Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo T2 752015020 BAB II

(1)

BAB II

MITOS , PERILAKU SOSIAL, DAN IMAJINASI

2.1 MITOS

2.1.1 Mitos Menurut Mircea Eliade

Mircea Eliade mengemukakan bahwa mitos hasil dari manusia arkhias dalam melukiskan lintasan supranatural ke dalam dunia mitos, yang dalam hal ini telah menguak sebuah tabir misteri dengan mewahyukan peristiwa-peristiwa promodial yang sampai sekarang ini masih diceritakan kembali. Mitos membicarakan tentang manusia tradisonal dalam melihat sejarahnya baik itu tentang asal usul maupun tentang alam sebagai tempat kediaman manusia. Mitos juga mengungkapkan masalah-masalah religi atau masyarakat menyangkut kepercayaan terhadap dewa-dewa sebagai suatu kekuatan supranatural yang dipercaya dan alam yang membentuk manusia tradisional. Mitos menjadi penting karena membuat manusia berpikir tentang asal-usul mereka pada zaman awal. Bagi masyarakat tradisional mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna menjadi contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini. Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan. Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata melalui tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan

menetapkan aturan-aturan manusia.1

1


(2)

Mircea Eliade mengklaim mitos sebagai “kebenaran yang mutlak” dan “ sejarah yang benar” yang disediakan sebagai suatu bentuk perilaku manusia. Dalam bukunya

myths, Dreams and mysteries,ia mengatakan bahwa mitos adalah pikiran atau gagasan untuk mengekspresikan kebenaran absolut, sebab mitos menceritakan suatu sejarah suci

atau kudus, yakni suatu penyataan transhuman yang mengambil tempat pada permulaan

zaman awal pada saat suci atau kudus dari permulaan dunia.2

Menurut Eliade mitos bukan hanya sekedar sebuah imajinasi atau pertanda-pertanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat kedalam bentuk cerita yang mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kasatria dunia atau dunia supranatural lainnya. Simbol dan mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi, yang biasa muncul dari ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan dan aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sebagaimana dalam suatu pribadi, hasrat-hasrat kontradiktif dapat berkumpul dan juga seperti impian dan fantasi-fantasi yang tidak logis yang bisa terjadi, maka dalam pengalaman religius hal-hal yang berlawanan itu yang sakral dan profan juga bisa bertemu. Dalam suatu pengambaran intuisi, imajinasi religius melihat yang biasa-biasa saja dan profan sebagai hal yang lebih dari sekedar itu dan dapat berubah menjadi yang sakral. Yang natural menjadi yang supranatural. Eliade mendapati bahan utama simbol dan mitos-mitos tersebut adalah alam fisik. Dalam pemikirah arkhias, dunia fisik merupakan bahan paling jelas yang jadi imajinasi, bukti, pertanda dan analogi-antalogi. Apa yang ada di dunia ini adalah bagian dari suatu

Frameworkbesar yaitu dewa-dewalah yang menciptakan dunia dan belahan dunia manapun, yang sakral dan yang selalu menunggu saat untuk muncul. Dalam segala keindahan dan keganasan alam. Dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, misteri,

2


(3)

keanekaragaman alam, dunia natural selalu membuka diri untuk menerima aspek supranatural yang disebut Eliade sebagai modalitas yang sakral. Maka tidak mengherankan jika kebudayaan-kebudayaan kuno sangat kaya dengan figur dan simbol-simbol imajinatif. Dunia mereka sangat hidup dengan adanya cerita dan legenda-legenda, misalnya kisah-kisah tragis, kepahlawanan, roh jahat dan kehidupan para dewa. Bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam bentuk naratif, maka semua itu bisa dianggap sebagai sebuah mitos. Mitos-mitos menceritakan tentang yang sakral, bagaimana kehidupan Ilahiah yang bersifat supranatural itu bisa menjadi sangat dekat

dengan kehidupan alamiah manusia.3

Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan. Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata melalui tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan menetapkan aturan-aturan

manusia.4

Penciptaan dalam mitos melingkupi semua tatanan kehidupan di dunia termasuk alam hunian manusia. Eksistensi manusia dalam interaksi dengan alam juga digambarkan sebagai hubungan timbal balik, yang saling mempengaruhi. Mitos juga merupakan jembatan penghubung antara masyarakat tradisonal dengan masyarakat modern. Karena dalam kehidupan setiap masyarakat modern juga ingin mengetahui sejarah asal usul mereka. Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan. Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata

3

Daniel Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: 2011,)...,244


(4)

melalui tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan

menetapkan aturan-aturan manusia.5

Mitos menceritakan sebuah sejarah yang sakral yaitu primordial (bentuk atau tingkatan paling awal), berlangsung pada awal waktu. Untuk berhubungan dengan sejarah sakral ini setara dengan mengungkapkan misteri sebab orang-orang yang berperan dalam mitos bukanlah manusia biasa tetapi mereka adalah dewa atau pahlawan dan karena itu perilaku mereka adalah sesuatu yang penuh misteri. Manusia padagenerasi berikutnya tidak bisa mengetahui tindakan mereka jika tidak diwahyukan. Oleh karena itu mitos adalah sejarah atas apa yang terjadi pada waktu awalselanjutnya menurut Eliade, mitos menguak tabir suatu misteri, mewahyukan peristiwa primordial yang harus selalu diceritakan dan diulang kembali pada waktu sekarang. Mitos merupakan model paradigmatis tentang apa yang terjadi, dan memberikan contoh-contoh model untuk dijadikan referensi tindakan sikap manusia sekarang. Mitos juga bercerita tentang apa yang dilakukan oleh para dewa tentang apa yang menjadi kegiatan kreatif. Mitos dapat membentuk suatu pengetahuan yang mengandung kekuatan religius magis. Bila seseorang mengetahui asal usul objek misalnya seekor binatang atau tumbuhan tertentu, berarti ia memperoleh kekuatan magis terhadap objek-objek tersebut sehingga dapat menguasai, memperbanyak dan memproduksinya menurut yang ia kehendaki. Pengetahuan ini bukanlah pengetahuan eksternal dan abstrak tetapi pengetahuan yang dialami secara ritual dengan

55


(5)

menceritakan mitos secara serimonial ataupun dengan melakukan ritus sebagai

pembenaran.6

Mitos dipahami sebagai kekuatan penyelamatan tertentu dan memiliki hubungan dengan kosmologi karena menceritakan bagaimana segala sesuatu terjadi, di samping menerangkan mengapa hal yang dilakukan saat ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Masyarakat primitif tidak mereka-reka mitos melainkan menghayatinya. Karena itu mitos berkaitan erat dengan kegiatan penciptaan oleh makluk-makluk ilahi dan menyingkapkan kesucian mereka. Mitos sungguh dikenal sebagai sejarah yang suci karena selalu mengacu kepada sebuah kenyataan. Mitos memiliki fungsi eksistensial bagi manusia dan berhubungan dengan realitas sosial serta alam semesta. Artinya mitos dianggap sebagai kearifan lokal masyarakat tertentu dalam mempertahankan sesuatu

yang bermanfaat sehingga dapat diwariskan kepada masyarakat lainnya.7

Oleh masyarakat Mollo, sesuatu yang sakral dan suci kemudian dapat dipertahankan dengan penciptaan mitos-mitos yang berhubungan dengan yang disakralkan sehingga mengandung nilai-nilai dalam masyarakat dan kemudian diwariskan secara turun temurun. Kesakralan Gunung Mutis adalah hasil ciptaan masyarakat Mollo yang didukung dengan mitos-mitos yang terkait dengannya. Nilai-nilai pengsakralan itu kemudian diwariskan kepada masyarakat sebagai identitas masyarakat Mollo. Mitos Mutis Gunung suci dianggap sebagai kearifan masyarakat dalammempertahankan hal-hal yang berhubungan dengan identitas mereka.

6

Mircea Eliade, Myth and Reality (London:George Allen and Unwin Ltd, 1964). 14-16 dalam

Agusthina, C. Kakiay, “Rapie Hainuwele kajian sosio historis terhadap mitos penyebaran penduduk pulau Seram di Maluku Tengah” (Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, 2004), 14

7

Olif Kause, Naitapan Batu Keramat (Studi Tentang Pengkeramatan Batu Naetapan dan Dampaknya Bagi Masyarakat Desa Tunua, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tesis, salatiga; Program Pa sca-Sarjana Magister sosiologi Agama, 2013. Hal 45


(6)

2.1.2 Sakral Menurut Mircea Eliade

Masyarakat memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang yang suci dengan yang biasa atau yang sering dikatakan yang sakral dan sekuler atau duniawi, Sebab tidak memiliki ciri khusus untuk dapat dibedakan. Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujud-wujudnya kita tidak akan dapat menemukan jawabannya sebab bukan benda-benda itu yang memberi tanda dari yang sakral. Jadi masyarakatlah yang mengsakralkan melalui upacara-upacara dan diabadikan dalam ajaran-ajaran kepercayaan mereka, sebagaimana dikatakan Nottingham:

“Sesuatu dapat dikatakan sakral bukan pada wujud dan bentuk tapi justru

berbagai sikap dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan benda -benda itu. Dangan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata, gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Dengan demikian sifatsakral itu tidak tergantung pada ciri hakikinya tapi pada mental dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan pada konteksnya8

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang terpatri di

dalam jiwanya dan rasa ketakutan. “Perasaan kagum inilah untuk menarik mereka

untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya”.

Dalam pengertian lebih luas, yang kudus (sakral) adalah suatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Sesuatu yang kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan, tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan gagasan-gagasan dapat dianggab sebagai kudus. Dalam pengertian yang lebih sempit, yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat. Hal ini kebalikan dengan


(7)

profan. Yang profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat

sementara, pendek kata yang ada di luar yang religius.9

Menurut Eliade dalam perjumpaan dengan yang sakral, orang-orang merasa

bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi (otherworldly); mereka

merasa bahwa telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realita lain yang pernah mereka kenal, sebuah dimensi eksistensi dahsyat-menggetarkan, sangat berbeda, benar-benar riil yang bersifat transenden dan suci.Bagi Eliade ketika berbicara tentang yang sakral, maka perhatian utamanya adalah dengan yang supernatural. Bertolak dari kalangan masyarakat arkhais, kehidupan dibedakannya atas dua bidang yaitu yang sakral dan profan. Yang sakral adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa dan mengesankan, suatu wilayah yang teratur dan sempurna, rumah leluhur, pahlawan, dan dewa-dewi, abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Sedangkan, yang profan adalah hal-hal yang biasa, wilayah urusan sehari-hari, penuh bayang-bayang,

bisa hilang, kacau, dan merupakan arena urusan manusia.10

Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang benar-benar luar biasa dan dahsyat, terpikat oleh suatu realitas yang sama sekali lain. Sesuatu yang misterius menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia selalu menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Dalam pengalaman yang mengesankan dan menggetarkan ini, terletak inti emosional dari semua manusia yang disebut agama. Perhatian agama adalah terhadap yang supranatural, yang jelas dan sederhana serta berpusat pada yang sakral. Agama menurut Eliade (dekat dengan Tylor dan Frazer): pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari wujud yang supernatural.

9

Mariasusai Dhavamong, Fenomenologi Agama , (Jakarta: Kanisius, 1995), 87.

10


(8)

Di hadapan Yang Sakral, manusia mempunyai perasaan bahwa ia tidak berarti,suatu perasaan dari makhluk yang sadar bahwa ia adalah sebuah ciptaan. Dihadapan Yang Sakral, setiap orang akan merasa gentar dan terpesona. Perasaan ini khas dan khusus, tidak sama dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Karena itusemua tempat, benda, binatang, tumbuhan, dan lain-lain hanya merupakan analogi dari yang sakral itu. Dalam keterbatasan bahasa manusia mencoba untuk melukiskan Yang Sakral itu dengan istilah-istilah yang dimengerti dalam bahasa mereka sendiri. Maka pengalaman religius adalah pengalaman tentang Yang Sakral,

yang sekaligusmenakutkan dan mempesona. Suatu pengalaman numinous adalah sui

generis dan tidak dikorelasikan pada pengertian biasa yang lain, baik pengertian intelektual maupun rasional. Perasaan khas yang mencirikan pengalaman religius ini

tidak dapat merupakan pengalaman psikologis dari getaran jiwa manusia11, tetapi

perasaan itu juga merupakan cara untuk memahami Yang Ilahi, bukan jiwa manusia, atau dengan singkat, dapat dikatakan bahwa inilah dasar agama yang Numinous sekaligus rasional dan nonrasional. Kondisi-kondisi kejiwaan yang betul-betul masuk ke dalam pengalaman religius Yang Numinous (dari kata Latin, numen artinya Tuhan) dan Yang non-rasional, diungkapkan dalam ide-ide rasional.

Dalam bukunya The Sacred and The Profane, Eliade mengemukakan perbedaan

pokok antara yang sakral dan yang profan. Secara khusus, Eliade membahas arti penting hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Ia menganalisa yang sakral itu sebagai yang sakral. Eliade menunjukkan bagaimana ruang dan waktu yang sakral adalah sungguh-sungguh ruang dan waktu yang riil, nyata, permanen dan abadi kebalikan dengan ruang dan waktu yang labil, selalu berubah-ubah dari dunia profan kalangan homo-religiusus (orang-orang tradisional) menghidupkan kembali kebaikan-kebaikan

11


(9)

primordial dari dewa-dewa dan ritus-ritusnya, tentu saja tidak seperti manusia modern, dalam semua tingkah lakunya, karena tindakan-tindakan primordial itulah yang sesungguhnya nyata. Dengan demikian, merambahnya fenomena sakral ke dalam ruang profan menciptakan ruang yang sakral, ruang yang tercipta, yang abadi, dan yang nyata. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan

dirinya secara berbeda dari dunia profan12. Nilai-nilai yang supranatural, yang

Sakral bisa disamakan dengan kekuatan, atau suatu realitas. Tetapi juga bisa menjadi sesuatu yang menjadi sarana sakral pada waktu tertentu atau pada waktu yang lain, tidak lagi menjadi simbol yang sakral dan tempatnya digantikan dengan objek lain, sekalipun yang sakral sendiri tetap dan tidakpernah berubah. Karena Yang Sakral itu adalah Yang Ilahi, abadi, dan tidak pernah mati. Yang Sakral merupakan suatu realitas yang bukan dari dunia sehingga sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan yang

profan.13

Suatu ruang atau tempat menjadi sakral karena peristiwa hierofani, maksudnya Yang Sakral memanifestasikan diri di tempat itu. Akibat peristiwa hierofani, suatu tempat kemudian menjadi sakral, diistimewakan, dan terpisah/dibedakan dari tempat-tempat lain. Pengungkapan Yang Sakral dalam suatu hierofani itu merupakan suatu pendobrakan homogenitas ruang, juga pewahyuan dari realitas yang absolut bertentangan dengan nonrealitas yang maha luas di sekitarnya. Manifestasi yang Sakral mendasari dunia secara ontologisme. Hierofani menunjukan suatu segi titik teguh

absolute atau sebagai titik pusat di tengah-tengah homogenitas yang maha luas dan tak terbatas. Di dalam homogenitas yang tak terbatas ini tidak ada titik dasar yang

dimungkinkan.14

12

Mircea Eliade, Sakral dan Profan, Nurwato (Terj.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002),18-30

13

Beatrixs Soumeru, Kajian Sosio Budaya Tentang Sakralnya Pusat pulau dalam pemahaman orang Abuba di pulau Nusa Laut, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012. Hal 16-17

14


(10)

Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika waktu profan adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya

nampak lebih “nyata” waktu daripada keadaannya sekarang. Waktu digerakkan kembali dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Maka, siklus satu tahun menjadi paradigma bagi pembaharuan kembali masyarakat dan dunia genesis yang sakral.Eliade lalu menganalisa bagaimana sejumlah unsur alam secara khusus bermain di dalam pengalaman yang sakral. Ia melihat air, pohon sakral, rumah dan tubuh, ia mencatat bahwa tidak ada tubuh manusia modern, seateis apapun, yang sepenuhnya tidak merasakan daya tarik alam. Simbolisme kosmik menambahkan satu nilai baru kepada objek atau tindakan tanpa menggeser nilai-nilai yang inheren. Manusia religius mendapatkan dalam dirinya kesucian yang sama dengan yang ia temukan dalam

kosmos. “Keterbukaan terhadap dunia memungkinkan manusia religius untuk mengenal dirinya dalam pengenalannya akan dunia dan pengetahuanini berharga

baginya karena inilah cara beragama.15

Suatu tempat baru disucikan dengan kegiatan upacara ritual, maka kehadiran Yang Ilahi menyebabkan tempat itu sama dengan kosmos yang teratur. Dalam kosmosyang teratur ini dilihat merupakan hasil pekerjaan mereka sehingga tempat itu menjadi sakral. Pengudusan semua objek dan makhluk di dunia ini, melalui peristiwa hierofani, lewat tanda-tanda atau metode-metode tertentu, semuanya berlaku sama. Misalnya karena peristiwa hierofani, maka batu, pasir, padang, gunung, sungai, dan benda- benda tertentu menjadi sakral. Demikian juga dengan halnya binatang atau manusia bisa menjadi sakral dengan berbagai bentuk upacara seperti mengulangi peristiwa hierofani atau kosmogoni. Dunia ini sendiri bersifat sakral karena dunia

15


(11)

mengambil bagian dalam kesakralan Pencipta-Nya. Hanya dengan memandang dunia ini saja sudah dapat menangkap kesakralannya. Ini berarti Para Yang Ilahi (dewa) menampakan kesakralan mereka di dalam susunan fenomena-fenomena alam ini.

Jadi bagi manusia religius, nilai sakral tempat tinggal mereka disebabkan karena tempat itu mencerminkan dunianya. Kalau menempati satu tempat secara permanen, maka tindakan itu merupakan keputusan fital yang melibatkan eksistensi seluruh keluarga dan masyarakat. Memilih suatu tempat, mengatur, dan mendiaminya merupakan tindakan yang eksistensial, karena tindakan itu menuntut kesediaan

untuk“menciptakannya”, mengulangi model kosmogoni. Dengan cara itu tempat tinggal

manusia religius mengambil bagian dalam kesakralan karya Yang Ilahi (para dewa).16

Eliade selanjutnya menjelaskan awalnya manusia itu dibenamkan ke dalam dunia profan. Selanjutnya simbolismelah yang menciptakan solidaritas tetap di antara manusia dan yang suci. Dalam pandangan Eliade, simbolisme merupakan bahasa di dalam suatu masyarakat khusus dan tertentu di mana pun adanya simbol senantiasa berfungsi untuk menghapus batas-batas manusia di dalam masyarakat dan kosmis.

Karena itu manusia di sini bukan “fragmen” semata melainkan membuat jati diri

manusia yang terdalam itu berikut status sosialnya menjadi jelas. Dengan demikian membuat dirimanusia menjadi satu dengan irama alam dengan mengintegrasikannya ke dalam satuan yang lebih besar yaitu masyarakat dan alam semesta. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan pemikiran simbolis memungkinkan manusia untuk bergerak secara bebas dari tingkatan realistis yang satu ke tingkatan realistis yang lain. Oleh Eliade yang sakral bukan sekedar ditemukan lalu dideskripsikan. Seperti masyarakat-masyarakat lain walaupun masyarakat-masyarakat arkhais berusaha mengekspresikan kerinduan dan kepercayaan mereka namun hakikat yang sakral yang sama sekali berbeda dengan

16


(12)

yang profan mementahkan usaha mendeskripsikan dan pencarian tersebut. Penyelesaian

menurut Eliade akan terjawab oleh pengalaman tidak langsung (indirect experience)

terhadap bahasa-bahasa yang sakral yang dapat ditemukan dalam simbol dan

mitos-mitos.17

2.1.3 Konsep Durkem tentang taboo

Istilah tabu (taboo) berasal dari bahasa Polinesia yang berarti institusi yang

berkaitan dengan hal-hal tertentu yang terlarang dari penggunaan biasa dalam kehidupan sehari-hari; kata ini juga bisa diartikan sebagai kata sifat yang

mengekspresikan karakteristik tertentu dari hal-hal yang terlarang.18Larangan-larangan

memakan binatang atau tumbuhan totem terjadi karena kalau dilanggar akan menyebabkan sakit atau mendatangkan kematian.

Bentuk larangan yang paling utama adalah larangan-larangan kontak. Larangan ini adalah tabu-tabu yang paling inti, sedangkan larangan-larangan lain hanya cabang larangan ini. Larangan-larangan ini di dasarkan pada prinsip bahwa yang profan tidak boleh bersentuhan dengan yang sakral. Salah satu masalah yang melahirkan keintiman kontak ini adalah hal makanan. Maka lahirlah larangan-larangan yang melarang

memakan binatang atau tumbuhan sakral, khususnya yang berkedudukan sebagai totem.

Larangan-larangan ini biasanya dijelaskan dalam kerangka hubungan darah mistis yang menyatukan manusia dengan binatang yang menjadi namanya atau binatang yang dilindungi oleh rasa hormat karena dipandang saudara. Asal usul larangan ini bukan hanya dari rasa segan akibat solidaritas kekeluargaan, larangan memakan tersebut

17

Daniel. Pals, Seven Theoriesof Religion,,,,241

18

Emile Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011). 438-439.


(13)

terjadi kalau dilanggar akan menyebabkan sakit atau mendatangkan kematian. Ada makanan tertentu yang dilarang bagi mereka yang profan karena makanan tersebut sakral, ada juga jenis makanan lain yang terlarang bagi orang yang sakral sebab makanan tersebut profan. Maka ada juga jenis binatang tertentu yang dianggap khusus

sebagai makanan kaum wanita.19

Larangan kontak bukan hanya berarti bersentuhan. Seseorang bisa dikatakan melakukan kontak dengan sesuatu jika dia memandangnya. Oleh karena itu, pandangan atau tatapan merupakan salah satu pengertian kontak. Ini yang menyebabkan ada larangan memandang benda-benda sakral bagi manusia yang profan. Selain tatapan atau pandangan, berbicara juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kontak antara orangatau sesuatu. Tarikan nafas juga dapat menyebabkan terjadinya kontak, karena nafas adalah bagian yang keluar dari diri kita. Oleh sebab itu, yang profan tidak boleh berbicara kepada sesuatu yang sakral, sekalipun yang sakral tersebut hadir saat itu. Di samping hal-hal yang sakral, ada kata-kata atau suara tertentu yang juga memiliki kualitas kesakralan; kata dan suara tersebut tidak boleh keluar dari mulut atau sampai

ketelinga orang-orang yang profan.20

Bukan hanya hal-hal yang sakral yang dipisahkan dengan hal-hal yang profan, namun lebih dari itu, tidak satu pun hal yang secara langsung atau pun tidak langsung berkaitan dengan kehidupan profan boleh dicampurkan dengan kehidupan religius. Misalnya,kehidupan orang Australia terbagi menjadi dua bagian: pertama diisi dengan pekerjaan-pekerjaan seperti berburu, mencari ikan dan perang; sementara kedua diperuntukkan bagi pemujaan Oleh karena itu, Durkheim membaginya dalam dua bentuk larangan yang mendasar yaitu pertama, kehidupan religius dan kehidupan profan tidak bisa berada pada ruang yang sama. Misalnya kuil atau candi dan

19

Emile Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar,,, 440

20


(14)

tempat yang suci yang merupakan ruang yang diperuntukkan bagi segala hal yang sakral, dianggap sebagai tempat bersemayam, karena segala sesuatu yang sakral tidak bisa di tempatkan pada ruang yang profan. Tatanan seperti ini ada pada semua kehidupan religius, bahkan agama yang paling sederhana. Hal ini tidak berbeda dengan kehidupan agama-agama modern yang juga membedakan ruang-ruang kudus dan tidak kudus. Ada tempat-tempat khusus yang sudah disediakan agar penganut agama tertentu dapat melakukan pemujaan atau menyelenggarakan ritual-ritual ibadah mereka misalnya candi, masjid, gereja dan lain-lain. Kedua, kehidupan religius dan kehidupan profan tidak bisa berada pada waktu yang bersamaan. Akibatnya kehidupan religius mestinya diberi hari atau saat-saat yang khusus dan terpisah dari yang profan, dengan

ini maka muncullah hari-hari yang suci.21

2.1.4 Simbolisme Pusat

Mircea Eliade menyajikan kepercayaan pada arkitipe selestial bagi kota, kuil dan gunung, dapat dibuktikan lewat dokumen, disana dapat kita temukan rangkaian kepercayaan yang mengacu pada adanya yang dipenuhi dengan prestis pusat. Simbolisme artkitektonik atau pusat dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Gunung Suci; Tempat bertemunya surga dan bumi. Dianggap sebagai pusat dunia.

Menurut kepercayaan orang India, Gunung Meru berdiri di pusat dunia, dan diatasnya bersinar bintang utara. Orang Iran percaya bahwa gunung suci Haraberezaiti (Elburz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan Surga. Pengikut Budha di Laos, disebelah utara Siam, mengenal gunung Zinnalo, berada di

pusat dunia. Di Edda, Himinbjorg sebagaimana yang ditunjukan oleh nama itu,

21

Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religion Life diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dkk (Jogyakarta: IRCiSoD, 2011).dalam Fransiska Anmama,‟Kajian Sosio Antropologi Trehadap pemahaman masyarakat Nufit Hanoa tentang Taboa, ( Tesis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013). Hal 30-31


(15)

merupakan “gunung surga”; di sinilah pelangi mencapai kubah langit. Kepercayaan yang sama juga dijumpai pada bangsa Finn, Jepang dan bangsa lain. Kita teringat bahwa bagi bangsa Semang di Semenanjung Malaka batu yang sangat besar, Batu-Ribn, muncul di pusat dunia; di atasnya terdapat neraka. Di mana lampau, tiga belalai pada Batu-Ribn menuju kelangit. Neraka, pusat bumi dan pintu gerbang langit, kemudian di tempatkan pada sumbu yang sama, dan terdapat pada sepanjang sumbu ini jalan lintas dari kosmik yang satu ke kosmik yang lain berada. Menurut kepercayaan orang Mesopotamia, gunung pusat menghubungkan surga dan bumi; gunung tersebut adalah gunung bumi, hubungan di antara berbagai wilayah. Tepatnya, Sigurat adalah sebuah gunung kosmik, yaitu citra simbolik kosmos, tujuh cerita menggambarkan tujuh planet surga atau yang memiliki warna dunia (seperti di Ur). Bagi orang Kristen, Golgota diberi kedudukan sebagai pusat dunia, karena tempat tersebut sebagai puncak gunung kosmik dan sekaligus sebagai tempat Adam

diciptakan dan dimakamkan. Demikianlah darah Juru s‟lamat menetes pada

tengkorak Adam, yang dimakamkan tepat pada kaki salib, dan menebusnya. Kepercayaan bahwa Golgota ada di pusat dunia, dilanjutkan dalam cerita rakyat

orang Kristen di timur.22

2. Setiap kuil ataupun istana, diperluas, setiap kota suci atau tempat kediaman raja, merupakan gunung suci, dengan demikian menjadi pusat.

Nama berbagai kuil dan menara suci di Babylonia sendiri memberi keaksian atas

asimilasinya dengan gunung kosmik: “Gunung Rumah”, “Rumah Gunung bagi seluruh bumi”, “Gunung Prahara”, “Penghubung antara Surga dan Bumi”. Silinder dari jaman Gudea mengatakan bahwa tempat tidur (Dewa) yang dibangun (seperti) gunung kosmik. Setiap kota di timur dipandang sebagai pusat dunia. Babylon adalah


(16)

Bab-ilani, “gerbang dewa”, karena di sana para dewa turun ke bumi. Di ibu kota kerajaan Cina, gnomon harus tidak menimbulkan bayangan di siang hari pada saat titik balik matahari di musim panas. Ibukota seperti itu, pada hakikatnya, berada di

pusat alam semesta, di naungi pohon gaib (kien-mu), pada tempat pertemuan tiga

zona kosmik: surga, bumi dan neraka. Berbagai kota dan tempat suci di asimilasikan

dengan puncak gunung kosmik.23

3. Adanya axis mundi, kota atau kuil suci yang dipandang sebagai titik pertemuan antara sorga, bumi, dan neraka.

Kuil maupun kota suci senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah

kosmik: surga, bumi dan neraka. Dur-an-ki, pertalian surga dan bumi adalah nama

yang diberikan pada pemujaan di Nippur dan Larsa, dan tidak diragukan juga bagi Sippara. Babylon memiliki banyak nama di antaranya rumah di Dasar Surga dan Bumi. Puncak gunung kosmik bukan hanya titik tertinggi bumi; hal itu juga merupakan pusat. Dimulainya penciptaan bahkan ada contoh yang di situ kosmologis menjelaskan simbolisme Pusat, yang barangkali dipinjam oleh embriologi. Yang Maha Suci menciptakan dunia seperti embrio karena embrio merupakan pusat dari depan, demikian juga Tuhan menciptakan dunia dari pusatnya

ke depan, dan dari sana menyebar ke arah yang berbeda-beda.24Mircea Eliade

mengungkapkan bahwa ketiga dunia membentuk tiga lapisan yang di hubungkan

oleh satu poros yang disebut axis mundi. Poros dunia ini sering di lambangkan

dengan tiang, tangga, pohon, dan gunung. Melalui axis mundi ini manusia religius

dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Karena hubungan antara ketiga dunia itu terletak pada pusat dunia, maka dunia yang sejati selalu

23

Mircea Eliade, Mitos Gerak Kembali Yang Abadi,,,13

24


(17)

terdapat pada pusat dunia. Dengan demikian, pusat itu merupakan zona suci, zona realitas mutlak.

2.2 PERILAKU SOSIAL

Hurlock berpendapat bahwa perilaku sosial menunjukkan kemampuan untuk menjadi orang yang bermasyarakat. Lebih lanjut lagi, perilaku sosial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku umum yang ditunjukkan oleh individu dalam masyarakat, yang pada dasarnya sebagai respons terhadap apa yang dianggap

dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh kelompok sebaya seseorang.25

Perilaku tersebut ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap, keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri

atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial. 26

Perilaku secara bahasa berarti cara berbuat atau menjalankan sesuatu sesuai dengan sifat yang layak bagi manusia. Secara sosial berarti segala sesuatu mengenai

masyarakat atau kemasyarakatan27. Perilaku juga sering disebut dengan akhlak atau

moral. Moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan.

Perilaku sosial seseorang dapat terlihat dalam pola responnya atau reaksinya terhadap hubungan timbal balik antar kelompok maupun pribadi. Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada

25

Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembamngan,(Indonesia: Erlangga, 2003), 216

26

Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembamngan..262

27


(18)

orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung sendiri. Dari penjelasan diatas, pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya bahwa sejak dilahirkan manusia membutuhkan hubungan atau pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal ini dikarenakan tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah

perilaku sosial.28 Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku

sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara yang berbeda-beda.

Perilaku ada dua jenis, yang pertama yaitu perilaku yang alami atau refleksif dan yang kedua yaitu perilaku operan atau bentukan. Perilaku yang alami yaitu perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap rangsangan yang mengenai organisme yang bersangkutan. Perilaku ini merupakan perilaku yang di bawa sejak manusia lahir. Sedangkan perilaku operan atau bentukan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, latihan, pembentukan dam pembiasaan. Perilaku operan atau bentukan ini dapat berubah-ubah sesuai dengan bagaimana latihan dan pembiasaan

yang dilakukan.29 Perilaku sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

sebagaiberikut.

1. Perilaku dan karaktekteristik orang lain

28

W.A.Gerungan,Psikologi Sosial,(Bandung:Refika Aditama,2009),28.

29


(19)

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang peranan penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan pengaruh yang cukup besar

dalam mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.30

2. Proses Kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang calon pelatih yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan orang lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam pembelajaran penjaskes maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas jasmani yang di tunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung

teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan benar.31

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah keras

30

Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),(Jakarta: Erlangga,2005), 280.

31


(20)

pula, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan halus

dalam bertutur kata.32

4. Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat

yang beretnis budaya lain atau berbeda.33

3.3 IMAJINASI

Imajinasi adalah “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep

mental yang tidak secara langsung didapat dari sensasi (pengindraan)”34 dapat

dipertegas lagi bahwa imajinasi adalah suatu daya, dan karenanya, imajinasi itu

berkaitan langsung dengan manusia yang memilik daya tersebut. Oleh karena itu proses megimajinasikan itu selalu merupakan proses pembentukan gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental. Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak

oleh mata) dan tekstural (terasa serta teraba oleh tangan dan kulit).35

Imajinasi memerankan begitu banyak peranan dalam berbagai segi hidup kita. Peran epistemologi yang mengutak-atik segi-segi pengetahuan manusia dan itu sangat fundamental, karena dari situlah kesadaran, pengalaman, dan pemahaman manusia berkembang. Berangkat dari kenyataan ini, kini mulai terasa bahwa dengan membahas imajinasi kita telah mereformulasi pandangan kita tentang dunia. Imajinasi bukan sekedar daya untuk membentuk gambaran atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi, tetapi lebih-lebih adalah kreatif primodial dan fundamental manusia yang terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia.

32 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),285. 33 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),288.

34Paul Edward, The encylopedia of philosophy, Volume 3& 4, (New York: Macmillan Publishing Co.,

Inc. The Free Press, 1967) hlm. 136


(21)

Imajinasi melekat kuat pada cirinya yang aktif dan terus menerus. Imajinasi tidak pernah berhenti untuk mengimajinasikan. Imajinasi beraktifitas secara sadar dalam diri manusia, dan karena kesadaran inilah maka imajinasi tetap hidup selama manusia menyadari keberadaannya sendiri. Unsur imajinasi aktif inilah yang membawa implikasi bahwa imajinasi terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia. Daya imajinasi manusia bertumbuh ketika imajinasi mengantar pada proses kreatif dimana individu membentuk kembali baik diri maupun lingkungannya kearah pengayaan timbal balik keduanya. Imajinasi merupakan kekuatan yang sangat erat berkaitan dengan kehendak manusia untuk terus menerus membaharui pandangan

tentang segala sesuatu.36

Imajinasi ialah kemampuan menghadirkan realitas. Imajinasi adalah rangkaian dua kemampuan untuk menghasilkan suatu abstraksi yang real yang mana imajinasi menghasilkan konsep-konsep imajerial, yakni konsep-konsep yang mengandaikan adanya rangkaian imaji-imaji untuk memperjelasnya. Konsep-konsep imajinatif itu sebenarnya bertumbuh dari suatu tahap intelektual yang sifatnya lebih re-konstruksi. Imajinasi amat berfungsi dalam membentuk dan menghadirkan realitas. Kesadaran akan kuatnya realitas figural yang akan banyak mendapatkan pendasaran teoretis melalui Lyotard menjadi ciri masa kini yang akan mewarnai pola pikir dan relasi kita dengan dunia, menjadi pintu masuk ke arah dunia imaji-imaji, dunia imajinasi itu sendiri. Dengan hal ini, kita tidak berhenti pada penjelasan kaitan imajinasi dan intelektif.37

Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling

36

H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,23

37


(22)

menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi

memunculkan “ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman,

bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka

hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.38

Imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat

kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.39

Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan

“ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan

38

H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,30

39


(23)

menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya

imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.40

40


(1)

orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung sendiri. Dari penjelasan diatas, pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya bahwa sejak dilahirkan manusia membutuhkan hubungan atau pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal ini dikarenakan tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku sosial.28 Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara yang berbeda-beda.

Perilaku ada dua jenis, yang pertama yaitu perilaku yang alami atau refleksif dan yang kedua yaitu perilaku operan atau bentukan. Perilaku yang alami yaitu perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap rangsangan yang mengenai organisme yang bersangkutan. Perilaku ini merupakan perilaku yang di bawa sejak manusia lahir. Sedangkan perilaku operan atau bentukan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, latihan, pembentukan dam pembiasaan. Perilaku operan atau bentukan ini dapat berubah-ubah sesuai dengan bagaimana latihan dan pembiasaan yang dilakukan.29 Perilaku sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagaiberikut.

1. Perilaku dan karaktekteristik orang lain

28

W.A.Gerungan,Psikologi Sosial,(Bandung:Refika Aditama,2009),28.

29


(2)

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang peranan penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.30

2. Proses Kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang calon pelatih yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan orang lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam pembelajaran penjaskes maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas jasmani yang di tunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan benar.31

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah keras

30

Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),(Jakarta: Erlangga,2005), 280.

31


(3)

pula, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata.32

4. Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.33

3.3 IMAJINASI

Imajinasi adalah “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep

mental yang tidak secara langsung didapat dari sensasi (pengindraan)”34 dapat dipertegas lagi bahwa imajinasi adalah suatu daya, dan karenanya, imajinasi itu berkaitan langsung dengan manusia yang memilik daya tersebut. Oleh karena itu proses megimajinasikan itu selalu merupakan proses pembentukan gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental. Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak oleh mata) dan tekstural (terasa serta teraba oleh tangan dan kulit).35

Imajinasi memerankan begitu banyak peranan dalam berbagai segi hidup kita. Peran epistemologi yang mengutak-atik segi-segi pengetahuan manusia dan itu sangat fundamental, karena dari situlah kesadaran, pengalaman, dan pemahaman manusia berkembang. Berangkat dari kenyataan ini, kini mulai terasa bahwa dengan membahas imajinasi kita telah mereformulasi pandangan kita tentang dunia. Imajinasi bukan sekedar daya untuk membentuk gambaran atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi, tetapi lebih-lebih adalah kreatif primodial dan fundamental manusia yang terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia.

32 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),285. 33 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),288.

34Paul Edward, The encylopedia of philosophy, Volume 3& 4, (New York: Macmillan Publishing Co.,

Inc. The Free Press, 1967) hlm. 136


(4)

Imajinasi melekat kuat pada cirinya yang aktif dan terus menerus. Imajinasi tidak pernah berhenti untuk mengimajinasikan. Imajinasi beraktifitas secara sadar dalam diri manusia, dan karena kesadaran inilah maka imajinasi tetap hidup selama manusia menyadari keberadaannya sendiri. Unsur imajinasi aktif inilah yang membawa implikasi bahwa imajinasi terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia. Daya imajinasi manusia bertumbuh ketika imajinasi mengantar pada proses kreatif dimana individu membentuk kembali baik diri maupun lingkungannya kearah pengayaan timbal balik keduanya. Imajinasi merupakan kekuatan yang sangat erat berkaitan dengan kehendak manusia untuk terus menerus membaharui pandangan tentang segala sesuatu.36

Imajinasi ialah kemampuan menghadirkan realitas. Imajinasi adalah rangkaian dua kemampuan untuk menghasilkan suatu abstraksi yang real yang mana imajinasi menghasilkan konsep-konsep imajerial, yakni konsep-konsep yang mengandaikan adanya rangkaian imaji-imaji untuk memperjelasnya. Konsep-konsep imajinatif itu sebenarnya bertumbuh dari suatu tahap intelektual yang sifatnya lebih re-konstruksi. Imajinasi amat berfungsi dalam membentuk dan menghadirkan realitas. Kesadaran akan kuatnya realitas figural yang akan banyak mendapatkan pendasaran teoretis melalui Lyotard menjadi ciri masa kini yang akan mewarnai pola pikir dan relasi kita dengan dunia, menjadi pintu masuk ke arah dunia imaji-imaji, dunia imajinasi itu sendiri. Dengan hal ini, kita tidak berhenti pada penjelasan kaitan imajinasi dan intelektif.37

Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling

36

H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,23

37


(5)

menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi

memunculkan “ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman,

bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.38

Imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.39

Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan

“ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan

38

H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,30

39


(6)

menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.40

40


Dokumen yang terkait

Konservasi Hutan Gunung Mutis oleh Masyarakat Mollo, Nusa Tenggara Timur

1 15 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Ngalap Berkah Gunung Kemukus dalam Perspektif Kejawen T2 752014015 BAB I

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Ngalap Berkah Gunung Kemukus dalam Perspektif Kejawen T2 752014015 BAB II

0 3 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Ngalap Berkah Gunung Kemukus dalam Perspektif Kejawen T2 752014015 BAB IV

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Ngalap Berkah Gunung Kemukus dalam Perspektif Kejawen T2 752014015 BAB V

0 1 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo T2 752015020 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo T2 752015020 BAB I

1 3 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo T2 752015020 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tunggu Gunung Kudu Wareg : Studi Dinamika Masyarakat Desa dalam Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal T2 092013008 BAB II

0 0 27