Perencanaan jalur interpretasi alam di pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi

(1)

PERENCANAAN JALUR INTERPRETASI ALAM

DI PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI

RAFIKA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PERENCANAAN JALUR INTERPRETASI ALAM

DI PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI

RAFIKA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

RINGKASAN

RAFIKA. Perencanaan Jalur Interpertasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi. Di bawah bimbingan NANDI KOSMARYANDI dan EVA RACHMAWATI.

Pulau Kapota merupakan salah satu pulau berpenghuni di kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang letaknya tidak jauh dari ibukota kabupaten, dengan luas wilayah sekitar 1.804,97 ha. Pulau Kapota memiliki potensi sumberdaya kawasan yang dapat dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata yaitu berupa potensi sumberdaya alam dan budaya. Melihat potensi sumberdaya kawasan tersebut pihak taman nasional memiliki rencana untuk menjadikan Pulau Kapota sebagai salah satu lokasi kegiatan ekowisata di TNW. Agar pengunjung yang datang ke Pulau Kapota mendapatkan nilai lebih dalam kunjungannya maka kegiatan ekowisata akan lebih baik lagi jika dipadukan dengan kegiatan interpretasi. Penelitian dilaksanakan di Pulau Kapota, salah satu pulau di TNW, Sulawesi Tenggara. Dilaksanakan selama dua bulan, yaitu bulan Juli-Agustus 2010. Alat dan bahan yang digunakan antara lain alat tulis, binokuler, kamera digital, tape recorder, GPS, Software Arcview 3.3, peta TNW dan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur, wawancara dan penyebaran kuesioner, serta observasi lapang.

Hasil penelitian menemukan berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota yang diklasifikasikan menjadi potensi biologis, potensi fisik, potensi sejarah dan situs keramat, serta potensi seni-budaya. Potensi biologis berupa keanekaragaman flora yang ada pada jalur pengamatan (dijumpai 16 jenis flora), fauna (dijumpai 23 jenis burung, 2 jenis mamalia, 3 jenis reptil), dan ekosistem yang khas (mangrove, lamun, terumbu karang). Potensi fisik berupa Goa Kelelawar, Mata Air Kolowowa, Danau Tailaro Nto‟oge, pantai berpasir putih dan pemandangan alam. Potensi sejarah dan situs keramat berupa benteng kerajaan masyarakat adat Kapota (Katiama dan Togo Molengo), makam penyiar agama Islam pertama di Pulau Kapota, Saru-sarua, Laudina, Watu Lulu, dan Watu Ndengu-ndengu. Potensi seni-budaya berupa kerajinan jalajah dan tenunan kain

leja, tarian tradisional, dan pesta adat (Kabuenga dan Karia‟a). Sudah terdapat jalur yang menghubungkan berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota. Dari hasil pengamatan dijumpai tujuh jalur yang dapat digunakan untuk mencapai objek-objek tersebut, enam jalur terestrial dan satu jalur aquatik. Berdasarkan potensi objek serta kondisi fisik jalur, dari ketujuh jalur yang ada terdapat enam jalur yang direncanakan sebagai jalur interpretasi, lima jalur terestrial dan satu jalur aquatik. Jalur tersebut yaitu Jalur Interpretasi Pantai Aowolio, Jalur Interpretasi Goa Kelelawar, Jalur Interpretasi Togo Molengo, Jalur Interpretasi Banakawa, Jalur Interpretasi Hutan Sara dan Jalur Interpretasi Kapota Reef. Kata Kunci : Jalur Interpertasi, Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi


(4)

SUMMARY

RAFIKA. Planning Interpretation Trail in Kapota Island, Wakatobi National Park. Under the Supervision of NANDI KOSMARYANDI and EVA RACHMAWATI.

Kapota island is one of the inhabited island in Wakatobi National Park area. Located nearby the capital of district with an area approximately 1.804,97 ha. Kapota island has potential resources that can be developed as tourism object and attraction such as natural resources and cultural. Based on potential resources in the area, the national park aims to make Kapota island as one of the ecotourism activity location. In order to make Kapota island visitors get more advantages, therefore the ecotourism activity joined with interpretation programme. This research carried out in Kapota island, one of island in Wakatobi National Park, Sulawesi Tenggara Province. That was implemented for two months, July to August 2010. The equipments and materials were stationery, binoculars, digital camera, tape recorder, GPS, Software Arcview 3.3, Wakatobi National Park map, and questionnaire. Data collected by literature study, interview, questionnaire, and field observation.

The result were various tourism objects and attractions in Kapota island which can be classified as potential biology, physic, history, sacred sites, and art-culture. Biology potential such as flora diversity (16 species flora), fauna (23 species birds, 2 species mammals, 3 species reptiles), and specific ecosystem (mangrove, seagrass, coral reef). Physic potential such as Bat Cave, Kolowowa

Spring, Tailaro Nto‟oge Lake, white sand beach, and landscape. History potential and sacred sites such as fort royal of indigenous people of Kapota (Katiama dan Togo Molengo), tomb of the first herald of islamic religious in Kapota island, Saru-sarua, Laudina, Watu Lulu, and Watu Ndengu-ndengu. Art-culture potential such as jalajah craft, leja woven fabric, traditional dance, and tradition feast (Kabuenga dan Karia’a). There were tracks connecting the location of tourism object and attractions in the island. From the result, found seven tracks that can be used to reach the objects, six tracks in terrestrial, and one track in aquatic. Based on potential object and the condition of track, six tracks planned as interpretation trails, five tracks in terrestrial and one track in aquatic. The tracks were Aowolio Beach, Bat Cave, Togo Molengo, Banakawa, Sara Forest, and Kapota Reef. Keywords: Interpretation Track, Kapota island, Wakatobi National Park


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Perencanaan

Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Rafika


(6)

Judul Skripsi : Perencanaan Jalur Interpertasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi

Nama : Rafika NIM : E34063253

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Nandi Kosmaryandi,M.Sc.F Eva Rachmawati,S.Hut, M.Si NIP. 196606281998021001 NIP. 197703212005012003

Mengetahui: Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Rafika dilahirkan di Desa Taratak Tangah, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 1 Februari 1988. Penulis merupakan anak pertama dari 5 bersaudara pasangan Bapak Usri dan Ibu Yumarnis. Pendidikan formal di tempuh di SD Negeri 19 Taratak Tangah, SMP Negeri 3 Lembah Gumanti, dan SMA Negeri 1 Lembah Gumanti. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) dan tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Selama perkuliahan penulis aktif dalam beberapa organisasi di IPB yaitu Organisasi Mahasiswa Daerah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang), Unit Kegiatan Mahasiswa UKF (Uni Konservasi Fauna), dan Himpunan profesi HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata).

Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama berada di IPB diantaranya Eksplorasi Satwa di Cikeupuh (2006); Ekspedisi Global di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2006); Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalbar (2008); Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau, Banten (2009); Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Kamojang, TWA Kawah Kamojang, dan CA Leuweung Sancang (2008); Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan KPH Cianjur (2009); Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur (2010). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian di Sulawesi Tenggara dengan judul “Perencanaan Jalur

Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” di bawah bimbingan Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F dan Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam, karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini dapat diselesaikan. Dengan segala hormat, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. 1. Orang tua, kakak, adik, dan segenap keluarga atas segala doa, motivasi dan

dukungannya yang tiada henti hingga studi ini dapat terselesaikan.

2. Keluarga Pak In selaku orang tua wali selama di Bogor, terima kasih banyak atas doa, motivasi, dan dukungannya.

3. Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F dan Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku pembimbing penulis, terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan ilmu, bimbingan dan nasehat kepada penulis.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan.

5. Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Bpk Wahju Rudianto, S.Pi yang telah memberikan izin tempat penelitian, serta kepada staf Balai TNW yang sudah banyak membantu demi kelancaran penelitian ini.

6. Ketua SPKP Banakawa Bpk Suhaeri, Nyong, Tari, Vivi, Inal, Tarsan, dan Oji yang telah banyak membantu dan mau direpotkan selama di lapangan, dan teman-teman KPA yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

7. Rekan-rekan mahasiswa “CENDRAWASIH 43” terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.

8. Teman-teman UKF, terima kasih karena selalu membuatku tertawa di saat sedih dan berbagi banyak hal selama di IPB.

9. Keluarga besar HIMAKOVA khususnya keluarga besar KPM “TARSIUS” terima kasih banyak atas persahabatannya (Yunus Liv_8 terima kasih atas bantuannya membuat video).

10.Semua pihak yang telah membantu demi kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perencanaan Jalur

Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Keberadaan Taman Nasional Wakatobi sebagai kawasan pelestarian alam dan daerah tujuan wisata sangat memerlukan adanya interpretasi untuk memberikan pemahaman kepada pengunjung bahwa kawasan yang dikunjunginya merupakan kawasan khusus dan membutuhkan perlakuan khusus juga. Pemahaman inilah yang diharapkan dapat mendorong pengunjung agar mau berpartisipasi dalam melestarikan sumberdaya alam yang ada di Taman Nasional Wakatobi. Kegiatan interpretasi akan berjalan dengan lancar apabila dilaksanakan secara terencana, oleh karena itu harus disusun perencanaan interpretasinya terlebih dahulu.

Selama penyusunan skripsi ini, tidak dapat dipungkiri banyak sekali hambatan yang dihadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan karya ini. Akhirnya dengan kemampuan yang terbatas dan segala kekurangan, penulis masih berharap semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Bogor, April 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ... 3

2.2 Interpretasi ... 4

2.2.1 Defenisi Interpretasi ... 4

2.2.2 Tujuan Interpretasi ... 4

2.2.3 Unsur-Unsur Interpretasi ... 5

2.2.4 Metode Interpretasi ... 7

2.2.5 Jalur Interpretasi ... 7

2.2.6 Program Interpretasi ... 8

BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN 3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi ... 10

3.2 Sejarah Kawasan ... 10

3.3 Kondisi Fisik ... 11

3.4 Kondisi Biologi ... 12

3.5 Sosial Budaya Masyarakat ... 14

3.6 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 15

3.7 Aksesibilitas ... 16

BAB IV METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

4.2 Alat dan Bahan ... 18


(11)

4.4 Pengumpulan Data... 19

4.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata ... 23

5.1.1 Potensi Biologis ... 23

5.1.2 Potensi Fisik ... 35

5.1.3 Potensi Sejarah dan Situs Keramat ... 46

5.1.4 Potensi Seni dan Budaya ... 51

5.2 Jalur yang Berpotensi untuk Dikembangkan sebagai Jalur Interpretasi ... 60

5.2.1 Jalur SPKP-Pantai Aowolio ... 62

5.2.2 Jalur Pesisir Pantai Kapota-Goa Kelelawar... 65

5.2.3 Jalur SPKP-Togo Molengo ... 68

5.2.4 Jalur SPKP-Banakawa ... 71

5.2.5 Jalur SPKP-Hutan Sara ... 74

5.2.6 Jalur Hutan Sara-Saru‟sarua ... 77

5.2.7 Jalur PelabuhanJonson-Karang Kapota... 80

5.3 Sarana dan Prasarana Pendukung Interpretasi ... 81

5.4 Pengunjung Taman Nasional Wakatobi ... 82

5.5 Sumberdaya Manusia Pengelola Kegiatan Wisata Pulau Kapota . 85 5.6 Arah Pengembangan Kawasan Pulau Kapota ... 87

5.7 Perencanaan Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota ... 88

5.7.1 Jalur Interpretasi Pantai Aowolio ... 88

5.7.2 Jalur Interpretasi Goa Kelelawar ... 92

5.7.3 Jalur Interpretasi Togo Molengo ... 96

5.7.4 Jalur Interpretasi Banakawa ... 100

5.7.5 Jalur Interpretasi Hutan Sara ... 106

5.7.6 Jalur Interpretasi Kapota Reef ... 109

5.8 Perencanaan Fasilitas Pendukung Interpretasi ... 111

5.8.1 Pusat Informasi (Information Center)... 113

5.8.2 Tempat Pembuangan Sampah ... 114


(12)

5.8.4 Perencanaan Peta Kawasan ... 114

5.8.5 Homestay ... 115

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 117

6.2 Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi. ... 10

2. Peta jalur perjalanan ke Taman Nasional Wakatobi. ... 17

3. Perahu jonson sebagai alat transportasi lokal. ... 17

4. Peta lokasi penelitian. ... 18

5. Kelapa cabang empat ... 29

6. Potensi tumbuhan mangrove ... 32

7. Ekosistem karang ... 34

8. Pintu masuk horizontal Goa Kelelawar... 36

9. Fauna dan ornamen goa di ruangan pertama ... 36

10.Ornamen goa pada dinding dan atap goa di ruangan kedua ... 37

11.Ornamen goa pada lorong ... 38

12.Kolam air yang terdapat di dalam goa (tampak dari atas)... 38

13.Mata Air Kolowowa ... 39

14.Kondisi air Danau Tailaro To‟oge ... 40

15.Bentuk Danau Tailaro Nto‟oge tampak dari atas ... 40

16.Peta posisi/letak lokasi pantai berpasir di Pulau Kapota ... 41

17.Hamparan pasir putih Pantai Aowolio ... 42

18.Bentuk fisik Watu Sahu‟u ... 42

19.Kondisi pantai pada saat air surut ... 43

20.Kegiatan meti-meti... 43

21.Pemandangan di Pantai Kolowowa ... 44

22.Kegiatan budidaya rumput laut... 45

23.Pantai Umala ... 46

24.Bekas Benteng Katiama yang sudah tertutupi rumput ... 46

25.Makam Bapak Barakati di dalam Togo Molengo. ... 47

26.Batu Banakawa yang dikeramatkan oleh masyarakat Pulau Kapota. ... 48

27.Situs keramat Saru‟sarua ... 49

28.Tugu Saru‟sarua ... 50

29.Tanjung Laudina. ... 50


(14)

31.Kerajinanjalajah ... 52

32.Kain tenun khas Kapota ... 52

33.Kegiatan memintal benang pada oluri. ... 53

34.Kegiatan menggabungkan benang dengan daro. ... 53

35.Pesta adat pingitan ... 55

36.Peserta karia yang berlari keliling kampung ... 56

37.Lifo yang berisi bermacam-macam kue ... 56

38.Pesta kabuenga ... 58

39.Posisi peserta acara kabuenga sesuai perannya. ... 58

40.Acara Kabuenga ... 60

41.Peta potensi jalur interpretasi alam di Pulau Kapota ... 61

42.Peta potensi jalur interpretasi alam di Perairan Kapota ... 62

43.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Pantai Aowolio ... 64

44.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Pantai Kapota-Goa Kelelawar. ... 67

45.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Togo Molengo ... 70

46.Kondisi Jalur SPKP-Banakawa ... 71

47.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Banakawa. ... 73

48.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Hutan Sara ... 76

49.Kondisi jalur Hutan Sara-Saru‟sarua ... 77

50.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Hutan Sara-Saru‟sarua ... 79

51.Jumlah pengunjung Taman Nasional Wakatobi tahun 1996-2009. ... 82

52.Tujuan kunjungan wisata Taman Nasional Wakatobi. ... 83

53.Diagram tujuan pengunjung datang ke Pulau Kapota ... 85

54.Diagram sumberdaya kawasan yang paling menarik menurut pengunjung ... 85

55.Struktur organisasi SPKP Banakawa di Pulau Kapota ... 86

56.Peta jalur interpertasi Pantai Aowolio. ... 90

57.Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur interpretasi Pantai Aowolio ... 91

58.Peta jalur interpertasi Goa Kelelawar ... 94

59.Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur interpretasi Goa Kelelawar ... 95


(15)

61.Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Togo Molengo ... 99

62.Peta jalur interpertasi Banakawa ... 103

63.Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Batu Banakawa. ... 104

64.Peta jalur interpertasi Hutan Sara. ... 107

65.Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Hutan Sara... 108

66.Lokasi diving di Jalur Interpretasi Kapota Reef. ... 110

67.Peta lokasi sarana dan prasarana interpretasi di Pulau Kapota... 112

68.Desain lawa yang akan dijadikan sebagai pusat informasi. ... 113

69.Peta objek wisata Pulau Kapota ... 115


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010 ... 14

2. Jumlah penduduk Pulau Kapota ... 16

3. Informasi rute perjalanan menuju Taman Nasional Wakatobi ... 16

4. Rekapitulasi pengumpulan data ... 21

5. Jenis burung yang dapat dijumpai di Pulau Kapota ... 30

6. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Pantai Aowolio ... 63

7. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju goa ... 65

8. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Togo Molengo ... 68

9. Rute jalur yang akan ditempuh menuju Batu Banakawa ... 72

10.Rute jalur dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Hutan Sara ... 74

11.Rute jalur yang akan ditempuh menuju Saru‟sarua ... 78

12.Rumah penginapan yang sudah tersedia di Pulau Kapota... 82

13.Karakteristik responden pengunjung ... 84

14.Objek utama di jalur interpretasi Pantai Aowolio ... 89

15.Materi interpretasi yang perlu disiapkan untuk kegiatan interpretasi ... 92

16.Objek utama di jalur interpretasi Goa Kelelalawar ... 93

17.Objek utama di jalur interpretasi Togo Molengo ... 97

18.Materi interpretasi di jalur interpertasi Togo Molengo ... 100

19.Objek utama di jalur interpretasi Banakawa ... 101

20.Materi interpretasi di jalur interpretasi Banakawa ... 105


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Jenis-jenis flora yang dijumpai di Pulau Kapota ... 122

2. Deskripsi fauna burung sebagai objek interpretasi di Pulau Kapota ... 123

3. Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dapat dijumpai di Pulau Kapota ... 134

4. Jenis-jenis lamun yang dapat dijumpai di Perairan Kapota ... 134

5. Jenis-jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di Perairan Kapota ... 135

6. Hasil pemetaan Goa Kelelawar ... 136


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan salah satu kawasan konservasi perairan laut yang tersusun atas empat pulau besar yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko dengan luas penutupan lahannya 97% berupa lautan. Singkatan nama dari keempat pulau ini jugalah nama Wakatobi diambil. Selain pulau besar tersebut di dalam kawasan Wakatobi terdapat pulau-pulau kecil, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh WWF pada tahun 2006 teridentifikasi 22 pulau masuk ke dalam kawasan TNW, salah satunya adalah Pulau Kapota.

Pulau Kapota merupakan salah satu pulau berpenghuni yang terletak di bagian barat laut Pulau Wangi-wangi dengan luas sekitar 1.804,97 ha (Balai TNW 2008). Berdasarkan mitos yang berkembang di masyarakat, nenek moyang mereka merupakan salah satu orang pertama yang mendiami kawasan Wakatobi. Sehingga sampai saat ini masyarakat Pulau Kapota diakui sebagai salah satu masyarakat adat dari 9 masyarakat adat Kepulauan Wakatobi yang dikenal dengan nama Masyarakat Adat Kapota. Seperti masyarakat adat lainnya di Indonesia, Masyarakat Adat Kapota memiliki budaya khas yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata. Selain potensi budaya, di Pulau Kapota juga terdapat potensi sumberdaya alam yang menarik seperti goa, kelapa bercabang empat, danau, pantai berpasir, ekosistem yang khas dan objek lainnya. Perpaduan antara potensi budaya dan keindahan alam merupakan suatu tawaran yang menarik untuk berkunjung ke Pulau Kapota.

Pihak taman nasional memiliki rencana untuk menjadikan Pulau Kapota sebagai salah satu lokasi kegiatan ekowisata. Hal ini dilihat dari banyaknya potensi sumberdaya kawasan yang terdapat di pulau tersebut. Karena pulau Kapota berada di dalam kawasan konservasi maka kegiatan ekowisata akan lebih baik lagi jika mengandung unsur interpretasi. Unsur interpretasi dalam ekowisata merupakan hal yang amat penting, inilah yang membedakan ekowisata dengan kegiatan wisata alam lainnya. Kegiatan interpretasi yang memadai akan


(19)

menciptakan pengalaman ekowisata yang bermakna dalam meningkatkan pengetahuan, kesadaran, serta penghargaan pengunjung terhadap lingkungan dan budaya yang dikunjunginya. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan ekowisata di Pulau Kapota sangat diperlukan suatu perencanaan interpretasi.

Salah satu unsur yang penting dalam perencanaan interpretasi selain potensi objek dan daya tarik wisata, juga diperlukan suatu perencanaan jalur untuk mencapai objek tersebut. Sebenarnya saat ini telah terdapat jalur yang dapat menghubungkan objek-objek wisata di Pulau Kapota, namun di dalam jalur belum terdapat unsur interpretasi. Oleh karena itu, dalam menyusun perencanaan interpretasi diperlukan suatu kajian yang dapat menginventarisasi potensi objek dan daya tarik wisata, serta mengidentifikasi jalur yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi.

1.2. Tujuan

Penelitian ini, secara umum dilakukan untuk menyusun perencanaan jalur interpretasi alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi. Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa tujuan khusus yang harus dicapai, yaitu:

1. Menginventarisasi potensi objek dan daya tarik wisata

2. Mengidentifikasi jalur yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai jalur interpretasi

1.3. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar (base line) untuk pengembangan objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota dan jalur-jalur untuk mencapai objek tersebut, sehingga dapat menjadi masukan bagi taman nasional dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan ekowisata di Pulau Kapota.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Taman Nasional

Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud taman nasional yakni kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi yang dimaksud pada pengertian taman nasional tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 adalah:

1. Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langkaa atau yang keberadaannya terancam punah. Zona rimba mempunyai tujuan utama sebagai tempat untuk pelestarian, tetapi tidak seketat pada zona inti. Kegiatan ringan seperti mendaki, wisata alam terbatas, rehabilitasi dan pembangunan sarana (jalan setapak, papan penunjuk, shelter) secara terbatas dapat dimungkinkan.

2. Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.


(21)

3. Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Taman nasional memiliki fungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Setyadi (2006) menyebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan taman nasional adalah mengelola penggunaan kawasan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah.

2.4 Interpretasi

2.2.1 Defenisi Interpretasi

Interpretasi adalah suatu kegiatan bina cinta alam yang khusus ditujukan untuk pengunjung kawasan konservasi alam yang merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu pelayanan informasi, pelayanan pemanduan, pendidikan, hiburan dan promosi (Dirjen PHPA 1988). Sedangkan menurut Tilden (1957) interpretasi merupakan kegiatan edukatif yang sasarannya mengungkapkan pertalian makna, dengan menggunakan objek aslinya baik oleh pengalaman langsung maupun dengan menggunakan media ilustrasi dan bukan keterangan-keterangan yang hanya berdasarkan fakta saja.

Sharpe (1982), mendefinisikan interpretasi sebagai bentuk pelayanan kepada pengunjung taman, hutan, suaka alam, dan tempat rekreasi sejenis. Kegiatan interpretasi yang dilakukan dapat menghubungkan pengunjung dengan kawasan konservasi sebaik-baiknya. Dirjen PHPA (1988) dalam buku Pedoman Interpretasi Taman Nasional, menuliskan bahwa interpretasi taman nasional dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pengelolaan dan sekaligus sebagai bentuk pelayanan kepada pengunjung taman nasional yang bersangkutan, serta


(22)

merupakan salah satu dasar kebijaksanaan yang ditetapkan baik untuk saat ini, maupun yang akan datang.

2.2.2 Tujuan Interpretasi

Tujuan kegiatan interpretasi secara umum menurut Dirjen PHPA (1988) adalah untuk membantu pengunjung agar kunjungannya lebih menyenangkan dan lebih kaya akan pengalaman, dengan cara meningkatkan kesadaran, penghargaan dan pengertian akan kawasan rekreasi yang dikunjungi dengan cara pemanfaatan waktu yang lebih efisien selama kunjungan. Selain itu juga bertujuan untuk mencapai tujuan pengelolaan kawasan rekreasi yang bijaksana, dengan cara meningkatkan penggunaan sumberdaya secara bijaksana dan menanamkan pengertian bahwa kawasan rekreasi yang dikunjungi tersebut adalah tempat yang istimewa, sehingga memerlukan perlakuan khusus juga sekaligus menekan serendah mungkin pengaruh kuat manusia terhadap sumberdaya yang ada.

2.2.3 Unsur-Unsur Interpretasi

Dirjen PHPA (1988) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan interpretasi terdapat tiga unsur pokok yang menjadi satu kesatuan sehingga interpretasi dapat berlangsung sebagaimana mestinya, yaitu:

1. Pengunjung

Muntasib dan Rachmawati (2009) menuliskan bahwa pengunjung adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara yang bukan merupakan tempat tinggal yang biasa, dengan alasan apapun juga, kecuali mengusahakan sesuatu pekerjaan yang dibayar oleh negara yang dikunjunginya. Dalam hal ini termasuk wisatawan dan pelancong. Wisatawan adalah pengunjung sementara yang paling sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dengan tujuan untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi keagamaan, olah raga, kepentingan keluarga dan hubungan dagang.

Interpretasi yang disajikan kepada pengunjung agar mencapai sasaran, maka perlu adanya pendataan dan analisa beberapa hal yang berkaitan dengan pengunjung. Data-data tersebut antara lain tempat-tempat yang paling banyak


(23)

pengunjungnya di taman nasional yang bersangkutan, asal pengunjung, waktu-waktu yang ramai pengunjung (Dirjen PHPA 1988).

2. Pemandu wisata alam (Interpreter)

Interpretasi merupakan sebuah program menyeluruh untuk menggambarkan cerita secara keseluruhan. Pelayanan interpretasi harus menyampaikan tentang sebuah cerita tertentu dengan proporsional artinya tidak berlebihan dan bukan asal saja, tentang ekosistem atau peninggalan-peninggalan sejarah/budaya (Muntasib dan Rachmawati 2009). Seseorang yang bertugas memberikan pelayanan interpretasi tersebut adalah pemandu wisata. Pemandu wisata alam adalah seseorang yang ditunjuk secara resmi oleh pimpinan utama taman nasional setempat berdasarkan peraturan dan kriteria yang telah ditentukan untuk melaksanakan kegiatan interpretasi sesuai dengan program yang telah disusun (Dirjen PHPA 1988).

Kualitas pemandu wisata alam sangat menentukan program interpretasi yang diselenggarakan. Syarat kemampuan yang harus dimiliki pemandu wisata alam (Dirjen PHPA 1988) adalah sebagai berikut:

a. Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu yang berkaitan dengan sesuatu yang menjadi objek interpretasi. Ilmu tersebut tentunya harus sejalan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan alam, antara lain biologi, geologi, klimatologi, fisika, sejarah kependudukan, peninggalan budaya, dan sebagainya

b. Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi massa serta sekaligus mampu mempraktekkan dalam tugasnya sebagai pemandu wisata alam

c. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, bukan hanya sekedar memberi informasi, karena informasi bukanlah interpretasi.

d. Menguasai cara-cara pengendalian diri e. Berpenampilan bersih dan rapi

f. Memiliki rasa hormat yang memadai dan jangan sekali-kali menganggap rendah pengunjung, sungguhpun ada pertanyaan yang dikemukakannya tidak bernilai (pertanyaan bodoh)


(24)

3. Objek Interpretasi

Objek interpretasi adalah segala sesuatu yang ada di taman nasional bersangkutan, digunakan sebagai objek dalam menyelenggarakan interpretasi (Dirjen PHPA 1988). Objek interpretasi dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu objek interpretasi berupa potensi sumberdaya alam dan potensi sejarah ataupun budaya. Objek interpretasi sumberdaya alam suatu kawasan konservasi dapat berupa flora, fauna, tipe-tipe ekosistem yang khas, pemandangan laut (termasuk biota bawah laut), goa, danau, air terjun, dan fenomena alam lainnya. Sedangkan objek interpretasi sejarah ataupun budaya dapat berupa batu-batu megalithik, situs-situs sejarah dan benda-benda peninggalan purbakala, bekas pemukiman yang sudah lama ditinggalkan, pemukiman dan perkehidupan penduduk asli baik yang ada di dalam kawasan konservasi maupun sekitarnya, sejarah kawasan, legenda yang hidup di kalangan masyarakat setempat, dan sebagainya.

2.2.4 Metode Interpretasi

Metode interpretasi adalah cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan interpretasi. Penentuan penggunaan metode interpretasi didasarkan pada faktor penentunya yaitu pengunjung dan objek interpretasi, secara garis besar terdapat dua macam metode interpretasi (Dirjen PHPA 1988) yaitu:

1. Interpretasi Langsung

Metode interpretasi langsung dilakukan dengan cara mempertemukan pengunjung taman nasional dengan objek interpretasi, sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar, atau bila mungkin mencium, merasakan, dan meraba objek-objek interpretasi yang diperagakan. Interpretasi dengan metode ini dapat berupa tamasya berkeliling atau berjalan-jalan dengan pemandu wisata alam maupun percakapan atau diskusi di lokasi dengan/tanpa demonstrasi.

2. Interpretasi Tidak Langsung

Metode tidak langsung dilakukan dengan cara menggunakan bahan atau peralatan bantu guna memperkenalkan objek interpretasi. Dalam metode ini dapat dilaksanakan dengan menyajikan pemutaran film atau slide program, dalam bentuk sandiwara boneka (khusus anak-anak) yang bertemakan konservasi alam


(25)

taman nasional setempat, ataupun dalam bentuk percakapan di suatu ruangan antara pengunjung dengan pemandu wisata alam sambil memperagakan satwa atau offset, juga dapat memperdengarkan suara rekaman binatang maupun sumber bunyi lainnya.

2.2.5 Jalur Interpretasi

Pembuatan jalur interpretasi merupakan bagian dari program interpretasi. Jalur ini merupakan alat kontrol bagi pengunjung yang memasuki tempat-tempat menarik untuk tujuan menghargai dan mengetahui nilai-nilai kawasan konservasi yang didampingi oleh pemandu. Menurut Douglass (1982), jalur interpretasi adalah suatu rute yang dibuat untuk mengarahkan pengunjung ke tempat-tempat di mana objek-objek geologis, biologis, sejarah dan budaya yang menarik akan dijelaskan kepada pengunjung dengan bantuan pemandu, tanda-tanda, leaflet atau peralatan elektrik sehingga pengunjung mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan secara langsung di lapangan. Menurut Soewardi (1978), bahwa pembangunan jalur interpretasi bertujuan untuk mengamati studi keadaan fisik dan geologi, hutan, tanaman, margasatwa, dan aspek-aspek kawasan lainnya.

Tujuan pengembangan jalur interpretasi menurut Douglass (1982) adalah: 1. Menjamin perlindungan dan pelestarian objek rekreasi

2. Pengawasan dan pelayanan yang lebih baik terhadap pengunjung

3. Pengembangan metode interpretasi alam, baik langsung maupun melalui papan pengumuman dan tanda-tanda lain di lapangan.

Kriteria jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) adalah: 1. Mengarahkan pada pemandangan yang spektakuler, seperti air terjun, goa,

aliran sungai, pohon keramat, kawah, dan sebagainya

2. Jalur tidak licin, tidak curam, tidak tergenang dan tidak berlumpur 3. Jalur dilengkapi dengan rambu-rambu dan penunjuk arah yang jelas 4. Jalur tidak lurus dan jarak antara jalur satu dengan lain tidak terlalu jauh

5. Jalur tidak melalui komunitas tumbuhan yang rapuh dan habitat satwaliar yang mudah terganggu.

Panjang jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) ditentukan oleh waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah di lapangan, jarak


(26)

sebenarnya di lapangan dan kondisi orang yang berjalan di jalur tersebut. Waktu berjalan pada jalur, umumnya tidak melebihi 45 menit berjalan kaki dan yang terbaik adalah 15-30 menit. Menurut Douglass (1982), panjang jalur interpretasi alam yang dianjurkan tidak melebihi 0,5 mil (800 m), lebar 0,5-2 m dan lereng maksimal 15%. Jalur di rancang untuk keperluan berbagai macam sarana transportasi, tetapi umumnya di rancang untuk keperluan pejalan kaki.

2.2.6 Program Interpretasi

Dirjen PHPA (1988) menyebutkan bahwa program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi yang di susun menurut waktu dan skenario cerita tertentu yang bertujuan menjelaskan mengenai apresiasi terhadap lingkungan dengan nilai-nilai historis dan alam yang penting. Program interpretasi menghubungkan fenomena alam atau budaya suatu taman atau areal sejenis kepada pengunjung dengan menggunakan variasi metode yang luas dalam menerangkan masalah yang utama. Sedangkan menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha interpretasi, termasuk personil, fasilitas, dan semua kegiatan interpretasi di suatu areal kelompok, perorangan atau individu.


(27)

BAB III

GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN

3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi

Taman Nasional Wakatobi secara geografis terletak di antara 5°12' - 6°10' LS dan 123°20' -124°39' BT. Kepulauan Wakatobi secara administratif awalnya termasuk dalam Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004 terbentuknya Kabupaten Wakatobi merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Kepulauan Wakatobi secara geografis berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores.

Sumber : Balai TNW 2008 Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi.

3.2 Sejarah Kawasan

Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ± 1.390.000 ha ditunjuk sebagai taman nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, dan ditetapkan sebagai taman nasional pada tanggal 19 Agustus 2002 berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Taman Nasional Wakatobi (TNW) dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan


(28)

berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti, zona pelindung bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal dan zona pemanfaatan umum. Namun karena proses penetapannya dianggap belum melalui tahapan proses konsultasi di berbagai tingkatan serta pembagian ruangnya belum sesuai dengan fungsi peruntukan serta kebutuhan yang berkembang, maka penetapan zonasi lama banyak menimbulkan konflik di lapangan.

Pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004, telah meningkatkan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk melakukan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semangat penerapan undang-undang tersebut juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dirasakan kurang memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat. Dalam perkembangannya, pada tahun 2003 melalui Undang-undang No.29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi dibentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten baru ini sama persis dengan letak dan luas TNW.

3.3 Kondisi Fisik

Bentuk topografi daerah Kabupaten Wakatobi umumnya datar dan terdapat beberapa mikro atol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa, dan Karang Tomia. Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa daerah yang bertubir-tubir karang yang tajam. Perairan lautnya mempunyai konfigurasi perairan mulai dari datar hingga melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, dengan bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur Pulau Kaledupa yaitu sedalam 1.044 m.

Kepulauan Wakatobi terletak berdekatan dengan garis khatulistiwa. Hal ini menjadikan Kabupaten Wakatobi beriklim tropis. Wakatobi juga mengenal adanya musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat berlangsung dari bulan Desember-Maret yang ditandai dengan sering terjadinya hujan. Sedangkan musim angin timur berlangsung pada bulan Juni-September


(29)

yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan jarang terjadi hujan. Peralihan musim ini biasa disebut dengan musim pancaroba, yaitu pada bulan Oktober-November dan bulan April-Mei. Kondisi gelombang air laut tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Suhu harian berkisar antara 19 – 34C. Data sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di Kepulauan Wakatobi tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan September (2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat mencapai 229,5 mm (Balai TNW 2008).

3.4 Kondisi Biologi

Kepulauan Wakatobi masuk ke dalam kawasan segitiga karang dunia (coral triangle centre) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (Supriatna 2008). Sementara itu kekayaan sumberdaya laut TNW dikelompokkan menjadi 8 sumberdaya penting, yaitu terumbu karang, mangrove, padang lamun, tempat pemijahan ikan, tempat bertelur burung pantai, pantai peneluruan penyu, dan cetacean (Balai TNW 2007).

Sampai saat ini di dalam ekosistem terumbu karang tercatat 396 jenis karang keras, sebanyak 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur. Jenis terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari terumbu karang cincin (atol reef), terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan karang gosong (patch reef). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 ha. Adapun komponen utama yang menyusun terumbu karang di Kepulauan Wakatobi yaitu karang hidup (terdiri dari hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta organisme lain yang bersimbiosis dengan karang (Balai TNW 2007).

Letak Kepulauan Wakatobi berada di kawasan segitiga karang dunia, sehingga kawasan ini memiliki jenis ikan yang beragam. Berdasarkan indeks keragaman ikan karang, ditemukan sekitar 942 spesies ikan karang di wilayah perairan Wakatobi (Balai TNW 2008). Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan


(30)

di Komodo. Famili paling beragam spesiesnya adalah wrasse (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae) dan angel (Pomacanthidae).

Hasil monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006, tercatat 2 jenis penyu yang dijumpai di Kepulauan Wakatobi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Balai TNW 2008). Kemudian juga tercatat 9 jenis lamun di Perairan Wakatobi diantaranya Enhalus acororides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Thalassodenron ciliatum, Halodule uninervis, Cymodocea serullata. Selain ekosistem karang dan biota laut lainnya Kepulauan Wakatobi juga memiliki ekosistem non karang seperti mangrove. Tercatat 22 jenis tumbuhan mangrove dari 13 famili mangrove sejati, antara lain Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis (Balai TNW 2008).

Diantara berbagai keanekaragaman sumberdaya TNW, terdapat beberapa jenis satwa langka dan dilindungi oleh pemerintah. Beberapa spesies yang termasuk jenis langka dan terancam adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), kepiting kenari (Birguslatro), kima (Tridacna sp.), lola (Trochus niloticus) dan cumi-cumi berbintik hitam. Sementara itu jenis burung laut yang terdapat di TNW seperti angsa batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), dan raja udang erasia (Alcedo anthis). Adapun dari famili Cetacean tercatat beberapa jenis yang tergolong terancam punah seperti paus sperma (Physeter macrocephalus), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhyncus), paus pembunuh (Orcinus orca), paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata), lumba-lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredenensis), lumba-lumba abu-abu (Grampus griseus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), dan paus kepala semangka (Peponocephala electra).


(31)

3.5Sosial Budaya Masyarakat

Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada tahun 2010 berjumlah 103.432 jiwa. Secara keseluruhan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1 Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010

No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase

1 Wangi-wangi 25.974 25.11%

2 Wangi-wangi Selatan 27.257 26.35%

3 Biningko 9.339 9.03%

4 Togo Binongko 5.289 5.11%

5 Tomia 7.687 7.43%

6 Tomia Timur 9.385 9.07%

7 Kaledupa 11.119 10.75%

8 Kaledupa Selatan 7.378 7.13%

Jumlah 103.432 100%

Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk

Masyarakat Wakatobi terdiri dari 9 masyarakat adat, yaitu masyarakat Adat Wanci, masyarakat Adat Mandati, masyarakat Adat Liya dan masyarakat Adat Kapota yang terdapat di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kapota. Selanjutnya masyarakat Adat Kaledupa yang terdapat di P. Kaledupa, masyarakat Adat Waha, masyarakat Adat Tongano dan masyarakat Adat Timu yang terdapat di P. Tomia, serta masyarakat Adat Mbeda-beda di P. Binongko. Selain itu terdapat dua masyarakat yang merupakan masyarakat pendatang yaitu masyarakat Bajo dan masyarakat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton. Setiap masyarakat adat tersebut memiliki bahasa yang khas untuk adatnya masing-masing, tetapi walaupun bahasa yang digunakan berbeda-beda mereka bisa saling memahami kalau terjadi komunikasi (Balai TNW 2008).

Penduduk Wakatobi sebagian besar beragama Islam. Kepercayaan terhadap hal-hal mistik masih dipercaya dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan di lokasi tertentu yang dianggap mistis. Pelaksanaan ritual masyarakat dilakukan dengan membawa daun sirih, buah pala, dan koin lama sebagai suatu syarat. Kehidupan damai dan saling menghargai antara sesama manusia merupakan penerapan dalam kehidupan bermasyarakat di Wakatobi.

Penduduk Wakatobi memiliki bahasa daerah dalam berkomunikasi. Masyarakat desa masih menggunakan bahasa daerah dengan fasih dan lancar sedangkan masyarakat di kota menggunakan bahasa Indonesia dalam


(32)

berkomunikasi. Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Wakatobi merupakan rumpun bahasa suai yang pemakaiannya meliputi dialek Wanci, dialek Kaledupa, dialek Tomia dan dialek Binongko. Keempat dialek di Wakatobi disebut wilayah bahasa atau region. Region di Wakatobi memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal penyebutan atau penamaan benda-benda tertentu.

3.6 Deskripsi Lokasi Penelitian

Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di TNW, luas kawasannya sekitar 1804,967 ha (Balai TNW 2009). Pulau Kapota terletak di bagian sebelah selatan Pulau Wangi-Wangi dan dikelilingi oleh Laut Banda. Secara administratif pemerintahan, Pulau Kapota masuk ke dalam Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Sedangkan berdasarkan wilayah pengelolaan masuk ke dalam unit pengelolaan Balai Taman Nasional Wakatobi atau Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I.

Pulau Kapota yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Kapota, Desa Kapota Utara, Desa Kabita, Desa Kabita Togo dan Desa Wisata Kollo, merupakan etnis Wakatobi asli. Kebudayaan etnis asli masih kental sehingga belum mengalami akulturasi. Penduduk di pulau ini masih hidup berdampingan dengan teratur, rukun, dan saling menghargai. Agama yang mereka anut 100% agama Islam, akan tetapi kepercayaan terhadap hal-hal mistik masih cukup kental di kalangan masyarakat. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan di lokasi tertentu yang dianggap mistis.

Mata pencarian masyarakat di Pulau Kapota lebih banyak sebagai nelayan dan petani, beberapa menjadi pengrajin jelajah, pengrajin tenun, pertukangan, dan PNS. Jumlah penduduk di Pulau Kapota pada tahun 2009 sebanyak 3.647 orang (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah penduduk Pulau Kapota

No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase

1. Kapota 428 579 1.007 27,61%

2. Kabita 406 510 916 25,12%

3. Kapota Utara 369 480 849 23,28%

4. Kabita Togo 214 252 466 12,78%

5. Wisata Kollo 192 217 409 11,21%

Jumlaah 1.609 2.038 3.647 100%


(33)

3.7 Aksesibilitas

Rute perjalanan menuju Kabupaten Wakatobi dapat dilakukan dari berbagai daerah seperti Bali, Jakarta, dan Makassar. Berdasarkan hasil survey lapang pada tahun 2010, jalur yang digunakan untuk menuju ke Taman Nasional Wakatobi bisa melalui laut dan udara (Tabel 3).

Tabel 3 Informasi rute perjalanan menuju Taman Nasional Wakatobi

Jalur Rute Waktu Armada Harga tiket* Keterangan

Udara  Jakarta-Kendari-Baubau-Wakatobi  Jakarta-Makasar-wakatobi  Jakarta-Kendari- wakatobi 3 jam 3 jam 3 jam Lion air Ekspress air Sriwijaya air Rp 1.200.000 s/d Rp 1.500.000

 Transit kendari dan baubau  Transit Makasar  Transit Kendari Laut  Kendari-Wakatobi

Baubau-Wakatobi

Baubau-Wakatobi

11 Jam 9 Jam

6 Jam

KM. Agil Pratama 01 KM. Aksar Saputra 01 KM. Aksar Saputra 02 KM. Ukiraya 01 KM. Ukiraya 03 KM. Riko Saputra KM. Kalimutu (Pelni)

Rp 125.000 Rp 125.000 Rp 100.000 Rp 100.000 Rp 100.000 Rp 100.000 Rp 75.000

 Kapal berlayar setiap hari secara bergantian

Sumber: Doc. pribadi Keterangan : *Patokan harga berdasarkan hasil survey lapang tahun 2010

Gambar 2 Peta jalur perjalanan ke Taman Nasional Wakatobi.

Pulau Kapota terletak ±3 km dari ibukota Kabupaten Wakatobi di Wangi-Wangi. Jenis alat transportasi untuk mencapai Pulau Kapota dari ibukota


(34)

kecamatan yang dominan digunakan oleh masyarakat adalah perahu jonson (Gambar 3) dengan frekuensi perjalanan 5-8 kali dalam sehari dan lama perjalanan sekitar 30 menit. Sedangkan di dalam kawasan Pulau Kapota, biasanya masyarakat menggunakan alat transportasi lokal berupa motor, sepeda, dan gerobak yang terbuat dari kayu (sebagai alat untuk mengangkut barang-barang bawaan dari pasar).


(35)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Pulau Kapota (Gambar 4) yang merupakan salah satu pulau di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 2 bulan (21 Juni- 22 Agustus 2010).

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian antara lain alat tulis, binokuler, kamera digital (Power Shot SX 120 IS), tape recorder, GPS (Garmin GPSmap 12 CX), Software Arcview 3.3, peta TNW, dan komputer/laptop. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain kuesioner, panduan wawancara, literatur, dan buku panduan pengenalan jenis flora dan fauna.

4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan atau merupakan data pokok yang harus didapatkan oleh peneliti. Data WAKATOBI


(36)

tersebut adalah potensi sumberdaya alam, sejarah dan seni budaya, posisi koordinat objek, kondisi jalur interpertasi, sarana dan prasarana wisata, pengunjung, dan pengelola. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas di lapangan, dan pengunjung. Data sekunder ini bukan data pokok tetapi sebagai pelengkap data primer. Data tersebut adalah kondisi umum TNW dan Pulau Kapota, dan peta TNW. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan segala bentuk data dan informasi yang dapat menunjang penyusunan laporan penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga metode yaitu studi literatur, wawancara/penyebaran kuesioner, dan observasi lapang (Tabel 4). Kegiatan studi literatur dilakukan apabila data dan informasi yang dibutuhkan tidak didapatkan selama di lapangan. Studi literatur dilaksanakan pada awal kegiatan, pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian.

Kegiatan wawancara dan penyebaran kuesioner merupakan kegiatan yang langsung berinteraksi dengan responden. Kegiatan wawancara dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur sehingga lebih memudahkan peneliti dalam memperoleh data dari responden. Responden yang akan diwawancarai adalah pengelola wisata dan masyarakat, dengan penentuannya sebagai berikut:

1. Penentuan pengelola TNW sebagai responden

Penentuan pengelola TNW sebagai responden dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu pemilihan secara langsung pengelola yang ahli dibidangnya dan pengelola tersebut dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penulisan. Pengelola tersebut adalah:

a) Pengelola yang ahli dalam bidang flora dan fauna,

b)Pengelola yang ahli dalam bidang mangrove, lamun, dan terumbu karang, c) Pengelola yang ahli dalam bidang biota laut,


(37)

2.Penentuan masyarakat sebagai responden

Penentuan masyarakat sebagai responden dilakukan secara purposive sampling yaitu pemilihan secara langsung masyarakat yang mengetahui potensi sumberdaya alam, sejarah dan budaya di kawasan Pulau Kapota, dan data lain yang menunjang penelitian (Tabel 4). Responden tersebut adalah tokoh masyarakat (kepala desa) dan tokoh adat Pulau Kapota sebanyak 2 orang. Kemudian juga dilakukan wawancara kepada masyarakat yang pernah menjadi panitia acara adat (event-event budaya yang pernah dilakukan) sebanyak 2 orang, dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata seperti pemandu wisata sebanyak 4 orang.

Penyebaran kuesioner ditujukan kepada pengunjung untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik pengunjung, tujuan kedatangan, objek yang disukai pengunjung, dan data lain yang menunjang penelitian (Tabel 4). Penentuan pengunjung sebagai responden dilakukan secara sample non-random secara kebetulan, sebanyak 30 orang. Teknik ini dilakukan terhadap pengunjung yang tidak sengaja dijumpai selama di lapangan dan bersedia membantu peneliti (Wardiyanta 2006). Selain itu pemilihan teknik ini juga karena kegiatan penelitian berlangsung pada musim barat (musim hujan), dimana kondisi gelombang air cukup besar (tinggi ombak mencapai 5-7 m) sehingga pengunjung yang datang ke TNW tidak banyak dan sulit ditemukan.

Kegiatan observasi lapang dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi penelitian. Data jalur yang didapat berdasarkan hasil studi literatur maupun wawancara, kemudian dilakukan verifikasi di lapangan. Kegiatan observasi lapang juga untuk merekam track jalur dan koordinat posisi flora, fauna dan objek yang menarik di sepanjang jalur dengan menggunakan GPS. Data-data tersebut kemudian diolah dalam bentuk peta dengan menggunakan Software Acrview 3.3. Saat melakukan verifikasi dilakukan pencatatan kondisi jalur, panjang dan lebar jalur, objek-objek wisata yang ditemui sepanjang jalur, jarak antar objek dan waktu tempuhnya, alat transportasi yang digunakan dan pencatatan sarana dan prasarana pendukung interpretasi yang sudah ada atau perlu direncanakan. Dalam observasi lapang ini juga dilakukan dokumentasi terhadap aspek-aspek kajian yang dapat menunjang penelitian.


(38)

Tabel 4 Rekapitulasi pengumpulan data

Jenis Data Cara

Pengumpulan Data Sumber Data

1) Potensi Objek Wisata dan Posisinya a.Potensi sumberdaya alam

- Terestrial (data flora¹ dan fauna², gua alam, mata air, pemandangan alam, dll)

- Aquatik (pantai, pemandangan laut termasuk kehidupan bawah laut seperti jenis terumbu karang, dan jenis ikan karang, dll)

b.Potensi sejarah dan budaya

- Sejarah (situs-situs sejarah, benda-benda peninggalan purbakala³)

- Budaya (letak dan kondisi pemukiman; kehidupan penduduk asli Pulau Kapota; cerita budaya, sejarah atau mitos-mitos yang hidup pada masyarakat)

2) Kondisi jalur interpretasi (topografi/ kemiringan jalur, panjang dan lebar jalur, jarak antar objek interpretasi, waktu tempuh yang diperlukan, alat transportasi yang digunakan) 3) Pengunjung

a.Karakteristik pengunjung b.Tujuan utama berkunjung

c.Objek Interpretasi yang disukai pengunjung (posisi objek) 4) Sumberdaya Manusia (SDM) wisata

a. SDM yang ada saat ini b. Kualitas SDM

c. Kendala yang dihadapi pengelola

d. Arah pengembangan kawasan Pulau Kapota oleh pengelola Studi literatur, wawancara dan observasi lapang Wawancara dan observasi lapang Observasi lapang

Studi literatur dan kuesioner Wawancara Literatur TNW, Pengelola TNW, dan masyarakat Pengelola TNW dan masyarakat Literatur TNW Literatur TNW, dan pengunjung Pengelola TNW dan masyarakat

5) Keadaan Umum TNW a.Sejarah kawasan TNW b.Kondisi fisik

c.Kondisi Biologis

d.Sosial Budaya Masyarakat e.Gambaran Umum Pulau Kapota f. Aksesibiltas ke TNW

6) Peta

a.Peta dasar (peta TNW, peta topografi, peta jalan)

b.Peta tematik (batas administrasi kawasan laut, dan peta sebaran flora, fauna dan terumbu karang)

7) Sarana dan prasarana pendukung jalur interpretasi (jenis fasilitas yang ada, jumlah yang ada disepanjang jalur, posisi, kegunaan, kondisi saat ini)

8) Bentuk pelayanan/pemanduan wisata yang telah ada 9) Jumlah pengunjung 5 tahun terakhir

Studi literatur dan observasi lapang Studi literatur Wawancara dan observasi lapang Studi literatur Studi literatur Literatur TNW Literatur TNW Pengelola TNW Literatur TNW Literatur TNW Keterangan:

1. Flora: Jenis dan famili, ciri morfologi, habitat dan penyebaran, status kelangkaan, keindahan dan keistimewaan,waktu berbunga,kegunaan, lokasi dalam jalur

2. Fauna: Jenis dan famili, ciri morfologi, habitat dan penyebaran, status kelangkaan, keistimewaan, perilaku, tempat dan waktu terlihat.

3. Peninggalan sejarah: makam, bangunan (benteng, mesjid,dll), peralatan yang dulu digunakan oleh masyarakat (pedang, alat tangkap, dll)


(39)

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Kegiatan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data, editing data, dan penyajian data. Data yang telah diperoleh selama penelitian kemudian dikumpulkan dan dilakukan editing data, yaitu mengoreksi data-data yang telah dikumpulkan tersebut. Dari hasil editing, apabila terdapat data yang kurang maka dilakukan perbaikan atau pengumpulan ulang, dan data yang dianggap tidak perlu dipisahkan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan. Setelah data dikumpulkan dan di edit, kemudian data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik-grafik, dan peta. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dan digunakan dalam penyusunan perencanaan jalur interpretasi. Pertimbangan dalam pemilihan jalur sebagai jalur interpretasi adalah :

a) Dilihat dari kondisi fisik jalur, apakah aman dilewati pengunjung atau tidak b)Pada jalur yang dipilih terdapat objek-objek menarik untuk diinterpretasikan

dan objek-objek tersebut paling banyak disukai oleh pengunjung

c) Pada jalur terdapat informasi dari pengelola yang diharapkan dapat disampaikan kepada pengunjung

d)Memiliki rentang jarak tempuh yang tidak terlalu panjang dan diperkirakan dapat diakses oleh pengunjung sehingga penyampaian informasi dapat tepat sasaran.


(40)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata di Pulau Kapota

Objek wisata atau dengan istilah tourist attraction yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu (Sufika 2004). Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di Wakatobi yang memiliki sumberdaya kawasan dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata. Potensi tersebut berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian budaya, keindahan bentang alam, gejala alam dan peninggalan sejarah/budaya.

Hasil penelitian, di Pulau Kapota terdapat beberapa potensi objek dan daya tarik wisata. Objek-objek tersebut kemudian diidentifikasi dan dikelompokkan berdasarkan potensi biologis, potensi fisik, potensi sejarah dan situs-situs keramat, serta potensi seni dan budaya. Keseluruhan potensi objek dan daya tarik wisata ini merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus dapat menjadi suatu media pendidikan dalam pelestarian lingkungan.

5.1.1 Potensi Biologis

Potensi biologis yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata bagi pengunjung adalah potensi flora, fauna dan beberapa ekosistem laut yang khas seperti ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Potensi-potensi ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai sumberdaya alam yang terdapat di kawasan konservasi. Data-data yang akurat mengenai jenis-jenis flora dan fauna yang ada di Pulau Kapota belum ada, sehingga data yang disajikan merupakan hasil temuan selama pengamatan di lapangan.

a. Potensi Flora

Flora merupakan salah satu potensi objek yang dapat ditawarkan kepada pengunjung di Pulau Kapota. Di setiap rute jalur yang dilalui oleh pengunjung terdapat jenis-jenis flora yang menarik. Pemilihan jenis ini berdasarkan hasil pengamatan peneliti yang dilihat dari keunikan, keindahan, keistimewaan, kelangkaan, dan manfaat/kegunaan yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut dan hanya tumbuhan yang berada pada jalur pengamatan. Selain itu pemilihan jenis


(41)

juga didasarkan pada hasil wawancara dengan pengelola mengenai jenis flora yang biasanya disukai atau ditanyakan oleh pengunjung. Menurut pengelola, umumnya pengunjung lebih menyukai/tertarik dengan jenis-jenis tumbuhan yang tidak dijumpai di tempat asalnya, diantaranya jenis flora endemik dan jenis flora yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan.

Jenis-jenis flora yang dijumpai selama observasi lapang pada jalur pengamatan yaitu sebanyak 16 jenis (Lampiran 1). Jenis ini merupakan tumbuhan di daratan yang dapat dilihat dan dijangkau oleh pengunjung. Dari keseluruhan flora yang teridentifikasi, belum dijumpai flora yang endemik. Jenis yang dijumpai merupakan jenis-jenis flora yang umum terdapat di Indonesia dan jenis flora yang dapat dijadikan sebagai objek interpretasi yaitu sebanyak 10 jenis. Jenis-jenis tersebut adalah:

1) Bambu (Bamboo sp.)

Bambu (Bamboo sp.) merupakan tumbuhan yang hidup secara liar maupun di tanam, dengan ciri morfologi berbentuk bulat memanjang, terdapat ruas-ruas (panjang tiap ruas sekitar 40-50 cm), memiliki ranting-ranting kecil di tiap ruas dan memiliki daun yang memanjang, serta memiliki rongga. Tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan yang hidup secara berumpun, yang satu rumpunnya dapat mencapai 40-100 batang. Bambu atau biasa di kenal dengan nama vemba dalam bahasa Kapota, memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat Kapota. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat, bambu merupakan tanaman yang hidup secara liar di alam terutama banyak tumbuh di hutan adat (Sara).

Bambu yang sebagian besar hidup pada hutan adat yang dikelola oleh Sara sehingga pemanfaatannya diatur oleh aturan adat yang menyebabkan kelestarian tumbuhan ini sangat terjaga. Pemanfaatan dengan bebas hanya dilakukan oleh masyarakat pada bambu yang hidup di luar hutan adat. Untuk memanfaatkan bambu yang ada di hutan adat terlebih dahulu harus meminta izin kepada Sara. Dalam hal ini ternyata Sara menetapkan aturan tersebut dengan alasan agar kelestarian bambu dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, baik untuk membuat rumah maupun sumber bahan makanan. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat tiga hutan bambu di tiga jalur yang berbeda (jalur akan dibahas pada bab berikutnya), namun yang terbanyak terdapat di hutan adat.


(42)

Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat setempat, luas hutan bambu di hutan adat diperkirakan mencapai 2-3 ha.

Masyarakat Kapota memanfaatkan tanaman ini untuk membuat anyaman atau biasa dikenal dalam bahasa kapota jalaja, yang nantinya dapat digunakan untuk dinding rumah. Bambu juga merupakan sumber makanan bagi masyarakat Kapota, yaitu bagian mudanya (tunas bambu) yang jika diolah dapat dijadikan sayur atau biasa dikenal dengan sayur rebung. Selain itu juga digunakan sebagai wadah untuk membuat luluta (nasi bambu). Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah bambu merupakan bahan baku untuk membuat alat tangkap ikan tradisional yang lebih dikenal dengan nama bubu. Bubu merupakan alat tangkap yang di buat dari anyaman bambu untuk menangkap ikan-ikan di dasar laut. Menurut masyarakat bubu yang terbuat dari bambu dapat bertahan hingga 2 tahun.

2) Beringin (Ficus benyamina)

Beringin atau dikenal dengan gendi dalam bahasa Kapota merupakan tumbuhan yang memiliki ukuran pohon yang besar dengan diameter batang bisa mencapai lebih dari 2 m dan tingginya bisa mencapai 25 m. Nilai yang terkandung dalam tumbuhan ini adalah masyarakat selalu beranggapan bahwa pohon beringin mengandung hal-hal yang mistik. Bentuk pohonnya besar, batang tegak berwarna coklat kehitaman dan memiliki akar menggantung dari batang yang dianggap sebagai tempat tinggal makhluk gaib. Bentuk pemahaman seperti ini menyebabkan jenis tumbuhan ini sangat ditakuti oleh masyarakat, sehingga kelestariannya di Pulau Kapota sangat terjaga. Bentuknya yang besar dan sangat rimbun serta buahnya yang lebat merupakan potensi lain yang dimiliki pohon beringin karena dimanfaatkan sebagai habitat dan sumber pakan berbagai jenis burung. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan beberapa jenis burung di pohon beringin, baik sore maupun pagi hari. Pandangan masyarakat yang menganggap pohon beringin sebagai sesuatu yang sakral, menjadikan pohon ini tetap lestari. Dilihat dari aspek konservasi, anggapan masyarakat ini selain dapat menjaga kelestarian pohon tersebut juga dapat mendukung kelestarian habitat dan sumber pakan berbagai jenis burung di Pulau Kapota.


(43)

3) Anggrek (Famili Orchidaceae)

Anggrek merupakan tumbuhan hidup epifit pada pohon dan ranting-ranting tanaman lain. Habitat tanaman anggrek dibedakan menjadi 4 kelompok, yang pertama adalah anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang pada pohon lain tanpa merugikan tanaman inangnya dan membutuhkan naungan dari cahaya matahari. Kedua adalah anggrek terestrial, yaitu anggrek yang tumbuh di tanah dan membutuhkan cahaya matahari langsung. Ketiga adalah anggrek litofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan dan tahan terhadap cahaya matahari penuh. Keempat adalah anggrek saprofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada media yang mengandung humus atau daun-daun kering, serta membutuhkan sedikit cahaya matahari.

Hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa terdapat beberapa tumbuhan anggrek di Pulau Kapota, namun sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai jenis-jenis anggrek tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil observasi lapang yang menemukan dua jenis anggrek berbeda berdasarkan media tumbuhnya. Ditemukan anggrek yang hidup menumpang pada pohon lain dan anggrek yang hidup pada subtrat batuan. Namun keterbatasan peneliti jenis-jenis tersebut belum bisa diidentifikasi lebih lanjut.

4) Jambu Mete (Anacardium ocidentale)

Jambu Mete (Anacardium ocidentale) merupakan salah satu tanaman industri yang potensial dengan produk utama berupa biji (kacang) mete. Tanaman ini memiliki buah yang keras, melengkung dan panjangnya ± 3 cm, berwarna hijau kecoklatan, bijinya bulat panjang, melengkung, pipih dan berwarna putih. Jambu mete merupakan tanaman jangka panjang yang sangat berlimpah di Pulau Kapota. Sebagian besar perkebunan masyarakat di dominasi dengan tanaman ini. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, Pulau Kapota dapat menghasilkan jambu mete hingga 10 ton. Jambu mete juga merupakan oleh-oleh khas dari Sulawesi Tenggara. Jambu mete memiliki khasiat untuk obat, masyarakat Kapota biasanya menggunakan daun tanaman ini sebagai obat anti radang. Untuk mengobati anti radang, biasanya masyarakat merebus segenggam daun muda jambu mete dalam 1 liter air selama 15 menit (sampai mendidih), setelah dingin di


(44)

saring dan siap untuk diminum. Selain itu kulit batangnya dipercaya juga dapat menyembuhkan sariawan.

5) Mengkudu (Morinda citrifolia)

Mengkudu termasuk kategori tumbuhan pantai, merupakan pohon kecil yang tingginya mencapai 10 m, batang berkayu, berwarna keabu-abuan atau coklat kekuningan. Mengkudu umum dijumpai di ketinggian sampai 1500 mdpl di daerah beriklim musim dan lembab, dengan curah hujan tahunan berkisar antara 1500-3000 mm atau lebih. Di Pulau Kapota tanaman ini banyak dijumpai di perkebunan-perkebunan masyarakat. Tanaman ini digunakan sebagai obat sejak jaman kuno. Hal yang sama pada masyarakat Kapota yang telah menggunakan tumbuhan ini sebagai obat. Masyarakat biasa menggunakan daunnya untuk mengobati diare dan mual-mual.

6) Kelor (Moringa oleifera)

Kelor biasa dikenal dengan nama kaud’afa dalam bahasa Kapota merupakan tanaman sayuran yaitu tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang dengan tinggi 7-12 m. Bagian yang digunakan sebagai sayur adalah daun, dan sangat disukai oleh masyarakat di Wakatobi. Tumbuhan ini menjadi menarik untuk dipromosikan kepada pengunjung karena berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan oleh perguruan tinggi mengenai kandungan nutrisinya, diketahui bahwa daun kelor memiliki potensi yang sangat baik untuk melengkapi kebutuhan nutrisi dalam tubuh. Hasil analisa tersebut, terbukti bahwa dengan mengonsumsi daun kelor maka keseimbangan nutrisi dalam tubuh akan terpenuhi sehingga orang yang mengonsumsi daun kelor akan terbantu dalam meningkatkan energi dan ketahanan tubuhnya.

7) Singkong (Manihot utilisima)

Singkong atau dalam bahasa Kapota sering disebut kaujava merupakan jenis tumbuhan tahunan tropika dan subtropika dari famili Euphorbiaceae. Umbinya di kenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan jika disimpan meskipun ditempatkan di lemari


(45)

pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.

Keunikan/kekhasan tanaman singkong di Pulau Kapota adalah kegunaannya sebagai bahan makanan pokok yang diolah dengan menghaluskan singkong dan dimasak dalam bentuk kerucut (makanan kasuami). Kegunaan umbi singkong adalah sebagai sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin. Tersebar dibanyak tempat di Pulau Kapota karena tanaman pertanian masyarakat sebagian besar adalah singkong.

8) Akar Tuba (Derris elliptica)

Akar tuba merupakan tumbuhan dari jenis Fabaceae, tumbuhan berkayu memanjat (liana) 7-15 pasang daun pada tiap rantingnya. Daun muda berambut kaku pada kedua permukaannya. Di bagian bawah daun diliputi oleh bulu lembut berwarna perang. Batangnya merambat dengan ketinggian hingga 10 meter. Ranting-ranting Tuba tua berwarna kecoklatan. Mahkota bunga tumbuhan Tuba berwarna merah muda serta sedikit berbulu. Tumbuhan beracun ini juga mempunyai buah berbentuk lonjong (oval), dengan sayap yang tipis di sepanjang kedua sisi. Kekacangnya tipis dan rata berukuran 9 cm, lebar 0,6-2,5 cm. dan terdapat 1-4 biji dalam satu kekacang. Keunikan/kekhasannya adalah dari kegunaan tanaman ini, dimana dahulu sebelum adanya taman nasional masyarakat sering menggunakan akar tuba sebagai racun ikan. Posisi pada tapak dapat ditemukan di jalur menuju Goa Kelelawar.

9) Cocor Bebek (Kalanchoe waldheimii)

Tumbuhan cocor bebek merupakan jenis dari famili Crassulaceae. Ciri morfologi memiliki daun berwarna hijau yang tebal dan padat terisi cairan. Bagian atas permukaan daun licin. Biasanya untuk perbanyakan dengan tunas-tunas kecil yang terdapat di bagian tepi daun sehingga perkembangbiakannya cepat. Batangnya lunak dan warna bunganya merah dengan ukuran kecil serta pada tangkai bunga memiliki cabang-cabang halus. Keunikan/kekhasannya adalah bentuk bunga dan daun yang bergerigi yang nantinya berguna sebagai perkembangbiakannya. Selain itu kekhasannya juga dapat dilihat dari kegunaannya sebagai tanaman obat. Tidak hanya di Pulau Kapota, di daerah lain


(46)

di Indonesia masyarakat juga menggunakan tanaman ini sebagai tanaman obat demam. Penyebarannya pada tapak yaitu jalur menuju Goa Kelelawar dengan jumlah yang melimpah.

10)Kelapa cabang empat(Kaluku Panga)

Kelapa bercabang empat merupakan fenomena unik yang jarang sekali terjadi karena secara morfologi sebuah batang kelapa tidak memiliki cabang sama sekali tetapi di Pulau Kapota fenomena ini terjadi pada sebuah kelapa milik seorang petani kelapa yang bernama Laranggo. Pada awalnya kelapa yang ditanamnya ini pernah layu dan hampir mati begitu juga dengan tanaman petani lainnya karena pada waktu itu sedang terjadi musim kemarau yang panjang. Kemudian di saat turun hujan lama kelamaan kelapa ini mulai memiliki cabang, menurut cerita kelapa ini dahulunya memiliki 7 cabang sesuai dengan jumlah anak Laranggo pada waktu itu. Kejadian aneh yang masih dipercayai masyarakat hingga kini adalah jika salah satu anak Laranggo meninggal maka cabang di pohon kelapa tersebut juga akan patah, terbukti dengan tidak ada lagi 3 cabang lainnya karena 3 orang anak Laranggo sudah meninggal.

a. b.

Gambar 5 Kelapa Cabang Empat: a. tampak samping, b. tampak bawah

b. Potensi Fauna

Fauna yang dapat dijumpai di Pulau Kapota yaitu burung, mamalia, reptil, dan kupu-kupu. Jenis-jenis tersebut merupakan fauna yang berhasil dijumpai selama observasi lapang berlangsung. Hasil observasi, fauna yang paling banyak dijumpai adalah burung yaitu sebanyak 23 jenis (Tabel 5).


(47)

Tabel 5 Jenis burung yang dapat dijumpai di Pulau Kapota

No. Nama lokal Nama Indonesia Nama Ilmiah Keterangan

1. - Pecuk padi hitam Phalacrocorax sulcirostris TL

2. - Cangak merah Ardea Purpurea TL

3. - Cangak laut Ardea sumatrana TL

4. - Kokokan laut Butorides striatus TL 5. - Trinil pantai Actitis hypoleucos TL 6. Gajahan penggala Nunenius phaeopus DL,A, B 7. Gajahan timur Numenius madagascariensis DL,A, B

8. Bokuru Tekukur biasa Streptopelia chinensis TL

9. Iku melangka Uncal Ambon Macropygia amboinensis TL

10. Lembuko Delimukan timur Chalcophaps stephani TL

11. Kenari Pergam hijau Ducula radiata TL,E

12. Hune kepala putih Walik molomiti Ptilinopus subgularis DL,E,NT

13. Karenga Betet kelapa

punggung biru

Tanygnathus sumatranus DL,Apendiks II,A, B

14. Ukira’ Cekakak sungai Halcyon chloris DL,A, B

15. - Tiong lampu biasa Eurystomus orientalis TL, 16. - Walet sapi Collocalia esculenta TL 17. - Kekep babi Artamus leucorynchus TL,E

18. Ekor ikan Srigunting-jambul

rambut

Dicrurus hottentottus TL,E

19. Kalirihu Kepudang kuduk

hitam

Oriolus chinensis TL

20. Kongka Gagak hutan Corvus enca TL

21. Cui Madu hitam sriganti Cinnyris jugularis plateni DL,A, B

22. Sui Cabai gunung Dicaeum sanguinolentum TL

23. - Elang laut perut putih

Haliaeetus leucogaster DL,Apendiks II,A, B Keterangan: Tanda (-), jenis yang dijumpai tidak diketahui nama lokalnya, TL: Tidak dilindungi,

DL: dilindungi, E: Endemik, A:UU No.5/1990 B: PP No.7/1999, Apendiks II (CITES), NT: Near threatened (mendekati terancam punah)

Fauna lain yang dijumpai selama di lapangan adalah 2 jenis mamalia, yaitu kalong (Pteropus sp.) dan kelelawar (fauna goa). Dijumpai kupu-kupu dari famili Nimpalidae dan Papilionidae, dan terdapat 3 jenis reptil yaitu 2 jenis ular yang tidak teridentifikasi dan 1 jenis biawak (Varanus sp.). Fauna utama yang dapat dijadikan sebagai objek interpretasi adalah seluruh jenis burung yang terlihat di jalur yang akan dijadikan sebagai jalur interpretasi (Lampiran 2).Pemilihan satwa burung sebagai objek interpretasi adalah karena jenis-jenis ini memiliki keunikan tersendiri terutama bagi pengunjung yang sangat menyukai pengamatan burung (Birdwatching) dan 5 diantaranya adalah burung endemik Sulawesi yang hanya dapat dijumpai di Kepulauan Sulawesi.


(1)

Lampiran 3 Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dapat dijumpai di Pulau

Kapota

No. Nama Ilmiah Famili Keterangan

1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Rhizophoraceae Mangrove sejati 2. Nypa fruticans Wurmb. Arecaceae Mangrove sejati 3. Xylocarpus granatum Koen Meliaceae Mangrove sejati 4. Acrostichum speciosum Willd. Pteridaceae Mangrove sejati 5. Acanthus ilicifolius L. Acanthaceae Mangrove sejati 6. Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet. Convolvulaceae Mangrove ikutan 7. Morinda citrifolia L. Rubiaceae Mangrove ikutan 8. Pandanus tectorius. Parkinson ex Z. Pandanaceae Mangrove ikutan 9. Passiflora foetida (L.) Leguminosae Mangrove ikutan 10. Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb. Goodeniaceae Mangrove ikutan 11. Terminalia catappa L. Combretaceae Mangrove ikutan

Lampiran 4 Jenis-jenis lamun yang dapat dijumpai di Perairan Kapota

No. Nama Indonesia Keterangan

1. Hydrocaritaceae

1. Enhalus acroides (Lamun tropika)

2. Thalassia hemprichii

3. Halophila decipiens

4. Halophila ovalis (Lamun sendok)

Umumnya tumbuh di sedimen yang

berpasir/berlumpur; dapat tumbuh dominan pada padang lamun campuran; lebar kisaran vertikal intertidalnya mencapai 25 m;penting sebagai pelindung juvenil ikan.

Spesies yang jumlahnya bisa melimpah dan penyebarannya luas; sering dominan pada padang lamun campuran; tumbuh pada subsrat pasir berlumpur yang berbeda/pecahan koral yang kasar; lebar kisaran vertikal intertidalnya mendekati 25 m. Sebagai makanan dugong

Dominan di intertidal; spesies pionir; cenderung membentuk koloni pada daerah setelah Halodule; hanya dapat tumbuh pada mangrove kearah laut. 2. Pomatogetonaceae

5. Halodule uninervis

6. Halodule pinifolia (Lamun benang)

7. Syringodium isoetifolium

Tumbuh cepat; spesies pionir; dan spesies yang tunggal terutama di daerah berlumpur.

Pada hampir subtidal yang dangkal/ substrat lumpur.


(2)

Lampiran 5 Jenis-jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di Perairan Kapota

No. Nama Ilmiah Keterangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Acrophora spp. Dendrophyllia spp. Favia abdita Echinopora horrid Favites spp. Heliofungia actinoformis Lobophylla spp. Montastrea spp. Mycedium spp. Millepora spp. Nepthea spp. Oulophylla crispa Oxypora spp. Pavona clavus Pavona decussate Platygira lamellina Platygira pini Porites spp. Porithes spp. Spirobranchus giganteus Symphylliaspp. Turbinaria frondens Xeniaspp. Sarcophyton throcheliophorum Sinulariaspp.

Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis karang keras Jenis Karang lunak Jenis Karang lunak


(3)

Lampiran 6 Hasil Pemetaan Goa Kelelawar

PETA GOA KELELAWAR

Legenda

Jalur Penelusuran

Δ

Stasiun

Batas Stasiun


(4)

Lampiran 7 Contoh desain fasilitas interpretasi alam yang akan dikembangkan

Tanda-Tanda Interpretasi

1. Papan Penunjuk Arah

2. Papan Interpretasi

Keterangan

Bahan: terbuat dari kayu

Penempatan: sekitar 5 m dari Pelabuhan Jonson atau di persimpangan jaln menuju Desa Kapota dan Desa Kabita. Papan bertuliskan Desa Kapota, Desa Kapota Utara, Desa Kabita, Desa Kabita Togo, Pusat Informasi Wisata, Pelabuhan Jonson

Keterangan

Bahan: terbuat dari kayu Papan bertuliskan: Objek-objek interpretasi yang akan dikunjungi dan bagian papan yang tipis adalah tulisan waktu dan jarak tempuh

Waktu

Keterangan

Bahan: Atap dari ijuk/seng, tiang dari kayu atau besi kemudian tiang diberi pondasi dari semen, papan terbuat dari aluminium atau kayu biasa

Papan berisikan:

1. Deskripsi singkat mengenai objek interpretasi yang dilengkapi dengan gambar/foto objek dan dibuat semenarik mungkin. Tulisan harus jelas, singkat, dan mudah dipahami.


(5)

Posisi/letak papan khusus di goa kelelawar: Berada di dekat objek/Goa Kelelawar.

Papan bertuliskan: Peta/sketsa jalur yang akan ditempuh di dalam goa seperti lampiran 6 dan kode etik penelusuran goa yaitu:

1. Dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak yang diletakkan secara hati-hati 2. Dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar

3. Dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu Bahan yang digunakan pada contoh gambar: 1. Kayu bulat

2. Papan


(6)

3. Pal Jarak

Shelter

Homestay sederhana

Posisi/letak papan: Berada di dekat objek interpretasi dan gambar pertama merupakan pal yang menunjukkan jarak tempuh yang diletakkan setiap 100 m di sepanjang jalur. Papan bertuliskan: kode yang sesuai dengan buku panduan interpretasi yang dipegang oleh pengunjung

Bahan yang digunakan pada contoh gambar: 1. Bambu atau bahan lain yang permanen 2. Kayu/papan

Keterangan

Bahan: Atap dari ijuk/seng, tiang dari kayu atau bambu kemudian tiang diberi pondasi dari semen, papan dari kayu atau bilah bambu yang bentuknya sudah dihaluskan