Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Pengujian Kayu Bulat Dalam Penatausahaan Hasil Hutan Alam Di Kalimantan Tengah.

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN TENAGA TEKNIS PENGUJIAN
KAYU BULAT DALAM PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
ALAM DI KALIMANTAN TENGAH

HAJRAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Kebijakan
Tenaga Teknis Pengujian Kayu Bulat dalam Penatausahaan Hasil Hutan Alam di
Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Hajrah
NIM E151130091

RINGKASAN
HAJRAH. Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Pengujian Kayu Bulat dalam
Penatausahaan Hasil Hutan Alam di Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh
HARIADI KARTODIHARDJO dan BRAMASTO NUGROHO.
Pengusahaan hutan di luar pulau Jawa berkembang sejak diterbitkannya PP
Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Berbagai institusi dibuat untuk mengatur
pengelolaannya, diantaranya melalui peraturan penatausahaan hasil hutan (PUHH).
Kegiatan PUHH melibatkan tenaga teknis yang disebut GANISPHPL–PKB–R
dan WAS–GANISPHPL–PKB–R. Terdapat kecenderungan peningkatan tenaga
teknis dalam pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah namun tidak diimbangi
dengan peningkatan PSDH–DR dan kelestarian usaha.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perkembangan kebijakan
(dinamika kelembagaan) dan efektivitas tenaga teknis penguji kayu bulat dikaitkan
dengan tujuan kebijakan PUHH. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori

principal–agent, content analysis, policy process analysis, dan institutional and
organisational development analysis. Perkembangan kebijakan dilakukan untuk
melihat narasi yang mendasari setiap perubahan kebijakan, aktor yang dominan
dan kepentingan dibaliknya. Efektivitas tenaga teknis mengacu pada tujuan
kebijakan PUHH, yaitu: a) mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan yang
ditunjukkan dengan kepatuhan membayar PSDH–DR; b) pengendalian produksi
kayu bulat; c) pengendalian peredaran kayu bulat; d) pengendalian penerimaan
kayu bulat; e) pengurangan biaya transaksi; f) peningkatan harga jual kayu bulat;
dan g) proyeksi standing stock IUPHHK–HA guna melihat kemampuan
keberlanjutan produksinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak periode 1990 sampai dengan
2014 kebijakan kebijakan tenaga teknis dalam kegiatan PUHH hampir tidak
mengalami perubahan secara substantif. Kemenhut sebagai principal murni
menjadi aktor utama dalam setiap perubahan kebijakan tersebut. Biaya
pengawasan yang dibebankan kepada agent selaku pihak yang diawasi
menimbulkan konflik kepentingan baik pada principal maupun agent, sehingga
berakibat pada ketidakefektifan tenaga teknis dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk menghindari hal tersebut maka sumber daya untuk keperluan pengawasan
harusnya menjadi tanggung jawab principal. Kemajuan teknologi saat ini dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan penatausahaan hasil hutan.

Kata kunci:

efektivitas, penatausahaan hasil hutan, tenaga teknis PHPL, teori
agensi

SUMMARY
HAJRAH. The Effectiveness of Grader Policy in Natural Forest Product
Administration System in Central Kalimantan. Supervised by HARIADI
KARTODIHARDJO and BRAMASTO NUGROHO.
Forest utilization in outside of Java has grown since the issueance of
Government Regulation No. 21/1970 regulating on Forest Concession Right
(HPH) and Forest Products Collection Right (HPHH). Various institutions has
been established to arrange its management. One of those regulations is the forest
products administrations system (PUHH). The activity of PUHH include log
grader named as GANISPHPL–PKB–R and WAS–GANISPHPL–PKB–R. There
is an indication of increment of them in forest utilisation in Central Kalimantan
which has not followed by increment of Forest Resource Provisions and
Reforestation Fund (PSDH–DR) and the sustainability of forestry business.
The purpose of this study is to analyse the policies development (institution
dynamic) and the effectiveness of grader related in the objectives of PUHH

policies. This study uses principal–agent theory, content analysis, policy process
analysis, and institutional and organisational development analysis. The evolution
of policies conducted to identify the naration that influences any policy
adjustment and the dominant actors including their interests. Grader effectiveness
refer to the purpose of they involvement in PUHH activities, consists of: a) to
secure forest products as goverment‟s right which is proved by the obligation in
fulfilling the PSDH–DR; b) to control logs productions; c) to control logs
distributions; d) to control logs movement; e) to reduce transaction cost; f) to
increase timber price; g) to predict standing stock that indicating sustainable
production capacity.
The results showed that since 1990 until 2014 the policies of grader in
PUHH activity did not indicate any significant substantial adjustment. Ministry of
Forestry as the principal plays its role as the main actor in every adjustment of the
policies. Monitoring cost which is obligated to the agents as the supervised parties
has resulted conflict of interest among the principal and the agents that cause lack
of efectiveness showed by grader in accomplishing the tasks. To avoid that
condition, the responsibility of monitoring has to be obligated to the principal.
The technology development nowadays can be utilised to improve forest products
administration system.
Keywords: agency theory, effectiveness, forest products administration system, grader,

scaler

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN TENAGA TEKNIS PENGUJIAN
KAYU BULAT DALAM PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
ALAM DI KALIMANTAN TENGAH

HAJRAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Teddy Rusolono, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia–
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan Juni 2015 ini
ialah kebijakan, dengan judul Efektivitas Kebijakan Tenaga Teknis Pengujian
Kayu Bulat dalam Penatausahaan Hasil Hutan Alam di Kalimantan Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hariadi
Kartodihardjo, MS dan Bapak Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS selaku
pembimbing, serta Bapak Dr Ir Teddy Rusolono, MSi yang telah banyak memberi

saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Lystia
Kusumawardhani dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bapak
Djarot Wahyudi, SHut dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Bapak
Kuswandi, SHut dan Bapak Dedy Karyanson, SHut dari Dinas Kehutanan
Kabupaten Katingan, Bapak Lasmari dan Bapak Ir Achwan Hadisaputro dari
PT. Dwimajaya Utama, Bapak Ir Emon Sulaiman dari PT. Sari Bumi Kusuma dan
Ibu Yuliana Suryani, SHut dari PT. Indexim Utama Corp. atas kesediaannya
membantu pengumpulan data. Bapak Ir Iman Rusmana, Bapak Akhmad Sodiq, SP
MSi dan rekan-rekan BP2HP Wilayah XII Palangka Raya atas dukungannya.
Teman-teman seperjuangan IPH angkatan 2013 atas kerja samanya. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada nenek tercinta Hj Halmiah Muke, BA,
ayahanda Drs M. Aring, ME, ibunda Farida, suami Andri, AMd Vet, kedua putri
putra Aira Azkia dan A. Yusuf Zidan serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Hajrah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


x

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

DAFTAR SINGKATAN ISTILAH

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
8
8
9
9

TINJAUAN PUSTAKA
Efektivitas Kebijakan
Tenaga Teknis
Penatausahaan Hasil Hutan
Kelembagaan
Policy Process Analysis
Agency theory
Institutional and Organisational Development Analysis


9
9
9
10
11
11
12
13

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
Analisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan)
Analisis Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R

13
13
14

14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Kebijakan (Dinamika Kelembagaan)
Tenaga Teknis PHPL-PKB-R dalam PUHH
Narasi perubahan kebijakan
Peran tenaga teknis
Bentuk pengawasan
Pengangkatan GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R
Penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R
Insentif dan sanksi
SI–PUHH online
Post Audit
Hubungan principal–agent

19

15

19
19
29
34
36
37
39
41
43
44

Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R
Kepatuhan IUPHHK–HA membayar PSDH–DR
Pengendalian produksi kayu bulat
Pengendalian peredaran kayu bulat
Pengendalian penerimaan kayu bulat
Pengurangan biaya transaksi
Peningkatan harga jual kayu bulat
Kondisi standing stock
Efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R
dari perspektif principal dan agent

46
46
49
52
54
57
58
59
60

SINTESIS HASIL PENELITIAN

61

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

67
67
68

DAFTAR PUSTAKA

69

RIWAYAT HIDUP

81

DAFTAR TABEL
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Perbandingan jumlah unit IUPHHK–HA, luas RKT, jumlah produksi
kayu bulat, pendapatan PSDH–DR, serta jumlah GANISPHPL–PKB–
R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di provinsi Kalimantan Tengah
Luas areal, kebutuhan minimal dan kepemilikan GANISPHPL–PKB–
R pada tiga unit contoh IUPHHK–HA
Matriks metode penelitian
Perbandingan perubahan kebijakan terhadap keberadaan tenaga teknis
dalam PUHH
Narasi, aktor, dan kepentingan dalam setiap perubahan kebijakan
tenaga teknis dalam kegiatan PUHH
Periodisasi peran tenaga teknis penguji kayu bulat
Peran, tugas dan wewenang GANISPHPL–PKB–R dan WAS–
GANISPHPL–PKB–R
Kontrak yang tertuang dalam SK IUPHHK–HA
Perbandingan kewajiban dan pembayaran PSDH dan DR berdasarkan
pengesahan LHP pada tiga unit contoh
Perbandingan estimasi potensi PSDH–DR dan PSDH–DR yang
terpungut pada 3 unit contoh
Jumlah transaksi, frekuensi tepat waktu, frekuensi keterlambatan dan
pengenaan denda pembayaran PSDH–DR
Perbandingan target dan realisasi RKT serta penggunaan alat pada tiga
unit contoh

4
13
17
21
27
30
32
45
47
47
48
50

13.

14.
15.
16.
17.
18.
19.

Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R
dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan pengendalian
produksi kayu
Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R
dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan peredaran kayu
Perbandingan mutasi kayu di TPK Hutan dan TPK Antara pada tiga
unit contoh
Perspektif informan kunci terhadap keberadaan GANISPHPL–PKB–R
dan WAS–GANISPHPHPL–PKB–R dalam kegiatan penerimaan kayu
Besaran biaya yang dikeluarkan IUPHHK–HA*)
Perbandingan harga kayu bulat jenis meranti pada pasar domestik dan
internasional
Penentuan efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–
PKB–R

51
53
54
56
57
58
60

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

11.
12.
13.
14.
15.

Luas areal IUPHHK-HA dari tahun ke tahun
Jumlah IUPHHK-HA dari tahun ke tahun
Jumlah GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di
Prov. Kalimantan Tengah tahun 2009–2013
Kerangka pikir penelitian
Alur identifikasi DFID
Perubahan peraturan PUHH dan tenaga teknis PHPL
Alur titik kontrol pada kegiatan PUHH
Proses pengangkatan GANISPHPL–PKB–R
Proses pengangkatan WAS–GANISPHPL–PKB–R
Hasil penilaian kinerja GANISPHPL–PKB–R dan WAS–
GANISPHPL–PKB–R tiga tahun terakhir di Provinsi Kalimantan
Tengah
Perkembangan IUPHHK di Provinsi Kalteng yang menerapkan
SI–PUHH online
Perbandingan data realisasi produksi antara Dishut Kab. Katingan,
Dishut Prov. Kalteng, BP2HP P.Raya dan SI–PUHH online
Hubungan principal–agent dalam kegiatan PUHH di hutan alam
Perbandingan proyeksi IHMB, usulan RKT dan realisasi RKT pada
tiga unit contoh
Identifikasi fungsi WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegatan PUHH

3
3
4
7
16
20
35
36
37

38
42
42
44
59
67

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.

Perubahan mekanisme pengangkatan petugas PUHH
Jenis pelanggaran dan sanksi terkait keberadaan GANISPHPL–PKB–R
dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH
Jenis pelanggaran dan sanksi terhadap GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam kegiatan PUHH

76
78
80

DAFTAR SINGKATAN ISTILAH
AAC
APHI
BP2HP
BPKH
CDK
Dephut
DFID
Ditjen PHPL
DKB
DKBK
DKBS
DR
FA–KB
GANISPHPL–PKB–R

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

HPH
IDS
IHH
IHMB
IPHHK
ITSP
IUPHHK–HA
JPT
KBBI
Kepmenhut
Kepmenhutbun
Keppres
KLHK
KPHP
LHC
LHP

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Annual Allowance Cut
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
Cabang Dinas Kehutanan
Departemen Kehutanan
Department for International Development
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Daftar Kayu Bulat
Daftar Kayu Bulat Kecil
Daftar Kayu Bulat Sedang
Dana Reboisasi
Faktur Angkutan Kayu Bulat
Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Pengujian Kayu
Bulat Rimba
Hak Pengusahaan Hutan
Institute of Development Studies
Iuran Hasil Hutan
Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala
Industri Primer Hasil Hutan Kayu
Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam
Jatah Produksi Tebangan
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Keputusan Menteri Kehutanan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Keputusan Presiden
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
Laporan Hasil Cruising
Laporan Hasil Produksi

LRP
P2LHP
P2SKSHH
P2SKSKB
Perdirjen BPK
Permenhut
PHH
PHPL
PKBRI
PNBP
PP
PPHH
PPKBRI
PSDH
PUHH
Pusdiklat
RIL
RPH
RPKB
Sekditjen
SAKB
SI–PUHH
SK
SKSHH
SKSHHK
SPP
SPT
STTPP
TPK
TPn
TUHH
TUK
WAS– GANISPHPL–
PKB–R

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Laporan Realisasi Penjualan/Penyerahan
Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi
Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Peraturan Menteri Kehutanan
Penguji Hasil Hutan
Pengawas Penguji Hasil Hutan
Penguji Kayu Bulat Rimba Indonesia
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Peraturan Pemerintah
Pengawas Penguji Hasil Hutan
Pengawas Penguji Kayu Bulat Rimba Indonesia
Provisi Sumber Daya Hutan
Penatausahaan Hasil Hutan
Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Reduced Impact Logging
Resort Pemangkuan Hutan
Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat
Sekretariat Direktorat Jenderal
Surat Angkutan Kayu Bulat
Sistim Informasi Penatausahaan Hasil Hutan
Surat Keputusan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu
Surat Perintah Pembayaran
Surat Perintah Tugas
Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan
Tempat Penimbunan Kayu
Tempat Pengumpulan Kayu
Tata Usaha Hasil Hutan
Tata Usaha Kayu
Pengawas Tenaga Teknis Pnegelolaan Hutan Produksi Lestari
Pengujian Kayu Bulat Rimba

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengusahaan hutan berkembang sejak berdirinya Orde Baru, yaitu ketika
diterbitkannya PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Pemerintah selaku pihak yang
diberikan mandat untuk mengatur dan mengurus hutan–karena keterbatasan modal
dan teknologi serta mempunyai tujuan publik–membuat kebijakan pengusahaan
hutan yang pelaksanaannya tidak harus dilakukannya sendiri secara langsung,
melainkan sebagian diserahkan kepada pihak swasta yang memiliki keahlian
dibidangnya (Soedomo 2012).
Menurut Nugroho (2008a) hubungan pemerintah dan swasta tersebut dapat
digambarkan sebagai hubungan kontraktual antara principal dan agent. Principal
(pemerintah) merupakan pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain, yaitu
agent (pemegang IUPHHK–HA) untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hasil
hutan. Dalam teori agency, agent bertindak atas nama principal dan bergantung
kepada kontrol principal (Kim 2011; Muller dan Turner 2005). Namun baik
principal maupun agent melakukan tindakan yang dimotivasi oleh keinginan
untuk memenuhi kepentingannya masing-masing (Kaskarelis 2010). Kondisi ini
kemudian menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara principal
dan agent. Principal ingin memaksimumkan kelestarian hutan produksi sementara
agent ingin memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya dengan waktu yang
sesingkat-singkatnya (Nugroho 2003).
Permasalahan yang terjadi dalam hubungan principal–agent pengusahaan
hutan disebabkan oleh ketidaksepadanan informasi (asymmetric information) dan
bentuk pemindahan hak kepemilikan (transfer of rights) dari principal kepada
agent (Nugroho 2003). Ketidaksepadanan informasi muncul karena informasi
yang dimiliki salah satu pihak (principal atau agent) tidak sama (Bowers 2005;
Yustika 2012). Pemegang izin mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan akses
terhadap informasi yang lebih unggul dibanding pemerintah terkait sumber daya
yang terdapat dalam hutan yang dikelola, sementara pemerintah mendominasi
informasi kebijakan pengelolaan hutan (Zubayr 2014). Kondisi ini kemudian
memicu perilaku moral hazard 1 baik oleh pemegang ijin maupun oknum
pemerintah.
Nugroho (2003) mengemukakan bahwa bentuk pemindahan hak
kepemilikan 2 dalam konteks pengusahaan hutan adalah bersifat sementara
sekaligus permanen. Bersifat sementara karena areal hutan tidak ditetapkan
sebagai aset tetap pemegang izin dan akan dikembalikan kepada negara setelah
masa konsesi berakhir. Bersifat permanen karena pohon/tegakan yang ditebang,
langsung dijual oleh pemegang IUPHHK-HA dan pemerintah tidak akan
mendapatkan kembali pohon tersebut. Oleh karena itu, sebagai kompensasinya
1

Moral hazard merupakan keadaan yang berkaitan dengan sifat, pembawaan, dan karakter
manusia yang dapat menambah besarnya kerugian dibandingkan dengan resiko rata-rata, seperti
perilaku oportunistik dan korupsi dalam pengelolaan hutan.
2
Bentuk hak kepemilikan dapat bersifat sementara seperti sewa-menyewa dan dapat bersifat
permanen seperti jual–beli.

2
pemerintah mengenakan pungutan-pungutan diantaranya pungutan PSDH–DR
(Nugroho 2008a). Sementara menurut Kartodihardjo (1998), permasalahan
pengusahaan hutan alam produksi berkaitan dengan dua kondisi, yaitu adanya
kepentingan pemerintah dan pemegang IUPHHK-HA untuk memanfaatkan
sumber daya hutan yang bersifat konflik dan tingginya biaya yang diperlukan
untuk mengontrol pelaksanaan kontrak.
Kontrol menjadi hal penting dalam hubungan principal–agent, karena sulit
untuk mempercayai bahwa agent akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan
principal (Kim 2011; Muller dan Turner 2005). Oleh karena itu pemerintah
menetapkan bagaimana pemegang IUPHHK-HA memperlakukan sumber daya
yang dikuasai oleh pemerintah melalui pembentukan institusi (Kartodihardjo
1998; Nugroho 2008). Salah satu bentuk kontrol oleh pemerintah adalah melalui
peraturan penatausahaan hasil hutan (PUHH) yang didalamnya mengandung
kewajiban pemegang IUPHHK-HA untuk mempekerjakan tenaga teknis, dalam
hal ini tenaga teknis bidang pengujian kayu bulat rimba (GANISPHPL–PKB–R).
Pengawasan terhadap GANISPHPL–PKB–R dilakukan oleh WAS–GANISPHPL–PKB–R3.
PUHH dan tenaga teknis saling terkait karena hampir pada semua level
kegiatan dalam PUHH melibatkan tenaga teknis. PUHH pada hutan alam
bertujuan memperoleh hak-hak negara berupa PNBP (PSDH–DR) secara optimal
dan untuk menjamin legalitas kayu yang dimanfaatkan oleh pemegang IUPHHKHA (Kemenhut 2014a). GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R
mempunyai kompetensi untuk melakukan pengukuran dan pengujian kayu bulat
serta melakukan PUHH yang berasal dari hutan alam (Kemenhut 2014b).
Pengukuran dan pengujian kayu bulat merupakan kegiatan untuk menetapkan
jenis, volume, dan kualita kayu yang menjadi dasar penarikan PSDH–DR
(Kemenhut 2014a). Di samping itu pelaksanaan pengukuran dan pengujian kayu
juga mempunyai tujuan mengetahui harga jual, sebagai dasar perhitungan laba–
rugi pemegang izin dan upah/gaji karyawan pemegang izin, serta sebagai dasar
untuk menentukan kualitas dan umur tegakan baik dari aspek ekonomi maupun
aspek ekologi (Kemenhut 2011).
Penelitian Pineros dan Lewis (2013) di Meksiko menunjukkan bahwa
perubahan preferensi masyarakat terhadap indikator PHPL salah satunya adalah
pentingnya bantuan tenaga profesional. Keberadaan tenaga teknis yang memiliki
keterampilan, pengalaman dan kemampuan dipercaya mampu menyumbangkan
nilai ekonomi bagi pemegang izin sehingga tenaga teknis yang berkualitas dapat
disejajarkan dengan modal fisik ataupun sumber daya alam (Muis 2013;
Hardjanto 2002). Teknik-teknik yang diperoleh tenaga teknis melalui pelatihan
dapat meningkatkan keterampilan mereka dan dapat menjamin perspektif
pekerjaan yang lebih baik serta membawa dampak positif bagi unit manajemen
(Egan 2005; Tsioras 2010).
Paparan tersebut di atas mengandung makna bahwa keberadaan tenaga
teknis dalam PUHH diharapkan mampu mendukung upaya melindungi hak-hak
negara dan terciptanya pengelolaan hutan produksi yang lestari. Namun
berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, baik
luas konsesi maupun jumlah pemegang IUPHHK-HA menunjukkan fluktuasi
3

GANISPHPL–PKB–R adalah karyawan yang bekerja pada unit IUPHHK-HA, sedangkan WAS–
GANISPHPL–PKB–R adalah pegawai pemerintah yang bekerja pada instansi kehutanan

3

Luas areal IUPHHK-HA
(juta ha)

dengan trend yang menurun (Gambar 1 dan 2). Praktik kayu ilegal juga masih
kerap terjadi–dalam konteks ini–seperti penebangan di luar batas-batas konsesi,
penebangan melebihi batas yang diijinkan, menghindari royalti dan kewajiban
dengan melakukan pengukuran dan pengujian serta membuat laporan yang tidak
sesuai, penetapan harga kayu yang lebih rendah, salah dalam menetapkan jenis,
dan pemalsuan dokumen legalitas kayu seperti pemalsuan tanda tangan, stempel
palsu, dan keterangan yang tidak sesuai dalam mengisi dokumen (Casson dan
Obidzinski 2002; Callister 1999; Budiono 2007). Dapat dikatakan keberadaan
tenaga teknis belum efektif dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Budiono
(2007) menguatkan hal ini yang dalam penelitiannya menemukan bahwa secara
teknis kegiatan pengawasan belum efektif dalam mewujudkan ketertiban dan
kelancaran PUHH.
60
50
40
30
20
10
0

Tahun

Jumlah IUPHHK-HA (unit)

Gambar 1 Luas areal IUPHHK-HA dari tahun ke tahun
(Sumber: Kemenhut 2012)

600
500
400
300
200
100
0

Tahun

Gambar 2 Jumlah IUPHHK-HA dari tahun ke tahun
(Sumber: Kemenhut 2012)

4

Orang

Kalimantan Tengah saat ini memiliki hutan produksi terluas kedua secara
nasional yaitu 9.74 juta ha (Kemenhut 2012). Jumlah GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R menunjukkan trend meningkat (Gambar 3).
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

Ganis
Wasganis

2009

2010

2011
Tahun

2012

2013

Gambar 3 Jumlah GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di
Prov. Kalimantan Tengah tahun 2009–2013
Jika dirata-ratakan, luasan areal kerja untuk satu orang GANISPHPL–PKB–R
dapat diawasi oleh dua orang WAS–GANISPHPL–PKB–R. Jumlah pengawas
yang lebih banyak seharusnya mampu mengendalikan kinerja dari yang diawasi,
namun fenomena yang terjadi tidaklah demikian. Peningkatan jumlah tenaga
teknis tidak serta merta diikuti dengan peningkatan PSDH–DR (Tabel 1).
Tabel 1 Perbandingan jumlah unit IUPHHK–HA, luas RKT, jumlah produksi
kayu bulat, pendapatan PSDH–DR, serta jumlah GANISPHPL–PKB–R
dan WAS–GANISPHPL–PKB–R di provinsi Kalimantan Tengah
No
.

Tahun

Jumlah
IUPHHK
–HA
(unit)*)

Luas
areal
(juta
ha)

Luas
RKT
(ribu
ha)

Volume
(m3/ha)

PSDH
(juta
Rp/ha)

DR
(juta
Rp/ha)

Ganisphpl
PKB
(ha/orang)

Wasganisphpl
PKB
(ha/orang)

1
2
3
4
5

2009
2010
2011
2012
2013

47
50
46
48
50

3.44
3.60
3.38
3.42
3.59

82.21
72.53
67.72
77.88
73.62

25.22
25.88
28.73
25.93
25.58

1.49
1.49
1.74
1.77
1.47

3.93
4.00
4.71
4.29
3.96

404.97
298.47
235.12
238.90
186.82

233.54
189.86
171.00
194.22
203.90

Sumber: Diolah dari data Dishut Prov. Kalteng (2014) dan BP2HP Kalteng (2014)
*): IUPHHK–HA yang aktif

Paparan tersebut di atas sekaligus menunjukkan bahwa aktivitas PUHH
pada hutan alam di Kalimantan Tengah saat ini masih sangat aktif. Hal ini
mengindikasikan bahwa Kalimantan Tengah sebenarnya masih bisa menjadi
harapan untuk menghidupkan kembali ekonomi kehutanan melalui usaha
kehutanan yang terbuka dan adil dengan tetap menjaga kelestarian hutan.
Kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam PUHH
seyogyanya bisa menjadi salah satu alat untuk mencapai harapan tersebut. Namun
efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R masih belum
banyak diketahui karena studi terkait tenaga teknis dalam pengelolaan hutan

5
masih sangat jarang dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
bagaimana efektivitas kebijakan pemerintah yang mewajibkan adanya tenaga
teknis dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan. Mengapa keberadaan tenaga
teknis belum mampu mendukung kelestarian usaha dan sumber daya hutan secara
optimal.
Kerangka Pemikiran
Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan untuk mengatur pengusahaan
hutan. Ada beberapa kegiatan yang dianggap harus dilaksanakan oleh tenaga
teknis yang berkualifikasi di bidang tertentu. Salah satunya adalah kegiatan
pengukuran dan pengujian kayu bulat. Pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan
kebijakan tersendiri terkait GANISPHPL dan WAS-GANISPHPL melalui
Permenhut Nomor P.58/Menhut–II/2008 dan kemudian diganti dengan
P.54/Menhut–II/2014. Kebijakan terkait PUHH telah beberapa kali mengalami
perubahan, terakhir dengan Permenhut Nomor P.41/Menhut–II/2014.
Perubahan kebijakan sebagai bentuk penyempurnaan institusi seyogyanya
mampu menjawab persoalan-persoalan yang tidak lagi dapat dikendalikan pada
kebijakan sebelumnya. Perubahan institusi menjadi tidak efektif jika hasil yang
diperoleh belum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Polri (2010)
mengemukakan bahwa seringnya perubahan Permenhut terkait PUHH dan
terkesan sulit dilaksanakan menyebabkan pemegang IUPHHK-HA cenderung
untuk mengabaikannya sehingga menimbulkan pelanggaran-pelanggaran.
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pelaksana kebijakan serta lemahnya
sistim pengawasan ikut mendukung hal tersebut (Suharto 2005). Kartodihardjo (2013)
mengungkapkan, seringkali pengawas tidak memperhatikan apakah pelaksanaan
peraturan mencapai tujuan dari peraturan atau tidak, yang penting adalah
memastikan bahwa subyek pelaksana melaksanakan peraturan tersebut dan secara
administrasi sudah terpenuhi. Hal ini kemudian memberikan peluang perilaku
oportunistik 4 dan membuka ruang negosiasi atas hasil pengawasan yang
dilakukan. Menurut Hamilton (1997) satu-satunya cara untuk menghindari
ancaman berat terhadap keberlangsungan penebangan hutan tropis di Indonesia
adalah bergantung pada penegakan hukum dan kebijakan pemerintah yang efektif.
Lane (2013) mengemukakan bahwa model principal–agent dapat digunakan
untuk melihat permasalahan dalam interaksi antara principal dan agent terkait
dengan perumusan dan implementasi kebijakan. Pemerintah bertindak sebagai
principal untuk agent dalam pelayanan publik. Penggunaan agency theory dalam
kajian kebijakan memberikan kemudahan dalam menganalisis hubungan, peranan,
tanggungjawab, perilaku, risiko dan prediksi terhadap hasil yang akan diperoleh
(Zubayr 2014).
Masalah agensi antara pemerintah (principal) dan pemegang IUPHHK–HA
(agent) tidak lepas dari adanya perbedaan hak kepemilikan (property rights)
antara principal dan agent. Property rights merupakan otoritas hukum untuk
melakukan tindakan tertentu dalam domain tertentu (Ostrom dan Hess 2007).
Terdapat lima bentuk hak kepemilikan yaitu a) access–hak untuk memasuki suatu
4

Perilaku oportunistik adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktik yang tidak
jujur dalam kegiatan transaksi.

6
areal; b) withdrawal–hak untuk memanfaatkan atau memanen suatu produk sumber
daya; c) management–hak untuk mengatur pola pemanfaatan/pemanenan dan
mengubah sumber daya; d) exclusion–hak untuk menentukan siapa lagi yang akan
memiliki hak untuk mengakses sumber daya dan cara untuk mentransfer sumber
daya; e) alienation–hak untuk menjual atau menyewakan hak (Ostrom 2008).
Hak kepemilikan yang lemah akan menyebabkan sumber daya menjadi over
eksploitasi karena tidak ada yang menentukan keikutsertaan pihak lain, sehingga
pencurian akan sumber daya beresiko tinggi (Hotte et al. 2013). Biasanya agent
memiliki proporsi kepemilikan yang sangat kecil sehingga mempunyai
kecenderungan mengambil keputusan yang kurang sejalan dengan kepentingan
principal tanpa sepengetahuan principal (Kim 2011). Pemisahan fungsi sebagai
pemilik dan sebagai pengelola ini dapat memberikan keleluasaan bagi pengelola
untuk memaksimalkan laba. Di sisi lain, individu di tempat kerjanya dimotivasi
oleh suatu keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhannya. Masing-masing
individu mempunyai perspektif, tujuan, dan kemampuan yang berbeda-beda.
Variasi sifat individu ini menyebabkan perilaku yang berbeda satu sama lain yang
memberikan pengaruh langsung terhadap efektivitas institusi (Tangkilisan 2005).
Bowers (2005) mengemukakan tiga alasan kegagalan kebijakan dalam
kerangka principal–agent. Pertama, moral hazard yang timbul dari adanya
informasi asimetris. Principal tidak dapat mengamati pengelolaan sumber daya
oleh agent secara langsung. Dengan demikian agent memperoleh insentif dengan
tidak melaksanakan kewajiban pengelolaan dan melimpahkan kesalahan pada
faktor-faktor eksogen sehingga dalam pengetahuan principal tidak terdapat bukti
yang diperlukan untuk menegakkan peraturan. Kedua, first mover (penggerak
pertama) yang mengambil peluang sebelum terjadinya perubahan kebijakan.
Keterlambatan perubahan suatu kebijakan akan dimanfaatkan oleh agent (karena
informasi yang dimilikinya) untuk melanggar kebijakan tersebut ketika
keuntungan pelanggaran lebih besar dari sanksi. Ketiga, adverse selection yaitu
seleksi agent yang tidak sesuai. Akibatnya principal menghadapi dua resiko yaitu:
1) salah memilih agent yang sesuai dengan keinginannya (adverse selection of
risk) pada ex ante (sebelum kontrak dibuat); dan 2) agent ingkar janji (moral
hazard) pada ex post (setelah kontrak disepakati) (Nugroho 2003).
Efektivitas suatu kebijakan juga ditentukan oleh lembaga yang terkait di
dalamnya. Peran lembaga berhubungan dengan fungsi dari lembaga itu sendiri.
Lembaga dikatakan berperan jika telah menjalankan fungsinya dan dikatakan
efektif jika peran tersebut bekerja dengan baik dan tujuan lembaga dapat tercapai
(Cahyono dan Tjokropandojo 2013). Pengaturan lembaga terkait tenaga teknis
dalam PUHH dimulai dari penyiapan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–
GANISPHPL–PKB–R, pengangkatan sebagai pejabat PUHH, penilaian kinerja,
sampai dengan pemberian insentif dan sanksi. Pengaturan lembaga ini diharapkan
mampu meminimumkan potensi masalah yang timbul dalam hubungan principal–
agent. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa informasi, sistim kontrak, dan proses
transaksi bisa sangat asimetris (Yustika 2012).
Kebijakan tidak hanya dilihat dari masalah teknis semata, tetapi juga
melibatkan ranah politik, ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Efektivitas pelaksanaan
kebijakan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dan perspektif dari pihak-pihak
yang terlibat yang senantiasa bersaing satu sama lain (Kartodihardjo 2008).
Kebijakan dibangun pada keberhasilan aktor dan penciptaan jaringan yang mampu

7
memanfaatkan ruang kebijakan yang muncul dari konteks, kondisi, dan waktu
tertentu (IDS 2006). Dengan demikian, pertentangan narasi dan aktor-aktor yang
terlibat serta kepentingannya sangat perlu untuk melihat apakah terdapat ruang
(policy space) untuk terjadinya perubahan kebijakan (IDS 2006; Kartodihardjo 2008).
Pada penelitian ini efektivitas kebijakan diartikan dengan tercapainya tujuan
kebijakan GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam
kegiatan PUHH. Tujuan kebijakan yang dimaksud mengacu pada Permenhut
P.41/Menhut-II/2014 dan Perdirjen BUK P.3/VI-BIKPHH/2014, yaitu:
1) mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan yang ditunjukkan dengan
kepatuhan membayar PSDH–DR; 2) mengendalikan produksi hasil hutan;
3) mengendalikan peredaran hasil hutan; 4) mengendalikan penerimaan hasil
hutan; 5) meningkatkan harga jual kayu bulat; dan 6) berkurangnya ekonomi
biaya tinggi dikaitkan dengan keberadaan GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R. Untuk melihat kemampuan IUPHHK–HA
mempertahankan kemampuan produksinya maka penelitian ini juga akan melihat
kondisi standing stock berdasarkan proyeksi IHMB.
Hubungan kontraktual
pemerintah (principal) dan
pemegang IUPHHK-HA
(agent)
Temporary transfer
of right

Asymmetric
information
PUHH pada
HA
GANISPHPL–
PKB–R

WAS–GANISPHPL–
PKB–R

Narasi dan kelembagaan dalam
setiap perubahan kebijakan
PUHH

Kepatuhan IUPHHK–HA
membayar PSDH–DR,
pengendalian produksi–
peredaran–penerimaan KB,
pengurangan biaya transaksi,
peningkatan harga jual kayu,
kondisi standing stock
Agency theory, policy process
analysis, institutional and
organizational analysis

Content analisys, policy process
analysis, agency theory

Efektivitas Ganis dan
Wasganis
Rekomendasi

Gambar 4 Kerangka pikir penelitian

8
Rumusan Masalah
Pengelolaan sumber daya alam akan menempatkan salah satu pihak sebagai
pemilik/penguasa sumber daya (principal) dan pihak lainnya sebagai pengelola
sumber daya (agent) yang akan saling memberikan keuntungan untuk masingmasing pihak yang terlibat (Kaskarelis 2010). Dalam konteks ini pemerintah
merupakan pihak principal dan pemegang IUPHHK–HA sebagai agent, sehingga
pemerintah perlu menetapkan bagaimana perlakuan terhadap sumber daya hutan
diperlakukan. Untuk memastikan penegakan kontrak maka pemerintah melakukan
pengawasan terhadap pemegang IUPHHK–HA.
Ketergantungan yang sangat besar pada hutan sebagai sumber pendapatan
bisa menyebabkan kerusakan yang lebih parah dan menghambat pemanfaatannya
di masa datang. Maraknya illegal logging menjadi faktor yang ikut mendorong
kerusakan tersebut. Seringkali jumlah kayu yang dilaporkan lebih rendah dari
jumlah sebenarnya (Resosudarmo 2003). Kondisi ini pada akhirnya bermuara
pada ketidaklestarian hutan produksi. Berbagai institusi telah dibuat untuk
mengatur pengelolaan hutan produksi. Perubahannya pun terbilang sering dengan
rentang waktu yang cukup singkat. Namun persoalan yang hendak diatasi tetap
saja berada pada pusaran yang sama. Hal ini terjadi akibat sulitnya keluar dari
kebiasaan yang cenderung bersifat teknis dan administratif (Kartodihardjo 2013)
dan mengabaikan fakta lain yang turut mempengaruhi kebijakan dan dinamika
kelembagaan tersebut seperti narasi/diskursus, aktor dan kepentingannya (IDS 2006;
Sutton 1999; Kartodihardjo 2008; Khan 2011).
Kehadiran GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam
PUHH diharapkan mampu mengamankan hak-hak negara atas hasil hutan
sekaligus mendukung upaya kelestarian hasil hutan melalui pengendalian
produksi dan peredaran hasil hutan. Di sisi lain pemegang IUPHHK-HA
memerlukan tenaga profesional untuk menjalankan roda perusahaan. Namun
efektivitas tenaga teknis sampai saat ini belum banyak diketahui. Berdasarkan hal
tersebut, pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) tenaga teknis
pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam kegiatan PUHH?
2. Bagaimana efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R
dikaitkan dengan tujuan kebijakan PUHH?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai efektivitas kebijakan tenaga
teknis bidang pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam penatausahaan hasil
hutan pada hutan alam. Dari tujuan utama tersebut kemudian dijabarkan sebagai
berikut:
1. Menganalisis perkembangan kebijakan (dinamika kelembagaan) tenaga teknis
pengukuran dan pengujian kayu bulat dalam kegiatan PUHH.
2. Menganalisis efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R
dikaitkan dengan tujuan kebijakan PUHH.

9
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait perkembangan kebijakan
dan efektivitas GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R dalam
kegiatan PUHH, serta sebagai bahan acuan pengembangan kebijakan tenaga
teknis kehutanan dan acuan dalam menganalisis tenaga teknis kehutanan dengan
kualifikasi yang berbeda. Dari sisi ilmiah akan menambah ilmu pengetahuan atau
sebagai sumber referensi terkait kebijakan tenaga teknis dan PUHH dalam
pengelolaan hutan produksi berdasarkan teori principal–agent dan analisis IDS.
Ruang Lingkup Penelitian
Pada saat penelitian ini dilakukan Permenhut nomor P.41/Menhut–II/2014
masih berlaku, sehingga PUHH yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu
pada peraturan tersebut. Sementara kompetensi GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R mengacu pada P.54/Menhut–II/2014. Kegiatan
PUHH dibatasi pada kegiatan yang hanya melibatkan GANISPHPL–PKB–R dan
WAS–GANISPHPL–PKB–R yaitu pengukuran dan pengujian, serta
pengangkutan/peredaran kayu bulat. Penelitian ini fokus pada upaya menjawab
rumusan permasalahan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

TINJAUAN PUSTAKA
Efektivitas Kebijakan
Efektivitas digunakan untuk menjawab apakah hasil yang diinginkan dari
tujuan kebijakan telah tercapai (Dunn 1999). Suatu kebijakan dikatakan efektif
apabila proses kebijakan dan lembaga pelaksana kebijakan menghasilkan sesuai
dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang
tersedia sebaik mungkin (Dwijowijoto 2003). Dalam organisasi, efektivitas
merujuk pada sejauh mana organisasi melaksanakan kegiatan atau fungsifungsinya sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal (Tangkilisan 2005).
Lebih lanjut Tangkilisan (2005) mengemukakan bahwa efektivitas organisasi
menyangkut dua aspek, yaitu tujuan organisasi dan bagaimana pelaksanaan fungsi
atau cara mencapai tujuan tersebut.
Dengan demikian, efektivitas merupakan suatu cara untuk mengetahui
apakah tujuan dari suatu kebijakan telah tercapai dan bagaimana pelaksanaan
kebijakan dalam mencapai tujuan tersebut.
Tenaga Teknis
Pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai
pengelolaan yang baik akan dapat menghemat sumber daya alam. Paling tidak
pengolahan dan pemakaian sumber daya alam dapat secara berdaya guna dan
berhasil guna. Secara mikro di suatu organisasi sangat penting dalam mencapai
hasil kerja yang optimal. Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia

10
merupakan bentuk investasi (human investment) dan suatu conditio sine quanom
(harus ada dan terjadi di dalam suatu organisasi) (Tangkilisan 2005). Perilaku
sumber daya manusia merupakan kunci dalam mencapai efektivitas. Jika kinerja
individu baik dan menghasilkan laba, pemberian kerja akan terus berlangsung dan
diberikan kenaikan upah, begitupula sebaliknya (Ivancevich et al. 2007).
GANISPHPL–PKB–R adalah tenaga teknis yang memiliki kompetensi
untuk melakukan pengukuran dan pengujian kayu bulat serta melakukan PUHH
yang berasal dari hutan alam. Sementara WAS–GANISPHPL–PKB–R adalah
tenaga teknis yang memiliki kompetensi yang sama dengan GANISPHPL–PKB–R
namun bertugas mengawasi, memeriksa, dan melaporkan hasil kerja
GANISPHPL–PKB–R (Kemenhut 2014b). Baik GANISPHPL–PKB–R maupun
WAS–GANISPHPL–PKB–R adalah personil yang berwenang menerbitkan
dokumen legalitas kayu.
GANISPHPL–PKB–R dan WAS–GANISPHPL–PKB–R selaku tenaga
teknis yang mempunyai legitimasi dalam peraturan perundangan kehutanan
seyogyanya mampu mendukung efektivitas kebijakan PUHH. GANISPHPL–PKB–R
bisa menjadi investasi yang berharga manakala ikut mendorong kinerja pemegang
izin. Begitu pula dengan WAS–GANISPHPL–PKB–R akan menjadi aset bagi
pemerintah ketika mampu melaksanakan tugasnya yaitu melakukan pengawasan
sekaligus memberikan pelayanan secara profesional untuk mencapai tujuan
kebijakan.
Penatausahaan Hasil Hutan
Penatausahaan hasil hutan (PUHH) kayu meliputi kegiatan pencatatan dan
pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan
pengujian, penandaan, pengangkutan/peredaran serta pengolahan hasil hutan kayu
(Kemenhut 2014a). PUHH menggunakan suatu sistim monitoring yang mengalir
secara konsisten pada setiap segmen dari hulu sampai ke hilir. PUHH bertujuan
diperolehnya hak-hak negara berupa PNBP dan menjamin hasil hutan yang
beredar berasal dari sumber atau perizinan yang sah yang telah melalui proses
verifikasi dan apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan balik. Oleh karena
itu penerbitan dan penggunaan dokumen dalam PUHH harus mempertimbangkan
4 aspek dasar yaitu aspek keamanan, aspek kepemilikan, aspek asal-usul, dan
aspek penggunaan dokumen (Kemenhut 2010).
Ruwiati (2010) menemukan kegitan PUHH dari petak tebang, TPn, TPK
Hutan dan TPK Antara memiliki tingkat efektivitas yang baik. Namun demikian
masih terdapat beberapa hal yang menyebabkan PUHH menjadi tidak efektif
antara lain kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan bahan, sistim penomoran
dan penandaan pada batang yang berlaku di perusahaan dan pengelolaan jaringan
internet.
PUHH sangat terkait dengan tenaga teknis karena hampir seluruh rangkaian
kegiatan di dalam PUHH disyaratkan untuk dilakukan oleh tenaga terampil yang
telah bersertifikasi. Agar PUHH dapat berjalan efektif secara keseluruhan maka
perlu diketahui hal yang mempengaruhi keefektifan tenaga tersebut.

11
Kelembagaan
Kelembagaan atau institusi mengacu pada aturan, norma, dan kode baik
formal maupun informal, menentukan hak dan kewajiban berbagai kelompok di
bawah aturan (Kant et al. 2005). Sementara North (1990) menekankan
kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik.
Komponen kelembagaan terdiri atas: 1) aturan formal (formal institutions)
yang meliputi konstitusi, hukum, dan seluruh regulasi pemerintah lainnya;
2) aturan informal (informal institutions) yang meliputi pengalaman, nilai-nilai
tradisional, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk perspektif
subyektif individu; dan 3) mekanisme penegakan (enforcement mechanism) yang
meliputi penegakan aturan (Yustika 2012).
Kelembagaan yang baik dicirikan oleh tiga hal. Pertama, pemaksaan
terhadap hak kepemilikan (enforcement of property right). Hak kepemilikan yang
jelas akan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kedua,
membatasi tindakan kelompok-kelompok yang berpengaruh untuk memperoleh
keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang jelas (misalnya rent–seeking)3. Ketiga,
memberikan kesempatan yang sama kepada tiap-tiap individu untuk mengerjakan
aktivitas ekonomi (Yustika 2012).
Kelemahan kelembagaan di Indonesia tidak saja terbatas pada
ketidakmampuan menegakkan aturan formal. Tetapi dipengaruhi pula oleh
kegagalan dalam menyediakan aturan main yang baik. Peraturan yang ada
diindikasikan 1) tidak memadai untuk mengatasi permasalahan; 2) struktur (isi)
yang tidak konsisten; 3) konsisten namun beresiko dalam pelaksanaannya;
4) terlalu sering berubah dan tidak tersosialisasikan dengan baik; dan 5) masih
berpotensi menimbulkan biaya transaksi tinggi (Nugroho 2013).
Policy Process Analysis
Policy process analysis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
analisis yang digunakan oleh Institute of Development Studies–IDS (2006). IDS (2006)
dalam penelitian proses kebijakan pada dasarnya bertanya bagaimana masalah dan
solusi kebijakan dibuat, oleh siapa, dan bagaimana dampak yang ditimbulkan.
Untuk menjawab pertanyaan ini IDS melakukannya dari tiga pendekatan yang
saling berhubungan yaitu:
1) pengetahuan dan diskursus (narasi kebijakan yang digunakan)
narasi yang kuat akan mempengaruhi dan mendasari suatu kebijakan. Narasi
tertanam dalam struktur lembaga tertentu, birokrasi, atau kelompok jaringan
aktor;
2) aktor dan jaringan (siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka saling
terhubung)
jaringan, koalisi, dan aliansi aktor (individu atau institusi) yang mempunyai
visi yang sama sangat penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narasi.
Penyebaran narasi dapat melalui rantai persuasi dan pengaruh seperti jurnal,
konferensi, edukasi atau introduksi informal;

12
3) politik dan kepentingan (dinamika kekuasaan yang mendasari)
proses kebijakan dipengaruhi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan
dengan mengerahkan kekuatan dan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan.
Kompetisi terjadi antar kelompok masyarakat berdasarkan perbedaan
kepentingan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya. Kepentingan tersebut
bisa jadi disusupkan dalam narasi tertentu.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, narasi merupakan cerita atau
deskripsi suatu kejadian atau peristiwa dari waktu ke waktu yang diuraikan
dengan urutan awal, tengah, dan akhir. Narasi berbeda dengan diskursus. Sebuah
narasi dapat menjadi bagian dari sebuah diskursus. Diskursus merupakan cara
berpikir dan memberikan argumen yang didalamnya melibatkan kepentingan
aktor. Diskursus dapat juga merujuk kepada dialog, bahasa, dan percakapan
(Sutton 1999). Adanya kesamaan diskursus dan kepentingan membentuk aktoraktor dan jaringannya. Untuk mencapai tujuan kebijakan, aktor dan jaringannya
akan menggunakan sumber daya yang mereka miliki seperti kekuasaan,
kewenangan, anggaran, kekayaan, dll. (Kartodihardjo 2013).
Diskursus, pengetahuan, kejelasan obyek yang dipermasalahkan, serta aktor
dan jaringannya berperan dalam menentukan efektivitas perdebatan kebijakan.
Diskursus dan pengetahuan diperlukan dalam melahirkan obyek yang
dipermasalahkan. Tetapi adanya perbedaan kepentingan dan kekuatan masingmasing aktor dan jaringannya tidak akan memudahkan pencapaian kesepakatan
bersama (Kartodihardjo 2008).
Agency theory
Teori agency mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara
berbagai pihak yang berkepentingan (Jensen dan Meckling 1976). Hubungan
principal-agent dilakukan dengan kontrak antara pemilik aset (principal) dan
pengelola aset (agent). Pemilik aset menunjuk pengelola dan memberikan hak
untuk melakukan usaha dan kegiatan terhadap aset, karena ia yakin bahwa dirinya
tidak mempunyai kemampuan atau pengetahuan untuk menghadapi kompleksitas
pasar. Karena itu ia memberikan hak pengelolaan asetnya kepada agent untuk
memperoleh keuntungan maksimum dalam jangka pendek dan jangka panjang
dengan melakukan pengelolaan yang efisien (Kaskarelis 2010).
Principal membuat agent di bawah kendali, baik melalui hasil
pengelolaannya atau dengan memeriksa rencana kerja untuk restrukturisasi dan
ekspansi. Principal dapat memecat agent jika principal berpikir bahwa nantinya
agent tidak bertindak menguntungkan bagi kepentingan asetnya. Karena
kemungkinan perbedaan tingkat penghindaran risiko dan informasi asimetris
antara principal dan agent, ada moral hazard dari agent untuk melanggar kontrak
(Kaskarelis 2010). Dalam posisi ini, informasi dianggap asimetris karena:
a) tindakan agent tidak dapat diamati secara langsung oleh principal; atau
b) pihak agent membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh
principal, misalnya agent tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi
principal tidak mengetahuinya. Pada kasus ini, sangat mahal bagi principal untuk
mengawasi tindakan agent secara langsung atau mendapatkan pengetahuan
lengkap dari informasi yang diperoleh agent (Yustika 2012).

13
Institutional and Organisational Development Analysis
Sejumlah besar kegiatan pembangunan berkaitan dengan upaya
meningkatkan performance organisasi. Institutional and organisational
development analysis pada penelitian ini mengacu pada pedoman yang dibuat oleh
Department for International Development (DFID 2003). Pedoman ini dapat
membantu mengidentifikasi masalah kelembagaan dan mengetahui perubahan
yang diperlukan melalui kerangka kerja konseptual, pendekatan terstruktur dan
beberapa alat diagnostik. Pendekatan ini dapat digunakan secara fleksibel karena
tidak ada satu konsep yang benar-benar tepat yang akan bekerja dalam setiap
situasi (DFID 2003).
DFID (2003) membuat beberapa pertanyaan untuk mengidentifikasi pilihan
perubahan pelayanan publik. Reformasi kelembagaan biasanya berfokus pada
kebijakan atau insentif untuk meningkatkan pelayanan. Sementara reformasi
organisasi bisa jadi terhadap struktural, sistim, atau sumber daya manusianya.
Cara terbaik untuk memulai adalah dengan melihat beberapa pilihan, termasuk
apakah fungsinya diperlukan atau tidak. Setelah itu dicarikan berbagai alternatif.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2015.
Untuk contoh unit IUPHHK–HA dilakukan pada PT. Sari Bumi Kusuma (Blok
Katingan), PT. Dwimajaya Utama dan PT. Indexim Utama Corp di Provinsi
Kalimantan Tengah. Ketiga unit contoh IUPHHK-HA dipilih secara purposive
berdasarkan perbedaan luas areal konsesi IUPHHK–HA. Luas areal konsesi
berhubungan dengan jumlah kebutuhan GANISPHPL–PKB–R yang wajib
dimiliki sebagaimana diatur dalam Perdirjen BPK nomor P.8/VI–SET/2009
(Tabel 2). Ketiga unit contoh IUPHHK–HA tersebut telah memperoleh sertifikat
PHPL. Ketiganya dipilih untuk melihat apakah terdapat perbedaan kinerja antar
IUPHHK–HA dikaitkan dengan