Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai Dalam Konservasi Tumbuhan Dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

(1)

INTEGRASI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

DALAM KONSERVASI TUMBUHAN DAN EKOSISTEM

PEGUNUNGAN RUTENG NUSA TENGGARA TIMUR

ELISA ISWANDONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai dalam Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016 Elisa Iswandono NIM E361120031


(4)

RINGKASAN

ELISA ISWANDONO. Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai dalam Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD, AGUS HIKMAT dan NANDI KOSMARYANDI.

Masyarakat tradisional di sekitar hutan di Indonesia memiliki nilai konservasi biodiversitas yang berkaitan dengan sosial budaya setempat yang diwariskan turun temurun. Keragaman pengetahuan etnobotani masyarakat sekitar hutan belum dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan sehingga seragam dalam pengelolaannya yang berdampak pada disorientasi pengelolaan hutan yang belum sesuai kearifan lokal setempat. Belum adanya titik temu pengelolaan bersama antara masyarakat tradisional yang arif dalam melakukan konservasi tumbuhan hutan dan konservasi menjadi salah satu sebab kurang berhasilnya konservasi hutan. Penelitian ini difokuskan pada integrasi pengetahuan etnobotani dalam konservasi tumbuhan hutan dan dipilih masyarakat suku Manggarai yang hidup di pegunungan Ruteng, yaitu: pada Hutan Ruteng belum diberikan akses pemanfaatan tumbuhan hutan sedangkan di Hutan Todo masyarakat diberikan akses untuk pemanfaatan. Pertimbangan lainnya adalah kesamaan suku, budaya dan bahasa serta ekosistem hutan pegunungan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan bahwa masyarakat Suku Manggarai Pegunungan Ruteng masih memiliki kearifan lokal yang dapat mendukung kelestarian hutan khususnya ditinjau dari aspek etnobotani dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat tradisional dan konservasi dalam pengelolaan hutan. Tujuan penelitian ini secara rinci adalah 1) memperoleh gambaran mengenai budaya masyarakat suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan studi etnografi yang mendukung konservasi, 2) mengkaji pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat Suku Manggarai yang mendukung konservasi, 3) mengkaji bentuk pengelolaan tradisional lahan masyarakat suku Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan, dan 4) menyusun sintesis konsep pengelolaan kawasan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng. Perolehan data etnobotani melalui Focus Group Discussion dan data kualitatif mengenai budaya konservasi lainnya melalui wawancara dengan informaan kunci masyarakat tradisional, pemimpin lembaga swadaya masyarakat yang mendukung konservasi dan pejabat pemerintah daerah Manggarai. Perolehan data kuantitatif ekologi melalui analisis vegetasi.

Masyarakat Suku Manggarai di Pegunungan Ruteng telah mempraktekkan konservasi dalam nilai-nilai, norma-norma dan tradisi yang diwariskan yang merupakan kearifan lokal dalam pemanfaatan. Konservasi secara tradisional dilakukan melalui pemanfaatan tumbuhan hutan secara berkelanjutan dan praktek pengelolaan lahan secara tradisional yang memiliki nilai-nilai keagamaan lokal yang masih dipatuhi. Kegiatan perlindungan dan pengawetan dalam konsepsi masyarakat tradisional selalu dikaitkan dengan istilah keramat sehingga pantang untuk dirusak sedangkan kegiatan pemanfaatan diatur dengan aturan-aturan dan upacara adat yang mengikat sehingga pemanfaatannya lestari.


(5)

Pengetahuan etnobotani cukup tinggi karena pemenuhan kebutuhan hidup memanfaatkan tumbuhan hutan untuk memenuhi hidup kebutuhan sehari-hari dan melakukan ritual adat. Tingkat pengetahuan laki-laki lebih tinggi dari perempuan karena tugas untuk mengambil hasil hutan adalah laki-laki. Tingkat pengetahuan masyarakat tertinggi ditemukan pada kelas umur antara 55-69 tahun dan mengalami penurunan terutama pada generasi muda.

Indikator degradasi hutan di pegunungan Ruteng dari informasi etnobotani adalah penurunan pengetahuan tradisional yang berdampak degradasi hutan karena masyarakat memiliki kurang pengetahuan untuk mengelola hutan secara lestari. Indikator kedua adalah pemanfaaan komersial untuk kayu bangunan dan kayu bakar untuk memenuhi permintaan pasar dan kebutuhan uang tunai. Tumbuhan paling penting secara budaya adalah teno (Mellochia umbellata) yang memiliki manfaat terbanyak sehingga masyarakat melakukan konsrvasi dengan memelihara anakan teno yang tumbuh alami di kebun. Tumbuhan penting secara ekologi dan budaya adalah ara (Ficus variegata) yang dipercaya berperan meningkatkan debit air di mata air sehingga dilindungi masyarakat dan paling dominan. Tumbuhan hutan prioritas konservasi lokal sebanyak 13 spesies yang terutama disebabkan oleh belum dilakukannya budidaya dan adanya pemanfaatan komersial.

Orang Manggarai memiliki sistem tata guna lahan yang menyediakan ruang untuk perlindungan dan pemanfaatan yang mendukung konservasi tumbuhan hutan dan kesejahteran masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pengelolaan lahan secara tradisional masih dipertahankan karena lahan komunal merupakan ikatan sosial kekerabatan dan tempat melakukan ritual tradisional sehingga memiliki nilai-nilai keagamaan lokal yang masih dipatuhi. Pada wilayah hutan yang diberikan akses untuk pemanfaatan hutan memiliki penutupan hutan yang lebih baik karena adanya dukungan masyarakat terhadap kelestarian kawasan hutan.

Konsep pengelolaan kawasan konservasi sepatutnya menyentuh manfaat nyata pemenuhan kehidupan sehari-hari. Strategi pemanfaatan dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan subsisten 12 macam pemanfaatan termasuk pemenuhan kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah adat dan rumah tinggal. Pengawetan tumbuhan hutan berkaitan dengan fungsi ekologi ketersediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perlindungan sistem penyangga kehidupan berkaitan dengan keberadaan mata air pada setiap kampung danau dan hutan yang dikeramatkan.


(6)

SUMMARY

ELISA ISWANDONO. Integrating Local Wisdom of Manggarai Tribe Community into Conservation of Plants and Ecosystem of Ruteng Mountains Nusa Tenggara Timur. Supervised by ERVIZAL A.M. ZUHUD, AGUS HIKMAT and NANDI KOSMARYANDI.

Traditional communities around the forest in Indonesia has biodiversity conservation values which are related to local cultural socio inherited from generation to generation. The diversity of knowledge ethnobotany in forest communities has not been considered in forest management so that it uniform in management which have an impact on forest management disorientation and unsuitable with local wisdom. The lack of suitable point between traditional communities who are wise in doing conservation of forest plants and conservation became one problem that impact in less successful forest conservation. This study focused on the integration of knowledge of ethnobotany in the conservation of forest plants and the study located in the Ruteng mountains which has two Forest, namely: Ruteng Forest that has not been granted access utilization of forest plants and Todo Forest are given access to utilization. Another consideration of the selection of samples is the sameness of their ethnicity, language, culture and mountains forest ecosystem.

The general aim of this study are to prove that Manggarai community in Ruteng Mountains still have local knowledge that can support the preservation of forests, especially in the aspect of ethnobotany and integrate local knowledge into conservation. The specific objectives of this research are: (1) analyze the local knowledge to conserve the biodiversity in Manggarai culture with ethnographic studies to support conservation; (2) to analyze the utilization of forest plants to support conservation; 3) analyzing the form of traditional land management Manggarai ethnic communities that support conservation and welfare; and 4) synthesizes the concept of forest management that integrates local knowledge into conservation. The acquisition of data through focus group discussion (FGD), in-depth interviews, and literature. Interviews using open-ended interviews with informants set based on the status and role in the community, leaders of non-governmental organization that supports conservation and local government officials Manggarai by purposive and snowball. The acquisition of quantitative data through the analysis of vegetation ecology.

Manggarai communities in mountains of Ruteng have already practicing conservation in the values, norms and traditions that are inherited in the local wisdom. Conservation is traditionally done through the use of plants for sustainable forest and land management practices have local religious values that are still adhered. Protection and preservation activities in the conception of traditional society has always been associated with the term of sacred while sustainable utilization are bounded by rules and ceremonies.

Knowledge ethnobotany is high because it still utilize forest plants subsistence to meet the needs of everyday life and perform traditional rituals. The level of knowledge of men is higher than women's because the task to collect forest


(7)

products were men. The highest level of public knowledge found in class between the ages of 55-69 years and decreased mainly in the younger generation.

The Indicators of forest degradation in the mountains Ruteng according to ethnobotany information is the decline of traditional knowledge which impact to forest degradation because traditional people have less knowledge to manage the forest sustainably. The second indicator is the commercial exploitation for timber and firewood to meet market demand and cash. The most important cultural plants are teno (Melochia umbellata) that has the most benefits so that people do conservation by maintained teno seedlings that grow naturally in the garden. Ecologically important plants and culture is ara tree (Ficus variegata) which is believed to increase water in the spring so that protected and become the most dominant. Local conservation priority of forest plants as many as 13 species mainly caused by not doing cultivation and commercial utilization.

Manggarai people have a land-use system that provides space for the protection and utilization of forest plants that support the conservation and welfare of the community in terms of satisfying the needs of everyday life. Traditional land management is retained as communal land is a social bond of kinship and perform traditional rituals that have local religious values that are still adhered. In the forest areas granted access to the utilization of forest have forest cover that is better for their public support for the preservation of forests.

The concept of conservation management should touch the real benefits of the fulfillment of everyday life. Strategies associated with the use of 12 kinds of meeting basic needs including fulfillment utilization of wood for the construction of traditional house and residential. Preserving forest plants with regard to the ecological function of the availability of clean water to meet the needs of everyday life. Protection of life support systems related to the presence of springs in every village lakes and sacred forests.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

INTEGRASI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

DALAM KONSERVASI TUMBUHAN DAN EKOSISTEM

PEGUNUNGAN RUTENG NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS Dr Ir Bambang Supriyanto

Penguji pada Sidang Promosi : Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS Dr Ir Bambang Supriyanto MSc


(11)

Judul Disertasi : Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai dalam Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

Nama : Elisa Iswandono

NIM : E361120031

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud MS Ketua

Dr Ir Agus Hikmat MScFTrop Anggota

Dr Ir Nandi Kosmaryandi MscFTrop Anggota

Diketahui oleh:

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah Msc Agr

Tanggal Ujian Tertutup : 11 Mei 2016 Tanggal Lulus: Tanggal Sidang Promosi : 16 Juni 2016


(12)

PRAKATA

Terima kasih dan ucapan syukur kepada Tuhan untuk berkat, perlindungan dan penyertaan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kearifan lokal dengan judul Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai dalam Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur.

Terima kasih kami ucapkan pada Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud, MS, Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan selama penulisan. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar KSDA NTT beserta seluruh staf yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri dan anak-anakku Elia Immanuel Iswandono dan Samuel Yehuda Iswandono, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016 Elisa Iswandono


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 6

1.4 Manfaat Penelitian 6

1.5 Kerangka Pemikiran 6

1.6 Kebaruan Penelitian 10

2 ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

2.1 Pendahuluan 12

2.2 Metode 13

2.3 Hasil dan Pembahasan 15

2.3.1 Asal Usul 15

2.3.2 Penyebaran Suku Bangsa 16

2.3.3 Pengelanaan atau Pengembaraan 16

2.3.4 Struktur dan Komposisi Kependudukan 17

2.3.5 Ciri Biofisik 18

2.3.6 Bahasa 18

2.3.7 Istilah Silsilah 18

2.3.8 Perkawinan 20

2.3.9 Kepercayaan dan Agama 21

2.3.10 Kepemimpinan Kampung 26

2.4 Simpulan 30

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

3.1 Pendahuluan 30

3.2 Metode 31

3.3 Hasil dan Pembahasan 39

3.3.1 Pengetahuan Etnobotani 39

1. Tumbuhan Penghasil Pangan 41

2. Bahan Minuman 45

3. Bahan Obat 46

4. Bahan Bangunan 53

5. Racun dan Pengendali Hama 53

6. Pewarna 55

7. Peralatan dan Kerajinan 55

8. Kayu Bakar 58

9. Pakan Ternak 59


(14)

11. Mitos, Legenda dan Ritual 60

12. Tumbuhan Hias dan Pagar Batas 61

3.3.2 Tingkat Pengetahuan, Retensi Etnobotani dan

Perubahan Tahunan 61

3.3.3 Pemanfaatan Komersial Tumbuhan Hutan 65 3.3.4 Spesies Penting secara Budaya dan Ekologi 65 3.3.3 Spesies Prioritas Konservasi Lokal 73

3.4 Simpulan 74

4 ETNOEKOLOGI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

4.1 Pendahuluan 74

4.2 Metode 75

4.3 Hasil dan Pembahasan 77

4.3.1 Pengelolaan Lahan secara Tradisional 77 4.3.2 Siklus Tahunan dan Mata Pencaharian 90 4.3.3 Peranan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan 95

5.4 Simpulan 101

5 INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVASI

5.1 Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 102 5.1.1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservasi 102 5.1.2 Kearifan Pemanfaatan Tumbuhan Hutan 102

5.1.3 Kearifan Pemanfaatan Ruang 104

5.1.4 Strategi Konservasi Masyarakat Suku Manggarai 105 5.1.5 Pengetahuan, Sikap Masyarakat dan Konservasi 107 5.1.6 Masalah Konservasi dan Kesejahteraan 110 5.2 Konsep Integrasi Kearifan Lokal dan Konservasi 113 5.2.1 Strategi Integrasi Kearifan Lokal dan Integrasi 113 5.2.2 Hubungan antara Nilai Kearifan Lokal dan Konservasi 118 5.3 Integrasi Kebijakan Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem 122

5.3.1 Kesepakatan Pengelolaan 122

5.3.2 Pengelolaan Kawasan dengan Ciri Khas Budaya Setempat 129

5.3.3 Pemanfaatan Spesies dalam Kawasan 129

5.3.4 Perlindungan Pengetahuan Tradisonal 130

6 SIMPULAN DAN IMPLIKASI 132

DAFTAR PUSTAKA 136


(15)

DAFTAR TABEL

1.1 Relevansi penelitian di Pegunungan Ruteng 11

2.1 Istilah kekerabatan Manggarai 19

2.2 Pembagian tugas pekerjaan sehari-hari 21

3.1 Jumlah Responden Penelitian 33

3.2 Katagori tingkat eksklusivitas atau tingkat kesukaan 34 3.3 Katagori intensitas penggunaan tumbuhan hutan 34 3.4 Nilai kualitas tumbuhan katagori etnobotani 35 3.5 Penentuan spesies prioritas konservasi lokal 38 3.6 Kelompok manfaat dan jumlah spesies tumbuhan hutan bermanfaat 39 3.7 Prosentase bagian tumbuhan yang dimanfaatkan 41 3.8 Spesies tumbuhan sumber karbohidrat untuk pangan utama 42 3.9 Spesies tumbuhan hutan penghasil sayur dan buah 44

3.10 Spesies tumbuhan hutan untuk minuman 45

3.11 Katahori kegunaan dan jumlah spesies tumbuhan obat 47

3.12 Bahan obat untuk luka baru 48

3.13 Bahan obat batuk, influensa, pernafasan, demam dan malaria 49 3.14 Bahan obat untuk sakit perut, mencret, diare dan saluran pencernaan 50 3.15 Bahan obat tonikum, menyegarkan, membersihkan darah 51 3.16 Bahan obat rematik, sakit persendian, patah tulang 51

3.17 Obat penyakit dalam, tumor dan kanker 52

3.18 Bahan obat sakit gigi, beri-beri, kejang, ketombe dan mata merah 53 3.19 Spesies tumbuhan hutan untuk bahan bangunan 54 3.20 Peralatan dan kerajinan tradisional masyarakat Manggarai 57

3.21 Spesies tumbuhan hutan untuk kayu bakar 58

3.22 Tumbuhan hutan untuk bahan tali 59

3.23 Tumbuhan hutan untuk mitos, legenda dan ritual 60 3.24 Tingkat pengetahuan, retensi etnobotani dan perubahan tahunan 61 3.25 Nilai Index of Cultural Significance (ICS) 66 3.26 Spesies tumbuhan dominan dengan nilai INP tertinggi 68 3.27 Spesies tumbuhan hutan yang memiliki rata-rata kerapatan tertinggi 69

3.28 Kerapatan per hektar teno, ara dan worok 72

3.29 Spesies prioritas konservasi lokal tumbuhan hutan 73 4.1 Pembagian fungsi ruangan pada setiap tingkatan rumah gendang 82

4.2 Komposisi spesies tumbuhan hutan 88

4.3 Indeks kesamaan komunitas tumbuhan hutan 88 4.4 Indeks kemerataan spesies tumbuhan hutan 89 4.5 Indeks Keanekaragaman Shanon (H') Tumbuhan 89 4.6 Kalender orang Manggarai kampung Wae Rebo 91 4.7 Jumlah turis pada wilayah Hutan Ruteng dan Todo 97 4.8 Perbandingan kondisi kampung tradisional di Hutan Ruteng dan Todo 97 5.1 Stimulus dan aksi konservasi Masyarakat Manggarai 113 5.2 Konsep integrasi kearifan lokal dan konservasi tumbuhan hutan 118

5.3 Sejarah pengelola kawasan Hutan Ruteng 125


(16)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Pertukaran sistem energi, materi dan informasi antara sistem sosial dan

ekosistem 7

1.2 Integrasi Kearifan Lokal dan Konservasi 9

2.1 Peta lokasi penelitian 14

2.2 Jumlah dan komposisi penduduk kampung Mano, Lerang dan Wae

Rebo menurut jenis kelamin dan umur 17

2.3 Compang untuk altar persembahan satu kampung terbuat dari batu yang disusun membentuk sebuah lingkaran dan langkar tempat persembahan

terbuat dari bambu berentuk persegi 22

2.4 Makanan, minuman, kotak sumbangan dari pelayat dan barang-barang lainnya diletakkan dekat peti mati pada acara kematian seorang anak

muda di Wae Rebo 23

2.5 Mata air tempat melaksanakan upacara barong wae di kampung Mano,

Lerang dan Wae Rebo 24

2.6 Pemain caci tampak dari depan dan belakang 25 2.7 Struktur kelembagaan masyarakat adat Manggarai 27 3.1 Skema penempatan transek dan petak ukur 37 3.2 Prosentase habitus spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan 40 3.3 Spesies tumbuhan hutan penghasil karbohidrat dari hutan 41

3.4 Beberapa jenis sayur dari hutan 43

3.5 Beberapa jenis buah dari hutan 45

3.6 Beberapa spesies tumbuhan hutan untuk mengobati penyakit dalam 46 3.7 Beberapa spesies tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati, yaitu a).

lareng (Derris elliptica), b). kulit kayu berkebo (Ternstroemia indica)

dan c). Umbi raut (Dioscorea hispida). 55

3.8 Tao (Indigofera tinctoria) untuk memberi warna hitam pada kain tenun

ikat Manggarai (songke) 55

3.9 Peralatan tradisional yang umum ditemui: a). mbere untuk tempat sirih pinang, b). robo untuk tempat minum dan c). Roto atau keranjang

bambu 56

3.10 Pemanfaatan rotan (Calamus heteracanthus) dan ijuk enau (Arenga

pinnata) untuk tali pengikat rumah. 60

3.11 Perbandingan tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat 63 3.12 Perubahan tahunan tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat 64

3.13 Pohon teno (Mellochia umbellata) 66

3.14 Kelas diameter teno (Mellochia umbellata) pada sampel transek hutan

di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo 67

3.15 Pohon ara (Ficus variegata) 70

3.16 Kelas diameter ara (Ficus variegata) pada sampel transek hutan di

kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo 70

3.17 Kelas diameter worok (Dysoxylum densiflorum) pada sampel transek

hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo 71


(17)

4.1 Rumah gendang gendang dan permukiman asli Manggarai di

Wae Rebo, Lerang dan Mano 79

4.2 Sketsa pola berkampung orang Manggarai 80

4.3 Rumah penduduk Manggarai menggunakan kayu teno (Melochia

umbellata) sebagai salah satu tiang penyangga rumah 82 4.4 Sistem pembagian lahan komunal (lingko) Suku Manggarai 83 4.5 Sketsa sistem pembagian lahan komunal (lingko) orang Manggarai 84 4.6 Pembangunan wilayah kota Ruteng Manggarai tetap memiliki

bentuk sarang laba-laba sekalipun mengalami pembangunan fisik 85 4.7 Peta pembagian lahan secara tradisional di kampung Mano 92 4.8 Peta pembagian lahan secara tradisional di kampung Lerang 93 4.9 Warga kampung di Manggarai telah memiliki penampungan air dekat

permukiman namun sumber mata air untuk upacara adat

barong wae masih terpelihara 94

4.10 Peta pembagian lahan secara tradiisional di kampug Wae Rebo 95 4.11 Penutupan Hutan Ruteng pada Tahun 1993, 2003 dan 2014 97 4.12 Penutupan Hutan Todo pada Tahun 1993, 2003 dan 2014 98 4.13 Penutupan Hutan Ruteng analisis citra landsat tahun 1999,

2003 dan 2014 99

4.14 Penutupan Hutan Todo analisis citra landsat tahun 1999,

2003 dan 2014 100

5.1 Masyarakat kampung Lerang kesulitan menyelesaikan pembangunan rumah adatnya karena larangan pengambilan kayu dari pohon yang tumbuh alami dalam hutan sebagai syarat pembangunan 108 5.2 Hubungan nilai kearifan lokal dan strategi konservasi 115

DAFTAR LAMPIRAN

1. Spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan 143

2. Index Cultural Significance (ICS) spesies tumbuhan hutan 148 3. Peraturan perundangan terkait pemanfaatan tumbuhan hutan 153


(18)

Daftar Istilah

Agang : Alat untuk menangkis serangan yang terbuat dari bambu berbentuk tongkat yag dilengkungkan Anak rona : Keluarga dari pihak ibu/isteri

Anak wina : Keluarga dari pihak ayah/suami

Anak wina ka’eng one : Suami/ayah yang hidup bersama keluarga isteri

Ase : Adik

Ase ka’e beo : Saudara satu kampung

Ata one : Orang dalam

Ata pe’ang : Orang luar

Bangka : kampung lama yang ditinggalkan karena longsor, wilayah datar yang sempit dan lokasi terpencil Barong lodok : Upacara untuk menghormati roh penjaga kebun

komunal

Barong wae : Upacara untuk menghormati roh penjaga mata air

Belis : Mahar

Beo : Kampung

Berek : Ember dari anyaman pandan

Ca : Satu

Caci : Tarian adat yang dilakukan setelah upacara penti Cako perkawinan satu garis keturunan antara laki-laki

(keturunan kakak) dan perempuan (keturunan adik) pada generasi ketiga atau keempat dalam satu kakek Cangkang, : Perkawinan antar garis keturunan

Cebong : Mandi

Ci : Menguji

Compang : Tempat atau altar persembahan terbuat dari batu yang disusun membentuk sebuah lingkaran yang berada di pusat kampong

Congko lokap : Upacara adat untuk merehab rumah adat dengan tujuan meminta ijin pada leluhur

Darat : Roh yang berdiam di mata air atau di alam liar Ela wase lima : denda adat berupa babi berukuran lima kali jarak

antara siku ke jari tengah

Ema : Ayah

Ema koe : Paman

Empo : Kakek/nenek/cucu

Ende : Ibu

Ende koe : Tante

Ema tu’a : Paman besar

Ende tu’a : Tante besar

Gelarang : Wilayah kekuasaan pada masa kerajaan Manggarai yang kurang lebih seluas satu desa

Gerang : Kain berwarna merah

Golo : Bukit yang juga berarti kampung

Haju : Pohon berkayu


(19)

Daftar Istilah (lanjutan)

Hekang kode : Tempat persembahan pada leluhur untuk satu rumah adat yang dihuni beberapa keluarga yang terletak pada lantai kelima

Herba : Saung

Ite : Bahasa halus untuk kata ganti kamu Jarang berat : Kuda bunting

Karot : Tumbuhan berduri

Ka’e : Kakak

Kasawiang : Upacara penolak bala penyakit

Kawing haju : Upacara menguburkan kayu, batu, pasir dan darah ayam pada lokasi pembangunan rumah yang bertujuan agar rumah kokoh dan kuat

Kawing sirih : Upacara peresmian rumah dengan menyembelih babi yang bertujuan agar penghuni rumah tidak terkena penyakit.

Kedaluan : Wilayah kekuasaan pada masa kerajaan Manggarai yang kurang lebih seluas satu kecamatan

Kelas : Upacara adat untuk menghantar roh-roh orang mati dari dunia manusia ke dunia roh

Kilo : Keluarga

Kilo hang neki : Satu keluarga besar yang tinggal bersama dalam satu rumah tangga

Langkar : Tempat persembahan satu keluarga kepada leluhur yang terbuat dari bambu berbentuk persegi di dalam setiap rumah orang Manggarai

Lansing : Kotak penyimpanan

Larik : Pecut

Lingko : Lahan komunal

Lingko bon : Lahan komunal berbentuk lingkaran yang tidak memiliki tempat pemujaan

Lingko neol : Lahan komunal yang berbentuk kotak seperti kebun lainnya

Lingko rame : Lahan komunal yang memiliki tempat pemujaan pada bagian tengahnya

Lodok : Bagian pusat/tengah lingko yang berbentuk lingkaran

Loma lelo : pelanggaran yang dilakukan seorang laki-laki apabila dengan sengaja melihat perempuan yang sedang mandi

Loma pande : Pelanggaran aturan adat apabila seorang laki-laki memegang bagian sensitif dari tubuh perempuan Loma tombo : Pelanggaran kata, contohnya seorang laki-laki

memaki perempuan

Mbaru bendar : Rumah dari keturunan perkawinan antar garis keturunan dalam sebuah kampung adat


(20)

Daftar Istilah (lanjutan) Mbaru gendang : Rumah pokok

Mbaru niang : Rumah bersama satu keturunan dari garis keturunan suku Manggarai tertentu

Mbaru tembong : Rumah anak rona pemberian anak wina karena ikatan perkawinan

Mbaru bate kaeng : rumah leluhur Mbe berat : Kambing bunting

Mori keraeng : Wujud tertinggi yang disembah orang manggarai yang dipercaya sebagai pencipta langit, bumi, bulan, matahari dan seluruh jagad raya

Mori tanah : Penjaga tanah

Morin agu ngaran : Dewa penjaga kampung

Moso iret : Bagian tanah lingko sebesar jari tengah yang dimiringkan

untuk tu’a panga, jari manis yang dimiringkan untuk anak

-anak tu’a teno dan tu’a golo dan jari kelingking yang

dimiringkan untuk keturunan para pendatang

Moso koe : Bagian tanah lingko sebesar jari telunjuk untuk tua teno Moso lima : Lima jari untuk membagi lahan komunal

Moso rembo : Bagian tanah lingko sebesar jari telunjuk untuk tua golo Naga beo : penjaga kampung

Naga golo : Roh penjaga kampung

Ndeki : Penahan giring-giring yang terikat di pinggang Nggilig/gilig : Perisai dari kulit kerbau

Nggorang : Giring-giring

Panga : Satu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa kilo hang neki dan merupakan subklan

Pang ble : Warga seberang yang ditujukan untuk menyebut para leluhur yang telah meninggal

Panggal : Penutup dahi

Penti : Upacara syukuran atas hasil panen dan permohonan agar panen mendatang berhasil

Poli : Sudah

Poti : Setan tanpa wujud yang dapat mengganggu manusia

Remang : Rumput

Rempa lima : Lima jari kaki

Roas : Pekarangan rumah

Roko molas poco : Upacara adat meminang pohon besar seperti meminang seorang gadis untuk menjadi tiang utama penyangga rumah adat

Romhe : Penutup dagu

Roto : Keranjang anyaman rotan atau bambu

Sangrai : Menggoreng kering dalam wajan tanpa minyak Siri bongkok : Tiang utama

Songke : Tenun ikat


(21)

Daftar Istilah (lanjutan)

Teing hang : Upacara adat memberikan persembahan pada leluhur

Teno : Roh yang berdiam di kebun

Tinding : Alat musik pukul yang terbuat dari bambu betong (Dendrocalamus asper)

Tobok : lahan kurang subur, terpencil dan terletak pada daerah terjal yang bukan merupakan tanah komunal Teing hang : Upacara adat memberikan persembahan pada

leluhur

Tongka : Juru bicara pihak pengantin laki-laki untuk mendapatkan kesepakatan mahar

Tua golo : Pemimpin satu beo

Tua kilo : Pemimpin atas satu keluarga besar (kilo hang neki) Tua panga : Pemimpin atas beberapa kilo hang neki

Tua teno : Pemimpin adat yang bertugas membagi tanah komunal serta penyelesaian masalah yang berkaitan dengan tanah komunal

Tungku : Perkawinan dengan tujuan mempertahankan hubungan keluarga

Tungku cu : Perkawinan laki-laki dan perempuan yang memiliki ibu bersaudara

Ute : Sayuran

Wase : Liana

Wase lima : Denda adat berupa seekor babi yang berukuran lima kali jarak antara ujung jari sampai ke siku

Wa’u : Klan


(22)

(23)

1

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Indonesia menempati urutan kedua dunia dalam hal kekayaan biodiversitas setelah Brazil, meliputi 10% spesies tanaman berbunga, 12% mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17% burung serta 25% spesies ikan yang terdapat di dunia (KLH 2009). Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan konservasi sebanyak 521 unit seluas kurang lebih 27.1 juta hektar untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati tersebut (Ditjen PHKA 2014), namun pada wilayah di dalam dan sekitar kawasan konservasi terdapat sebanyak 10.2 juta dari 48.8 juta penduduk miskin berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Laju deforestasi pertahun sekitar 1.1 juta hektar, hampir seluruh kawasan konservasi mengalami kerusakan (Wiratno et al. 2011), kerusakan hutan taman nasional (TN) yang merupakan kawasan konservasi yang dikelola dengan baik sebesar 1.5 juta hektar atau sekitar 9.5% dari total seluruh TN (Kemenhut 2011).

Hal ini terjadi diduga karena kebijakan pengelolaan negara seperti taman wisata alam (TWA) Ruteng selama ini belum memasukkan kearifan Masyarakat tradisionalsebagai pendukung aksi konservasi nyata di lapangan. Masing-masing suku yang ada di dalam dan sekitar kawasan konservasi memiliki sistem tata nilai, norma, adat istiadat dan hukum adat yang bisa berbeda sehingga penerapan budaya luar belum tentu sesuai. Penyeragaman bentuk pendekatan pengelolaan hutan merupakan pemaksaan atau imperialisme budaya untuk mengikuti bentuk pengelolaan yang kurang sesuai dengan budaya masyarakat tradisional. Pengelolaan hutan semestinya mempertimbangkan aspek ekologi serta sosial dan budaya lokal.

Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia merupakan sebuah program konservasi yang kurang mempertimbangkan keberadaan masyarakat dengan kearifan lokalnya yang sudah bertungkus lumus di dalam dan sekitar kawasan (Damayanti 2008). Di hutan konservasi semestinya juga memiliki fungsi produksi namun pada kenyataannya, pengelola akan menutup akses masyarakat tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan hutan karena dianggap sebagai sumber kegagalan konservasi hutan (Bahruni 2008; Kartodihardjo 2013).

Masyarakat tradisional sekitar hutan di Indonesia mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang dapat mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem terkait sosio budaya setempat turun temurun. Praktek-praktek kearifan lokal merefleksikan mengenai komunitas-komunitas lokal berinteraksi, berproses dan bersikap melakukan konservasi terhadap lingkungannya. Interaksi masyarakat terhadap hutan dengan kearifan lokalnya sudah berlangsung jauh sebelum penetapan kawasan hutan menjadi kawasan konservasi.

Kearifan lokal yang dapat mendukung konservasi terbentuk dari hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya sehingga masyarakat tradisional memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang lingkungannya (Beltran and Phillips 2000). Kearifan terhadap lingkungan merupakan hubungan harmonis yang terlihat dari cara memperlakukan tumbuhan, hewan dan benda di lingkungan sekitar lainnya yang menggambarkan cara bersikap dan bertindak untuk merespon


(24)

perubahan-perubahan yang terjadi. Hubungan yang harmonis ini sistematis dan sempurna untuk kepentingan manusia. Peranan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati bersesuaian dengan konservasi keanekaragaman hayati.

Masyarakat melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara sistem sosial dan ekosistem. Dampak interaksi manusia dan alam tersebut menghasilkan kearifan lokal (Rambo 1983; Dharmawan 2007). Arti kata kearifan lokal dapat dilihat dari susunan kata yang terdiri dari kata kearifan (kebijaksanaan) dan lokal (setempat). Secara umum kearifan lokal diartikan sebagai ide atau gagasan setempat yang bersifat arif atau bijaksana yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal tersebut diwariskan secara turun menurun pada masyarakat tradisional, yaitu masyarakat yang masih memegang teguh tradisi (kebiasaan).

Kata konservasi terdiri dari kata con (bersama-sama) dan servare (menjaga/menyimpan) yang memiliki pemahaman upaya mempertahankan atau menjaga melalui cara penggunaan yang bijaksana. Gagasan mengenai konsep konservasi pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902). Pemahaman konservasi saat ini adalah penggunaan yang bijaksana dari sumberdaya alam atau pengelolaan pemanfaatan berkelanjutan. Konservasi dan kearifan lokal yang mendukung konservasi keanekaragaman hayati memiliki tujuan yang sama, yaitu kelestarian keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi pengetahuan tradisional kurang dipahami karena dianggap kuno dan tidak masuk akal (Kosmaryandi 2012a). Oleh sebab itu, pengetahuan tradisional yang merupakan kearifan lokal perlu untuk diintegrasikan ke dalam konservasi agar kegiatan konservasi dapat dilaksanakan dengan mendapatkan dukungan masyarakat tradisional karena sesuai dengan budaya setempat.

Masyarakat tradisional di Indonesia dengan kearifan lokalnya mampu untuk melakukan pemanfaatan tumbuhan hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Contoh kearifan lokal tersebut adalah pengelolaan hutan adat Ammatoa di Desa Tana Toa Sulawesi Selatan (Dassir 2008). Pengelolaan hutan adat Ammatoa telah membagi hutan berdasarkan tiga kelompok fungsi hutan, yaitu hutan keramat, hutan perbatasan dengan pemanfaatan tertentu dan hutan rakyat untuk pemanfaatan dengan syarat kelestarian. Kearifan lokal masyarakat Baduy di Banten Selatan (Senoaji 2011), yaitu perilaku hidup sehari-hari memegang teguh aturan adat dalam pengelolaan hutan dan lahan mencerminkan keberkelanjutan. Masyarakat di Pesisir Krui Lampung membedakan pengelolaan lahan menjadi dua, yaitu kebun sekitar rumah berbasis pohon dan hutan agak jauh dari tempat tinggal yang disebut sistem agroforestri (Wijayanto 2002). Masyarakat adat di Taman Nasional Wasur dan Kayan Mentarang dengan praktek konservasi tradisionalnya terbukti mampu melakukan pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam sedangkan zonasi taman nasional belum mengakomodir norma-norma dan tata kehidupan masyarakat adat (Kosmaryandi 2012).

Contoh integrasi kearifan lokal ke dalam pengelolaan kawasan adalah pada masyarakat adat Toro yang berada di dalam kawasan Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL). Dari luas kawasan adat seluas 22.950 ha, seluas 18.360 ha berada di dalam kawasan hutan yang kemudian ditetapkan sebagai zona pemanfaatan tradisional karena adanya kesamaan fungsi antara sistem zonasi dengan kearifan


(25)

lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam (Adiwibowo et al 2013). Kebijakan ini efektif dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan kawasan hutan.

Penelitian ini mengambil satu contoh kearifan lokal yang mendukung konservasi tumbuhan hutan dan ekosistem pada masyarakat Manggarai di pegunungan Ruteng pada dua kawasan hutan, yaitu Hutan Ruteng dan Hutan Todo. Kawasan hutan Todo adalah hutan lindung sedangkan hutan Ruteng pada awalnya memiliki status hutan lindung dan hutan produksi terbatas namun pada tahun 1993 dirubah statusnya menjadi kawasan konservasi. Penetapan status kawasan sebagai kawasan konservasi menyebabkan pengelolaan lebih intensif dan akses masyarakat adat memanfaatkan hutan terbatas, namun hasil analisis citra satelit setelah 20 tahun penetapannya sebagai kawasan konservasi menunjukkan penutupan hutan di wilayah Hutan Todo lebih baik daripada di Hutan Ruteng. Penurunan kualitas penutupan kawasan Hutan Ruteng ini menurut Sinu et al. (1999) adalah karena rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan menurut Tukan (2006) adalah karena penataan batas kawasan Hutan Ruteng secara sepihak dan tidak partisipatif dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, diduga kearifan lokal masyarakat Manggarai memiliki peran penting dalam kelestarian hutan sehingga semestinya diintegrasikan ke dalam pengelolaan hutan.

Definisi integrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyatuan supaya menjadi bulat atau utuh (Poerwadarminta 2006). Integrasi ini bertujuan supaya ada kesamaan pemahaman antara masyarakat adat dan pengelola kawasan hutan. Menurut Kay dan Alder (1999) terdapat tiga jenis integrasi, yaitu: integrasi kebijakan, sistem dan fungsional. Integrasi kebijakan untuk menjamin program pengelolaan kawasan konservasi sesuai kearifan lokal masyarakat adat. Integrasi sistem untuk menjamin strategi konservasi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat adat. Integrasi fungsional untuk menjamin tidak adanya pertentangan antara konservasi dan pemahaman kearifan lokal masyarakat adat.

Pendekatan untuk mengidentifikasi kearifan lokal yang mendukung konservasi menggunakan etnografi, etnobotani dan etnoekologi. Pendekatan etnografi untuk mengetahui budaya masyarakat yang mendasari kearifan lokal yang mendukung konservasi. Pendekatan etnobotani untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan hutan karena tumbuhan hutan memiliki peranan yang penting bagi masyarakat tradisional untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan serta sosial budaya dan religius. Pendekatan etnoekologi untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lahan dan hutan yang mendukung konservasi.

Bila pengelolaan hutan mengadopsi kearifan lokal yang unik dan spesifik maka akan sesuai karakteristik masing-masing kawasan hutan. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam konggres taman sedunia di Durban 2003, Afrika Selatan menghasilkan Durban Accord terkait perhormatan hak-hak masyarakat asli, tradisional dan berpindah dalam protected area. Pengelolaan kawasan hutan semestinya memperhatikan masyarakat tradisional, mengakhiri konflik dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam pengelolaan kawasan (Kosmaryandi 2012).

Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan konservasi berperan mendukung pengelolaan dengan kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan hutan. Salah satu sebab kerusakan hutan tropis adalah hilangnya masyarakat tradisional


(26)

di dalam dan sekitar hutan yang memiliki pengetahuan ekologi tradisional dan secara sosial ekonomi memiliki ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup termasuk pangan dan kesehatan (Rai and Lalramnghinglova 2010).

Disparitas pengelolaan hutan antara pemerintah dan masyarakat tradisional menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan hutan. Sikap konservasi pengelola kawasan hutan konservasi menurut Zuhud et al. (2007), lebih dominan untuk aksi perlindungan ekosistem yang menjauhkan kawasan dari campur tangan masyarakat kecil. Sikap konservasi yang belum berpihak pada masyarakat tradisional akan berdampak pada degradasi kawasan. Masyarakat tradisional yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan sejak ratusan tahun sebelum penetapan kawasan memiliki hak-hak adat atas sumberdaya alam dengan pranata sosialnya. Pengetahuan tradisional ini memiliki peranan yang penting dalam manajemen pengelolaan hutan.

Pengetahuan ekologi tradisional dan informasi studi ilmiah tidak hanya sekedar dibandingkan tetapi untuk diintegrasikan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Brook and McLachlan 2005). Pembuktian pengetahuan ekologi tradisional secara sains yang merupakan pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan pada praktek pengelolaan tradisional. Untuk itulah penelitian ini bertujuan untuk mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam konservasi yaitu pengelolaan konservasi yang mempertimbangkan keberadaan masyarakat setempat. Nilai ilmiah alam ekosistem diselaraskan dengan sudut pandang masyarakat tradisional sehingga nilai-nilai penting dari kawasan konservasi mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan memberikan akses ke sumberdaya alam. Manfaat nyata kawasan konservasi mampu menyentuh pemenuhan kehidupan sehari-hari dan kepentingan nasional dan global dalam konservasi dengan berdasarkan fakta adanya masyarakat tradisional. Upaya untuk mempertahankan gagasan kawasan konservasi dengan menyelaraskan kearifan lokal dan konservasi menjadi pilihan alternatif yang efektif dalam pengelolaan kawasan konservasi.

b. Perumusan Masalah

Konservasi atau pemanfaatan hutan secara lestari semestinya menjamin kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta sekaligus terwujudnya pelestarian keanekaragaman hayati. Pengelolaan kawasan yang hanya menitikberatkan perlindungan keanekaragaman hayati terpisah dari aspek manusianya menyebabkan masyarakat asli yang sudah bertungkus lumus hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan terkesampingkan. Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan hutan berinteraksi dengan hutan sehingga penetapannya sebagai kawasan hutan konservasi yang selama ini dominan aspek perlindungannya menghadapi tantangan dari masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Pengelolaan kawasan hutan semestinya mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan.

Penelitian ini mengambil contoh kasus pada wilayah pegunungan Ruteng yang memiliki dua kawasan hutan, yaitu hutan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng dan hutan lindung Todo. Masyarakat di hutan lindung Todo memiliki akses pemanfaatan dengan kearifan lokalnya sedangkan pada wilayah TWA Ruteng akses pemanfaatan tersebut terbatas karena penetapannya sebagai kawasan konservasi


(27)

sejak tahun 1994. Hutan menurut Ostrom (1990) merupakan common pool resources (CPRs), yaitu sistem sumberdaya alam atau buatan yang cukup besar sehingga biaya untuk membatasi atau melarang pihak-pihak yang berpotensi memanfaatkan sumberdaya terlalu tinggi sehingga sulit dalam pelaksanaannya. Penutupan hutan terhadap pemanfaatan oleh masyarakat tradisional menurut Hardin (1968) akan cenderung mengakibatkan open access sehingga sumberdaya tidak terawasi dengan baik karena tidak ada pengaturan sehingga berakibat dapat terjadi pengurasan sumberdaya. Penutupan akses masyarakat menyebabkan kurangnya pemahaman bersama dalam pengelolaan kawasan. Permasalahan pengelolaan Hutan Ruteng menjadi semakin kompleks dengan meninggalnya 5 orang dan 26 orang terluka parah akibat konflik dengan polisi dan petugas kehutanan (IWGIA 2005). Pengelolaan hutan itu seharusnya bukan untuk membatasi akses masyarakat dalam memanfaatkan hutan, karena ada skema pemanfaatan hutan bersama masyarakat melalui penataan kawasan hutan.

Masalah penelitian ini adalah belum adanya titik temu pengelolaan bersama antara pengelola kawasan hutan dan masyarakat tradisional yang arif dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem. Oleh karena itu, pengelolaan hutan semestinya mengintegrasikan kearifan lokal dengan prinsip-prinsip konservasi yang berbasis pada saintifik modern.

Nilai-nilai ilmiah sebuah ekosistem alam semestinya selaras dengan sudut pandang masyarakat tradisional. Nilai-nilai penting sebuah kawasan konservasi belum mampu menjawab kebutuhan hidup yang seringkali mengorbankan hak tenurial dan akses terhadap sumberdaya alam demi sebuah nilai maya sehingga semestinya manfaat nyata menyentuh pemenuhan kehidupan sehari-hari.

Hampir semua kawasan konservasi di Indonesia tidak terlepas dari pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat tradisional dan pengelolaan dengan standar selama ini terbukti kurang berhasil menyelesaikan permasalahan yang sama dari waktu ke waktu. Kawasan hutan semestinya mampu memenuhi harapan peningkatan kualitas penghidupan masyarakat tradisional di dalam dan sekitarnya. Upaya mempertahankan ide tentang kawasan konservasi melalui mekanisme legal dan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat asli menjadi satu alternatif pilihan dalam pengelolaan hutan yang efektif. Pengetahuan tradisional dan sain modern menurut Pei et al. (2009) merupakan dua hal yang saling melengkapi dan merupakan program yang menginisiasi pembangunan konservasi.

Berdasarkan perumusan permasalahan, pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat Suku Manggarai dengan konservasi yang diyakini dapat mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem hutan Pegunungan Ruteng. Beberapa pertanyaan penelitian sebagai pedoman menjawab pertanyaan utama tersebut adalah:

1. Bagaimanakah latar belakang budaya yang mendasari kearifan lokal masyarakat Suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng?

2. Bagaimanakah cara masyarakat memanfaatkan tumbuhan hutan yang mendukung konservasi dan apakah pemanfaatan tersebut berkelanjutan ? 3. Bagaimanakah bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku

Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan ?

4. Bagaimana menyusun konsep integrasi kearifan lokal masyarakat suku Manggarai dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng?


(28)

c. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengungkapkan fakta bahwa masyarakat Suku Manggarai memiliki kearifan lokal yang dapat mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat tradisional dan konservasi dalam pengelolaan hutan. Tujuan penelitian ini secara rinci adalah:

1. Memperoleh gambaran mengenai budaya masyarakat suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan studi etnografi yang mendukung konservasi.

2. Mengkaji pemanfaatan tumbuhan hutan dan keberlanjutannya oleh masyarakat Suku Manggarai yang mendukung konservasi.

3. Mengkaji bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan.

4. Menyusun sintesis konsep pengelolaan kawasan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dalam konservasi berdasarkan penelitian 1 sampai dengan 3.

d. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis sebagai sebuah konsep pengelolaan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dan konservasi sebagai bahan referensi untuk pengembangan keilmuan yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dalam rangka memperkaya dan menyempurnakan materi serta dapat digunakan sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya.

2. Secara praktis sebagai saran atau masukan untuk perumusan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia pada umumnya dan khususnya kawasan Pegunungan Ruteng.

e. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori Ekologi Manusia yang menyatakan bahwa setiap kelompok masyarakat melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara sistem sosial dan ekosistem (Rambo 1983; Marten 2001; Dharmawan 2007). Perubahan ekologis adalah dampak interaksi manusia dan alam dalam konteks pertukaran. Proses pertukaran energi, materi dan informasi sistem alam dan sistem manusia dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain yang kemudian menghasilkan kearifan lokal (Gambar 1.1).

Julian H. Steward mencetuskan konsep ekologi budaya yang memiliki makna adanya hubungan timbal balik antara lingkungan atau hutan dan kebudayaan (Steward 1955). Hal yang sama diungkapkan oleh Pei et al. (2009) dan Pei (2013) bahwa pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat tradisional berdampak pada kelestarian hutan.

Pengambilan sampel pada dua lokasi kawasan hutan di Pegunungan Ruteng karena adanya kesamaan suku, budaya, bahasa dan ekosistem serta adanya


(29)

perbedaan, yaitu adanya akses pemanfaatan tumbuhan hutan di Hutan Todo dan belum adanya akses pemanfaatan di Hutan Ruteng. Pengambilan sampel untuk membandingkan dampak penutupan akses pemanfaatan hutan oleh masyarakat tradisional. Pendekatan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kearifan lokal yang mendukung konservasi menggunakan studi etnografi, etnobotani dan etnoekologi.

Pendekatan studi etnografi untuk memahami budaya masyarakat secara menyeluruh yang mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem. Studi etnografi juga berguna untuk memahami sistem gagasan masyarakat dan pola perilaku masyarakat kampung hutan terkait konservasi (Nugraha dan Murtijo 2005). Pengambilan data etnografi tersebut mengungkap 10 hal yang erat kaitannya dengan adaptasi suatu suku bangsa terhadap ekosistem (Rahman 2013), yaitu: (1)asal-usul, (2) penyebaran suku bangsa, (3) pengembaraan, (4) struktur dan komposisi kependudukan, (5) ciri biofisik, (6) bahasa, (7) istilah silsilah, (8) perkawinan dan kekerabatan, (9) kepercayaan dan agama serta (10) kepemimpinan.

Gambar 1.1 Pertukaran energi, materi dan informasi antara sistem sosial dan ekosistem (Rambo 1983; Marten 2001; Dharmawan 2007)

Studi etnobotani untuk memahami kearifan lokal dalam hal interaksi antara manusia dengan sumberdaya tumbuhan (Cotton 1996; Minnis 2000; Anderson et al. 2011; Pei 2013) karena tumbuhan memiliki peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan serta sosial budaya masyarakat. Hal yang sama dinyatakan oleh Pei (2013), bahwa studi etnobotani sangat penting dalam konservasi tumbuhan.

Spesies yang paling penting secara budaya dan ekologi dipelajari secara mendalam mengenai cara-cara masyarakat melakukan konservasi. Pengukuran tingkat kepentingan spesies tumbuhan hutan menggunakan Index Cultural Significance (ICS) dengan metode yang dikembangkan oleh Turner (1988) yang menggambarkan tingkat kepentingan suatu spesies secara budaya pada suatu masyarakat tertentu (Turner 1988; Cristancho dan Vining 2004). Pengukuran nilai kepentingan spesies tumbuhan hutan secara ekologi dalam ekosistem hutan menggunakan Indeks Nilai Penting (Mueller dan Ellenberg 1974). Pengetahuan


(30)

lokal mengenai konservasi tumbuhan tersebut dijelaskan secara sains sehingga dapat diintegrasikan ke dalam konservasi tumbuhan hutan. Spesies tumbuhan hutan yang merupakan prioritas untuk konservasi secara lokal ditentukan berdasarkan penyebarannya, sifat kegunaannya untuk komersial atau konsisten, nilai ICS dan status keberadaannya di alam.

Evaluasi pemanfaatan tumbuhan hutan berdasarkan informasi etnobotani menggunakan teori Pei et al. (2009) yang memberikan gambaran faktor-faktor yang mengakibatkan degradasi hutan. Pengukuran tingkat pengetahuan etnobotani menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Phillip dan Gentry (1993a, 1993b) yang menggambarkan tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat dari 0 sampai 1. Penghitungan kemampuan menjaga pengetahuan dan keberlanjutannya menggunakan indeks retensi Zent (2009). Penurunan pengetahuan merupakan indikator degradasi hutan karena penurunan kemampuan masyarakat melakukan konservasi tumbuhan hutan.

Studi etnoekologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengetahuan Masyarakat tradisionalyang berhubungan dengan pengelolaan lahan secara tradisional. Pemetaan pengelolaan lahan dan hutan menggunakan mental map, yaitu peta yang tergambar di dalam pikiran masyarakat. Hasil mental map diperoleh dari hasil wawancara, penelusuran lokasi di lapangan bersama masyarakat dan pemetaan dengan koordinat geografis. Penutupan hutan diperoleh dari hasil analisis citra landsat pada kedua hutan sejak penetapan Hutan Ruteng menjadi kawasan konservasi pada Tahun 1994. Kondisi penutupan hutan akan memberikan gambaran mengenai akibat adanya akses masyarakat yang mengelola hutan dengan kearifan lokal dan pengelolaan hutan konservasi yang menutup akses masyarakat terhadap pemanfaatan tumbuhan hutan.

Untuk mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kebijakan pengelolaan kawasan hutan menggunakan analisis isi peraturan. Analisis isi peraturan dilakukan mulai dari yang tertinggi yang terkait dengan konservasi, yaitu undang-undang sampai ke surat keputusan menteri.

Kearifan lokal yang teridentifikasi merupakan strategi hidup (survival) sehingga merupakan strategi konservasi yang bersentuhan langsung dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Kearifan lokal tersebut dijelaskan secara sains sehingga dapat diintegrasikan ke dalam strategi konservasi. Kearifan lokal adalah site spesific sehingga setiap satuan unit terkecil merupakan bentuk keberagaman dalam kesatuan negara Indonesia dalam rangka pengembangan konservasi. Setiap ekosistem hutan alam memiliki keanekaragaman yang tinggi yang semestinya dibangun berbasis sumberdaya hayati dan pengetahuan budaya lokal (Zuhud 2011). Program konservasi pengelolaan hutan semestinya mengintegrasikan sistem lokal yang telah beradaptasi dengan perubahan selama ratusan tahun. Teori konservasi bersifat universal, tetapi penerapannya semestinya unik dan spesifik untuk setiap lokasi. yang kemudian menjadi dasar dari konsep integrasi kearifan lokal ke dalam kegiatan konservasi, yaitu pemanfaatan, pengawetan dan perlindungan. Integrasi kearifan lokal dan konservasi seperti disajikan pada Gambar 1.2.


(31)

Pengalaman pengetahuan dan praktek hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga terjadi

konservasi tumbuhan dan ekosistem

Strategi konservasi melalui: 1. Perlindungan sistem penyangga

kehidupan

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

3. Pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Integrasi Kearifan Lokal dalam Konservasi Tumbuhan dan

Ekosistem

Perubahan Paradigma dan Kebijakan

Keselarasan dan keseimbangan hidup dengan alam

Menjaga sumberdaya milik bersama sehingga terjadi kelestariannya Cara pandang

Tata nilai dan norma Praktek hidup

Cara pandang Tata nilai dan norma

Praktek hidup

Manifestasinya dapat dilihat dari aspek:

- Etnografi - Etnobotani - Etnoekologi

Pengaturan pemanfaatan jenis, ruang (blok/zonasi), keterlibatan para pihak Keberlanjutan eksistensi dan manfaat sumberdaya alam dan ekosistemnya

Kelestarian Hutan untuk Kesejahteraan

Masyarakat Kelestarian

Hutan untuk Kesejahteraan

Masyarakat

Gambar 1.2 Integrasi kearifan lokal masyarakat suku Manggarai dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur, modifikasi dari Kosmaryandi (2012).

KONSERVASI KEARIFAN

LOKAL INTE

GRA SI

KONSERVASI TUMBUHAN DAN EKOSISTEM


(32)

f. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Novelty penelitian ini adalah menemukan suatu cara untuk melakukan konservasi keanekaragaman hayati Pegunungan Ruteng dengan mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat suku Manggarai ke dalam konservasi. Pembuktian kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng menggunakan data ekologi dan analisis citra satelit yang mendukung data kualitatif. Penelitian ini mampu membuktikan bahwa masyarakat tradisional yang tinggal di dalam dan sekitar hutan memiliki kearifan lokal yang berdampak pada konservasi keanekaragaman hayati.

Sudah banyak penelitian-penelitianyang mengintegrasikan kearifan lokal dan konservasi dengan fokus penelitian yang berbeda, antara lain adalah: fokus pada zonasi (Kosmaryandi 2012a; Kosmaryandi 2012b; Freitas dan Tagliani 2009), perbedaan, metode dan proses integrasi (Bohensky dan Maru 2011), klasifikasi vegetasi (Naidoo dan Hill 2006), pengetahuan tradisional mengenai populasi spesies (Fraser et al. 2006; Gagnon dan Berteaux 2009; Moller et al. 2004). Penelitian ini mendata kearifan lokal yang mendukung konservasi hutan untuk membuktikan secara sains bahwa kearifan lokal berdampak kelestarian. Penelitian ini diharapkan memberikan nilai manfaat bagi dukungan pada pengelola kawasan hutan untuk melibatkan masyarakat tradisional dalam pengelolaan kawasan hutan dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kegiatan konservasi.

Sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan di wilayah Pegunungan Ruteng (Tabel 1.1) yang keseluruhannya tercantum dalam daftar pustaka disertasi ini. Penelitian mengenai ekologi flora dilakukan oleh Wiriadinata (1998), Simbolon (1998), Setiadi et al. (1999) serta Trainor dan Lesmana (2000). Penelitian mengenai budaya Manggarai banyak dilakukan oleh ahli anthropologi seperti Verheijen (1977), Verheijen (1991), Toda (1999) dan Lawang (2004). Penelitian yang memberikan secara rinci spesies hewan di Pegunungan Ruteng dilakukan oleh Suyanto (1998) dan kondisi tanah oleh (Djuwansah dan Suriakusumah 1998). Penelitian mengenai budaya yang dapat mendukung wisata alam di Hutan Ruteng dilakukan oleh Sinu (1999). Penelitian etnobotani pada desa-desa di sekitar Hutan Ruteng dilakukan oleh Wawo (1998) namun fokus penelitian adalah pada spesies tumbuhan yang berada di luar kawasan hutan dan saka (2001) dengan fokus penelitian hanya pada tumbuhan sirih dan pinang dalam budaya Manggarai. Penelitian Iswandono (2007) yang merupakan tesis IPB mengenai etnobotani dilakukan terbatas pada wilayah Hutan Ruteng dan belum dilakukan analisis etnobotani yang mendalam sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang lebih detil.

Dari keseluruhan penelitian yang berkaitan dengan budaya dan flora yang ada di Pegunungan Ruteng tersebut belum ada yang sampai pada tahap mengintegrasikannya antara kearifan lokal dan konservasi sehingga kegiatan pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Integrasi kearifan lokal ke dalam konservasi akan memberikan akan memberikan pemahaman yang sama antara kearifan lokal dan konservasi.


(33)

Tabel 1.1 Relevansi penelitian di Pegunungan Ruteng

No Peneliti Judul Penelitian Isi/Topik Penelitian

1 Verheijen (1977)

Logat nama-nama Tumbuhan di Manggarai-Flores

Nama-nama lokal jenis tumbuhan dalam Bahasa Manggarai

2 Verheijen (1991)

Manggarai dan wujud tertinggi Budaya Manggarai yang terkait dengan pemujaan dewa tertinggi

3 Wawo (1998) An ethnobotanical study of people around Ruteng Nature Recreation Park, Flores Island

Etnobotani masyarakat Manggarai di luar

kawasan hutan pada desa sekitar Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng 4 Wiradinata

1998

Floristic distribution of Ruteng Nature Recreation Park

Penyebaran flora di TWA Ruteng

5 Suyanto (1998) Mammals of Flores Island Jenis-jenis mamalia di Pulau Flores

6 Simbolon (1998)

Structure and Species

Composition of the Forest in Ruteng Nature Recreation Park, Flores Island

Struktur dan komposisi hutan TWA Ruteng 7 Djuwansah dan

Suriakusumah (1998)

Soil of Ruteng Nature Recreation Park

Kondisi tanah di TWA Ruteng

8 Setiadi et al. (1999)

Penelitian Sumberdaya Hayati Flora Fauna yang di Taman Wisata Alam Ruteng.

Jenis-jenis Flora dan Fauna di Pegunungan Ruteng dan Ekologinya 9 Sinu et al.

(1999)

Pengkajian Dampak Sosial Ekonomi dan Budaya sebagai Pendukung Pengelolaan TWA Ruteng

Sosial Budaya berkaitan dengan wisata alam Ruteng

10 Toda (1999) Manggarai mencari pencerahan historiografi

Sejarah keberadaan suku Manggarai di Flores Barat 11 Trainor dan

Lesmana (2000)

Gunung Berapi, burung-burung khas, tikus raksasa dan tenun ikat yang menawan

Potensi ekologi dan budaya di wilayah Pulau Flores

12 Saka (2001) Etnobotani sirih pinang dalam kehidupan Suku Ruteng di Kabupaten Manggarai

Etnobotani yang berkaitan dengan sirih dan pinang 13 Lawang (2004) Stratifikasi sosial di Cancar

Manggarai, Flores Barat

Kehidupan strata sosial di Manggarai dan pengaruh perubahan modernisasi 14 Iswandono

(2007)

Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng

Pemanfaatan tumbuhan hutan dan potensinya di dalam kawasan TWA Ruteng


(34)

2

ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

2.1 Pendahuluan

Jumlah etnik di Indonesia > 550 yang berada pada 73.798 desa dalam ± 350,000 dusun dan 50% diantaranya berada disekitar hutan (Kemenhut 2011).

Pemerintah belum mempertimbangkan keragaman sosial budaya masyarakat tradisional sekitar hutan dalam pengelolaan hutan sehingga menjadi salah satu penyebab kegagalan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan dan masyarakat di sekitarnya di Indonesia mengabaikan aspek keragaman budaya dan jenis hutan sehingga seragam dalam mengatur desa hutan dan sistem tata kelola hutan. Dampak penyeragaman adalah disorientasi pengelolaan hutan yang belum sesuai kondisi lokal sehingga kurang berhasil.

Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu berdasarkan kearifan lokal melalui sistem kelembagaan lokal yang sudah teruji sehingga berdampak pada kelestarian hutan. Hutan sebagai kesatuan lingkungan dan budaya merupakan tumpuan masyarakat sekitar hutan dalam menopang sistem kehidupan. Budaya terbentuk dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumberdaya hutan (Nugraha dan Murtijo 2005) sehingga unik dan spesifik beradaptasi dengan perubahan selama ratusan tahun sesuai karakteristik hutan. Pelaksanaan program konservasi semestinya mempertimbangkan budaya masyarakat tradisional sehingga sesuai dengan karakteristik hutan.

Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan konservasi berperan dalam mendukung pengelolaan dengan pengetahuan lokal dalam pemanfaatan hutan berkelanjutan (Junior dan Sato 2005). Perbedaan pemahaman antara pengetahuan lokal dan ilmiah dapat dijembatani dengan mengintegrasikan pengetahuan lokal tersebut ke dalam pengetahuan ilmiah (Ruheza dan Kilugwe 2012). Integrasi budaya dalam konservasi diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konservasi yang dapat mempengaruhi kebijakan konservasi (Young et al. 2014).

Budaya dalam konservasi hutan atau kearifan lokal berbasis pengetahuan lokal sedangkan konservasi berbasis sains. Konservasi menggunakan pendekatan logika sedangkan kearifan lokal menggunakan pengetahuan lokal. Konservasi dan kearifan lokal memiliki tujuan umum kelestarian hutan untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi pengetahuan lokal kurang dipahami karena dianggap kuno dan tidak masuk akal (Kosmaryandi 2012a). Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam sejak turun-temurun memiliki peran dalam konservasi hutan melalui pemanfaatan tradisional yang mempengaruhi kelestarian hutan (Pei et al. 2009; Pei 2013). Konservasi budaya lokal diuji dengan waktu sehingga sama dengan proses trial and error, sedangkan konservasi didasarkan pada pengujian ilmiah sehingga keduanya memiliki kebenaran ilmiah. Sebuah pemahaman menyeluruh pengetahuan lokal melalui studi etnografi akan mengungkap sisi budaya dalam konservasi.

Gagasan mengenai pembentukan kawasan konservasi di Indonesia selalu dengan pertimbangan nilai-nilai ilmiah dalam kawasan hutan. Pengakuan pentingnya kawasan konservasi secara nasional dan internasional merupakan


(35)

pencapaian tujuan konservasi berdasarkan pada nilai ilmiah dari sisi ekologi tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat tradisional. Sebuah nilai ilmiah ekosistem alam semestinya selaras dengan sudut pandang masyarakat tradisional yang berbeda.

Bagi masyarakat tradisional saat ini, nilai-nilai penting dari kawasan konservasi belum terwujud untuk mendukung kebutuhan hidup. Akses terhadap sumberdaya alam sering dikorbankan demi nilai-nilai virtual yang belum dipahami. Manfaat nyata harus mendukung pemenuhan kehidupan sehari-hari. Kepentingan nasional dan global dalam konservasi semestinya selaras dengan kearifan lokal masyarakat tradisional. Upaya untuk mempertahankan kawasan konservasi melalui mekanisme hukum dan tanpa mengurangi hak-hak masyarakat tradisional menjadi pilihan alternatif dalam pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis budaya masyarakat suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan studi etnografi yang mendukung konservasi.

2.2 Metode

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 pada wilayah Pegunungan Ruteng. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan Ruteng dan 22 desa sekitar Hutan Todo. Lokasi penelitian meliputi tiga kampung, dua kampung terletak di Pegunungan Ruteng dan satu kampung lainnya di sebelah selatan Pegunungan Ruteng pada wilayah terisolir di Hutan Todo sebagai data pembanding (Gambar 2.1).

Kampung Wae Rebo merupakan wilayah terisolasi di dalam enclave Hutan Todo sebagai patokan sebuah kampung yang mengindikasikan kondisi penutupan hutan yang baik yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Pada wilayah hutan Todo masyarakat diberikan akses untuk memanfaatkan kayu untuk pembangunan rumah adat dan mengelola ekowisata sedangkan pada Hutan Ruteng belum diberikan akses. Status kawasan Hutan Todo adalah hutan lindung sedangkan Hutan Ruteng adalah kawasan konservasi. Pertimbangan lain pemilihan ketiga sampel adalah kesamaan suku, budaya dan bahasa (Verheijen 1991) dan kesamaan ekosistem hutan pegunungan (Trainor dan Lesmana 2000).

Pengambilan data penelitian berupa data etnografi yang mengungkap sepuluh hal, yaitu: (1)asal-usul, (2) penyebaran suku bangsa, (3) pengembaraan, (4) struktur dan komposisi kependudukan, (5) ciri biofisik, (6) bahasa, (7) istilah silsilah, (8) perkawinan dan kekerabatan, (9) kepercayaan dan agama serta (10) kepemimpinan yang erat kaitannya dengan adaptasi suatu suku bangsa terhadap ekosistem (Rahman 2013). Perolehan data melalui observasi partisipatif, Focus Group Discusion (FGD), wawancara mendalam dan studi pustaka. Wawancara menggunakan wawancara mendalam dengan menetapkan beberapa informan berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat berdasarkan kecukupan informasi dengan cara purposive dan snowball (Sugiyono 2010).


(36)

Sumber: 1. Peta administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010

2. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 3911/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Nusa Tenggara Timur


(37)

Penentuan informan secara sengaja (purposive) yang memiliki pemahaman mengenai sumberdaya keanekaragaman hayati. Sumber data berdasarkan petunjuk awal seseorang informan yang selanjutnya merekomendasikan informan lainnya (Pendekatan Snowball). Tujuan FGD adalah untuk mendapatkan data dari spesies hutan, alat-alat tradisional dan budaya yang terkait dengan konservasi sementara wawancara mendalam untuk mendapatkan data etnografi.

Jumlah total penduduk yang terlibat dalam FGD dan wawancara sebanyak 43 orang. FGD melibatkan 9 orang penduduk kampung Mano, 15 di kampung Lerang dan 10 di kampung Wae Rebo yang dilakukan oleh peneliti dengan bantuan penduduk lokal. Wawancara terbuka dengan penduduk desa melibatkan 3 orang kepala kampung (tua golo) dan 3 orang penduduk desa yang sering mengambil hasil hutan. Informan pada setiap kampung berjumlah 5 orang yang terdiri dari tua golo, pemimpin kampung yang bertugas membagi lahan (tua teno) dan 3 orang masyarakat yang biasa mengambil hasil hutan. Wawancara dilakukan di tempat terbuka seperti di halaman rumah, kebun, hutan dan di pinggir danau supaya informan merasa bebas untuk menyampaikan informasi. Masyarakat Manggarai dapat berbahasa Indonesia dengan baik tetapi lebih menyukai berbahasa Manggarai saat berbicara mengenai budaya namun peneliti dapat mengerti bahasa Manggarai secara pasif.

Wawancara juga dilakukan dengan 2 orang pemimpin LSM Yayasan Pembangunan Tani dan Sanggar Lawe Lenggong yang bekerja di bidang konservasi dan budaya serta 2 orang pejabat pemerintah daerah yang mengerti konservasi. Validitas pengukuran data melalui pemahaman masyarakat tentang kearifan lokal dengan membandingkan hasil wawancara dengan informan dan observasi partisipatif.

2.3 Hasil dan Pembahasan 2.3.1 Asal Usul dan Sejarah Suku Manggarai

Nama Manggarai berasal dari bahasa Bima, secara etimologis dari kata manggar artinya jangkar dan rai artinya lari (Lawang 2004). Nama Manggarai berawal dari peristiwa saat pasukan kerajaan Cibal (salah satu kerajaan di Manggarai) membawa lari jangkar-jangkar kapal milik pasukan Kesultanan Bima yang mendarat dan akan menyerang Cibal. Pasukan Cibal akan mengembalikan jangkar-jangkar kapal dengan syarat pasukan Bima mengakui Cibal sebagai penguasa yang sederajat dengan Bima. Suku Manggarai masa silam takluk pada Kesultanan Goa dan Bima yang memonopoli perdagangannya dan menerima upeti dari Manggarai antara lain hamba sahaya. Hal ini menyebabkan orang Manggarai tinggal jauh dari pantai di pegunungan seperti pegunungan Ruteng sampai saat ini (Verheijen 1991).

Flores dan Bima merupakan kekuasaan Goa pada abad ke 17. Goa memberikan Manggarai kepada Kesultanan Bima tahun 1658. Perunutan sejarah Manggarai terkait kedaluan Todo dan Cibal yang berkembang menjadi kerajaan dan berperang memperebutkan kekuasaan. Bima berpihak pada Todo untuk memperkokoh posisinya di Manggarai hingga masuknya Belanda tahun 1905 yang mendapat perlawanan sampai tahun 1908 (Lawang 2004). Kesultanan Bima menguasai Manggarai Selatan pada tahun 1762, mengusir Goa dan menguasai


(38)

Kerajaan Cibal (Koentjaraningrat, 1984). Kesultanan Bima membagi daerah administratif Manggarai menjadi dalu (kecamatan) membawahi gelarang (desa) dan gelarang membawahi golo sehingga golo tidak lagi independen. (Lawang 1999).

Belanda mulai menjajah Flores Barat pada awal abad ke-19 setelah menaklukkan Kesultanan Bima dan Goa sehingga sampai saat ini daerah pesisir dihuni masyarakat Bima dan Bugis sedangkan wilayah pegunungan masyarakat Manggarai. Belanda menaklukkan Goa serta memisahkannya dari Bima dan Manggarai tahun 1929 serta menjadikan wilayah Manggarai bagian dari Flores, sub distrik Timor (Lawang 2004).

Rumah peninggalan raja Todo Manggarai sejak abad 17 terletak di kampung Todo, 32 kilometer sebelah barat daya kota Ruteng. Rumah simbol peradaban Manggarai tersebut berfungsi sebagai tempat meminta bantuan leluhur. Keturunan raja membicarakan masalah kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran, pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian pada waktu tertentu.

2.3.2 Penyebaran Suku Bangsa

Penduduk Pulau Flores terbagi beberapa kelompok suku yaitu Flores Barat terdiri dari suku Manggarai dan Riung, Flores Barat Tengah terdiri dari suku Ngada dan Flores Timur, yaitu penduduk Flores selain Flores Barat dan Barat Tengah serta penduduk Pulau Solor dan Alor (Hadiwiyono 1985). Penduduk Flores Barat yang pertama kali datang adalah dari ras Weddoid yang kemudian bercampur dengan pendatang dari Melayu Malaka dan Minangkabau (Toda 1999).

Saat ini Suku Manggarai mendiami wilayah Flores Barat yang secara administratif berada pada 3 kabupaten, yaitu Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur. Ketiga wilayah kabupaten tersebut sering disebut sebagai Manggarai Raya yang menunjukkan masih adanya kesamaan suku pada ketiga wilayah kabupaten tersebut.

2.3.3Pengelanaan atau Pengembaraan

Penduduk Manggarai menurut cerita rakyat merupakan percampuran antara penduduk asli dan pendatang melayu. Orang Melayu Malaka yang datang pertama bernama Embu Mbelu dan Embu Margarinu yang mendarat di pelabuhan Warloka Manggarai Barat. Kedua orang tersebut kemudian masuk sampai ke pedalaman dan tinggal di wilayah dekat Ruteng bersama-sama dengan penduduk ras Weddoid yang sudah ada terlebih dahulu. Menurut cerita masyarakat kedua orang inilah yang memperkenalkan api karena sebelumnya penduduk setempat memakan daging mentah (Toda 1999).

Cerita rakyat yang lain mengisahkan kedatangan pendatang dari Minangkabau yang bernama Mashur bersama dengan saudara lelakinya Mohamedtali yang disebut juga Sutan dan saudara perempuannya bernama Kembang Emas yang menaiki perahu bernama Perkita Jermia. Orang-orang Minangkabau tersebut juga mendarat di Pelabuhan Warloka Manggarai Barat dan diberikan gelar Kraeng karena sebelum menetap di Flores Barat terlebih dahulu menetap di Bone. Dari orang-orang Minangkabau inilah menurut cerita masyarakat orang Manggarai mengenal peralatan logam untuk membuka lahan hutan dan mengolah lahan pertanian (Toda 1999).


(1)

PP 28/2011 Pasal 40: Pemanfaatan KSA dan KPA untuk wisata alam serta pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemanfaatan tumbuhan hutan dilakukan dengan syarat tertentu sesuai peraturan perundangan

Perlu dibuatkan aturan yang mendukung pemanfaatan di dalam kawasan hutan

PP 28/2011 pasal 37 f: TWA dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:

f. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat” Pemanfaatan dapat dilakukan oleh masyarakat tradisional

Perlu didukung aturan pemanfaatan spesies dalam kawasan hutan

PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar pasal 2 (1): Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pemanfaatan spesies dari dalam hutan dapat dilakukan untuk kemakmuran masyarakat

Perlu didukung aturan yang lebih jelas yang mengatur pemanfaatan spesies dalam kawasan hutan SK Menhut no. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau

Penangkaran dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar

Pengaturan pemanfaatan TSL hanya di luar kawasan

konservasi

Perlu dibuat aturan pemanfaatan TSL di dalam kawasan konservasi Permenhut No. P.35/ 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu

Pasal 3 (1 dan 2): (1) HHBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, yang berasal dari hutan, tunduk dan diatur sesuai ketentuan di bidang kehutanan. (2) HHBK yang tidak tercantum dalam lampiran peraturan ini sepanjang berasal dari hutan, tunduk dan diatur sesuai ketentuan di bidang kehutanan. Namun UU No. 41/1999 Pasal 26 (1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan HHBK. dan Pasal 28 (1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu (HHBK) dapat dilakukan di dalam kawasan hutan tetapi hanya dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi

Perlu dibuat aturan mengenai pemanfaatan HHBK di dalam kawasan konservasi


(2)

UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pasal 11 (3):

Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.

Secara implisit aturan ini melarang pemanfaatan oleh masyarakat tradisional di dalam kawasan konservasi sehingga bertentangan dengan PP 28/2011

Perlu dikaji ulang agar sesuai dengan semangat pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi

UU No. 18 Tahun 2013 pasal 101 (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pemanfaatan tumbuhan hutan memiliki resiko pidana sehingga memperkuat paradigma

pengelolaan kawasan konservasi sebagai sebuah pulau

Perlu dikaji ulang agar sesuai dengan semangat pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi

PP 8/1999 pasal 3: Pemanfaatan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan: a). Pengkajian, penelitian dan pengembangan; b). Penangkaran; c). Perburuan; d). Perdagangan; e). Peragaan; f). Pertukaran; g). Budidaya tanaman obat-obatan; dan h.

Pemeliharaan untuk kesenangan.

Aturan ini tidak mengakomodir pemanfaatan oleh masyarakat tradisional sehingga

bertentangan dengan PP 8/1999 pasal 2 (1)

Perlu ditambahkan mengenai pemanfaatan oleh masyarakat tradisional

PP 28/2011 pasal 38 (1):Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 37 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pemanfaatan tradisional harus memperoleh izin sehingga bertentangan dengan PP 28/2011 pasal 37 f

Perlu ditambahkan mengenai pemanfaatan oleh masyarakat tradisional


(3)

UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati pasal 8j Tergantung perundang-undangan nasionalnya, menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan inovasi-inovasi dan praktek-praktek tersebut semacam itu mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek semacam itu

UU ini sudah mengatur mengenai perlindungan pengetahuan tradisional dan dalam pelaksanaannya

mengalami kesulitan karena sifat pengetahuan tradisional yang dimiliki komunal dan secara turun temurun, tidak berorientasi pasar dan tidak diketahui

inventornya

Diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.

UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 50

(1). Permohonan pendaftaran Merek Dagang atau Merek jasa sebagai Merek Kolektif hanya dapat diterima apabila dalam Permohonan dengan Jasa dinyatakan bahwa Merek tersebut akan digunakan sebagai Merek Kolektif. (2). Selain penegasan mengenai penggunaan Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Permohonan tersebut wajib disertai salinan ketentuan penggunaan Merek tersebut sebagai Merek Kolektif, yang ditandatangani oleh semua pemilik Merek yang bersangkutan. (3). Ketentuan penggunaan Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat : a. Sifat, ciri umum, atau mutu barang atau jasa yang akan diproduksi dan diperdagangkan; b. Pengaturan bagi pemilik Merek Kolektif untuk melakukan

pengawasan yang efektif atas penggunaan Merek tersebut; c. Sanksi atas pelanggaran peraturan penggunaan Merek Kolektif.

Pengetahuan tradisional dikembangkan dan dinikmati secara komunal bukan

diperdagangkan namun HKI tentang merk untuk

diperdagangkan. Perlu dikembangkan solusi hukum yang menekankan pada

kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.

Diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.


(4)

Pasal 56

(1). Indikasi geografi dilindungi sebagai suatu tanda yang

menunjukkna daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan

Indikasi geografis ditujukan pada perlindungan di dalam Indonesia sehingga di luar Indonesia pengetahuan tradisional kurang mendapat implikasi perlindungan

Diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal 10

(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,

kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Pasal 11 (1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

(2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui

Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

Pasal ini mengalami kendala dalam implementasinya karena

sulitnya menyatakan sifat asli dari pengetahuan tradisional atau sulit dibuktikan dan masyarakat tradisional sulit melakukan gugatan karena harus melalui negara

Diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.


(5)

UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten

Pasal 2 (1) Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri

Pasal 3 (1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan

sebelumnya. (2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas.

Pengetahuan tradisional diperoleh secara lisan turun-temurun sehingga sulit memenuhi syarat kebaruan, menentukan penemu

sebenarnya, syarat tertulis untuk dipatenkan

Diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.

UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman Pasal 7 (1) Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh Negara. (2) Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah. (3) Pemerintah berkewajiban

memberikan penamaan terhadap varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan penamaan, pendaftaran, dan penggunaan varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta instansi yang diberi tugas untuk melaksanakannya, diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Varietas tanaman termasuk tumbuhan hutan dapat

terlindungi dari upaya pencurian keanekaragaman hayati dari luar negeri

Diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.


(6)

Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 3 Maret 1976 sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, dari pasangan Soedigdo Tjitra Sunarya (alm) dan Soeparmi (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2006 penulis diterima pada pendidikan strata dua (S-2) sub program studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2007. Kesempatan Program Doktor pada program studi Konservasi Keanekaragaman hayati Tropika, pada perguruan tinggi yang sama pada tahun 2012. Beasiswa pendidikan program S 2 dan S3 diperoleh dari Kementerian Kehutanan.

Penulis adalah staf pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur sejak tahun 1999 sampai saat ini. Beberapa publikasi yang telah dilakukan dan merupakan bagian disertasi, yaitu:

- Integrating Local Culture into Forest Conservation telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika 2015 vol. 21(2):55-64.

- Pengetahuan Etnobotani Suku Manggarai dan dan Implikasinya terhadap Pemanfaatan Tumbuhan Hutan di Pegunungan Ruteng pada Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) vol. 20(3):161-171.

- Sustainable Utilization of Forest Plants: Experiences from Manggarai Tribe, Ruteng Mountains, Indonesia, yang dipresentasikan pada International Conference of Indonesia Forestry Researchers III – 2015 (3rd INAFOR 2015), 21-22 Oktober 2015.

- Conservation and Human Welfare: A Case Study of The Manggarai Tribe in Ruteng Mountains, Indonesia pada International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR) 2015 vol 24(7):1 – 9.

- Traditional Land Practice and Forest Conservation: Case Study of The Manggarai Tribe in Ruteng Mountains, Indonesia pada Jurnal Komunitas, saat ini masih dalam proses review.