Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Infus Kayu Amargo (Quassia amara Linn.) dan Reversibilitasnya.

(1)

DIAMETER TUBU

musculus L.) YA

amara

N

FAKULTAS MATE

TUBULUS SEMINIFERUS TESTIS MEN

ANG DIBERI INFUS KAYU AMARGO

ara Linn.) DAN REVERSIBILITASNY

NI GUSTI AYU MANIK ERMAYANTI

TEMATIKA DAN ILMU PENGETAHU

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

MENCIT (Mus

RGO (Quassia

YA


(2)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN……… 1

TINJAUAN PUSTAKA……….. 2

METODE PENELITIAN……….. 6

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 9

KESIMPULAN……….. 12


(3)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pesatnya perkembangan penduduk merupakan masalah yang serius bagi negara yang sedang berkembang. Keberhasilan Indonesia dalam menekan angka laju pertumbuhan penduduk ini berkat pelaksanaan gerakan Keluarga Berencana, yang pada dasarnya dilakukan dengan cara pengaturan fertilitas. Sampai saat ini, pengaturan fertilitas yang paling banyak dilakukan adalah pada wanita, sedangkan pada pria sejauh ini masih merupakan riset yang terus-menerus dilakukan untuk mencari suatu teknik pengaturan fertilitas yang efektif dan aman. Metode kontrasepsi pria yang digunakan saat ini, adalah kondom, vasektomi dan senggama terputis. Akan tetapi hasilnya masih belum sepenuhnya diterima masyarakat, karena memberikan efek samping dan belum 100% dapat mencegah kehamilan (Soehadi, 1979).

Sampai saat ini, pencarian metode kontrasepsi yang tepat bagi pria belum didapat hasil yang meyakinkan, efek samping dan berbagai kendala yang menyertainya masih memerlukan riset yang panjang dan luas. Berbagai teknik untuk menurunkan fertilitas pada pria yang sedang dikembangkan adalah penggunaan berbagai jenis senyawa antifertilitas, baik yang dapat menurunkan jumlah spermatozoa, berhubungan dengan pengaturan horrmon, pencegahan maturasi spermatozoa dan pengubahan struktur spermatozoa itu sendiri (Bartke

et al., 1987). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa penggunaan senyawa yang berpengaruh

terhadap fertilitas pada manusia harus memenuhi berbagai persyaratan tertentu, yaitu dapat menurunkan jumlah spermatozoa hingga mencapai kondisi azoospermia, aman bagi kesehatan, mempunyai efek samping yang sekecil-kecilnya, bersifat dapat dipulihkan kembali dalam jangka waktu tertentu, dan bekerja secara spesifik.

Usaha menemukan bahan kontrasepsi pria telah dilaksanakan di beberapa negara dengan memanfaatkan bahan alami yang berasal dari tumbuhan. Fransworth et al., (1975) mengelompokan berbagai tumbuhan yang diketahui mempunyai potensi sebagai bahan pengaturan fertilitas. Kelompok tumbuhan tersebut ada yang mengandung senyawa dari golongan steroid, alkaloid, triterpenoid dan xanton.

Salah satu tumbuhan tropis yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pengaturan fertilitas adalah senyawa bioaktif yang terdapat pada kayu amargo (Quassia

amara Linn.) (Raji et al., 1995). Senyawa bioaktif yang dikaandung amargo tergolong dalam


(4)

quassinoid (Robinson, 1995). Quassinoid-quassinoid yang paling utama dari amargo adalah quassin, isoquassin dan neoquassin (Kohler, 1996).

Menurut Kohler (1996) amargo memmpunyai kemampuan sebagai bahan antifertilitas, antimalaria, antidisentri, dan antianemia. Sementara itu, Raji et al., (1995) mengatakan beberapa agen antimalaria mempunyai kemampuan sebagai bahan antifertilitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Raji et al., (1995) menunjukkan quassinoid yang terkandung dalam kayu amargo mampu menghambat steroidogenesis pada sel Leydig tikus dan mempunyai sifat reversibel. Selain itu, dari penelitian Raji dan Bolarinwa (1997) menunjukkan bahwa senyawa bioaktif kayu amargo menyebabkan berkurangnya berat testis, epididimis, vesikula seminalis, dan berkurangnya jumlah spermatozoa epididimis tikus.

Sejauh ini, belum ada laporan mengenai pengaruh senyawa bioaktif kayu amargo yang dapat menyebabkan gangguan terhadap spermatogenesis mencit sehingga dapat menurunkan fertilitasya. Salah satu cara untuk mengetahui adanya gangguan spermatogenesis adalah dengan mengukur diameter tubulus seminierus testis mencit. Pada tubulus seminiferus terdapat beberapa lapisan sel-sel spermatogenik yang akan berdiferrensiasi untuk menghasilkan spermatozoa. Oleh karena itu, perlu dillakukan peneliitian tentang diameter tubulus seminiferus testis mencit (Mus musculus L.) yang diberi infus kayu amargo (Quassia

amara Linn.) dan reversibilitasnya. 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah infus kayu amargo berpengaruh terhadap diameter tubulus seminifrus testis mencit?

2. Apakah infus kayu amargo bersifat reversibel?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh infus kayu amargo terhadap diameter tubulus seminiferus testis mencit.

2. Untuk mengetahui pengaruh infus kayu amargo terhadap reversibilitasnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang tanaman kayu amargo yang dapat dipakai sebagai obat kontrsepsi.


(5)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Amargo

Tumbuhan amargo dalam botani dikenal sebagai Quassia amara, berasal dari Brazil Utara, Venezuela, Suriname, Columbia, argentina, Panama, dan Guayana. Amargo digunakan dan dipasarkan bersama dengan spesies tumbuhan llainnya, yaitu Picrasma excelse, yang mempunyai komponen penyusun dan kegunaan yang sama. Picrasma

excelse, jauh lebih tinggi (mencapai tinggi 25 m) dan tumbuh di daerah tropika, Karibia,

dan India Barat (Kohler, 1996).

Kayu amargo adalah suatu semak atau pohon kecil 1-3 meter dengan cabang-cabang yang memencar, yang tua berwarna pirang abu-abu yang muda merah tua. Daun tersebar, majemuk menyirip ganjil beranak daun 7, tangkai daun dan sumbunya bersayap, anak daun jorong, yang di ujung bulat telur terbalik, sisi atas hijau tua mengkilaap, sisi bawah hijau muda dengan urat-urat daun yang kemerah-merahan. Bunga dalam tandan pada ujung cabang dari luar merah lembayung segar, dalam agak kekuningg-kuningan, benang sari menonjol di atas buluh mahkotanya (Tjitrosoepomo, 1994).

Kayu amargo dikenal di Indonesia dengann nama daerah Sunda, yaitu genteng peujit dan ki congcorang (Hyne, 1987). Menurut Tjitrosoepomo (1994) tumbuhan amargo dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo: Rutales, Famili: Simaroubaceae, Genus: Quassia, Spesies:

Quassia amara Linn.

Senyawa bioaktif yang dikandung amargo tergolong dalam suatu kelompok produk alami yang disebut triterpenoid, lebih spesifik dikenal sebagai quassinoid (Robinson, 1995). Quassinoid-quassinoid yang paling utama dari amargo adalah quassin, isoquassin, dan neoquassin (Kohler, 1996). Senyawa-senyawa tersebut dapat ditemukan pada batang, akar, dan kulit kayunya (Raji et al., 1995). Quassin adalah zat dari kayu amargo yang mempunyai rasa pahit yang kadarnya sampai 0,1% (Hyne, 1987) dan menurut Tjitrosoepomo (1994) kayu amargo mengandung 0,15% quassin dan 0,07% neoquassin.

Di hutan hujan Amazon, amargo digunakan seperti Quinine Bark, yaitu sebagai obat untuk penyakit malaria. Di samping itu, amargo juga digunakan sebagai tonik, untuk penyembuhan diare, serta hepatitis (Kohler, 1996). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa amargo yang dijual bebas dalam bentuk rajangan atau parutan, tidak berbau namun mempunyai rasa pahit dan sering digunakan sebagai obat dalam masa penyembuhan setelah penyakit akut.


(6)

1.2. Sel-sel Spermatogenik pada Tubulus Seminiferus

Tubulus seminiferus adalah suatu organ berbentuk saluran panjang dan berkelok-kelok yang terdapat dalam lobulus testis. Di dalam tubulus seminiferus inilah terdapat proses perkembangan sel-sel spermatogenik yang membelah beberapa kali dan akhirnya berdiferensiasi untuk menghasilkan spermatozoa. Proses ini disebut dengan spermatogenesis. Sel-sel spermatogenik tersebut tersebar dalam empat sampai delapan lapisan yang menempati ruangan antara lamina basalis dan lumen tubulus seminierus. Semakin banyak lapisan sel-sel spermatogenik maka gambaran diameter tubulus seminiferus semakin besar. Sel-sel spermatogenik terdiri atas spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid (Junqueira et al., 1995).

Lebih lanjut menurut Junqueira et al. (1995) spermatogenesis terdiri atas 3 fase yaitu:

Spermatositogenesis (mitosis) adalah fase spermatogonium membelah menghasilkan

generasi sel baru yang nantinya akan menghasilkan spermatosit. Fase ini dimulai dengan sel benih primitif yaitu spermatogonium A1 (stem sel/sel induk) mengalami proliferasi melalui mitosis menjadi spermatogonium A2, A3, A4, intermediet dan spermatogonia B, spermatogonia B membelah lagi akhirnya terbentuk spermatosit primer. Spermatogonium biasanya terletak dekat lamina basalis, relatif kecil, mengandung kromosom diploid.

Meiosis adalah fase spermatosit mengalami dua kali pembelahan secara berturutan

dengan mereduksi sampai setengah jumlah kromosom dan jumlah DNA persel menghasilkan spermatid. Fase ini dimulai dengan spermatosit primer memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis I (preleptoten, leptoten, zigoten, pakiten, diploten, diakinesis). Spermatosit primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA. Preleptoten, aktif dalam sintesis DNA, struktur kromosom tidak jelas. Leptoten, kromosom mengalami kondensasi dan terdiri atas 2 kromatid. Zigoten terjadi penebalan kromosom dan sinapsis kromosom. Pakiten, sinapsis kromosom semakin sempurna dan kromosom semakin menebal dan memendek, inti dan sitoplasma tumbuh dan merupakan sel yang terbesar dalam garis turunan sel spermatogenik. Diploten, pasangan kromosom terpisah tapi tetap bergabung pada bagian kiasma. Diakinesis, kromosom semakin memendek dan dua kromatid yang menyusun tiap kromosom dapat terlihat. Metafase, kromosom di bidang ekuator. Anafase, masing-masing kromosom di kutub yang berlawanan. Telofase, dua anak inti baru dan terbentuklah dua sel baru yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder kemudian menyelesaikan meiosis II menghasilkan empat spermatid. Spermatid masih berhubungan satu dengan yang lain


(7)

melalui jembatan sitoplasma/jembatan intersel. Karena profase dari meiosis I waktunya lebih lama maka spermatosit primer hampir dapat diamati dan selnya paling besar. Spermatosit sekunder selnya lebih kecil dari spermatosit primer, mempunyai 23 kromosom dan 2N DNA, sulit diamati karena berumur pendek dengan cepat memasuki meiosis II.

Spermiogenesis adalah fase spermatid mengalami proses sitodiferensiasi sehingga

menghasilkan spermatozoa. Spermatid berbatasan dengan lumen, mengandung 23 kromosom dan 1N DNA, ukuran kecil, inti dengan kromatin padat. Spermiogenesis tediri atas 3 fase yaitu (1) Fase golgi: sitoplasma spermatid mengandung kompleks golgi yang mencolok dekat inti, mitokondria, sepasang sentriol, ribosom bebas dan tubulus retikulum endoplasma licin. Granula proakrosom kecil berkumpul dalam kompleks golgi dan kemudian menyatu membentuk satu granula akrosom yang terdapat di dalam vesikel akrosom berbatas membran. Sentriol bermigrasi ke posisi dekat permukaan sel dan berlawanan dengan lokasi dari akrosom pembentuk. Pembentukan aksonema berflagela dimulai dan sentriol bermigrasi kembali ke arah inti, sambil memilin komponen aksonema sewaktu bergeser. (2) Fase akrosomal: vesikel dan granula akrosom menyebar untuk menutupi belahan anterior dari inti yang memadat yang dikenal dengan akrosom. Kutub anterior sel yang mengandung akrosom akan berorientasi ke arah basis tubulus seminiferus. Inti menjadi lebih panjang dan lebih padat. Salah satu dari sentriol tumbuh secara bersama membentuk flagelum. Mitokondria berkumpul di sekitar bagian proksimal flagelum membentuk bagian menebal yaitu bagian tengah (tempat pergerakan spermatozoa dibangkitkan). (3) Fase pematangan: sitoplasma residu dibuang dan difagositosis oleh sel Sertoli dan spermatozoa dilepas ke dalam lumen tubulus.


(8)

III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial. Faktor pertama adalah faktor perlakuan waktu, waktu pengamatan I dan waktu pengamatan II. Faktor kedua adalah faktor perlakuan variasi dosis. Tigapuluh dua ekor mencit dibagi menjadi dua perlakuan waktu, selanjutnya masing-masing dibagi menjadi 5 perlakuan variasi dosis dan masing-masing terdiri atas enam ekor hewan uji sebagai ulangan. Perlakuan infus kayu amargo diberikan satu kali setiap hari dengan volume 1,0 mL selama 35 hari. Setelah 35 hari dilakukan pengamatan I untuk kelompok 1 dan kelompok 2 tetap dipelihara selama 14 hari untuk mengetahui reversibilitasnya. Dosis infus kayu amargo dari masing-masing perlakuan adalah

1. Perlakuan A (kontrol) : tanpa perlakuan 2. Perlakuan B (plasebo) : 1,0 mL aquades 3. Perlakuan C (dosis 1) : 1000 mg/kgBB/hari 4. Perlakuan D (dosis 2) : 2000 mg/kgBB/hari 5. Perlakuan E (dosis 3) : 4000 mg/kgBB/hari

3.2 Bahan Penelitian

Bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain (1) bahan infus adalah kayu amargo, bagian yang digunakan adalah batangnya yang telah dikupas kulitnya dan diserut. Bahan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaaman Rempah dan Obat Bogor, (2) Hewan uji adalah mencit jantan strain Swiss dengan berat badan antara 25 sampai 30 gram, umur 10 minggu, sebanak 12 ekor yang diperoleh dari UPHP UGM, (3) Pakan mencit berupa par G-pellet dari PT. Japfa Comfeed Indonesia dan air minum berupa air PAM, (4) Bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini adalah aquades, formalin 10%, larutan bouin, alkohol bertingkat, toluol, parafin, xylol, Hematoxylin, Eosin dan canada balsam.

3.3 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain, (1) kandang hewan percobaan yang terbuat dari bak plastik ditutup kawat, (2) Timbangan hewan, (3) peralatan untuk pembuatan infus, yaitu grainer, saringan, tabung erlenmeyer dan gelas ukur, (4) peralatan untuk membuat sediaan mikroanatomi, yaitu mikrotom, oven, lampu spiritus, skalpel, holder, spatula, kuas, dan hotplate.


(9)

3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Aklimasi mencit

Aklimasi mencit selama seminggu. Selama aklimasi dan perlakuan mencit diberi pakan dan minum secara ad libitum dan dipuasakan sehari sebelum mendapat perlakuan.

3.4.2 Pembuatan infus

Batang amargo yang tlah dikupas kulitnya dan diserut dikeringinkan di udara terbuka. Bahan setelah kering dijadikan serbuk dengan alaat grainer sampai halus dan diayak dengan ukuran penyaringan 360 mesh sehingga diperoleh serbuk yang homogen. Pembuatan infus dimulai dengan penimbaangan serbuk sesuai dengan dosis yang digunakan untuk hewan uji. Selanjutnya masing-masing serbuk tersebut dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan diberi aquades 100 mL, kemudian dipanaskan selama 15 menit terhitung sejak mencapai 900C serta sekali-kali diaduk. Larutan yang masih panas disaring dengan kertas saring dan ditambahkan aquades secukupnya sehingga diperolh volume 100 mL.

3.4.3 Pembuatan sediaan mikroanatomi testis

Sehari setelah perlakuan berakhir, berat badan hewan ditimbang dan mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah kemudian testis diambil untuk dibuat sediaan mikroanatomi testis dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin-Eosin.

Prosedur pembuatan sediaan mikroanatomi testis mengikuti cara Suntoro (1983) dengan tahapan sebagai berikut: testis difiksasi dalam larutan formalin 10% (7 ± hari) kemudian dilanjutkan fiksasi dalam larutan bouin ± 3 jam. Organ testis dicuci dengan alkohol 70% tiga kali, kemudian diteruskan dihidrasi menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat dimulai dari alkohol 70% (4x30 menit), 80% (2x30 menit), 90% (2x30 menit), 95% (1x300 menit), absolut (1x30 menit). Untuk menjernihkan, organ direndam dalam toluol selama semalam. Infiltrasi parafin ke dalam jaringan dilakukan dengan cara merendam organ dalam campuran toluol dan parafin (30 menit), kemudian dilanjutkan dengan parafin murni I, II, dan III masing-masing 30 menit, selanjutnya penanaman organ dalam parafin padat. Blok parafin yang berisi organ testis diiris setebal 6 µm menggunakan mikrotom, sehingga deretan irisan membentuk pita. Dari irisan-irisan tersebut dipilih yang bagus kemudian ditempel pada gelas benda yang telah diolesi mayer albumin. Dibiarkan 24 jam agar penempelan cukup kuat. Selanjutnya sediaan dicelupkan ke dalam xylol (10 menit), alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%,


(10)

menit), aquades, alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70% (masing-masing 3 celupan), Eosin-Y 1% (2-3 menit), alkohol 70%, 80%, 95% (masing-masing 3 celupan), xylol (10 menit). Sediaan yang telah dipulas kemudian ditutup dengan canada balsam. Untuk mengukur diameter tubulus seminierus testis mencit, maka pengamatan dilakukan dengan memilih 10 tubulus seminiferus yang terpotong bundar secara random. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.

3.5 Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan ANOVA, jika berbeda dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%.


(11)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Hasil penelitian diameter tubulus seminiferus testis mencit yang diberi perlakuan variasi dosis infus kayu amargo dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.

Rata-rata Diameter Tubulus seminiferus Testis Mencit yang Diberi Infus Kayu Amargo Perlakuan Diameter tubulus seminiferus (µm)

Pengamatan I Pegamatan II A (Kontrol)

B (Plasebo)

C (Dosis 1000 mg/kgBB) D (Dosis 2000 mg/kgBB) E (Dosis 4000 mg/kgBB)

190,00a 191,01a 190,02a 191,05a 187,20b 188,15b 182,00c 184,00c 175,00d 178,00d

Keterangan: Uji One Way Anova dilanjutkan dengan uji DMRT (P<0,05). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Berdasarkan hasil pengamatan yaang tercantum pada Tabel 1 dan Gambar 1, terlihat bahwa untuk rata-rata diameter tubulus seminiferus terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05) dan antar waktu pengamatan (P<0,05).

Pada pengamatan I kenaikan dosis infus kayu amargo menyebabkan penurunan rata-rata diameter tubulus seminiferus testis mencit. Pada pengamatan I rata-rata-rata-rata diameter tubulus seminiferus dengan dosis 1000, 2000 dan 4000 mg/kg BB berbeda nyata dengaan kontrol dan plasebo. Rata-rata diameter tubulus seminiferus untuk kontrol, plasebo, dan perlakuan variasi dosis, masing-masing adalah 190,00 mµ, 190,02 mµ 187,20 mµ, 182,00 mµ, 175,00 mµ.

Perbedaan yang nyata juga terlihat antara waktu pengamatan I dan waktu pengamatan II. Pada pengamatan II, yaitu 14 hari setelah perlakuan dihentikan pengaruhnya semakin berkurang sehingga rata-rata diameter tubulus seminiferus semakin meningkat. Pada pengamatan II diameter tubulus seminierus dengan dosis 1000, 2000 dan 4000 mg/kg BB berbeda nyata dengaan kontrol dan plasebo. Rata-rata diameter tubulus seminiferus untuk


(12)

kontrol, plasebo, dan perlakuan variasi dosis, masing-masing adalah 191, 01 mµ, 191,05 mµ, 188,15 mµ, 184,00 mµ, 178,00 mµ.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pada periode perlakuan dengan infus kayu amargo terjadi penurunan diameter tubulus seminiferus tesris mencit. Menurunnya diameter tubulus seminiferus disebabkan oleh gangguan spermatogenesis. Dari pengamatan lapisan sel-sel spermatogenik, maka kelompok D mempunyai lapisan yang paling sedikit sehingga mempunyai diameter tubulus seminiferus yang paling kecil.

Terjadinya penurunan lapisan sel-sel spermatogenik dalam tiap penampang tubulus seminiferus testis mencit diduga disebabkan oleh menurunnya kadar hormon testosteron. Menurut Junqueira et al. (1995) testosteron diperlukan untuk perkembangan sel-sel spermatogenik. Menurunnya perkembangan sel-sel spermatogenik, meliputi sel spermatogonium, sel spermatosit dan sel spermatid akan menyebabkan lapisan sel-sel spermatogenik menurun yang mengakibatkan diameter tubulus seminiferus berkurang. Oleh karena itu, bila kadar hormon testosteron menurun ada kemungkinan terjadinya hambatan spermatogenesis yang ditandai dengan menurunnya diiameter tubulus seminiferus testis mencit.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Raji et al. (1995) yang melaporkan bahwa quassinoid yang terdapat pada kayu amargo dapat menghambat aktivitas sel interstisial Leydig dengan mempengaruhi LH adenohipofisis. Lebih lanjut, dilaporkan pula bahwa quassinoid yang terdapat pada kayu amargo bekerja secara kompetitif pada lokasi reseptor LH sehingga menghambat sekresi LH akibatnya akan mengganggu kerja sel interstisial Leydig. Menurut Hafez (1987) testosteron dapat memacu spermatogenesis. Oleh karena itu, bila kadar hormon testosteron menurun ada kemungkinan terjadinya gangguan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus testis


(13)

mencit sehingga lapisan sel-sel spermatogenik meurun dan mengakibatkan diameter tubulus seminiferus berkurang.

Menurut Sharma et al. (1998) sel-sel spermatogenk akan mengalami vakuolisasi dan sitolisis bila terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh menurunnya kadar hormon testosteron. Oleh karena itu, bila terjadi penekanan terhadap produksi testosteron maka ada kemungkinan terjadinya gangguan metabolisme pada sel spermatogenik di dalam tubulus seminiferus testis. Adanya gangguan metabolisme tersebut akan mengakibatkan sel spermatogenik mengalami kerusakan atau degenerasi dan banyak ditemukan vakuola-vakuola. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka akan mengakibatkan sel spermatogenik akan mengalami lisis sehingga lapisannya menurun.

Berdasarkan penelitian tentang pemulihannya maka pengaruh inus kayu amargo terhadap diameter tubulus seminiferus testis mencit adalah reversibel karena setelah perlakuan infus kayu amargo dihentikan maka terjadi peningkatan kembali diameter tubulus seminiferus testis mencit. Hal ini menandakan bahwa proses pembentukan spermatozoa (spermatogenesis) kembali meningkat dengan munculnya kembali sel-sel spermatogenik dalam tiap penampang tubulus seminiferus testis mencit sehingga lapisan sel-sel spermatogenik menjadi semakin banyak dan diameter tubulus kembali mengalami peningkatan.

V KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Perlakuan dengan infus kayu amargo sampai dosis 4000 mg/kgBB dapat menurunkan diameter tubulus seminiferus testis mencit.

2. Infus kayu amargo bersifat reversibel karena diameter tubulus seminiferus yang dipengaruhi dapat pulih kembali.


(14)

VI DAFTAR PUSTAKA

Bartke, A., D.W. Hahn, R.G. Foldwsy and J.I. Mcguire. 1987. Experiment Studies in the Development of Male Contraceptives. In: Male Contraception advances and

Future Prospects. Aitken (Ed) R.J. Pergamon Press Oxford.

Fransworth, N.R., A.S. Bingel, G.A. Cordell, F.A. Crane dan H.H.S. Fong. 1975. Potencial Value of Plants as Sources of New Antifertility Agents. J.Pharmaceut

Sci. Vol 61

Ganong, W.F. 1995. Review of Medical Physiology. 17thed. Lange Medical Publication, California.

Gonzales, M.G., G. Camacho and P. Sanoou. 1997. Pharmacologic Activity of the Aqueous Wood Extract from Quassia amara (Simarubaceae) on Albino Rats and Mice. Rev. Biol. Trop

Guyton, A.C. 1986. Textbook of Medical Physiology. 7thed. W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Hyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sarata Warna Jaya, Jakarta.

Junqueira, L.C., J. Carneiro and R.O. Kelley. 1995. Basic Histology. Appleton and Lange Stanford.

Kohler. 1996. Amargo. Raintree Nutrition Inc, Austin. Texas.

Raji, Y., A.F. bolarinwa dan E.U. Nduka. 1995. Antifertility Activity of Quassia amara: Quassin Inhibits the Steroidogenesis in Rat Leydig Cells in vitro. J. Planta Med. 61(2):180-182

Raji, Y., dan A.F. Bolarinwa. 1997. Antifertility Activity of Quassia amara in Male Rats-in vivo Study. Ife Sci. 61(11):1067—1074

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (The Organic Constituents of higher Plants). Ed ke-6. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB Bandung. Soehadi, K. 1979. Spermatologi. Prosiding Kongres Spermatologi. Pandi

Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Bhratara Karya Aksara Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sharma, S., M. Kumar R.B. Goyal, B. Manivannan, N.K. Lohiya. 1999. Reversible Antispermatogenic Efffect off Gossypol in Langur Monkey (Presbytis entellus


(15)

(1)

menit), aquades, alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70% (masing-masing 3 celupan), Eosin-Y 1% (2-3 menit), alkohol 70%, 80%, 95% (masing-masing 3 celupan), xylol (10 menit). Sediaan yang telah dipulas kemudian ditutup dengan canada balsam. Untuk mengukur diameter tubulus seminierus testis mencit, maka pengamatan dilakukan dengan memilih 10 tubulus seminiferus yang terpotong bundar secara random. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.

3.5 Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan ANOVA, jika berbeda dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%.


(2)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Hasil penelitian diameter tubulus seminiferus testis mencit yang diberi perlakuan variasi dosis infus kayu amargo dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.

Rata-rata Diameter Tubulus seminiferus Testis Mencit yang Diberi Infus Kayu Amargo

Perlakuan Diameter tubulus seminiferus (µm)

Pengamatan I Pegamatan II A (Kontrol)

B (Plasebo)

C (Dosis 1000 mg/kgBB) D (Dosis 2000 mg/kgBB) E (Dosis 4000 mg/kgBB)

190,00a 191,01a

190,02a 191,05a

187,20b 188,15b

182,00c 184,00c

175,00d 178,00d

Keterangan: Uji One Way Anova dilanjutkan dengan uji DMRT (P<0,05). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Berdasarkan hasil pengamatan yaang tercantum pada Tabel 1 dan Gambar 1, terlihat bahwa untuk rata-rata diameter tubulus seminiferus terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05) dan antar waktu pengamatan (P<0,05).

Pada pengamatan I kenaikan dosis infus kayu amargo menyebabkan penurunan rata-rata diameter tubulus seminiferus testis mencit. Pada pengamatan I rata-rata-rata-rata diameter tubulus seminiferus dengan dosis 1000, 2000 dan 4000 mg/kg BB berbeda nyata dengaan kontrol dan plasebo. Rata-rata diameter tubulus seminiferus untuk kontrol, plasebo, dan perlakuan variasi dosis, masing-masing adalah 190,00 mµ, 190,02 mµ 187,20 mµ, 182,00 mµ, 175,00 mµ.

Perbedaan yang nyata juga terlihat antara waktu pengamatan I dan waktu pengamatan II. Pada pengamatan II, yaitu 14 hari setelah perlakuan dihentikan pengaruhnya semakin berkurang sehingga rata-rata diameter tubulus seminiferus semakin meningkat. Pada pengamatan II diameter tubulus seminierus dengan dosis 1000, 2000 dan 4000 mg/kg BB berbeda nyata dengaan kontrol dan plasebo. Rata-rata diameter tubulus seminiferus untuk


(3)

kontrol, plasebo, dan perlakuan variasi dosis, masing-masing adalah 191, 01 mµ, 191,05 mµ, 188,15 mµ, 184,00 mµ, 178,00 mµ.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pada periode perlakuan dengan infus kayu amargo terjadi penurunan diameter tubulus seminiferus tesris mencit. Menurunnya diameter tubulus seminiferus disebabkan oleh gangguan spermatogenesis. Dari pengamatan lapisan sel-sel spermatogenik, maka kelompok D mempunyai lapisan yang paling sedikit sehingga mempunyai diameter tubulus seminiferus yang paling kecil.

Terjadinya penurunan lapisan sel-sel spermatogenik dalam tiap penampang tubulus seminiferus testis mencit diduga disebabkan oleh menurunnya kadar hormon testosteron. Menurut Junqueira et al. (1995) testosteron diperlukan untuk perkembangan sel-sel spermatogenik. Menurunnya perkembangan sel-sel spermatogenik, meliputi sel spermatogonium, sel spermatosit dan sel spermatid akan menyebabkan lapisan sel-sel spermatogenik menurun yang mengakibatkan diameter tubulus seminiferus berkurang. Oleh karena itu, bila kadar hormon testosteron menurun ada kemungkinan terjadinya hambatan spermatogenesis yang ditandai dengan menurunnya diiameter tubulus seminiferus testis mencit.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Raji et al. (1995) yang melaporkan bahwa quassinoid yang terdapat pada kayu amargo dapat menghambat aktivitas sel interstisial Leydig dengan mempengaruhi LH adenohipofisis. Lebih lanjut, dilaporkan pula bahwa quassinoid yang terdapat pada kayu amargo bekerja secara kompetitif pada lokasi reseptor LH sehingga menghambat sekresi LH akibatnya akan mengganggu kerja sel interstisial Leydig. Menurut Hafez (1987) testosteron dapat memacu spermatogenesis. Oleh karena itu, bila kadar hormon testosteron menurun ada kemungkinan terjadinya gangguan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus testis


(4)

mencit sehingga lapisan sel-sel spermatogenik meurun dan mengakibatkan diameter tubulus seminiferus berkurang.

Menurut Sharma et al. (1998) sel-sel spermatogenk akan mengalami vakuolisasi dan sitolisis bila terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh menurunnya kadar hormon testosteron. Oleh karena itu, bila terjadi penekanan terhadap produksi testosteron maka ada kemungkinan terjadinya gangguan metabolisme pada sel spermatogenik di dalam tubulus seminiferus testis. Adanya gangguan metabolisme tersebut akan mengakibatkan sel spermatogenik mengalami kerusakan atau degenerasi dan banyak ditemukan vakuola-vakuola. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka akan mengakibatkan sel spermatogenik akan mengalami lisis sehingga lapisannya menurun.

Berdasarkan penelitian tentang pemulihannya maka pengaruh inus kayu amargo terhadap diameter tubulus seminiferus testis mencit adalah reversibel karena setelah perlakuan infus kayu amargo dihentikan maka terjadi peningkatan kembali diameter tubulus seminiferus testis mencit. Hal ini menandakan bahwa proses pembentukan spermatozoa (spermatogenesis) kembali meningkat dengan munculnya kembali sel-sel spermatogenik dalam tiap penampang tubulus seminiferus testis mencit sehingga lapisan sel-sel spermatogenik menjadi semakin banyak dan diameter tubulus kembali mengalami peningkatan.

V KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Perlakuan dengan infus kayu amargo sampai dosis 4000 mg/kgBB dapat menurunkan diameter tubulus seminiferus testis mencit.

2. Infus kayu amargo bersifat reversibel karena diameter tubulus seminiferus yang dipengaruhi dapat pulih kembali.


(5)

VI DAFTAR PUSTAKA

Bartke, A., D.W. Hahn, R.G. Foldwsy and J.I. Mcguire. 1987. Experiment Studies in the Development of Male Contraceptives. In: Male Contraception advances and Future Prospects. Aitken (Ed) R.J. Pergamon Press Oxford.

Fransworth, N.R., A.S. Bingel, G.A. Cordell, F.A. Crane dan H.H.S. Fong. 1975. Potencial Value of Plants as Sources of New Antifertility Agents. J.Pharmaceut Sci. Vol 61

Ganong, W.F. 1995. Review of Medical Physiology. 17thed. Lange Medical Publication, California.

Gonzales, M.G., G. Camacho and P. Sanoou. 1997. Pharmacologic Activity of the Aqueous Wood Extract from Quassia amara (Simarubaceae) on Albino Rats and Mice. Rev. Biol. Trop

Guyton, A.C. 1986. Textbook of Medical Physiology. 7thed. W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Hyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sarata Warna Jaya, Jakarta.

Junqueira, L.C., J. Carneiro and R.O. Kelley. 1995. Basic Histology. Appleton and Lange Stanford.

Kohler. 1996. Amargo. Raintree Nutrition Inc, Austin. Texas.

Raji, Y., A.F. bolarinwa dan E.U. Nduka. 1995. Antifertility Activity of Quassia amara: Quassin Inhibits the Steroidogenesis in Rat Leydig Cells in vitro. J. Planta Med. 61(2):180-182

Raji, Y., dan A.F. Bolarinwa. 1997. Antifertility Activity of Quassia amara in Male Rats-in vivo Study. Ife Sci. 61(11):1067—1074

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (The Organic Constituents of higher Plants). Ed ke-6. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB Bandung. Soehadi, K. 1979. Spermatologi. Prosiding Kongres Spermatologi. Pandi

Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Bhratara Karya Aksara Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sharma, S., M. Kumar R.B. Goyal, B. Manivannan, N.K. Lohiya. 1999. Reversible Antispermatogenic Efffect off Gossypol in Langur Monkey (Presbytis entellus entellus). J. Soc. Advancement of Contraception, 15(1):19-20


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) Terhadap Jaringan Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

0 86 70

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

4 25 111

Uji Antifertilitas ekstrak N-Heksana biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara IN VIVO

2 15 116

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP BERAT TESTIS, JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L)JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

2 33 97

EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L.)

3 12 38

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIPAPARKAN ASAP ROKOK

0 13 68

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116

Pemberian Vitamin C, E, Serta Kombinasinya Meningkatkan Diameter Tubulus Seminiferus Mencit (Mus musculus) Galur Swiss Webster Yang Diberi Pajanan Allethrin.

0 0 43

Pengaruh Saos Tomat (solanum lycopersicum) Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Mencit (Mus musculus) Galur DDY Yang Diinduksi Dengan Cisplatin.

0 0 31

Pengaruh Pasta Tomat (Solanum lycopersicum) Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Mencit (Mus musculus) Galur DDY Yang Dipapar Asap Rokok Berfilter.

0 1 36