Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis mitigasi (kasus pulau pulau kecil Taman Nasional Bunaken)

(1)

x

(Kasus Pulau-Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken)

JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

xi

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MITIGASI (Kasus Pulau-Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken) adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2012

Joshian N. W. Schaduw NIM C262090071


(3)

xii

(Case of Small Islands Bunaken National Park). Under supervision of FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN, and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Mangrove ecosystem has many functions for coastal areas, among other functions of ecological, social and economic. This function is a systemic impact on the environment other coastal ecosystems and human life. Through the mitigation of these functions can be optimized to minimize the degradation of small island environments. This study analyzed the condition of existing mangrove ecosystem, the vulnerability of small islands, and mangrove ecosystem management strategies based mitigation. This study uses primary and secondary data. Primary data gathering done by sampling, field observation, quistioner, and open-ended interviews and in-depth interviews in the research area. Secondary data gathering by unravel various literature, and related institution. Vulnerability index was analyzed using multi dimensional scaling method where as vulnerability mapping carried out by analysis of geographic information system using the software Arcview 3.3. For patterns and management strategies used stakeholder analysis through a technique SMART (Simple multi-attribute rating technique) using the software Criterium decision plus (Criplus Version 3.0 S). Results obtained from this research is the mangrove ecosystem of small islands in Taman Nasional Bunaken need to get attention in the management considering the rate of degradation and threats to these ecosystems is increasing. Nain Island is the island most vulnerable to the threat of damage to ecosystems by humans activity or natural factors. Management scheme that can accommodate a variety of problems faced by the mangrove ecosystem of small islands is Colaboratif management by the government as the leading sector with the highest priority on the management of the ecological dimension.


(4)

xiii

RINGKASAN

Joshian Nicolas William Schaduw. PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MITIGASI (Kasus Pulau-Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken). Dibimbing oleh : FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN, dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia sebesar 19% dari luas ekosistem mangrove dunia membuat Indonesia memiliki banyak tantangan dalam pengelolaan ekosistem mangrove, khususnya ekosistem mangrove pulau-pulau kecil (PPK). Ekosistem mangrove pulau-pulau kecil seringkali mendapat berbagai tantangan, antara lain adalah dampak dari aktivitas manusia yang melakukan pemanfaatan di sekitar ekosistem mangrove dan dampak dari luar seperti pemanasan global. Selain itu ancaman lain berupa bencana alam seperti badai, angin topan, banjir pasang, dan tsunami juga turut mempengaruhi eksistensi dari ekosistem mangrove. Dampak dari berbagai hal yang telah diuraikan tadi dapat menyebabkan degradasi sumberdaya yang terdapat pada ekosistem mangrove. Pengurangan luasan ekosistem mangrove serta menurunnya kualitas perairan ekosistem mangrove adalah ancaman yang serius terhadap suatu kawasan yang penduduknya sangat bergantung terhadap sumberdaya pesisir. Ekosistem mangrove mempunyai banyak fungsi untuk kawasan pesisir, antara lain fungsi ekologi, sosial dan ekonomi. Fungsi ini berdampak sistemik terhadap lingkungan ekosistem pesisir lainnya dan kehidupan manusia. Melalui mitigasi fungsi ini dapat dioptimalkan untuk meminimalkan degradasi terhadap lingkungan pulau kecil. Penelitian ini menganalisa kondisi dan permasalahan existing ekosistem mangrove pulau-pulau kecil (PPK) Taman Nasional Bunaken (TNB), menyusun indeks kerentanan pulau-pulau kecil TNB serta memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa mendatang, mengevaluasi efektivitas ekosistem mangrove dalam memitigasi kerentanan PPK TNB dan memproyeksikan degradasi ekosistem mangrove PPK TNB berbasis mitigasi, menganalisa strategi pengelolaan ekosistem mangrove PPK berbasis mitigasi sesuai dengan kebutahan masa sekarang dan akan datang yang mengacu pada indeks dan peta kerentanan, proyeksi perubahan kerentanan, efektivitas ekosistem mangrove, dan stakeholders analysis untuk meningkatkan kapasitas ekosistem mangrove PPK TNB, dan merumuskan implikasi kabijakan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis mitigasi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapangan, kuisioner, serta wawancara terbuka dan mendalam pada daerah penelitian.pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi literatur pada instansi yang terkait. Indeks kerentanan dianalisa dengan menggunakan metode multi dimensional scaling sedangkan pemetaan kerentanan dilakukan dengan analisis geografis information system menggunakan software Arcview 3.3. Untuk pola dan strategi pengelolaan digunakan stakeholders analysis melalui teknik SMART (Simple multi atribute rating technique) dengan menggunakan software Criterium decision plus (Criplus Version 3.0 S). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah kondisi ekosistem mangrove pada PPK TN. Bunaken dalam keadaan kurang baik dari segi kualitas dan kuantitas. Tiga dari empat pulau memiliki ekosistem mangrove yang sangat kecil dengan kondisi perairan sekitar mangrove yang mulai tercemar, pulau Nain dan Manado Tua memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Bunaken dan Mantehage, ekosistem mangrove Pulau Mantehage memiliki efektivitas yang baik dalam


(5)

xiv

mempengaruhi kerentanan pulau-pulau kecil adalah luasan mangrove, luasan terumbu karang, tingkat pendidikan, pendapatan masyarakat, kepatuhan aturan dan kesiapan infrastruktur PPK TNB, kondisi ekosistem mangrove yang ideal adalah 400 kali tinggi gelombang suatu kawasan pesisir dengan memperhitungkan kapasitas realistis pesisir tersebut, dan pola pengelolaan yang mengakomodir seluruh kepentingan dan permasalahan yang ada di PPK TNB adalah pola pengelolaan kolaboratif yang melibatkan seluruh stakeholders sebagai pengelola dengan memperbaiki fungsi kontrol terhadap semua kegiatan pengelolaan yang ada.


(6)

xv

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

xvi

(Kasus Pulau-Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken)

JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(8)

xvii

Judul Disertasi : PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MITIGASI (Kasus Pulau-Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken)

Nama : Joshian Nicolas William Schaduw

NRP : C262090071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

xviii

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS MITIGASI (Kasus Pulau-Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken). Disertasi ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan ekosistem mangrove pulau-pulau kecil berbasis mitigasi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam pembuatan Disertasi ini, terutama kepada komisi pembimbing Bpk. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, Bpk. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, dan Bpk. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc yang banyak memberikan masukan dan saran selama pembuatan Disertasi ini. Masukan dari Bapak/Ibu sekalian dirasakan sangat membantu penulis dalam merampungkan tulisan ini. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.

Bogor, Maret 2012


(10)

xix

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 4 Agustus 1984 di Manado Provinsi Sulawesi Utara. Penulis merupakan putra bungsu dari dua bersaudara dengan Ayah Jonathan Schaduw, S.Pd dan Ibu Meilanie Tan. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah Dasar di SD Katolik XIV St. Paulus Manado pada tahun 1996, kemudian melanjutkan studi ke SLTP Katolik Pax Christi Manado dan selesai pada tahun 1999. Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 1 Manado. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Program Studi Ilmu Kelautan dengan bidang minat Geomorfologi Pantai dan Hidro-Oseanografi (MORPHO). Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten mata kuliah olahraga air pada tahun 2003 – 2006.

Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu dalam waktu tiga tahun enam bulan dan lulus dengan predikat cum laude. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL). Tahun 2008 penulis menyelasaikan pandidikan S2 yang ditempuh dalam waktu 20 bulan, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai staf pengajar tetap pada Universitas Sam Ratulangi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tahun 2009 penulis mendapatkan tugas belajar untuk melanjutkan studi program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan program pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan pascasarjana yang diperoleh dari Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.


(11)

xx

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Dr. Ir. Muklis Kamal, M.Sc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

Dr. Sinyo H Sarundajang (Gubernur Provinsi Sulawesi Utara) Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA


(12)

xxi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR TABEL ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4 Kerangka Pikir ... 5

1.5 Kebaruan (Novelty) ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove ... 9

2.2 Faktor–Faktor Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 11

2.3 Zonasi Ekosistem Mangrove ... 15

2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ... 16

2.5 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Mangrove ... 19

2.6 Pulau-Pulau Kecil ... 26

2.7 Konsep dan Kerangka Kerentanan Pulau-pulau Kecil ... 34

2.8 Pengertian Mitigasi ... 39

2.9 Cell Based Modeling ... 40

2.10 Multi dimensional Scaling ... 41

2.11 Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 43

2.12 Mitigasi Melalui Restorasi dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ... 48

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 57

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 57

3.2 Jenis dan metode Pengambilan data ... 57

3.3 Analisis Data ... 63

3.4 Analisis Struktur Vegetasi Mangrove ... 75

3.5 Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau-pulau Kecil ... 76

3.6 Proyeksi Kerentanan Pulau Kecil Berbasis Mitigasi ... 77

3.7 Efektivitas Ekosistem Mangrove Sebagai Buffer Zone ... 77

3.8 Model Degradasi Ekosistem Mangrove ... 80

3.9 Keberlanjutan Pengelolaan Eksosistem Mangrove Berbasis Mitigasi ... 80

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 85

4.1 Keadaan umum ... 85

4.2 Aksesiblitas Laut ... 86

4.3 Topografi dan Batimetri ... 87

4.4 Karakteristik Lingkungan ... 88

4.5 Kualitas Air Ekosistem Mangrove ... 92

4.6 Kemiringan Lereng ... 93


(13)

xxii

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 99

5.1 Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove PPK TN Bunaken ... 99

5.2 Indeks Kerentanan ... 111

5.3 Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau-pulau Kecil ... 135

5.4 Proyeksi Kerentanan Pulau-pulau Kecil Berbasis Mitigasi ... 145

5.5 Efektivitas Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Penyangga ... 147

5.6 Prediksi Luasan Ekosistem Mangrove ... 155

5.7 Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Mitigasi ... 157

5.8 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Mitigasi ... 163

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 167

6.1 Kesimpulan ... 167

6.2 Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ... 169   

   


(14)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pendekatan DPSIR dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Berbasis Mitigasi ... 4

2. Kerangka Pikir Penelitian ... 8

3. Metode Point-Centered Quarter Method (PCQM) ... 61

4. Lokasi Penelitian di Pulau-pulau kecil Taman Nasional Bunaken ... 62

5. Kondisi Pasang Surut Perairan Kota Manado ... 92

6. Indeks Nilai Penting Mangrove Pulau Mantehage... 100

7. Kepadatan Mutlak Mangrove Pulau Mantehage ... 100

8. Jarak rata-rata Pohon Mangrove Pulau Mantehage ... 100

9. KR, FR, dan DR Desa Tinongko ... 101

10. Indeks Nilai Penting Desa Tinongko ... 101

11. KR, FR, dan DR Desa Tangkasi ... 102

12. Indeks Nilai Penting Desa Tangkasi ... 102

13. KR, FR, dan DR Desa Buhias ... 103

14. Indeks Nilai Penting Desa Buhias ... 103

15. KR, FR, dan DR Desa Bango ... 104

16. Indeks Nilai Penting Desa Bango ... 104

17. Indeks Nilai Penting Mangrove Pulau Bunaken ... 106

18. Kepadatan Mutlak Mangrove Pulau Bunaken ... 106

19. Jarak rata-rata Pohon Mangrove Pulau Bunaken ... 106

20. KR, FR, dan DR Kelurahan Alungbanua ... 107

21. Indeks Nilai Penting Kelurahan Alungbanua ... 107

22. KR, FR, dan DR Kelurahan Bunaken ... 108

23. Indeks Nilai Penting Kelurahan Bunaken ... 108

24. KR, FR, dan DR Pulau Manado Tua……….109

25. Indeks Nilai Penting Pulau Manado Tua ... 109

26. KR, FR, dan DR Pulau Nain ... 110

27. Indeks Nilai Penting Pulau Nain ... 110

28. Diagram Indeks Kerentanan Dimensi Ekologi ... 118

29. Grafik Indeks Kerentanan Dimensi Ekologi (A) Pulau Mantehage; (B) Pulau Bunaken;(C) Pulau Manado Tua; (D) Pulau Nain ... 119


(15)

xxiv

31. Diagram Indeks Kerentanan Dimensi Sosial Ekonomi ... 124

32. Grafik Indeks kerentanan Dimensi Sosial Ekonomi (A) Pulau Mantehage; (B) Pulau Bunaken;(C) Pulau Manado Tua; (D) Pulau Nain ... 125

33. Peta Kerentanan PPK Dimensi Sosial Ekonomi... 126

34. Diagram Indeks Kerentanan Dimensi Kelembagaan... 130

35. Grafik Indeks Kerentanan Dimensi Kelembagaan (A) Pulau Mantehage; (B) Pulau Bunaken; (C) Pulau Manado Tua; (D) Pulau Nain ... 131

36. Peta Kerentanan PPK Dimensi Kelembagaan ... 132

37. Peta Kerentanan PPK Berbasis Mitigasi ... 133

38. Diagram Indeks Kerentanan ... 134

39. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Mantehage Dimensi Ekologi ... 135

40. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Mantehage Dimensi Sosek ... 136

41. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Mantehage Dimensi Kelembagaan ... 137

42. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Bunaken Dimensi Ekologi ... 138

43. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Bunaken Dimensi Sosek ... 138

44. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Bunaken Dimensi Kelembagaan ... 139

45. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Manado Tua Dimensi Ekologi ... 140

46. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Manado Tua Dimensi Sosek ... 141

47. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Manado Tua Dimensi Kelembagaan ... 142

48. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Nain Dimensi Ekologi ... 143

49. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Nain Dimensi Sosial Ekonomi ... 143

50. Faktor Pengungkit Kerentanan Pulau Nain Dimensi Kelembagaan ... 144

51. Proyeksi Perubahan Indeks Kerentanan Melalui Skenario Optimistik ... 146

52. Proyeksi Perubahan Indeks Kerentanan Melalui Skenario Pesimistik ... 146

53. Prediksi Luasan Ekosistem Mangrove (A) Pulau Mantehage; (B) Pulau Bunaken; (C) Pulau Manado Tua; (D) PulauNain ... 156

54. Decision score Pada Pola Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 158

55. Tradeoffs analysis Pola Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 158

56. Prioritas Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tingkat Dimensi ... 161

57. Prioritas Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tingkat Atribut ... 162

58. Prioritas Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dimensi Ekologi ... 162

59. Prioritas Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dimensi Sosial Ekonomi ... 162

60. Prioritas Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dimensi Kelembagaan... 162 


(16)

xxv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matriks Untung – Rugi Ukuran Lebar Jalur Hijau Mangrove ... 23

2. Efektifitas Ekoisistem Mangrove Meredam Aksi Laut ... 24

3. Alat dan Bahan Penelitian ... 60

4. Kategori Indeks Kerentanan ... 75

5. Luas Kawasan (ha) Pulau-pulau Kecil Lokasi Penelitian ... 85

6. Curah Hujan Tahunan di Kawasan TN. Bunaken ... 88

7. Kelembapan rata-rata TNB Kurun Waktu 2005-2009 ... 89

8. Suhu udara rata-rata TNB Kurun Waktu 2005-2009 ... 89

9. Suhu udara maksimum rata-rata TNB ... 89

10. Suhu udara minimum rata-rata TNB ... 90

11. Lama Penyinaran Matahari TNB ... 90

12. Kecepatan Angin TNB kurun waktu 2005-2009 ... 90

13. Potensi Bencana Alam di TN. Bunaken ... 94

14. Kondisi Kependudukan ... 94

15. Jenis Mangrove Pulau Mantehage ... 99

16. Jenis Mangrove Pulau Bunaken ... 105

17. Luas dan Lebar Ideal Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Peyangga Berdasarkan Keppres No.32 Tahun 1990 ... 147

18. Prediksi Efektivitas Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Penyangga ... 148

19. Luas dan Lebar Ideal Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Peyangga Berdasarkan Skenario Rekomendasi ... 151

20. Matriks Kendala dan Untung-Rugi Ukuran Lebar Ekosistem Mangrove .... 151

21. Luas dan Lebar Ideal Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Peyangga Berdasarkan Kapasitas Realistis Pulau ... 152

22. Tahun Prediksi Luasan Mangrove Berdasarkan Skenario (μ=10%/thn) ... 153

23. Prediksi Efektivitas Ekosistem Mangrove PPK TNB Sebagai Penyerap Karbon (C) dan Karbondioksida (CO2) ... 154


(17)

xxvi

1. Faktor Pengungkit Kerentanan PPK(A) Dimensi Ekologi;

(B) Dimensi Sosek; (C) Dimensi Kelembagaan ... 177

2. Rekapitulasi Data dan Indeks Kerentanan Dimensi Ekologi... 178

3. Rekapitulasi Data dan Indeks Kerentanan Dimensi Sosial Ekonomi ... 179

4. Rekapitulasi Data dan Indeks Kerentanan Dimensi Kelembagaan ... 180

5. Parameter Fisik Kimia Air Laut PPK TNB ... 181

6. Peta Pulau Mantehage ... 182

7. Peta Pulau Bunaken ... 183

8. Peta Pulau Manado Tua ... 184

9. Peta Pulau Nain ... 185

10. Penyusunan Diagram Hirarki Pola dan Strategi Pengelolaan ... 186

11. Prediksi Efektifitas Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Penyangga ... 187


(18)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan di dunia, memiliki sekitar 13 466 pulau dan garis pantai sepanjang 95 181 km. Wilayah teritorial Indonesia seluas 5.8 juta km2 dan 63% dari total wilayah teritorial Indonesia adalah lautan di samping Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil (PPK) yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan.

Pulau-pulau kecil adalah suatu wilayah yang rentan terhadap berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain faktor lingkungan, faktor sosial dan faktor ekonomi. Faktor lingkungan diantaranya adalah iklim, naiknya permukaan air laut, bencana alam, dan pencemaran. Selain faktor lingkungan faktor lain yang mempengaruhi ekosistem pulau-pulau kecil adalah faktor sosial. Faktor sosial seperti pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pemanfaatan yang bersifat destruktif, membuat kawasan ini kurang optimal dalam pemanfaatan yang bersifat lestari dan berkelanjutan terhadap sumberdaya yang ada. Selain kedua faktor tadi, faktor yang terakhir adalah faktor ekonomi. Faktor ini mencakup tingkat pendapatan masyarakat pulau kecil yang masih sangat rendah yang dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain minimnya peluang untuk mengembangkan usaha, keterisolasian dari dunia luar, ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tinggi, dan minimnya investasi jangka panjang pada pulau-pulau kecil.

Salah satu kawasan konservasi nasional di Indonesia yang memiliki pulau-pulau kecil adalah Taman Nasioal Bunaken. Luas total Taman Nasional Bunaken (TNB) adalah 89 065 ha TNB terdiri atas dua bagian yaitu TNB bagian Utara dan TNB bagian selatan. TNB bagian utara meliputi 5 pulau yaitu Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Siladen dan Nain ditambah sekitaran Tanjung Pisok yaitu antara desa Molas hingga ke desa Tiwoho. Sedangkan TNB bagian Selatan meliputi wilayah perairan dari desa Poopoh hingga ke desa Popareng. TNB memiliki banyak kekayaan sumberdaya alam, diantaranya ketiga ekosistem penting pesisir yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Ekosistem


(19)

mangrove pulau-pulau kecil (PPK) mempunyai fungsi ekologi dan ekonomi, hal ini dapat dikembangkan sebagai basis dari mitigasi terhadap degradasi lingkungan PPK.

Hutan magrove di TNB cukup luas (1528.29 ha) terutama di bagian selatan, sedangkan pada bagian utara ekosistem mangrove terluas ada di Pulau Mantehage. Luas hutan mangrove pada PPK TNB sebesar 977.63 ha. Luas total hutan mangrove di TNB sekitar 10% dari luas total ekosistem mangrove di Sulawesi Utara. TNB termasuk komunitas mangrove yang tua di Asia Tenggara, karena itu disana masih ditemukan mangrove yang berukuran besar dengan diameter di atas 1.5 m yang pada tempat lain sudah jarang ditemukan.

Memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia sebesar 19% dari luas ekosistem mangrove yang ada membuat Indonesia memiliki banyak tantangan dalam pengelolaan ekosistem mangrove, khususnya ekosistem mangrove PPK. Ekosistem mangrove pulau-pulau kecil seringkali mendapat berbagai tantangan, antara lain adalah dampak dari aktivitas manusia yang melakukan pemanfaatan di sekitar ekosistem mangrove dan dampak dari luar seperti pemanasan global. Selain itu ancaman lain berupa bencana alam seperti badai, angin topan, banjir pasang, dan tsunami juga turut mempengaruhi eksistensi dari ekosistem mangrove. Dampak dari berbagai hal yang telah diuraikan tadi dapat menyebabkan degradasi sumberdaya yang terdapat pada ekosistem mangrove. Pengurangan luasan ekosistem mangrove serta menurunnya kualitas perairan ekosistem mangrove adalah ancaman yang serius terhadap suatu kawasan yang penduduknya sangat bergantung terhadap sumberdaya pesisir.

Melihat akan beragamnya permasalahan yang ada pada PPK khususnya yang menyangkut kerentanan PPK, maka upaya mitagasi penting untuk dikaji. Ekosistem mangrove mempunyai peran penting dalam memitigasi degradasi lingkungan pesisir yang berdampak pada dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi. Kajian ini menganalisa pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan berbasis mitigasi melalui efektivitas ekosistem mangrove PPK TNB dengan tujuan meminimalkan kerentanan PPK, akibat dari ancaman perubahan iklim dan aktivitas antropogenik yang bersifat destruktif.


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Letak geografis Indonesia yang sangat rentan terhadap bencana alam seperti tsunami, meletusnya gunung berapi, gelombang pasang, banjir dan kekeringan menjadikan pulau-pulau kecil pada TNB rentan terhadap degradasi sumberdaya pesisir. Beberapa ancaman tadi ditambah naiknya permukaan air laut dampaknya sudah mulai dirasakan masyarakat PPK TNB. Indikasi adanya rob dan abrasi serta perbedaan tunggang pasut dalam 20 tahun terkahir, mengindikasikan bahwa PPK TNB telah terkena dampak dari perubahan iklim. Selain ancaman dari perubahan iklim, degradasi ekosistem juga terjadi akibat pemanfaatan yang tidak lestari.

Minimnya informasi tentang kerentanan (vulnerability) lingkungan PPK TNB menjadikan kawasan ini rentan terhadap kerusakan. Selain itu laju degradasi ekosistem pesisir, khususnya ekosistem mangrove pada PPK TNB cukup besar dan dikhawatirkan akan mengalami penurunan luasan pada masa yang akan datang. Mengingat pentingnya ekosistem mangrove yang mempunyai fungsi ekologi sebagai pereduksi aksi laut, maka ekosistem ini penting untuk dikaji dalam rangka meminimalkan kerentanan pada PPK TNB.

Pada tahun 1982 luas hutan mangrove Indonesia mencapai 5 209 543 ha, dan menurun pada tahun 1987 menjadi 3 234 700 ha. Penurunan ini terus berlangsung hingga pada tahun 1993 hasil survei menyatakan bahwa luasan hutan mangrove tinggal sekitar 2 496 185 ha. Hal ini dikarenakan pemanfaatan yang bersifat destruktif yang diterapkan pada ekosistem mangrove sangat sulit dikendalikan (Dahuri et al., 2004). Hal ini juga terlihat pada PPK TNB dimana laju penuruanan luasan ekosistem mangrove cukup tinggi, terutama pada pulau Mantehage.

Sejak beberapa generasi masyarakat TNB telah menggunakan kayu mangrove sebagai bahan bangunan, kayu bakar, makanan dan obat-obatan. Semua pemanfaatan ini bisa berkelanjutan sepanjang pemanfaatannya bersifat non-komersial. Seiring berjalannya waktu, terjadi perkembangan pasar komersial untuk kayu mangrove sebagai kayu bakar dan bahan bangunan di Manado, serta untuk patok pertanian rumput laut. Akibatnya, terjadi tekanan pemanfaatan/penebangan kayu mangrove di Pulau-pulau yang ada di TNB.


(21)

Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan gangguan ekosistem dan lingkungan seperti terjadinya abrasi, rob, sedimentasi, erosi, wabah penyakit, dan hilangnya habitat bagi anakan ikan ekonomis, termasuk moluska dan udang. Pada tahun 1995, 8 000 meter kubik kayu mangrove diambil dari dalam TNB, untuk keperluan : Budidaya rumput laut (38%), dijual ke Manado (35%), kayu bakar setempat (26%), dan Sero (<1%). Kebutuhan mangrove tersebut sebagian besar diambil dari Mantehage (85%) dan 15% dari daerah Arakan-Wawontulap.

Untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) (Gambar. 1). Faktor pendorong (driving force) yaitu pemanfaatan yang tidak lestari untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, kebutuhan rumah tangga, peningkatan populasi penduduk, dan naiknya permukaan air laut. Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pendorong tersebut adalah meningkatnya kerentanan suatu pulau, degradasi ekosistem mangrove dan pencemaran lingkungan. States of change merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi, dalam kasus ini adalah adanya indikasi abrasi, erosi, sedimentasi, rob, polusi, dan degradasi sumberdaya pesisir. Impact yang merupakan akibat dari tekanan pada ekosistem yang pada penelitian ini dibagi dalam tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi, dimensi ini akan mengalami penurunan fungsi akibat dari tekanan yang ada. Sedangkan Response adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh stakeholders untuk memitigasi kerusakan ekosistem dengan cara mengurangi, mencegah, dan memperbaiki ekosistem yang terdegradasi.

Gambar 1. Pendekatan DPSIR dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Mitigasi

Drives (D): Kebutuhan Rumah Tangga

Kebutuhan Ekonomi Peningkatan Populasi Penduduk

Sea Level rire

Pressures (P): Peningkatan Kerentanan

Degradasi mangrove Pencemaran

State changes (S): Abrasi, erosi, Sedimentasi, rob, Degradasi sumberdaya, Polusi. Impact (I): Ekologi Sosial ekonomi Responses (R): Respon Ekologi Respon Sosial Respon ekonomi Respon Kelembagaan


(22)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari berbagai permasalahan yang ada dan akan dihadapi ekosistem mangrove PPK TNB maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Menganalisa kondisi dan permasalahan existing ekosistem mangrove PPK TNB.

b. Menyusun indeks kerentanan pulau-pulau kecil TNB serta memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa mendatang.

c. Mengevaluasi efektivitas ekosistem mangrove dalam memitigasi kerentanan PPK TNB dan memproyeksikan degradasi ekosistem mangrove PPK TNB berbasis mitigasi.

d. Menganalisa strategi pengelolaan ekosistem mangrove PPK berbasis mitigasi sesuai dengan kebutahan masa sekarang dan akan datang yang mengacu pada indeks dan peta kerentanan, proyeksi perubahan kerentanan, efektivitas ekosistem mangrove, dan stakeholders analysis untuk meningkatkan kapasitas ekosistem mangrove PPK TNB.

e. Merumuskan implikasi kabijakan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis mitigasi.

Manfaat Penelitian :

a. Menjadi sumber informasi tentang sumberdaya ekosistem mangrove yang ada di PPK TNB yang dapat berfungsi untuk evaluasi pembangunan PPK dan penelitian selanjutnya.

b. Menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove PPK TNB yang dapat meminimalkan kerentanan dan degradasi sumberdaya pesisir PPK.

1.4 Kerangka Pikir

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Fungsi dari ekosistem mangrove ini mampu meminimalkan degradasi sumberdaya dan kerentanan pada PPK TNB. Untuk menganalisa kerentanan PPK TNB pendekatan yang dilakukan adalah dengan membuat indeks dan peta kerentanan, serta proyeksi kerentanan pada masa yang akan datang berdasarkan kondisi dan permasalahan exisitng. Setelah indeks kerentanan ini diketahui langkah selanjutnya adalah membuat normalisasi dan komposit indeks. Melalui hasil komposit indeks


(23)

tadi maka dapat dibuat peta kerentanan dengan menggunakan teknik cell based modelling (CBM). Setelah analisa ini dilakukan langkah selanjutnya adalah mengetahui faktor pengungkit atau atribut penting yang mempengaruhi kerentanan PPK pada masing-masing dimensi dengan menggunakan analisis multi dimensional scaling (MDS), sedangkan untuk memproyeksikan kerentanan pada masa mendatang pendekatan yang digunakan adalah membuat model untuk memprediksi tingkat kerentanan PPK TNB.

Langkah selanjutnya adalah menganalisa kondisi existing dan efektivitas ekosistem mangrove sebagai buffer zone PPK. Analisa ini digunakan untuk mengetahui lebar dan luasan ekosistem mangrove yang baik untuk meminimalkan kerentanan PPK TNB. Untuk memprediksikan luasan ekosistem mangrove pada masa mendatang maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan membuat model degradasi berdasarkan kondisi existing dan skenario.

Tahap yang terakhir adalah membuat pola dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove PPK TNB melalui stakeholders analysis yang berdasarkan hasil analisa terhadap indeks dan peta kerentanan, proyeksi kerentanan, efektivitas ekosistem mangrove, dan degradasi ekosistem mangrove. Analisis ini menggunakan Multi Criteria Decision Making Analysis (MCDMA), melalui pendekatan SMART (Simple multi atribute rating technique) dengan menggunakan software Criterium decision plus (Criplus Version 3.0 S) (Gambar. 2).

1.5 Kebaruan (Novelty)

Indeks kerentanan telah dikembangkan oleh beberapa orang diantaranya adalah Briguglio (1995, 1997), Wells (1996,1997), Pantin (1997), Atkins et al., (1998), Crowards (1999), Adrianto (2004), dan Tahir (2010). Pengembangan indeks kerentanan PPK pada penelitian ini dilakukan dengan cara memasukkan berbagai parameter yang berkaitan dengan tekanan dari faktor antropogenik dan force mayor (iklim dan bencana) dari dimensi ekologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Untuk mempermudah intepretasi terhadap hasil dari indeks kerentanan PPK, penelitian ini membuat peta kerentanan serta proyeksi kerentanan yang tujuannya adalah untuk memitigasi degradasi terhadap lingkungan pesisir PPK.


(24)

Pengelolaan ekosistem mangrove pada PPK telah dikembangkan oleh beberapa negara yang memiliki permasalahan terhadap ekosistem mangrove. Kebanyakan dari penelitian ini hanya mengkaji dengan cara memilah permasalahan yang ada, kajian tersebut biasanya hanya di tinjau dari satu atau dua dimensi saja, dimensi itu antara lain dimensi sosial, ekonomi, kelembagaan, ataupun ekologi. Untuk kajian terhadap efektivitas ekosistem mangrove sebagai buffer zone terkahir dikembangkan pada tahun 1990 dengan dikeluarkannya Keppres No.32 Tahun 1990. Seiring berjalannya waktu Keppres ini dirasakan kurang relevan dalam mengantisipasi perubahan iklim dan permasalahan PPK sekarang ini. Penelitian ini akan menganalisa efektivitas ekosistem mangrove dalam meminimalkan kerentanan PPK berbasis mitigasi. Melalui analisa ini hasil yang diharapkan adalah lebar dan luasan ekosistem mangrove yang baik sebagai buffer zone sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang ada PPK TNB. Sedangkan untuk memprediksikan luasan ekosistem mangrove pada masa mendatang pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat model degradasi ekosistem mangrove.

Untuk pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan pada PPK, penelitian menggunakan pendekatan stakeholders analysis yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik dari stakeholders sebagai pihak yang berkepetingan terhadap kawasan ini. Penyelesaian masalah ini didekati dengan Multi Criteria Decision Making Analysis (MCDMA). Berbagai kriteria yang menjadi isu penting yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove PPK didiskusikan dengan seluruh stakeholders.

Dengan demikian kebaruan dari penelitian ini adalah pengelolaan ekosistem mangrove berbasis mitigasi yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas ekosistem mangrove sebagai buffer zone (zona penyangga) dalam meminimalkan kerentanan PPK. Pengelolaan ekosistem mangrove ini didasarkan pada kerentanan PPK, efektivitas ekosistem mangrove, dan stakeholdersanalysis.


(25)

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian EKOSISTEM MANGROVE PPK

TAMAN NASIONAL BUNAKEN

ANCAMAN EKOSISTEM

NORMALISASI dan KOMPOSIT DATA

STAKEHOLDERS ANALYSIS

INDEKS dan PETA KERENTANAN PPK

Implikasi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Mitigasi CELL BASED MODELLIG (CBM)

PEMANFAATAN

SOSIAL EKONOMI

EKOLOGI

LESTARI TIDAK LESTARI

EXTERNAL INTERNAL

DEGRADASI EKOSISTEM

EFEKTIVITAS EKOSISTEM MANGROVE

FORCE MAYOR

Multi Criteria Decision Making Analysis Multi Dimensional Scaling (MDS)

MITIGASI DPSIR

Proyeksi Kerentanan PPK

Degradasi Ekosistem Mangrove Prediksi Efektivitas Mangrove

+

KERENTANAN :

•EKOLOGI

•SOSIAL-EKONOMI


(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat berlumpur dan mampu bertahan terhadap perubahan salinitas. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya mengandung lumpur. Dilihat dari fungsi bagi ekosistem perairan, ekosistem mangrove memberikan tempat untuk memijah dan membesarkan berbagai jenis ikan, crustacea, dan spesies perairan lainnya (Nagelkerken & Van Der Velde 2004).

Komponen dasar rantai makanan di ekosistem mangrove adalah serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Serasah mangrove yang jatuh ke perairan akan diurai oleh mikroorganisme menjadi partikel-partikel detritus sebagai sumber makanan bagi biota perairan yang memiliki perilaku makan dengan menyaring air laut. Serasah daun diperkirakan memberikan kontribusi yang penting pada ekosistem mangrove, tingginya produktifitas yang dihasilkan serasah daun yaitu sebanyak 7-8 ton/tahun/Ha. (Alongi et al., 2002; Holmer & Olsen 2002).

Mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dipengaruhi oleh faktor darat dan laut (FAO 1994).

Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi, dan drainase. Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya


(27)

berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove hidup pada daerah yang tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Ekosistem mangrove terdapat pada daerah yang terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air pada ekosistem ini bersalinitas payau (2-22‰) hingga asin (38 ‰) (Bengen 2002b).

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok yaitu :

1. Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.

2. Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu tipe yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang dan tipe yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis avertebrata lainnya.

Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri atas berbagai kelompok, yaitu: burung, mamalia, mollusca, crustacea, dan ikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Gopal & Chauchan (2006), pada daerah mangrove di Sundarbans India terdapat 8 spesies mamalia, 10 spesies reptilia dan 3 spesies burung yang hidup dan berasosiasi dengan mangrove.

Dahuri et al., (2004) mengatakan bahwa di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan satu jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis yang merupakan mangrove sejati (true mangrove). Vegetasi mangrove dapat dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi asosiasi. Di Pulau Bali dan Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi utama, 13 spesies vegetasi pendukung dan 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi (Gunarto 2004).


(28)

2.2 Faktor–Faktor Lingkungan Ekosistem Mangrove 2.2.1 Fisiografi Pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

2.2.2 Iklim

Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin.

a. Cahaya

Tanaman mangrove umumnya membutuhkan intensitas matahari tinggi atau penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m²/ hari.

b. Curah Hujan

Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan dan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/ tahun.

c. Suhu Udara

Keadaan suhu yang baik, akan menentukan proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Menurut Kusmana (1998), mengatakan bahwa mangrove yang terdapat di bagian Timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran 26.3 ºC pada bulan Desember sampai dengan 28.7 ºC. Untuk setiap jenis mangrove, dibatasi pada lingkungan suhu yang berbeda bagi pertumbuhannya. Kusmana et al., (2005) mengatakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu : Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa, Ceriops spp., Excoecaria agalloca dan Lumintzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai


(29)

pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera spp. 27 ºC, Xylocarpus granatum spp. Berkisar antara 21-26 ºC dan X. granatum 28 ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal 20ºC. Temperatur rata-rata udara yang penting untuk pertumbuhan mangrove berkisar 20º - 40ºC (Tomascik 1997). Suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan mangrove. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20ºC, sedangkan kisaran suhu musiman tidak lebih dari 5ºC . Temperatur yang tinggi (>40ºC) cenderung tidak mempengaruhi kehidupan tumbuhan mangrove.

d. Angin

Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal.

2.2.3 Salinitas

Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air. Avicennia spp merupakan jenis yang paling memiliki kemampuan toleransi tinggi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Avicennia marina mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati air tawar sampai dengan salinitas 90 ‰. Pada kondisi salinitas yang ekstrim ini, pohon tumbuh kerdil, dan kemampuan untuk menghasilkan buah menjadi hilang ( Noor et al., 1999). Namun demikian, tumbuhan mangrove tidak dapat bertumbuh pada lingkungan yang benar-benar tawar.

2.2.4 Arus

Arus laut merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mangrove, terutama untuk peletakan atau penancapan semaian mangrove. Arus susur pantai mempunyai kontribusi terhadap pola penyebaran mangrove (Tomascik. 1997). Arus yang sangat berperan di kawasan hutan mangrove adalah arus pasang surut. Daerah-daerah yang terletak di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove


(30)

kadang-kadang bisa mencapai puluhan kilometer, seperti yang terdapat di Sungai Barito (Provinsi Kalimantan Selatan). Panjang hamparan mangrove tergantung pada intrusi air laut yang sangat di pengaruhi oleh pasang surut air laut (Noor et al., 1999).

2.2.5 Pasang surut

Zonasi vertikal hutan mangrove mempunyai kaitan erat dengan pasang surut. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi, walaupun pada saat pasang rendah, umumnya didominasi oleh Avicennia alba dan Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang, didominasi oleh Rhizophora spp. Adapun areal yang digenangi pada saat pasang tinggi, dimana areal ini lebih ke arah darat, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera spp dan Xylocarpus granatum granatum. Sedangkan areal yang hanya digenangi pada saat pasang tertinggi saja, umumnya didominasi oleh jenis Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea (Noor et al., 1999).

2.2.6 Keterlindungan

Fisiografis pantai menentukan lokasi bertumbuh dan berkembangnya komunitas mangrove. Mangrove dengan pertumbuhan yang baik biasanya terdapat di daerah pantai yang terlindung dari gelombang dan angin yang kuat, misalnya di daerah pantai yang memiliki terumbu karang yang baik serta tidak terlewati oleh arus pantai yang kuat. Menurut Nybakken (1992) biasanya mangrove dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terlindung dari gelombang dan memiliki pergerakan air yang minimal. Noor et al., (1999) mengemukakan bahwa umumnya lebar hutan mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini, lebar hutan mangrove dapat mencapai 18 km, seperti yang terdapat di Sungai Sembilang (Provinsi Sumatera Selatan) atau bahkan bisa mencapai lebih dari 30 km seperti yang terdapat di Teluk Bintuni (Provinsi Papua).

2.2.7 Batimetri Perairan

Daerah pantai yang perairannya dangkal merupakan tempat yang banyak ditumbuhi mangrove. Kondisi tersebut dapat terlihat di daerah sepanjang pantai timur Pulau Sumatera (Selat Malaka), bagian timur, selatan dan barat Pulau Kalimantan, bagian tenggara pantai Pulau Irian (Laut Arafuru), serta di Pulau


(31)

Halmahera. Vegetasi mangrove yang terdapat di daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Verbenanceae. Menurut Bengen (2002b) mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang perairannya dangkal dan memungkinkan ujung semaian mencapai dasar perairan dan menancap untuk kemudian bertumbuh. Selanjutnya, Tomascik (1997) mengemukakan bahwa secara umum mangrove tidak ditemui di tempat-tempat dimana benih tidak dapat mengakar.

2.2.8 Substrat

Endapan lumpur yang cukup memadai merupakan salah satu faktor penentu kehadiran dan perkembangan mangrove. Sebagian besar hutan mangrove yang ada di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian berasosiasi dengan substrat berlumpur. Jadi kebanyakan mangrove mempunyai kecenderungan umum untuk bertumbuh di substrat lunak (Tomascik 1997). Mangrove juga dapat berkembang baik pada substrat kapur, seperti hutan mangrove yang terdapat di Pulau Rambut (Teluk Jakarta), Pulau Panjang dan Pulau Berau ( Provinsi Kalimantan Timur).

Tekstur tanah sangat mempengaruhi jenis tumbuhan yang bertumbuh di atasnya. Rhizophora spp, Avicennia spp dan Bruguiera spp umumnya tumbuh baik pada tanah dengan fraksi liat di atas 65 % dan lumpur sekitar 20-30 %. Avicennia spp, Ceriops spp, Lumnitzera spp, Xylocarpus granatum spp, Sonneratia spp dan Laguncularia spp merupakan jenis-jenis yang menyukai tanah yang cepat mengalirkan air tanah, sedangkan Nypa dan Bruguiera spp lebih menyenangi tanah yang mampu menyimpan air .

Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak dan batuan-batuan organik yang lembut. Tanah vulkanik juga merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove.

2.2.9 Oksigen Terlarut

Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga kosentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari, yang dibatasi oleh


(32)

waktu, musim, kesuburan tanah, dan organisme akuatik. Menurut Kusmana (1995a), konsentrasi oksigen terlarut untuk mangrove 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah dibanding diluar mangrove sebesar 4.4 mg/l.

2.3 Zonasi Ekosistem Mangrove

Zonasi hutan mangrove dari suatu tempat ke tempat lain berbeda tergantung pada kombinasi faktor-faktor yang mempengaruhi. Zonasi dapat juga diputuskan oleh kondisi lokal seperti penguapan air dari tanah yang mengakibatkan terjadi hipersalinitas. Hipersalin cenderung mematikan bakau membentuk daerah gundul (Nybakken 1992).

Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik didalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi.

Selain itu tiga zona yang terdapat pada kawasan mangrove yang disebakan terjadinya perbedaan penggenangan yang juga berakibat pada perbedaan salinitas. Hal ini yang membuat adanya perbedaan jenis dikawasan ekosistem mangrove.

Adapun pembagian kawasan mangrove berdasarkan penggenangan sebagai berikut :

1. Zona “proksimal” yaitu zona yang terdekat dengan laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis seperti Rhyzopora apicuta, R. mucronata dan Soneratia alba.

2. Zona “middle” yaitu kawasan antara laut dan darat, pada zona ini biasanya akan ditemukan S. caselaris, R. alba, Bruguiera gymnorrhiza, Avicenia marina 3. Zona “distal” yaitu zona yang terjauh dari laut, pada zona ini biasanya akan

ditemukan jenis-jenis Heritiera littolis, Pongamia, Pandanus spp, dan Hibiscus tilliaceus.

Substrat, salinitas, kedalaman dan lama penggenangan serta ketahanan terhadap gelombang dan arus adalah faktor penentu tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove. Pada daerah hutan mangrove yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, urutan vertikalnya dari spesies mangrove sangat jelas kelihatan.


(33)

Salah satu tipe zonasi mangrove di Indonesia (Bengen 2000 a):

• Daerah yang paling dekat dengan laut ditumbuhi jenis Avicennia dan Sonneratia biasanya tumbuh pada lumpur dalam kaya bahan organik

• Lebih kearah darat, umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga ditumbuhi Bruguiera dan Xylocarpus granatum

• Kearah darat setelah zona Rhizophora spp, hutan mangrove didominasi oleh Bruguiera spp. Daerah yang paling dekat dengan daratan dimana terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah, umumnya ditumbuhi Nypa dan pandan laut (Pandanus spp).

2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

(1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

(2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.


(34)

(3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan. (4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan

menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.

(5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

(6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan.

Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Kusmana (1995b) terdiri 5 (lima) habitat, yakni:

(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.

(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).

(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.

(4) Lubang permanen dan semi permanent di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak.

(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

Secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini (Abdullah 1988).


(35)

Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, serta kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut.

Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri (2003) mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya.

Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali 2001).

Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi.

Sistem perakaran dan tajuk yang rapat serta kokoh merupakan habitat alami yang aman untuk spesies perairan berkembang biak, selain itu mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai, penstabilisasi, penyangga serta pencegah erosi yang diakibatkan oleh arus, gelombang, dan angin bagi kelangsungan hidup manusia dan mamalia di darat dan biota perairan di laut.


(36)

2.5 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Mangrove

Sejak tahun 1880, bumi telah menghangat 0.6-0.8 °C dan itu diproyeksikan akan meningkat 2-6 °C pada tahun 2100 dan sebagian besar disebabkan oleh manusia (Houghton et al., 2001). Peningkatan suhu atmosfer dan laut tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekosistem mangrove, karena tingkat perubahan yang diproyeksikan jauh lebih rendah dari pada tingkat adaptasi mangrove terhadap perubahan yang terjadi sehingga hal ini masih dapat ditolerir oleh ekosistem mangrove (Field 1995).

Snedaker (1995) berpendapat bahwa mangrove akan bergerak ke arah darat seiring dengan peningkatan suhu global. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis mangrove, asupan air, transpirasi, dan kehilangan kadar garam (Pernetta 1993). Sebagian besar mangrove tumbuh dan berkembang pada suhu udara rata-rata 25 ° C dan berhenti memproduksi daun ketika rata-rata suhu udara turun di bawah 15 ° C (Hutchings & Saenger 1987). Pada suhu di atas 25 ° C, beberapa spesies mangrove menunjukkan penurunan rata-rata pembentukan daun (Saenger & Moverly 1985), dan pada daun temperatur 38-40 ° C, hampir tidak ada proses fotosintesis yang terjadi pada mangrove(Clough 1992). 

CO2 di Atmosfer telah meningkat dari 280 ppm pada tahun 1880 dan

hampir 370 ppm pada tahun 2000 (Houghton et al., 2001). Peningkatan CO2

mempengaruhi perubahan pola curah hujan yang disebabkan oleh perubahan iklim yang memiliki efek mendalam pada pertumbuhan ekosistem mangrove (Field & Snedaker 1995).

Penurunan curah hujan dapat meningkatkan salinitas. Peningkatan salinitas dalam tanah dan air dapat mempengaruhi di jaringan mangrove. Peningkatan salinitas dan kurangnya air tawar mengakibatkan penurunan produktivitas mangrove, pertumbuhan, kelangsungan hidup bibit, dan dapat mengubah komposisi spesies yang kurang toleran terhadap perubahan ini (Ellison 2000).

Pada tahun 1998, Badai Mitch menghancurkan 97% dari bakau di Guanaja di Honduras (Cahoon 1995). Dampak badai besar telah mengakibatkan kematian masal di 10 hutan mangrove Karibia dalam 50 tahun terakhir ini (Jimenez et al., 1985; Armentano et al., 1995). Peningkatan frekuensi air yang tinggi (Church et al., 2001, 2004) dapat mempengaruhi kesehatan mangrove dan


(37)

komposisi karena perubahan dalam salinitas, perekrutan, genangan, dan perubahan dalam transport sedimen.

Pada abad terakhir, permukaan laut eustatic telah meningkat 10 - 20 terutama disebabkan oleh ekspansi termal dari cm laut dan pencairan es glasial yang disebabkan oleh pemanasan global (Church et al., 2001). Kombinasi kenaikan permukaan laut global dan dampak lokal yang menyebabkan penurunan penutupan mangrove yang mengancam mangrove di seluruh dunia. Kenaikan muka laut adalah tantangan terbesar perubahan iklim terhadap ekosistem mangrove (Field 1995). Catatan geologi menunjukkan bahwa sebelumnya fluktuasi permukaan laut telah menciptakan gangguan terhadap komunitas mangrove (Field 1995). Mangrove dapat beradaptasi dengan kenaikan permukaan laut secara alami asalkan tanpa ada tekanan dari manusia (Ellison & Stoddart 1991), catatan untuk hal ini adalah apabila ada ruang ekspansi yang memadai, dan kondisi lingkungan lainnya terpenuhi.

2.5.1 Efektivitas Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Penyangga

Mangrove memiliki berbagai macam manfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Nilai pakai tak langsung dari ekosistem mangrove adalah dalam bentuk fungsi-fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang di dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tata guna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi garam dan permurnian alam perairan pantai terhadap polusi.

Kemampuan mangrove untuk mengembangkan area pertumbuhannya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat menerangkap sedimen dan mempertahankan lahan yang telah ditumbuhinya. Proses pengikatan dan penstabilan hanya terjadi pada pantai yang telah mengalami pemadatan dari substrat pembentuknya. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan tentang kemampuan vegetasi dalam meredam gelombang pada daerah pesisir.


(38)

Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengingat sistem perakarannya yang dapat meredam ombak, arus, serta menahan sedimen. Dalam beberapa kasus, penggunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih murah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatkan kualitas perairan di sekitarnya, dimana hal ini tidak bisa diperoleh dari penggunaan struktur bangunan keras. Mangrove dapat juga berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan badai dan angin.

Mangrove juga berfungsi meredam pasang laut dan rob. Kedalaman air laut di depan mangrove lebih besar daripada di belakang mangrove. Perakaran mangrove mampu mengurangi energi arus atau aliran pasang surut melalui mekanisme peningkatan koefisien gesekan.

Keberadaan mangrove juga mampu meredam energi gelombang. Pengurangan energi tersebut akibat gesekan, turbulensi, dan pecahnya gelombang yang terjadi di akar, batang, dan ranting mangrove. Mangrove juga bisa menjadi pengendali pencemaran air. Contoh menarik adalah riset tentang rawa yang ditanam mangrove di Hongkong. Rawa itu dapat digunakan untuk mengolah limbah dengan biaya rendah sehingga ditetapkan menjadi salah satu dari 12 kiat atau kunci dalam melindungi lingkungan.

Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah limbah cair. Selama penelitian di Hongkong, di 18 lahan mangrove, peningkatan konsentrasi nutrient dan logam berat di temukan di tanah, hal ini menunjukkan bahwa mangrove dapat berperan sebagai “perangkap potensial” polutan dari limbah antropogenik.

Sejak tahun 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah diujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil dari studi lapangan di Pelestarian Sumberdaya Alam Nasional Futian, China, mengindikasikan penambahan konsentrasi polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mangrove, invertebrata bentik, atau spesies algae.

Melalui sistem tersebut, limbah cair dapat diolah setiap hari. Mekanisme pengendalikan pencemaran itu terjadi melalui proses – proses absorbs, filtrasi,


(39)

biodegradasi, presipitasi, sedimentasi, penyerapan oleh tanaman, dan evaporasi (penguapan).

Perlindungan pantai dengan mangrove membutuhkan ketebalan hutan tidak kurang dari 50 sampai dengan 1000 m, tergantung kondisi hidro – oseanografi dan ketinggian tsunami yang terjadi di daerah tersebut. Ketebalan hutan yang difungsikan sebagai lapis penyangga (buffer zone) menurut Keppers 32/90 adalah 130 kali tinggi pasang surut.

Penentuan tebal greenbelt mangrove, disamping mempertimbangkan aspek teknis juga harus meninjau peran ekologis mangrove untuk mendukung ekosistem kehidupan biota laut dan fauna darat. Penetapan jalur hijau mangrove disesuaikan dengan kondisi ekologis dan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan memperhatikan : (i) Besar pasang surut air laut atau lebar luapan air pasang; (ii) Besar gelombang laut; (iii) Topografi pantai; (iv) Jenis dan kedalaman tanah; (v) Komposisi jenis dan kerapatan vegetasi mangrove; (vi) Jenis pemanfaatan areal di sekitar jalur hijau; (vii) Keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Seperti diketahui bahwa tujuan penetapan jalur hijau hutan mangrove adalah untuk perlindungan tanaman lingkungan pesisir dalam rangka mencegah terjadinya abrasi pantai, banjir, intrusi air laut, meredam tsunami, menyerap limbah, usaha budi daya di wilayah belakangnya dan pelestarian flora dan fauna serta tempat makan berbagai biota perairan, di samping meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar konsep lebih terpadu dan komprehensif, maka aspek sosial – ekonomi khususnya masyarakat pesisir, juga harus menjadi pertimbangan. Satu aspek teknis lainnya yang juga sangat penting adalah tebal hutan yang melebihi kebutuhan, juga akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan pantai dan muara sungai seperti pada Tabel 1 berikut ini.


(40)

Tabel 1. Matriks Untung – Rugi Ukuran Lebar Jalur Hijau Mangrove

Lebar Jalur Hijau

Keuntungan Kerugian Keterangan

Besar ƒƒPantai terlindung

Ekologis sukses Lahan usaha sempit

Dibutuhkan informasi lebar / tebal hutan maksimal

Ideal Optimal Minimal ‐Kepres 32/90; Inmendagri No.26/1997

Kecil /

hilang Lahan usaha luas

ƒ Potensi erosi pantai/abrasi

ƒ Resiko tsunami

ƒ Pencemaran

ƒ Ekosistem rusak

Dibutuhkan informasi lebar / tebal hutan minimal

Sumber : Subandono dan Budiman (2009)

Berdasarkan data tahun 1977 menunjukkan, bahwa sekitar 3% dari hasil tangkapan laut Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem mangrove, seperti Penaeus monodon, P.merguensis, Metapenaeus spp., kepiting mangrove, dan Scylla serrata. Di sekitar kawasan hutan mangrove, nelayan bisa dengan mudah menangkap ikan, udang, kepiting dan moluska.

Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) diacu dalam Subandono dan Budiman (2009) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Ekosistem mangrove yang terjaga dengan baik punya potensi wisata yang menarik. Kegiatan ekowisata ini sekaligus memberikan informasi lingkungan yang diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mencintai alam.

Di sisi lain, mangrove juga menunjang kegiatan perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Hal itu tak terlepas dari peran hutan mangrove sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari makan bagi ikan, udang, dan kerang – kerangan. Mangrove juga melindungi dan melestarikan habitat perikanan serta mengendalikan dan menjaga keseimbangan rantai makanan di pesisir.

Berdasarkan tabel diatas maka pendekatan dengan menganalisa lebar luasan mangrove adalah pendekatan yang cukup optimal untuk melindungi pantai dari bahaya erosi, abrasi, dan sedimentasi bahkan pencemaran. Data yang dibutuhkan untuk menganalisa lebar optimal mangrove adalah tunggang pasut dan lebar dari ekosistem mangrove.


(41)

Dari tabel dibawah ini terlihat bahwa semakin tebal hutan pantai maka tingkat peredaman gelombang kian tinggi, arus dan gaya hidrolis kian melemah. Untuk gelombang setinggi 3m yang menerjang hutan pantai selebar 50 m, maka jangkauan run-up yang masuk ke daratan tinggal 98%. Sementara itu pada kasus yang sama (tinggi gelombang 3 m dan lebar hutan pantai 50 m) maka tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 86%. Sedangkan arus setelah melewati hutan pantai itu tinggal 71%. Begitu juga dengan gaya hidrolisnya setelah melewati hutan pantai tinggal 53%. Kekuatan hutan pantai meredam gelombang makin terbukti jika hutannya kian tebal. Terlihat bahwa jika lebar hutannya 400 m diterjang gelombang dengan ketinggian 3 m maka jangkauan run-up tinggal 78%, tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tersisa 18%, arus setelah melewati hutan pantai tinggal 31%, dan gaya hidrolik setelah melewati hutan pantai hanya tersisa dua persen.

Tabel 2. Efektifitas Ekoisistem Mangrove Meredam Aksi Laut

Hutan Pantai Mitigasi kerusakan ; menghentikan benda yang hanyut ; meredam gelombang

Tinggi Gelombang (M) 3 2 1

Jarak Run-up

Lebar Hutan

50 M 0.98 0.86 0.81

100 M 0.83 0.80 0.71

200 M 0.79 0.71 0.64

400 M 0.78 0.65 0.57

Tinggi Genangan

Lebar Hutan

50 M 0.86 0.86 0.82

100 M 0.76 0.74 0.66

200 M 0.46 0.55 0.50

400 M 0.18 0.11 ‐ 

Arus Lebar Hutan

50 M 0.71 0.58 0.54

100 M 0.57 0.47 0.44

200 M 0.56 0.39 0.34

400 M 0.31 0.24 ‐ 

Gaya Hidrolis

Lebar Hutan

50 M 0.53 0.48 0.39

100 M 0.33 0.32 0.17

200 M 0.13 0.08 0.01 

400 M 0.02 0.01 ‐ 


(42)

Dari beberapa penjelasan tadi dapat dirangkum bahwa hutan mangrove memiliki lima fungsi, yaitu : fungsi fisik, kimia, biologi, ekonomi dan fungsi wanawisata.

A. Fungsi fisik hutan mangrove adalah sebagai berikut : ƒ Menjaga garis pantai agar tetap stabil

ƒ Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat

ƒ Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru

ƒ Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat.

B. Fungsi kimia hutan mangrove adalah sebagai berikut : ƒ Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang ƒ Sebagai penyerap karbondioksida

ƒ Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri (bioremidiator) C. Fungsi biologi hutan mangrove adalah sebagai berikut ;

ƒ Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar

ƒ Sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang dan sebagainya yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai

ƒ Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain

ƒ Sebagai sumber genetika

ƒ Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut. D. Fungsi ekonomi hutan mangrove adalah sebagai berikut :

ƒ Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang serta kayu untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga

ƒ Penghasil bahan baku industri, misalnya ; pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alkohol, kosmetik dan zat warna

ƒ Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting,telur burung,dan madu E. Fungsi wanawisata hutan mangrove antara lain adalah sebagai berikut


(43)

Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut.

Keadaan ini menjadikan hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan biota seperti ikan, udang, moluska dan lainya. Selain itu hutan mangrove juga berperan sebagai pendaur zat hara, penyedia makanan, tempat memijah, berlindung dan tempat tumbuh.

2.6 Pulau-Pulau Kecil

2.6.1 Pengertian dan Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil

Menurut Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil definisi Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil juga diartikan sebagai wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air laut dan selalu berada diatas permukaan air pada waktu air pasang.

Briguglio (1995) menyatakan bahwa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Ada tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil, yaitu : (1) Batasan fisik (luas pulau), (2) Batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan (3) Keunikan budaya. Selain ketiga kriteria tersebut, terdapat indikasi besar-kecilnya pulau terlihat dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri et al., 2004). Sedangkan Bengen (2006) menggolongkan pulau atau kepulauan berdasarkan pada proses geologinya, yaitu :


(44)

1. Pulau Benua (Continental Island), tipe batuan kaya akan silica. Biota yang terdapat pada tipe ini, sama dengan yang terdapat di daratan utama.

2. Pulau Vulkanik (Vulcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah).

3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island), terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika proses ini berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan.

4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini, paling rawan terhadap bencana alam, seperti angin topan dan gelombang tsunami. 5. Pulau Atol (Atolls), adalah pulau karang berbentuk cincin. Pada umumnya

adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang berbentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef, dan akhirnya menjadi pulau atol.

Hehanussa dan Bakti (1998 ) membuat klasifikasi pulau-pulau kecil di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesis pulau sebagai berikut : (1) Pulau berbukit, dan (2) Pulau datar. Pulau berbukit terdiri dari : Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras Terangkat, Pulau Petabah (monadnock), dan Pulau Gabungan. Sedangkan Pulau datar terdiri dari : Pulau Aluvium, Pulau Koral, dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan lebih kecil dari 50 km2, misalnya pulau-pulau di kepulau-pulauan Takabonarate, yang lebarnya kurang dari 150 m dengan panjang antara 1000 hingga 2000 m. Proses terbentuknya pulau antara lain :

1. Penurunan muka laut, contohnya : P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di Kepulauan Riau.

2. Kenaikan muka laut, contohnya : Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil, juga di kepulauan Riau.

3. Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya : P. Christmas, P. Nias. 4. Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya : Kepulauan Hawai. 5. Amblesan daratan, contohnya : P. Digul.


(45)

7. Sedimentasi, contohnya : pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis. 8. Vulkanisme, contohnya : P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua.

9. Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contohnya : pulau-pulau di Kepulauan Seribu.

10. Biologi, biota lain (mangrove, lamun, dan lain-lain) contohnya : P. Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan.

11. Pengangkatan daratan, contohnya : P. Manui di Sulawesi.

12. Buatan manusia, contohnya : lapangan udara Kansai Osaka Jepang. 13. Kombinasi berbagai proses, contohnya : P. Rupat.

Secara umum pulau-pulau kecil memiliki karateristik yang unik, antara lain : berukuran kecil (smallness), terisolasi (isolation), ketergantungan (dependence), rentan (vulnerability) (Briguglio 1995; Fauzi 2002). Sifat rentan dimaksudkan karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility).

2.6.2 Sumberdaya Alam dan Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Kawasan pulau-pulau kecil menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya, seperti ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang, beserta biota yang hidup di dalamnya. Disamping itu pula menjadi media komunikasi, kawasan rekreasi, pariwisata, konservasi, dan jenis pemanfaatan lainnya (Dahuri 2002).

Di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih ekosistem pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami antara lain terumbu karang (coral reef), hutan bakau (mangrove), padang lamun (seagrass) pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan pemukiman (Dahuri 2003).

Sumberdaya alam secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama, adalah yang disebut sebagai kelompok stock atau sumberdaya tidak terpulihkan (exchaustible). Sumberdaya kelompok ini dianggap memiliki suplai yang terbatas, sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, misalnya : mineral, metalik, minyak,


(46)

gas dan sebagainya. Kelompok kedua, adalah sumberdaya alam yang disebut flow atau sumberdaya yang dapat dibaharui. Sumberdaya ini ini diasumsikan memiliki suplai yang infinite atau tidak terbatas. Kelompok sumberdaya ini ada yang tergantung pada proses biologi untuk regenerasinya dan ada yang tidak. Perikanan, kehutanan, peternakan dan sebagainya masuk kedalam kelompok sumberdaya yang regenerasinya tergantung pada proses biologi (reproduksi). Sementara energi surya, gelombang pasang surut, angin, udara dan sebagainya, masuk kedalam kelompok sumberdaya alam yang tidak tergantung pada proses biologi. Meskipun ada sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis kapasitas maksimum regenerasinya sudah terlewati, sumberdaya ini akan berubah menjadi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (Fauzi 2000).

Sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), antara lain : ikan, plankton, benthos, muluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut, lamun, bakau, terumbu karang; dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable resources), antara lain : minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.

Potensi lestari ikan laut adalah 6.2 juta ton per tahun, baru dimanfaatkan 58.5 juta ton per tahun, sehingga masih terdapat sekitar 2.6 juta ton per tahun atau 45 % potensi yang belum termanfaatkan (Dahuri et al., 2004). Selain potensi ikan laut, potensi budidaya perikanan masih banyak yang belum termanfaatkan secara optimal. Baik budidaya pantai (tambak), maupun budidaya laut. Potensi budidaya pantai 830 200 ha yang tersebar diseluruh wilayah tanah air, baru dimanfaatkan 356 308 ha untuk budidaya ikan bandeng, mujair, kakap, udang windu, dan spesies lainnya.

Untuk sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, dari 60 cekungan minyak yang terdapat di Indonesia, 40 cekungan berada di laut atau sekitar 70 %. Diperkirakan ke 40 cekungan itu berpotensi 106.2 milyar barrel setara minyak. Namun, baru 16.7 milyar barrel yang diketahui dengan pasti, 7.5 milyar barrel diantaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89.5 milyar barrel berupa kekayaan yang belum terjamah, dan diperkirakan 57.3 milyar barrel terkandung di lepas pantai (Dahuri et al., 2004). Sumber energi yang berasal dari


(47)

proses-proses kelautan lainnya bersifat nonexhaustive (tidak pernah habis) seperti : energi gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC (ocean thermal energy conversion) (Bengen 2002a).

Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan baik masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat dipulau-pulau kecil, merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata. Khususnya, kawasan terumbu karang yang banyak terdapat di perairan laut Indonesia. Luas kawasan terumbu karang diperkirakan 7 500 km2, umumnya terdapat ditaman laut dengan sekitar 263 jenis ikan hias laut. Selain itu, Indonesia merupakan komunitas mangrove terluas di dunia, yaitu 4.25 juta ha atau 27 % dari 15.9 juta ha luas hutan mangrove di dunia (Dahuri et al., 2004).

Ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang dapat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia . Yang terutama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika la-nina), siklus hidup dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan.

Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil bagi berbagai peruntukan, misalnya : pemukiman, perikanan (baik tangkap maupun budidaya), pariwisata, apalagi pertambangan, akan membuat tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya laut. Meningkatnya tekanan, baik secara langsung misalnya kegiatan konversi lahan, maupun tidak langsung misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan, akan mengancam keberadaan dan kelangsungan kehidupan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.


(48)

2.6.3 Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Perhatian pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia baru dimulai sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengelolaannyapun tidak akan sama untuk seluruh Indonesia, tetapi disesuaikan dengan latar geografisnya, karakter ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Arah kebijakan pengelolaan, harus berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah mengkombinasikan 3 pendekatan, yaitu : (1) hak, (2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau, dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri et al., 2004).

Beberapa jenis pemanfaatan yang pernah dan sedang dilakukan di pulau-pulau kecil antara lain sebagai :

Daratan Negara, contohnya : Indonesia, Filipina, Singapura, Maldives;

1. Penetapan batas wilayah perairan Negara atau antar Negara, contohnya P. Christmas;

2. Pembangunan, termasuk wilayah pemukiman, contoh P. Kelapa; 3. Kegiatan dan mencari nafkah masyarakat, contohnya : P. Batam;

4. Rekreasi, wisata, dan olahraga, contohnya : P. Putri, P. Kotok, P. Bidadari; 5. Konservasi keanekaragaman hayati dan budaya, contohnya : P. Galapagos, P.

Rambut;

6. Konservasi budaya, contohnya : P. Onrust; 7. Pendidikan, contohnya : P. Pari;

8. Perhubungan, termasuk perhubungan laut dan udara, contohnya : P. Ambon; 9. Penghasil sumberdaya mineral, hayati, dan energi, contohnya : P. Misima di

Papua Nugini;

10. Kegiatan tertentu, contohnya : P. Pabelokan; 11. Pertahanan keamanan, contohnya : P. Sambu;

12. Penjara, contohnya : P. Nusakembangan, P. Alcatraz.

Dalam kaitannya dengan program pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia, maka yang diperlukan adalah beberapa aspek normatif, akurat, dan data baru. Berdasarkan kondisi, potensi dan peluang dalam optimasi sumberdaya, beberapa bahan pertimbangan sebagai berikut : (1) keterpaduan dan keberlanjutan, (2) pemberian nilai ekonomi lingkungan, (3) Penataan ruang, (4) pengamanan


(49)

fungsi lindung, (5) pemberdayaan masyarakat setempat, (6) peningkatan pendapatan masyarakat, (7) pengendalian pencemaran dan kualitas air, dan (8) pembangunan kawasan pemukiman.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar bagi penzonasian untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil (Bengen 2002c), yaitu :

1. Ukurannya yang sangat kecil, sehingga sumberdaya lahan menjadi sangat penting.

2. Ketersediaan air tawar yang sangat terbatas, sehingga sering menjadi faktor penentu yang membatasi daya dukung pulau.

3. Tingkat kerentanan yang tinggi terutama oleh pengaruh eksternal (pencemaran, sampah, dan lain-lain).

4. Tekanan penduduk yang besar dalam eksploitasi sumberdaya. 5. Tuntutan pertumbuhan ekonomi.

6. Ketidak serasian pemanfaatan dan adanya konflik pemanfaatan.

Penetapan zonasi peruntukan tersebut, melalui dua mekanisme pokok, yaitu (a) mekanisme teknis, dan (b) mekanisme sosial (Bengen 2002c). Mekanisme teknis dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis-ekologis sebagai hasil dari identifikasi sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Sedangkan mekanisme sosial dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sosial sebagai hasil dari identifikasi potensi sosial dan kelembagaan.

Pembangunan berkelanjutan mempunyai arti ekonomis kesetaraan, efisiensi, dan pertumbuhan terus-menerus. Juga mengandung arti sosial seperti pemberdayaan, partisipasi, mobilitas sosial, kohesi sosial, identitas kultural serta sasaran integritas ekologis dan keanekaragaman hayati. Bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk memenuhi hidup saat ini dan yang akan datang.

Pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil harus dicapai melalui pemberdayaan masyarakat (community based management). Artinya, memberi perhatian utama pada masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil tersebut, sebab mereka merupakan bagian dari sistem yang ada. Konsep perikanan tradisional (tradisional fisheries) seperti “Sasi” di Maluku, dan “Eha” di Talaud, dan beberapa tempat lain dengan budayanya masing-masing, terbukti mampu melakukan self control terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Lampiran 11. Prediksi Efektifitas Ekosistem Mangrove Sebagai Zona Penyangga

Aksi Laut Lebar Mangrove Tinggi Gelombang (Cm)

200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10

Jangkauan Run-up

50 M 86% 85% 85% 84% 84% 83% 83% 82% 82% 81% 81% 81% 80% 80% 79% 79% 78% 78% 77% 77% 100 M 80% 78% 78% 77% 76% 75% 74% 73% 73% 72% 71% 70% 69% 69% 68% 67% 66% 65% 64% 64% 200 M 71% 70% 69% 68% 68% 67% 67% 66% 65% 65% 64% 63% 63% 62% 61% 61% 60% 60% 59% 58% 300 M 68% 67% 66% 65% 65% 64% 63% 63% 62% 61% 61% 60% 59% 58% 58% 57% 56% 56% 55% 54% 400 M 65% 64% 63% 62% 61% 61% 60% 59% 58% 58% 57% 56% 56% 55% 54% 53% 53% 52% 51% 50%

Tinggi Genangan

50 M 86% 85% 85% 85% 84% 84% 83% 83% 83% 82% 82% 82% 81% 81% 81% 80% 80% 79% 79% 79% 100 M 74% 73% 72% 71% 70% 70% 69% 68% 67% 67% 66% 65% 65% 64% 63% 62% 62% 61% 60% 59% 200 M 55% 54% 54% 53% 53% 52% 52% 51% 51% 50% 50% 50% 49% 49% 48% 48% 47% 47% 46% 46% 300 M 33% 32% 31% 30% 29% 29% 28% 27% 26% 26% 25% 25% 25% 24% 24% 24% 24% 23% 23% 23%

400 M 11% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0%

Arus

50 M 58% 57% 57% 57% 56% 56% 55% 55% 55% 54% 54% 54% 53% 53% 53% 52% 52% 51% 51% 51% 100 M 47% 46% 46% 46% 46% 45% 45% 45% 45% 44% 44% 44% 43% 43% 43% 43% 42% 42% 42% 42% 200 M 39% 38% 38% 37% 37% 36% 36% 35% 35% 34% 34% 34% 33% 33% 32% 32% 31% 31% 30% 30% 300 M 32% 29% 28% 26% 25% 24% 22% 21% 20% 18% 17% 17% 17% 16% 16% 16% 16% 15% 15% 15% 400 M 24% 20% 17% 15% 13% 11% 9% 7% 4% 2% 0%

Gaya Hidrolis

50 M 48% 46% 46% 45% 44% 43% 42% 41% 41% 40% 39% 38% 37% 37% 36% 35% 34% 33% 32% 32% 100 M 32% 29% 28% 27% 25% 24% 22% 21% 20% 18% 17% 16% 14% 13% 12% 10% 9% 7% 6% 5%

200 M 8% 7% 6% 5% 5% 4% 4% 3% 2% 2% 1% 0% 0%

300 M 5% 4% 3% 3% 3% 2% 2% 2% 1% 1% 1% 0% 0%

400 M 1% 1% 1% 1% 1% 0% 0% 0% 0% 0% 0%


(6)

Lampiran 12. Peta Batimetri Lokasi Penelitian

PETA BATIMETRI

PULAU-PULAU KECIL

TAMAN NASIONAL

BUNAKEN