanen
• Dilakukan pada malam
hari
• Mereka menyanyi
sambil membawa obor
sepanjang perjalanan
menuju pohon madu

Madu
dikomersilkan

Pengambilan
kayu bakar

• Mengambil ranting
yang kering
• Menebang kayu dari
pohon ampupu

Bagian ranting
pohon yang sudah
kering sebagai
kayu bakar untuk
memasak,
menghangatkan
badan pada saat
musim hujan
maupun untuk
mengawetkan
jagung agar tidak
fufuk (busuk)

Dilakukan
hampir setiap
hari dan
dilakukan di
luar hutan
larangan

Sebagai bahan
dasar warna tenun
alami

Sudah jarang
dilakukan
karena
masyarakat
mulai
menanam
Arbilla hutan
yang didapat
dari dalam
hutan di
sekitar
pemukiman

Pengambilan
• Mengambil dari arbilla
zat warna tenun hutan

12
Tabel 2 Bentuk pemanfaatan sumberdaya kayu dan bukan kayu oleh masyarakat
Mollo (lanjutan)
Kegiatan

Yang dilakukan

Bentuk
pemanfaatan

Keterangan

Pengambilan
jamur ampupu

• Mengambil dengan
cara memanjat

Bahan bakar
(jamur Ampupu
tua) dan bahan
makanan (jamur
Ampupu muda)

masyarakat
mengambil
jamur ini hanya
bila mereka
menjumpainya
saja.

Upacara ritual
dan
keagamaan

• Beribadah di situs
yang dimiliki oleh
masing-masing
Fam(marga)

Upacara
pemanenan
madu, upacara
penyambutan
tamu, upacara
pengikraran
janji, sera berdia
bersama.

Kegiatan
dilakukan setiap
waktu yang
ditentukan dan
berlokasi di
tempat-tempat
yang dianggap
sakral dan
bermakna bagi
masyarakat
Mollo

Penggembalaan liar
Kepemilikan hewan ternak bagi masyarakat Mollo merupakan nilai penting
karena jumlah ternak yang dimiliki menunjukkan derajat seseorang di dalam suku
mereka. Banyaknya jumlah kepemilikan hewan yang dimiliki dengan keterbatasan
lahan yang dimiliki, menjadikan ternak lepas (Gambar 8) sebagai tradisi mereka.
Jenis hewan yang diternakkan adalah sapi Bali dan kuda. Sapi baru diperkenalkan
di Timor pada tahun 1912 (Ormeling dalam Monk et al. 2000).

Gambar 8 Ternak lepas

Gambar 9 O’af

Ternak dilepas oleh masyarakat pada lahan penggembalaan, namun ternak
yang dilepas liarkan masih dijumpai didalam hutan larangan. Meskipun bagi

13
masyarakat Mollo bila hewan ternak memasuki kawasan hutan larangan, hewan
tersebut sudah diluar kontrol mereka. Terdapat kekhawatiran pada pengelola
kawasan (BKSDA) bahwa ternak di dalam kawasan akan memakan anakan-anakan
Ampupu. Namun dilihat dari sifat sapi Bali memilih tidak memakan daun ampupu
(Blake 1978 diacu dalam Monk et al. 2000) karena sapi Bali akan menghindari
daun-daun yang beraroma. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinannya sangat
kecil bila sapi masyarakat menjadi penyebab tidak adanya anakan didalam hutan.
Menurut WWF (2010) keberadaan ternak lepas dalam populasi yang besar
dan terus menerus di kawasan hutan dapat membuat tanah di lantai hutan menjadi
padat sehingga sangat menyulitkan bagi benih yang jatuh dari pohon induk untuk
bisa tumbuh dengan baik. Hal ini dapat mempengaruhi tumbuh dan terhambatnya
anakan baru yang akan tumbuh terutama jenis ampupu, meskipun dirasa masyarakat
sudah cukup konservasi dengan membuat O’af (pagar batas untuk jelajah ternak)
(Gambar 9). Pemadatan tanah hutan yang terjadi dapat merubah struktur dan tekstur
tanah serta memperkecil pori tanah sehingga bisa terjadi pengurangan laju infiltrasi
dan peningkatan laju aliran permukaan yang mengakibatkan terbawanya humus dan
unsur hara tanah hutan sehingga tanah hutan menjadi tidak subur. Axford et al.
(2013) menyatakan bahwa Equus caballus atau kuda liar dapat berpengaruh pada
kerusakan ekosistem karena menyebabkan terjadinya pembukaan permukaan tanah,
erosi dan sedimentasi, dan pengeringan dan pemadatan tanah. Hal tersebut
berpengaruh pada perubahan lingkungan hidup ampupu berkaitan dengan tanah.
Selain kerusakan terhadap tanah pengaruh kuda liar terhadap ekosistem adalah
menghilangkan tanaman asli karena proses perenggutan rumput sehingga semai
tidak dapat tumbuh karena sudah terenggut terlebih dahulu sebelum bisa tumbuh.
Jika dibandingkan dengan sistem ternak yang dikandangkan, sistem ternak
lepas tidak memungkinkan bagi pemilik untuk melakukan pemantauan terhadap
ternak maupun tempat mencari makan.Sistem pengelolaan ternak lepas disebabkan
oleh faktor keterbatasan ruang untuk mengandangkan di sekitar rumah serta
keterbatasan kemampuan penggembala dalam memberi pakan untuk ternak jika
seluruh ternak yang dimiliki harus dikandangkan.
Pemanenan madu
Madu mutis merupakan ciri khas daerah Timor. Madu yang dihasilkan oleh
lebah jenis Apis ini di panen oleh masyarakat dari hutan. Madu Mutis merupakan
hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai komersil. Ampupu biasa dijadikan
sebagai pohon induk penghasil madu. Madu Mutis merupakan salah satu sumber
penghasilan masyarakat Desa Fatumnasi (Nomeni dan Hakim, 2012). Berdasarkan
data WWF (2010) hasil madu alam Mutis rata-rata 6200 lt/tahun, hasil ini mampu
meningkatkan nilai ekonomi masyarakat (Nomeni dan Hakim, 2012).
Madu diambil dari pohon ampupu (Eucalyptus urophylla) dan pohon kayu
putih (Eucalyptus alba). Pengambilan madu dilakukan secara tradisional dan diatur
dalam peraturan adat yang ketat. Pemanenan tidak boleh terlambat memanen,
Madu diambil pada malam hari, diawali dengan upacara adat berupa persembahan.
Upacara yang dilakukan mencakup memotong hewan ternak, berdoa pada leluhur
dan menyanyi di sepanjang perjalanan menuju pohon tempat panen, Nyanyian
merupakan suatu bentuk pujian dan merayu madu agar ditahun berikutnya lebahlebah tersebut kembali lagi untuk menghasilkan madu. Pengambilan madu pohon
dilakukan dua kali dalam satu tahun.

14
Cara pemanenan madu hutan yang dilakukan oleh masyarakat Mollo dengan
didasari pada mitos-mitos adat dan menangkap tanda-tanda alam. Pemanenan
madu hutan merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Mollo, Sehingga
dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak sembarangan dalam memanen madu.
Pengambilan kayu bakar
Hutan Mutis didominasi oleh Eucalyptus yang merupakan unsur utama
hutan pegunungan primer dataran rendah di timor (Ormeling dalam Monk et al.
2000). Hutan Eucalyptus merupakan jenis hutan yang tahan api dikarenakan sifat
kayu eucalyptus itu sendiri. Masyarakat Mollo mengumpulkan (Gambar 10) dan
mengambil kayu (Gambar 11) Ampupu sebagai kayu bakar atau kayu api
dikarenakan kayu Ampupu sangat baik diproduksi sebagai arang (Orwa et al. 2009).
Pemanfaatan Ampupu pada bagian ranting pohon yang sudah kering sebagai kayu
bakar untuk memasak, menghangatkan badan pada saat musim hujan maupun untuk
mengawetkan jagung agar tidak fufuk (busuk). Selain ampupu masyarakat juga
memanfaatkan jenis kayu lainnya seperti kasuari (Casuarina equisetifolia) dan
natbone (Pittospermum timorensis). Kayu bakar sebagian diambil dari dalam hutan
di hutan larangan dan lebih sering di padang penggembalaan serta sebagian diambil
dari kebun atau belukar.

Gambar 10 Pengumpulan kayu bakar

Gambar 11 Pengambilan kayu
bakar

Ampupu yang memiliki sifat intoleran atau tidak bisa tumbuh di bawah
naungan (Orwa et al. 2009) membuat anakan ampupu di hutan Gunung Mutis lebih
sering ditemukannya disekitar luar kawasan hutan dibandingkan dengan didalam
kawasan hutan ampupu sendiri. Melihat aktifitas masyarakat yang mengambil kayu
ampupu yang sudah tua serta pengambilan ranting-ranting yang kering seharusnya
mampu membantu ampupu untuk mendapatkan lahan dan cahaya matahari untuk
melakukan regenerasi didalam hutan. Namun demikian kondisi dilapang yang tidak
ditemukannya anakan Ampupu diduga adanya faktor lain yang mempengaruhi,
seperti keberadaan ternak lepas.
Pengambilan zat warna tenun
Tenun merupakan ciri khas masyarakat tomor. Perempuan-perempuan Mollo
diwajibkan untuk mampu bertenun (Gambar 12) karena bagi mereka tenun
merupakan jati diri seorang perempuan Timor. Masyarakat Mollo memiliki ciri
khas tenun sendiri dari segi motif dan warna pada kain tenun. Warna tenun
menggunakan zat warna alami (Gambar 13). Pengambilan zat warna tenun didapat
kulit kayu matoi, taum dan lumpur kolam untuk pewarna hitam; Kulit kayu cemara
(Casuarina junghuniana), mengkudu, kasuari (Casuarina equisetifolia) untuk

15
pewarna merah; Arbilla hutan untuk pewarna hijau dan kunyit untuk warna kuning.
Khusus untuk jenis Arbilla hutan diambil dari dalam hutan, ada pula yang
mengambil tanaman arbilla dari hutan untuk ditanam di pekarangan rumah.
Sebagian masyarakat sekarang ini lebih memilik mengambil Arbilla hutan dari
hutan untuk ditanam di pekarangan rumah atau kebun mereka. Hal ini dikarenakan,
bagi masyarakat akan lebih memudahkan untuk menganbil dan tidak ada
kekhawatiran untuk tidak mendapatkan Arbilla dari dalam hutan. Selain
memudahkan saat dibutuhkan, keperluan membuat kain tenun dengan warna alami
tidak terlalu dibutuhkan banyak karena perempuan Mollo mulai memilih membeli
benang dari toko.
Pada dasarnya kebutuhan kain tenun bagi masyarakat Mollo untuk digunakan
sebagai pakaian adat, mas kawin, atau dijual. Kain tenun dengan warna alami
memiliki nilai jual yang lebih mahal daripada kain tenun dari benang pabrik.
Sehingga untuk menggunakan zat pewarna alami hanya akan diperlukan di saatsaat tertentu seperti kebutuhan untuk mas kawin atau permintaan konsumen yang
ingin membeli kain tenun dengan pewarnaan alami.

Gambar 12 Tenun

Gambar 13 Benang tenun dengan
pewarna alami

Pengambilan jamur Ampupu
Pada pohon Ampupu terkadang dijumpai jamur yang menempel pada batang pohon
dan masyarakat menyebutnya jamur ampupu. Masyarakat Mollo memanfaatkan
jamur Ampupu sebagai bahan makanan untuk jamur yang masih muda (Gambar 14)
dan bahan bakar untuk jamur ampupu yang sedah tua (Gambar 15). Mereka
mendapatkannya dengan cara memanjat pohon ampupu. Tidak setiap saat mereka
dapat mengambil jamur ampupu sebab tidak semua pohon memiliki jamur tersebut
serta hanya pada musim penghujan saja jamur ini muncul. Biasanya masyarakat
mengambil jamur ini hanya bila mereka menjumpai saat sedang menggembala
ternak di hutan, sehingga pengambilan jamur Ampupu bukanlah tujuan utama
masyarakat masuk hutan. Pemanfaatan jamur ampupu ini belum dapat dinilai
konservasi terhadap hutan dan ekosistemnya. Kondisi lapang yang tidak
memungkinkan untuk melakukan identifikasi jamur Ampupu, serta literatur
mengenai jamur ini masih sangat kurang sehingga untuk mengetahui pengaruh
jamur terhadap pohon Ampupu tidak dapat dipastikan.

16

Gambar 14 Jamur ampupu muda

Gambar 15 Jamur ampupu tua

Bentuk pemanfaatan yang dilakukan di dalam hutan juga memiliki pengaruh
terhadap kawasan CAGM karena sebagian hutannya merupakan kawasan CAGM.
Melihat dari aktivitas masyarakat yang sudah disebutkan, aktivitas ternak lepas juga
memiliki pengaruh besar terhadap fungsi terbentuknya cagar alam dikarenakan
kurang pengawasan pada ternak. Kegiatan ini dinilai kurang konservasi bagi tanah
di dalam hutan. Namun demikian, masyarakat juga melakukan pemanfaatan secara
konservasi yaitu pemanenan madu yang ramag terhadap ekosistem serta
pengambilan kayu bakar. Kegiatan pengambilan kayu bakar dapat dinilai
konservasi dengan membantu memberi ruang bagi Ampupu untuk melakukan
regenerasi, bila melihat cara masyarakat mengambil kayunya di hutan.
Sedangkan untuk aktivitas mengambil zat pewarna tenun yang mulai
menurun karena tersedianya benang buatan industri dan lebih memudahkan bagi
masyarakat Mollo untuk memperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan
sumberdaya dari hutan dapat di turunkan bila tersedianya akses yang mampu
menggantikan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhan dan lebih memudahkan
bagi masyarakat Mollo. Pernyataan tersebut dapat diterapkan pada pemanfaatan
yang lain sehingga ketergantungan masyarakat terhadap ampupu dapat di
minimalisir sehingga keberadaan dan berkembang ampupu dapat terjadi secara
alami dan lestari.
Gagasan Konsep Pengelolaan
Konsep pengelolaan yang dibuat Mollo dengan membagi kawasan seperti
hutan larangan, padang penggembalaan dan kawasan pemukiman, mempunyai
kesamaan atau selaras dengan konsep pelestarian konservasi modern (konsep
pengelolaan cagar biosfer). Bentuk pengelolaan menurut Soedjito (2004) di dalam
cagar biosfer terdapat pembagian zona seperti kawasan inti, kawasan penyangga
dan kawasan peraihan (Gambar16). Zonasi tersebut terdiri dari : (i) zona inti
berfungsi sebagai kawasan yang dilindungi dengan luas yang memadai, mempunyai
perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati
beserta ekosistemnya, (ii) zona penyangga yang berfungsi untuk melindungi area
inti dari dampak negatif kegiatan manusia, dimana hanya kegiatan-kegiatan yang
sesuai dengan tujuan konservasi yang dapat dilakukan, dan (iii) zona transisi yang
berfungsi untuk mempromosikan model-model pembangunan yang berkelanjutan
(MAB, 2011). Keterlibatan masyarakat sekitar kawasan akan memiliki peran
penting dalam pengelolaan kawasan. Hal ini terlihat dari masyarakat tradisional
yang telah membuktikan hidup dalam keseimbangan dengan alam dan turun

17
temurun hidup di dalam hutan (Soedjito 2009). Suatu kawasan konservasi dengan
keberadaan masyarakat tradisionalnya di dalam kawasan merupakan upaya
memelihara suatu media hubungan tradisional manusia dengan alam (Watson et al.
2003). Melihat hubungan antara masyarakat Mollo dengan hutan serta bentuk
penataan lahanya, kawasan hutan Gunung Mutis secara keseluruhan dapat dikelola
dengan pendekatan cagar biosfer.

Gambar 16 Ilustrasi Zonasi Cagar Biosfer
(Sumber : Man and Biosphere (MAB) Indonesia 2011)
Pada bentuk pengelolaan masyarakat Mollo dengan adanya hutan larangan
memiliki kesesuaian fungsi dari zona inti pada cagar biosfer, begitu juga dengan
padang penggembalaan dimana bagi masyarakat fungsi dari lahan ini sama dengan
zona penyangga pada cagar biosfer terlepas dari kegiatan ternak lepas. Cagar
biosfer memang dirancang khusus dengan adanya partisipasi masyarakat lokal
dalam mengelola kawasan. Keunikan dari cagar biosfer adalah bahwa kawasan ini
secara internasional diakui sebagai kawasan konservasi yang dapat
mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam (UNESCO
2003).
Masyarakat Mollo melakukan pembagian kawasan sebagai bentuk
pengelolaan dari segi perlindungan kawasan dan sumberdaya alam terutama air
dengan didasari pada aturan adat. Adanya pandangan dan nilai-nilai lokal tentang
hutan serta adanya atutan-aturan dan berlakunya sanksi bagi pelanggar aturan
mampu melindungi hutan secara keseluruhan. Menurut Chang 2009, kadangkadang budaya dapat memainkan peran penting dalam manajemen hutan dengan
cara yang positif.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Mollo berupa penataan lahan
sesuai fungsi dan pemanfaatan sumberdaya alam. Penataan lahan dilakukan
dengan membagi lahan menjadi hutan larangan sebagai kawasan budaya serta

18
padang penggembalaan dan pemukiman sebagai kawasan pemanfaatan.
Kepercayaan, persepsi dan aturan adat menjadi dasar mereka dalam menjalankan
sistem pengelolaan. Masyarakat Mollo terikat oleh aturan adat dimana
melindungi hutan mutis dan melestarikan adalah tugas mereka.
2. Nilai konservasi terdiri dari tiga pilar, yaitu perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan secara lestari. Pengelolaan hutan oleh masyarakat Mollo yang
memiliki nilai konservasi sebagai berikit:
a. membagi lahan sesuai fungsinya berdasarkan aturan adat masyarakat Mollo
dapat diindikasikan memiliki nilai konservasi dari segi perlindungan
terhadap keseluruhan kawasan dan sumberdaya alam berupa air.
b. kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam seperti pemanena madu secara
tradisional yang dilakukan hanya pada musim tertentu dinilai konservasi
karena kegiatan dilakukan dengan tidak merusak alam.
c. Kegiatan pengambilan kayu bakar, dengan melihat sifat tumbuhan ampupu
yang intoleran secara teori kegiatan masyarakat bernilai konservasi dengan
membantu proses regenerasi ampupu.
Namun demikian, penggembalaan liar sampai sekarang masih belum dapat
dinilai konservasi meskipun bagi masyarakat Mollo kegiatan ini sudah menjadi
tradisi mereka.
Saran
1. Perlu adanya peninjauan ulang terhadap status cagar alam di hutan Gunung Mutis.
oleh pemerintah yang tidak hanya melihat dari kepentingan ekologinya namun
juga dapat dilihat dari segi peranan hutan itu sendiri bagi masyarakat sekitar
kawasan. hasil dari peninjauan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari segi
perlindungan sumberdaya alam dan kesejahteraan masyarakat yang dapat dijamin.
2. Adanya bantuan pembinaan dari pemerintah untuk masyarakat dalam mengelola
ternak sehingga dapat dikontrol perkembangan populasi ternaknya.
3. Adanya penyediaan sarana dan akses oleh pemerintah daerah dan BKSDA untuk
masyarakat Mollo agar ketergantungan masyarakat terhadap hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dapat dialihkan denagn adanya fasilitas yang lebih
memudahkan.

DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja K. 2007. Leuweng Titipan: Hutan Keramat Warga Kasepuhan Gunung
Halimun. Di dalam : Soedjito H., Purwanto Y., Sukara E., editor. Lokakarya
Situs Keramat Alami : Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman
Hayati ; Kebun Raya Cibodas, 30-31 Oktober 2007. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia hal 78
Alikodra HS. 2012. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pendekatan
Ecosophy bagi Penyelematan Bumi. Efransjah dan Darusman D, editor.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

19
Axford J, Dawson M, and Brown D. 2013. The ecology of wild horses and their
environmental impact in the Victorian alps. Parks Victoria May 2013
Balai Besar Konservasi Sumberdaya Hutan Nusa Tenggara Timur. 2012. Buku
Informasi Kawasan Balai Besar KSDA NTT. Kupang: BBKSDA NTT :
Kupang
Baso G. 2007. Mopahilolonga Katuvua: Konsepsi masyarakat adat Toro dalam
mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan. Soedjito H, Purwanto Y,
Sukara E, editor. Lokakarya Situs Keramat Alami. Peran Budaya dalam
Konservasi Keanekaragaman Hayati ; Kebun Raya Cibodas, 30-31 Oktober
2007. Jakarta (ID) : Yayasan Obor Indonesia hal 240
Bungin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta [ID]: PT Rajagrafindo
Persada
Chang YY. 2009. Use of forest resources, traditional forest-related knowledge and
livelihood of forest dependent communities: Cases in South Korea.
Dhana I. 2001. Di dalam: Purba J. Bunga Rampiai Kearifan Lingkungan. hal 833
Geriya S. 2001. Kerarifan Lingkungan dalam Paradikma Karmoni Budaya Bali. Di
dalam: Purba. Bunga RampaiKearifan Lingkungan. hal 848.
Iskandar J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia : Studi Kasus dari Daerah
Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta : Djanbatan.
Iskandar J. 2009. Pelestarian daerah mandala dan keanekaragaman hayati oleh
orang Baduy. Di dalam: Soedjito H., Purwanto Y., Sukara E., editor.
Lokakarya Situs Keramat Alami : Peran Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati ; Kebun Raya Cibodas, 30-31 Oktober 2007.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia hal 86-111.
Kumar HD. 1999. Biodiversity and Sustainable Conservation. New Hampshire
(US): Science Publisher INC.
Lubis ZB. 2009. Lubuk Larangan: Revivalisasi Situs keramat Alami di Kabubaten
Mandailing Natal. Di dalam: Soedjito H., Purwanto Y., Sukara E., editor.
Lokakarya Situs Keramat Alami : Peran Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati ; Kebun Raya Cibodas, 30-31 Oktober 2007.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia hal 165-191.
[MAB] Man and Biosphere Indonesia. 2011. Periodic Review On Cibodas
Biosphere Reserve Year 2011. Bogor [ID]: MAB Indonesia
Melchias G. 2001. Biodiversity and Conservation. New Hampshire (US): Science
Publisher INC.
Monk K A, Fretes Y D, Deksodihardjo G. 2000. Seri Ekologi Indonesia Buku V.
Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Kartikasari S.N, editor. Jakarta (ID):
Environmental Management Development Indonesia (EMDI)
Nainggolan R. 2007. Teladan dari Toro (1): Harmonis Bersama Alam. Konpas,
Jakarta, 1 Mei 2007.
Nomeni Y dan Hakim MR. 2012. Ternak dan Madu untuk Lestarikan Kawasan
Gunung Mutis. WWF-Indonesia
Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simon A. 2009. Eucalyptus urophylla.
Agroforestry Database. 4(0) : 1-5.Orwa et al. 2009. Eucalyptus urophylla.
Agroforestry Database. 4(0) : 1-5.
Peraturan Pemerintah 2011. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2011. Tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta
(ID).

20
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2011
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pelestarian Hutan dan Rencana
Teknik Tahunan di
Purba G. 2001. Tembawai Sebagai Wujud Kearifan Tradisional Pada Masyarakat
Iban di Kalimantan Barat. Di dalam: Purba J. Bunga Rampai Kearifa