BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan Giri Wiloso dkk, 2012.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dan membutuhkan bantuan dari orang lain di dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa bantuan
orang lain, seorang manusia tidak dapat berdiri tegak. Selain itu, manusia dikatakan makhluk sosial dikarenakan juga pada diri manusia terdapat
dorongan untuk berhubungan interaksi dengan orang lain. Dengan bantuan dari orang lain, maka manusia dapat berkomunikasi atau berbicara,
menggunakan tangan, berjalan, dan mengembangkan semua potensi kemanusiaan yang dimiliki Giri Wiloso dkk, 2012. Sears 1991,
menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang bergantung pada individu lain. Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang
hidup manusia. Manusia perlu memiliki juga kompetensi dan keterampilan sosial yang cukup memadai agar bisa bertahan hidup di masyarakat. Hal itu
di tanamkan sejak dini mulai manusia itu lahir hingga usia lanjut. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu sama
lain di mana individu yang satu dapat mempengaruhi individu lain sehingga terdapat hubungan saling timbal balik Bimo Walgito, dalam Dayakisni 2006.
Keinginan untuk melakukan kontak dengan orang lain dilandasi terdapat
imbalan sosial yang dapat diperoleh individu jika berhubungan dengan orang lain Dayakisni, 2006.
Salah satu tugas perkembangan masa remaja adalah memperoleh hubungan-hubungan baru penyesuaian baru dan lebih matang dengan
sebaya dari kedua jenis kelamin Havighurst, dalam Sumantri 2008. Untuk mencapai pola sosialisasi dewasa, remaja perlu membuat penyesuaian baru.
Dengan ada kesempatan luas untuk melibatkan diri pada berbagai kegiatan sosial, maka wawasan dan pengetahuan sosial yang dimiliki remaja semakin
membaik. Semakin banyak berpartisipasi dalam kegiatan sosial, maka semakin besar kompetensi sosial remaja, seperti terlihat dalam mengadakan
pembicaraan dan berperilaku dalam berbagai situasi sosial. Masa remaja merupakan masa peralihan atau transisi antara masa
kanak-kanak dengan dewasa. Pemikiran sosial yang dimiliki remaja berkenaan dengan pengetahuan dan keyakinan tentang persoalan pribadi dan
sosial. Pada masa sekolah kemampuan untuk mengerti perspektif orang lain dan kemampuan untuk menghubungkan perspektif itu dengan diri sendiri
juga berkembang dan hal ini mempengaruhi bagaimana anak melakukan hubungan sosial Small, 1990. Remaja mulai memiliki pemikiran-pemikiran
yang logis, tetapi dalam pemikiran logis ini terkadang masih sering menghadapi kebingungan dengan pemikiran orang lain. Dalam hal ini dapat
menimbulkan sikap egosentrisme ketika berhubungan dengan orang lain. Pada masa remaja rasa kepedulian terhadap sesama itu cukup besar, akan
tetapi masih dipengaruhi oleh sifat ke egosentrisme. Sebagian remaja masih
mengalami kurang keseimbangan antara menyenangkan orang lain atau mementingkan kepentingan diri sendiri. Hal ini dapat berpengaruh pada
perilaku remaja di lingkungan masyarakat. Sikap kepedulian atau tolong menolong terhadap sesama merupakan sesuatu yang mulia, namun masih
cukup sulit juga dilakukan oleh remaja. Remaja juga merupakan generasi muda penerus bangsa dimana perlu
memiliki perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat antara manusia satu dengan
yang lain perlu ada sikap saling tolong menolong jika ada seseorang yang memerlukan bantuan baik itu orang asing maupun yang dikenal individu
tersebut pada segala usia dan budaya yang berbeda. Di lingkungan keluarga remaja diberikan bekal pemahaman dan pendidikan untuk memiliki rasa
empati dan belas kasih terhadap sesama. Begitu pula pendidikan di sekolah juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas generasi muda yang lebih baik
lagi sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan karakter bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak
hanya bertujuan membentuk peserta didik untuk pandai, pintar, berpengetahuan, dan cerdas tetapi juga berorientasi untuk membentuk
manusia yang berbudi pekerti luhur, berpribadi dan besusila Wibowo, 2012. Perilaku prososial merupakan tindakan yang muncul dalam bidang
sosial. Perilaku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa memperdulikan motif-
motif si penolong Sears, Freedman Peplau, 2004. William dalam
Dayakisni, 2006 membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis
penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Menurut Staub dalam Dayakisni, 2006 terdapat
tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, antara lain tindakan itu berakhir pada diri sendiri dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku,
dilahirkan secara sukarela, dan menghasilkan kebaikan. Mussen, dkk dalam Dayakisni, 2006 menyatakan perilaku prososial
mencakup tindakan
sharing
berbagi,
cooperative
kerjasama,
donating
menyumbang,
helping
menolong,
honesty
kejujuran,
generosity
kedermawanan serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. Sebuah studi yang dilakukan oleh Midlarsky dan Midlarsky 1973
telah menunjukkan bahwa internal
locus of control
memfasilitasi perilaku menolong. Dalam
locus of control
baik internal maupun eksternal memiliki pengaruh nominal pada perilaku prososial seseorang.
Locus of control
individu memiliki pengaruh besar pada perilaku. Orang yang memiliki
locus of control eksternal
menyakini bahwa perilaku sendiri tidak akan membuat perbedaan apapun dalam penguatan yang
diterima, tidak akan melihat nilai dalam melakukan usaha untuk memperbaiki situasi. Individu memiliki kepercayaan kecil tentang kemungkinan
pengontrolan kehidupan sendiri di masa kini dan akan datang. Sedangkan individu yang terorientasi secara internal percaya bahwa
individu memiliki kontrol kuat atas kehidupan diri sendiri, dan berperilaku
menurut hal itu. Rotter 1966 riset menunjukkan bahwa individu melakukan usaha pada tingkat tinggi dalam hal tugas-tugas laboratorium, dan tidak
begitu rentan terhadap beberapa usaha untuk mempengaruhi, menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam skill dan prestasi personal, dan lebih waspada
dengan petunjuk-petunjuk lingkungan yang dapat individu gunakan untuk memedomani perilaku. Selain itu, individu yang memiliki
locus of control
lebih siap untuk mengambil tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan daripada individu orientasi-eksternal. Terdapat juga beberapa bukti yang
secara tentatif menunjukkan bahwa individu orientasi-internal bisa jadi memperoleh kesehatan mental yang lebih baik.
Locus of control
terbentuk karena adanya beberapa faktor, yaitu faktor keluarga, faktor sosial ekonomi, faktor pengalaman gagal, dan berhasil
Rosaria, 2003.
Locus Of Control
tidak bersifat statis tapi juga dapat berubah.
Locus of control
sendiri merupakan suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan.
Locus of control
mengarah pada suatu ukuran yang menunjukkan bagaimana seseorang memandang kemungkinan ada hubungan antara
perbuatan yang dilakukan dengan akibat atau hasil yang diperoleh Robins 2007.
Dari data US Department Health and Human Services dalam Wibowo, 2012 diketahui bahwa faktor resiko penyebab kegagalan anak di
sekolah, termasuk putus sekolah, adalah kurang rasa percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan mengontrol diri, motivasi rendah, kegagalan
bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja sama, dan empati anak rendah. Padahal kemampuan sosial dan emosi sangat berperan dalam menentukan
kesuksesan belajar anak di masa kini dan yang akan datang. Penelitian Marisa 2010 antara kecerdasan emosi,
internal locus of control
, dan
gender
dengan perilaku prososial siswa SMA N 1 Kupang, menemukan signifikasi 0,124 lebih dari 0,05
ρ 0,05. Temuan tersebut diartikan bahwa tidak ada hubungan yang signfikan antara
internal locus of control
dengan perilaku prososial signifikansi 0,124 ρ 0,05. Sedangkan dari penelitian Ervina 2010 yang berjudul hubungan antara
locus of control internal
dengan perilaku prososial pada remaja Panti Asuhan Muhammadiyah Kediri menemukan nilai signifikasi 0,001 kurang dari 0,05 ρ 0,05, yang
berarti ada hubungan yang signifikan antara
locus of control internal
dengan perilaku prososial. Selain itu,
penelitian Rif’atul 2012 hubungan antara
locus of control
dengan perilaku prososial pada mahasiswa Fakultas Psikologi menemukan signifikasi 0,000 kurang dari 0,05 ρ 0,05, yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
locus of control
dengan perilaku prososial. Pada jaman sekarang banyak perubahan yang telah terjadi baik itu
dari IPTEK, karakter individu, pemikiran, dan pola tingkah laku individu. Salah satu contoh perubahan yang terjadi adalah individu melakukan perilaku
prososial hanya digunakan sebagai modus atau kedok, dimana hanya berkeinginan dilihat oleh orang lain bahwa sudah melakukan perbuatan baik
dan tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan seperti itu individu
tersebut memiliki internal
locus of control
rendah. Individu yang memiliki internal
locus of control
tinggi dapat melakukan perilaku prososial tanpa merasa dirugikan sama sekali karena apa yang ditanam saat ini maka suatu
saat akan menuai hasil. Berdasarkan wawancara dengan guru pembimbing yang memberikan
pelayanan bimbingan dan konseling pada kelas XI IPS di SMA Kristen 1 menyatakan bahwa para siswa memiliki
locus of control
rendah terutama
locus of control internal
, dimana terdapat perasaan kurang yakin terhadap apa yang akan dilakukan. Sedangkan rata-rata perilaku prososial siswa di SMA
Kristen 1 rendah, dimana jika ada teman yang mengalami musibah kalau bukan teman dekat maka tidak mau menjenguk. Kalaupun mau menjenguk
karena ada rasa pamrih. Dari hasil pra penelitian yang telah dilakukan penulis pada 32 siswa
khusus kelas XI IPS 3 di SMA Kristen 1 Salatiga dalam satu kelas diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1.1 Hasil penyebaran skala Internal
Locus Of Control
pada siswa kelas XI IPS 3
Kategori Frekuensi
Prosentase Sangat Rendah
Rendah 12
37,5 Tinggi
11 34,4
Sangat Tinggi 9
28,1 Total
32 100
Dan dari tabel 1.1 bahwa sebagian besar siswa kelas XI IPS 3 di SMA Kristen 1 mempunyai tingkat internal
locus of control
rendah yaitu 37,5 dengan jumlah 12 siswa.
Tabel 1.2 Hasil Penyebaran Skala Perilaku Prososial pada siswa kelas XI IPS 3
Kategori Frekuensi
Prosentase Sangat Rendah
Rendah 17
53,1 Tinggi
11 34,4
Sangat Tinggi 4
12,5 Total
32 100
Dan dari tabel 1.2 bahwa rata-rata siswa kelas XI IPS di SMA Kristen 1 mempunyai tingkat perilaku prososial rendah 53,1 dengan jumlah 17
siswa. Dengan uraian di atas penulis ingin mengadakan penelitian kembali
tentang hubungan antara internal
locus of control
dengan perilaku prososial siswa kelas XI IPS di SMA Kristen 1 Salatiga.
1.2 Rumusan Masalah