Analisis Sikap Dan Preferensi Konsumen Dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu Di Kota Ambon

ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN
DALAM MENGKONSUMSI TEPUNG SAGU
DI KOTA AMBON

SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sikap dan
Preferensi Konsumen dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu di Kota Ambon adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Septianti Permatasari Palembang
NIM H451110401

RINGKASAN
SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG. Analisis Sikap dan Preferensi
Konsumen dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu di Kota Ambon. Dibimbing oleh
SUHARNO dan SITI JAHROH.
Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pangan alternatif dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan adalah Sagu.
Di Provinsi Maluku, sagu memiliki potensi besar untuk dijadikan bahan pangan
alternatif guna mengurangi ketergantungan beras. Hal ini karena Maluku
merupakan salah satu kawasan utama sagu di Indonesia dan hampir seluruh
kabupaten/kota yang ada di Maluku tersebar lahan sagu.
Masih terbatasnya teknologi pengolahan dan diversifikasi sagu merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan sagu kurang diminati masyarakat, sehingga
kurang dapat bersaing dengan beras maupun gandum (terigu) yang semakin
dominan dalam pola konsumsi masyarakat. Sebagai salah satu upaya dalam
penganekaragaman konsumsi pangan, dibutuhkan sebuah inovasi teknologi dalam

mengembangkan sagu, sehingga dapat mengurangi ataupun mengimbangi
ketergantungan konsumsi beras. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah
kemudian mengembangkan agroindustri sagu untuk memproduksi tepung sagu,
yang selanjutnya dipasarkan oleh petani/pengusaha sagu. Dalam memasarkan
tepung sagu produsen maupun penjual dalam menghasilkan dan memasarkan
tepung sagu belum mengetahui dengan jelas apakah produk yang dipasarkan telah
sesuai dengan keinginan/kebutuhan konsumen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses keputusan pembelian
konsumen, dan menganalisis sikap, dan preferensi konsumen dalam
mengkonsumsi tepung sagu. Penelitian dilakukan di Pasar Mardika Kota Ambon
Provinsi Maluku. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive
sampling), berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan pasar
terbesar yang ada di Kota Ambon dan merupakan wilayah sentra pemasaran
tepung sagu. Metode penarikan atau pengambilan sampel yang digunakan adalah
metode non probability sampling dengan pendekatan judgement sampling, yaitu
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh
peneliti. Sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan sampel yang
mengkonsumsi tepung sagu minimal dua kali dalam tiga bulan terakhir.
Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif,
Multiatribut Fishbein, dan analisis Conjoint. Atribut produk yang dikaji meliputi;

harga, kemasan, ketersediaan, volume/ukuran, daya simpan, warna, kepraktisan,
dan informasi kedaluwarsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pada proses
keputusan pembelian, alasan utama konsumen membeli tepung sagu adalah
sebagai substitusi tepung lainnya, konsumen tidak pernah melihat adanya
promosi/iklan terkait tepung sagu, informasi tentang tepung sagu diperoleh dari
keluarga dan teman. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam
pembelian tepung sagu yaitu harga, warna, dan volume/ukuran. Konsumen dalam
setiap kali melakukan pembelian tepung sagu paling banyak membeli dalam
jumlah 2 kg. Sebagian konsumen menyatakan biasa saja setelah mengkonsumsi
tepung sagu, namun terdapat juga konsumen yang menyatakan puas setelah
mengkonsumsi tepung sagu. Apabila tepung sagu tidak tersedia di tempat

biasanya konsumen membeli sebagian konsumen menyatakan akan mencari
tepung sagu di tempat lain, namun ada juga konsumen yang akhirnya tidak jadi
melakukan pembelian. Setelah melakukan pembelian tepung sagu, konsumen
memanfaatkannya sebagai bahan pelengkap ataupun substitusi tepung lain dalam
rangka membuat aneka pangan ataupun penganan. Berdasarkan analisis sikap
Multiatribut Fishbein diketahui atribut tepung sagu yang dinilai sangat penting
dan penting oleh konsumen berturut-turut adalah harga, warna, dan ukuran. Secara
keseluruhan sikap konsumen terhadap tepung sagu adalah netral (biasa).

Berdasarkan hasil analisis Conjoint, disimpulkan bahwa responden konsumen
menginginkan produk tepung sagu dengan harga Rp10 000/kg, pada kemasan
terdapat keterangan/informasi, berukuran 2 kg, dan berwarna putih.
Kata kunci: sagu, perilaku konsumen, Multiatribut Fishbein, analisis Conjoint

SUMMARY
SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG. Analysis of Consumers’ Attitudes
and Preferences in Consuming Sago Starch in Ambon City. Supervised by
SUHARNO and SITI JAHROH.
One local food resources that can be used as an alternatives food in efforts
to diversify food consumption is Sago. In the Province of Maluku, sago has great
potential to be used as an alternative food in order to reduce dependence on rice.
This is because Maluku is one of the main areas of sago in Indonesia and land of
sago spread almost all districts/cities in Maluku.
The limited of sago processing technology and diversification is one of the
factors that cause sago less interested in the community, making it less able to
compete with both rice and wheat (flour) that increasingly dominant in the
patterns of consumption. As one of the efforts in the diversification of food
consumption, it’s need a technological innovation in developing sago, so as to
reduce or offset the dependence on rice consumption. Based on this, the local

government then develop sago agro-industry to produce (dry) sago starch, which
is subsequently marketed by farmers/sago entrepreneurs. In marketing sago starch,
producers and sellers do not know clearly whether a product marketed in
accordance with the wishes/needs of consumers.
This research aims to assess the consumers’ buying decision process, and
analyze the consumers’ attitudes, and preferences in consuming sago starch. This
research conducted at Mardika Market in the city of Ambon in Maluku Province.
Research location determined purposively, based on the consideration that the
location is the largest market in the city of Ambon and a marketing center area of
sago starch. The sampling method is non-probability sampling with judgment
sampling approach, which is based on certain criteria that have been set in
advance by researcher. The samples used in this research were ever consume sago
starch at least twice in the last three months.
The analytical tools used in this research are descriptive analysis,
Multiatributte Fishbein, and Conjoint analysis. The product attributes that were
examined include; price, packaging, availability, volume, storability, color,
practicality, and expiration information. The results showed that: in the purchase
of decision process, the consumers main reason to buy sago starch is to substitute
other starch/flour, the consumers never saw the promotion/advertising about sago
starch, the information about sago starch obtained from family and friends.

Factors that are considered by consumers in the purchase of sago starch are price,
color, and volume. The amount of consumer purchase is always two kg. Most
consumers express plain after eating sago starch, but there are also consumers
who said were satisfied after eating sago starch. If the sago starch are not available
in the usual places consumers purchase, most consumers said they would look for
sago starch in other places, but there are also consumers who finally did not make
the purchase. After making a purchase of sago starch, consumers use it as a
complement or substitute another flour in order to make a variety of food or
snacks. Based on the analysis of Fishbein Multi-attribute, the attributes of sago
starch that is considered very important and important by consumers is the price,
color, and size. Overall consumer attitudes toward sago starch is neutral (ordinary).

Based on the results of Conjoint analysis, the consumers like sago starch at a price
of Rp10 000 / kg, on the packaging there is information, volume 2 kg, and the
color of sago starch is white.

Keywords: sago, consumer behavior, Fishbein Multi-attribute, Conjoint analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN
DALAM MENGKONSUMSI TEPUNG SAGU
DI KOTA AMBON

SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ratna Winandi, MS

Penguji Wakil Program Studi Agribisnis: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
karena atas rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul “Analisis Sikap dan
Preferensi Konsumen dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu di Kota Ambon” dapat
diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan
memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan
dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, khususnya kepada:
1. Dr Ir Suharno, MADev selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Dr Siti Jahroh BSc MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi dan
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Dosen Penguji Perwakilan Program
Studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak arahan dan masukan
dalam perbaikan penulisan tesis.
3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan
Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta
seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan
kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada
Program Studi Agribisnis.
4. Teman-teman seperjuangan Magister sains agribisnis atas diskusi, masukan
dan bantuan selama mengikuti pendidikan.
5. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bapak Husein Palembang SH
dan Ibu Madrawatty Rasyad SH MH, serta keluarga besar yang telah
memberikan doa dan dukungannya.
6. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Fadly
Usman SP dan anak Syakila Ainun Mahya yang telah memberikan

dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk
menyelesaikan pendidikan.

Bogor, Agustus 2015
Septianti Permatasari palembang

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

xviii
xviii
xix

1
1
3
6
6
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Sagu
Agroindustri Sagu dan Produk Olahannya
Pengolahan dan Pemasaran Sagu
Pengembangan Produk
Perilaku Konsumen
Sikap Konsumen terhadap Produk
Preferensi Konsumen terhadap Atribut Produk

7
7
10
12
15
16
17
18

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Perilaku Konsumen
Konsep Pemasaran
Konsep Produk dan Atribut Produk
Konsep Sikap Konsumen
Konsep Preferensi Konsumen
Kerangka Pemikiran Operasional

20
20
20
23
24
26
29
32

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Uji Validitas
Uji Reliabilitas
Analisis Deskriptif
Model Sikap Multiatribut Fishbein
Analisis Conjoint

34
34
34
34
34
35
35
36
36
39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden Tepung Sagu

41
41
43

Proses Keputusan Pembelian Tepung Sagu
Pengujian Kuisioner
Analisis Sikap Konsumen Tepung Sagu
Analisis Preferensi Konsumen Tepung Sagu
Rekomendasi Strategi Pemasaran

45
50
51
55
57

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

60
60
61

DAFTAR PUSTAKA

62

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Konsumsi
pangan
(padi-padian & umbi-umbian) penduduk
Provinsi Maluku tahun 2007-2011
Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Hasil uji lab terhadap produk tepung sagu
Atribut produk tepung sagu untuk analisis Multiatribut Fishbein
Atribut dan taraf atribut tepung sagu
Kombinasi atribut dan taraf atribut tepung sagu berdasarkan kartu
stimuli
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci per kecamatan di
Kota Ambon Tahun 2013
Sebaran karakteristik responden konsumen tepung sagu
Hasil uji validitas terhadap kuisioner kepentingan konsumen
Hasil uji validitas terhadap kuisioner kepercayaan konsumen
Penilaian kepentingan (ei) atribut tepung sagu
Penilaian kepercayaan atribut (bi) tepung sagu
Hasil analisis Multiatribut Fishbein
Hasil analisis Conjoint atribut tepung sagu

2
10
14
37
39
41
42
44
50
51
52
53
54
56

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Pengeluaran rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon
untuk bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian
Diagram alir proses pengolahan sagu basah dan tepung sagu kering
dengan teknologi sederhana
Model pengambilan keputusan pembelian konsumen dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya
Kerangka pemikiran operasional
Motivasi utama mengkonsumsi tepung sagu
Manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi tepung sagu

5
14
21
33
45
46

7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Pernah tidaknya melihat promosi/iklan terkait tepung sagu
Sumber informasi terkait tepung sagu
Hal yang menarik dari tepung sagu
Pertimbangan awal pembelian tepung sagu
Pengaruh pengambilan keputusan
Cara memutuskan pembelian produk
Jumlah tepung sagu setiap kali pembelian
Kepuasan konsumen terhadap tepung sagu
Perilaku apabila produk tepung sagu tidak tersedia
Pemanfaatan tepung sagu setelah pembelian
Kendala dalam membeli produk tepung sagu
Nilai kepentingan relatif atribut tepung sagu

46
47
47
47
48
48
48
49
49
50
50
55

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Skema pemanfaatan sagu
Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 3729:2008
Uji reliabilitas terhadap kuisioner evaluasi konsumen
Uji reliabilitas terhadap kuisioner kepercayaan konsumen
Profil tepung sagu dengan informasi/keterangan (merek, komposisi,
manfaat, informasi kedaluwarsa) dan tanpa informasi/keterangan
Agroindustri tepung sagu dan kegiatan produksi
Aktivitas penjualan, pembelian, dan aneka olahan penganan dari sagu

67
68
69
70
71
71
72

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi kekayaan pangan lokal yang amat besar, yang
dapat diangkat untuk mewujudkan kemandirian pangan dan mempercepat
tercapainya ketahanan pangan nasional. Kekayaan pangan tersebut diantaranya
memiliki 77 spesies tanaman sumber karbohidrat seperti serealia (jagung,
sorghum, hotong, jali, jawawut dll), ubi-ubian (singkong, ubi jalar, talas, sagu,
ganyong, garut, gembili, gadung dll), dan buah (sukun, pisang, labu kuning, buah
bakau, dll). Pangan sumber karbohidrat tersebut tersedia dan tumbuh subur di
seluruh Indonesia, dan secara tradisional dikonsumsi sebagai pangan pokok
maupun kudapan (BKP 2012). Berdasarkan potensi sumber daya pangan yang
dimiliki, maka penganekaragaman konsumsi pangan dengan menekankan pada
sumber daya pangan lokal (non beras) merupakan suatu langkah arif dan bijak
guna mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap jenis pangan seperti beras
dan gandum (terigu).
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun
2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal, bahwa upaya penganekaragaman konsumsi pangan
harus berbasis sumber pangan setempat atau khas daerah. Hal ini agar diartikan
bahwa pengurangan konsumsi beras tidak dapat digantikan dengan konsumsi
gandum/terigu yang hampir seluruhnya diimpor. Sementara konsumsi umbiumbian bukan hanya sebagai pangan pilihan pengganti padi-padian namun juga
sebagai pangan berpati (starchy foods) yang banyak mengandung serat dan
dibutuhkan tubuh untuk dikonsumsi setiap hari (BKP 2012).
Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pangan alternatif dalam upaya penganekaragaman konsumsi pangan adalah
Sagu (Metroxylon spp.). Menurut Alfons (2006), sagu berpotensi menjadi sumber
pangan alternatif karena kandungan karbohidrat dan kalori yang tinggi,
kemampuan substitusi tepung dalam industri pangan, peluang peningkatan
produktivitas, potensi areal dan perluasannya, serta kemungkinan diversifikasi
produk. Menurut Bintoro (1999) sagu memiliki peran penting dalam mewujudkan
penganekaragaman konsumsi pangan yang berbasis sumber daya lokal dan dapat
mengurangi ketergantungan sebagian masyarakat Indonesia terhadap beras.
Di Provinsi Maluku, sagu memiliki potensi besar untuk dijadikan bahan
pangan alternatif dalam upaya penganekaragaman konsumsi pangan. Hal ini
karena Maluku merupakan salah satu kawasan utama sagu di Indonesia dengan
luas areal ± 53 866 ha (BPS–Prov. Maluku 2013). Hampir seluruh kabupaten/kota
yang ada di Maluku tersebar lahan sagu. Selain itu pertanian sagu di Maluku
merupakan “way of life” dan dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan, pemasok
pangan (sumber karbohidrat tradisional) utama dan telah terbukti mampu menjadi
salah satu bahan pangan dalam mengatasi masalah pangan lokal di wilayah
Maluku tempo dulu (Bustaman dan Susanto 2007).
Adapun dari luas areal lahan sagu sekitar 53 866 ha, yang baru dikelola
diperkirakan seluas 6 000 ha dan sisanya masih berupa hutan sagu (Pemda–Prov.
Maluku 2008). Menurut Louhenapessy (2010), rata-rata terdapat 100 pohon

2

sagu/ha dengan jumlah pohon siap panen ± 40-42 pohon MT/ha/thn dan per
pohon menghasilkan ± 200-250 kg pati kering. Berdasarkan hal tersebut maka
produktivitas sagu dalam satu hektar lahan sagu di Maluku rata-rata sekitar 8–10
ton/ha/thn. Adapun dari 6 000 ha luas areal sagu yang dikelola menghasilkan
sekitar 48 ribu – 60 ribu ton pati kering/ha/thn. Kehilangan hasil di hutan sagu
sekitar 431 ribu ton/ha/thn.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemanfaatan sagu dalam upaya
diversifikasi konsumsi pangan di Maluku merupakan suatu langkah yang tepat.
Hal ini setidaknya agar dapat mengimbangi ataupun mengurangi konsumsi pangan
penduduk yang semakin didominasi oleh produk pangan berbasis beras ataupun
terigu. Adapun besarnya konsumsi pangan penduduk Provinsi Maluku khususnya
bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Konsumsi pangan (padi-padian & umbi-umbian) penduduk Provinsi
Maluku tahun 2007-2011
Kelompok
bahan pangan
Padi-padian
Beras
Jagung
Terigu
Umbi-umbian
Singkong
Ubi jalar
Kentang
Sagu
Umbi lainnya

Konsumsi pangan (gram/kap/hari)
2008
2009
2010

2011

192.58
5.58
21.66

192.70
8.47
21.72

212.79
4.28
19.78

206.36
5.54
18.66

225.37
4.95
23.54

72.39
19.44
1.20
40.32
6.33

96.13
36.87
0.66
29.90
16.49

109.60
25.14
1.39
26.20
16.69

104.52
18.09
0.33
22.90
7.04

88.15
22.46
2.25
21.33
10.11

2007

Sumber: BPS–Prov. Maluku 2011

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pada periode 2007 hingga 2011
tingkat konsumsi beras penduduk di Provinsi Maluku sangat tinggi dibandingkan
dengan jenis pangan yang lain. Selain itu jumlah konsumsinya per hari cenderung
meningkat tiap tahun. Perbedaan jumlah konsumsi beras yang signifikan dengan
pangan yang lain mengindikasikan bahwa beras telah mendominasi pola konsumsi
pangan masyarakat dan dapat dikatakan bahwa beras kini merupakan pangan
utama penduduk Maluku. Sebaliknya, sagu yang merupakan bahan pangan lokal
utama di Maluku, tingkat konsumsinya per hari sangat rendah bila dibandingkan
dengan beras dan singkong, selain itu jumlah konsumsinya per hari cenderung
menurun tiap tahun. Adapun terigu, tingkat konsumsi per harinya masih cukup
rendah dibandingkan sagu namun berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan
untuk meningkat. Kemudian untuk singkong, tingkat konsumsi per harinya masih
cukup tinggi dibanding sagu. Kemungkinan singkong masih digunakan sebagai
pangan tambahan selain beras untuk sebagian penduduk yang ada di desa-desa.
Konsumsinya pun cenderung meningkat tiap tahun namun berfluktuasi.
Rendahnya konsumsi sagu penduduk Maluku dapat dikarenakan masih
minimnya teknologi dan inovasi pengembangan sagu. Pengolahan sagu di Maluku
hingga saat ini umumnya masih bersifat tradisional dan mayoritas dilakukan oleh
masyarakat di pedesaan. Berbagai produk yang telah dihasilkan masih dalam

3

bentuk yang tidak mengalami perubahan dari sejak dahulu. Misalnya seperti sagu
tumang1: pati sagu yang dihasilkan dari hasil ekstraksi masih berupa sagu basah
dan dikemas dengan menggunakan kemasan tradisional (tumang). Sagu tumang
kemudian juga diolah sebagai makanan pokok (staple food) dalam bentuk papeda,
sagu lempeng, sinoli, dan tutupola. Selain itu digunakan dalam industri rumah
tangga untuk pembuatan penganan tradisional seperti bagea, sagu gula, sarut, sagu
tumbuk, dll (Alfons dan Bustaman 2005; Malawat et al. 2008).
Oleh karena itu sebagai salah satu upaya dalam penganekaragaman
konsumsi pangan, dibutuhkan sebuah inovasi teknologi dalam mengembangkan
sagu. Hal ini agar produk sagu yang dihasilkan mempunyai nilai lebih atau paling
tidak sama dengan produk pangan berbasis beras/terigu, sehingga dapat
mengimbangi ataupun mengurangi ketergantungan akan sumber pangan tersebut.
Berdasarkan salah satu sasaran program peningkatan ketahanan pangan
pemerintah daerah Provinsi Maluku yakni meningkatnya keanekaragaman dan
kualitas konsumsi pangan dan menurunnya konsumsi beras perkapita, maka
pemerintah daerah Provinsi Maluku melalui Dinas Pertanian Provinsi Maluku
bekerja sama dengan LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian, serta
petani/pelaku usaha sagu untuk mengembangkan pangan lokal sagu. Salah satu
hasil dari kerjasama tersebut yaitu pengembangan sagu pada sub-sistem
agroindustri berbasis rumah tangga di pedesaan yang memiliki potensi sagu.
Kegiatan pengembangan yang dilaksanakan tahun 2009 tersebut berupa
diseminasi teknologi tepat guna kepada para petani/pelaku usaha sagu untuk
melaksanakan product development sagu, yakni mengolah pati sagu untuk
dijadikan tepung sagu (kering).
Melalui diseminasi teknologi tepat guna, sebagian petani/pelaku usaha
sagu di Maluku khususnya di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram
Bagian Barat, telah dapat memproduksi tepung sagu meski masih berupa industri
skala rumah tangga. Tepung sagu diproduksi dan dikemas secara sederhana,
menggunakan kemasan plastik, ada yang diberi merek ataupun keterangan dan ada
yang tidak. Produk tepung sagu tersebut pun kemudian dipasarkan di Kota Ambon.
Perumusan Masalah
Pengembangan pati sagu menjadi tepung sagu merupakan salah satu upaya
diversifikasi pangan guna mengurangi ketergantungan beras ataupun terigu dalam
pola konsumsi masyarakat, sehingga diharapkan kedepannya dapat terwujud
kemandirian pangan lokal yang menunjang tercapainya ketahanan pangan
nasional. Selain itu di lain sisi, pengembangan tepung sagu dapat meningkatkan
nilai tambah komoditi sagu yang diusahakan petani/pengusaha sagu.
Polnaya dan Timisela (2008) mengemukakan, keuntungan pengolahan
sagu menjadi tepung sagu adalah: 1) dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama; 2) lebih mudah untuk disimpan; 3) tidak terjadi perubahan sifat
dengan ”pati sagu basah” (lebih praktis dibandingkan dengan sagu basah apabila
ingin diolah menjadi papeda/makanan pokok tradisional); 4) lebih mudah
penanganan dalam transportasi; 5) menarik perhatian konsumen untuk membeli
dan menyimpan pati sagu di rumah, dan sebagainya.
1

Tumang: penampung pati sagu yang terbuat dari anyaman daun sagu. Berat sagu tumang
bervariasi dari 7.5 hingga 20 kg, dengan harga Rp35 000 hingga Rp80 000

4

Tepung sagu merupakan produk antara (product intermediate), yang
memudahkan konsumen untuk mengolah lebih lanjut menjadi aneka pangan
olahan yang sesuai dengan selera dan tuntutan masyarakat/konsumen masa kini.
Tepung sagu tetap dapat diolah menjadi pangan pokok/tradisional, dan dapat
digunakan sebagai bahan dasar, pelengkap/substitusi tepung lainnya dalam
membuat penganan ataupun makanan modern. Selain itu, menurut Sialana (2008)
tepung sagu dapat diolah menjadi minuman bernutrisi yang bermanfaat bagi
kesehatan. Hal ini berbeda dengan sagu tumang yang selama ini lebih dikenal oleh
konsumen. Sagu tumang hanya dapat dimanfaatkan sebatas menjadi pangan
pokok/tradisional.
Tepung sagu diproduksi oleh petani/pengusaha sagu dalam hal ini industri
pengolahan sagu berbasis rumah tangga di Kabupaten Maluku Tengah dan
Kabupaten Seram Bagian Barat yang telah mendapatkan manfaat dari kegiatan
diseminasi teknologi tepat guna. Tepung sagu yang diproduksi tersebut kemudian
dijual ke luar daerah yaitu ke Kota Ambon, khususnya ke para penjual penganan
sagu yang ada di kota tersebut. Oleh para penjual penganan sagu, tepung sagu
dijual bersama-sama dengan produk penganan sagu seperti bagea, sagu lempeng,
sagu tumbuk dll. Adapun tepung sagu dipasarkan di Kota Ambon oleh karena
selain merupakan ibukota provinsi dan pusat pemerintahan, juga karena Ambon
merupakan pusat perekonomian dan perdagangan, serta memiliki jumlah dan
kepadatan penduduk yang terbanyak dibandingkan dengan daerah lain yang ada di
Provinsi Maluku.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, diketahui bahwa produsen maupun
penjual dalam menghasilkan dan memasarkan tepung sagu belum mengetahui
dengan jelas apakah produk yang dipasarkan telah sesuai dengan
keinginan/kebutuhan konsumen. Selain itu, diketahui juga bahwa dalam sebulan
(untuk tiap penjual) rata-rata tepung sagu yang terjual sekitar 8–12 kg. Tepung
sagu dijual dengan harga yang bervariasi yaitu Rp12 500–Rp15 000/kg. Angka
penjualan tepung sagu tersebut apabila dibandingkan dengan sagu basah ternyata
sangat rendah. Sagu basah dalam sebulan dapat terjual sekitar 500–800 kg
(setara dengan 300–480 kg berat kering) dan dijual dengan eceran seharga
Rp1 000 per 200 gram2.
Adapun bila ditinjau dari segi pengeluaran pangan masyarakat Kota
Ambon, diketahui bahwa pengeluaran rata-rata perkapita per bulan untuk bahan
pangan padi-padian (beras, jagung, terigu) lebih besar dibandingkan untuk bahan
pangan umbi-umbian (sagu, singkong, dan umbi lainnya). Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 1, yakni pada periode 2010 hingga 2013 pengeluaran rata-rata
perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon untuk kedua kelompok bahan
pangan memiliki perbedaan yang signifikan.

2

Sagu basah dijual dalam bentuk irisan-irisan/bola tanpa dikemas. Rata-rata jumlah sagu basah
yang dibeli konsumen dalam sekali pembelian yakni 4 sampai 8 irisan/bola (0.8–1.6 kg)

5

Pengeluaran ratarata/ kapita/ bulan (Rp)

67557
70000

57400

60000

65462

53638

50000
40000
30000
20000

13910

14299

13312

6517

10000
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Padi-padian

Um bi-um bian

Gambar 1 Pengeluaran rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota
Ambon untuk bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian
Sumber: BPS-Kota Ambon 2012; 2014

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2013 pengeluaran rata-rata masyarakat Kota Ambon untuk bahan pangan
padi-padian berfluktuasi namun diatas Rp50 000 perkapita per bulan dan
cenderung meningkat. Adapun pengeluaran rata-rata untuk bahan pangan umbiumbian juga berfluktuasi dan cenderung meningkat, namun pengeluaran rata-rata
yang terbesar hanya mencapai sekitar Rp14 000 perkapita per bulan.
Meningkatnya pengeluaran pangan masyarakat perkapita per bulan untuk kedua
bahan pangan dikarenakan meningkatnya harga dari kedua bahan pangan tersebut
tiap tahunnya. Secara garis besar dapat dikatakan pengeluaran pangan rata-rata
perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon untuk bahan pangan padi-padian
lebih besar (4-5 kali lipat) dibandingkan untuk bahan pangan umbi-umbian.
Apabila lebih diperinci, bahan pangan padi-padian terdiri dari beras,
jagung, dan terigu. Bila dikaitkan dengan konsumsi pangan utama masyarakat
maka pengeluaran paling besar yaitu untuk pangan beras. Sedangkan bahan
pangan umbi-umbian terdiri dari sagu, singkong, dan umbi lainnya. Besarnya
alokasi pengeluaran untuk tiap jenis pangan dari bahan pangan umbi-umbian tidak
diketahui, namun dilihat dari jumlah pengeluaran pangan rata-rata perkapita per
bulan yang sangat kecil dibandingkan bahan pangan padi-padian, maka
pengeluaran untuk sagu (pati sagu basah, tepung sagu, atau produk pangan lainnya
dari sagu) pastinya juga sangat kecil. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan
bahwa pengeluaran pangan rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon
untuk pangan sagu memiliki porsi yang sangat kecil dibandingkan untuk pangan
beras.
Hal tersebut apabila dikaitkan dengan rendahnya jumlah tepung sagu yang
terjual dibandingkan dengan sagu basah, maka mengindikasikan bahwa tepung
sagu yang dipasarkan masih kurang diminati oleh masyarakat/konsumen. Hal ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kurangnya informasi atau
promosi terkait tepung sagu, kemungkinan ketersediaan yang masih sedikit di
pasaran, serta ukuran ataupun harga tepung sagu yang mungkin belum sesuai

6

dengan selera konsumen. Selain itu tepung sagu pun masih dapat dikatakan
produk baru dan belum begitu familiar bagi masyarakat/konsumen.
Berdasarkan uraian tersebut maka dalam menjalankan upaya pemasaran
tepung sagu, produsen/penjual perlu memiliki pengetahuan mendasar mengenai
konsumen. Produsen/penjual perlu mengetahui perilaku konsumen dalam
mengkonsumsi produk tepung sagu, serta sikap konsumen terhadap produk
tersebut. Adapun sikap mempengaruhi perilaku konsumen. Oleh karena itu
dengan mengetahui sikap konsumen terhadap tepung sagu yang digambarkan dari
penilaian konsumen terhadap atribut tepung sagu, maka dapat dapat dirumuskan
strategi yang tepat dalam memasarkan produk tepung sagu. Dalam merumuskan
strategi pemasaran tepung sagu, produsen/penjual perlu mengetahui dan
menyediakan produk yang sesuai dengan keinginan/kebutuhan konsumen. Oleh
karena itu perlu dilihat preferensi/kesukaan konsumen dari atribut-atribut produk
yang melekat pada tepung sagu, yang pada akhirnya nanti akan membentuk
sebuah produk yang diinginkan konsumen. Berdasarkan informasi tersebut maka
produsen/penjual dapat menyediakan produk yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan konsumen.
Kedepannya diharapkan produk tepung sagu yang dipasarkan semakin
diminati dan permintaannya semakin meningkat. Lebih lanjut, dengan
meningkatnya permintaan tepung sagu maka diharapkan pola konsumsi
masyarakat yang dominan beras ataupun terigu dapat diimbangi dengan produk
olahan dari tepung sagu. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini akan
mengkaji beberapa permasalahan diantaranya:
1. Bagaimana proses keputusan pembelian tepung sagu yang dilakukan
konsumen ?
2. Bagaimana sikap konsumen terhadap tepung sagu ?
3. Bagaimana preferensi konsumen terhadap atribut tepung sagu ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis proses keputusan pembelian tepung sagu yang dilakukan
konsumen.
2. Menganalisis sikap konsumen terhadap tepung sagu.
3. Menganalisis preferensi konsumen terhadap atribut tepung sagu.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
rekomendasi yang bermanfaat bagi pihak produsen/penjual (produsen/pengusaha
sagu) dalam menjalankan usahanya, dan pihak pengambil kebijakan pada instansiinstansi terkait dalam mendukung upaya pengembangan sagu. Hal ini merupakan
upaya agar dapat lebih meningkatkan minat konsumsi masyarakat terhadap sagu,
sehingga mendukung terwujudnya kemandirian pangan lokal dan ketahanan
pangan kedepannya. Di lain sisi dapat juga memperbaiki kesejahteraan petani
sagu di Maluku pada khususnya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi sumber informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian lebih
lanjut terkait dengan persepsi masyarakat terhadap tepung sagu.

7

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sikap dan preferensi konsumen
dalam mengkonsumsi tepung sagu secara umum tanpa dipengaruhi oleh merek
dari tepung sagu tersebut, namun seluruh tepung sagu yang dipasarkan. Selain itu
penelitian ini hanya mengkaji sikap konsumen untuk tepung sagu itu sendiri, dan
tidak melakukan perbandingan antara tepung sagu dengan tepung lainnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Sagu
Potensi Sumber Daya
Indonesia memiliki areal pertanaman/hutan sagu terluas di dunia, serta
diversitas genetik yang terkaya. Luas areal sagu Indonesia diperkirakan sekitar
1.398 juta hektar atau 56.51 persen dari 2.474 juta hektar areal sagu dunia, disusul
oleh Papua New Guinea sebesar 41.23 persen. Namun dari segi pemanfaatannya,
Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia (bahkan sudah
membuat perkebunan sagu) dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki
areal seluas 1.82 persen dan 0.12 persen (Flach 1997; Louhenapessy et al. 2010).
Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan 5 juta ton pati kering per
tahun (dapat ditingkatkan apabila hutan sagu direhabilitasi menjadi perkebunan
sagu dan diikuti dengan tindakan budidaya) tetapi baru sebagian kecil yang
dimanfaatkan dan hingga kini potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal.
Perkiraan potensi produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar, karena hal ini
berkaitan dengan luas areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per hektar per
tahun, dan produksi pati kering per pohon. Sebagian besar areal sagu di Indonesia
merupakan tegakan alami sehingga produktivitasnya sangat beragam. Konsumsi
pati sagu dalam negeri saat ini hanya sekitar 210 ribu ton atau baru 4–5 persen
dari potensi produksi (Sumaryono 2007).
Daerah Maluku merupakan salah satu kawasan utama sagu di Indonesia
dengan luas areal sagu sekitar 53 866 ha. Hampir seluruh kabupaten/kota yang ada
di Maluku tersebar lahan sagu. Areal sagu terluas yaitu 35 811 ha (66.48%)
terdapat di Kabupaten Seram Bagian Timur, menyusul Kabupaten Seram Bagian
Barat 8 410 ha (15.61%), Kabupaten Maluku Tengah 5 228 ha (9.71%),
Kepulauan Aru 1 318 ha (2.45%), Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan
berturut-turut 1 312 ha (2.44%) dan 1 287 ha (2.39%). Kota Ambon dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat memiliki areal sagu terkecil hanya 255 ha
(0.47%) dan 245 ha (0.45%) (BPS–Prov. Maluku 2013).
Areal sagu yang baru dikelola diperkirakan seluas 6 000 ha dan sisanya
masih berupa hutan sagu (Pemda–Prov. Maluku 2008). Produktivitas sagu dalam
satu hektar lahan sagu di Maluku rata-rata sekitar 8–10 ton/ha/thn, sehingga dari
6 000 ha luas areal sagu yang dikelola menghasilkan sekitar 54 ribu ton pati
kering/ha/thn. Kehilangan hasil di hutan sagu sekitar 431 ribu ton/ha/thn. Namun
potensi hutan sagu yang luas dan produksi sagu yang cukup tinggi tersebut
ternyata belum diimbangi dengan pemanfaatan yang optimal.

8

Botani dan Habitat
Sagu (Metroxylon spp.) secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu
tanaman sagu yang berbunga dan berbuah satu kali (Hapaxanthic) dan tanaman
sagu yang berbuah dan berbunga dua kali atau lebih (Pleonanthic). Golongan
yang pertama sangat penting nilai ekonominya karena kandungan patinya tinggi
(Haryanto dan Pangloli 1992). Sagu dari golongan Hapaxanthic terdiri dari lima
varietas penting antara lain: Metroxylon sagu Rottboell (sagu Molat); Metroxylon
rumphii Martius (sagu Tuni); M. sylvestre Mart. (sagu Ihur); M. longispinum
Mart. (sagu Makanaru); dan M. microcanthum Mart. (sagu Duri rotan) (Haryanto
dan Pangloli 1992). Dari kelima varietas tersebut, berdasarkan sifat morfologinya
dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang batangnya tidak berduri (Metroxylon
sagu Rottb.) dan yang batangnya berduri (Metroxylon rumphii Mart.) (Bintoro
1999).
Secara umum sagu tumbuh dalam bentuk rumpun, memiliki bentuk pohon
tegak dan tinggi batang bebas daun sekitar 10–20 m. Pada rumpun sagu rata-rata
terdapat 1–8 batang sagu (Flach 1977 dalam Alfons dan Bustaman 2005). Batang
sagu merupakan bagian terpenting dari tanaman sagu karena merupakan tempat
penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati
sagu. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian
dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat pati. Ukuran batang sagu
serta kandungan pati yang terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu,
umur, dan habitat pertumbuhannya. Semakin tua umur tanaman sagu maka
kandungan pati dalam empulur semakin besar, dan pada umur tertentu kandungan
pati tersebut akan menurun. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan
mulai terbentuknya primordia bunga, sehingga para petani sagu dengan mudah
dapat mengenali saat rendemen pati sagu mencapai maksimum. Pada umur 3-5
tahun empulur batang belum banyak mengakumulasi pati, tetapi pada umur 11
tahun keatas atau sekitar umur panen empulur sagu mengandung pati 15-20 persen
(Haryanto dan Pangloli 1992).
Sagu dapat tumbuh baik pada daerah rawa air tawar, rawa bergambut,
daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa.
Tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah marjinal dan
lahan kritis yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan
maupun tanaman perkebunan (Suryana 2007 dalam Botanri et al. 2011).
Usaha Budidaya
Tanaman sagu yang tumbuh di Indonesia umumnya masih merupakan
hutan yang tumbuh liar. Kalaupun terdapat usaha budidaya sagu, masih dilakukan
secara sangat terbatas, yaitu hanya dilakukan penanaman, setelah itu tidak ada
tindakan budidaya lainnya, misalnya pemupukan. Karena usaha budidaya secara
optimal belum dilakukan, maka hasil sagu yang diperoleh selama ini berasal dari
pengolahan pohon-pohon sagu yang masih tumbuh liar pada kawasan yang
letaknya terpencil di pedalaman (Taridala 1999).
Suryana (2007) dalam Dewi (2009) mengungkapkan bahwa pemeliharaan
tanaman sagu yang dilakukan oleh petani hanya dalam bentuk pembersihan kebun
dan penjarangan anakan. Penjarangan anakan sagu berfungsi untuk mengurangi
persaingan pertumbuhan antar anakan dan untuk meningkatkan produktivitasnya.

9

Selain itu, penjarangan anakan juga berfungsi untuk mendukung pertumbuhan
induk tanaman (Jong 2007 dalam Dewi 2009).
Di Maluku tumbuhan sagu merupakan komoditi kehutanan karena tumbuh
secara alami dan belum dibudidayakan (Hutuely dan Bustaman 2008; Alfons
2011). Adapun tindakan pemeliharaan tanaman sagu dilakukan secara terbatas
hanya pada rumpun yang dipanen batangnya untuk pengolahan empulur, atau saat
pengambilan daun untuk atap rumah dan “gaba-gaba”/pelepah untuk dinding
rumah. Tindakan pemeliharaan yang dilakukan petani/penggarap adalah
membersihkan gulma, memotong pelepah daun yang sudah tua, dan
membersihkan pangkal pohon apabila hendak ditebang. Tindakan budidaya
lainnya seperti pemupukan, pengaturan drainase, pemberantasan hama dan
penyakit belum dilaksanakan (Alfons 2011).
Status Kepemilikan Lahan
Henanto (1992) dalam Taridala (1999) melaporkan mengenai hasil
penelitiannya di daerah-daerah pertumbuhan sagu utama, bahwa pada umumnya
hutan (kebun) sagu merupakan milik “keluarga”, marga (clan), dan hutan sagu
milik desa. Setiap keluarga atau clan memiliki kebun sagu yang dikuasai
sepenuhnya oleh keluarga atau marga atas dasar warisan dari orang tua. Anggota
keluarga atau marga dapat mengolah sagu di areal milik keluarga masing-masing.
Kebun sagu diwariskan secara patrilineal sesuai dengan sistem garis keturunan
yang dianut. Sedangkan untuk lahan milik desa, masing-masing warga memiliki
hak ulayat atas penggunaan tanah tersebut untuk keperluan berladang, berburu
binatang hutan, dan pengumpulan hasil hutan lainnya.
Demikian pula menurut Pemda–Prov. Maluku (2008), di Maluku status
lahan hutan sagu masyarakat dapat berupa tanah pusaka, tanah dati dan tanah
negeri. Pada awalnya tanah sagu merupakan milik pemerintahan negeri (desa),
kemudian berkembang menjadi tanah sagu yang diberikan kepada sekelompok
marga. Dalam hal ini tanah sagu memiliki status tanah pemerintahan negeri atau
tanah milik marga. Dalam perkembangannya, tanah dati semakin banyak berubah
menjadi tanah pusaka yang dimiliki oleh individu. Hal ini terjadi manakala ada
pembagian lahan dikalangan anggota keluarga atau marga tertentu, sehingga lahan
yang ada (termasuk sagu) dibagikan kepada tiap individu.
Produksi dan Komposisi Kimia
Umumnya secara alamiah sagu bisa dipanen setelah berumur 8–10 tahun,
namun jika dibudidayakan dengan baik umur panen ini bisa dipersingkat menjadi
6–7 tahun (Flach 1980 dalam Bustaman dan Susanto 2007). Setelah itu dengan
kemampuan selalu menumbuhkan tunas-tunas baru, sagu dapat terus-menerus
berproduksi secara ekonomis tanpa penanaman baru (Jong dan Widjono 2007).
Produksi tepung sagu basah bervariasi antara 100-500 kg/phn tergantung
jenisnya (Alfons et al. 2004 dalam Alfons dan Bustaman 2005). Jenis sagu Tuni
memiliki potensi produksi tertinggi (500 kg/phn) menyusul jenis Molat (400
kg/phn), Ihur (300 kg/phn), dan Makanaru (250 kg/phn). Jenis Duri Rotan dan
Molat Berduri memiliki potensi produksi terendah berturut-turut 100 kg dan 200
kg/pohon (Alfons dan Bustaman 2005). Menurut Flach (1977), Doelle (1998), dan
Ishizaki (1996) dalam Jong dan Widjono (2007), produksi pati sagu dapat

10

mencapai setinggi 25 ton/ha/thn. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa
komoditas pangan lainnya.
Menurut Tarigan (2001) dalam Alfons (2006), sagu sebagai bahan pangan
memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 85.9 g/100 g
dibandingkan bahan pangan beras (80.4 g), jagung (71.7 g), ubi kayu (23.7 g), dan
kentang (23.7 g). Disamping karbohidrat yang tinggi, kandungan kalori sagu
sekitar 357 kalori, relatif sama dengan kandungan kalori jagung (349 kalori)
maupun kalori beras (366 kalori). Berlina dan Karouw (2003) dalam Malawat et
al. (2008) menambahkan, bahwa komposisi kimia pati sagu hampir sama dengan
tepung singkong, tetapi kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan tepung singkong. Adapun kandungan kimia pati sagu per
100 g bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Komponen
Kalori (Kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Air (g)
Fosfor (mg)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Vitamin B1 (mg)

Jumlah
357
0.7
0.2
84.7
14
13
11
1.5
0.01

Sumber: Berlina dan Karouw 2003 dalam Malawat et al. 2008

Agroindustri Sagu dan Produk Olahannya
Agroindustri atau disebut juga agribisnis hilir merupakan bagian dari suatu
kompleks sistem agribisnis, yakni merupakan salah satu subsistem agribisnis yang
saling terkait satu sama lain dengan subsistem agribisnis hulu, subsistem
agribisnis usahatani, dan subsistem jasa penunjang. Agroindustri adalah kegiatan
terkait langsung dengan pertanian primer (on-farm business), karena agroindustri
merupakan kegiatan industri yang mengolah produk primer sektor pertanian
menjadi produk olahan (intermediate, finished product) beserta perdagangannya
(whole seller, retailer) dan konsumennya (Saragih 2010).
Agroindustri merupakan industri yang pada umumnya mengandalkan
sumber daya alam lokal yang mudah rusak (perishable), bulky/voluminous,
tergantung kondisi alam, bersifat musiman, serta teknologi dan manajemennya
akomodatif terhadap heterogenitas sumber daya manusia (dari tingkat sederhana
sampai teknologi maju) dengan kandungan bahan baku lokal yang tinggi.
Agroindustri memiliki peranan strategis dalam upaya pemenuhan bahan
kebutuhan pokok, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan
produksi dalam negeri, perolehan devisa, pengembangan sektor ekonomi lainnya,
serta perbaikan perekonomian masyarakat di pedesaan. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik dari industri ini yang memiliki keunggulan komparatif berupa
penggunaan bahan baku yang berasal dari sumber daya alam yang tersedia di
dalam negeri (Direktorat Jenderal IKAH 2004 dalam Supriyati dan Suryani 2006).

11

Adapun agroindustri adalah kegiatan dengan ciri-ciri: (a) meningkatkan
nilai tambah; (b) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau
dimakan; (c) meningkatkan daya simpan; dan (d) menambah pendapatan dan
keuntungan produsen (Hicks 1995 dalam Tarigan dan Ariningsih 2007). Struktur
agroindustri menurut kriteria jumlah tenaga kerja terdiri dari: (1) Industri Rumah
Tangga dengan tenaga kerja berjumlah 1–4 orang; (2) Industri Kecil, 5–19 orang;
(3) Industri Menengah, 20–99 orang; dan (4) Industri Besar, 100 orang ke atas
(Supriyati dan Suryani 2006).
Berdasarkan produk yang dihasilkan, kegiatan agroindustri termasuk pada
kegiatan yang melakukan perubahan bentuk. Sagu yang diolah dapat digunakan
sebagai bahan baku berbagai macam industri. Menurut Taridala (1999), sagu
dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri modern baik industri pangan maupun
industri non-pangan, yaitu sebagai substitusi dari penggunaan jenis tepung lain
yang selama ini banyak dipenuhi kebutuhannya dari kegiatan impor. Bahkan hasil
ikutan ataupun limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan sagu masih dapat
dimanfaatkan untuk beberapa keperluan (Lampiran 1).
Sebagai bahan makanan pokok (staple food), di Maluku sagu dikonsumsi
sehari-hari dalam bentuk papeda, sagu lempeng, sinoli, dan tutupola
(Louhenapessy et al. 2010). Pati sagu yang diolah sebagai makanan pokok
biasanya dikonsumsi bersama-sama dengan sayuran maupun lauk-pauk (terutama
ikan, daging, dan sumber protein lainnya yang nilai gizinya sangat tinggi).
Dengan demikian secara kualitas kandungan gizi lauk pauk yang dikonsumsi
dengan makanan pokok dari sagu dapat menutupi kandungan gizi yang relatif
rendah dari sagu (Taridala 1999). Selain itu, pati sagu juga digunakan dalam
industri rumah tangga untuk pembuatan makanan ringan seperti bagea, bangket
sagu, sagu gula, sarut, dan sagu tumbuk. Serta dapat juga diolah menjadi
penganan basah berupa buburnee, dan bubur sagu (Alfons dan Bustaman 2005;
Malawat et al. 2008).
Dalam industri pangan lainnya, tepung sagu dapat digunakan sebagai
bahan baku makanan ringan (empek-empek, bakso, onde-onde, dodol, cendol,
serta berbagai penganan lainnya), mie, minuman sagu bernutrisi, dan sebagai
substitusi tepung gandum dalam memproduksi kue, roti tawar, biskuit, dan
cracker. Hal ini memungkinkan berkurangnya impor terigu dari tahun ke tahun
sehingga akan menghemat devisa negara (Louhenapessy et al. 2010; Djoefrie et al.
2013).
Menurut Sialana (2008), terdapat beberapa manfaat kesehatan yang dapat
diperoleh dari mengkonsumsi produk sagu diantaranya populasi mikroflora usus
terjaga, resiko kanker usus berkurang, terhindar dari resiko kegemukan, kualitas
daya tahan tubuh terjaga, asupan kalori terkontrol, dan mengurangi kemungkinan
terjadinya diabetes, mengurangi resiko kanker pada sistem lymphatic, serta
mengurangi resiko terjadinya kanker dan tumor paru-paru. Djoefrie et al. (2013)
juga mengemukakan bahwa seiring dengan meningkatnya resiko penyakit
degeneratif dan penyakit yang disebabkan oleh kadar kolesterol dan gula darah,
pati sagu dapat digunakan sebagai makanan alternatif karena memiliki kandungan
glikemik yang rendah.

12

Pengolahan dan Pemasaran Sagu
Pengolahan Sagu Menjadi Pati Sagu Basah
Sebelum dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan, pati
sagu terlebih dulu harus diekstrak dari batang sagu. Pengolahan pati sagu dapat
dilakukan secara tradisional, semi-mekanis dan mekanis (Ratnaningsih et al.
2010). Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, proses pengolahan pati sagu
yang dilakukan di Maluku dapat dikelompokkan atas pengolahan secara
tradisional dan semi mekanis (Alfons dan Bustaman 2005).
Tahapan proses pengolahan pati sagu secara tradisional meliputi
penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan batang, penokokan atau
penghancuran empulur, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengemasan
pati sagu. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan pati sagu secara
tradisional masih sederhana, yaitu terdiri atas: (1) kapak dan parang untuk
penebangan pohon; (2) nani untuk penghancuran empulur sagu; dan (3) goti untuk
proses ekstraksi pati sagu (pemerasan, penyaringan, dan pengendapan). Nani
terbuat dari bambu dan kayu, sedangkan goti terdiri atas: (1) tawaer terbuat dari
kulit batang sagu (waa) sebagai wadah pengendapan pati sagu; (2) sahani (bagian
pangkal daun sagu) dan runut kelapa (leaves basket, semacam jala yang
membungkus pelepah kelapa) sebagai wadah pemerasan dan penyaringan pati
sagu (Alfons dan Bustaman 2005).
Tahapan akhir dari proses pengolahan pati sagu yakni pengemasan. Pati
yang dihasilkan masih dalam keadaan basah, kemudian dikemas dalam wadah
yang disebut tumang. Tumang terbuat dari anyaman daun sagu, berbentuk silinder
dengan diameter alas lebih besar dibandingkan dengan diameter atas dan bagian
alas tertutup. Ukuran tumang bervariasi dengan panjang 25–50 cm, diameter alas
20–30 cm, dan diameter atas 15–25 cm. Berat tumang yang terisi pati basah
berkisar 10–15 kg (Alfons dan Bustaman 2005).
Pengolahan pati sagu secara semi-mekanis prinsip kerjanya sama dengan
pengolahan secara tradisional, hanya pada bagian tertentu menggunakan alat
mesin. Misalnya penebangan pohon sagu menggunakan mesin “chainsow” dan
penghancur empulur sagu menggunakan mesin parut, sedangkan proses
pemeras