JPA: Jurnal Penelitian Agama ISSN 1411
‐5875 Vol.12.No.2. Juli‐Desember 2011
1
1
1. Pengantar
Kampus sebagai miniatur masyarakat masa depan bisa dianggap laboratorium sosial. Perubahan nilai-nilai di kampus akan mempengaruhi nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Di Indonesia, perubahan Orde Lama ke Orde Baru diawali dengan perubahan nilai-nilai di kampus. Demikian pula perubahan orde baru menuju orde
reformasi digerakkan oleh gerakan yang berawal dari kampus. Komunitas kampus tersusun dari para mahasiswa, dosen, karyawan, dan
pejabat struktur, yang sering disebut sivitas akademik. Dosen dan mahasiswa sebagai aktor utama yang menjalankan proses pendidikan formal. Satu di antara
mata kuliah pengembangan kepribadian MPK yang diberikan di perguruan tinggi adalah Pendidikan Agama Islam PAI.
Tujuan MPK PAI berdasarkan Visi Indonesia 2020, dikutip dari Mansoer 2006 adalah menciptakan manusia unggul secara intelektual anggun secara moral.
Beberapa nilai yang diharapkan dalam PAI di Perguruan Tinggi antara lain: learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together. Kompetensi
PAI adalah mengantarkan mahasiswa untuk memahami ajaran agama Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber nilai dan pedoman serta landasan berpikir
dan berprilaku dalam menerapkan ilmu dan profesi yang dikuasainya. Dikti 2006 dalam ‘Rambu-rambu pelaksanaan MPK di PT’ telah
dirumuskan metodologi pembelajaran PAI, antara lain: pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa metododologi MPK diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisifasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian, dengan
menempatkan mahasiswa sebagai subjek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran, dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.
JPA: Jurnal Penelitian Agama ISSN 1411
‐5875 Vol.12.No.2. Juli‐Desember 2011
2
2 Pada pasal 5 ayat 2 disebutkan, bahwa MPK proses pembelajarannya harus
mendidik, sehingga terjadi pembahasan yang kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori untuk mencapai pemahaman tentang
subtansi dasar kajian, berkarya nyata, dan untuk menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat. Pada pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa bentuk proses pembelajaran
dapat dilakukan melalui beragam aktifitas, seperti kuliah tatap muka, ceramah, dialog diskusi interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, penugasan kelompok, dan
tugas kokurikuler mentoring. Walaupun secara konsepsi dan metodologi pembelajaran PAI di beberapa PT
terlihat baik, namun masih meninggalkan beberapa permasalahan yang mendasar. Permasalahan tersebut antara lain: masih terjadinya tawuran antar mahasiswa,
praktik pencontekan, perilaku asusila, kurangnya harmonisasi antar penganut mazhab fikih-pemikiran-politik, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan akhlaq
Islami. Pada tataran nasional, kita bisa memahami fakta masyarakat berdasarkan
pernyataan mantan Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni Kompas, 29-Mei- 2009, … “kerukunan umat beragama di Indonesia dinilai oleh dunia internasional
sebagai yang terbaik....Bahkan Indonesia dianggap sebagai laboratorium kerukunan umat beragama. Paling tidak hal ini terungkap dari pernyataan Menlu Italia, Franco
Frattini dan pendiri komunitas Sant` Egidio, Andrea Riccardi dalam pidatonya pada pembukaan seminar internasional dengan tema: Unity in Diversity: The Indonesian
Model for a Society in which to Live Together, yang digelar pada 4 Maret 2009 di Roma”.
Masih menurut mantan Menteri Agama, yang dikutip Newsroom 31122009,.. kerukunan umat beragama akan rentan dan terganggu apabila jurang
pemisah antar kelompok agama dalam aspek-aspek sosial dan budaya ini semakin lebar, termasuk jurang-jurang pemisah sosial baru yang akan muncul akibat krisis
moneter global saat ini. Pemeliharaan kerukunan umat beragama bukan hanya
JPA: Jurnal Penelitian Agama ISSN 1411
‐5875 Vol.12.No.2. Juli‐Desember 2011
3
3 tanggungjawab para pejabat pemerintah di bidang agama dan pemuka agama,
melainkan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan Revitalisasi Nilai-nilai Agama Islam dalam Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi
yang lebih smart. Berdasarkan data tersebut di atas, penulis mencermati bahwa akar masalah
dari berbagai masalah sosial budaya yang memicu ketidakrukunan intra dan antar umat beragama, baik di kampus khususnya, maupun di masyarakat, antara lain: 1
Adanya missingling paradigma aqidah Islam dengan realitas kehidupan; 2 Kurangnya pemahaman terpadu Nilai-nilai Islam dan aplikasi muamalahnya dalam
kehidupan sehari-hari; 3 Kurangnya variasi komukasi dinamis pendidik dan peserta didik. Untuk keperluan tersebut kita perlu melihat qudwah hasanah Rasulullah
sebagai pendidik umat terbaik sepanjang sejarah sebagai intisari parameter suksesnya pendidikan Islam masa kini. Beliaulah, pemimpin multikultur dengan standar
ilahiyah di Madinah Munawwarah.
2. Objek Kajian dan Teori