Pendahuluan Misi GKI TP Dalam Pemberdayaan Jemaat

55 BAB IV SIKAP KLASIS BALIM YALIMO TERHADAP JEMAAT BAITHEL POLIMO DI KURIMA DALAM ERA OTONOMI KHUSUS

4.1 Pendahuluan

Setelah penulis memaparkan realitas sikap yang diambil oleh GKI TP khususnya Klasis Balim Yalimo dalam upaya pemberdayaan jemaat GKI TP Beithel Polimo yang merupakan jemaat Induk di Rayon Kurima dalam era Otonomisasi Bab III, maka pada bagian ini penulis akan melihat sejauh mana relavansi dalam upaya-upaya yang dilakukan oleh Gereja dalam sikap sosial memberdayakan jemaat Beithel Polimo dengan konsep pemberdayaan oleh para ahli Bab II. Pada sub-sub yang akan dibahas berikutnya, sikap gereja kepada jemaat secara sosial akan dicermati dalam wadah pendidikan kepada jemaat. Dengan mencermati sikap pemberdayaan kiranya dapat mengarahkan penulis dalam upaya mencapai tujuan dari penelitian ini.

4.2 Misi GKI TP Dalam Pemberdayaan Jemaat

Pemberdayaan masyarakat seperti yang dijelaskan dalam bab dua mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan masyarakat lapis bawah atau masyarakat miskin sehingga dapat membawa perubahan hidup dalam mencapai kesejahteraan dan pengetahuan melalui pendidikan. Pemahaman pemberdayaan ini juga dipahami oleh GKI- TP dan di tetapkan menjadi prinsip utama dalam misi pelayanannya. Perlu dilihat bahwa dalam misi gereja terkandung dua hal penting sebagai bagian dari struktur dasar dari pelayanan gereja, yaitu, Koinonia mengenai relasi iman dengan Tuhan yang diwujudnyatakan melalui 56 sesama manusia dan Presbiterial Sinodal yang merupakan tata pemerintahan gereja. Artinya bahwa GKI-TP sebagai lembaga keagamaan yang memiliki tata pemerintahan yang jelas mulai dari tingkat sinode, klasis, hingga jemaat saling berhubungan dalam pelayanan yang bersifat koinonia demi mewujudkan fungsi sosial gereja. Dalam upaya memberdayakan jemaat GKI-TP seperti yang dipahami dalam misi GKI- TP, maka gereja sadar bahwa sudah menjadi bagian dari tugas pelayanan yang harus dilakukan untuk mewujudkan suasana kerajaan Allah yang mencakup seluruh aspek kehidupannya, selain aspek rohani, maka aspek jasmani juga menjadi penting dalam pelayanan memberdayakan masyarakat yang nota-benenya warga gereja. Misi gerejawi ini telah diwujudkan di awal perkembangan kekristenan melalui para Misionari asing melalui GKI-TP yang mana pemberdayaan dalam aspek rohani dan jasmani diperhatikan secara menyeluruh comprehensive. 1 Wakil ketua sinode GKI-TP mengatakan bahwa: Kekristenan melalui misionaris seperti S. Zollner dan penginjil-penginjil lainnya datang ke Papua dengan penuh pengorbanan, mereka masuk hutan, menebang pohon dan membuat peta untuk mencari manusianya. Mereka lebih meninggikan martabat masyarakat Papua termasuk masyarakat Dani yang berada di Kurima. 2 Proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan gereja lebih mengandung proses melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi yang lemah. Upaya yang dilakukan oleh para penginjil dan misionaris dalam mewujudkan misi gereja ini merupakan kesadaran utama gereja dalam mempersiapkan jemaat atau menswadayakan jemaat agar mampu bersaing dengan pengaruh masyarakat luar. Keberhasilan suatu program dalam teori pemberdayaan sosial terletak pada proses pemberdayaan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sikap pemberdayaan tidak hanya sampai pada konsep misi secara tertulis, namun lebih pada 1 Ismael Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil di Balim Yalimu Papua: Tabura, 2006, 30 2 Wawancara Bersama Pdt.Yemima. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI TP. Salatiga, 21 September 2015 57 tindakan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat sehingga berperan secara maksimal dalam suatu program pembedayaan yang menjadi prinsip utama dari teori pemberdayaan sosial. Dalam memahami misi pelayanan gereja yang harus diwujudnyatakan bagi masyarakat Papua, maka gereja merasa pentingnya dukungan dari lembaga-lembaga keagamaan luar negeri seperti Jerman dan Belanda. Atas dukungan kerjasama tersebut, GKI-TP merasa memperoleh daya dalam menjalankan fungsi sosialnya yang mengarah pada misi pemberdayaan masyarakat Kurima. Upaya-upaya pemberdayaan itu diberikan melalui pendidikan formal, informal dan non formal bahkan pelayanan kesehatan. Gereja selalu melibatkan masyarakat secara langsung sebagai subyek dalam setiap pelayanan gereja sehingga dahulu secara sukarela jemaat mampu bekerja mandiri untuk menjadi guru injil, mantri, tukang bangunan, dan terampil dalam bidang lainnya. Sebuah fakta bahwa GKI TP sejak awal Pekabaran Injil pada Tahun 1855 dan berdirinya pada tahun 1956 hingga di Era otonomi Khusus telah mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa. Dalam era Otonomi Khusus fungsi sosial gereja seperti yang terkandung dalam misi gereja khususnya bagi pelayanan masyarakat di Kurima mengalami pergeseran peran sehingga fungsi gereja hanya bersifat marjinal, dimana pelayanan gereja hanya berjalan pada aktifitas ritual keagamaan, sedangkan misi pemberdayaan yang bersifat kemanusiaan Humanity tidak berjalan. Sebagai bukti bahwa kurangnya pemahaman jemaat dan para pelayanan gereja dalam mengolah administrasi jemaat, serta kurangnya kreaktifitas jemaat dalam menghadapi persaingan dalam dunia kerja. 4.3 Sikap Klasis Balim Yalimo Dalam Pemberdayaan Jemaat Beithel Polimo di Era Otonomi Khusus Undang-Undang Otsus Otonomi Khusus yang mengatur jalannya Otsus di Papua tidak ditemukan adanya indikasi penghambat sikap pelayanan gereja dalam bidang 58 pemberdayaan masyarakat. Namun dalam temuan penulis, pemerintah daerah sebagai pelaksana Undang-Undang Otsus belum konsisten dalam menjalankan isi UU Otsus terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberian Otonomi Khusus bagi masyarakat Papua yang dianggap sebagai win-win solution solusi menang-menang dalam mengatasi persoalan permintaan Merdeka dan memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dalam realisasinya belum menunjukan hasil yang signifikan bagi pengembangan SDM masyarakat Papua sehingga masyarakat belum mampu untuk bersaing. Pelaksanaan otsus yang tidak konsisten juga berpengaruh pada fungsi sosial gereja di bidang kemanusiaan yang tidak lagi nampak pada masyarakat Kurima karena bagi gereja dana keagamaan yang di berikan belum dapat membantu pelayanan GKI TP yang semakin luas seturut perubahan era. Dalam keterbatasan itu maka pertumbuhan masyarakat di anggap menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya. Dalam mempersiapkan SDM masyarakat terutama di Era Otsus, pemerintah telah mengucurkan dana melalui berbagai program dengan tujuan mensejahterakan masyarakat Kurima. Namun dalam temuan, SDM masyarakat yang merupakan jemaat Beithel Polimo belum terpenuhi. Tingkat pendidikan yang dimiliki jemaat masih minim dalam mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi Sarjana, Pendapatan ekonomi jemaat masih sangat minim, pemahaman jemaat masih kurang dalam mengelola bidang pertanian dan peternakan, rumah tinggal yang masih menggunakan papan dan juga rumput sebagai alas mengakibatkan masyarakat sering terkena penyakit. Dalam menyikapi kondisi sosial masyarakat seperti ini, maka di sinilah gereja merasa penting untuk melakukan pengawalan terhadap proses berjalannya otonomi khusus bagi masyarakat. Seturut dengan pandangan Peter Drucker di dalam Weinata Seirin bahwa gereja seharusnya dapat berfungsi menjebatani kesenjangan hidup dalam masyarakat. 3 Karena 3 Weinata Seirin. Visi Gereja …, 17 59 gereja merupakan hasil dari kelompok manusia di tengah-tengah masyarakat yang terorganisir kemudian bertumbuh dan berkembang dalam gereja. Maka Fungsi gereja selain bersifat internal tetapi juga haruslah dapat bersifat eksternal. Seperti juga yang dijelaskan oleh J.D. Engel bahwa dalam fungsi internalnya gereja bertanggung jawab terhadap pertumbuhan iman dan kehidupan sosial jemaat dalam gereja, namun gereja juga dapat menjalankan fungsi externalnya dengan bertanggung jawab pada kehidupan sosial masyarakat. 4 Karena bagi Engel, gereja merupakan institusi sosial yang hidup, berkembang dan melaksanakan tugas panggilannya di tengah-tengah masyarakat sehingga bukan hanya pertumbuhan jemaat saja yang menjadi perhatian, namun pertumbuhan hidup dalam masyarakat juga harus menjadi perhatian khusus gereja. Pengertian Engel tersebut nampaknya belum sejalan dengan fungsi gereja yang ditemukan dalam periode otonomisasi ini. Klasis dan gereja Baithel Polimo dalam fungsinya masih hanya bergerak dalam memenuhi kebutuhan perkembangan pembangunan fisik gereja sedangkan dalam konteks masyarakatnya belum menjadi perhatian Klasis ataupun gereja. Gereja harus bertangung jawab bukan hanya pada pertumbuhan kerohanian jemaat saja namun atas pertumbuhan masyarakat Kurima juga seperti yang dimaksudkan J.D. Engel dengan memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk mempelajari dan melakukan peran sosial tertentu yang kemudian peran itu dikaitkan dengan peran dalam sistem kerja itu sendiri sehingga kehidupan masyarakatnya dapat mandiri. Selain mengawali berjalannya otonomi khusus yang dilakukan pemerintah, Gereja sebagai sebuah “lembaga sektor ketiga” dalam masyarakat Kurima seperti yang dimaksudkan juga oleh Peter Drucker yang diikuti Weinata Seirin, maka gereja perlu melakukan upaya perlindungan bagi warga gereja Baithel Polimo termasuk juga masyarakat, dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam mengatasi kesenjangan sosial bagi masyarakat lemah yang 4 J.D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial…, 1. 60 belum mampu untuk mandiri. Upaya yang relevan dengan pemahaman ini ialah gereja melakukan dialog dan mengkritisi tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aturan UU Otsus. Sikap ini dilakukan kerena gereja melihat dan merasakan bahwa pemerintah belum menghasilkan masyarakat yang mandiri dan siap untuk bersaing dengan masyarakat luar secara signifikan. Terutama di era otsus ini telah terjadi pertambahan penduduk transmigrasi besar-besaran dari luar Papua. Upaya seperti ini seturut dengan pengertian yang dimaksudkan oleh Anwas bahwa dalam mencapai masyarakat yang mandiri dan memiliki daya maka harus ada upaya melindungi dan membela masyarakat miskin yang harus dilakukan gereja untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang di tengah- tengah masyarakat sehingga masyarakat tidak tereksploitasi. Karena jika masyarakat belum dimandirikan dan diswadayakan terutama di era otonomi khusus maka masyarakat Kurima akan menjadi tersingkir dalam dunia kerja bahkan tercipta pengangguran bagi masyarakat asli Kurima. Upaya pengawalan dan dialog yang dilakukan gereja bersama penguasa, dalam temuan belum memperoleh hasil yang positif dengan membawa perubahan bagi warga gereja dan juga masyarakat Kurima sehingga masih terjadi penyimpangan dan ketidak adilan dalam persaingan kerja yang dialami oleh masyarakat asli Kurima. Indikator kegagalan berdialog karena selalu berujung pada kecurigaan bahwa upaya itu merupakan bagian dari gerakan separatis Papua Merdeka Papua terlepas dari bingkai NKRI yang diperjuangkan melalui gereja. Menurut Socratez. S. Yoman, tuduhan terhadap keterlibatan gereja merupakan kegiatan separatis adalah upaya sistematis pemerintah Indonesia untuk membungkam mulut gereja 5 , supaya gereja tidak melakukan upaya-upaya perlawanan dengan memberitakan kebenaran, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, martabat manusia, dan kesamaan derajat. Anggapan-anggapan ini menjadi kelemahan bagi gereja untuk menempuh upaya 5 Socratez Sofyan Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press 2007, 81. 61 dialog dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang telah merusak moral hidup jemaat Tuhan. Upaya dialog dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan ketidak adilan itu relevan dengan model pemberdayaan Daniel Schipani yaitu model dialetika. Dimana model tersebut memperlihatkan refleksi kritis terhadap setiap struktur masyarakat mulai dari sumber ketidakadilan dan moralitas masyarakat sebagai pendukung pembangunan. Klasis menyadari bahwa untuk mencapai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat maka selain berdialog dengan pemerintah yang dianggap sebagai sumber yang menciptakan ketidakadilan, dialog juga selalu dilakukan melalui pelayanan mimbar dengan tujuan membuka kesadaran kritis jemaat atas kondisi ketidak adilan sekaligus membentuk moralitas masyarakat Kurima. Seperti yang dikatakan Schipani bahwa pemikiran harus menjadi inti pendorong bagi perubahan sosial dan perubahan pola pikir. 6 Sehingga masyarakat dapat bekerja keras menciptakan kemandirian untuk mencapai perubahan sosial. Upaya membuka kesadaran kritis yang dimaksud ialah membentuk moralitas jemaat yang sudah terpengaruh ke dalam sistim penguasa dan selalu hanya bergantung pada bantuan- bantuan dana tanpa melalui proses pemberdayaan untuk mencapai kemandirian masyarakat. Namun perlu disadari bahwa keberhasilan suatu program dalam teori pemberdayaan terletak pada proses pemberdayaan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan tidak hanya sebatas dialog ataupun memberi kesadaran kritis seperti yang dilakukan klasis hanya melalui pelayanan mimbar saja, namun lebih pada tindakan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat Kurima sehingga dapat berperan dalam suatu program pemberdayaan yang menjadi prinsip utama dari teori pemberdayaan. Dalam pengertian mengoptimalkan keterlibatan masyarakat ini maka tidak relevan dengan apa yang 6 Daniel S. Schipani dalam Jack L. Seymour, Editor, Mapping Christian Education…, 34 62 di lakukan oleh klasis dalam Era otonomisasi ini, di mana belum adanya program pemberdayaan dari gereja untuk melibatkan masyarakat secara langsung. Sepikiran dengan prinsip pemberdayaan itu maka bagi Anwas, pemberdayaan kepada masyarakat menekankan pada proses dan bukan pada hasilnya Output. 7 Artinya bahwa tugas gereja di Kurima tidak hanya pada melakukan pelayanan mimbar atau dialog semata, tetapi lebih dari pada itu, gereja harus menswadayakan masyarakat dan melibatkan masyarakat melalui program peningkatan kapasitas kearah pemecahan masalah dan bukan dalam bentuk pemberian solusi siap pakai. Dalam era otonomi khusus, hal lain sebagai penyebab ketidak berdayaan pada masyarakat Kurima karena gereja sebagai institusi sosial ditengah-tengah masyarakat belum menjalankan fungsi sosialnya dalam melibatkan kaum buruh, petani, orang miskin dan lain sebagainya yang berada pada masyarakat Kurima untuk melakukan proses peningkatan kapasitas melalui kegiatan-kegiatan pembangunan. Sedangkan bagi Anwas untuk meningkatkan pemberdayaan maka masyarakat yang perlu diberdayakan adalah orang-orang tersebut. karena bagi Anwas, orang-orang itulah yang memiliki potensi atau daya yang dapat dikembangkan. Karena belum adanya upaya seperti yang dimaksudkan Anwas ini maka hasil yang ditemukan bahwa belum adanya umat Baithel Polimo yang terampil atau unggul di bidang-bidang tertentu. Dalam pemberdayaan juga tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan kepada pihak yang lemah. Seperti yang ditambahkan oleh Anwas bahwa, Dalam pemberdayaan terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup, kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri. 8 7 Anwas. Pemberdayaan Masyarakat di Era Global..., 51 8 Anwas. Pemberdayaan Masyarakat di Era Global..., 49 63 Dalam memahami pemberdayaan sebagai proses pendidikan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupan orang lain, maka dahulu telah dilakukan oleh gereja sejak berdirinya GKI-TP di Papua 26 Oktober 1956 dan bagi jemaat GKI-TP Baithel Polimo sejak penginjil pertama kali masuk di Kurima 1961. Pemahaman tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh wakil ketua sinode GKI-TP, bahwa: Injil masuk dengan upaya pemberdayaan dibidang pendidikan sehingga membawa perubahan bagi masyarakat Umat Baithel Polimo di Kurima. Hal itu dapat dilihat hasilnya dalam era ini, dimana anak-anak dari Kurima yang dahulu diberikan pendidikan melalui gereja, kini mereka dapat berkomunikasi dengan baik, berpakaian dengan rapi, dan memahami pola hidup yang sehat. 9 Upaya pendidikan yang telah dilakukan oleh para penginjil ketika awal masuk di Kurima, dalam temuan telah mengalami perubahan seturut dengan perubahan politisasi pemerintahan Indonesia yang terjadi di papua. Perubahan itu telah diawali sejak Papua masuk dalam bingkai NKRI melalui PEPERA 1969. Dahulu GKI-TP yang memiliki struktur dasar Presbiterial-Sinodal dimana melalui sinode, klasis, hingga tingkat jemaat ini mampu memberdayakan masyarakat dalam bidang pendidikan melalui sekolah-sekolah kristen. Penggabungan Papua ke pangkuan pemerintahan NKRI ternyata tidak membawa hasil positif di Papua, pemerintahan Indonesia justru menjadi sumber ketidakadilan bagi masyarakat dan pemerintah sebagai lembaga yang melemahkan upaya-upaya gereja dalam menjalankan misi yang bersifat pemberdayaan bagi masyarakat. Dengan meninjau pengaruh kebijakan pemerintahan bagi perubahan pelayanan misi GKI-TP dalam mengembangkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, maka penulis menemukan kebijakan pemerintah yang masing-masing terdapat dalam periodesasi yang berbeda, seperti:

a. Pemutusan Bantuan Luar Negeri

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo kepada Jemaat Beithel Polimo Kurima tentang Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Khusus T1 752013032 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo kepada Jemaat Beithel Polimo Kurima tentang Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Khusus T1 752013032 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo kepada Jemaat Beithel Polimo Kurima tentang Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Khusus T1 752013032 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo kepada Jemaat Beithel Polimo Kurima tentang Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Khusus

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Majelis Jemaat GKI Palsigunung Depok Terhadap Pemberdayaan Kelompok Bakal Jemaat T1 712005042 BAB I

0 1 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Majelis Jemaat GKI Palsigunung Depok Terhadap Pemberdayaan Kelompok Bakal Jemaat T1 712005042 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Majelis Jemaat GKI Palsigunung Depok Terhadap Pemberdayaan Kelompok Bakal Jemaat T1 712005042 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Majelis Jemaat GKI Palsigunung Depok Terhadap Pemberdayaan Kelompok Bakal Jemaat T1 712005042 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Majelis Jemaat GKI Palsigunung Depok Terhadap Pemberdayaan Kelompok Bakal Jemaat

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan BPK Klasis GKI Wondama Mengenai Pelaksanaan Peran Jabatan Guru Jemaat

0 1 1