PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP BERAT TESTIS, JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L)JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

(1)

ADULT MALE MICE(Mus MusculusL) INDUCED BY MONOSODIUM GLUTAMATE

By

Kania Anindita Bustam

Monosodium glutamate is commonly used as a food seasoning that has free radical effect in the body when the usage doses exceed normal range. The generated oxidative stress may effect male fertility by influencing spermatogenesis process. Vitamin C is one of antioxidants which is effective against free radical effects in the body.

This study aims to prove the effect of vitamin C to testis weight, numbers of Leydig cells, and diameter of seminiferus tubules of adult male mice induced by monosodium glutamate. This study uses a randomized controlled design.

This study used 25 adult male mices DD Webster strain as subject of this study, which were randomly divided into 5 groups : K(-) (given MSG 4mg/grBW), K(+) (given vitamin C 0,2 mg/grBW), P1 (given MSG 4 mg/grBW and vitamin C 0,07 mg/grBW), P2 (given MSG 4 mg/grBW and vitamin C 0,2 mg/grBW), P3 (given MSG 4 mg/grBW and vitamin C 0,6 mg/grBW) after 15 days of treatment, measurement on testis weight and histological measurement on numbers of Leydig cells and diameter of seminiferus tubules were taken. Data were analyzed by using one-way ANOVA test followed by post hoc analysis test with LSD method and Kruskal-Wallis test followed by post hoc analysis test with Mann-Whitney method.

The result showed the average testis weight in group K(+), K(-), P1, P2, and P3 respectively were 0.123±0.008; 0.092±0.008; 0.098±0.007; 0.110±0.007; 0.118±0.008 with p value = 0.000 in one way ANOVA test. Post hoc LSD analysis showed significant value in group K(+) with K(-), P1, P2; group K(-) with P2, P3, K(+); group P1 with P2, P3, K(+); group P2 with K(+), K(-), P1; and group P3 with K(-) dan P1.


(2)

showed significant value in group K(+) with K(-), P1, P2; group K(-) with K(+) and P3; group P1 with P3 and K(+); group P2 with K(+), P3; and group P3 with K(-), P1, P3.

The result showed the average diameter of seminiferus tubules in group K(+), K(-), P1, P2, and P3 respectively were 64.06±0.66; 55.54±0.44; 59.33±6.93; 66.61±4.60; 64.80±3.87 with p value = 0.037 in Kruskal-Wallis test. Post hoc Mann-Whitney analysis showed significant value in group K(-) with P2, P3, K(+). Based on this study, it can be concluded that vitamin C has effect to o testis weight, numbers of Leydig cells, and diameter of seminiferus tubules of adult male mice induced by monosodium glutamate.

Key words: Monosodium glutamate, vitamin C, testis, testis weight, Leydig cell, diamater of seminiferus tubule, mice.


(3)

JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculusL) JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI

MONOSODIUM GLUTAMAT

Oleh

Kania Anindita Bustam

Monosodium glutamat merupakan bumbu penyedap makanan yang banyak

digunakan serta memiliki efek radikal bebas didalam tubuh bila penggunaannya melebihi batas normal. Stres oksidatif yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kesuburan pada pria dengan mempengaruhi proses spermatogenesis. Vitamin C merupakan salah satu jenis antioksidan yang efektif dalam menangkal efek dari radikal bebas di dalam tubuh.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian vitamin C tehadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculusL) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamat. Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol.

Subjek penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit jantan dewasa strain DD Webster yang dibagi secara acak dalam 5 kelompok yaitu K(-) ( diberi MSG 4mg/grBB), K(+) (diberi vitamin C 0,2 mg/grBB), P1 (diberi MSG 4 mg/grBBdan vitamin C 0,07 mg/grBB), P2 (diberi MSG 4 mg/grBBdan vitamin C 0,2 mg/grBB), P3 (diberi MSG 4 mg/grBBdan vitamin C 0,6) mg/grBB) setelah 15 hari perlakuan dilakukan pengamatan terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit. Analisis data yang digunakan uji one way

Anova yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode LSD dan uji

Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode

Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata berat testis pada kelompok K(+), K(-), P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 0.123±0.008; 0.092±0.008; 0.098±0.007; 0.110±0.007; 0.118±0.008 dengan nilai p=0.000 pada uji one way

Anova. Pada analisispost hocLSD diperoleh nilai bermakna pada kelompok K(+) dengan kelompok K(-), P1,dan P2; kelompok K(-) dengan P2, P3, K(+); kelompok


(4)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel Leydig pada kelompok K(+), K(-), P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 434±54.92; 248±81.42; 251±90.27; 299±47.70; 469±79.01 dengan nilai p=0.000 pada ujione wayAnova. Pada analisispost hocLSD diperoleh nilai bermakna pada kelompok K(+) dengan kelompok K(-), P1,dan P2; kelompok K(-) dengan K(+) dan P3; kelompok P1 dengan P3 dan K(+); kelompok P2 dengan K(+), P3; kelompok P3 dengan K(-), P1, dan P3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata diameter tubulus seminiferus pada kelompok K(+), K(-), P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 64.06±0.66; 55.54±0.44; 59.33±6.93; 66.61±4.60; 64.80±3.87 dengan nilai p=0.037 pada uji

Kruskal-Wallis. Pada analisis post hoc Mann-Whitney diperoleh nilai bermakna pada kelompok K(-) dengan kelompok P2, P3, dan K(+).

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa vitamin C memiliki pengaruh terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculusL.) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamat.

Kata kunci: monosodium glutamat, vitamin C, testis, berat testis, sel Leydig, diameter tubulus seminiferus, mencit.


(5)

(6)

(7)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 Desember 1989, dari pasangan Ir. Bustam Hadori, M.M dan Dra. Farida Ariyani, M.PD. sebagai anak kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Tunas Mekar Indonesia Bandar Lampung pada tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Rawa Laut (SDN 2 Teladan) pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di (MTs) Ma’had Al-Zaytun pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA YP UNILA pada tahun 2007.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran (DPM-FK) sebagai anggota Komisi B, dan juga sebagai bendahara di majalah Vaksin Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran (BEM-FK) Unila.


(8)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsidengan judul “Pengaruh Pemberian Vitamin C terhadap Berat Testis,

Jumlah Sel Leydig, dan Diameter Tubulus Seminiferus Mencit Jantan ( Mus musculus L) Dewasa yang Diinduksi Monosodium Glutamat”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P Harianto, M. Sc., selaku rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan juga selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(9)

skripsi ini;

4. Ibu dr. Khairun Nisa, M.Kes, AIFO., selaku Penguji Utama pada Ujian Skripsi. Terimakasih atas waktu, ilmu dan saran-saran yang telah diberikan;

5. Ibu dr.Nurul Islamy, M. Kes. dan Ibu dr. Dian Angraini selaku Pembimbing Akademik;

6. Papi dan Mami yang telah membesarkan uni selama 22 tahun. Terima kasih atas doa yang selalu kalian panjatkan untukku. terima kasih atas kasih sayang yang telah kalian berikan, terimakasih atas ilmu-ilmu yang selalu kalian ajarkan, terimakasih atas nasihat-nasihat yang selalu kalian berikan, terima kasih atas kepercayaan yang diberikan selama ini, terimakasih atas motivasi, kesabaran, pengalaman dalam kehidupan yang selama ini berjalan. Maaf bila uni belum dapat memberikan hasil yang sempurna.

7. Kakakku tersayang, Nurul Azizah Bustam, terima kasih atas segala nasihat, motivasi, pelajaran-pelajaran, dan bimbingan yang selalu kau berikan kak. Engkau adalah panutanku kak, walaupun sulit bagiku untuk menyamaimu, tapi aku bangga menjadi adikmu.

8. Adik-adikku tercinta, Hadyan Arifin Bustam, Fauziah Paramita Bustam, dan Masykuri Abdillah Bustam yang selalu mendoakanku, memberikan motivasi dan dukungan, serta hiburan selama ini.


(10)

10. Seluruh keluarga besarku, terima kasih atas doa dan motivasi yang diberikan.

11. Sahabat-sahabat terbaikku: Dewi Anggraini, Defi Nurlia, Fira Tania, Prili Olda, Putri Anggia Bunga, dan Riza Zahara, terima kasih atas nasihat-nasihat, motivasi-motivasi, dan kasih sayang yang kalian berikan selama ini. Tanpa kalian kehidupanku di FK mungkin akan kurang berwarna. 12. Teman-teman skripsi, Chintya Giska, Eka Aprilia Arum K, Rezandi

Aziztama, dan Riza Zahara, yang berkerjasama dengan baik sehingga penelitian ini selelsai dengan baik.

13. Seluruh Staf Dosen FK Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, sehingga menambah wawasan penulis dalam perjalan meraih cita-cita.

14. Seluruh staf Tata Usaha FK Universitas Lampung dan pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, teruntama untuk Mbak Nur dan Mas Bayu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya;

15. Bapak Sahroni yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan preparat histopatologi;

16. Teman-teman angkatan 2008 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan kita selama menempuh pendidikan sarjana kedokteran, semoga kita bisa koas bersama-sama.


(11)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, 25 Januari 2012

Penulis


(12)

i

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat penelitian ... 8

E. Kerangka pemikiran ... 9

F. Hipotesis ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Sistem Reproduksi Pria 1. Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Pria... 14

a. Testis pada Manusia... 14

b. Epididmis pada Manusia... 18

c. Vas Deferens pada Manusia... 19

d. Kelenjar-kelenjar aksesorius... 20

2. Histologi Sistem Reproduksi Pria... 21

a. Tubulus Seminiferus... 21

b. Sel-sel Germinal... ... 22

c. Sel Sertoli... . 23

d. Sel Leydig... . 24

3. Spermatogenesis... 26

B. Monosodium Glutamat. ... 31

1. Kimia Monosodium Glutamat. ... 31

2. Metabolisme Monosodium Glutamat... 34

3. Efek Biologis Monosodium Glutamat. ... 38

4. Efek MSG Terhadap Sistem Reproduksi. ... 39


(13)

ii

3. Biokimia Vitamin C. ... 46

4. Hubungan Vitamin C Terhadap Fertilitas. ... 48

E. Antioksidan ... 50

1. Pengertian Antioksidan ... 50

2. Golongan-golongan Antioksidan. ... 51

3. Sumber Antioksidan... 53

4. Cara Kerja Antioksidan... 55

III. METODE PENELITIAN ... 56

A. Desain Penelitian ... 56

B. Waktu dan Tempat Penelitian... 56

C. Populasi dan Sampel Penelitian . ... 56

D. Alat dan Bahan Penelitian... 58

E. Prosedur Penelitian ... 59

1. Pemeliharaan Hewan Uji ... 59

2. Persiapan Hewan Uji ... 59

3. Penyediaan Vitamin C dan MSG... 60

4. Pemberian Perlakuan ... 66

F. Proses Pembedahan dan Pengambilan serta Pengamatan Histologi... 67

1. Proses Pembedahan... 67

2. Pengambilan dan Penimbangan Testis... 67

3. Pembuatan Preparat Histologi... 67

4. Pemeriksaan Histologi ... 70

G. Perhitungan Jumlah Sel Leydig dan Sel Sertoli... 70

H. Perhitungan Diameter Tubulus Seminiferus. ... 70

I. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel... 71

J. Rancangan Percobaan dan Analisis Data... 73

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

A. Hasil Penelitian ... 76

1. Berat Testis ... 76

2. Jumlah Sel Leydig ... 80

3. Diameter Tubulus Seminiferus…... 84

B. Pembahasan... 87

1. Berat Testis ... 91

2. Jumlah Sel Leydig... 93


(14)

(15)

v

Tabel Halaman

1. Sumber Radikal Bebas ... 44

2. Definisi Operasional ... 72

3. Rerata Ukuran Berat Testis . ... 77

4. Hasil Uji Statistik Berat Testis ... 79

5. Rerata Jumlah Sel Leydig . ... 80

6. Hasil Uji Statistik Jumlah Sel Leydig . ... 82

7. Rerata Diameter Tubulus Seminiferus . ... 84


(16)

iv

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsep Penelitian ... 12

3. Anatomi Sostem Reproduksi Pria ... 14

4. Tubulus Seminiferus ... 21

5. Sel Leydig dan Sel Sertoli... 25

6. Spermatogenesis ... 26

7. Rumus Bangun Monosodium Glutamat... 31

8. Bagan alir penelitian ... 76

9. Gambaran Sel Leydig... 82

10. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada K(+) ... 85

11. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada K(-) ... 85

12. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada P1... 86

13. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada P2... 86


(17)

A. Latar Belakang

Dewasa ini wisata kuliner sangatlah digemari oleh banyak orang, dimana setiap mereka berkunjung ke suatu daerah wisata hal utama yang dituju ialah mencicipi makanan khas daerah tersebut. Suatu makanan dirasa berkesan bila makanan tersebut menghasilkan rasa yang lezat dan membuat orang yang memakannya ingin makan lagi atau ketagihan. Hampir setiap industri makanan menggunakan bumbu penyedap sebagai bumbu pelengkap yang dapat menimbulkan rasa lezat, salah satunya ialah menggunakan “micin” atau Monosodium Glutamat. Monosodium Glutamat (MSG) telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan, penggunaannya bukan hanya di industri makanan saja, namun digunakan juga oleh para ibu-ibu rumah tangga. Sebab dengan menambahkan sedikit MSG ke dalam masakan, akan memberikan kelezatan yang setara dengan ekstrak daging sapi. MSG telah dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dalam bentuk L-glutamic acid(Gehaet al., 2000).

Asam amino tersebut pada hakekatnya banyak dijumpai dalam makanan alami, bahkan makanan tertentu bisa mengandung antara 5-20% dari total kandungan asam amino, baik dalam bentuk bebas maupun terikat dengan


(18)

peptida ataupun protein (Geha et al., 2000;FDA. 1995). Glutamat dalam bentuk bebas didapat dari makanan seperti tomat, keju, dan kecap yang merupakan hasil fermentasi. Secara alamiah glutamat yang berada dalam tubuh kita berasal dari makanan yang mengandung protein seperti keju, susu, daging, kacang kapri, dan jamur (FDA, 1995).

Di Indonesia rata-rata masyarakat mengkonsumsi MSG sekitar 0,6 g/hari (Prawiroharjoet al., 2000) atau 0,3–1,0 g/hari di negara industri (Gehaet al., 2000). Konsumsi tersebut bisa meningkat tergantung pada isi kandungan MSG dalam makanan dan juga tergantung pilihan rasa seseorang (Geha et al., 2000). Food and Drug Administration (FDA) kemudian menetapkan MSG sebagai “food additive atau food enhancer”, serta mengklasifikasikan MSG sebagai bahan yang aman untuk dikonsumsi (Generally Recognized As Safe, GRAS) seperti bahan makanan lainnya, misalnya garam, cuka, dan pengembang kue (FDA, 1995), akan tetapi setelah bertahun-tahun digunakan, muncul efek yang tidak diharapkan dari MSG. Efek ini pertama kali ditemukan pada tahun 1968 setelah Robert Ho Man Kwok seorang doktor Cina-Amerika mencicipi hidangan China dia merasa kebas dan jantung berdebar-debar, mual, sakit kepala. Sehingga gejala-gejala tersebut dikenal dengan nama “Chinese restaurant syndrome”(Sand, 2005).

Sejak saat itu para ilmuwan mulai melakukan penelitian terhadap MSG. Penelitian terhadap efek MSG mulai dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan, dimana Dr. John Olney (1969) menemukan adanya kerusak otak


(19)

pada tikus yang disuntikan MSG. Berdasarkan alasan ini pimpinan dari White House Conference on Food Nutrition an Health memerintahkan untuk menarik MSG dari makan bayi (Sand, 2005)

MSG bersifat neurotoksik, Legardi et al., (1998) menemukan bahwa MSG menyebabkan ablasi sumbu arcuate nucleus hipothalamus sehingga dapat mengganggu fungsi hipothalamus–pituitary–organ target axis. Hipothalamus mensekresi gonadotropinreleasing hormon yang merangsang pengeluaran hormon gonadotropin (LH dan FSH) dari hipofisis anterior. Kedua hormon ini diperlukan untuk perkembangan gonad pria maupun wanita serta penting keberadaannya untuk proses spermatogenesis dan oogenesis. Terganggunya fungsi hipothalamus mengakibatkan gangguan fungsi endokrin, termasuk hormon reproduksi sehingga turut mempengaruhi fungsi gonad (Camihort, 2004).

Menurut Ahluwalia (1996), pemberian 4 dan 8 mg/g BB MSG dapat meningkatkan aktivitas glutation reduktase (GR) glutathione-S-transferase (GST), dan glutation peroxidase (GPX). Hal ini menggambarkan bahwa pemberian MSG di atas 4 mg/g BB menghasilkan sterss oksidatif yang dilawan tubuh dengan meningkatkan aktivitas enzim metaboliknya. Penelitian yang dilakukan Vinodini pada tikus jantan dengan pemberian MSG 4 g/kg BB selama 15 hari (paparan jangka pendek) dan 30 hari (paparan jangka panjang) sangat berpengaruh. Berat testis, yang diukur menunjukkan penurunan pada kedua group percobaan. Kadar lipid peroksida meningkat pada kedua group.


(20)

Sedangkan kadar asam askorbat pada testis terjadi penurunan (Vinodini, 2008). Pada penelitian tikus jantan yang diberi MSG selama 15 hari (paparan jangka pendek) dan 30 hari (paparan jangka panjang) yang diberi 4 g/kg BB intraperitoneal memperlihatkan pengaruhnya berupa penurunan berat testis, jumlah sperma, kadar asam askorbat, dan peningkatan jumlah sperma yang rusak atau abnormal. Jumlah sperma yang normal pada tikus yang dipaparkan dengan MSG jangka pendek lebih sedikit dibanding dengan yang dipaparkan dengan jangka panjang (Nayantara, 2008).

Mencit jantan berumur 2 hari yang dipaparkan 4 mg/g BB MSG (setara dengan 30-240 mg/kg BB pada manusia) menunjukkan berat badan, jumlah sel Sertoli dan sel Leydig per testis yang lebih rendah pada saat puber (Franca, 2005). Penemuan berat vesikula seminalis dan epididimis, tetapi tidak disertai dengan perubahan struktur histologi testis mencit pasca pemberian MSG juga telah dilaporkan oleh Giovambattista (2003). Penurunan jumlah sel Leydig ini, menyebabkan produksi testosteron juga berkurang. Hipogonadisme yang terjadi diduga disebabkan oleh penurunan kadar LH dan FSH dan FT4 darah yang berperan dalam perkembangan organ reproduksi dan fungsi reproduksi (Franca, 2005).

Giovambattista (2003) juga mencatat terjadi hiperplasia sel adiposa pasca pemberian MSG, sehingga kadar hormon leptin meningkat 3 kali lebih tinggi dibandingkan mencit yang tidak terpapar (Camihort, 2004). Leptin berperan dalam pengaturan reproduksi yaitu meningkatkan sekresi GnRH dari


(21)

hipothalamus dan LH-FSH dari hipofisis anterior. Namun hyperleptinemia juga menghambat aktivitas sel Leydig, mempengaruhi proses steroidogenesis, sekresi dan stimulasi tetsosteron (Giovamabttista, 2003).

Vitamin C merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan terdapat pada cairan ekstrasel. Vitamin C menetralisir hidroksil, superoksid, radikal hydrogen peroksid dan mencegah aglutinsi sperma. Vitamin C ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada pria infertile. Vitamin C meningkatkan jumlah sperma secara invivo pada pria infertile dengan dosis 200-1000 mg/hari (Agarwal, 2005). Penelitian terhadap pasien infertil dengan keadaan oligosperma, motilitas sperma rendah dan jumlah sperma bentuk normal yang rendah, setelah diberikan suplemen vitamin C 1000 mg per hari selama 2 bulan, memperlihatkan peningkatan jumlah sperma, motilitas sperma, dan jumlah sperma yang morfologinya normal (Akmalet al, 2006).

Asam askorbat telah lama dihubungkan dengan fertilitas, yang berperan terhadap sintesis kolagen yang berperan pada hormon produksi, dan dapat melindungi sel dari radikal bebas. Asam askorbat terakumulasi di dalam testis dan ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Yousef (2003) terhadap kelinci yang diberikan vitamin C dan E secara terpisah maupun kombinasi menunjukkan peningkatan libido, konsentrasi sperma, jumlah sperma, dan konsentrasi fruktosa semen (Yousef, 2003). Pemberian vitamin C dengan dosis 0,2 mg/kg BB secara oral selama 36 hari menunjukkan dapat


(22)

meningkatkan efek senyawa radikal bebas yang disebabkan oleh timbal (Fauzi, 2008).

Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas terlihat bahwa pemberian MSG memberikan pengaruh terhadap kadar LH dan FSH dalam testis, sehingga dapat menyebabkan gangguan spermatogenesis, serta dapat menyebabkan penurunan berat testis. Serta vitamin C yang mempunyai efek sebagai anti-oksidan dalam tubuh. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus yang telah dipapari monosodium glutamat.

B. Rumusan Masalah

Monososdium Glutamat merupakan bumbu penyedap yang pada awalnya dianggap aman, namun bila dikonsumsi melebihi kadar normal, maka akan menimbulkan efek yang disebut sebagaiChinese Restaurant Syndromedengan gejala berupa rasa kebas, jantung berdebar-debar, mual, dan sakit kepala. Selain efek tersebut, monososdium glutamat juga dapat menyebabkan stres oksidatif yang dapat menurunkan kadar hormon LH dan FSH pada testis, sehingga jumlah sel Leydig dan sel Sertoli pun menurun. Akibatnya, terjadi penurunan populasi sel spermatogenik yang dapat memberikan dampak terhadap diameter tubulus seminiferus. Selain itu juga. MSG dapat menyebabkan penurunan kadar asam askorbat dan peningkatan lipid peroksidase yang mengakibatkan penurunan berat pada testis.


(23)

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis mencit jantan dewasa yang telah diinduksi oleh Monosodium Glutamat? 2. Apakah terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap jumlah sel

Leydig mencit jantan dewasa yang telah diinduksi oleh Monosodium Glutamat?

3. Apakah terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap diameter tubulus seminiferus mencit jantan dewasa yang telah diinduksi oleh Monosodium Glutamat?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap testis mencit jantan dewasa yang diinduksi Monosodium Glutamat.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis mencit jantan dewasa yang diakibatkan oleh induksi Monosodium Glutamat.

b. Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap jumlah sel Leydig di dalam testis mencit jantan dewasa yang diakibatkan oleh induksi Monosodium Glutamat.


(24)

c. Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap diameter tubulus seminiferus mencit jantan dewasa yang diakibatkan oleh induksi Monosodium Glutamat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi ilmu pengetahuan, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pencegahan kerusakan testis beserta sel-sel yang berperan penting dalam spermatogenesis serta berbagai penyakit lain yang mempunyai patogenesis serupa (Reaksi oksidan-anti oksidan).

2. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang ilmu Biologi Medik sekaligus dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan.

3. Bagi institusi/masyarakat :

a. Sebagai bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

b. Dapat menambah pengetahuan masyarakat terhadap efek samping yang dapat ditimbulkan oleh MSG.


(25)

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Pemberian MSG 4 mg/g berat badan akan menimbulkan terjadinya stress oksidatif pada mencit yang ditandai dengan peningkatan kadar lipid peroksidasi dan penurunan kadar asam askorbat yang akan berakibat terhadap penurunan berat testis, serta terbentuknya radikal bebas yang akan dilawan oleh tubuh mencit dengan cara meningkatkan enzim glutathione reduktase (GR), glutathione-S- transferase (GST), glutathione peroxidase (GPX) yang berfungsi untuk meningkatkan produksi glutathione yang merupakan anti oksidan.

Radikal bebas yang terbentuk dapat mengakibatkkan timbulnya lesi di hipotalamus khususnya di bagian nukleus archuata yang akan mempengaruhi sekresi hormon GnRH, jika sekresi hormon GnRH tersebut terganggu akan berakibat pada penurunan sekresi hormon LH dan FSH. Dimana hormon LH berfungsi untuk merangsang sel Leydig agar menyekresikan hormon testosteron yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinativum dalam membentuk sperma. Sedangkan hormon FSH memiliki fungsi merangsang sel-sel Sertoli untuk mengubah spermatid menjadi sperma dalam proses spermatogenesis. Selain itu radikal bebas yang dihasilkan oleh MSG dapat mengakibatkan penurunan populasi sel spermatogenik. Penurunan populasi sel-sel spermatogenik terutama sel spermatogenik sekunder dan spermatid, dapat


(26)

menyebabkan penurunan diameter tubulus seminiferus dan berat testis. Karena vitamin C merupakan antioksidan, maka diharapkan dapat menangkal stress oksidatif sehingga hal-hal diatas tidak dapat terjadi.


(27)

Gambar 1. Kerangka Teori Monosodium

Glutamat

Radikal bebas

Stress Oksidatif

 Peningkatan lipid peroksidase  Penurunan kadar

asam askorbat Vitamin C

Antioksidan

Lesi di Hipotalamus

Penurunan Sekresi FSH dan LH

Penurunan Jumlah Sel Leydig

Penurunan Populasi Sel Spermatogenik

Penurunan Diameter Tubulus Seminiferus

Penurunan peranan dan fungsi antioksidan di

testis Penurunan Sekresi

Testosteron

Gangguan Spermatogenesis

Penurunan Berat Testis


(28)

2. Kerangka Konsep

Keterangan:

: faktor-faktor yang mempengaruhi

: Memperbaiki kerusakan yang terjadi pada testis akibat pemberian MSG

: Membuat kerusakan pada testis

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Endogen:

• Hormon • Psikologis • Genetik

Faktor Eksogen: • Fisik • Kimia • Obat-obatan

Vitamin C

• Berat Testis • Jumlah Sel Leydig • Jumlah Sel Sertoli • Diameter Tubulus

Seminiferus

Monosodium Glutamat


(29)

F. Hipotesis

1. Vitamin C mempunyai pengaruh terhadap berat testis mencit (Mus musculus L) jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat. 2. Vitamin C mempunyai pengaruh terhadap jumlah sel Leydig mencit

(Mus musculus L) jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat.

3. Vitamin C mempunyai pengaruh terhadap diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculus L) jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat.


(30)

A. Sistem Reproduksi Pria

Gambar 3. Anatomi Sistem Reproduksi Pria (Anonim, 2011)

1. Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Pria a. Testis pada Manusia

Testis merupakan organ kelamin jantan yang berfungsi sebagai tempat sintesis hormon androgen (terutama testosteron) dan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Kedua fungsi testis ini menempati lokasi yang terpisah di dalam testis. Biosintesis androgen


(31)

berlangsung dalam sel Leydig di jaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus seminiferus (Syahrum, 1994). Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval, agak gepeng dengan panjang sekitar 4 cm dan diameter sekitar 2,5 cm. Bersama epididimis, testis berada di dalam skrotum yang merupakan sebuah kantung ekstra abdomen tepat di bawah penis.

Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intra abdomen yang bermigrasi ke dalam skrotum primitif selama perkembangan genitalia interna pria. Setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (prosesus vaginalis) akan menutup (Heffner & Schust, 2006).

Kedua testis terletak di dalam skrotum dan menghasilkan spermatozoa dan hormon, terutama testosteron. Permukaan masing-masing testis tertutup oleh lamina viseralis tunika vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan epididimis dan funikulus spermatikus. Tunika vaginalis ialah sebuah kantong peritoneal yang membungkus testis dan baerasal dariprocessus vaginalisembrional. Sedikit cairan dalam rongga tunika vaginalis memisahkan lamina visceralis terhadap lamina parietalis dan memungkinkan testis bergerak secara bebas dalam skrotum. Arteria testikularis berasal dari aorta pars abdominalis, tepat pada kaudal arteria renalis. Vena-vena meninggalkan testis dan berhubungan


(32)

dengan plexus pampiriformis yang melepaskan vena tetikularis dalam canalis inguinalis. Aliran limfe dari testis disalurkan ke nodi lymphoide lumbalis dan nodi lymphoidei preaortici. Saraf otonom testis berasal dari plexus testicularis sekeliling arteria testicularis (Moore, 2002).

Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri atas deretan sel epitel yang akan mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga menjadi sperma. Sel-sel yang terdapat di antara tubulus seminiferus disebut interstitial (leydig). Sel ini menghasilkan hormon seks pria yang disebut testosteron (Syahrum, 1994).

Menurut Saryono (2008), sel yang berperan dalam testis adalah:

• Tubulus seminiferus, bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa per hari selama masa produksi. Sel ini terdiri dari sperma dan sel sertoli.

• Sel leydig (sel interstisial), menyusun komponen endokrin utama yang bertanggung jawab menghasilkan testosteron.

• Sel sertoli

Ditinjau secara histologi, testis mencit terdiri atas jaringan epitel seminiferus, jaringan pengikat dinding tubulus seminiferus, jaringan


(33)

pengikat intertubuler testis dan jaringan pengikat padat pembungkus testis. Sebagaimana fungsi testis pada umumnya, maka testis mencit juga berfungsi selain merupakan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon steroid, juga bersifat sebagai kelenjar eksokrin karena menghasilkan spermatozoa (Burkittet al., 1993).

Testis terdiri atas 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing mempunyai panjang rata-rata lebih dari 5 meter. Sperma kemudian dialirkan ke dalam epididimis, suatu tubulus lain yang juga berbentuk lilitan dengan panjang sekitar 6 meter. Epididimis mengarah ke dalam vas deferens, yang membesar ke dalam ampula vas deferens tepat sebelum vas deferens memasuki korpus kelenjar prostat. Vesikula seminalis, yang masing-masing terletak di sebelah prostat, mengalir ke dalam ujung ampula prostat, dan isi dari ampula dan vesikula seminalis masuk ke dalam duktus ejakulatorius terus melalui korpus kelenjar prostat dan masuk ke dalam duktus uretra internus. Duktus prostatikus selanjutnya mengalir dari kelenjar prostat ke dalam duktus ejakulatorius. Akhirnya, uretra merupakan rantai penghubung terakhir dari sejumlah besar kelenjar uretra kecil yang terletak di sepanjang dan bahkan lebih jauh lagi dari kelenjar bulbouretralis (kelenjar Cowper) bilateral yang terletaak di dekat asak uretra (Guyton, 2007).

Secara embriogenis, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak di dalam rongga abdomen. Pada bulan-bulan terakhir


(34)

kehidupan janin, testis perlahan mulai turun keluar dari rongga abdomen melalui kanalis semi inguinalis masuk ke dalam skrotum. Meskipun waktunya bervariasi proses penurunan testis biasanya selesai pada bulan ke tujuh masa gestasi. Testis melaksanakan dua fungsinya yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron.

Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang di dalamnya berlangsung proses spermatogenesis. Sel Leydig atau sel interstitium yang terletak di jaringan ikat antara tubulus-tubulus seminiferosa inilah yang mengeluarkan testosteron. Setelah disekresikan oleh testis, kurang lebih 97% dari testosteron berikatan lemah dengan plasma albumin atau berikatan kuat dengan beta globulin yang disebut hormon seks binding globulin dan akan bersirkulasi di dalam darah selama 30 menit sampai satu jam. Pada saat itu testosteron ditransfer ke jaringan atau didegradasikan menjadi produk yang tidak aktif yang kemudian dieksresikan (Sherwood, 2004).

b. Epididimis pada Manusia

Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk koma yang menahan batas posterolateral testis. Epididimis dibentuk oleh saluran yang berlekuk-lekuk secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Duktus epididimis memiliki panjang sekitar 600 cm. Duktus ini berawal pada puncak testis yang merupakan kepala epididimis. Setelah


(35)

melewati jalan yang berliku-liku, duktus ini berakhir pada ekor epididimis yang kemudian menjadi vas deferens (Heffner & Schust, 2006).

Epididimis terletak pada bagian dorsal lateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis (Rugh, 1968). Epitel epididimis memiliki dua fungsi. Pertama, mensekresikan plasma epididimis yang bersifat kompleks tempat sperma tersuspensikan dan mengalami pematangan. Kedua, mengabsorbsi kembali cairan testikuler yang mengangkut sperma dari tubulus semineferus dan sperma yang sudah rusak (Hafez dan Prasad, 1976).

c. Vas Deferens pada Manusia

Vas deferens merupakan suatu saluran yang menghubungkan epididimis dan uretra. Letak vas deferens dimulai dari ujung kauda epididimis yang ada dalam kantung skrotum, lalu naik ke bagian atas lipat paha. Pada bagian ujungnya, vas deferens dikelilingi oleh suatu pembesaran kelenjar-kelenjar yang disebut ampula. Sebelum masuk ke uretra, vas deferens ini bergabung terlebih dahulu dengan saluran ekskresi vesika seminalis membentuk duktus ejakulatoris. Pada saat ejakulasi sperma dari epididimis diangkut melalui vas deferens dengan


(36)

suatu seri kontraksi yang dikontrol oleh syaraf (Brueschke et al., 1976).

Vas deferens akan melalui kanalis inguinalis masuk ke dalam rongga tubuh dan akhirnya menuju uretra penis. Uretra penis dilalui oleh sperma dan urin. Sperma akan melalui vas deferens oleh kontraksi peristaltik dindingnya. Sepanjang saluran sperma terdapat beberapa kelenjar yang menghasilkan cairan semen. Sebelum akhir vas deferens terdapat kelenjar vesikula seminalis. Pada bagian dorsal buli-buli, uretra dikelilingi oleh kelenjar prostat. Selain itu terdapat juga kelenjar ketiga yaitu kelenjar Cowper. Keluar dari saluran reproduksi pria berupa semen yang terdiri dari sel sperma dan sekresi kelenjar-kelenjar tersebut (semen plasma). Semen plasma berfungsi sebagai medium sperma dan dipergunakan sebagai buffer dalam melindungi sperma dari lingkungan asam saluran reproduksi wanita (Syahrum, 1994).

d. Kelenjar- kelenjar Aksesoris pada Organ Reproduksi Pria

Kelenjar-kelenjar aksesoris menghasilkan plasma semen yang memungkinkan sperma dapat bergerak aktif dan hidup untuk waktu tertentu. Kelenjar-kelenjar aksesoris tersebut adalah kelenjar Bulbourethra, kelenjar prostat, dan vesikula seminalis (Rugh, 1968).


(37)

2. Histologi Sistem Reproduksi Pria

a. Tubulus Seminiferus

Gambar 3. Tubulus Seminiferus (Junqueira, 2007)

Epitel tubulus seminiferus berada tepat di bawah membran basalis yang dikelililngi oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut jaringan peritubular yang mengandung serat-serat jaringan ikat, sel-sel fibroblast dan sel otot polos yang disebut dengan sel mioid. Diduga kontraksi sel mioid ini dapat mengubah diameter tubulus seminiferus dan membantu pergerakan spermatozoa. Setiap tubulus ini dilapisi oleh epitel berlapis majemuk. Garis tengahnya lebih kurang 150-250 µm dan panjangnya 30-70 cm. Panjang seluruh tubulus satu testis mencapai 250 m.

Tubulus kontortus ini membentuk jalinan yang tempat masing-masing tubulus berakhir buntu atau dapat bercabang. Pada ujung setiap


(38)

lobulus, lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas pendek yang dikenal sebagai tubulus rektus, atau tubulus lurus, yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran berlapis epitel yang berkesinambungan yaitu rete testis. Rete ini, terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan dengan bagian kepala epididimis oleh 10-20 duktulus eferentes (Junqueira, 2007).

Tubulus seminiferus terdiri sel spermatogenik dan sel Sertoli yang mengatur dan menyokong nutrisi spermatozoa yang berkembang, hal ini tidak dijumpai pada sel tubuh lain. Sel-sel spermatogenik membentuk sebagian terbesar dari lapisan epitel dan melalui proliferasi yang kompleks akan menghasilkan spermatozoa (Junqueira, 2007). Diameter tubulus seminiferus adalah jarak antar dua titik yang bersebrangan pada garis tenganya, titik tersebut berada pada membrana basalis tubulus seminiferus ( Maslachah, 2004).

b. Sel-sel Germinal

Spermatogonium adalah sel spermatif yang terletak di samping lamina basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 µm dan intinya mengandung kromatin pucat. Pada keadaan kematangan kelamin, sel ini mengalami sederetan mitosis lalu terbentuklah sel induk atau spermatogonium tipe A, dan mereka berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi


(39)

spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan spermatogenik, sementara spermatogonium tipe B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Junqueira, 2007). Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis turunan spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam tahap proses penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).

Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan kedua. Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y) dengan pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki ukuran yang kecil garis tengahnya 7-8 µm, inti dengan daerah-daerah kromatin padat dan lokasi jukstaluminal di dalam tubulus seminiferus. Spermatid mengandung 23 kromosom. Karena tidak ada fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua dari spermatosit, maka jumlah DNA per sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua ini menghasilkan sel-sel haploid (1N) (Junqueira, 2007).


(40)

c. Sel Sertoli

Sel Sertoli adalah sel pyramid memanjang yang sebagian memeluk sel-sel dari garis keturunan spermatogenik. Dasar sel Sertoli melekat pada lamina basalis, sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam lumen tubulus seminiferus. Dengan mikroskop cahaya, bentuk sel Sertoli tidak jelas terlihat karena banyaknya juluran lateral yang mengelilingi sel spermatogenik. Kajian dengan mikroskop elektron mengungkapkan bahwa sel ini mengandung banyak retikulum endoplasma licin, sedikit retikulum endoplasma kasar, sebuah kompleks Golgi yang berkembang baik, dan banyak mitokondria dan lisosom. Inti yang memanjang yang sering berbentuk segitiga, memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok, memiliki sedikit heterokromatin. Fungsi utama sel Sertoli adalah untuk menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi spermatozoa. Selain itu, sel Sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma selama spermatogenesis, sekresi sebuah protein pengikat androgen dan inhibin, dan produksi hormon anti-Mullerian (Junqueira, 2007).

d. Sel Leydig

Sel insterstisial Leydig merupakan sel yang memberikan gambaran mencolok untuk jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya berkelompok memadat pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan tubulus seminiferus. Sel-sel tersebut besar dengan


(41)

sitoplasma sering bervakuol pada sajian mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Umumnya pula dijumpai sel yang memiliki dua inti. Sitoplasma sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik lipid, dan pada manusia juga mengandung kristaloid berbentuk batang. Celah di antara tubulus seminiferus dalam testis diisi kumpulan jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe (Junqueira, 2007).


(42)

3. Proses Spermatogenesis dan Spermiogenesis Manusia

Gambar 5. Spermatogenesis pada Manusia (Eilts, 2004)

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan seksual aktif dari rangsangan oleh hormon gonadotropin hipofisis anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup (Guyton, 2007). Adapun tahap-tahap spermatogenesis ialah:

a. Spermatogonia primitif berkumpul di tepi membran basal dari epitel germinativum, disebut spermatogonia tipe A, membelah empat kali


(43)

untuk membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu spermatogonia tipe B.

b. Spermatogonia bermigrasi kearah sentral di antara sel-sel Sertoli. c. Untuk jangka waktu rata-rata 24 hari, setiap spermatogonium yang

melewati lapisam pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membentuk suatu spermatosit primer yang besar. Pada akhir ke-24, setiap spermatosit terbagi dua menjadi spermatosit sekunder. Pembagian ini disebut sebagai pembagian meiosis pertama.

d. Pada tahap awal dari pembagian meiosis pertama ini, semua DNA di dalam 46 kromosom bereplikasi. Dalam proses ini, masing-masing 46 kromosom menjadi dua kromatid yang tetap berikatan bersama sentromer, kedua kromatid memiliki gen-gen duplikat dari kromosom tersebut. Pada waktu ini, spermatosit pertama terbagi menjadi dua spermatosit sekunder, yang setiap pasang kromosom berpisah sehingga ke-23 kromosom, yang masing-masing memiliki dua kromatid, pergi ke salah satu spermatosit sekunder. Sementara 23 kromosom yang lain pergi ke spermatosit sekunder yang lain.

e. Dalam 2 sampai 3 hari, pembagian meiosis kedua terjadi dimana kedua kromatid dari setiap 23 kromosom berpisah pada sentromer, membentuk dua pasang 23 kromosom, satu pasang dibawa ke satu spermatid dan satu pasang yang lain dibawa ke spermatid yang kedua. Menfaat dari kedua pembagian meiosis ini adlah bahwa setia spermatid yang akhirnya dibentuk membawa hanya 23 kromosom, memiliki


(44)

hanya setengah dari gen-gen spermatogonium yang pertama. Oleh karena itu, spermatozoa yang akhirnya membuahi ovum wanita akan menyediakan setengah dari bahan genetik ke ovum yang dibuahi dan ovum akan menyediakan setengah bagian berikutnya.

f. Selama beberapa minggu berikutnya setelah meiosis, setiap spermatid diasuh dan dibentuk kembali secara fisik oleh sel Sertoli, mengubah spermatid secara perlahan-lahan menjadi satu spermatozoa (sebuah sperma) dengan menghilangkan beberapa sitoplasmanya, mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk satu kepala yang padat, dan mengumpulkan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah satu ujung dari sel untuk membentuk ekor (Spermiogenesis)

g. Semua tahap pengubahan akhir dari spermatosit menjadi sperma terjadi ketika spermatosit dan spermatid terbenam dalam sel-sel Sertoli. Sel-sel Sertoli memelihara dan mengatur proses spermatogenesis, dari sel germinal sampai sperma, membutuhkan waktu kira-kira 64 hari.

(Guyton, 2007)

Kedua tetis dari seorang manusia dewasa muda dapat membentuk kira-kira 120 juta sperma harinya. Sejumlah kecil sperma dapat disimpan dalam epididmis, tetapi sebagian besar disimpan dalam vas deferens dan ampula vas deferens. Sperma dapat tetap disimpan dan mepertahankan


(45)

kualitasnya, dalam duktus genitalis paling sedikit selama satu bulan (Guyton, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi spermatogenesis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yakni:

a. Faktor endogen

Faktor endogen ialah endokrin (hormon), psikologis dan genetik. Selain hormon stroid, terdapat juga senyawa lain yang disekresikan oleh testis yaitu inhibin. Inhibin ini dihasilkan oleh sel Sertoli dan mempunyai fungsi menekan hipofisis untuk mensekresi gonadotropin (Syahrum et al., 1994; Janqueira, 2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa 30% spermatogenesis pada manusia disebabkan oleh faktor genetik yang secara fenotip dihubungkan dengan azoosperma dan aligospermia idiopatik yang berat (Vogt, 2001).

b. Faktor eksogen

Faktor eksogen meliputi faktor fisik, dan bahan kimia dan obat-obatn. Malnutrisi, alkoholisme, dan kerja obat tertentu (seperti busulfan) dapat mengakibatkan gangguan pada spermatogonia yang kemudian menyababkan penurunan produksi spermatozoa. Radiasi sinar-X dan garam Cadmium cukup toksik terhadap sel turunan spermatogenik (Janqueira, 2007).

Spermatogenesis juga memerlukan suhu yang lebih rendah daripada suhu bagian dalam tubuh. Testis dalam keadaan normal memiliki suhu sekitar


(46)

32oC. Testis dipertahankan dingin oleh udara yang mengitari skrotum dan mungkin oleh udara yang mengitari skrotum dan mungkin oleh pertukaran panas melalui arus balik antar arteri dan vena spermatika. Bila testis tetap berada dalam abdomen atau bila pada hewan percobaan yang didekatkan ke tubuh dengan pakaian ketat akan terjadi degenerasi dinding tubulus dan sterilitas. Mandi air pana (43-45oC selama 30 menit perhari) dan busana penyokong atletik dapat menurunkan sel sperma pada manusia, kadang-kadanng sebesar 90% (Ganong, 2003).

Hormon-hormon yang berperan dalam spermatogenesis adalah sebagai berikut:

a. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium testis. Hormon ini penting untuk pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma.

b. Hormon Lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron.

c. Hormon Perangsang Folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli; tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi.

d. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli sedang dirangsang oleh hormon perangsang folikel, yang mungkin juga penting untuk spermiogenesis. Sel-sel Sertoli juga menyekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testosteron dan estrogen serta


(47)

membawa keduanya ke dalam cairan dalam lumen tubulus seminiferus, membuat kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.

e. Hormon Pertumbuhan (seperti juga pada sebagian besar hormon yang lain) diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Secara khusus hormon tersebut meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sendiri. Bila tidak terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali (Ganong, 2008).

B. Monosodium Glutamat (MSG)

Gambar 6. Rumus Bangun Monosodium Glutamat (Lӧ liger, 2000)

1. Kimia Monosodium Glutamat

Monosodium Glutamat pertama sekali berhasil diisolasi oleh DR. Kikunea Ikeda di Universitas Tokya, pada tahun 1908, yang merupakan seorang ahli kimia berkembangsangan Jepang (George R, 1999), dengan rumus kimia C5H8O4NNaH2O. Dr. Ikeda mengisolasi asam glutamate tersebut dari rumput laut ‘kombu’ yang biasa digunakan dalam masakan Jepang. Dr. Ikeda menemukan rasa lezat dan gurih dari MSG yang berbeda dengan rasa yang pernah dikenalnya, oleh karena itu maka dia menyebut rasa itu


(48)

dengan sebutan ‘umami’ yang berasal dari bahasa jepang ‘umai’ yang berarti enak dan lezat. MSG sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin. Akan tetapi ketika MSG ditambahkan dengan konsentrasi rendah pada makanan yang sesuai, maka rasa, kenikmatan dan penerimaan terhadap makanan tersebut akan meningkat (Halpernet al., 2002).

Asam Glutamat digolongkan pada asam amino non esensial karena tubuh manusia sendiri dapat menghasilkan asam glutamat. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan 2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang menjadi ciri pada asam amino. Struktur kimia MSG sebenarnya tidak banyak berbeda dengan asam glutamat, hanya pada salah satu gugus karboksil yang mengandung hidrogen diganti dengan natrium. Gugus karboksil setelah siionisasi dapat mengaktifkan stimulasi rasa pada alat pengecap (Naim, 1979).

Glutamat dibuat dalam tubuh manusia dan memainkan peran esensial dalam metabolisme. Hampir dua kilogram glutamat secara alami ada di dalam otak, ginjal, hati, dan pada jaringan lain pada tubuh manusia. Di samping itu glutamat terdapat dalam jumlah besar di air susu ibu, sekitar sepuluh kali lipat yang terdapat dalam susu sapi. Rata-rata seseorang mengkonsumsi antara 10 dan 20 gram glutamat terikat dan satu gram glutamat bebas dari makanan yang kita makan setiap hari terdapat pada


(49)

bermacam-macam sayuran daging, seafood, dan air susu ibu. Glutamat dalam bentuk alami didapat dari makanan seperti tomat, keju, susu, daging, kacang kapri, jamur, dan kecap yang merupakan hasil fermentasi (FDA,1995). MenurutThe Glutamic AssociationAmerika Serikat, protein yang dikonsumsi sehari-hari mengandung 20-25% glutamat (Uke, 2008). Tubuh manusia terdiri dari 14-17% protein dan seperlimanya merupakan asam glutamat, bila berat tubuhnya 70 kg rata-rata mengandung 2 kg glutamat dalam protein tubuhnya (Sardjono, 1989).

Monosodium glutamat (MSG) adalah garam sodium “L glutamat acid” yang mudah larut dalam air dan tidak berbau. Dibuat melalui proses fermentasi dari tets-gula (molases) oleh bakteri Brevibacterium lactofermentum. Dari fermentasi ini dihasilkan asam glutamat. Asam glutamat kemudian ditambah soda (Natrium karbonat) sehingga terbentuk monosodium glutamat (MSG), kemudian dimurnikan dan dikristalisasi, sehingga merupakan serbuk kristal murni, yang siap dijual di pasar dan merupakan ramuan makanan yang umum (Widharto et al., 2000). MSG sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit dan asin. Akan tetapi ketika MSG ditambahkan dengan konsentrasi rendah pada makanan yang sesuai maka rasa, kenikmatan, dan penerimaan terhadap makanan tersebut akan meningkat (Halpernet al., 2002).


(50)

Rangsangan selera dari makanan yang diberi MSG disebabkan oleh kombinasi rasa yang khas dari efek sinergis MSG dengan 5 ribonukleotida yang terdapat di dalam makanan, yang bekerja pada membran sel reseptor kecap. MSG bila larut dalam air ataupun saliva akan dengan cepat berdisosiasi manjadi garam bebas dan manjadi bentuk anion dari glutamat. Kemudian ion glutamat ini akan membuka channel Ca 2+ pada neuron yang terdapat pada teste bud sehingga memungkinkan ion Ca 2+ bergerak ke dalam sel sehingga menimbulkan depolarisasi reseptor yang akan menimbulkan potensial aksi yang sampai ke otak lalu diterjemahkan sebagai rasa yang lezat. MSG kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di sekuluh dunia (Geha et al, 2000) dan menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di Asia Tenggara (Widharto et al., 2000) dan di berbagai negara maju lainnya.

2. Metabolisme Monosodium Glutamat

Tubuh manusia membuat sekitar 50 g glutamat bebas setiap hari. Sebagian besar glutamat dalam makanan dengan cepat dimetabolisme dan digunakan sebagai sumber energi. Dari sudut nutrisi, glutamat adalah asam amino non esensial yang berarti bahwa jika diperlukan badan kita dapat membuat sendiri glutamat dari sumber protein lain. Asam glutamat merupakan metabolit yang penting dalam metabolisme asam amino dan merupakan sumber energi utama pada sel otot jantung. MSG ditambahkan dengan bentuk sediaan garam monosodium murni ataupun bentuk campuran komponen asam amino dan petida yang berasal dari asam atau


(51)

enzim hidrolisa protein (Gehaet al., 2000). Metabolisme asam amino non esensial glutamat, menyebar luas di dalam jaringan tubuh. Dilaporkan bahwa 57% dari asam amino yang diabsorpsi dikonversi menjadi urea melalui hati, 6% menjadi plasma protein, 23% absorpasam amino melalui sirkulasi umum sebagai asam amino bebas, dan sisanya 14% tidak dilaporkan dan diduga disimpan sementara di dalam hati sebagai protein hati atau enzim. Kenyataannya bahwa semua glutamat yang di makan dari bahan makanan hanya 4 % yang keluar dari tubuh (Uke, 2008).

Sementara itu Ohara dan kawan-kawan (2008) melaporkan bahwa pemberian MSG dosis tunggal 1 g/kg berat badan mencit dewasa, yang diberikan secara intraperitonial, subkutan, atau per oral selama 10 hari, 23 hari, dan 4 bulan, akan menyebabkan kadar asam gluatam plasma naik dengan cepat mencapai nilai maksimal dalam 10-30 menit setelah pemberian dan kembali ke normal dalam 90 menit. Kadar puncak asam glutamat setelah pemberian oral nyata lebih rendah dibanding dengan intraperitonial atau subkutan. Olney (2008) juga melaporkan bahwa pemberian MSG secara subkutan akan menyebabkan kadar glutamat plasma pada neonatus mencit lebih tinggi daripada mencit dewasa. Jadi, kapasitas metabolisme asam glutamat oleh hati meningkat sejalan dengan meningkatnya umur. Kadar asam glutamat plasma yang dapat dideteksi selalu lebih tinggi jika MSG diberi melalui minum dibanding dengan makan pada dosis yang sama (Sardjono. 1989).


(52)

Bila MSG larut dalam air ataupun ludah akan berdisosiasi dengan cepat menjadi garam bebas dalam bentuk anion glutamat, kemudiam ion ini akan membuka saluran Ca2+ pada sel saraf yang terdapat kuncup perasa sehingga memungkinkan ion Ca2+ memasuki sel sehingga menimbulkan depolarisasi reseptor. Depolarisasi selanjutnya menimbulkan potensial aksi yang sampai ke otak untuk kemudian diterjemahkan oleh otak sebagai rasa lezat. Pemberian MSG secara parenteral akan memberikan reaksi yang berbeda dibanding per oral karena pada pemberian secara parenteral, MSG tidak melalui usus dan vena porta. Sedangkan pada pemberian per oral, MSG akan melalui usus sebelum memasuki sirkulasi porta ke hati (Machrina, 2009).

Selanjutnya asam glutamat di transmisikan dengan piruvat menjadi alanin. Alanin hasil transmisi, oleh asam amino dikarboksilat, diubah menjadi ketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya jumlah asam amino dikarboksilat yang di lepas ke dalam darah porta. Asam glutamat dan asam aspartat yang lolos dari metabolisme mukosa dibawa ke hati melalui vena porta. Sebagian asam glutamat dan aspartat dikonversi menjadi glukosa dan laktat sebelum memasuki pembuluh darah perifer. Hati mempunyai kemampuan terbatas memetabolisme asam glutamat menjadi metabolit lain. Karena itu, apabila kadar glutamat menjadi melebihi kemampuan kapasitas hati untuk metabolismenya, maka kadar glutamat plasma akan meningkat. Kadar asam glutamat plasma tidak


(53)

pernah melebihi atau melampaui lima kali kadar basal jikia MSG diberi bersama makanan (Machrina, 2009).

Kadar puncak glutamat yang dicapai hewan dewasa setelah mengkonsumsi MSG secara oral ialah 1g/kg berat badan, kadar terendah dijumpai pada kelinci dan meningkat secara progresif pada monyet, anjing, mencit, tikus, dan marmut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kadar puncak asam glutamat plasma adalah rute pemberian (oral <subkutan <intraperitoneal), konsentrasi MSG dalam larutan (2%, 10%), dan usia )hewan baru lahir memetabolisme asam glutamat lebih rendah dari pada dewasa). Diperkirakan seorang dengan berat badan 70 kg setiap harinya dapat memperoleh asupan asam glutamat sekitar 28 g yang berasal dari makanan dan hasil pemecahan protein dalam usus. Pertukaran asam glutamat setiap harinya dalam tubuh sekitar 48 g. Tapi jumlahnya dalam darah sedikit sekitar 20 mg karena kecepatannya mengalami ekstraksi dan penggunaan oleh beberapa jaringan termasuk otot dan hati. (Garattini, 2000).

Glutamat merupakan suatu neurotransmitter yang penting untuk komunikasi antar neuron, jika berlebihan akan dipompakan kembali ke dalam sel glial sekitar neuron, dan akan menyebabkan neuron tersebut mati (Gold, 1995; Garattini, 2000). Glutamat akan membuka saluran kalsium neuron sehingga kalsium masuk ke dalam sel. Reaksi kimia yang berlangsung dalam sel secepatnya melepaskan bahan-bahan kimiawi yang


(54)

merangsang neuron berdekatan. Asam arakidonat merupakan salah satu hasil reaksi kimia yang akan bereaksi dengan enzim dan menghasilkan radikal bebas seperti radikal hidroksil (Gold, 1995).

3. Efek Biologis Monosodium Glutamat

Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (Food and Drugs Administration, FDA) Amerika Serikat mengklasifikasikan MSG sebagai bahan yang aman untuk dikonsumsi (Generally Recognized As Safe, GRAS) seperti bahan makanan lainnya, misalnya garam, cuka, dan pengembang kue (FDA, 1995). Sejalan dengan itu, hasil penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa konsumsi MSG sampai dengan 1,5 – 3,0 g per hari tidak menimbulkan efek apapun terhadap manusia (Widhartoet al., 2000).

Namun demikian, berbagai penelitian juga melaporkan adanya efek yang timbul setelah mengkonsumsi MSG. Satu diantaranya adalah dilaporkannya kasus MSG Symptom complex yang timbul setelah satu jam mengkonsumsi MSG sebesar 3 g melalui makanan, terutama jika dikonsumsi dalam kondisi perut kosong (FDA, 1995). MSG-Symptom complex ditandai dengan rasa terbakar dan kebas di belakan leher, lengan dan dada, hangat di wajah dan pundak, rasa nyeri di dada, sakit kepala, mual, denyut jantung meningkat, bronkospasme (FDA, 1995). Selain itu Ronald (2000) juga melaporkan bahwa konsumsi MSG dapat memicu timbulnya penyempitan saluran nafas pada penderita asma. Pemberian


(55)

MSG 4 mg dan 8 mg/g berat badan secara subkutan selama 6 hari menyebabkan hiperlipidemia, hiperglikemia, stress oksidatif, serta meningkatkan total lipid, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas secara signifikasi. MSG juga menyebabkan pengerasan pembuluh darah (aterosklerosis) yang menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner (Akhtar, 2008).

4. Efek Monosodium Glutamat Terhadap Sistem Reproduksi

Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) melaporkan adanya dua kelompok orang yang cenderung mengalami kompleks gejala MSG (MSG-Symptomp complex), kelompok orang pertama yang tidak toleran terhadap konsumsi MSG dalam jumlah besar dan kelompok kedua merupakan orang dengan penyakit asma tidak terkontrol, orang-orang ini cenderung mengalami kompleks gejala MSG, perburukan gejala asma yang bersifat sementara setelah mengkonsumsi MSG dengan dosis antara 0,5 g sampai 2,5 g (FDA. 1995).

Penelitian terhadap pasien infertil dengan keadaan oligosperma, motilitas sperma rendah dan jumlah sperma bentuk normal yang rendah, setelah diberikan suplemen vitamin C 1000 mg per hari selama 2 bulan, memperlihatkan peningkatan jumlah sperma, motilitas sperma, dan jumlah sperma yang morfologinya normal (Akmal et al., 2006). Pada mencit baru lahir (usia 2 sampai 11 hari) yang disuntikkan MSG 4 mg/g berat badan secara subkutan menimbulkan terjadinya disfungsi sistem reproduksi


(56)

jantan dan betina yang manifestasinya akan muncul pada usia dewasa berupa pada mencit betina menimbulkan kehamilan lebih sedikit dan ovarium lebih kecil dan pada mencit jantan menimbulkan penurunan berat testis (Pizzi et al., 1997; Miskowiak et al., 1993). Tikus baru lahir yang diberikan MSG secara suntikan intraperitoneal dengan dosis 4 mg/g berat badan setiap dua hari sampai 10 hari, pada usia pubertas akan memperlihatkan penurunan berat testis, jumlah sel sertoli dan sel leydig per testis, peningkatan kadar leptin, penurunan kadar LH, FSH, testosteron dan T4 bebas, hal yang sama dijumpai pada tikus saat usia dewasa tapi jumlah sel leydignya tetap (Francaet al., 2006; Miskowiaket al., 1993).

Penelitian selanjutnya memperlihatkan bahwa salah satu mekanisme yang mungkin berperan dalam timbulnya efek toksik akibat pemberian MSG pada sistem reproduksi jantan mungkin diperantarai melalui efeknya dalam menurunkan kadar asam askorbat. Penelitian tersebut dilakukan terhadap tikus Wistar jantan dewasa yang disuntikkan MSG dengan dosis 4g/kg berat badan selama 15 hari (kelompok jangka pendek) dan selama 30 hari (kelompok jangka panjang), memperlihatkan bahwa MSG menurunkan berat testis, jumlah sperma, kadar asam askorbat dalam testis dan meningkatkan jumlah sperma abnormal. Pada kelompok jangka pendek memperlihatkan penurunan jumlah sperma normal dan peningkatan jumlah sperma dengan ekor abnormal secara signifikan pada kelompok jangka pendek ketika dibandingkan dengan kelompok jangka panjang (Nayantaraet al., 2008).


(57)

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Vinodini et al (2008) memperlihatkan bahwa MSG dengan dosis 4g/kg berat badan secara intra peritoneal selain menimbulkan terjadinya penurunan berat testis dan penurunan kadar asam askorbat dalam testis, juga memperlihatkan peningkatan kadar peroksidasi lipid dalam testis dan pada kelompok jangka pendek meperlihatkan kerusakan oksidatif yang lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok jangka panjang.

C. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah spesies kimia yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga dapat menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid, dan protein. Radikal ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga spesies kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 1999).

Radikal bebas adalah molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluamya, sehingga bersifat reaktif dan tidak stabil, sehingga cenderung untuk berikatan dengan senyawa lain untuk membentuk molekul yang stabil. Radikal bebas dapat dihasilkan dari dalam tubuh (endogen) dan juga dari luar tubuh (eksogen). Radikal bebas endogen adalah radikal yang dihasilkan dari dalam tubuh misalnya radikal dari mitokondria,


(58)

xantinoksidase, NADPH oksidase, mikrosom, membran inti sel dan peroksisom. Radikal bebas eksogen adalah radikal yang dihasilkan dari lingkungan luar seperti, asap rokok, radiasi UV, bahan kimia toksik. Jenis-jenis radikal bebas yang merusak sel terdiri dari (Setiati S, 2003):

1. Reactive Oxygen Species (ROS),

yaitu senyawa reaktif turunan oksigen misalnya radikal superoksida, radikal hidroksil (OH-), radikal alkoksil (RO), radikal peroksil (R02) serta senyawa bukan radikal yang berfungsi sebagai pengoksidasian atau senyawa yang mudah mengalami perubahan menjadi radikal bebas seperti hidrogen peroksida (HP), ozon (03) dan HOCI.

2. Reactive Nitrogen Species (RNS),

misalnya nitrogen dioksida (N02-), dan peroksi nitrit (ONOO-) dan bukan radikal seperti HN02 dan N2O4.

Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul ini. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, katarak (Silalahi, 2006).

Oksigen dijumpai dalam bentuk diatomic molecule. Pada keadaan normal pada rantai pernafasan (respiratory chain), oksigen berperan sebagai akseptor terakhir dari elektron. Kemudian bersama-sama 2H+ akan membentuk satu


(59)

molekul H2O. Selain itu, oksigen dapat menjadi toxic mutagenic gas yang kemudian dikenal sebagai ROS (Reactive Oxygen Species). ROS merupakan senyawa oksigen yang bersifat reaktif. Senyawa ini pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Senyawa oksigen reaktif yang bersifat radikal, seperti radikal superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal peroksil (RO2-), dan radikal hidroperoksil (HO2-).

2. Senyawa oksigen reaktif yang bersifat nonradikal (oksidan), seperti hydrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorat (HOCl), ozon (O3), singlet oksigen (-O2) dan peroksinitrit (ONOO) (Sudiana, 2008).

Secara fisiologis tubuh memang menghasilkan ROS (radikal bebas atau oksidan), adapun sumber penghasil ROS antara lain mitokondria, fagosit, xanthine oksidase, peroksisome, iskemi atau reper fusi, jalur pada pembentukan asam arakhidonat, dan sebagainya. Bahan tersebut dihasilkan oleh tubuh untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Namun bila radikal bebas atau oksidan yang dihasilkan oleh tubuh berlebihan, maka bahan tersebut akan dinetralisir oleh anti radikal bebas atau antioksidan yang dikenal dengan Scavenger enzyme, seperti superoksida dismustase (SOD), katalase atau glutation peroksidase. Apabila rasio antara radikal bebas atau oksidan lebih besar daripada antiradikal bebas atau antioksidan, maka keadaan ini dikenal sebagaistress oksidatif(Sudiana, 2008).


(60)

Beberapa sumber radikal bebas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Sumber Radikal Bebas

Sumber Internal Sumber Eksternal

Mitokondria Fagosit

Xantin Oksidase

Reaksi yang melibatkan besi dan logam transisi lainnya

Arachidonat Pathway Peroksisome

Olahraga Peradangan Iskemi/ reperfusi

Rokok Sigaret Polutan Lingkungan Radiasi

Ozon

Zat-zat kimia, obat-obatan tertentu, pestisida, anesthesi, larutan industri

(Tuminah, 2000)

D. Vitamin C

1. Gambaran Umum Vitamin C

Vitamin C berhasil di isolasi untuk pertama kalinya pada tahun 1928 dan pada tahun 1932 Albert Szent-Gyorgyi menemukan bahwa vitamin ini merupakan agen yang dapat mencegah sariawan (Anonim, 2010). Asam askorbat adalah vitamin yang dapat larut dalam air dan sangat penting untuk biosintesa kolagen, kernitin, dan berbagai neurotransmitter. Kebanyakan tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat mensintesa asam


(61)

askorbat untuk kebutuhannya sendiri. Akan tetapi manusia dan golongan primata lainnya tidak dapat mensintesa asam askorbat disebabkan karena tidak memiliki enzim gulonolactone oxidase, begitu juga dengan marmut dan kelelawar pemakan buah. Oleh sebab itu asam askorbat harus disuplai dari luar tubuh terutama dari buah, sayur, atau tablet suplemen vitamin C. Banyak keuntungan di bidang kesehatan yang didapat dari fungsi asam askorbat, seperti fungsinya sebagai anti oksidan, anti atherogenik, imunomodulator dan mencegah flu (Naidu, 2003). Akan tetapi untuk dapat berfungsi dengan baik sebagai antioksidan, maka kadar asam askorbat ini harus terjaga agar tetap dalam kadar yang relatif tinggi di dalam tubuh (Yi Li, 2007).

2. Sumber-sumber Vitamin C (Asam Askorbat)

Asam askorbat banyak ditemukan di dalam buah-buahan dan sayuran segar. Buah yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah jeruk, lemon, semangka, strawberi, mangga, dan nenas. Sedangkan sayuran yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah sayuran yang berwarna hijau, tomat, brokoli, dan kembang kol. Kebanyakan tumbuhan dan hewan mensintesa asam askorbat dari glukosa-D atau galaktosa-glukosa-D. Sebagian besar hewan memproduksi asam askorbat yang relatif tinggi dari glukosa yang terdapat di liver (Naidu, 2003).

Asam askorbat merupakan molekul yang labil, sehingga dapat hilang dari makanan pada saat dimasak. Asam askorbat sintesis tersedia dalam


(62)

berbagai macam suplemen, bentuknya dapat berupa tablet, kapsul, tablet kunyah, bubuk kristal, dan dalam bentuk larutan. Baik asam askorbat yang alami maupun sintetis memiliki rumus kimia yang identik dan tidak terdapat perbedaan aktivitas biologi dan bioavailibilitasnya (Naidu, 2005).

3. Biokimia Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 178,13 dengan rumus bangun C6H8O6, dalam bentuk kristal tidak berwarna dengan titik cair 190-192oC. Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% C6H8O6. Asam askorbat adalah suatureduktor. Sifat reduktor tersebut disebabkan oleh mudah terlepasnya atom-atom hydrogen pada gugus hidroksil yang terikat pada atom C2 dan atom C3 (atom-atom C pada ikatan rangkap). Akibat pengaruh oksigen, zat-zat pengoksidasi lemah, atau oleh pengaruh enzim asam askorbat oksidase, asam askorbat mudah mengalami oksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Reduksi asam dehidroaskorbat karena vitamin C bersifat reduktor akan menghasilkan asam askorbat kembali. Oksidasi secara timbal balik ini juga terjadi di dalam tubuh. Karena memiliki sifat mudah teroksidasi, asam askorbat digunakan sebagai antioksidan (Sumardjo, 2006).

Vitamin C (asam askorbat) merupakan 6 karbon lakton yang disintesa dari glukosa yang terdapat dalam liver. Nama kimia dari asam askorbat ialah 2-oxo-L-threo-hexono-1,4-lactone-2,3-enediol. Bentuk utama dari asam askorbat yang dinamakan adalah L-ascorbic dan dehydroascorbic acid


(63)

(Naidu, 2003). Kebanyakan spesies mamalia dapat mensintesa asam askorbat kecuali manusia dan primata lainnya, marmut dan kelelawar pemakan buah juga tidak dapat mensintesa asam askorbat (Luck, 1995). Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki enzim gulonolakton oksidase yang sebenarnya sangat penting dalam mensitesa immediate precusor asam askorbat yaitu 2-keto-1-gulonolakton. DNA yang memberi kode untuk gulonolakton oxidase telah mengalami mutasi sehingga menyebabkan ketidakberadaan enzim yang berfungsi.

Vitamin C merupakan donor elektron dan juga merupakan reducing agent. Asam askorbat mendonorkan dua elektron dari dua ikatan antara karbon kedua dan ketiga dari 6 molekul karbon. Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan elektronnya ia mencegah zat-zat komposisi yang lainteroksidasi. Bagaimanapun akibat dari reaksi ini secara alamiah vitamin C juga akan teroksidasi. Setelah vitamin C mendonorkan elektronnya, dia akan menghilang dan digantikan oleh radikal bebas semidehydroaskorbic acid atau radikal ascorbyl, yang merupakan zat yang terbentuk akibat asam askorbat kehilangan 1 elektronnya, bila dibandingkan dengan radikal bebas yang lain, radikal aascorbyl ini relatif stabil dan tidak reaktif.

Hal inilah yang menyebabkan asam askorbat menjadi antioksidan pilihan, karena radikal bebas yang reaktif dan berbahaya dapat berinteraksi dengan asam askorbat, lalu direduksi dan radikal ascorbyl yang kemudian


(64)

terbentuk menggantikannya ternyata kurang reaktif bila dibandingkan dengan radikal bebas tersebut. Bila radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acidsudah dibentuk maka dia akan dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat sedikitnya dengan tiga jalur enzym yang terpisah dengan cara mereduksi komponen yang terdapat di sistem biologi seperti glutation, akan tetapi pada manusia hanya sebagian yang direduksi kembali menjadi asam askorbat yang lain tidak dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat. Dehydroascorbic acid yang telah terbentuk kemudian dimetabolisme dengan cara hidrolisis.

4. Hubungan Vitamin C (Asam Askorbat) Terhadap Fertilitas

Asam askorbat memberikan efek baik kepada integritas dari struktur tubular maupun fungsi sperma. Pada tubular dapat diasumsikan bahwa asam askorbat dibutuhkan untuk sekresi dan pemeliharaan lapisan kolagen tipe I dam IV, yang merupakan bagian utama dari kompleks lamina basalis. Pada endokrin, asam askorbat menstimulasi oxitosin. Defisiensi asam askorbat telah lama dihubungkan dengan jumlah sperma yang rendah, peningkatan jumlah sperma yang abnormal, mengurangi motilitas dan aglutinasi.

Pada beberapa penelitian telah dibuktikan bahwa asupan asam askorbat dapat memperbaiki kualitas sperma. Efek yang menguntungkan dari asam askorbat ini mungkin adalah hasil dari pemecahan radikal bebas yang


(65)

sering timbul akibat polusi lingkungan dan metabolisme selular yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif dari DNA.

Kadar leptin meningkat beberapa kali lipat (2,41: 8,07) pada tikus prepubertal yang diberi MSG, pada tikus tersebut menunjukkan kadar plasma LH, FSH, T, dan FT menurun secara signifikan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan testis, proliferasi sel sertoli dan sel leydig terganggu dengan pemberian MSG selama prepubertas. Tikus dewasa yang diberi MSG menunjukkan peningkatan kadar leptin dan penurunan kadar LH, FSH, tetapi kadar T dan FT menunjukkan dalam keadaan normal dan juga tidak terlihat perubahan struktur testis.

Pada tikus dewasa yang diberi MSG terlihat adanya penurunan jumlah sel sertoli yang signifikan. Dari penjelasan di atas mengindikasikan bahwa pemberian MSG pada tikus menunjukkan karakteristik hubungan perubahan Hypothalamus-pitutary-gonadal (HPG) gangguan proliferasi sel sertoli dan sel leydig, mengurangi jumlah sel sertoli, penurunan berat organ seksual, menunjukkan keadaan hyperleptinemia jangka panjang menjadi faktor utama rusaknya axis HPG pada tikus jantan yang diberi MSG (Franca,et al., 2006).


(1)

Administration, U.S.F.A.D. 1996.Monosodium Glutamate. FDA Medical bulletin, 26 Number 1.

Agarwal, A; Prabakaran, A; Said, T.M. 2005.Prevention of oxidative stress injury to sperm, Journal of Andrology, 26: 654-600.

Agarwal, A; Prabakaran, A; Said, T.M. 2005. Oxidative Stress And Antioxidants In Male Infertility A Difficult Balance, Iranian Journal Of Reproductive Medicine, 3(1): 1-8.

Ahluwalia, P., K. & Choudhary, P. 19996.Studies on the effects of Monosodium Glutamat (MSG) on Oxidative Stress in Erythrocytes of Adult Male Mice. Toxicol Lett. 84: 161-165.

Akmal, M., Qadri, J.Q. Al-Waili, N.S., Thangal, S., Haq, A. & Saluum, K. Y. 2006.Improvement in Human Semen Quality After Oral Supplementation of Vitamin C. J Med Food. 9, 440-2.

Anggara U. 2000.Aditif Makanan dan Obat-obatan. Pusat Penyelidikan Racun Negara (USM). Jurnal Kedokteran Malaysia. 2: 19-23 C.

Anonymous. 2006.Standard of ASEAN Herbal Medicine, 2nd Ed. ASEAn Countries.Jakarta

Anonymous. 2011.System Reproduction of Men.

http://health.allrefer.com/health/orchitis-male-reproductive-anatomy.html Bruce E Eilts. 2004.Spermatogenesis.

http://www.vetmed.lsu.edu/eiltslotus/theriogenology-5361/male%20reprod_2.htm

Brueschke, E., L.J.D. Zaneveld, M.J. Free, and J.R. Wingfield. 1976.Vas Deferens Contraceptive Methodology. Human Semen and Fertility Regulationi in Men.


(2)

Burkitt, H. G., B. Young dan J. W. Heath. 1993.Functional Histology, A Text and Colour Atlas. London: Langman Group.

Camihort G. Dumm CG, Luna G. Ferese C, Jurad S, Moreno G. 2005.

Relationship Between Pituitary and Adipose Tissue After Hypthalmic Denervatin in Female Rat. Cell Tissue Organs. 179: 192-201.

Dharmawan I. 2000.Nutrisi dan Makanan Tambahan. Jakarta : penerbit PT Penebar Swadaya.

Dhindsa KS. 1981.Histological Changes in the Thyroid Gland Induced by Monosodium Glutamat in Mice. An Atlas of Human Anatomy Eweka, A. O.& Om'iniabohs, F. 2007.Histological Studies Of The Effects Of

Monosodium Glutamate On The Small Intestine Of Adult Wistar Rats. J. biomed, 2, 14-18.

Eweka, A.& Om'iniabohs, F. 2008.Histological studies of the effects of monosodium glutamate on the liver of adult wistar rats. Journal of Gastroenterology, 2,1-9.

Farombi, E. O. & Onyema, O. O. 2006Monosodium Glutamate-Induced Oxidative Damage And Genotoxicity In The Rat: Modulatory Role Of Vitamin C,Vitamin E And Quercetin. Human & Experimental Toxicology 25, 251-259.

Fauzi, T.M. 2008.Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Dan Vitamin C Terhadap Peroksidasi Lipid Dan Kualitas Spermatozoa Di Dalam Sekresi

Epididimis Mencit Jantan ( Mus Musculus L.)Pascasarjana, Thesis, Universitas Sumatera Utara.

FDA. 1995.FDA and Monosodium Glutamate (MSG).

http://www.fda.gov/opacom/backgrounders/msg.html

Federer, W. Y. 1963.Experimental Design, Theory and Application. New York: Mac. Millan. hal. 544.

Fiore, M.S.H. 1986.Atlas of Human Histology. Edisi V, EGC. Jakarta. Hal: 208-209.

Franca, L. R., Suescun, M. O., Miranda, J. R., Giovambatista, A., Perello, M., Spinedi, E. & Calandra. 2006.Testis Structure And Function In A Non-Genetic Hyperadipose Rat Model At Pra Pubertal And Adult Ages. Endocrinology, 147, 1556-15563.

Ganong, W.F. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 22. EGC. Jakarta. Hal: 441-449.


(3)

Geha, R., Beiser, A., Ren, C., Patterson, R., Greenberger, P., Grammer, L., Ditto, A., Harris, K.., Saughnessy, M., Yarnold, P., Corrent, J. & Saxon, A. 2000.Review of Alleged Reactionto Monosodium Glutamate and Outcome of a Multicenter Double-Blind Placebo-Controlled Study. The Journal of Nutrition, 130, 1058S-1062S.

George J Siegel, Bernard W Agranoff, R Wayne Albers, Stephen K Fisher, dan Michael D Uhler. (1999).Basic Neurochemistry - Molecular, Cellular and Medical Aspects : Excessive Glutamate Receptor Activation and Neurological Disorders(edisi ke-6). Lippincott-Raven. ISBN 0-397-51820-X.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=bnchm&part=A11 38#A1139. Diakses pada 01 Oktober 2011.

Gulkesen KH, Erdogru T, Sargin CF, Karpuzoglu G. Expression of extracellular matrix proteins and vimentin in testes of azoospermic man: an immunohistochemical and morphometric study. Asian J Androl [serial online]. 2002 [ c i t ed 2 0 0 4 Nov 6 ] ; 5 5 - 6 0 . Ava i l abl e f rom: http://www.asiaandro.com/1008-682X/4/55.htm

Gupta S., Pandey R., Katyai R., Aggarawal HK., Aggarawal RP, Aggarawal SK. 2005.Lipid Peroxide Levels and Antioxidant Status in Alcoholic Liver Disease. Ind J. Clinic. Biochem 20 (1): 67-71

Hafez, E.S.E., and Prasad, M.R.N. 1976.Functional Aspects of The Epididymis. in Human Semen and Fertility Regulation in Men. St. Louis: CV Morsby Company. hal. 31-41.

Halliwel B, Gutteridge Jm. 1999. Free Radicals, Reactive Species And

Toxicology. Free Radicals In Biology And Medicine, 3rdEd. New York; Oxford University Press; 256-350

Halliwell B, Auoroma 01 Cuppett S. L. (editor), 1997, Free Radical And Antioxidants: The Need For Invivo Marker Of Oxidative Stress. In Antioxidants Method: Invivo & Invivo Concepts, AOCSPress.

Halliwell B, Gutteridge JMC, 1999, Free Radical In Biology And Medicine 3 rd, Oxford.

Heffner, L.J. dan Schust, D.J. 2006.At a Glance Sistem Reproduksi. Edisi Ke-dua. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 24.

Herlina, Meriani. 2011.Pengaruh Pemberian Vitaminj E Terhadap Gambaran Histologis Testis dan Jumlah Sel Sperma Mencit (Mus musculusL) yang Terpapar Tuak.

J.W. Olney. 1969.Brain Lesion, Obesity, and Other Disturbance in Mice Treated with Monosodium Glutamate, Science: 164, 719-72


(4)

Johnsen SG. 1970. Testicular Biopsy Score Count A method for Registration of Spermatogensis in Human Testis Hormone.

Junqueira, L.C. 2007.Histologi Dasar, Teks dan Atlas, edisi 10, EGC, Jakarta. Hal: 416-417.

Lamperti, A. A. & Pickard, G. E. 1984. Immunohistochemical Localization Of Luiteinizing Hormon-Releasing Hormone (LHRH) In The Hypotalamus Of Adult Female Hamster Treated Neonatally With Monosodium Glutamate Or Hyperonic Saline. Anat Rec. 209, 131-141.

Lea, M.C., S. C. Becker-Silva, H. Chiarini-Garcia, L. R. França. 2004. Sertoli cell efficiency and daily sperm production in goats (Capra hircus). Anim. Reprod. v.1, n.1, p.122-128.

Lewis, D., Stegink, L., Filler jr, I George, Baker. 1973.Monosodium Glutamat Metabolism In Neonatal Pig : Effect Of Load Plasma Brain, Muscle And Spinal Fluid Free Amino Acid Levels. J. Nutr. 103: 1138-1145.

Löliger, J. 2000.Function and Importance of Glutamate for Savory Foods. Journal of Nutrition. 130 , 915S-920S

Luck, R, M., Jeyaseelan, J., Scholes, A, R. 1995.Asorbic Acid And Fertility. Biol Repro, 52, 262-266.

Lutz Slomianka. 2009.Gambaran Histologi Sel Lydig dan Sel Sertoli.

http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/corepages/malerepro/malerepro. htm

Machrina, Yetty. 2009.Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat terhadap Perkembangan Folikel dan Siklus Estrus Mencit Betina. Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, M. Naim. 1979.Self Selection of Food and Water Flavored with Monosodium

Glutamate, New York: Raven Press 11-23.

Miskowiak, B., Limanowski, A. & Partyka, M. 1993.Effect Of Perinatal

Administration Of Monosodium Glutamate (MSG) On The Reproductive System Of The Male Rat. Endocrynol Pol, 44, 497-505.

Naidu, K. 2003.Vitamin C In Human Health And Disease Is Still A Mystery?. Nutrition Journal, 1-10

Nayantara, A., Vinodini, N., Damodar, G., Ahamed, B.,Ramaswamy, C., Shabarinath & Bath, R. 2008.Role Of Ascorbic Acid In Monosodium Glutamate Mediated Effect On Testicular Weight, Sperm Morphology And Sperm Count, In Rat Testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, 3.


(5)

Prawirihardjono, W., Dwiprahassto, I., Astuti,I., Hadiwandowo, S., Kristin, E., Muhammad, M., dan Kelly, M. 2000. The Administrtion to Indonesians of Monosodium L-Glutamate in Indonesiaan Foods: An Assessment of Adverse Reaction in Randomized Double-Blind, Croosover, Placebo-Controlled Study.Journal of Nutrition, 130, 1074S-1076S.

Rugh, R. 1968. TheMouse Its Repoduction And Development. Minneapolis, Burgess Publishing Company, 1-23.

Sand J. 2005. A Short Hitory of MSG Good Science, Bad Science, and Taste Culture. The Journal of Culture. 38-34.

S. Dhindsa, Omran RG. Bhup R. 1981. Histological Changes in The Thyroid Gland Induces by Monosodium Glutamate in Mice, Acta. Anat: 109, 97-102.

Saryono. 2008.Biokimia Reproduksi. Jogjakarta: Mitra Cendikia Press. hal. 4. Setiati, S., 2003,Radikal Bebas, Antioksidan Dan Proses Menua, Majalah

Medika; Jakarta,edisi 6 (19 ); hal.366-368.

Sheerwood, L. 2004. The Reproductive System In Human Phsiology From Cell To System, Fifth Edition,California, Tomson Brook/Cole, 757.

Siregar, J.H. 2009. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Leydig Dan Jumlah Sperma Mencit Jantan Dewasa (Mus Musculus, L.) Yang Dipapari Monosodium Glutamate (MSG), Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Sudiana, I. (2008)Teknologi Ilmu Jaringan Dan Imunohistokimia. Jakarta, Sagung seto, 2-25.

Sumining, Lusetyo W. 1986. dan Sutrisno D.S.Mempelajari Distribusi dan Pengaruh Monosodium Glutamat Pada Tikus. Medika, No.7, Tahun 2. Syahrum, M. Hatta. 1994. Reproduksi dan Embriologi: Dari Satu Sel Menjadi

Organisme. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal. 9-11.

Tuminah S. 2000.Radikal Bebas dan Antioksidan : Kaitannya dengan Nutrisi dan penyakit. Cermin Dunia Kedokteran 128 : 49-50

Vinodini, N., Nayantara, A., Damodar, G., Ahamed, B.,Ramaswamy, C., Shabarinath & Bath, R. 2008. Role Of Ascorbic Acid In Monosodium Glutamate Mediated Effect On Testicular Weight, Sperm Morphology And Sperm Count, In Rat Testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, 3. 370-373.


(6)

W.J. Pizzi, Barnhart JE, Fanslow DJ. 1977.Monosodium Glutamate

Administration to The Newborn Reduces Reproductive Ability in Female and Male Mice, Science: 196, 452-454.

World Health Organization. 1993.Research Guidelines For Evaluating The Safety And Efficacy Of Herbal Medicines. Manila: World Health Organization Regional Office for the Wsetern Pasific: p. 35.

Y. H. Uke. 2008. Efek Toksik Monosodium Glutamat (MSG) Pada Binatang Percobaan; Jakarta.Sutisning, Volume 3, Tahun II, Januari 2008, 306 314.

Yi Li., Scellhorn H. E. 2007. New Developments And Novel Therapeutic Perspectives For Vitamin C. J. Nutr, 137; 2171-2184

Zahara, Riza. 2011.Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Spermatogenik Mencit (Mus musculus L) yang Diinduksi Monosodium Glutamat. Program Studi Kedokteran Universitas Lampung.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 46 78

Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Leydig Dan Jumlah Sperma Mencit Jantan Dewasa ( Mus musculus, L. ) Yang Dipapari Monosodium Glutamate (MSG)

0 62 54

Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sperma Dan Morfologi Sperma Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus, L.) Yang Dipaparkan Monosodium Dlutamate (MSG)

4 35 78

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

0 9 40

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGI OTAK MENCIT JANTAN DEWASA (Mus musculus L) YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

8 48 59

EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L.)

3 12 38

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIPAPARKAN ASAP ROKOK

0 13 68

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 10

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) SKRIPSI UMMI KALSUM 080805052

0 0 11