GENDER dan DOMESTIKASI PEREMPUAN

III. GENDER dan DOMESTIKASI PEREMPUAN

Gender sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller pada tahun 1968, untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendifinisian yang bersifat sosial-budaya dengan pendifinisian yang bersifat biologis Wahyuni, 2002. Masih dalam tulisan yang sama, Ann Oak Ley pada tahun 1972, menyatakan bahwa gender adalah suatu kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Mengapa gender perlu dibedakan dengan jenis kelamin, dan mengapa gender merupakan kontruksi sosial? Jenis kelamin merupakan sifat biologis bawaan yang tidak bisa diubah. Dimanapun ia, ciri tersebut tidak akan berubah. Seorang dikatakan perempuan bila ia memiliki rahim, vagina dan payudara, sedangkan dikatakan laki-laki bila ia memiliki buah zakar, penis dan sperma. Berdasarkan sifat biologis tersebut kemudian dibangunlah asumsi, perilaku sosial, dan pranata yang berlaku di masyarakat. Seperti misalnya perempuan bermain boneka, menangis dan warna merah muda pink adalah perempuan, sedangkan laki-laki bermain pedang-pedangan, berkelahi dan biru. Wahyuni 2002 menyatakan bahwa perbedaan peran akibat perbedaan sifat biologis ini tergantung pada dimana kita dilahirkan dan posisi kita didalamnya, kemiskinan atau kekayaan relatif kita, dan kelompok kesukuan kita. Sebagai akibat dari perbedaan sifat biologis tersebut, yang tertanam sejak lama di masyarakat, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan untuk urusan dalam domestik sedangkan laki-laki urusan luar publik. Perempuan untuk pekerjaan yang halus, sedangkan laki-laki untuk pekerjaan kasar. Acharya 1983 dalam Kusnadi 2001 menyatakan bahwa dalam kenyataannya aktivitas-aktivitas yang dilakukan perempuan secara umum dapat dikatagorikan ke dalam aktivitas ekonomi dan domestik. Keterlibatan perempuan- seperti dalam bidang pertanian, industri, perdagangan dan jasa- dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan-kegiatan lain, seperti pemrosesan bahan makanan, pengambilan air, dan pengumpulan bahan makanan liar adalah bagian integral dari reproduksi ekonomi rumah tangga, yang secara umum untuk memenuhi ekonomi subsistensi. Katagorisasi hal-hal tersebut sebagai aktivitas ekonomi karena kelompok aktivitas ini dapat ditampilkan secara komersial, dan nilai ekonomisnyapun dapat diukur. Sementara itu, aktivitas-aktivitas lainnya seperti memasak, melayani suami dan anak-anak, membersihkan rumah, menyeterika, berbelanja dan mengasuh anak dapat diklasifikasikan ke dalam aktivitas domestik. Kelompok aktivitas ini adalah inti dari proses reproduksi rumah tangga yang tidak diukur secara ekonomis. Dari beberapa uraian di atas, bagaimana dengan kondisi dan posisi perempuan di Indonesia? Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah. Tabel 1. Kondisi Perempuan Indonesia 1. Ranking HDI dan GDI 1995 1998 2001 Human Development Index 96 109 174 102 174 Gender Development Index 88 90 174 92 174 Gender Empowerment Measure - - - 2. Pendidikan dan Kesehatan Pendidikan a. SDSLTP L:P seimbang b. SLTA LP perempuan DO meningkat c. AKPT LP perempuan DO tinggi d. Buta Huruf LP 1 laki: 2-3 perempuan Kesehatan a. AKI 390100.000 SDKI’94, 373100.000 SKRT’98 b. Berat badan bayi lahir rendah masih tinggi c. Lahir dibantu dukun bayi 54 d. Peserta KB perempuan . 98 Sumber: Heru 2002 Human Development Index HDI dan Gender Development Index GDI adalah klasifikasi yang dilakukan oleh Program Pembangunan PBB UNDP, United Nations Development Program terhadap negara- Bila dilihat dari Tabel 1 di atas, terlihat bahwa HDI Indonesia turun dari peringkat 96 di tahun 1995 ke peringkat 109, di tahun 1998, dan meningkat lagi ke peringkat 192 di tahun 2001. Sedangkan GDI Indonesia terjadi penurunan dari tahun 1995 di peringkat 88 menjadi peringkat 90 pada tahun 1999, dan menurun lagi ke peringkat 92 di tahun 2001. Tabel 2. Posisi Perempuan Indonesia 1. Pekerjaan Susenas’99 Laki-laki Perempuan Tingkat partisipasi angkatan kerja 83,6 51,2 Perbandingan upah 100 46 Kerja sektor formal 70,0 42,0 2. Posisi Perempuan dalam Pemerintah Politik DPR 43 8,3 MPR 63 9,1 DPA 1 2,5 BPK MA 7 14,8 KPU 2 18,1 Gub Wakil Gub Bupati Walikota 7 6,0 Dubes 4 0,5 Ketua Partai Politik 1 3. Kemiskinan Sumber: Heru 2002 Dari Tabel 2 di atas, meskipun terlihat adanya peningkatan yang cukup besar bagi perempuan, tetapi keberwujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam hutan masih belum dapat terlihat jelas. Kembali pada bagian awal, pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran- peran, penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam, hak dan posisi, ternyata mengakibatkan ketidakadilan gender Simatauw et al, 2001. Lebih lanjut dinyatakan ada lima bentuk ketidak adilan gender dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, yaitu: 1 Marjinalisasi peminggiran ekonomi, salah satu yang terlihat nyata adalah lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit dan pasar; 2 Subordinasi penomorduaan, subordinasi perempuan ini berkaitan erat dengan masalah penguasaan terhadap sumber daya alam. Sejarah membuktikan, pemilik, atau penguasa sumber daya alam cenderung memiliki kekuasaan lebih besar dan membawahi serta berhak memerintah kelompok-kelompok tidak bermilik, termasuk perempuan. Bentuk lain dari subordinasi perempuan juga terdapat pada hak waris. Banyak budaya tidak memberikan hak waris apapun pada perempuan karena perempuan dianggap akan masuk ke dalam keluarga suaminya ketika menikah; 3 Beban kerja berlebih, pada umumnya perempuan memiliki tiga peran triple role yaitu produktif, reproduktif dan memelihara anak yang lebih dominan. Yang dapat dilihat langsung adalah jam tidur perempuan lebih pendek dibanding laki-laki, waktu istirahat hampir tidak ada. Akibatnya perempuan tidak memiliki waktu untuk membicarakan hal-hal diluar rutinitasnya seperti membaca koran, mendengarkan informasi, atau hadir dalam pertemuan-pertemuan masyarakat; pada bentuk-bentuk tertentu yang belum tentu benar, seperti emosional, lemah, tidak mampu memimpin, tidak rasional dan lain-lain. Sukarno 1963 menuliskan bahwa sebagai akibat dari cap-cap negatif ini, perempuan diumpamakan sebagai “sebutir mutiara”. Para suami memuliakan istri mereka, mereka mencintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikan sebagai mutiara, tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan istrinya di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya; 5 Kekerasan, kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Bentuknya bermacam-macam mulai dari bentuk kekerasan fisik maupun psikologis. Pada konflik sumber daya alam kekerasan terhadap perempuan seringkali meningkat baik itu yang dilakukan oleh aparat militer atau sipil serta pihak-pihak investor maupun juga terjadi di ruang-ruang keluarga, oleh suami, tetangga atau saudara.

IV. PEREMPUAN, KEHUTANAN SOSIAL dan GENDER BUDGET