EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L.)

(1)

(2)

ABSTRAK

EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS

MENCIT (Mus musculus L.)

Oleh Mustika Apriliani

Kebisingan merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan, salah satunya adalah terganggunya aktivitas hormonal seperti hormon reproduksi. Hal tersebut menyebabkan terganggunya proses spermatogenesis yang dipengaruhi oleh adanya stress akibat kebisingan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur histologis testis mencit (Mus musculus L.) setelah diberi pemaparan kebisingan , dengan parameter yang diamati yaitu jumlah

spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid,

spermatozoa, dan diameter tubulus seminiferus. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung pada bulan Mei sampai Juni 2013. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu kelompok kontrol dan empat kelompok perlakuan pemaparan kebisingan 85-90 dBA selama 21 hari dengan masing-masing lama pemaparan 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari, dan 12 jam/hari, pada masing-masing kelompok dilakukan lima kali pengulangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah sel-sel spermatogonia meningkat signifikan pada perlakuan 8 jam/hari (48,2) dan 12 jam/hari (54,2) dari kontrol (18,6). Jumlah spermatosit primer dan spermatid mengalami penurunan yang signifikan pada perlakuan 10 jam/hari (30 ; 46,2) dan 12 jam/hari (32,2 ; 16,8) dari kontrol (51,2 ; 128,4). Jumlah spermatosit sekunder mengalami penurunan yang signifikan pada perlakuan 12 jam/hari (21,4) dari kontrol (47,8). Jumlah spermatozoa dan diameter tubulus seminiferus mengalami penurunan yang signifikan pada perlakuan 8 jam/hari (37 ; 180), 10 jam/hari (24,4 ; 160,5), dan 12 jam/hari (17,8 ; 170,5) dari kontrol (56,4 ; 218).


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 3

D. Kerangka Pikir ... 3

E. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan ... 5

1. Definisi Kebisingan ... 5

2. Batas Intensitas Kebisingan ... 5

3. Jenis-jenis Kebisingan ... 7

4. Efek kebisingan Terhadap Manusia ... 8

B. Biologi Mencit (Mus musculus L.)... 9

1. Klasifikasi Mencit (Mus musculus L.) ... 9

2. Sistem Reproduksi Mencit (Mus musculus L.) Jantan ... 10

3. Tubulus Seminiferus ... 10

4. Spermatogenesis ... 12

III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

B. Alat dan Bahan ... 16

1. Alat ... 16

2. Bahan ... 17

C. Desain Penelitian ... 17

D. Cara Kerja ... 19


(6)

5. Pengamatan ... 23

6. Analisis Data ... 24

E. Diagram Alir ... 25

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan ... 26

1. Sel-sel Spermatogenik ... 26

2. Diameter Tubulus Seminiferus ... 33

B. Pembahasan ... 35

1. Sel-sel Spermatogrnik ... 35

2. Diameter Tubulus Seminiferus ... 39

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 41

B. Saran ... 41 DAFTAR PUSTAKA


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmennaker, 1999). Pengaruh kebisingan berkaitan dengan faktor-faktor psikologis dan emosional. Adapun dampak yang ditimbulkan dari kebisingan gangguan emosional, gangguan tidur serta gangguan komunikasi (Fahri dan Pasha, 2010).

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising yang intensitasnya 85 desibel ( dB ) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga (Rambe, 2003).

Masalah yang hingga saat ini belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran para pekerja yaitu bising industri, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang sifatnya permanen. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengawasan terhadap pabrik dan pemeriksaan terhadap pendengaran para pekerja secara berkala untuk mencegahnya (Rambe, 2003)


(8)

Semakin meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan semakin bertambahnya kebisingan. Kebisingan yang meningkat

menyebabkan bertambahnya resiko gangguan kesehatan pada manusia. Efek dari kebisingan secara fisiologis dapat mempengaruhi konsentrasi secara mental, meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, menutup pembuluh darah pada kulit, meningkatkan metabolisme, menyebabkan gangguan pencernaan serta meningkatkan ketegangan pada otot (Bungin, 2008).

Kebisingan pada suatu lingkungan, baik secara terus menerus maupun tidak akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan kelenjar endokrin (Marpaung, 2006). Salah satu sistem endokrin yang dapat terganggu akibat kebisingan yaitu terbentuknya hormon reproduksi seperti testosteron, FSH (Follicle Stimulating Hormone), dan LH (Luteinizing Hormone). Testosteron dan FSH berperan dalam proses spermatogenesis yang terjadi pada tubulus seminiferus yang berada dalam testis. Adanya penurunan testosteron dan FSH memberikan pengaruh terhadap struktur testis seperti diameter tubulus

seminiferus dan kualitas maupun kuantitas sel-sel spermatogenik.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur histologis testis mencit (Mus musculus L.) setelah diberi paparan kebisingan , yang meliputi jumlah spermatogonia, spermatosit primer,spermatosit sekunder, spermatid, spermatozoa, dan diameter tubulus seminiferus.


(9)

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengaruh kebisingan terhadap struktur histologis testis yang meliputi jumlah spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan diameter tubulus seminiferus, sehingga diketahui dampak dari adanya kebisingan terhadap sistem reproduksi pada manusia.

D. Kerangka Pikir

Kemajuan di bidang teknologi dan industri di Indonesia saat ini semakin meningkat, hal tersebut memberikan dampak negatif berupa kebisingan. Menurut WHS (1993), kebisingan adalah bunyi yang timbulnya tidak dikehendaki dan sifatnya mengganggu pendengaran, bahkan mampu menurunkan daya dengar seseorang yang terpapar.

Hormon yang berperan dalam proses spermatogenesis yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone) yang disekresi oleh kelenjar adenohipofisis yang merangsang aktivitas gonad jantan untuk

mensekresikan hormon androgen yaitu testosteron. Adanya respon kebisingan menyebabkan stress yang berpengaruh terhadap sistem kerja hormonal. Korteks adrenal bereaksi terhadap stress dan menyebabkan hipotalamus mensekresikan hormon pembebas yang merangsang adenohipofisis untuk mensekresikan hormon ACTH (Adrenocorticotropic Hormone). ACTH merangsang sel-sel korteks adrenal untuk mensekresi kortikosteroid. Hormon stress (kortikosteron) dapat menghambat beberapa hormon reproduksi dalam


(10)

sumbu HPG (hipotalamus-pituitari-gonad). Kemudian diketahui pula bahwa hormon kortikosteron mampu menurunkan kadar testosteron serta dapat menginduksi apoptosis pada sel-sel Leydig (Barlian, Ridwan, dan Zakaria, 2012).

Berdasarkan pada pernyataan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh kebisingan yang mampu menyebabkan stress terhadap jumlah sel-sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus testis mencit (Mus musculus L.).

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu pemaparan kebisingan menurunkan jumlah sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, spermatozoa, dan pengecilan diameter tubulus


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebisingan

1. Definisi Kebisingan

Kebisingan adalah suatu bunyi intensitas tinggi, merupakan pencemaran yang mengganggu dan tidak disukai, dan mengganggu percakapan dan merusak alat pendengaran (Marpaung, 2006). Diketahui bahwa

kebisingan merupakan suatu stressor yang dapat menyebabkan perubahan fisik, psikis dan tingkah laku manusia (Chusna, 2008).

Bising merupakan campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan, kebisingan merupakan salah satu penyebab penyakit lingkungan. Kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitas-aktifitas alam (Rusli, 2008).

2. Batas Intensitas Kebisingan

Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk


(12)

Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992), tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut: 1. Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise

Level =Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (=steady noise) dalam ukuran dBA, berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus-putus dalam satu periode atau interval waktu pengukuran. 2. Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang

diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam hari.

3. Tingkat ambang kebisingan (=Background noise level) atau tingkat latar belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, jika diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95.

Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa

mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama atau terus menerus, selanjutnya ditulis NAB. Penting untuk

diketahui bahwa di dalam menetapkan standar NAB pada suatu level atau intensitas tertentu, tidak akan menjamin bahwa semua orang yang terpapar pada level tersebut secara terus menerus akan terbebas dari gangguan pendengaran, karena hal itu tergantung pada respon masing-masing individu (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, 1996).


(13)

Di Indonesia nilai ambang batas kebisingan ditetapkan 85 dBA berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 51/1999.

Tabel 1. Intensitas Bunyi dan Waktu Paparan yang Diperkenankan Sesuai dengan Departemen Tenaga Kerja 1999

No Waktu pemajanan perhari Intensitas kebisingan (dBA)

1 8 jam 85

2 4 jam 88

3 2 jam 91

4 1jam 94

5 30 menit 97

6 15 menit 100

7 7,5 menit 103

8 3,5 menit 106

9 1,88 menit 109

Sumber : (Menteri Tenaga Kerja, 1999) 3. Jenis-jenis Kebisingan

Menurut Justian (2012), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut :

a. Kebisingan yang kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady, state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain.

b. Kebisingan kontinu dengan spectrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji serkuler, katup gas, dan lain-lain. c. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara

pesawat terbang di lapangan udara.

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil dan meriam.


(14)

4. Efek Kebisingan Terhadap Manusia

Anak-anak di daerah kebisingan intensitas tinggi lebih banyak menderita tekanan darah tinggi daripada anak-anak di daerah kebisingan intensitas lebih rendah (Wilda, 1999). Kebisingan memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan masyarakat yang meliputi kelainan pada

kardiovaskuler, sistem kekebalan, dan sistem hormonal (Willy and Wim, 2000). Kebisingan berpengaruh juga terhadap hewan percobaan, yaitu menimbulkan stress ringan, menaikkan kadar kortikosteroid plasma 0-35 ng/ml setelah 10-20 jam pemaparan (Leary, 1990). Pada suatu

lingkungan, kebisingan yang dikenakan dengan terus-menerus atau tidak pada tikus dapat mempengaruhi kerja otak yang memiliki hubungan dengan kelenjar endokrin. Hal tersebut dikarenakan adanya stimulus dari sumber kebisingan yang berpengaruh terhadap kerja saraf otonom, salah satunya adalah kelenjar korteks adrenal (Vick, 1984). Bising juga dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam berkomunilasi karena sistem pendengaran yang terganggu (Gabriel, 1996). Diketahui bahwa kebisingan merupakan suatu stressor yang dapat menyebabkan perubahan fisik, psikis dan tingkah laku manusia. Selain itu bising juga dapat mempengaruhi respon imun (Chusna, 2008).

Menurut Anggraini (2005) juga mengatakan bahwa pemaparan kebisingan yang keras selalu di atas 85 dBA, dapat menyebabkan ketulian sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu


(15)

terjadi keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat merugikan. Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran dirasakan oleh seseorang yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah.

B. Biologi Mencit (Mus musculus L.)

1. Klasifikasi Mencit (Mus musculus L.)

Klasifikasi mencit (Mus musculus L.) menurut Nowak dan Paradiso (1983) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Familia : Muridae

Genus : Mus

Species : Mus musculus L.

Mencit terdiri atas tiga jenis yaitu mencit liar, mencit komersil, dan mencit albino. Mencit merupakan hewan mamalia paling kecil diantara jenis hewan percobaan lainnya. Mencit yang sering digunakan dalam


(16)

atau putih dan warna perut sedikit pucat. Mata berwarna hitam atau merah dan kulit berpigmen atau albino. Mencit dapat hidup selama 1-3 tahun. Berat badan ketika berumur empat minggu dapat mencapai 18-20 gram, pada umur enam bulan berat badan mencapai 30-44 gram atau lebih. Mencit mati sebelum dewasa dan rata-rata siklus hidup mencit

laboratorium adalah 2 tahun, namun ada yang mencapai 6 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998).

2. Sistem Reproduksi Mencit (Mus musculus L.) Jantan

Gambar 1. Sistem Reproduksi Mencit Jantan (Mus musculus L.) (Sumber : Setyadi, 2006)

Keterangan : a : Testis b : Ureter c : Epididimis d : Penis e : Vas deferens 3. Tubulus Seminiferus

Gonad jantan atau testis terdiri atas banyak saluran yang melilit-lilit yang dikelilingi oleh beberapa lapis jaringan ikat. Saluran tersebut adalah

a b c d e


(17)

tubulus seminiferus, yaitu tempat terbentuknya sperma (Campbell, Reece, and Mitchell, 2004). Tubulus seminiferus dibungkus oleh suatu membran basalis yang tebal, dalam membran tubulus seminiferus dibatasi oleh epitel berlapis yang disebut epitel seminiferus. Terdapat tiga lapisan dinding tubulus seminiferus dari dalam ke luar yaitu lamina ephitelium, lamina basalis, dan jaringan fibroelastik. Terdapat dua jenis sel pada epitel tubulus seminiferus yaitu sel Sertoli dan sel-sel spermatogenik. Beberapa sel dengan morfologi berbeda pada sel-sel spermatogenik yaitu

spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, dan spermatozoa. Yang berfungsi menunjang, melindungi, dan mengatur nutrisi spermatozoa yang berkembang, memproduksi dan mensekresi hormone seksual, merombak keping sitoplasma yang dilepaskan saat proses spermatogenesis serta mensekresi cairan untuk transport sperma adalah sel Sertoli (Junquiera and Carneiro, 2007).

Terdapat tiga jenis spermatogonia pada mencit yaitu spermatogonia A, spermatogonia intermedia, dan spermatogonia B. Ketiga spermatogonia ini dapat dibedakan dengan jelas berdasarkan kondensasi kromatin pada membran inti pada preparat yang telah diwarnai. Spermatogonia A membran inti memperlihatkan kondensasi materi kromatin yang halus dan tipis. Spermatogonia intermedia mempunyai bentuk peralihan antara spermatogonia A dan B. Spermatogonia B memperlihatkan kondensasi kromatin yang kasar dan tidak rata. Pada potongan melintang testis mencit terdapat 12 stadia spermatogenesis berdasarkan tipe asosiasi sel. Susunan asosiasi sel antara spermatogonia A, spermatogonia intermedia,


(18)

spermatogonia B, spermatosit primer yang berada di berbagai tahap profase menentukan setiap stadium spermatogenesis, dan dibagi menjadi 16 tingkat perkembangan spermatid pada mencit. Satu siklus adalah sebutan untuk perkembangan epitel tubulus seminiferus dari stadium sampai kembali mencapai stadium yang sama. Satu siklus

spermatogenesis pada mencit membutuhkan waktu 35-40 hari (Sutyarso, 1992).

4. Spermatogenesis

Menurut Yatim (1994), spermatogenesis merupakan proses pertumbuhan dan perubahan dari spermatogonia sampai spermatozoa yang meliputi tiga fase yaitu spermatositogenesis, meiosis, dan spermiogenesis.

a. Spermatositogenesis

Disebut tahap proliferasi atau tahap perbanyakan melalui pembelahan mitosis, yaitu pembelahan sel yang menghasilkan anakan sel bersifat identik. Terdapat populasi benih yang disebut spermatogonia A0 berproliferasi menghasilkan spermatogonia dengan penampakan morfologi berbeda yang disebut tipe A1. Masing-masing

spermatogonia A1 mengalami pembelahan mitosis sebanyak 6 kali, yaitu tipe A1, A2, A3, A4 selama pembelahan mitosis pertama sampai ketiga, dan spermatogonia intermedia setelah mitosis keempat.

Pembelahan mitosis kelima menghasilkan spermatogonia tipe B, dan mitosis keenam menghasilkan spermatosit primer (Everitt and


(19)

nukleolus di pinggir. Selain itu, spermatogonium tipe B berinti bundar dengan. nukleolus agak di tengah, dan sel ini akan bermitosis menjadi spermatosit primer (Yatim, 1994).

b. Meiosis

Meiosis merupakan pembelahan pada sel gamet dengan mengurangi jumlah set kromosom dari dua menjadi datu dalam gamet,

mengimbangi penggandaan yang terjadi saat fertilisasi, (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, and Jackson, 2010). Spermatosit primer menjauh dari lamina basalis, dengan sitoplasma semakin banyak, dan segera mengalami meiosis. Sel spermatosit primer mengalami fase leptoten, zigoten, pakiten, diploten, dan diakinesis dari profase, metaphase, anaphase, dan telofase pada meiosis I. Pada meiosis I dan II proses sitokinesis tidak membagi sel benih lengkap terpisah, tetapi masih berhubungan sesama lewat suatu jembatan, disebut intercellular bridge. Komunikasi sel bertetangga berlangsung melalui jembatan ini. Spermatosit sekunder memiliki inti yang lebih gelap dibandingkan dengan spermatosit primer. Spermatid memiliki bentuk yang berbeda dengan spermatosit primer, yaitu memiliki inti lonjong dan runcing, terbentuk ekor halus yang panjang dalam sitoplasma (Yatim, 1994).

c. Spermiogenesis

Merupakan diferensiasi spermatid yang berbentuk menjadi

spermatozoa, memiliki empat fase yaitu fase golgi, fase tutup, fase akrosom, dan fase pematangan. Pada fase golgi butiran akrosom


(20)

terbentuk dalam alat golgi spermatid, butiran (granula) membentuk satu butiran akrosom. Membran yang berada dalam gembungan akrosom (vesikel akrosom) melapisi butiran akrosom ini. Gembungan ini melekat pada satu sisi inti yang akan menjadi bagian depan

spermatozoa (Yatim, 1994).

Pada fase tutup terbentuk lipatan tipis yang melingkupi bagian kutub yang akan menjadi bagian depan saat gelembung akrosom semakin besar. Kemudian terbentuk topi atau tutup spermatozoa. Pada fase akrosom terjadi reditribusi bahan akrosom. Nukleoplasma mengalami kondensasi, lalu spermatid memanjang. Sampai akrosom dan tutup kepala membentuk tutup akrosom, bahan akrosom menyebar dan membentuk lapisan tipis meliputi kepala. Akrosom banyak mengandung karbohidrat dan enzim hidrolisa yang terdiri dari hialuronidase, neuroamidase, fosfatase asam dan protease yang aktivitasnya mirip tripsin. Akrosom berfungsi sebagai lisosom berjenis khusus. Inti spermatid memanjang dan gepeng. Terdapat butiran nukleoplasma yang mengalami transformasi yaitu berupa filamen-filamen yang pendek dan tebal kasar (Yatim, 1994). Fase pematangan, spermatid berubah bentuk dengan ciri spesies. Butiran ini bersatu dan inti menjadi gepeng bentuk pyriform, sebagai ciri spermatozoa primata dan khususnya manusia. Ketika akrosom terbentuk di bakal jadi bagian depan spermatozoa, sentriol bergerak ke kutub berseberangan. Sentriol yang paling depan membentuk


(21)

flagellum, sentriol satu lagi membentuk kelepak sekeliling pangkal ekor. Mitokondria membentuk cincin-cincin di bagian middle piece ekor, dan seludang fibrosa di luarnya. Mikrotubul muncul dan

berkumpul di bagian samping spermatid membentuk satu batang besar, disebut manchette. Manchette ini menjepit inti sehingga menjadi lonjong, lalu spermatid memanjang, dan sitoplasma terdesak ke belakang inti. Ketika ekor mengalami differensiasi, sitoplasma sisa yang diselaputi membran melepaskan diri ke samping, disebut recidual body of regnaud (Yatim, 1994).

Gambar 2. Penampang histologi testis mencit (Mus musculus L.) (Sumber : Intani, 2010)

Keterangan :

a : Spermatogonium b : Spermatosit primer c : Spermatosit sekunder d : Spermatid


(22)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses pembuatan preparat dilakukan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Tanjung Karang, Bandar Lampung. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2013 sampai dengan bulan Juni 2013.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit, sumber suara sebagai sumber kebisingan (pengeras bunyi / speacker, laptop), tempat makan mencit, tempat minum mencit, sound level meter untuk mengukur intensitas kebisingan, gunting, alat bedah, oven untuk sterilisasi, objek dan cover glass untuk preparat, mikroskop cahaya, mikrotom untuk membuat sayatan mikroskopis, mikrometer okuler, dan kamera.


(23)

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus L.) 25 ekor umur 3 bulan dengan berat badan rata-rata 30-40 gram. Makanan mencit berupa pellet dan air minum. Larutan formalin 10 % untuk fiksasi. Alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 96 %, dan alkohol absolut digunakan untuk dehidrasi atau menarik air dari sediaan, xylol untuk menarik alkohol kembali, parafin (titik didih 56-800C) untuk filtrasi dan embedding, pewarna Hematoxylin Eosin untuk mewarnai preparat, dan canada balsam untuk menempelkan cover glass.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 kelompok kontrol, 4 kelompok diberi perlakuan yang sama dengan perbedaan waktu pemaparan. Perlakuan yang diberikan terhadap mencit adalah

kebisingan dengan intensitas 85-90 dBA. Sesuai dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999, bahwa Nilai Ambang Batas Kebisingan untuk jam kerja selama 8 jam/hari adalah 85 dBA. Pada masing – masing perlakuan terdapat 5 kali ulangan. Kelompok pertama digunakan sebagai kontrol, kelompok kedua diberi pemaparan kebisingan selama 6 jam/hari, kelompok ketiga diberi pemaparan kebisingan selama 8 jam/hari, kelompok keempat diberi pemaparan kebisingan selama 10 jam/hari dan kelompok kelima diberi pemaparan kebisingan selama 12 jam/hari. Untuk

mendapatkan informasi pengaruh kebisingan terhadap mencit digunakan eksperimen. Perlakuannya adalah pemaparan dengan kebisingan (bunyi)


(24)

yang terdiri dari 5 taraf yaitu 0 jam/hari, 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari, dan 12 jam/hari selama 21 hari.

Adapun desain penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Desain Penelitian Keterangan :

a : komputer (menggunakan soundcard scope sebagai sumber kebisingan) b : pengeras bunyi

c : mencit yang diberi perlakuan D. Cara Kerja

1. Persiapan Kandang

Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu disiapkan kandang dari bahan bak plastik dan kawat sebanyak 5 unit.

2. Pemeliharaan Mencit

Sebanyak 25 ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok yaitu satu kelompok kontrol, dan empat kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit. Sebelum diberi perlakuan, semua mencit

a

b


(25)

diaklimatisasi terlebih dahulu selama satu minggu. Mencit diberi makan pellet dan air minum yang dilakukan dua kali setiap harinya, perlakuan dilakukan selama 21 hari.

3. Pemberian Perlakuan

Berdasarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja No. 51/1999 tentang ambang batas kebisingan yaitu ditetapkan sebesar 85 dB selama 8 jam setiap harinya dan pemberian paparan kebisingan dilakukan selama 21 hari (Marpaung, 2006). Kebisingan yang diberikan sebagai perlakuan terhadap mencit bersumber dari suara aplikasi soundcard scope yang diberi

tambahan pengeras suara dengan intensitas kebisingan 85-90 dBA.

Mencit dibagi dalam lima kelompok perlakuan, masing-masing terdiri dari 5 ekor.

Perlakuan yang diberikan terhadap mencit adalah sebagai berikut: a. Mencit ditempatkan pada ruangan yang diberi paparan suara

kebisingan yang berjarak 1 meter dari tempat mencit berada. b. 25 ekor mencit jantan dewasa dibagi menjadi 5 kelompok dengan

masing-masing kelompok tersebut terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa. Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok : I. Kelompok kontrol (P0) : kelompok kontrol ini tidak diberi

perlakuan paparan kebisingan karena sebagai kontrol, untuk perbandingan kelompok mencit yang normal dan kelompok mencit yang diberi perlakuan paparan kebisingan.


(26)

II. Kelompok paparan I (P1): kelompok ini diberi paparan

kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 6 jam per hari selama 21 hari.

III. Kelompok paparan II (P2): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 8 jam per hari selama 21 hari.

IV. Kelompok paparan III (P3): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 10 jam per hari selama 21 hari.

V. Kelompok paparan IV (P4): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 12 jam per hari selama 21 hari.

4. Pembedahan dan Pengawetan Jaringan

Mencit yang telah diberi perlakuan dimatikan lalu dibedah dengan menggunakan alat bedah, kemudian testisnya diambil. Pengawetan jaringan terdiri dari proses trimming, dehidrasi, clearing, impregnasi (infiltrasi parafin), embedding (pengeblokan jaringan), cutting

(pemotongan jaringan), penempelan, dan pewarnaan. Organ testis yang sudah diambil difiksasi dengan merendamnya di dalam larutan formalin 10 % selama 24 jam. Testis yang sudah difiksasi kemudian dicuci dengan air mengalir sebanyak dua kali berturut-turut selama satu jam. Setelah organ testis dicuci kemudian dilakukan dehidrasi dengan cara merendam testis pada alkohol dengan konsentrasi 70 % selama dua jam, kemudian


(27)

konsentrasi 80 % selama dua jam, lalu konsentrasi 95 % selama dua jam. Kemudian alkohol 95 % satu jam dan alkohol absolut selama satu jam sebanyak tiga kali berturut-turut. Penjernihan dilakukan dengan cara merendam testis dengan xylol sampai transparan atau tenggelam. Testis direndam dalam xylol sebanyak tiga kali, selama satu jam berturut-turut. Impregnasi dimulai dengan pemanasan parafin di oven dengan suhu 580C dan ditempatkan pada tiga tempat. Potongan testis dimasukkan ke dalam tiga parafin tersebut setiap parafin dengan waktu dua jam.

Pemblokan dilakukan dengan menuangkan parafin yang telah dicairkan ke kotak yang terbuat dari kertas atau teplon. Kemudian testis

dimasukkan dan diatur letaknya dengan jarum yang telah dipanaskan selama waktu infiltrasi yaitu dua jam untuk setiap parafin. Parafin dibiarkan pada suhu kamar sampai benar-benar padat, kemudian dimasukkan ke dalam air dingin sampai potongan testis terlihat dan disimpan atau didinginkan di mesin pendingin dengan suhu 4-60C sampai proses pemotongan.

Pemotongan dilakukan dengan mengeluarkan parafin yang berisi potongan testis dari cetakannya. Parafin yang berisi potongan testis ditempelkan pada balok kayu dengan menggunakan balok kayu yang sudah dipanaskan, kemudian di parafin objek dipasang mikrotom sliding. Pisau mikrotom dipasang dengan tepat, kemudian diatur ukuran ketebalan dan mikrotom diberi pelumas. Parafin berisi testis dipotong setebal lima mikron.


(28)

Penempelan dilakukan dengan memindahkan lembaran jaringan yang paling baik ke dalam air hangat (suhu 40-450C) selama beberapa detik dengan menggunakan kertas karton sampai mengembang sempurna. Dengan gerakan menyendok lembaran jaringan diambil dengan object glass dan ditempatkan di tengah pada sepertiga atas atau bawah. Object glass yang berisi jaringan dimasukkan ke dalam inkubator (suhu 370C) selama 24 jam atau plat panas selama satu jam (suhu 50-600C) sampai jaringan melekat sempurna.

Pewarnaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

Hematoxylin Eosin (HE). Preparat direndam dengan xylol I-III sampai parafin yang menempel pada kaca objek larut atau hilang, kemudian preparat dimasukkan ke dalam alkohol seri 100%, 96 %, selama dua sampai tiga menit, preparat dimasukkan ke dalam HE selama dua sampai lima menit. Preparat dicuci dengan menggunakan air mengalir sampai preparat berwarna biru. Diferensiasi dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop. Apabila belum cukup terwarnai maka kembalikan lagi preparat ke dalam larutan HE dan apabila terlalu tua maka preparat dimasukkan ke dalam pewarna regresif, yaitu alkohol 70 % yang mengandung 0,5 % HNO3 sebanyak tiga sampai lima celupan. Preparat dicuci kembali dengan air mengalir selama tiga smapai lima menit. Preparar dimasukkan ke dalam larutan scoot selama tiga menit. Lalu cuci kembali dengan air mengalir selama tiga sampai lima menit. Preparat dimasukkan kembali ke dalam alkohol seri dengan konsentrasi


(29)

70 % dan 96 % untuk beberapa kali celupan, kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 100 % selama tiga menit. Dilanjutkan kembali pencelupan preparat ke dalam campuran alkohol 100 % dengan xylol selama dua sampai tiga menit. Sebelum xylol mengering, preparat ditutup dengan mengoles bahan mounting atau canada balsam untuk menutup object glass, kemudian ditutup dengan cover glass dan mencegah jangan sampai terbentuk gelembung-gelembung udara. Jaringan siap dilihat di bawah mikroskop.

5. Pengamatan

Preparat testis diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya

perbesaran 400x, pengamatan meliputi sel-sel spermatogenik dari lapisan basalis ke arah lumen tubulus seminiferus.

Parameter yang diamati adalah :

a. Jumlah sel-sel spermatogenik yaitu spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, dan spermatozoa. b. Diameter tubulus seminiferus.

Penghitungan sel-sel spermatogonik dilakukan pada setiap tubulus seminiferus yang telah dipilih. Pengamatan dilakukan pada potongan melintang tubulus seminiferus yang diambil secara random.

Pengukuran diameter tubulus seminiferus dilakukan dengan

menggunakan mikrometer pada lensa okuler. Pengukuran diameter tubulus seminiferus menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x.


(30)

6. Analisis Data

Pada penelitian ini data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5 %.


(31)

E. Diagram Alir

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian Pembuatan Proposal Penelitian

Analisis data

Pengamatan preparat testis meliputi jumlah sel-sel spermatogenik dan

diameter tubulus seminiferus Pembuatan preparat histologis testis

Pelaksanaan Penelitian Pemberian paparan kebisingan dengan

intensitas kebisingan 85-90 dBA dan lama pemaparan 0, 6, 8,10, 12

jam/hari selama 21 hari Tahap Persiapan Persiapan sumber bising dan

aklimatisasi selama 7 hari


(32)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian paparan kebisingan sebesar 85-90 dBA selama 21 hari terhadap mencit (Mus musculus L.) mengakibatkan :

1. Jumlah spermatogonia mengalami peningkatan yang signifikan pada perlakuan 10 jam/hari (48,2±10,03) dan 12 jam/hari (54,2±34,97) dari kontrol (18,6±13,39).

2. Jumlah spermatosit primer dan spermatid mengalami penurunan yang signifikan pada perlakuan 10 jam/hari (30±9,27 ; 46,2±44,5) dan 12 (32,2±13,08 ; 16,8±7,53) jam/hari dari kontrol (51,2±8,29 ;

128,4±43,96).

3. Jumlah spermatosit sekunder mengalami penurunan yang signifikan pada perlakuan 12 jam/hari (21,4±7,67) dari kontrol (47,8±14,17). 4. Jumlah spermatozoa dan diameter tubulus seminiferus mengalami

penurunan yang signifikan pada perlakuan 8 jam/hari (37±11,04 ; 180±20,69), 10 jam/hari (24,4±9,58 ; 160,5±33,28), dan 12 jam/hari (17,8±8,79 ; 170,5±20,8) dari kontrol (56,4±16,33 ; 218±9,42).


(33)

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemaparan kebisingan terhadap jumlah sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, spermatozoa, tebal epitel tubulus seminiferus dan diameter tubulus seminiferus tikus jantan dengan intensitas kebisingan yang lebih tinggi dan waktu pemaparan yang lebih lama.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, A. 2005. Perbedaan Tekanan Darah Tenaga Kerja pada Tingkat Getaran yang Berbeda.Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Anindita, K. 2012. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Berat Testis, Jumlah Sel Leydig, dan Diameter Tubulus Seminiferus Mencit (Mus musculus L) Jantan Dewasa yang Diinduksi Monosodium Glutamat. Medical Journal of Lampung University. Vol 1. No 1. 36-48.

Astuti, S dan Soeradi. 2002. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus Jantan. JITV 13:4.

Barlian, A., A. Ridwan, dan Z. Zakaria. 2012. Pengaruh Fotoperiode Terhadap Respon Stres dan Parameter Reproduksi pada Mencit Jantan (Mus Musculus L.) Galur Swiss Webster. Jurnal Matematika dan Sains. Vol. 17. No.1. 39-45

Bungin, Y.S. 2008. Kebisingan, Pencahayaan, dan Getaran di Tempat Kerja. Politeknik Negeri Kupang. Kupang.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2004. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V. Minorsky, and R.B. Jackson. 2010. Biologi Jilid 3 Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta.

Chusna, M. 2008. Pengaruh Kebisingan Terhadap Hitung Jenis Leukosit Mencit BALB / C. Universitas Diponegoro. Semarang.

Claustrat, B., J. Valatx, C. Harthé1, and J. Brun, 2008, Effect of Constant Light on Prolactin and Corticosterone Rhythms Evaluated Using a Noninvasive Urine Sampling Protocol in the Rat, Horm Metab. Res., 40, 398–403.


(35)

Berhubungan dengan Kesehatan. Jakarta.

Dong, Q., A. Salva, C. M. Sottas, E. Niu, M. Holmes, and M. P. Hardy. 2004. Rapid Glucocorticoid Mediation of Suppressed Testosterone Biosynthesis in Male Mice Subjected to Immobilization Stress. J. Androl., 25, 973–981. Elpiana. 2011. Pengaruh Monosodium Glutamat Terhadap Kadar Hormon

Testosteron dan Berat Testis pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). M. Biomed. Tesis. Universitas Andalas. Padang.

Ernawati dan A. Nurliani. 2012. Efek Antioksidan Ekstrak Etanol Bulbus Bawang Dayak (Eleutherine americana Merr.) Terhadap Struktur Mikroanatomi Tubulus Seminiferus Testis Tikus Yang Dipapar Asap Rokok. Sains dan Terapan Kimia.Vol. 6. No. 2. 93-100.

Everitt, B.J. and M.H. Johnson. 1988. Essential Reproduction Third Edition. Blackwell Scientific. Pub. Oxford. London.

Fahri, S. dan E. Pasha. 2010. Kebisingan dan Tekanan Panas dengan Perasaan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja Bagian Drilling Pertamina EP Jambi. Prosiding Seminar Nasional Unimus. 128-136.

Gabriel, J.F. 1996. Fisika kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hlm. 89-91.

Gore, A., B. Attardi, and D. DeFranco. 2006. Glucocorticoid repression of the reproductive axis: Effects on GnRH and Gonadotropin subunit mRNA Levels, Mol. Cell. Endocrinol., 256, 40–48.

Intani, Y.C. 2010. Pengaruh Timbal (Pb) pada Udara Jalan Tol Terhadap

Gambaran Mikroskopis Testis dan Kadar Timbal (Pb) dalam Darah Mencit Balb/C Jantan. Artikel Ilmiah. Universitas Diponegoro. Semarang.

Junqueira, L.C. and J. Carneiro. 2007. Histologi Dasar. EGC. Jakarta. Justian, A. 2012. Analisis Pengaruh Kebisingan Terhadap Performa Siswa

Sekolah Dasar di Ruang Kelas. Skripsi FT Universitas Indonesia. Depok. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker). 1999. Nilai Ambang Batas

Iklim Kerja dalam Kebisingan di Tempat Kerja. Edisi 1999/ 2000. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.


(36)

Marpaung, S.S. 2006. Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi terhadap Kadar Kortisol Plasma pada Tikus Jantan. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. 39. No. 2. 94-99.

Menteri Lingkungan Hidup. 1996. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-49/MENLH/1996. Baku Tingkat Gataran untuk Kenyamanan dan Kesehatan. Jakarta.

Nowak, M.R. dan L.J. Paradiso. 1983. Walker’s Mamals of The World 4 th Edition. Volume 2. The John Hopkins University Press Baltomor. London. Page 755-758.

Partodiharjo, S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara. Jakarta. Rambe, A.Y.M. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Digital Library.

Universitas Sumatera Utara. 1-11.

Rugh, R. 1968. The Mouse : its Reproduction and Development. Burgess. Publ co. Minneapolis. p 7-24

Rusli, M.2008. Pengaruh Kebisingan Dan Getaran Terhadap Perubahan Tekanan Darah Masyarakat Yang Tinggal Di Pinggiran Rel Kereta Api Lingkungan Xiv Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai. Managemen Kesehatan Lingkungan Industri.USU. Sumatera Utara. Sankar, B. R., R. R. M. Maran, S. Sudha, P. Govindarajulu, and K.

Balasubramanian, 2000, Chronic Corticosterone Treatment Impairs Leydig Cel1 11βHydroxysteroid Dehydrogenase Activity and LH-Stimulated Testosterone Production,Horm Metab Res., 32, 142—146.

Setyadi, A.D. 2006. Organ Reproduksi dan Kualitas Sperma Mencit (Mus

musculus) yang Mendapat Pakan Tambahan Kemangi (Ocimum basilicum) Segar. Skripsi. IPB. Bogor. Hlm. 1-42.

Smith, B. J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm. 228-233.

Suhadi, K. 1996. Spesies Oksigen Reaktif dan Kualitas Spermatozoa. Medika 10:174-177.


(37)

Sutyarso. 1992. Pengaruh Pemberian Ekstrak Pare (Momordica charantia) Terhadap Fertilitas Mencit Jantan (Mus musculus L. STRAIN LMR). Tesis. Program Pasca Sarjana Biomedik. Universitas Indonesia. Jakarta.

Tajudin, M. 1986. Cara Keluarga Berencana Untuk Pria. Dalam: Symposium Proses Reproduksi, Kesuburan dan Seks Pria dalam Perkawinan. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Triwahyudi, Z.E. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma longifolia Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Mencit Balb/C Jantan yang Dibuat Stres dengan Stresor Renjatan Listrik. Media Medika Muda. No 4. 45-50.

Vick, R.L. 1984. Contemporary Medical Physiology California. Addison Wesley Publishing Company. Hlm 327-332.

Wahyuni, R. S. 2012. Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus, dan

Spermatogenesis Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). Tesis Biomedik. Universitas Andalas. Padang. 1-13.

Wilda. 1999. Pengaruh Kebisingan Terhadap Tekanan Darah Pekerja Masa Dewasa Dini Industri karet. Deli. Medan. Hlm1-67

Willy P.V. and F.P. Wim. 2000. Noise Ezposure and Public Health, Environmental Health Perspective Volume 108.

Workplace Health and Safety (WHS). 1993. Code of Practice for Noise Management at Work. Australia


(38)

(1)

42

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemaparan kebisingan terhadap jumlah sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, spermatozoa, tebal epitel tubulus seminiferus dan diameter tubulus seminiferus tikus jantan dengan intensitas kebisingan yang lebih tinggi dan waktu pemaparan yang lebih lama.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, A. 2005. Perbedaan Tekanan Darah Tenaga Kerja pada Tingkat Getaran yang Berbeda.Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Anindita, K. 2012. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Berat Testis, Jumlah Sel Leydig, dan Diameter Tubulus Seminiferus Mencit (Mus musculus L) Jantan Dewasa yang Diinduksi Monosodium Glutamat. Medical Journal of Lampung University. Vol 1. No 1. 36-48.

Astuti, S dan Soeradi. 2002. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus Jantan. JITV 13:4.

Barlian, A., A. Ridwan, dan Z. Zakaria. 2012. Pengaruh Fotoperiode Terhadap Respon Stres dan Parameter Reproduksi pada Mencit Jantan (Mus Musculus L.) Galur Swiss Webster. Jurnal Matematika dan Sains. Vol. 17. No.1. 39-45

Bungin, Y.S. 2008. Kebisingan, Pencahayaan, dan Getaran di Tempat Kerja. Politeknik Negeri Kupang. Kupang.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2004. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V. Minorsky, and R.B. Jackson. 2010. Biologi Jilid 3 Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta.

Chusna, M. 2008. Pengaruh Kebisingan Terhadap Hitung Jenis Leukosit Mencit BALB / C. Universitas Diponegoro. Semarang.

Claustrat, B., J. Valatx, C. Harthé1, and J. Brun, 2008, Effect of Constant Light on Prolactin and Corticosterone Rhythms Evaluated Using a Noninvasive Urine Sampling Protocol in the Rat, Horm Metab. Res., 40, 398–403.


(3)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. SK Dirjen P2M dan

Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan. Jakarta.

Dong, Q., A. Salva, C. M. Sottas, E. Niu, M. Holmes, and M. P. Hardy. 2004. Rapid Glucocorticoid Mediation of Suppressed Testosterone Biosynthesis in Male Mice Subjected to Immobilization Stress. J. Androl., 25, 973–981. Elpiana. 2011. Pengaruh Monosodium Glutamat Terhadap Kadar Hormon

Testosteron dan Berat Testis pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). M. Biomed. Tesis. Universitas Andalas. Padang.

Ernawati dan A. Nurliani. 2012. Efek Antioksidan Ekstrak Etanol Bulbus Bawang Dayak (Eleutherine americana Merr.) Terhadap Struktur Mikroanatomi Tubulus Seminiferus Testis Tikus Yang Dipapar Asap Rokok. Sains dan Terapan Kimia.Vol. 6. No. 2. 93-100.

Everitt, B.J. and M.H. Johnson. 1988. Essential Reproduction Third Edition. Blackwell Scientific. Pub. Oxford. London.

Fahri, S. dan E. Pasha. 2010. Kebisingan dan Tekanan Panas dengan Perasaan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja Bagian Drilling Pertamina EP Jambi. Prosiding Seminar Nasional Unimus. 128-136.

Gabriel, J.F. 1996. Fisika kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hlm. 89-91.

Gore, A., B. Attardi, and D. DeFranco. 2006. Glucocorticoid repression of the reproductive axis: Effects on GnRH and Gonadotropin subunit mRNA Levels, Mol. Cell. Endocrinol., 256, 40–48.

Intani, Y.C. 2010. Pengaruh Timbal (Pb) pada Udara Jalan Tol Terhadap

Gambaran Mikroskopis Testis dan Kadar Timbal (Pb) dalam Darah Mencit Balb/C Jantan. Artikel Ilmiah. Universitas Diponegoro. Semarang.

Junqueira, L.C. and J. Carneiro. 2007. Histologi Dasar. EGC. Jakarta. Justian, A. 2012. Analisis Pengaruh Kebisingan Terhadap Performa Siswa

Sekolah Dasar di Ruang Kelas. Skripsi FT Universitas Indonesia. Depok. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker). 1999. Nilai Ambang Batas

Iklim Kerja dalam Kebisingan di Tempat Kerja. Edisi 1999/ 2000. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.


(4)

Leary, A.O. 1990. Stress, Emotion, and Human Immune Functio, Rutgers – The State University of New Jersey. Psychological Bulletin. Vol 108. No 3, 365. Marpaung, S.S. 2006. Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi terhadap Kadar

Kortisol Plasma pada Tikus Jantan. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. 39. No. 2. 94-99.

Menteri Lingkungan Hidup. 1996. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-49/MENLH/1996. Baku Tingkat Gataran untuk Kenyamanan dan Kesehatan. Jakarta.

Nowak, M.R. dan L.J. Paradiso. 1983. Walker’s Mamals of The World 4 th Edition. Volume 2. The John Hopkins University Press Baltomor. London. Page 755-758.

Partodiharjo, S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara. Jakarta. Rambe, A.Y.M. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Digital Library.

Universitas Sumatera Utara. 1-11.

Rugh, R. 1968. The Mouse : its Reproduction and Development. Burgess. Publ co. Minneapolis. p 7-24

Rusli, M.2008. Pengaruh Kebisingan Dan Getaran Terhadap Perubahan Tekanan Darah Masyarakat Yang Tinggal Di Pinggiran Rel Kereta Api Lingkungan Xiv Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai. Managemen Kesehatan Lingkungan Industri.USU. Sumatera Utara. Sankar, B. R., R. R. M. Maran, S. Sudha, P. Govindarajulu, and K.

Balasubramanian, 2000, Chronic Corticosterone Treatment Impairs Leydig Cel1 11βHydroxysteroid Dehydrogenase Activity and LH-Stimulated Testosterone Production,Horm Metab Res., 32, 142—146.

Setyadi, A.D. 2006. Organ Reproduksi dan Kualitas Sperma Mencit (Mus

musculus) yang Mendapat Pakan Tambahan Kemangi (Ocimum basilicum) Segar. Skripsi. IPB. Bogor. Hlm. 1-42.

Smith, B. J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm. 228-233.

Suhadi, K. 1996. Spesies Oksigen Reaktif dan Kualitas Spermatozoa. Medika 10:174-177.


(5)

Sukmaningsih, A.A.S.A. 2009. Penurunan Jumlah Spermatosit Pakiten dan Spermatid Tubulus Seminiferus Testis pada Mencit (Mus musculus) yang Dipaparkan Asap Rokok. Jurnal Biologi XIII (2). 31-35.

Sutyarso. 1992. Pengaruh Pemberian Ekstrak Pare (Momordica charantia) Terhadap Fertilitas Mencit Jantan (Mus musculus L. STRAIN LMR). Tesis. Program Pasca Sarjana Biomedik. Universitas Indonesia. Jakarta.

Tajudin, M. 1986. Cara Keluarga Berencana Untuk Pria. Dalam: Symposium Proses Reproduksi, Kesuburan dan Seks Pria dalam Perkawinan. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Triwahyudi, Z.E. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma longifolia Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Mencit Balb/C Jantan yang Dibuat Stres dengan Stresor Renjatan Listrik. Media Medika Muda. No 4. 45-50.

Vick, R.L. 1984. Contemporary Medical Physiology California. Addison Wesley Publishing Company. Hlm 327-332.

Wahyuni, R. S. 2012. Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus, dan

Spermatogenesis Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). Tesis Biomedik. Universitas Andalas. Padang. 1-13.

Wilda. 1999. Pengaruh Kebisingan Terhadap Tekanan Darah Pekerja Masa Dewasa Dini Industri karet. Deli. Medan. Hlm1-67

Willy P.V. and F.P. Wim. 2000. Noise Ezposure and Public Health, Environmental Health Perspective Volume 108.

Workplace Health and Safety (WHS). 1993. Code of Practice for Noise Management at Work. Australia


(6)