ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF INDONESIAN RUBBER AGRIBUSINESS ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS KARET INDONESIA

(1)

ABSTRACT

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF INDONESIAN RUBBER AGRIBUSINESS

By

Kemas Muhammad Fahri

This study aims to: (1) determine market structure of rubber agribusiness in international market, (2) analyze the competitiveness (comparative and competitive advantages) of Indonesian rubber agribusiness.

The data used in this study are obtained from the Central Bureau of Statistics Indonesia, Lampung Central Bureau of Statistics, Ministry of Agriculture, Directorate General of Plantation, and other institutions. This study applies Herifindahl Index and Concentration Ratio, Revealed Comparative Advantage, Porter's theory, input-output analysis using the Input-Output Indonesia 2008, references and other sources relevant to this study.

The results showed that: (1) the market structure of rubber agribusiness in international market is oligopoly based on CR4 value of 78 percent and the HI value of 1,747 meaning that the decision of the market is controlled or influenced by several manufacturers from several countries, among others, the State of Thailand, Indonesia, and Malaysia. (2) Rubber agribusiness in Indonesia has a strong competitiveness. Indonesian rubber has a comparative advantage from 2008 to 2012 as indicated by the value of RCA of more than one. The RCA values from 2008-2012 are 31, 24, 22, 22, and 27 respectively. In terms of a competitive advantage, Indonesian rubber has good linkages to affect the sectors behind it (i.e. input supplier sectors) and also sectors in front of it (i.e. output user sectors) to continue to grow. In addition, rubber demand is influenced by the rubber price and revenue of the rubber processing industries. Demand of rubber from year to year increases, but the efficiency of rubber marketing in Indonesia today is not efficient.


(2)

ABSTRAK

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS KARET INDONESIA Oleh

Kemas Muhammad Fahri

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui struktur pasar agribisnis karet di pasar internasional; (2) menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) agribisnis karet Indonesia.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik Lampung,

Kementerian Pertanian, Direktorat Jendral Perkebunan, dan beberapa lembaga lainnya. Studi ini menerapkan metode analisis dengan alat analisis Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi, Revealed Comparative Advantage, teori Porter, Input-output analisis menggunakan Input-Output Indonesia Tahun 2008, referensi dan sumber-sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) struktur pasar agribisnis karet di pasar internasional bersifat oligopoli yang didasarkan dengan nilai CR4 sebesar 78 persen dan nilai HI sebesar 1.747, artinya keputusan pasar dikendalikan atau dipengaruhi oleh beberapa produsen, yaitu Negara Thailand, Indonesia, dan Malaysia. (2) Agribisnis karet di Indonesia memiliki daya saing yang cukup kuat, hal tersebut terlihat dari keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitifnya. Agribisnis karet Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari tahun 2008-2012 yang ditunjukkan dengan nilai RCA lebih dari satu, nilai RCA tersebut secara berturut-turut adalah 31, 24, 22, 22, dan 27. Dalam hal keunggulan kompetitif, agribisnis karet Indonesia memiliki keterkaitan yang baik untuk mempengaruhi sektor yang ada di belakangnya (pemberi input) dan sektor yang ada di depannya (pengguna output) agar terus berkembang, selain itu permintaan karet dipengaruhi nyata oleh harga karet dan pendapatan industri pengolahan karet. Permintaan karet dari tahun ke tahun terus meningkat, akan tetapi efisiensi pemasaran karet di Indonesia saat ini belum efesien.


(3)

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS KARET INDONESIA

Oleh

KEMAS MUHAMMAD FAHRI Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 April 1991 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Kemas Romli dan Ibu Masayu Iriani. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Cendrawasih yang diselesaikan pada tahun 1997, selanjutnya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Sawah Lama pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 5 Bandar Lampung pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis menjalani Praktik Umum (PU) di PT. Pupuk Sriwidjaja PPD Lampung pada bulan Januari hingga Februari tahun 2012 dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Lampung Barat pada bulan Juni hingga Juli tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada berbagai organisasi yang ada di kampus. Penulis menjadi anggota Bidang 2 Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (HIMASEPERTA) pada tahun periode 2009-2010, menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-FP) pada tahun periode 2010-2011, menjadi ketua komisi C di Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM-FP) dan Duta


(7)

(8)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdullilahirabbil ‘alamin, segala puji hanya kepada Allah SWT, Rabb

sekalian alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS DAYA SAING

AGRIBISNIS KARET INDONESIA”. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para penerus risalahnya yang mulia.

Banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih, bantuan, nasihat, serta saran-saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini, karena itu dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga nilainya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing Pertama atas

bimbingan, saran, arahan, nasehat, dan motivasi yang diberikan.

2. Ir. Adia Nugraha, M.S., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas bimbingan, saran, arahan, nasehat, dan motivasi yang diberikan.

3. Dr. Ir. Sudarma Widjaya, M.Si., sebagai Dosen Penguji Skripsi, atas saran, arahan dan nasehatnya.

4. Helvi Yanfika, S.P, M.E.P., sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingan, saran, arahan, nasehat, dan motivasi yang diberikan.


(9)

ii

6. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas semua bimbingan dan bantuan yang diberikan.

7. Karyawan-karyawan di Jurusan Agribisnis, Mba Iin, Mba Ai, Mas Bukhari, Mas Kardi, dan Mas Boim atas bantuannya.

8. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Kemas Romli, dan Ibunda Masayu Iriani, serta Kakak – kakak, adik saya dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dan do’a yang tiada henti-hentinya. 9. Devi Ariantika yang selama ini memberikan semangat, dukungan, waktu, dan

kasih sayang yang tulus hingga terselesaikannya skripsi ini.

10.Sahabat-sahabatku Kurniati Mahasari, S.P., Dwinta Diana Laisa, S.P., Gama Ayu, S.P., Yoseva Rossy, Wike Novia, S.P., Vemy Ratna Dewi, S.P., Mandala P.U.A, S.P., , Agum M. Iqbal, S.P., M. Iqbal Alkindi Rambe, Guntur A.P. terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

11.Teman-teman angkatan 2009: Syani, Ongki, Aris, Edy, Pepi, Adriez, Rendi, Oni, Tasya, Zia, Rani, Tama, Firuza, Firjen, Willy, Daud, Ockta, Lia, Riska dan seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu,

terimakasih atas kebersamaan dan semangatnya selama ini.

12.Rekan-rekan mahasiswa/i Jurusan Agribisnis angkatan 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012 terimakasih atas kebersamaannya.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini.


(10)

iii

Semoga karya kecil yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Akhirnya, penulis meminta maaf jika ada kesalahan dan kepada Allah SWT penulis mohon ampun.

Bandar Lampung, Juni 2014 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I.PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ... 13

A. Tinjauan Pustaka ... 13

1. Sektor pertanian ... 13

2. Subsektor perkebunan ... 14

3. Struktur pasar ... 17

3.1 Pasar persaingan sempurna ... 17

3.2 Pasar persaingan monopolistik ... 18

3.3 Pasar oligopoli ... 19

3.4 Pasar monopoli ... 19

4. Konsep dayasaing ... 20

4.1 Keunggulan komparatif ... 20

4.2 Keunggulan kompetitif ... 22

5. Teori permintaan ... 23

6. Teori pemasaran ... 25


(12)

6.2 Saluran pemasaran ... 28

6.3 Efesiensi pemasaran ... 29

B. Kajian Penelitian Terdahulu ... 32

C. Kerangka Pemikiran ... 35

III. METODE PENELITIAN ... 38

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional ... 38

B. Lokasi Penelitian, dan Waktu Penelitian ... 40

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ... 40

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 41

1. Analisis struktur pasar karet di pasar Internasional ... 41

2. Analisis keunggulan komparatif karet Indonesia ... 45

3. Analisis keunggulan kompetitif karet Indonesia ... 47

3.1 Analisis keterkaitan antar sektor ... 48

a) Keterkaitan ke belakang (backward linkage) ... 50

b) Keterkaitan ke depan (forward linkage) ... 51

3.2 Analisis kondisi permintaan karet Indonesia ... 52

3.3 Analisis struktur industri karet Indonesia ... 56

IV. GAMBARAN UMUM KARET INDONESIA ... 59

A. Perekonomian Karet Indonesia ... 59

B. Jenis-jenis Karet Alam ... 62

C. Perkembangan Luas Areal Tanaman Karet Indonesia ... 67

D. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Karet Indonesia ... 68

E. Perkembangan Ekspor dan Impor Karet Indonesia ... 72

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 75

A. Analisis Struktur Pasar Karet di Pasar Internasional ... 75

B. Analisis Keunggulan Komparatif Karet Indonesia... 78

C. Analisis Keunggulan Kompetitif Karet Indonesia ... 81

1. Analisis keterkaitan antar sektor terhadap sektor karet ... 81


(13)

b) Keterkaitan ke depan terhadap sektor karet ... 84

2. Analisis kondisi permintaan karet Indonesia ... 86

a) Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan karet Indonesia ... 86

b) Trend permintaan karet Indonesia ... 88

3. Analisis struktur industri karet Indonesia ... 91

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas Tahun

2008-2012 (Juta US$) ... 2

2. Kontribusi ekspor karet dan barang dari karet terhadap ekspor nonmigas Tahun 2008-2012 (Juta US$) ... 3

3. Ranking Global Competitiveness Indeks (GCI) ... 7

4. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang terhadap sektor karet ... 51

5. Sektor yang memiliki keterkaitan ke depan terhadap sektor karet ... 52

6. Standard Indonesian Rubber (SIR) ... 65

7. Perkembangan produksi dan produktivitas karet alam Indonesia Tahun 2008-2012 ... 71

8. Perkembangan volume dan nilai ekspor-impor karet Indonesia Tahun 2008-2012 ... 72

9. Nilai Herifindhal Index, dan Rasio Konsentrasi empat negara pengekspor karet terbesar di dunia Tahun 2012 ... 76

10. Revealed Comparative Advantage (RCA) agribisnis karet Indonesia Tahun 2008-2012 ... 79

11. Persentase transaksi output berbagai komoditas dan keterkaitan ke belakang terhadap sektor karet ... 82

12. Persentase transaksi output berbagai komoditas dan keterkaitan ke depan terhadap sektor karet ... 85

13. Hasil regresi fungsi permintaan karet Indonesia ... 87

14. Keterkaitan ke belakang sektor karet terhadap 66 sektor dalam penciptaan output nasional ... 103


(15)

15. Keterkaitan ke depan sektor karet terhadap 66 sektor dalam

penciptaan output nasional ... 104 16. Variabel terikat dan variabel bebas faktor-faktor yang mempengaruhi

permintaan karet Indonesia ... 106 17. Perkembangan harga Lump di tingkat petani (Pf) dan harga SIR 20


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pohon industri karet ... 4 2. The National Diamond System ... 23 3. Bagan alur analisis daya saing agribisnis karet Indonesia ... 37 4. Perkembangan luas areal perkebunan karet Indonesia tahun 2008-2012 ... 68 5. Perkembangan permintaan karet (ton) di pasar domestik Indonesia

Tahun 2007-2012 ... 89 6. Perkembangan permintaan karet (ribu ton) di pasar Internasional


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian untuk periode 2003-2010 sebesar 42,75%, meskipun kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional pada tahun 2012 hanya sekitar 14,4% (Badan Pusat Statistik, 2013).

Kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan devisa negara tergolong cukup besar, terutama subsektor perkebunan. Sektor pertanian Indonesia pada neraca perdagangan periode 2006-2008 menunjukkan nilai yang positif (surplus). Menurut data BPS (2009), pada tahun 2006 neraca perdagangan sektor pertanian mengalami surplus sebesar 8,9 juta US$. Nilai ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 13,3 juta US$ dan tahun 2008 sebesar 12,4 juta US$.

Surplus yang terjadi pada neraca perdagangan sektor pertanian dikarenakan nilai ekspor komoditas pertanian yang cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 4,6 milyar US$ pada tahun 2008 menjadi 5,6 milyar US$ pada tahun 2012. Besaran nilai ekspor sektor pertanian periode 2008- 2012 diperlihatkan


(18)

pada Tabel 1. Peningkatan nilai ekspor ini mengindikasi perbaikan yang terjadi di bidang pertanian terhadap ekspor nonmigas. Pada Tabel 1 terlihat kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas selama periode 2008-2012 berkisar antara 3-4%.

Tabel 1. Kontribusi Ekspor Sektor Pertanian terhadap Ekspor Nonmigas Tahun 2008-2012 (Juta US$)

Tahun Ekspor Ekspor Kontribusi Ekspor Pertanian

Pertanian NonMigas terhadap Ekspor Nonmigas

2008 4.584,6 107.894,2 4,25%

2009 4.352,8 97.491,7 4,46%

2010 5.001,9 129.739,5 3,85%

2011 5.165,8 162.019,6 3,19%

2012 5.569,2 153.042,8 3,64%

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan, 2013

Kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas tergolong cukup besar, maka diharapkan pengembangan sektor pertanian dapat menjadi pendorong pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan pengembangan komoditas unggulan pertanian. Dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 terdapat 39 komoditas pertanian yang ingin dipacu produksinya. Jumlah tersebut terdapat 14 komoditas yang termasuk pengembangannya bukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan tetapi lebih kepada substitusi impor, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, serta pengembangan ekspor. Karet merupakan salah satu komoditas unggulan yang menjadi target pengembangan karena memiliki potensi pasar yang cukup luas, terutama di pasar ekspor.


(19)

Pengutamaan ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983 (Basri, 2002). Bahkan sejak tahun 1988, sumber utama perolehan devisa Indonesia bertumpu pada penerimaan ekspor nonmigas (Dumairy, 1996). Seiring

perkembangannya, ekspor memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional, terlebih sejak digulirkannya perundingan WTO menuju perdagangan dunia tanpa hambatan. Perekonomian Indonesia saat terjadinya krisis moneter yang menimbulkan guncangan sosial dan politik dapat terselamatkan salah satunya oleh kinerja ekspor pertanian (Basri, 2002).

Tabel 2. Kontribusi Ekspor Karet dan Barang dari Karet terhadap Ekspor Nonmigas Tahun 2008-2012 (Juta US$)

Tahun Ekspor Ekspor Karet Persentase Ekspor Karet & Brg dari NonMigas & Barang dari Karet Karet Terhadap Ekspor Non Migas

2008 107.894,2 7.637,3 7,08%

2009 97.491,7 4.912,8 5,04%

2010 129.739,5 9.373,3 7,22%

2011 162.019,6 14.352,2 8,86%

2012 153.042,8 10.475,2 6,84%

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Kementerian Perdagangan, 2013

Kinerja ekspor pertanian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, khususnya hasil perkebunan. Salah satu ekspor komoditas yang menjadi andalan Indonesia adalah komoditas karet dan barang dari karet, selain CPO yang tetap menjadi primadona ekspor Indonesia. Kontribusi nilai ekspor karet dan barang dari karet Indonesia terhadap ekspor nonmigas diperlihatkan pada Tabel 2. Persentase ekspor karet dan barang dari karet Indonesia terhadap ekspor non migas cenderung meningkat, walaupun pada tahun 2009 dan tahun 2012 mengalami penurunan yaitu 2,04% pada tahun 2008 ke tahun 2009 dan 2,02% pada tahun 2011 ke tahun 2012 (Badan Pusat Statistik, 2013).


(20)

Gambar 1. Pohon Industri Karet KAYU KARET KARET ALAM KARET ALAM SAWN TIMBER CRUMB RUBBER SIR 3 CV

SIR 10 SIR 20

LATEKS PEKAT KONVENSIONAL

(RSS, Crepe)

- Alat RT dari kayu

- Barang kerajinan dari kayu - Pallet dan Hospel

- Kayu Bahan Bangunan

Dowels/Moulding

Ban Roda 4 (empat) Ban Roda 2 (dua) Ban Sepeda Vulkanisir

Barang Teknik dari Karet

Alat Rumah Tangga dan Olahraga Alas Kaki dari Karet

Sarung Tangan Karet DOT

Benang Karet Kondom

Kusen, daun pintu dan jendela

Flooring

Laminated & Finger-joint

Wood-working lainnya Furniture (Solid Wood)


(21)

Ekspor karet dari Negara Indonesia sebagian besar masih berbentuk karet mentah atau setengah jadi. Masih sedikitnya organisasi atau industri di Indonesia yang bergerak di bidang pengolahan komoditas karet merupakan salah satu

penyebabnya. Komoditas karet merupakan komoditas yang dapat diolah untuk berbagai macam barang dan bernilai ekonomi tinggi jika telah diolah lebih lanjut. Berbagai macam manfaat komoditas karet yang dapat dihasilkan jika dikelola lebih lanjut dapat dilihat dari pohon industri karet pada Gambar 1.

Selain bertambahnya nilai guna, dengan adanya pengolahan komoditas karet menjadi barang jadi atau siap pakai, Negara Indonesia juga akan mendapatkan tambahan devisa negara yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Produksi karet diharapkan sebagian besar diserap untuk konsumsi dalam negeri yaitu dengan digunakan oleh industri-industri pengolahan karet dalam negeri yang juga diharapkan akan terus berkembang. Ketika sebagian besar hasil produksi karet telah dikonsumsi di dalam negeri, maka harga karet Indonesia tidak tergantung oleh harga karet dunia yang belakangan ini terus menerus menurun, sehingga karet Indonesia akan memiliki daya saing yang tinggi.

Indonesia merupakan negara dengan luas areal perkebunan karet terbesar di dunia (Food and Agriculture Organization, 2010). Meskipun demikian, hal tersebut tidak menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor karet terbesar di dunia. Indonesia menduduki posisi kedua dalam hal produksi dan ekspor karet alam setelah Thailand (United Nation Comtrade, 2010). Pentingnya komoditas karet alam menyebabkan perlu penanganan yang tepat dalam pengembangan daya saing


(22)

ekspor sehingga komoditas ini kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu penopang perekonomian nasional.

Dalam rangka menjalin hubungan dagang secara internasional, Indonesia turut serta dalam penerapan kebijakan-kebijakan dagang. Awal pelaksanaan

pembangunan jangka panjang kedua banyak tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Tantangan tersebut antara lain keikutsertaan Indonesia dalam

organisasi perdagangan dunia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing WTO (World Trade Organization) (Sukarmi, 2002).

Indonesia yang termasuk dalam anggota ASEAN membuka jalan perdagangannya dengan berpartisipasi dalam perjanjian perdagangan bebas dengan

anggota-anggota ASEAN lain. Bentuk hubungan kerjasama ini dikenal dengan nama AFTA (ASEAN Free Trade Area). AFTA dibentuk pada KTT ASEAN IV di Singapura pada tahun 1992. Pembentukan ini didasarkan pada tujuan membentuk kawasan bebas perdagangan ASEAN dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi regional ASEAN.

Kondisi globalisasi yang terjadi menyebabkan perlunya perhatian lebih terhadap daya saing produk domestik mengingat bahwa globalisasi menuntut adanya persaingan yang ketat. Konsep daya saing tidak saja dilihat dari keunggulan komparatif tetapi lebih didasarkan pada keunggulan kompetitif produk tersebut. Globalisasi membuat pasar antarnegara menjadi semakin luas. Negara yang memiliki keunggulan kompetitif cenderung semakin dapat memperkaya negaranya dan negara yang tidak siap dalam menghadapi persaingan di pasar


(23)

global akan semakin terpuruk (Oktaviani dan Novianti, 2009). World Economic Forum (WEF) yang merupakan sebuah lembaga pemeringkat daya saing ternama mendefinisikan daya saing sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara (Daryanto, 2009). Laporan Daya Saing Global atau Global Competitiveness Report yang merupakan laporan tahunan dari WEF membahas mengenai masalah kemampuan negara-negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negara-negaranya. Tabel 3 memperlihatkan perbandingan peringkat keunggulan kompetitif beberapa negara pada periode 2010-2011 dan perbandingan dengan tahun-tahun

sebelumnya. Berdasarkan pada tabel tersebut terlihat bahwa pada periode 2010-2011, Indonesia berada pada peringkat 44 dari 139 negara yang disurvei,

meningkat 10 peringkat dari periode sebelumnya. Tabel 3. Ranking Global Competitiveness Indeks (GCI)

No Negara GCI 2010- GCI 2009- GCI 2008- GCI 2007- 2011 Rank 2010 Rank 2009 Rank 2008 Rank 1

Indonesia 44 54 55 54

2

Thailand 38 36 34 28

3

Singapore 3 3 5 7

4

Vietnam 59 75 70 68

5

Malaysia 26 24 21 21

6

India 51 49 50 48

7

China 27 29 30 34

8

Philippines 85 87 71 71


(24)

Peningkatan terhadap posisi daya saing global Indonesia dipengaruhi oleh berbagai indikator. Pendorong utama dalam peningkatan ini adalah perbaikan pada pilar makroekonomi. WEF mencatat perbaikan Indonesia terhadap kondisi makroekonominya relatif baik, yang mana hal ini ditunjukkan oleh peningkatan peringkat daya saing pada indikator tersebut sebanyak 17 peringkat sejak terjadinya krisis moneter (Schwab, 2011).

B. Perumusan Masalah

Hubungan Struktur Pasar Karet dengan Daya Saing Karet

Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari tumbuhnya produksi karet dari 1,63 juta ton pada tahun 2002 menjadi 2,77 juta ton pada 2010 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Angka ini merupakan angka produksi terbesar ke dua dunia setelah Thailand (Food and Agriculture Organization, 2010). Jumlah produksi yang demikian besar kemudian dihadapkan pada kondisi penetrasi pasar di mana Indonesia harus bersaing dengan negara-negara produsen lain, serta adanya fluktuasi harga. Harga karet alam pada perdagangan internasional cenderung berjalan fluktuatif, hal ini merupakan salah satu ciri yang berkelanjutan. Fluktuasi harga tersebut akan berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya pengembangan ekspor karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara yang memiliki konsekuensi pada perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan perdagangan yang secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan.


(25)

Pada era perdagangan bebas, pengembangan komoditas karet menghadapi berbagai tantangan. Defisit jumlah penawaran karet alam dunia dengan jumlah permintaan karet dunia yang semakin meningkat setiap tahunnya mengakibatkan setiap negara berusaha meningkatkan jumlah produksinya. Selain itu, semakin terbukanya pasar mengakibatkan persaingan (kompetisi) yang terjadi terhadap ekspor komoditas karet alam menjadi semakin ketat. Kondisi pasar terbuka menyebabkan semakin minimnya kekuatan pengendalian pasar sehingga tidak ada yang dapat menghalangi masuknya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan. Sebagai gambaran, pertumbuhan ekspor karet alam oleh negara Vietnam yang semakin baik mempengaruhi jumlah penawaran karet alam global.

Permintaan karet alam dunia yang sepenuhnya belum terpenuhi oleh penawaran karet alam oleh semua negara produsen mengakibatkan seluruh negara produsen karet alam berlomba-lomba meningkatan jumlah produksinya dengan berbagai cara. Hal tersebut pada akhinya akan mempengaruhi harga karet alam yang berlaku di pasar. Perubahan jumlah penawaran dan harga karet alam tersebut akan mempengaruhi pangsa pasar setiap negara. Pangsa pasar suatu negara akan memperlihatkan kekuatan negara tersebut dalam menguasai pasar. Setelah itu, komposisi pangsa pasar dari setiap negara akan membentuk struktur pasar karet. Struktur pasar karet yang terbentuk dari pangsa pasar negara-negara produsen karet secara otomatis menunjukan kekuatan bersaing (daya saing) suatu negara dengan negara lain. Pangsa pasar sendiri merupakan cerminan kekuatan atau penguasaan dari negara tersebut dalam mengisi pasar dengan produknya.


(26)

Rendahnya Produktivitas Pemanfaatan Sumber Daya Indonesia Terhadap Daya Saing Karet Indonesia

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya dan memiliki jumlah penduduk yang besar sebagai modal tenaga kerja. Kondisi tersebut menjadikan sektor pertanian Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan yang baik tersebut mengakibatkan Indonesia bertumpu pada sektor pertanian sebagai pemasukan negara, disamping sektor industri. Salah satu sub sektor pertanian yang menjadi kontribusi utama dalam pemasukan negara adalah sub sektor perkebunan.

Tanaman perkebunan merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian Indonesia yang utama adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor konvensional terdiri atas karet, kelapa sawit, teh, kopi, dan tembakau. Masih ada beberapa jenis tanaman perkebunan yang diekspor, namun porsinya relatif kecil. Dalam beberapa tahun terakhir ini, karet menjadi andalan ekspor Indonesia sebagai penghasil devisa.

Tanaman karet (hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditas ekspor andalan. Indonesia bahkan pernah menjadi produsen karet alam nomor satu di dunia. Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia termasuk tanaman karet berlangsung dualistis. Sebagian besar diselenggarakan oleh rakyat secara orang perorangan, dengan teknologi produksi dan manajemen usaha yang tradisional. Sebagian lagi dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, baik milik


(27)

pemerintah maupun swasta, dengan teknologi produksi yang modern serta manajemen usaha yang profesional.

Sesuai dengan pernyataan di atas bahwa perkebunan karet Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dan tingkat pendidikan formal petani mengenai teknik budidaya maupun manajemen pertanian masih tergolong rendah, oleh karena itu teknik budidaya dan alat pertanian masih tradisional, modal yang kurang

mengakibatkan penggunaan input tidak sesuai dengan semestinya yang berakibat produksi rendah, serta distribusi yang belum tertata dengan baik mengakibatkan biaya produksi lebih besar dari yang seharusnya.

Pada kenyataannya Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, lahan tanam yang luas serta memiliki letak geografis yang cocok untuk usaha dibidang pertanian, termasuk untuk tanaman karet. Indonesia pun memiliki kelemahan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dengan begitu sejauh mana keunggulan yang Indonesia miliki dapat

menghasilkan komoditas karet alam yang memiliki daya saing dengan kenyataan bahwa Indonesia masih mengalami masalah dalam rendahnya produktivitas pemanfaatan sumberdaya yang ada.

Berdasarkan uraian permasalahan, maka yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana struktur pasar agribisnis karet di pasar interasional ?


(28)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis struktur pasar agribisnis karet alam di pasar interasional. 2. Menganalisis daya saing (komparatif dan kompetitif) agribisnis karet

Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :

1. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, acuan serta informasi dalam menulis penelitian sejenis.

2. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan guna meningkatkan daya saing karet Indonesia dan mengetahui struktur pasar karet di pasar internasional.

3. Bagi pelaku (petani, perusahaan, dan usaha terkait), hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam mengetahui kelemahan dan keunggulan untuk menentukan suatu sikap atau strategi bisnis.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Sektor Pertanian

Sektor pertanian merupakan salah satu penopang perekonomian suatu negara, khususnya di negara agraris seperti Indonesia. Peranan sektor ini dapat dikatakan cukup besar bagi perkembangan perekonomian negara yang bersangkutan. Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan (2003), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut:

1. Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.


(30)

2. Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.

3. Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses

pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi.

4. Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.

2. Subsektor Perkebunan

Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 didefinisikan

sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pelaksanaan perkebunan

diselenggarakan antara lain dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, penyedia lapangan kerja,


(31)

pemenuhan kebutuhan konsumsi, serta pengoptimalan sumberdaya secara

berkelanjutan. Pada pasal 4 disebutkan bahwa usaha perkebunan memiliki fungsi secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

Tanaman perkebunan merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian kita yang utama adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil-hasil komoditas perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor konvensional terdiri atas karet, kelapa sawit, teh, kopi dan tembakau (Badan Pusat Statistik, 2009). Masih ada beberapa jenis tanaman perkebunan yang diekspor, namun porsinya relatif kecil. Pada beberapa tahun terakhir ini, karet berkembang menjadi salah satu komoditas penting di dalam jajaran ekspor komoditas perkebunan. Meskipun demikian, penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan masih dipegang oleh komoditas kelapa sawit. Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia berlangsung dualitis. Sebagian besar diselenggarakan oleh rakyat secara orang perorangan, dengan teknologi produksi dan manajemen usaha yang tradisional. Sebagian lagi diusahakan oleh perusahaan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta, dengan teknologi produksi yang modern serta manajemen usaha yang profesional. Kenyataannya tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat, maka perkebunan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Pembangunan perkebunan dilaksanakan melalui empat pola, yaitu (Dumairy, 1996): 1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) 3) Pola Swadaya; dan


(32)

4) Pola Perusahaan Perkebunan Besar

Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan usaha antara perkebunan rakyat sebagai plasma dan perkebunan besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh rangkaian kegiatan agribisnis.

Pelaksanaannya dilakukan dengan memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat pada areal bukaan baru. Pola UPP adalah pola pengembangan atas asas pendekatan terkonsentrasi pada lokasi tertentu, yang menangani keseluruhan rangkaian proses agribisnis. Pelaksanaan pola ini

ditempuh melalui pengembangan perkebunan rakyat oleh suatu unit organisasi proyek yang beroperasi di lokasi perkebunan yang sudah ada. Pola swadaya ditujukan untuk mengembangkan swadaya masyarakat petani atau pekebun yang sudah ada di luar wilayah kerja PIR dan UPP.

Pola perkebunan besar diarahkan untuk meningkatkan peranan pengusaha untuk mengembangkan perusahaan perkebunan besar, baik berupa perusahaan negara (BUMN), perusahaan swasta nasional maupun swasta asing. Peningkatan produksi perkebunan diupayakan terutama melalui peningkatan produktivitas lahan serta perbaikan efisiensi pengolahan. Sasaran utamanya adalah peningkatan produksi perkebunan rakyat, mengingat produktivitas per hektar dan mutu

hasilnya masih rendah, padahal sebagian besar hasil perkebunan berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang kenaikan produksi perkebunan rakyat dimaksud, dibangun unit-unit pelayanan pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik agronomi, membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas pengolahannya. Sementara itu usaha


(33)

ekstensifikasi perkebunan dilaksanakan melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya (pekebun-pekebun rakyat) dalam hal teknik agronomi, pengolahan, dan pemasaran hasil.

Sejalan dengan usaha-usaha tersebut, produksi beberapa tanaman perkebunan utama meningkat secara cukup berarti. Kenaikan produksi terutama disebabkan oleh meningkatnya luas areal produktif dari hasil peremajaan dan perluasan, serta upaya rehabilitasi dan intensifikasi. Ekspor berbagai jenis tanaman perkebunan juga berkembang, antara lain berkat dilaksanakannya Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE).

3. Struktur Pasar

Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya jumlah perusahaan di pasar atau jenis produk yang mereka jual (Lipsey,1997). Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar empat karakteristik yang penting, yaitu jumlah dan distribusi ukuran dari penjual dan pembeli yang aktif serta para pendatang potensial, tingkat diferensiasi produk, jumlah dan biaya, informasi tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar pasar.

3.1 Pasar Persaingan Sempurna

Menurut Pappas dan Hirchey (1995), pasar persaingan sempurna adalah struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk sebuah produk yang homogen, di mana setiap transaksi peserta pasar adalah begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga dari produk tersebut. Para


(34)

pembeli dan penjual individual adalah para pengambil harga (price taker). Harga telah ditentukan pasar dan cenderung konstan. Ini berarti bahwa perusahaan– perusahaan mengambil harga sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi pasar melalui tindakannya sendiri. Selanjutnya, untuk mendapatkan keuntungan maksimum seorang produsen hanya dapat mencapainya melalui keputusan banyaknya jumlah produk yang akan dijual, dengan kata lain laba maksimum dapat diwujudkan dalam kondisi MR=MC. Pada struktur pasar ini informasi permintaan dan penawaran yang bebas dan lengkap tersedia serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti, akibatnya tingkat pengembalian atas investasi hanya dimungkinkan dalam jangka panjang. 3.2 Pasar Persaingan Monopolistik

Menurut Pappas dan Hirchey (1995), persaingan monopolistik adalah pasar yang terdiri dari banyak penjual yang menawarkan produk-produk yang serupa tetapi tidak identik atau terdiferensiasi. Namun barang-barang tersebut tidak bisa saling mensubtitusi. Sehingga konsumen melihat adanya perbedaan penting diantara produk-produk yang ditawarkan oleh setiap produsen individual.

Perusahaan dalam persaingan monopolistik dapat memperkenalkan sebuah inovasi dalam produk yang dapat memberikan peningkatan laba ekonomi yang cukup besar dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, peniruan oleh para pesaing akan mengikis pangsa pasar dan laba akhirnya menurun ketingkat normal. Alasan perusahaan dalam industri monopolistik dapat mengontrol harga produknya adalah subyektifitas konsumen yang memandang produk-produknya berbeda.


(35)

3.3 Pasar Oligopoli

Menurut Lipsey (1997), Oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu di antaranya menghasilkan sebagian besar dari keluaran total industri. Para oligopolis memperhitungkan keputusan– keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka memperhitungkan juga dampak keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka

memperhitungkan juga dampak keputusan mereka terhadap pesaing-pesaingnya. Bila tedapat perubahan harga sekecil apapun, maka konsumen beralih pada produsen lainnya.

Akses yang yang terbatas pada informasi, biaya, dan mutu produk yang dikombinasikan dengan hambatan masuk dan keluar yang tinggi memberikan potensial laba ekonomi dalam jangka panjang. Strategi untuk mendapatkan keuntungan dalam pasar oligopoli antara lain adalah perusahaan-perusahaan yang terlibat dapat bekerjasama dalam beberapa hal yang menyangkut kepentingan bersama, lalu melakukan strategi diferensiasi produk, dan inovasi produk. 3.4 Pasar Monopoli

Menurut Pappas dan Hirchey (1995), pasar monopoli adalah suatu pasar yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat terdiferensiasi. Produsen monopoli dapat menentukan harga. Hambatan masuk atau keluar yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial. Monopoli biasa terjadi kerena 3 hal, yaitu monopoli alami, monopoli kerena efisiensi yang superior, dan monopoli kerena paten.


(36)

4. Konsep Daya Saing

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia tahun 1995 berpendapat bawa dayasaing adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak untuk merebut pasar. Sedangkan menurut Brataatmaja (1994) mendefinisikan dayasaing sebagai kekuatan, kemampuan atau kesanggupan untuk bersaing. Pengertian dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007).

Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan (demand side) dan dari sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (Consumer’s value perception). Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon

perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien. 4.1 Keunggulan Komparatif

Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan

komparatif (The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan oleh David Ricado (1823) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami


(37)

kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efesien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Komoditas ini membuat negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar (Salvatore, 1997). Hukum keunggulan komparatif diperkuat oleh keunggulan komparatif menurut Teori Biaya Imbangan

(Opportunity Cost Theory), yang dikemukakan oleh Haberler tahun 1936.

Harberler menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk mendapat sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Hecksher- Ohlin (1933), yang pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Hecksher-Ohlin

menggangap bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu.

Keunggulan komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu harus mampu mempertahankan agar tidak tersaingi oleh negara lain atau digantikan komoditas subtitusinya.


(38)

4.2 Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam

menghasilkan suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasarannya dan intervensi pemerintah.

Keunggulan bersaing negara mencakup tersedianya peran sumberdaya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi

perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang - orang dan perusahaan. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan.


(39)

Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan National Diamond System.

Gambar 2. “The National Diamond System” Sumber : Porter 1990

5. Teori Permintaan

Penjelasan mengenai perilaku komsumen yang paling sederhana didapati dalam hukum permintaan, yang mengatakan bahwa “Bila harga suatu barang naik maka ceteris paribus jumlah yang diminta konsumen akan barang tersebut turun, dan sebaliknya bila harga barang tersebut turun”. Ceteris paribus berarti bahwa faktor- faktor lain yang mempengaruhi jumlah yang diminta dianggap tidak berubah (Boediono, 2002).

Kesempatan Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

Kondisi Faktor Sumberdaya

Industri terkait dan pendukung

Kondisi permintaan


(40)

Beberapa faktor yang menyebabkan berubahnya permintaan selain harga barang itu sendiri yaitu perubahan pendapatan konsumen, perubahan harga barang lain, dan perubahan cita rasa konsumen. Dengan harga barang x yang tidak berubah, meningkatnya pendapatan yang diterima oleh seorang konsumen bertedensi mengakbatkan jumlah barang x yang diminta oleh konsumen tersebut bertambah. Sebaliknya dengan harga barang x yang tidak berubah, menurunnya jumlah pendapatan seorang konsumen bertedensi mengakibatkan jumlah barang yang diminta konsumen tersebut berkurang. Pernyataan ini berlaku selama barang x merupakan barang normal, untuk barang inferior yang berlaku adalah sebaliknya (Reksoprayitno, 2000).

Jumlah komoditas total yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut jumlah yang diminta (quantity demanded) atas komoditas tersebut. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam konsep ini. Pertama, jumlah yang diminta

merupakan kuantitas yang diinginkan (desired). Ini menunjukkan berapa banyak yang ingin dibeli oleh rumah tangga atas dasar harga komoditas itu, harga-harga lainnya, penghasilan mereka, selera mereka, distribusi pendapatan diantara rumah tangga, dan besarnya populasi. Kedua, apa yang diinginkan tidak merupakan harapan kosong, tetapi merupakan permintaan efektif yang merupakan jumlah yang bersedia dibayar oleh seseorang pada harga tertentu. Ketiga, kuantitas yang diminta merupakan arus pembelian yang kontinu. Oleh karenanya, kuantitas tersebut harus dinyatakan dalam banyaknya persatuan waktu (Lipsey, 1993). Permintaan seseorang atau suatu masyarakat pada suatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah harga


(41)

barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut, pendapatan rumah tangga, dan pendapatan rata-rata masyarakat. Beberapa faktor lain yang cukup penting peranannya dalam mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang adalah ditribusi pendapatan, cita rasa, jumlah penduduk, dan ekspektasi mengenai keadaan masa depan (Sukirno, 2002).

Permintaan sebagian besar produk pertanian, terutama perbekalan usahatani, merupakan permintaan turunan (derivet demand). Permintaan turunan tidak didasarkan langsung pada permintaan konsumen biasa, tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan produk-produk ynag secara tidak langsung bertalian dengan permintaan konsumen (Downey, 1989). Menurut Boediono (2002), permintaan input timbul karena ada permintaan akan output. Inilah sebabnya mengapa permintaan input disebut sebagai derivet demand atau permintaan turunan. 6. Teori Pemasaran

Menurut Kotler pemasaran dapat didefinisikan menjadi pemasaran sosial dan pemasaran manajerial. Definisi sosial menunjukkan peran yang dimainkan oleh pemasaran dalam masyarakat. Pemasaran dengan definisi sosial adalah proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapat apa yang mereka perlukan dan inguinkan dengan menciptakan, menawarkan, dan saling bertukar produk dan layanan yang bernilai secara bebas dengan pihak lain. Pemasaran dalam definisi manajerial dapat didefinisikan sebagai seni untuk menjual produk (Kotler, 2003). Pemasaran sering juga disebut tataniaga, menurut Nitisemito (1991) dalm Hasyim (2003), tataniaga adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen secara


(42)

paling efesien dengan maksuduntuk menciptakan permintaan efektif. Selanjutnya Hasyim (2003) menyatakan permintaan efektif adalah keinginan untuk membeli yang berhubungan dengan kemampuan untuk membayar. Efektif juga diartikan sebagai keadaan dimana jumlah yang diminta sesuai dengan harga normal. Tataniaga merupakan kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan daripada barang atau jasa. Oleh karena itu, tataniaga termasuk tindakan atau usaha produktif (Hanafiah dan Saefuddin, 1983). Selanjutnya Hasyim (2003) menyatakan bahwa produktif bukan semata-mata mengubah bentuk suatu barang menjadi barang lain. Suatu kegiatan dinyatakan produktifjika dapat menciptakan barang-barang tersebut menjadi lebih berguna bagi masyarakat dan hal itu terjadi karena berbagai hal, meliputi:

a. Kegunaan bentuk (form utility)

Kegunaan bentuk adalah kegiatan meningkatan kegunaan barang dengan cara mengubah bentuk menjadi barang lain yang secara umum lebih bermanfaat.

b. Kegunaan tempat (place utility)

Kegunaan tempat adalah kegiatan yang mengubah nilai suatu barang menjadi lebih berguna karena telah terjadi proses pemindahan dari suatu tempat ketempat yang lain.

c. Kegunaan waktu (time utility)

Kegunaan waktu yaitu kegiatan yang menambah kegunaan suatu barang karena adanya proses waktu atau perbedaan waktu.


(43)

d. Kegunaan milik (possession utility)

Kegunaan milik adalah kegiatan yang menyebabkan bertambah

bergunanya suatu barang karena terjadi proses pemindahan pemilikan dari suatu pihak ke pihak yang lain.

Tujuan pemasaran adalah membuat agar penjualan menjadi lebih banyak dan mengetahui serta memahami konsumen dengan baik sehingga produk atau pelayanan yang diberikan sesuai dengan selera konsumen dan dapat terjual. 6.1Sistem Pemasaran

Sistem pemasaran adalah kumpulan lembaga-lembaga yang melakukan tugas pemasaran barang, jasa, ide, atau faktor-faktor lingkungan yang saling

memberikan pengaruh dan membentuk serta mempengaruhi hubungan perusahaan dengan pasarnya (Swasta dan Irawan, 1990). Menurut Hasyim (2003), tujuan system pemasaran di negara-negara berkembang meliputi:

a. Efesiensi yang lebih tinggi dari penggunaan sumber b. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja

c. Harga di tingkat konsumen yang lebih rendah dan pembagian marjin yang adil kepada produsen dengan bertambahnya jasa pemasaran yang

dinikmati mereka

d. Pembangunan dan pertumbuhan sektor jasa pemasaran e. Meminimisasi produk yang hilang

f. Mendidik konsumen dalam harga dan kualitas, dan

g. Meningkatkan intensitas persaingan sampai memberikan konsekuensi yang diinginkan


(44)

6.2 Saluran Pemasaran

Menurut Kotler (2003), saluran pemasaran adalah saluran yang menghubungkan pembeli dan penjual. Saluran pemasaran terdapat tiga jenis yaitu saluran

komunikasi, saluran distribusi, dan saluran layanan. Saluran komunikasi mengirimkan dan menerima pesan dari pembeli sasaran. Saluran distribusi menunjukkan, menjual atau mengirimkan fisik produk atau layan kepada pembeli atau pemakai. Saluran layanan untuk melakukan transaksi dengan calon pembeli. Saluran menurut Soekartawi (1993), pemasran pada prinsipnya merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen dan terjadi karena adanya lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran ini sangat tergantung dari sitem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Dari saluran pemasaran dapat dilihat tingkat harga dimasing-masing lembaga pemasaran. Salah satu lembaga pemasaran yang dapat mengefesienkan saluran pemasaran dan meningkatkan kualitas suatu produk pertanian adalah pedagang pengumpul atau pengepul. Menurut Hasyim (2008), pengepul merupakan mata rantai penting dalam model kemitraan pemasaran. Pengepul berfungsi sebagai mediator petani dan pedagang besar. Pengepul sebaiknya memang tidak berarti berperan negative bagi petani. Menurut Downey dan Ericson (2004), pada umumnya fungsi lembaga pemasaran dikelompokan sebagai berikut:

a. Fungsi pertukaran (exchange function) yang meliputi penjualan dan pembelian, yang menciptakan kegiatan kegunaan hak milik

b. Fungsi fisik (physical function) yang meliputi pengangkutan, penyimpanan dan pemprosesan produk yang menciptakan kegunaan tempat dan waktu


(45)

c. Fungsi penyediaan sarana (facilitating function) yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menyangkut masalah standarisasi dan grading, penanggungan resiko, pembiayaan dan kredit serta informasi pasar dan harga

Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran hasil pertanian akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai pemasaran dan besarnya biaya pemasaran. Besarnya biaya pemasaran akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen pabrikan sangat tergantumg pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Apabila semakin besar marjin pemasaran ini akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efesien (Tomek dan Robinson, 1990). 6.3 Efesiensi Pemasaran

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983) dan Hapriono (2003), efesiensi

pemasaran bagi pengusaha adalah jika penjualan produknya dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi mereka, sedangkan efesiensi pemasaran bagi

konsumen mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah. Mubyarto (1995) menyatakan bahwa sistem pemasaran dianggap efesien jika memenuhi dua syarat, yaitu: (i) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (ii) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dilam kegiatan produksi dan pemasaran


(46)

barang tersebut. Secara matematis efesiensi pemasaran dapat dihitung dengan beberapa teori yaitu:

1. Teori marjin pemasaran

Secara umum marjin pemasaran adalah perbedaan harga-harga pada berbagai tingkat system pemasaran. Menurut Nusantari (2005), sifat-sifat umum marjin pemasaran adalah:

a. Margin berbeda-beda antara satu komoditas dengan komoditas lain

b. Margin pemasaran produk pertanian cenderung naik dalam jangka panjang dengan menurunnya harga di tingkat petani, yang disebabkan oleh

pengolahan dan jasa pemasaran yang cenderung padat karya, dan

pendapatan masyarakat yang bertambah tinggi sehingga konsumen lebih menginginkan kualitas produk yang lebih baik

c. Margin pemasaran relative stabil dalam jangka pendek, karena

dominannya faktor upah dan tingkat keuntungan bagi lembaga pemasaran Pada bidang pertanian, marjin pemasarn dapat diartikan sebagai perbedaan harga pada tingkat produsen dan harga ditingkat eceran/konsumen. Nilai marjin pemasaran dapat dilihat sebagai nilai agregat atau kumpulan dari berbagai komponen. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai efesiensi suatu sistem pemasaran adalah sebaran ratio profit margin (RPM) pada setiap lembaga pemasaran yang ikut serta dalam suatu proses pemasaran. Rasio profit marjin lembaga pemasaran ini merupakan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran dengan biaya yang dikeluarkannya.


(47)

Menurut Hasyim, Al (2003) tingginya marjin pemasaran dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inefesiensi. Hal ini menyebabkan para pedagang sering dituding sebagai penyebab inefesiensi, dan jumlahnya dianggap teralalu banyak atau mereka bertindak monopolistik.

2. Analisis elastisitas transmisi harga

Analisis pemasaran selanjutnya adalah analisis elastisitas transmisi harga atau nisbah perubahan nilai dari harga konsumen dengan perubahan harga ditingkat produsen. Analisis ini adalah analisis yang menggambarakan sejauh mana dampak dari perubahan harga barang di tempat konsumen atau pengecer terhadap perubahan harga ditingkat produsen atau penghasil (Hasyim, 1994).


(48)

B. Kajian Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Penelitian Tahun Metode Penelitian Hasil Penelitian

1 Ahmad Yousuf Analisis Efesiensi Ekonomi 2007 Fungsi Produksi Rata-rata petani jagung di daerah Kurniawan Dan Daya Saing Jagung Cobb-Douglas, penelitian telah efesien secara teknis,

Pada Lahan Kering Policy Analysis Matrix tetapi belum efesien secara alokatif

Di Kabupaten Tanah Laut, (PAM) dan ekonomis.

Kalimantan Selatan Komoditas Jagung Di Kabupaten Tanah

Laut memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

2 Ana Hoeridah dan Analisis Daya Saing Ubi 2011 Policy Analysis Matrix Usahatani Ubi Jalar menguntungkan Tintin Sarianti Jalar Cilembu Di Kabupaten (PAM) secara finansial maupun ekonomi dan

Sumedang, Jawa Barat memiliki daya saing baik dilihat dari

keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif.

3 Denny Dwinata Analisis Daya Saing Industri 2008 Analisis SWOT, Struktur industri CPO di pasar Herianto CPO Indonesia di Pasar Revealed Comparative Internasionalmengarah ke struktur

Internasional Advantage (RCA) pasar oligopoli ketat.

Industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif.

4 Dewi Gustiani dan Analisis Keunggulan 2005 Policy Analysis Matrix Kain tenun sutera alam produksi Parulian Hutagaol Komparatif dan Kompetitif (PAM) Kabupaten Garut memiliki

Kain Tenun Sutera Produksi keunggulan komparatif (ekonomi) dan


(49)

No Nama Judul Penelitian Tahun Metode Penelitian Hasil Penelitian

5 Fitriyani Mir'ah Analisis Daya Saing dan 2009 Policy Analysis Matrix Pengusahaan kakao di PTPN VIII Aliyahtillah dan Dampak Kebijakan Pemerintah (PAM) Afdeling Rajamandala layak untuk

Nunung Kusnadi Terhadap Komoditas Kakao dijalankan karena nilai keuntungan

PTPN VIII Kebun Cikumpay privat dan sosialnya yang positif.

Afdeling Rajamandala Bandung Kebijakan pemerintah terhadap input

dan output dalam pengusahaan kakao terbukti efektif meningkatkan daya saing kakao di PTPN VIII Afdeling Rajamandala.

6 Irawadi Jamaran, Sistem Informasi Penunjang 1997 Microsoft Visual Faktor kritis yang sangat berpengaruh Mohammad Strategi Dalam Meningkatkan Basic 5.0 dalam menentukan patokan harga Nabil, Fitrian Daya Saing Bisnis Komoditas The jual the adalah keadaan persediaan,

Ulya Putra kondisi penjualan dan situasi pasar

dalam maupun luar negeri. 7 Irnawaty Is Daya Saing Kakao Indonesia 2008 Analisis SWOT, struktur pasar dalam perdagangan

Di Pasar Internasional Revealed Comparative kakao internasional adalah cenderung Advantage (RCA) oligopoli namun memiliki sedikit

kekuatan monopoli.

Komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam

perdagangan internasional dimana nilai RCA yang dimiliki oleh


(50)

No Nama Judul Penelitian Tahun Metode Penelitian Hasil Penelitian

8 Gumilar Daya Saing Sayuran Utama 2010 Revealed Comparative Diperoleh rata-rata nilai RCA yang Indonesia Di Pasar Internasional Advantage (RCA), berada dibawah satu.

Export Product Dari perhitungan Export Product Dynamic (EPD), dan Dynamic (EPD) beberapa komoditas Constant Market Share sayuran Indonesia berada di posisi Analysis (CMSA) Retreat. Hasil analisis menggunakan

pangsa pasar konstan (CMS) untuk komoditas jamur dan tomat dominan dipengaruhi oleh dominan dipengaruhi oleh faktor daya saing.

9 Fitri Amelia Analisis Daya Saing Jahe 2009 Revealed Comparative Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia Di Pasar Internasional Advantage (RCA) struktur pasar jahe dunia adalah

struktur pasar dominan, yang berarti Indonesia adalah price taker dalam perdagangan jahe.

10 Ahmad Heri Analisis Daya Saing dan Faktor- 2007 Constant Market Share Hasil penelitian ini menunjukkan Firdaus faktor yang Mempengaruhi Ekspor Analysis (CMSA) dan bahwa kekuatan penawaran ekspor

Tekstil dan Produk Tekstil Revealed Comparative Indonesia yang dicerminkan oleh Indonesia Di Pasar Internasional Advantage (RCA), kekuatan daya saing dari TPT

Indonesia masih dibawah kekuatan


(51)

C. Kerangka Pemikiran

Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sektor dari sekian banyak sektor unggulan ekspor Indonesia. Salah satu komoditas unggulan perkebunan adalah karet selain kelapa sawit, teh, kopi dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Kebutuhan karet digunakan untuk alat-alat kesehatan, otomotif, peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Usaha agribisnis Karet Indonesia bukan hanya memasok kebutuhan di dalam negeri saja, melainkan negara lain seperti Japan, China, United States, dan Negara Uni Eropa.

Permasalahan yang menyebabkan daya saing karet negara kita masih rendah dibanding negara-negara sentra produksi karet lainnya antara lain pertama produktivitas karet Indonesia masih di bawah potensinya, kedua industri hilir belum berkembang, ketiga infrastruktur yang terbatas, keempat berbagai

kebijakan yang tidak kondusif, kelima berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik karet, dan keenam adanya kampanye negatif terhadap produk karet di pasar

Internasional. Oleh karena itu, perlu perbaikan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas karet agar mampu bersaing dengan pesaing utama yaitu Malaysia maupun Thailand. Terbukanya kran perdagangan bebas antar negara merupakan peluang bagi negara Indonesia untuk meningkatkan devisa dari ekspor karet. Selain itu tuntutan permintaan karet (rubber) dari negara-negara Eropa atau importir yang besar menyebabkan adanya syarat komoditas ekspor yang bersaing dan harus memperhatikn aspek lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat sekitar perkebunan.


(52)

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian “Analisis Dayasaing Agribisnis Karet Indonesia” ini adalah menganalisis struktur pasar dalam perdagangan Karet serta menganalisis posisi dayasaing Karet Indonesia di pasar Internasional. Oleh karena itu, tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan pengkajian potensi, kendala, dan peluang komoditas Karet. Analisis situasi tersebut dilakukan dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter Diamond Theory) tentang keunggulan bersaing suatu negara.

Dalam penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif lain yaitu Revealed Comparative Index (RCA). Nilai RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas Karet Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain yang juga menunjukan posisi komparatif Indonesia sebagai produsen Karet dibandingkan dengan negara lainnya dalam pasar karet alam Internasional. Skema alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.


(53)

Gambar 3. Bagan Alur Analisis Daya Saing Agribisnis Karet Indonesia Agribisnis Komoditas Karet

Indonesia

Perkebunan Karet Indonesia

Analisis Daya Saing Agribisnis Karet Indonesia Analisis Keunggulan Komparatif Agribisnis Karet Indonesia Analisis Keunggulan Kompetitif Agribisnis Karet Indonesia Revealed Comparatif Advantage (RCA) Teori Porter

Kondisi Faktor Industri Terkait Kondisi Permintaan Struktur Industri

Metode model I-O

Keterkaitan Antar Sektor Keterkaitan Ke Belakang Keterkaitan Ke Depan Fungsi Permintaan Efisiensi Pemasaran - Determinan - Trend Permintaan - Elastisitas Transmisi Harga


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional

Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel atau unsur-unsur yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian.

Data yang digunakan adalah data deret ukur (time series) yaitu data yang dikumpulkan dari untaian waktu tertentu dan menggambarkan perkembangan suatu kegiatan yang berlangsung.

Data sekunder adalah data yang didapat dari lembaga atau instansi tertentu yang mendukung tujuan penelitian, dalam bentuk data publikasi.

Keunggulan komperatif adalah keunggulan suatu negara dalam memproduksi suatu komoditas dengan biaya alternatif yang dikeluarkan lebih rendah dari biaya untuk komoditas yang sama di negara yang lain dan diukur dengan alat analisis RCA (Revealed Comparative Advantage).

Keunggulan kompetitif adalah keunggulan suatu komoditas yang dihasilkan dalam kegiatan produksi yang efesien sehingga memiliki daya saing di pasar lokal maupun internasional yang diukur berdasarkan kondisi faktor sumberdaya,


(55)

Nilai ekspor karet adalah hasil dari perkalian volume karet dengan harga yang berlaku di pasar dunia pada saat itu, diukur dalam satuan US$.

Total nilai ekspor seluruh komoditas adalah jumlah total dari nilai ekspor seluruh komoditas (termasuk komoditas karet) yang diekspor oleh suatu negara, diukur dalam satuan US$.

Total nilai ekspor dunia untuk komoditas karet adalah jumlah total dari nilai ekspor komoditas karet di dunia, diukur dalam satuan US$.

Total nilai ekspor dunia seluruh komoditas adalah jumlah total dari nilai ekspor seluruh komoditas (termasuk komoditas karet) di dunia, diukur dalam satuan US$. Volume ekspor karet adalah jumlah total karet yang diekspor dalam satuan tahun, diukur dalam satuan ton.

Keterkaitan ke belakang (backward linkage) menunjukkan seberapa besar input yang digunakan oleh suatu sektor dari output sektor lain akibat peningkatan satu satuan permintaan akhir sektor tertentu.

Keterkaitan ke depan (forward linkage) menunjukan peran suatu sektor dalam menyediakan output untuk digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lain akibat peningkatan satu satuan permintaan akhir sektor tersebut.

Output adalah seluruh hasil yang dihasilkan dari suatu proses atau operasi, diukur dalam rupiah.


(56)

Input adalah sesuatu yang dihasilkan dari suatu proses produksi atau operasi yang dimanfaatkan atau dibeli untuk dikonsumsi oleh masyarakat, permintaan atau luar negeri diukur dalam rupiah.

Revealed Comparative Advantage adalah salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif dengan membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu di pasar internasional. Alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dayasaing agribisnis karet Indonesia dengan pendekatan dari beberapa atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik, kondisi faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait dan struktur pasar karet internasional.

B. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada cakupan wilayah Indonesia. Lokasi penelitian adalah beberapa tempat dalam pengambilan data yang mendukung tujuan skripsi ini diantaranya Perpustakaan Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Unila, Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, Badan Pusat Statistik Indonesia, Departemen Pertanian, dan Direktorat Jenderal Perkebunan. Penelitian ini berlangsung pada Bulan November 2013 hingga Bulan April 2014.

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Oleh karena itu, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian antara lain: luas lahan, produksi, produktifitas karet, dan ekspor karet,


(57)

gambaran umum karet, selain itu sumber data yang menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan, dan internet.

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis pengolahan data dilakukan secara kuantitatif. Dalam analisis data untuk mengukur atau menghitung keunggulan komparatif karet Indonesia digunakan alat analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif karet Indonesia digunakan metode analisis Teori Berlian Porter. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007, program Grimp, dan SPSS 17.

1. Analisis Struktur Pasar Karet di Pasar Internasional

Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu komoditas. Herfindahl Index merupakan suatu alat untuk mengukur besar kecilnya (ukuran) produsen-produsen dalam industri dan sebagai indikator jumlah pesaing diantara mereka. Herfindahl Index dan rasio konsentrasi sering digunakan untuk mengukur konsentrasi industri. Nilai Herifindahl Index mencerminkan penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan atau produsen dalam suatu industri. Indeks tersebut merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap perusahaan dalam suatu industri.


(58)

Keterangan :

Sij = Pangsa pasar karet Negara i di pasar internasional Xij = Nilai ekspor karet Negara i dipasar internasional TXj = Total nilai ekspor karet di pasar internasional

Dalam penelitian ini, alat analisis Herifindahl Index digunakan dengan tujuan mengetahui struktur pasar karet alam di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan karet alam. Pangsa pasar karet alam suatu negara dihitung dengan cara

membandingkan ekspor karet alam tersebut dengan total ekspor dunia. Formula yang sama kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan karet alam internasional, yaitu sebagai berikut:

Keterangan :

HI = Herifindahl Index

Si = Pangsa pasar negara ke i dalam perdagangan karet alam dunia n = Jumlah negara yang terlibat dalam perdagangan karet alam

Didasarkan pada analisa standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang besangkutan (CR4 = 40%). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka pangsa penjualan atau produksi masing-masing produsen adalah 10 persen dari nilai penjualan atau produksi suatu pasar. Apabila penguasaan pasar oleh sepuluh produsen atau


(59)

kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecendrungan peningkatan derajat penguasaan pasar dari tahun ketahun. Sejalan dengan peningkatan derajat penguasaan pasar tersebut, beberapa sub sektor industri beralih kearah persaingan oligopolistik. Nilai Herifindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (atau 10.000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai Herifindahl Index mendekati 0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Struktur pasar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan rasio konsentrasinya, yaitu :

1. Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukan dengan rasio konsetrasi yang sangat rendah.

2. Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competicion) ditunjukan dengan nilai rasio konsetrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) < 40 persen. 3. Strukur pasar oligopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat

produsen terbesar (CR4) ≥ 40 persen.

4. Struktur pasar monopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen (CR4) mendekati 100 persen.

Rasio konsentrasi negara penghasil karet alam di formulasikan sebagai berikut:

� � =


(60)

Keterangan:

Sij = Pangsa pasar negara ke i penghasil karet alam

CRni = Menunjukan n-rasio konsentrasi pada pasar internasional

Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 menunjukan persentase output pasar yang dihasilkan oleh keempat atau kedalapan produsen terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukan bahwa industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada dipasar, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukan konsentrasi pasar yang rendah, persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar.

Dengan mengetahui nilai Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi empat

produsen terbesar ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi dan struktur pasar persaingan di mana Indonesia dan negara-negara produsen karet alam lainnya bersaing, serta menyesuiakan strategi kompetitif yang akan

digunakan. Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dua alat yaitu Herifindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut :

1.Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 80-100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800-10.000. struktur pasar untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau oligopoli ketat. 2.Konsentrasi pasar yang sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara

50 sampai 80 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.000- 1.800. Struktur pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih banyak oligopoli.


(61)

3.Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar 0 sampai dengan 50 persen, sedangkan kisaran nilai HI antara 0 sampai dengan 1.000. Struktur pasar dengan tingkat konsentrasi rendah adalah struktur pasar persaingan sempurna atau persaingan monopolistik.

2. Analisis Keunggulan Komparatif Karet Indonesia

Revealed Comparative Advantage (RCA) adalah indeks yang mengukur kinerja ekspor suatu komoditas dari suatu negara dengan mengevaluasi peranan ekspor suatu komoditas dalam ekspor total negara tersebut, dibandingkan dengan pangsa komoditas tersebut dalam perdagangan dunia (Kuncoro, 2008 dan Basri, 2002). Dengan kata lain, RCA merupakan rasio antara nilai ekspor komoditas tertentu di negara tertentu dengan total nilai ekspor (dunia) komoditas yang sama. Indeks RCA merupakan indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan

komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global (Tambunan, 2003).

Konsep keunggulan ini dikemukakan oleh Balassa pada tahun 1965. Balassa (1965) dalam Saboniene (2009) menyatakan bahwa hasil dari kegiatan ekspor digunakan untuk mengungkap keunggulan komparatif dari bagian negara yang kurang terhadap bagian lain yang memiliki keunggulan pada faktor biaya. Pola ekspor komoditas ini dinyatakan sebagai suatu pola yang merefleksikan biaya relatif sebagaimana perbedaan pada faktor non-harga, yang dapat menentukan struktur dari perdagangan, khususnya ekspor.


(62)

Balassa (1965) dalam Abdmoulah dan Laabas (2010) mengangkat teori bahwa nilai RCA menangkap derajat spesialisasi perdagangan dari suatu negara. Indeks RCA dapat dikatakan sebagai indeks yang melukiskan harga relatif yang berlaku dan faktor-faktor penentunya sebagaimana yang terjadi pada produk distorsi pasar. Secara matematis, indeks RCA yang dikenal sebagai Balassa Index dapat dirumuskan sebagai berikut (Saboniene, 2009):

�� �� = /

/

Keterangan:

Xik = Nilai ekspor komoditas karet alam dari negara i Xi = Nilai ekspor total dari negara i

Wk = Nilai ekspor komoditas karet alam di dunia Wt = Nilai ekspor total dunia

Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu (>1), maka negara yang bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu (<1), berarti keunggulan komparatif untuk komoditas tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya. RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya saing komoditas ekspor Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) (Astuty dan Zamroni, 2000).


(63)

3. Analisis Keunggulan Kompetitif Karet Indonesia

Dalam menganalisis keunggulan kompetitif karet Indonesia dipakai alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan, kondisi faktor (sumberdaya), industri pendukung dan terkait, struktur pasar, persaingan,serta strategi industri karet Indonesia. Menurut Teori Porter, tingkat daya saing suatu negara dapat dikaji dengan empat atribut yang dimilikinya dengan sebutan “the national diamond”. Empat atribut (Teori Berlian Porter) tersebut adalah sebagai berikut:

a. Factor Condition (FC)

Factor condition adalah keadaan faktor-faktor produksi (sumber daya) dalam industri suatu negara atau wilayah. Sumber daya yang akan diuji dalam analisis ini antara lain: sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya modal yang mendukung daya saing karet Indonesia.

b. Related and Supporting Industries (RSI)

Related and supporting industries yaitu mengenai industri terkait dan industri pendukung karet Indonesia. Ketika industri pendukung mampu bersaing secara kompetitif, perusahaan dapat menikmati biaya dengan lebih efektif dan input yang inovatif. Salah satu komponen industri terkait adalah industri hulu yang memasok input bagi industri utama dan juga industri hilir yaitu industri yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Industri terkait dan pendukung akan semakin memperkuat posisi bersaing suatu wilayah apabila supplier dan industri pendukung merupakan pesaing global yang kuat dalam perdagangan internasional.


(64)

c. Demand Condition (DC)

Demand Condition adalah keadaan permintaan atas barang jasa dalam negeri dan luar negeri. Hal-hal yang akan dikaji dalam analisis ini adalah permintaan karet Indonesia di pasar domestik, permintaan karet Indonesia di pasar

internasional, dan pola pertumbuhannya. d. Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR)

Firm Strategy, Structure, and Rivalry yaitu mengenai strategi perusahaan, struktur pasar, dan persaingan karet Indonesia di pasar internasional. Kondisi lokal dapat mempengaruhi strategi perusahaan yang berbeda-beda pada setiap wilayah. Strategi, struktur, dan persaingan dapat menentukan tipe industri suatu wilayah. Tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi dan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal merupakan penggerak dan memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatan daya saing. Struktur perusahaan atau industri menentukan daya saing dengan cara melakukan perbaikan dan inovasi. Hal ini jika dikembangkan dalam situasi persaingan akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan perusahaan. Pada penelitian ini akan difokuskan dalam menentukan atau menganalisis struktur pasar karet di pasar internasional.

3.1 Analisis Keterkaitan Antar Sektor

Analisis keterkaitan digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem

perekonomian. Menurut Rasmussen dalam Nazara (2005) analisis keterkaitan meliputi analisis keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan analisis


(1)

96

satu. Kondisi permintaan karet di pasar domestik maupun internasional secara keseluruhan dari tahun 2007 hingga tahun 2012 mengalami peningkatan. Harga karet, dan PDB industri pengolahan karet merupakan variabel yang berpengaruh nyata terhadap permintaan karet. Struktur industri karet jika dilihat dari efisiensi pemasarannya, maka sistem pemasaran karet di Indonesia dapat dikatakan tidak efisien, salah satunya ditunjukkan dengan nilai

elastisitas transmisi harga yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,23.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis dayasaing agribisnis karet alam Indonesia yaitu :

1. Upaya peningkatan ekspor karet dalam bentuk olahan barang yang siap pakai seperti ban dan alat kesehatan, selain dari dalam bentuk karet mentah atau setengah jadi. Hal tersebut harus didukung dengan membuka industri pengolahan karet dan memberdayakan seluruh industri yang telah ada secara lebih baik.

2. Perlu adanya peningkatkan produktivitas lahan kebun karet sehingga dapat memperbesar jumlah ekspor karet mentah, setengah jadi, maupun siap pakai sebagai kontribusi terhadap penerimaan devisa negara.

3. Peningkatan keunggulan kompetitif agribisnis karet Indonesia dengan cara pendampingan penyuluh untuk memberikan sosialisai penggunaan bibit unggul dan penggunaan teknologi terkait peningkatan produktivitas lahan perkebunan karet dengan dukungan dari asosiasi dan lembaga penelitian


(2)

97

terhadap peningkatan dayasaing karet Indonesia. Perkebunan karet juga harus didukung dengan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas agribisnis karet Indonesia yang berkelanjutan.

4. Diperlukan pengkajian lebih lanjut untuk daya saing agribisnis karet Indonesia akibat dampak dari berbagai kebijakan pemerintah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alfiah, T. 2014. Analisis Input Output terhadap Ekonomi Karet Indonesia. Universitas Lampung, Lampung.

Arifin, B. 2012. Improving the Sustainability and Competitiveness of Agricultural Export Commodities in Indonesia. INDEF, Jakarta.

Association of Natural Rubber Producing Countries. April 2010. hal. 19-20. Area Planted during each Year in ANRPC Member Countries. Volume 1 No. 9. Astuty, E.D. dan Zamroni. 2000. Kajian Daya Saing Ekspor Komoditas

Pertanian. PEP-LIPI, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik, Jakarta. _____. 2009. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

_____. 2013. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.

Daryanto, A. 2009. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya

Peningkatannya. Seminar Nasional: Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Departemen Pertanian, Jakarta. Denny, D. H. 2008. Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar

Internasional. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Kementerian Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Karet. Kementerian Perindustrian, Jakarta.

_____. 2009. Roadmap Industri Pengolahan Karet dan Barang Karet. Kementerian Perindustrian, Jakarta.

Downey dan Erickson. 2004. Manajemen Agribisnis, Edisi 2. Erlangga. Jakarta Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.


(4)

Food And Agriculture Organization. 2010. Statistics Production.

http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor. diakses pada tanggal 8 Oktober 2013.

Hanafiah, A. M. dan Saefuddin. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. UI-Press. Jakarta

Hasyim, A. I. 2003. Pengantar Tataniaga Pertanian: Diklat Kuliah Fakultas Pertanian Unila. Bandar Lampung. 51 hlm.

_____. 1994. Tataniaga Pertanian. Buku Ajar. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 59 hlm.

Heckscher dan Ohlin. 1949. The effect o foreign trade on distribution of income. In Howard. S. Ellis & Lioyd A. Metzle, editors, Reading in the theory on international trade. Homewood Irwin.

International Trade Statistics. 2010. List of exporters for the selected product: TOTAL All products.

http://www.trademap.org/tradestat/Country_SelProduct_TS.aspx. diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.

Kuncoro, M. 2008. Indonesia Bangkit 2008. Warta Ekonomi’.

http://mudrajad.com/upload/Indonesia%20Bangkit%202008.pdf. diakses pada tanggal 25 Juni 2010.

Kurniawan, E. 2012. Analisis Efesiensi Pemasaran Karet Rakyat Jenis Bokar di Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung. Universitas Lampung. Lampung

Kotler, Philip. 2009. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian,. Jilid dua. Erlangga, Jakarta. Lipsey, RG, et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Binarupa Aksara.

Jakarta.

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI. Jakarta.

Nazaruddin dan F.B. Paimin. 2006. Karet, Strategi Pemasaran dan pengolahan. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Hermayanti, N. W. 2012. Analisis Daya Saing Usahatani Kelapa Sawit di Kecamatan Waway Karya Kabupaten Lampung Timur. Universitas Lampung. Lampung

Oktaviani, R. dan Tanti Novianti. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Bogor.


(5)

Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, New York. Rendy, O. 2013. Analisis Keterkaitan Sektor Agroindustri terhadap

Perekonomian di Propinsi Lampung. Universitas Lampung. Lampung Ricardo, David. 1971 (1817). The Principles of Political Economic and Taxation.

Baltimore, Penguin.

Saboniene, A. 2009. Lithuanian Export Competitiveness: Comparison with other Baltic States. The Economic Conditions of Enterprise Functioning. Kaunas University of Technology, Lithuania.

Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta. Samanhudi, T. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Produk

Pertanian Indonesia Ke Amerika Serikat. Universitas Sumatra Utara. Medan

Sari, G. 2007. Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Produk Karet Indonesia (HS 4011). Universitas Indonesia. Depok Schwab, K. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011. World

Economic Forum. Geneva, Switzerland.

Soekarno. 2009. Analisis Keunggulan Komparatif Karet Alam Indonesia Tahun 2003-2007. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Soekartawi. 2003. Ilmu Ushtani dan Penelitian Pengembangan Untuk Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta.

Suciati, R. 2006. Kajian Perkembangan Perdagangan Internasional Karet Indonesia ke Negara Anggota ISO/TC 45. Jurnal Standarisasi. Vol. 8 No.1: 10-17

Sukarmi. 2002. Regulasi Antidumping: Dibawah Bayang-Bayang Pasar Bebas. Sinar Grafika Offset, Jakarta.

Sukiyono, K. 2007. Keterkaitan Sektor dan Sektor Utama dalam Perekonomian Propinsi Bengkulu: Analisa Input-Output. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Bengkulu

Swasta dan Irawan. 1990. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty _____. 1990. Unsur dan Aspek Penting dalam Memasarkan Produk. Edisi

Pertama. Cetakan Kedua. PT. Grafindo. Jakarta.

Tambunan, T.T.H. 2003. Industrialisasi Di Negara Sedang Berkembang. Ghalia Indonesia. Jakarta.


(6)

Tomek, W. G. dan K. L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices (Third Edition). Cornell University Press, Ithaca and London.

Undri. 2004. Kepemilikan Tanah di Sumatera Barat Tahun 1950-an (Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman). Workshop on the Economic Side of Decolonosatioan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

United Nations Comtrade. 2010. United Nations Commodity Trade Statistics Database: Statistics Division. http://comtrade.un.org/db/. diakses pada tanggal 8 Oktober 2013.

Yuprin, A. D. 2011. Analisis Pemasaran Karet di Kabupaten Kapuas. Universitas Brawijaya.