Inisiasi Rimpang Mikro Kaempferia parviflora Secara In Vitro dengan Penambahan BAP dan Sukrosa

INISIASI RIMPANG MIKRO Kaempferia parviflora SECARA
IN VITRO DENGAN PENAMBAHAN BAP DAN SUKROSA

LEFIN KAFINDRA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Inisiasi Rimpang
Mikro Kaempferia parviflora secara In Vitro dengan Penambahan BAP dan
Sukrosa adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Lefin Kafindra
NIM A24100167

ABSTRAK
LEFIN KAFINDRA. Inisiasi Rimpang Mikro Kaempferia parviflora secara In Vitro
dengan Penambahan BAP dan Sukrosa. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA dan
SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Kaempferia parviflora merupakan tanaman obat yang mengandung metabolit
sekunder dan berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Perbanyakan
K. parviflora menggunakan rimpang terkendala oleh lamanya waktu untuk
memproduksi rimpang di lapang, yaitu mencapai 8 bulan setelah tanam. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk memperoleh konsentrasi sukrosa terbaik dan konsentrasi
BAP terbaik dalam inisiasi rimpang mikro K. parviflora. Percobaan ini disusun
berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor dan tiga ulangan.
Faktor pertama adalah konsentrasi BAP dengan 3 taraf, yaitu 0, 2, dan 4 mg L¯1. Faktor
kedua adalah konsentrasi sukrosa dengan 4 taraf, yaitu 0, 30, 60, dan 90 g L¯1. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan uji F dan apabila berpengaruh nyata, maka
dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α= 5 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa K. parviflora dapat membentuk rimpang mikro in
vitro. Hal tersebut ditunjukkan oleh struktur anatomi rimpang mikro yang serupa dengan
rimpang in vivo. K. parviflora yang dikulturkan pada media MS yang mengandung 90
g L¯1 sukrosa tanpa BAP memiliki jumlah rimpang mikro tertinggi pada 8 MSP.
Kata kunci: kesehatan, kencur hitam, obat tradisional

ABSTRACT
LEFIN KAFINDRA. Application of BAP and Sucrose In The In Vitro Micro Rhizome
Initiation of Kaempferia parviflora. Supervised by NURUL KHUMAIDA and SINTHO
WAHYUNING ARDIE.
Kaempferia parviflora is a medicinal plant that contains secondary metabolites
and efficacious for treating various diseases. Rapid multiplication of K. parviflora
through its rhizome is hamprered by the long period needed to produce the rhizome. The
objectives of this research were to obtain the best sucrose concentration and to determine
the best BAP concentration in the in vitro micro rhizome initiation of K. parviflora. The
experiment was arranged in a randomized complete block design with two factors and
three replications. The first factor was BAP concentration, consisted of three levels i.e.
0, 2, and 4 mg L¯1. The second factor was sucrose concentration, consisted of four levels
i.e. 0, 30, 60, and 90 g L¯1. Data obtained were analyzed by F-test, followed by DMRT
(Duncan Multiple Range Test) at 5 % significant level. Sucrose concentration

significantly affected the number of shoots and plantlets fresh weight. The results
showed that K. parviflora could form micro rhizome in vitro, as indicated by the similar
anatomical structure compared to the rhizome produced in vivo. K. parviflora cultured
in MS medium cointaining 90 g L¯1 sucrose without BAP had the highest number of
micro rhizome at 8 WAC.
Keywords: health, black galingale, traditional medicine

INISIASI RIMPANG MIKRO Kaempferia parviflora SECARA
IN VITRO DENGAN PENAMBAHAN BAP DAN SUKROSA

LEFIN KAFINDRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak Maret hingga Agustus 2014 ini ialah Inisiasi
Rimpang Mikro Kaempferia parviflora secara In Vitro dengan Penambahan BAP dan
Sukrosa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan Ibu
Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi selaku pembimbing skripsi, Prof Dr Ir H Didy
Sopandie, M.Agr selaku pembimbing akademik, yang telah banyak memberikan
bimbingannya, dan Dr Ir Agus Purwito, M.Agr selaku penguji tugas akhir. Rekan-rekan
AGH 47 dan UKM Pramuka IPB, serta keluarga Pringsewu IPB yang telah banyak
memberi saran dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

Lefin Kafindra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kaempferia parviflora

2

Pengumbian Mikro

4

METODE PENELITIAN


5

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA


18

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi sidik ragam peubah yang diamati pada inisiasi rimpang mikro
K. parviflora
2 Pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap jumlah tunas 2 MSP dan bobot
basah planlet K. parviflora pada 10 MSP
3 Pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap pertumbuhan planlet
K. parviflora pada 8 MSP
4 Interaksi konsentrasi BAP dan sukrosa terhadap jumlah rimpang mikro
planlet K. parviflora pada 8 MSP

5 Korelasi beberapa parameter pengamatan K. parviflora pada 8 MSP

9
10
10
12
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Planlet K. parviflora yang terserang cendawan pada 4 (a) dan 8 (b) MSP
Kondisi planlet K. parviflora pada berbagai media perlakuan pada 8 MSP
Grafik pertumbuhan tinggi planlet K. parviflora

Grafik pertumbuhan jumlah tunas planlet K. parviflora
Grafik pertumbuhan jumlah daun planlet K. parviflora
Keragaan rimpang dan anatomi in vitro dan in vivo Kaempferia parviflora
Keragaan tangkai daun dan anatomi in vitro pada 8 MSP dan in vivo pada
12 bulan setelah aklimatisasi K. parviflora
8 Keragaan daun anatomi daun in vitro dan in vivo Kaempferia parviflora

8
11
12
13
13
16
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi Medium (MS) Murashige dan Skoog

23


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman obat merupakan salah satu tanaman yang penting keberadaannya di
Indonesia, hal tersebut karena masyarakat Indonesia banyak memanfaatkannya sebagai
ramuan obat tradisional. Angka impor total tanaman obat 2012 mencapai 24 352.81 ton,
sedangkan ekspor 3 466.22 ton dengan nilai sebesar US$18 040 581 dan US$7 469 935
(Ditjen Hortikultura 2012). Bentuk ekspor pada umumnya berupa bahan-bahan mentah,
seperti tanaman kering, bahan-bahan ekstrak, dan sebagian kecil produk jadi
(INATRIMS 2014). Bentuk bahan baku obat tradisional yang diimpor berupa bahan
baku jamu, bahan baku ekstrak terstandar, bahan baku fitofarmaka (obat berbahan alam
yang memenuhi syarat aman, berguna, dan berkhasiat yang dibuktikan dengan uji
klinis), serta simplisia (bahan alam yang telah dikeringkan berupa tanaman utuh, daun,
buah, batang, akar dan ekstrak tanaman) (Putri 2014a). Permintaan yang cukup tinggi
terhadap tanaman obat menunjukkan bahwa pengembangan tanaman obat memiliki
peluang pasar yang cukup besar di Indonesia.
Tanaman dari famili Zingiberaceae memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat
seperti, obat batuk, rematik, masuk angin, bumbu masak, dan sebagainya. Tanaman
Kaempferia parviflora termasuk dalam famili Zingiberaceae, yang berasal dari
Thailand dan dikenal dengan sebutan “krachai dum”, banyak digunakan sebagai obat
tradisional, viagra (Wannanon et al. 2012; Wattanathorn et al. 2012), juga banyak
digunakan sebagai obat tradisional penambah energi (Putiyanan et al. 2008). Penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak rimpang tanaman tersebut memiliki banyak khasiat seperti
antioksidan (Vichitphan et al. 2007), anti depresi (Wattanathorn et al. 2007; Rajput et
al. 2011), anti halusinasi (Tewtrakul dan Subhadirasakul 2008) dan menghambat
aktivitas Helicobacter pylori (Chaichanawongsaroj et al. 2010), serta sebagai obat
stroke (Phachonpai et al. 2012). Tanaman tersebut banyak digunakan sebagai obat dan
dalam kegiatan spiritual oleh masyarakat Thailand (Picheansoonthon dan Koonterm
2008). Tanaman ini juga banyak digunakan sebagai ramuan untuk menyeimbangkan
tekanan darah serta mengurangi sakit perut di daerah asalnya yaitu Provinsi Loei
(Trisomboon 2009). Menurut Lawrence dan Bacharach (1964) K. parviflora dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan rimpangnya dapat diolah untuk ekstrak rasa,
bumbu, serta minyak wangi untuk parfum.
Penelitian tim IPB sebelumnya menunjukkan bahwa K. parviflora mampu
beradaptasi di Indonesia khususnya di wilayah Bogor dan Cianjur sehingga tanaman
tersebut berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan secara luas memerlukan
bahan tanam yang bermutu. Bahan tanam untuk perbanyakan di lapang umumnya
diperoleh dari hasil panen rimpang pertanaman musim sebelumnya. Waktu yang
diperlukan untuk memperoleh rimpang tersebut dapat mencapai 12 bulan (Zulfa 2012).
Karim (2013) juga melaporkan bahwa K. parviflora baru dapat bertunas kembali pada
50 sampai 55 hari setelah panen. Perbanyakan cepat dan massal menggunakan teknik
kultur in vitro merupakan salah satu strategi penyediaan bibit K. parviflora. Penelitian
Alveno (2012) menunjukkan bahwa multiplikasi tunas K. parviflora in vitro dapat
dilakukan pada media MS0 dengan laju multiplikasi 1.64 tunas per bulan. Aklimatisasi
bibit K. parviflora asal in vitro juga telah berhasil dilakukan oleh Putri (2014b) dengan
persentase hidup mencapai 100 % pada 10 minggu setelah aklimatisasi. Perbanyakan

2
secara in vitro perlu dilakukan untuk memperoleh bahan tanam yang seragam, dengan
mutu yang baik, serta waktu yang cepat. Teknik perbanyakan tanaman secara cepat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan bahan tanam dalam negeri. Inisiasi
rimpang mikro penting dilakukan karena propagul rimpang mikro yang berasal dari
eksplan bebas penyakit yang akan menghasilkan rimpang mikro yang bebas penyakit.
Wattimena (2000) menyatakan bahwa penggunaan umbi mikro pada kentang dapat
menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen sama dengan rimpang biasa,
mudah dalam penyimpanan, transportasi dan pengiriman, mudah memenuhi persyaratan
karantina untuk lalu lintas propagul baik dalam atau luar negeri. Oleh karena itu,
pengembangan rimpang mikro pada K. parviflora juga dapat mempermudah
penyimpanan dan transportasi rimpang untuk perbanyakan.
Beberapa senyawa dapat digunakan untuk menginduksi terbentuknya umbi atau
rimpang mikro. Hartanto et al. (2010) melaporkan bahwa aplikasi sukrosa dengan
konsentrasi 6 % dapat menginduksi terbentuknya rimpang tanaman daun dewa secara
in vitro. Aplikasi sukrosa untuk menginduksi rimpang mikro juga telah dilaporkan pada
gembili, yaitu dengan konsentrasi 3-8 % (Ratna 2010). Selain sukrosa, 6-benzyl-adenopurine (BAP) dilaporkan dapat menginduksi terbentuknya rimpang mikro pada jahe
(Rahmawati et al. 2004). Hasil beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penambahan BAP dan sukrosa diperlukan untuk menginisiasi terbentuknya rimpang
mikro.

Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari inisiasi rimpang mikro
Kaempferia parviflora secara in vitro dan mendapatkan komposisi media yang
optimum.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1) Mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap pembentukan rimpang mikro
K. parviflora.
2) Mengetahui pengaruh konsentrasi BAP terhadap pembentukan rimpang mikro
K. parviflora.
3) Mengetahui pengaruh interaksi BAP dan sukrosa dalam pembentukan rimpang mikro
K. parviflora.

TINJAUAN PUSTAKA

Kaempferia parviflora
Kaempferia parviflora merupakan tanaman yang berasal dari Thailand. Tanaman
tersebut juga terdapat di India, Myanmar, dan Laos (Picheansoonthon dan Koonterm
2008). Lokasi budidaya K. parviflora di Thailand terdapat di Provinsi Loei (Trisomboon
2009), Kanchanaburi (Picheansoonthon dan Koonterm 2008), Phetchabun (Koatsaha et
al. 2012), Samutprakarn (Weerateerangkul et al. 2013), Songkhla (Kummee et al.

3
2008), dan Phitsanulok (Chivapat et al. 2010). Tanaman tersebut banyak ditemukan di
hutan yang lembab, dan hutan bambu serta di bawah tegakkan pepohonan
(Picheansoonthon dan Koonterm 2008).
Klasifikasi K. parviflora secara taksonomi adalah sebagai berikut (ICS Unido
2004):
Kingdom
: Plantae
Sub-kingdom : Phanerogamae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Scitaminales
Family
: Zingiberaceae
Genus
: Kaempferia
Species
: Kaempferia parviflora
Tanaman K. parviflora memiliki keragaan morfologi yang khas seperti warna
rimpang ungu kehitaman apabila dibelah (Graham et al. 2006; Putiyanan et al. 2008),
rimpang luar berwarna kecokelatan (Putiyanan et al. 2008), penampang melintang
rimpang K. parviflora berbentuk bundar atau elips dan memiliki garis lingkaran di
tengah dan rimpang yang memiliki kuncup merupakan calon rimpang yang akan tumbuh
menjadi individu tanaman (Graham et al. 2006). Penelitian Evi (2012) menunjukkan
bahwa daun K. parviflora berbentuk elips dengan dasar bulat, panjang daun 8 sampai
21 cm, lebar daun 5 sampai 11 cm, serta batas daun bergelombang dan berwarna
kemerahan, sementara penelitian Putiyanan et al. (2008) menunjukkan daun berwarna
hijau, epidermis atas berwarna hijau tua, epidermis bawah berwarna hijau muda, tangkai
daun berwarna hijau marun gelap. Bunga K. parviflora berwarna merah keunguan atau
merah muda (Putiyanan et al. 2008), sedangkan Graham et al. (2006) menunjukkan
bahwa terdapat spot ungu pada bagian bunga yang berwarna putih, bunga muncul di
tengah antara 2 daun, tanaman memiliki 1 sampai 4 bunga dari satu perbungaan, dan
bentuk bunga tidak teratur atau bilateral simetris.
Kaempferia parviflora dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran tinggi 500
sampai 700 m dpl (ICS Unido 2009). Pertumbuhan vegetatif dan produksi rimpang
K. parviflora paling baik pada ketinggian 1 200 m dpl (Rahma 2013). Tanaman tersebut
dapat tumbuh dengan sangat baik dengan tanah beraerasi serta cahaya yang cukup.
Rimpang siap panen kencur hitam tersebut berumur antara 11 sampai 12 bulan, rimpang
yang telah dipanen baik disimpan pada tempat kering dan dingin sekitar 1 sampai 3
bulan sebelum masa penanaman. Berdasarkan penelitian Evi (2012), Kaempferia
parviflora dapat tumbuh dengan baik pada deaerah dengan naungan alami. Zulfa (2012)
melaporkan bahwa bio-fertilizer dapat meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran
penyakit nematoda pada akar. Tanaman kencur hitam juga dapat diperbanyak secara
in vitro dengan media MS0, dengan waktu multlipikasi selama 4 minggu setelah
subkultur (Alveno 2012). Bibit hasil perbanyakan secara in vitro terbukti dapat
diaklimatisasi dengan tingkat keberhasilan 100 % setelah 10 Minggu setelah
aklimatisasi (Putri 2014b).
Kaempferia parviflora digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan
berbagai penyakit di Thailand. Tanaman tersebut digunakan secara luas oleh masyarakat
Thailand meskipun dalam jumlah yang tidak banyak. Penduduk Thailand mempercayai
bahwa dengan mengkonsumsi rimpang tanaman tersebut akan meningkatkan daya tahan

4
tubuh. Manfaat utama tanaman tersebut sebagai viagra (Wannanon et al. 2012;
Wattanathorn et al. 2012), juga banyak digunakan sebagai obat tradisional penambah
energi (Putiyanan et al. 2008). Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rimpang tanaman
tersebut memiliki banyak khasiat seperti antioksidan (Vichitphan et al. 2007), anti
depresi (Wattanathorn et al. 2007; Rajput et al. 2011), anti halusinasi (Tewtrakul dan
Subhadirasakul 2008) dan menghambat aktivitas Helicobacter pylori
(Chaichanawongsaroj et al. 2010), serta sebagai obat stroke (Phachonpai et al. 2012).
Tanaman tersebut banyak digunakan sebagai obat dan dalam kegiatan spiritual oleh
masyarakat Thailand (Picheansoonthon dan Koonterm 2008). Tanaman ini juga banyak
digunakan sebagai ramuan untuk menyeimbangkan tekanan darah serta mengurangi
sakit perut di daerah asalnya yaitu Provinsi Loei (Trisomboon 2009). Menurut Lawrence
dan Bacharach (1964) K. parviflora dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan
rimpangnya dapat diolah untuk ekstrak rasa, bumbu, serta minyak wangi untuk parfum.
Spesies tanaman obat yang berbeda memiliki kandungan bahan aktif yang berbeda
pula. Kandungan bahan aktif pada rimpang Kaempferia galanga diantaranya adalah
minyak atsiri 2.4 sampai 3.9 % yang terdiri atas 25 % ethyilcinnamate, serta lebih dari
30 % metil p-metoksisinamat (De Padua 1999). Kandungan bahan aktif Kaempferia
parviflora diantaranya adalah senyawa fenol yaitu flavonoid sebagai antioksidan
(Chansakaow 2005;Vichitphan et al. 2007). Kaempferia parviflora mengandung
flavonoid dalam jumlah besar diantaranya 5-hydroxy-3,7-dimethoxyflavone, 5hydroxy-7-methoxyflavone, 5-hydroxy-3,7,4´ trimethoxyflavone, 5-hydroxy-7,4´dimethoxy-flavone, 5-hydroxy-3,7,3´4´ tetramethoxyflavone, 3,5,7 trimethoxy-flavone,
3,5,74´-tetramethoxyflavone,
5,7,4´-trimethoxyflavone,
dan
5,7,3´4´tetramethoxyflavone (Yenjai et al. 2004). Terdapat 2 jenis flavonoid yaitu 5,7dimethoxyflavone dan 3,5,7,3´4´-pentamethoxyflavone sehingga jumlah flavonoid total
yang terdapat pada rimpang Kaempferia parviflora adalah 11 flavonoid berdasarkan
penelitian (Sutthanut 2007).
Pengumbian Mikro
Komposisi media pada umumnya berupa anorganik terdiri atas garam, zat
pengatur tumbuh, vitamin, asam amino, karbohidrat, agar, aquades, dan tambahan bahan
organik lainnya (Dodds dan Roberts 1995). MS0 adalah media yang bersifat umum
sehingga dapat digunakan pada berbagai jenis tanaman yang belum diketahui media yang
cocok untuk tanaman tersebut. Alveno (2012) melaporkan bahwa K. parviflora dapat
ditunaskan dengan media MS0 dengan tingkat keberhasilan 100 % pada 4 MST.
Senyawa 6-benzyl-adeno-purine (BAP) merupakan salah satu sitokinin yang
banyak digunakan dalam kultur jaringan karena selain harganya relatif murah,
efektivitasnya juga tinggi (Yusnita 2003). Hatta et al. (2008) melaporkan bahwa
penambahan BAP berpengaruh negatif terhadap pembentukan daun nilam. Pengaruh negatif
tersebut akan mempengaruhi terbentuknya cadangan makanan dalam bentuk rimpang.
Penambahan BAP akan mempengaruhi morfogenesis (inisiasi tunas) yang terbentuk, jumlah
tunas tersebut akan mempengaruhi jumlah rimpang yang terbentuk (Ni’mah et al. 2012).
Senescence daun sering terjadi pada saat pembentukan rimpang, hal tersebut dapat diatasi
dengan penambahan sitokinin (BAP) dan sukrosa pada medium (Taji et al. 2001).
Berdasarkan konsep Skoog & Miller (1957), regenerasi tunas dan akar in vitro dikontrol oleh
ZPT sitokinin.

5
Sukrosa merupakan komponen organik yang terdiri atas glukosa dan fruktosa
yang wajib ada pada media sebagai sumber energi pada eksplan yang tidak
berfotosintesis (Wattimena 1988). Rahmawati et al. (2004) melaporkan bahwa
penambahan sukrosa sebesar 20 sampai 50 g L¯1 mampu mempercepat terbentuknya
rimpang pada jahe. Penambahan konsentrasi sukrosa sebesar 30 sampai 50 g L¯1 mampu
menginduksi terbentuknya umbi mikro pada kentang (Ratna 2010). Media MS yang
mengandung konsentrasi rendah berisi 3 g L¯1 sukrosa, 1 mg L¯1 BA serta 0.5 mg L¯1
ancymidol, dapat menginduksi rimpang pada ruang gelap dengan konsentrasi sukrosa
sebesar 6 dan 8 % (Archana et al. 2013a). Ni’mah et al. (2012) mengemukakan sukrosa
berfungsi sebagai sumber karbon, sumber energi, pengatur tekanan osmotik, pengatur
stabilitas membran, serta pelindung terhadap stress.
Konsentrasi sukrosa untuk pengumbian kentang secara in vitro harus lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi untuk pertunasan karena digunakan sebagai induksi umbi mikro.
Konsentrasi gula yang rendah maka akan membuat waktu pembentukan umbi menjadi
lama. Konsentrasi sukrosa yang diperlukan berkisar antara 90 sampai 100 g L¯1. Sukrosa
dalam hal tersebut berperan dalam penyediaan karbohidrat untuk pengumbian, karena
pada in vitro suhu dalam botol akan meningkat melebihi batas yang dapat diterima oleh
tunas in vitro sehingga diperlukan penambahan sukrosa (Puspitanigtyas dan Wattimena
1992). Penambahan sukrosa tersebut diharapkan akan diakumulasi dalam organ planlet
berupa rimpang sebagai tempat penyimpanan hasil sisa sukrosa yang dipergunakan.
Pembentukan rimpang pada kultur jaringan umumnya dilakukan di tempat gelap, hal
tersebut didukung oleh Artati (1989) yang mengemukakan bahwa dalam pembentukan
umbi mikro kentang secara in vitro diperlukan keadaan tanpa cahaya dan suhu yang
rendah (15 sampai 20 °C).
Nayak dan Naik (2006) melaporkan bahwa rimpang Curcuma dapat diinduksi
pada media MS0 yang ditambahkan BA 13.3 με dan sukrosa 60 g L¯1 serta diinkubasi
di tempat tanpa penyinaran 20 jam per hari. Rimpang yang dihasilkan dari hasil induksi
tersebut berkisar antara 1 sampai 4, dengan bobot antara 50 sampai 580 mg.
Archana et al. (2013b) melaporkan juga penambahan 60 g L¯1 sukrosa, 3 ppm BA, serta
0.5 ppm ancymidol dapat menginduksi terbentuknya rimpang mikro pada Curcuma
dengan jumlah berkisar 3 sampai 8 rimpang. Singh et al. (2014) melaporkan bahwa
kombinasi NAA, BAP, sukrosa, dan AgNO3 mampu menginduksi terbentuknya
rimpang mikro pada Zingiber officinale. Konsentrasi optimum berdasarkan penelitian
tersebut yaitu NAA 1 mg L¯1, BAP 2 mg L¯1, sukrosa 80 g L¯1, dan AgNO3 11 με.
Jumlah rimpang yang terbentuk mencapai 28 rimpang per botol. Cheethaparambil et al.
(2014) melaporkan bahwa hanya dengan pemberian sukrosa 80 g L¯ 1 dan ½ MS0
mampu menginduksi terbentuknya rimpang mikro pada Curcuma. Rimpang yang
terbentuk berkisar antara 7 sampai 9 per botol. Archana et al. (2013b) juga melaporkan
bahwa pemberian 90 g L¯1 mampu menginduksi rimpang mikro Curcuma dengan jumlah
berkisar antara 2 sampai 5.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 dan Laboratorium
Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Pelaksanaan penelitian

6
dimulai dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2014. Bahan tanaman yang digunakan
adalah planlet Kaempferia parviflora dengan umur 4 MST yang dikultur pada media
MS0, setiap botol terdiri atas 1 planlet, kemudian dilakukan inisiasi rimpang dengan
penambahan media cair yang berisi kombinasi antara BAP dan sukrosa. Pengamatan
terhadap inisiasi rimpang dilakukan selama 8 MSP.
Percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP (B) dengan
3 taraf yaitu 0, 2, dan 4 mg L ¯ 1 (berturut-turut b1, b2, b3). Faktor kedua adalah
konsentrasi sukrosa (S) dengan 4 taraf konsentrasi yaitu 0, 30, 60, dan 90 g L¯1 (berturutturut s1, s2, s3, s4). Setiap ulangan terdiri atas 3 botol, tiap botol ditanami 1 tunas. Setiap
eksplan menjadi satuan pengamatan.
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah (Gomez dan Gomez
1995) :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + k + ijk
Keterangan :
Yijk = respon perlakuan konsentrasi sukrosa taraf ke-i dan BAP pada taraf ke-j pada
ulangan ke-k
μ
= pengaruh rata-rata umum
αi
= pengaruh perlakuan taraf konsentrasi sukrosa, i = 1, 2, 3, 4
βj
= pengaruh perlakuan taraf konsentrasi BAP, j = 1, 2, 3
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara sukrosa taraf ke-i dan BAP taraf ke-j
k
= pengaruh ulangan ke-k, k = 1, 2, 3
ijk = Galat pada perlakuan konsentrasi sukrosa taraf ke-i dan BAP taraf ke-j pada
ulangan ke-k.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan uji F. Apabila terdapat
pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple
Range Test) pada taraf α= 5 %. Pengolahan data dilakukan dengan program Statistical
Analysis System (SAS).
Botol kultur yang akan digunakan, pinset, gunting, dan cawan petri dicuci
menggunakan detergen. Seluruh peralatan yang digunakan disterilkan dalam autoklaf
selama 60 menit pada suhu 121 ºC dengan tekanan 17.5 psi (pounds per square inch).
Media pertunasan menggunakan media MS0, dari larutan yang dibuat dengan kode A,
B, C, D, E, dan F yaitu larutan yang berisi garam-garam anorganik, seperti yang
terlampir pada Lampiran 1. Konsentrasi media pada larutan dipipet, kemudian
ditambahkan myo-inositol 10 ml L¯1, gula 40 g L¯1, agar 7 g L¯1 dan vitamin (thiamine,
nicotine, pyridoxine, glycine) 10 ml L¯1.
Larutan media diaduk merata dan pH-nya diatur sekitar 5.8 sampai 6.0 dengan
penambahan beberapa tetes KOH 1 N. Media pertunasan ditambahkan agar 7 g L¯1,
setelah itu semua larutan yang telah disiapkan dicampur dengan agar dan dimasak
hingga mendidih. Media yang telah masak dimasukkan kedalam botol kultur yang telah
di autoklaf dengan volume sekitar 25 mL botol¯1. Botol kemudian ditutup dengan plastik
dan diikat dengan karet gelang, lalu disterilkan kembali pada tekanan 17.1 psi selama
30 menit.
Media yang telah diautoklaf kemudian didiamkan terlebih dahulu selama satu
minggu untuk melihat adanya kontaminasi, apabila media tersebut baik dan bebas dari
kontaminasi maka media siap ditanam eksplan. Eksplan yang ditanam diambil dari
pertunasan rimpang hasil perbanyakan. Penanaman dilakukan pada laminar air flow
cabinet yang telah dibersihkan sebelumnya. Tunas dipindahkan kedalam cawan petri

7
kemudian setiap botol ditanam tunas sebanyak 1 eksplan. Botol yang sudah berisi tunas
ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol kemudian diletakkan
di atas rak kultur dengan penyinaran 24 jam hari¯1. Suhu ruang kultur sekitar 23 sampai
25 ºC. Lama eksplan pada media pertunasan yaitu 4 minggu. Eksplan yang telah
berumur 4 minggu kemudian ditambah dengan larutan inisiasi rimpang sebanyak 20 mL
botol¯1. Botol kemudian diinkubasi di ruang gelap selama 8 minggu agar menginduksi
munculnya rimpang pada eksplan tersebut.
Pengamatan dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan inisiasi rimpang. Peubah
yang diamati sebelum perlakuan adalah tinggi planlet, jumlah daun per planlet, dan
jumlah akar. Peubah yang diamati setiap minggu setelah perlakuan yaitu jumlah daun
total per planlet, jumlah daun gugur, tinggi planlet, waktu terbentuk rimpang mikro,
jumlah rimpang per planlet, dan jumlah kontaminasi. Pengamatan pada akhir perlakuan
dilakukan terhadap morfologi rimpang, bobot rimpang per planlet, bobot basah
keseluruhan, bobot kering contoh, morfologi rimpang mikro dibandingkan dengan
rimpang in vivo, anatomi rimpang mikro yang dibandingkan dengan rimpang in vivo
menggunakan mikroskop. Mikroskop yang digunakan pada pengamatan yaitu
mikroskop elektrik (Mulyono 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum suhu rata-rata ruang kultur adalah 25 °C, dengan kelembaban udara
rata-rata 80 %. Terdapat planlet yang terserang cendawan pada saat planlet diinkubasi
di ruang gelap. Serangan cendawan mulai terjadi pada umur 4 sampai 5 MSP. Kultur
yang terserang cendawan mencapai 25 % dari seluruh total unit percobaan pada 5 MSP,
dan meningkat menjadi 35 % pada 8 MSP. Hifa cendawan menutupi hampir seluruh
permukaan media (Gambar 1), dan menyebabkan pertumbuhan planlet terhambat
bahkan mati. Serangan cendawan dapat disebabkan oleh lingkungan kultur yang kurang
steril, kontaminasi pada saat penanaman, dan kontaminan yang terbawa oleh eksplan.
Kontaminasi cendawan juga dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan kultur,
terutama suhu dan kelembapan yang kurang stabil. Suhu dan kelembaban lingkungan
kultur yang kurang stabil disebabkan oleh pemadaman listrik. Nugrahani et al. (2011)
melaporkan bahwa standar suhu lingkungan in vitro berkisar antara 23 sampai 27 °C
sedangkan suhu lingkungan ex vitro berkisar antara 23 sampai 36 °C. Kelembapan
relatif lingkungan in vitro berkisar antara 98 sampai 100 % sedangkan kelembapan
relatif ex vivo berkisar atara 40 sampai 80 %. Suhu lingkungan kultur pada penelitian
ini berkisar antara 23 sampai dengan 30 oC, sedangkan kelembaban udara berkisar
antara 80 sampai dengan 100 %. Talanca dan εas’ud (2009) melaporkan bahwa spora
cendawan dapat berkecambah dan hidup pada rentang suhu 28-33 oC dengan
kelembaban 80-100 %. Oleh karena itu, suhu dan kelembaban lingkungan yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan meningkatnya kontaminasi cendawan. Tutup botol kultur
yang kurang rapat juga dapat mempermudah cendawan masuk. Keadaan rak kultur yang
kurang steril juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi pada
planlet.

8

a

b

Gambar 1 Planlet K. parviflora yang terserang cendawan pada 4 (a) dan 8 (b) MSP
Tanda panah menunjukkan hifa serangan cendawan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi BAP tidak berpengaruh
nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali terhadap jumlah rimpang pada
8 MSP (Tabel 1). Konsentrasi sukrosa berpengaruh nyata terhadap bobot basah planlet
pada 10 MSP dan jumlah rimpang pada 8 MSP, serta berpengaruh sangat nyata terhadap
jumlah tunas pada 2 MSP. Interaksi antara konsentrasi BAP dan sukrosa tidak
berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali berpengaruh nyata
terhadap jumlah rimpang pada 8 MSP.
Tinggi planlet tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP maupun konsentrasi
sukrosa pada semua minggu pengamatan. Hal tersebut diduga karena planlet mengalami
etiolasi. Ruang kultur gelap merupakan faktor yang dapat menyebabkan planlet
mengalami etiolasi. Tyagi et al. (2006) melaporkan bahwa etiolasi dapat terjadi apabila
tanaman kurang mendapat cahaya atau berada di tempat gelap. Konsentrasi BAP dan
sukrosa tidak berpengaruh terhadap jumlah daun, jumlah akar, bobot kering planlet,
bobot basah tajuk, bobot rimpang tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP dan sukrosa.
Tabel 1 menunjukkan jumlah tunas dipengaruhi oleh konsentrasi sukrosa pada 2 MSP.
Karimah et al. (2013) melaporkan bahwa pertambahan tunas berhubungan erat dengan
banyaknya calon-calon rimpang yang akan dihasilkan dari planlet tersebut, semakin
banyak jumlah tunas yang dihasilkan semakin banyak pula rimpang yang akan
diperoleh.
Harjadi (1989) melaporkan bahwa fase vegetatif tanaman meliputi
perkembangan akar, daun dan batang baru. Fase tersebut berhubungan dengan 3 proses
penting yaitu pembelahan sel, pemanjangan sel, dan tahap awal diferensiasi sel. Laju
pembelahan sel berhubungan erat dengan laju pembentukan daun, batang, dan akar.
Pembelahan, pembesaran dan pembentukan jaringan berhubungan erat dengan
ketersediaan karbohidrat. Fase vegetatif dari suatu perkembangan organ tanaman
memerlukan tersedianya karbohidrat yang banyak, agar laju perkembangannya menjadi
cepat. Berdasarkan hal tersebut laju terbentuknya rimpang berhubungan erat dengan
ketersediaan karbohidrat dalam media induksi. Ketersediaan karbohidrat yang banyak
akan mempercepat laju terbentuknya rimpang mikro. Harjadi (1991) melaporkan bahwa
cadangan makanan disimpan pada suatu organ, salah satu organ tersebut berupa
rimpang. K. parviflora merupakan tanaman yang menyimpan cadangan makanannya
dalam bentuk rimpang.

9
Tabel 1 Rekapitulasi sidik ragam peubah yang diamati pada inisiasi rimpang mikro
K. parviflora
F-hitung
Parameter

BAP

Sukrosa

Interaksi
BAP Sukrosa

KK (%)

0.019 tn
0.405 tn
0.286 tn
0.378 tn
0.361 tn
0.173 tn
0.104 tn
0.056 tn

2.246 tn
1.744 tn
1.611 tn
0.438 tn
0.324 tn
0.184 tn
0.150 tn
0.190 tn

1.046 tn
1.316 tn
1.075 tn
1.357 tn
0.914 tn
0.581 tn
0.539 tn
0.530 tn

14.08
11.11
10.09
12.13
10.89
9.97
10.75
10.35

1.083 tn
0.583 tn
0.527 tn
0.354 tn
0.193 tn
0.616 tn
0.203 tn
0.282 tn

0.148 tn
0.101 tn
0.250 tn
0.215 tn
1.043 tn
0.984 tn
1.060 tn
0.710 tn

0.120 tn
0.101 tn
0.194 tn
0.268 tn
0.450 tn
0.998 tn
0.989 tn
0.917 tn

10.57 tr2
10.17 tr2
10.99 tr2
12.57 tr2
11.80 tr2
13.92 tr2
19.09 tr
12.70 tr2

0.083 tn
0.583 tn
1.083 tn
0.369 tn
0.966 tn
2.617 tn
2.433 tn
2.023 tn

0.101 tn
1.259 **
0.740 tn
0.901 tn
0.249 tn
0.552 tn
0.051 tn
1.213 tn

0.268 tn
0.287 tn
0.824 tn
0.509 tn
0.635 tn
1.593 tn
0.669 tn
2.037 tn

17.21
12.91 tr
11.01 tr
14.60 tr2
15.20 tr
14.82 tr
18.51 tr
13.14 tr2

9.156 tn
53.957 tn
50.638 tn

5.806 tn
1.964 tn
4.044 tn

37.957 tn
55.041 tn
43.575 tn

14.82 tr
11.86 tr
12.95 tr

0.126 tn
0.518 tn

0.042 tn
1.540 *

0.559 tn
0.537 tn

12.82 tr3
18.44 tr

0.034 tn
0.004 tn

0.002 tn
0.025 tn

0.012 tn
0.013 tn

1.85 tr3
5.28 tr2

0.061 tn
0.297 tn

0.039 tn
0.207 tn

0.109 tn
0.251 tn

14.41 tr2
10.05 tr2

0.029 tn
0.378 tn

0.033 tn
0.642 tn

0.223 tn
0.130 tn

17.32 tr2
13.46 tr2

0.025 **

0.012 *

0.009 *

10.58tr2

Tinggi Planlet
1 MSP
2 MSP
3 MSP
4 MSP
5 MSP
6 MSP
7 MSP
8 MSP
Jumlah Daun
1 MSP
2 MSP
3 MSP
4 MSP
5 MSP
6 MSP
7 MSP
8 MSP
Jumlah Tunas
1 MSP
2 MSP
3 MSP
4 MSP
5 MSP
6 MSP
7 MSP
8 MSP
Jumlah Akar
6 MSP
7 MSP
8 MSP
Bobot Basah Planlet
8 MSP
10 MSP
Bobot Kering Planlet
8 MSP
10 MSP
Bobot Basah Tajuk
8 MSP
10 MSP
Bobot Rimpang dan Akar
8 MSP
10 MSP
Jumlah Rimpang
8 MSP

MSP: minggu setelah perlakuan **: sangat nyata pada taraf 1 %. *: nyata pada taraf 5 %. tn: tidak nyata. tr: hasil
transformasi log � + , tr2: hasil transformasi log � + , KK (%): koefisien keragaman.

10
Planlet yang dikulturkan pada media yang mengandung sukrosa 30, 60, dan 90
g L¯ memiliki bobot basah yang lebih tinggi dibandingkan planlet yang dikulturkan
pada media tanpa sukrosa (Tabel 2) pada 10 MSP. Hasil penelitian Rahmawati et al.
(2004) pada planlet jahe emprit juga menunjukkan bahwa planlet yang dikulturkan pada
media yang mengandung 30-50 g L ¯ 1 sukrosa memiliki bobot yang lebih tinggi
dibandingkan planlet yang dikulturkan pada media tanpa sukrosa.
Tabel 2 Pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap jumlah tunas 2 MSP dan bobot basah
planlet K. parviflora pada 10 MSP
Konsentrasi Sukrosa (g L¯1)
Parameter
0
30
60
90
1

Jumlah Tunas

2.00 a

1.67 ab

1.11 b

1.89 a

Bobot Basah Planlet

1.15 b

2.02 a

1.86 a

2.00 a

Ket: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT pada taraf α = 5 %.

Jumlah daun berkisar antara 1 sampai 3 helai seperti yang tersaji pada tabel 3.
Jumlah daun paling banyak dengan standar deviasi yang kecil terdapat pada kombinasi
konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP. Pemberian konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa
BAP memiliki nilai tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain. Jumlah
tunas untuk semua perlakuan secara umum berkisar antara 1 sampai 2. Semua
konsentrasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, meskipun
perlakuan tanpa BAP dan sukrosa dengan BAP 4 mg L¯1 dan tanpa sukrosa berbeda
sangat nyata. Jumlah akar menunjukkan nilai yang berkisar antara 11 sampai 38. Semua
konsentrasi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar. Bobot
rimpang dan akar berkisar antara 0.1 sampai 1.3 g planlet-1. Semua konsentrasi
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot rimpang dan akar per planlet.
Tabel 3 Pengaruh konsentrasi sukrosa dan BAP terhadap pertumbuhan planlet
K. parviflora pada 8 MSP
Konsentrasi
Konsentrasi Sukrosa (g L¯1)
BAP (mg L¯1)
0
30
60
90
------------------Jumlah Daun----------------0
2 ± 1.26
2 ± 0.24
2 ± 1.18
3 ± 0.82
2
2 ± 0.47
3 ± 1.18
2 ± 1.04
1 ± 0.25
4
2 ± 1.04
2 ± 0.82
2 ± 0.58
2 ± 0.50
-----------------Jumlah Tunas-----------------0
1 ± 0.29
2 ± 1.41
2 ± 0.19
2 ± 0.24
2
3 ± 0.71
3 ± 1.04
2 ± 1.04
2 ± 0.84
4
4 ± 0.69
2 ± 1.77
2 ± 1.04
2 ± 0.76
------------------Jumlah Akar------------------0
12 ± 5.32
19 ± 4.60
20 ± 9.56
19 ± 7.10
2
24 ± 12.96
24 ± 14.35
17 ± 2.10
15 ± 6.89
4
18 ± 8.93
18 ± 5.12
14 ± 7.43
19 ± 5.65
--------Bobot Rimpang dan Akar(g planlet-1)--------0
0.2 ± 0.01
0.3 ± 0.20
0.7 ± 0.30
0.4 ± 0.17
2
0.5 ± 0.45
0.5 ± 0.17
0.1 ± 0.32
0.2 ± 0.08
4
0.8 ± 0.68
0.5 ± 0.13
0.5 ± 0.35
1.3 ± 0.63
Ket: MSP: minggu setelah perlakuan

11
Gambar 2 menunjukkan keragaan planlet berbagai konsentrasi BAP dan sukrosa
yang diaplikasikan. Secara umum planlet dengan konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa
BAP terlihat memiliki batang yang lebih tegar dan besar dibandingkan semua perlakuan.
Daun secara keseluruhan memiliki kenampakkan warna yang hijau. Akar secara umum
berwarna putih kecokelatan, warna akar yang putih menunjukkan akar yang baru
terbentuk.
Sukrosa (g L-1)
BAP
(mg L-1)

Gambar 2 Kondisi planlet K. parviflora pada berbagai media perlakuan pada 8 MSP
Interaksi antara konsentrasi BAP dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap
jumlah rimpang mikro pada 8 MSP (Tabel 4). Planlet yang dikulturkan pada media tanpa
BAP dan sukrosa memiliki jumlah rimpang mikro terendah dibandingkan planlet yang
dikulturkan pada media yang mengandung BAP dan sukrosa. Hasil interaksi lainnya
menunjukkan hasil yang tidak signifikan antar kombinasi media yang digunakan.
Konsentrasi BAP 0, 2, dan 4 mg L¯1 tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah
rimpang mikro yang dihasilkan. Konsentrasi 90 g L¯1 sukrosa dan 0 mg L¯1 BAP dapat
digunakan sebagai rekomendasi dalam penelitian sejenis mengenai inisiasi rimpang
mikro. Penggunaan kombinasi tersebut lebih dipilih karena ditinjau dari segi ekonomi
lebih menguntungkan dari sudut pandang bisnis, dalam hal penyediaan bahan tanam
secara cepat, banyak dan bermutu.

12
Tabel 4 Interaksi konsentrasi BAP dan sukrosa terhadap jumlah rimpang mikro planlet
K. parviflora pada 8 MSP
Konsentrasi
BAP
( mg L¯1)
0
2
4

Konsentrasi Sukrosa ( g L¯1)
0

30

0.33 aB
1.00 aA
1.00 aA

0.67 aAB
1.33 aA
1.33 aA

60

90

0.67 aAB
1.00 aA
0.67 aA

1.33 aA
1.00 aA
1.00 aA

Ket: Angka yang diikuti oleh huruf kecil pada kolom yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf besar pada baris
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α =5 %.

Gambar 3 menunjukkan pola yang seragam untuk pertumbuhan tinggi planlet
Kaempferia parviflora hingga 8 MSP. Pengamatan terhadap tinggi planlet menunjukkan
kurva yang sigmoid seperti yang tersaji pada gambar 3. Secara umum pertumbuhan
tinggi planlet meningkat hingga 3 MSP dan mulai menurun pada 5 MSP. Pertumbuhan
tinggi paling rendah ditunjukkan oleh konsentrasi BAP 2 mg L¯1 dan sukrosa 60 g L¯1.
Pertumbuhan tinggi perlakuan lain secara umum menunjukkan pertumbuhan yang relatif
sama.
0.0

9

0.30

Tinggi planlet (cm)

8

0.60

7

0.90

6

2.0

5

2.30

4

2.60

3

2.90
4.0

2

4.30

1

4.60

0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

4.90

Minggu setelah perlakuan (MSP)
Gambar 3 Grafik pertumbuhan tinggi planlet K. parviflora. Ket: b1s1: 0 BAP 0 sukrosa,
b1s2: 0 BAP 30 sukrosa, b1s3: 0 BAP 60 sukrosa, b1s4: 0 BAP 90 sukrosa,
b2s1: 2 BAP 0 sukrosa, b2s2: 2 BAP 30 sukrosa, b2s3: 2 BAP 60 sukrosa,
b2s4: 2 BAP 90 sukrosa, b3s1: 4 BAP 0 sukrosa, b3s2: 4 BAP 30 sukrosa,
b3s3: 4 BAP 60 sukrosa, b3s4: 4 BAP 90 sukrosa, BAP (mg L¯1), sukrosa
(g L¯1).
Gambar 4 menunjukkan kurva yang tidak berpola namun, secara umum jumlah
tunas meningkat pada 1 MSP hingga 2 MSP. Konsentrasi BAP 3 mg L¯1 tanpa sukrosa
menunjukkan pertumbuhan tunas yang paling tinggi dibandingkan semua perlakuan.
Perlakuan tanpa BAP dan sukrosa menunjukkan pertumbuhan tunas yang meningkat
hanya pada 1 MSP, serta selanjutnya tidak mengalami pertumbuhan tunas. Pertumbuhan
tunas mulai 4 MSP terlihat melambat pada semua kombinasi perlakuan.

13
4

Jumlah tunas

3

2

1

0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

Minggu setelah perlakuan (MSP)
Gambar 4 Grafik pertumbuhan jumlah tunas planlet K. parviflora. Ket: b1s1: 0 BAP 0
sukrosa, b1s2: 0 BAP 30 sukrosa, b1s3: 0 BAP 60 sukrosa, b1s4: 0 BAP 90
sukrosa, b2s1: 2 BAP 0 sukrosa, b2s2: 2 BAP 30 sukrosa, b2s3: 2 BAP 60
sukrosa, b2s4: 2 BAP 90 sukrosa, b3s1: 4 BAP 0 sukrosa, b3s2: 4 BAP 30
sukrosa, b3s3: 4 BAP 60 sukrosa, b3s4: 4 BAP 90 sukrosa, BAP (mg L¯1),
sukrosa (g L¯1).
Gambar 5 menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan daun meningkat mulai
5MSP. Pertumbuhan daun paling tinggi terjadi pada konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa
BAP. Pertumbuhan daun paling rendah terjadi pada konsentrasi BAP 2 mg L¯1 dan
sukrosa 90 g L¯1. Pertumbuhan daun mulai melambat pada 6 MSP.
5

Jumlah daun (helai)

4
3
2
1
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

Minggu setelah perlakuan (MSP)
Gambar 5 Grafik pertumbuhan jumlah daun planlet K. parviflora. Ket: b1s1: 0 BAP 0
sukrosa, b1s2: 0 BAP 30 sukrosa, b1s3: 0 BAP 60 sukrosa, b1s4: 0 BAP 90
sukrosa, b2s1: 2 BAP 0 sukrosa, b2s2: 2 BAP 30 sukrosa, b2s3: 2 BAP 60
sukrosa, b2s4: 2 BAP 90 sukrosa, b3s1: 4 BAP 0 sukrosa, b3s2: 4 BAP 30
sukrosa, b3s3: 4 BAP 60 sukrosa, b3s4: 4 BAP 90 sukrosa, BAP (mg L¯1),
sukrosa (g L¯1).

14
Pola pertumbuhan tinggi dan jumlah tunas planlet K. parviflora terlihat pada awal
perlakuan cepat meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh ketersediaan hara dan gula
dalam media yang masih banyak. Pertambahan tinggi dan jumlah tunas mulai melambat
pada 5 MSP. Hal tersebut diduga sebagian energi digunakan planlet untuk
perkembangan dan pertambahan jumlah daun. Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah
daun mulai meningkat pada 5 MSP. Pertambahan jumlah daun mulai melambat pada 6
MSP, hal tersebut dapat disebabkan oleh ketersediaan hara dan gula yang sudah mulai
sedikit. Pertambahan jumlah daun yang melambat diduga juga planlet sedang
menginisiasi pembentukan rimpang mikro. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan
penambahan sumber hara dan gula untuk meningkatkan energi yang tedapat dalam
media. Marlin et al. (2013) melaporkan bahwa penambahan media cair dalam media
padat (double layer) pada kultur jahe menghasilkan jumlah tunas yang lebih tinggi
(5.5 tunas per eksplan) dan jumlah akar tertinggi (32.5 akar per eksplan).
Konsentrasi 30 g L¯1 sukrosa dan 2 mg L¯1 BAP terlihat jumlah tunas yang lebih
banyak dibandingkan semua perlakuan, meskipun tidak berpengaruh nyata pada analisis
data. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Lyla (2011) yang melaporkan
bahwa dengan taraf sukrosa 5 % mampu menghasilkan tunas optimum untuk
perbanyakan mata tunas kunyit putih. Hasil tersebut juga didukung oleh hasil penelitian
Rahmawati et al. (2004) yang melaporkan bahwa jahe dapat diinduksi rimpang mikro
dengan penambahan konsentrasi sukrosa 90 g L¯1 tanpa BAP. Konsentrasi perlakuan
tersebut juga dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam penelitian multlipikasi
planlet.
Korelasi adalah hubungan antar peubah dari faktor yang diamati. Korelasi antar
peubah dari beberapa parameter yang diamati disajikan pada tabel 5. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bobot basah per planlet pada umur 8 MSP berkorelasi positif
sangat nyata dengan bobot kering per planlet umur 8 MSP dan bobot basah tajuk per
planlet. Hal tersebut menjelaskan bahwa bobot basah planlet mempengaruhi bobot
kering dan bobot basah tajuk. Korelasi positif sangat nyata juga ditunjukkan oleh bobot
kering per planlet dengan bobot basah akar per planlet, hal tersebut menunjukkan bahwa
meningkatnya bobot basah akar dapat meningkatkan bobot kering planlet. Bobot basah
akar berkorelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering tajuk, meningkatnya bobot
basah akar dapat meningkatkan bobot tajuk planlet. Bobot basah tajuk juga berkorelasi
positif nyata terhadap bobot kering planlet, dengan demikian bobot basah tajuk
mempengaruhi bobot basah planlet. Hasil analisis korelasi tersebut menunjukkan bahwa
jumlah rimpang mikro tidak dipengaruhi oleh semua faktor seperti jumlah tunas, jumlah
daun, jumlah akar, bobot basah, serta bobot kering.
Jumlah rimpang tidak berkorelasi nyata terhadap jumlah tunas, jumlah daun,
tinggi tunas, jumlah akar, bobot basah per planlet, bobot kering per planlet, bobot basah
akar, serta bobot basah tajuk per planlet. Hal tersebut diduga jumlah rimpang
dipengaruhi oleh waktu inisiasi, seperti hasil penelitian Ferry et al. (2009) yang
menunjukkan bahwa waktu yang lebih lama mempengaruhi jumlah rimpang yang
terbentuk pada produksi rimpang di lapang.

15
Tabel 5 Korelasi beberapa parameter pengamatan K. parviflora pada 8 MSP
Peubah

JD

JD

JT
0.317
0.078

TS

0.114
0.534

0.142
0.437

JA

0.244
0.178

0.003
0.986

0.275
0.128

0.091
0.627

0.201
0.278

0.204
0.271

0.094
0.614

BK

0.179
0.335

-0.112
0.548

-0.026
0.889

-0.248
0.179

0.456
0.006**

BBA

0.068
0.716

0.098
0.602

0.203
0.274

0.124
0.506

0.954
0.000**

0.505
0.002**

0.108
0.561

0.308
0.092

0.181
0.331

0.045
0.812

0.824
0.000**

0.338
0.047*

0.726
0.000**

0.154
0.484

0.150
0.494

0.255
0.240

0.341
0.112

0.078
0.706

-0.174
0.395

0.098
0.633

BB

BBT
JR

TS

JA

BB

BK

BBA

BBT

0.003
0.987

**: sangat nyata pada taraf 1 %, *: nyata pada taraf 5 %. JD : Jumlah daun per planlet, JT: Jumlah tunas per planlet,
JA: Jumlah akar per planlet, TS: Tinggi tunas, BB: Bobot basah per planlet, BK: Bobot kering per planlet, BBA:
Bobot basah akar per planlet, BBT: Bobot basah tajuk per planlet, JR: Jumlah rimpang per planlet

Hasil pengamatan mikroskopis rimpang baik secara in vitro maupun in vivo,
dilakukan untuk mendukung hasil penelitian. Rimpang in vivo yang digunakan sebagai
pembanding berasal dari tanaman asal planlet in vitro (Alveno 2012) yang diaklimatisasi
(Putri 2014b) dan ditanam dilapang selama 6 bulan. Struktur jaringan seperti yang tersaji
pada gambar 6 menunjukkan bahwa terdapat kesamaan anatomi antara rimpang in vitro
dan in vivo. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rimpang in vitro memiliki jaringan
yang lengkap yaitu xilem, endodermis, korteks, epidermis, silinder pusat dan floem
seperti halnya rimpang in vivo. Hal tersebut menunjukkan bahwa planlet yang
diperbanyak secara in vitro dapat menghasilkan rimpang yang sama seperti tanaman
yang di lapang.
Rimpang menjadi bagian yang penting untuk diamati, hal tersebut karena bagian
utama yang dimanfaatkan dari kencur hitam tersebut yakni bagian rimpangnya, sebagai
penyimpan senyawa-senyawa yang berguna untuk bidang kesehatan. Struktur bagian
yang sama menjadi indikasi khusus bahwa rimpang yang dihasilkan baik secara in vitro
maupun in vivo merupakan rimpang yang sama, yakni yang dapat digunakan sebagai
bahan perbanyakan. Pengembangan usaha bisnis di bidang hortikultura khususnya
penyediaan bahan tanam dari famili zingiberaceae dapat diatasi melalui induksi
rimpang mikro secara in vitro. Hal tersebut karena bahan yang diperoleh lebih cepat,
seragam, serta memiliki mutu yang tinggi dari hasil penyediaan bahan tanam rimpang
mikro. Rimpang in vitro yang diamati berasal dari kultur berumur 8 minggu setelah
kultur dan rimpang in vivo berumur 12 bulan setelah aklimatisasi.

16
In Vitro

In Vivo

Rimpang

Rimpang

Xilem

Irisan melintang
rimpang

Endodermis
Korteks
Epidermis
Silinder pusat
Floem

Gambar 6 Keragaan rimpang dan anatomi in vitro dan in vivo Kaempferia parviflora
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap tangkai daun in vitro dan in vivo
(gambar 7) menunjukkan bahwa terdapat kesamaan antara anatomi hasil tangkai daun
in vitro dengan in vivo. Keragaan anatomi tangkai daun in vitro dan in vivo menunjukkan
bahwa berkas vaskular lebih banyak ditunjukkan oleh anatomi in vivo dibandingkan
anatomi in vitro, hal tersebut mengindikasikan bahwa tangkai daun in vivo lebih tua
dibandingkan in vitro (Campbell dan Reece 2008).

Irisan melintang
tangkai daun

Tangkai daun

In Vitro

In Vivo

Tangkai daun

Jaringan dasar
Berkas vaskular

Epidermis

Gambar 7 Keragaan tangkai daun dan anatomi in vitro pada 8 MSP dan in vivo pada
12 bulan setelah aklimatisasi K. parviflora

17
Keragaan daun K. parviflora in vitro dan in vivo ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar anatomi dapat terlihat bahwa terdapat kesamaan struktur antara daun in vitro
dengan in vivo, meskipun pada daun in vitro masih terdapat sedikit urat daun. Hal
tersebut karena jaringan pada daun in vitro tersebut lebih muda dibandingkan dengan
daun in vivo. Anatomi daun in vitro terlihat sedikit terdapat stomata, hal tersebut diduga
karena daun tidak mengalami fotosintesis, berbeda dengan tampilan anatomi daun
in vivo yang terdapat banyak stomata yang menyebar hampir diseluruh permukaan daun.
In Vitro

In Vivo

Irisan melintang
daun

Daun

Daun

Urat daun
Rongga daun
Stomata
Epidermis

Gambar 8 Keragaan daun anatomi daun in vitro dan in vivo Kaempferia parviflora
Induksi rimpang mikro dapat dilakukan dengan beberapa syarat yang dapat
memenuhi kriteria agar planlet dapat berimpang. Faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah kondisi tempat seperti cahaya, kelembaban, suhu, dalam hal ini diperlukannya
tempat gelap, suhu yang cukup rendah berkisar 23 sampai 27 °C, kelembaban yang
stabil (Tyagi et al. 2006). Ketersediaan cadangan makanan menjadi hal yang penting
dalam induksi rimpang, apabila cadangan makanan melimpah, maka akan
ditranslokasikan untuk terbentuknya rimpang mikro. Ketersediaan ZPT juga memiliki
peranan penting dalam mempercepat proses inisiasi yaitu terbentuknya rimpang mikro,
ZPT tersebut seperti sitokinin. Keadaan demikian dapat dimodifikasi secara teknis
dalam rancangan penelitian, dengan tujuan untuk terbentuknya rimpang mikro pada
planlet tersebut.

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan konsentrasi BAP dengan taraf 0 sampai 4 mg L¯1 tidak menunjukkan
pengaruh nyata terhadap inisiasi rimpang mikro Kaempferia parviflora. Konsentrasi
sukrosa yang diberikan berpengaruh nyata terhadap pembentukan jumlah tunas 2 MSP
dan bobot basah planlet 10 MSP. K. parviflora dapat membentuk rimpang mikro secara
in vitro, hal tersebut karena struktur anatomi rimpang yang sama dengan struktur
anatomi rimpang in vivo. K. parviflora yang dikulturkan pada media MS yang
mengandung 90 g L¯1 sukrosa tanpa BAP memiliki jumlah rimpang mikro tertinggi pada
8 MSP, yaitu 5 rimpang.
Saran
Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan penambahan waktu inisiasi rimpang
mikro 12-16 MSP, dengan perlakuan subkultur pada media yang sama. Planlet yang
digunakan untuk inisiasi rimpang mikro sebaiknya dipastikan seragam agar hasilnya
menjadi lebih baik. Penambahan media inisiasi juga perlu dilakukan apabila
penambahan waktu inisiasi dilakukan agar, ketersediaan hara dan gula dapat terpenuhi.
Rimpang mikro K. parviflora hasil inisiasi perlu ditunaskan untuk mengetahui, bahwa
rimpang tersebut dapat bertunas dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Alveno V. 2012. Multiple in vitro shoot induc