BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah menyebabkan 4.5 dari beban penyakit secara global, dan
prevalensinya hampirsama besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain
mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap
tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit danatau penggunaan obat jangka panjang
Depkes, 2006
b
. Hipertensi telah membunuh 9,4 juta jiwa warga dunia setiap tahunnya.
WHO memperkirakan jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang membesar. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan
sekitar 29 warga dunia terkena hipertensi WHO, 2010.Sebanyak 10 propinsi di Indonesia mempunyai prevalensi di atas prevalensi nasional termasuk Jawa
Tengah. Prevalensi hipertensi tertinggi di 10 kabupatenkota di Indonesia adalah Kepulauan Natuna 53,3 sedangkan yang terendah ditempati Papua Barat
dengan prevalensi 6,8 Depkes, 2008. Pemilihan obat yang tidak tepat dapat disebabkan oleh obat yang
digunakan tidak efektif, alergi dengan obat yang diberikan, obat kontraindikasi, resisten dengan obat yang digunakan dan penderita menerima kombinasi produk
obat yang tidak perlu atau polifarmasi Depkes, 2006
b
. Evaluasi penggunaan obat bertujuan untuk menjamin penggunaan obat yang rasional sehingga mendapatkan
keberhasilan dalam pengobatan dan mengurangi efek samping yang tidak diinginkan. Masalah penggunaan obat yang tidak rasional masih cukup menonjol
di beberapa pusat pelayanan kesehatan. Di samping berakibat pada pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko terjadinya
efek samping. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya.
1
Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien efek samping dan biaya yang mahal maupun oleh populasi yang lebih luas dan mutu pelayanan
pengobatan secara umum Depkes, 2006
a
. Sehingga dengan adanya evaluasi pemilihan obat tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi tenaga kesehatan dalam
pemberian obat kepada pasien. Maka dari itu perlu dilakukan evaluasi penggunaan obat meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis.
Menurut hasil survey oleh Setiawardani 2007 pada pasien hipertensi geriatri di RSUP Dr. Sardjito periode Januari – Desember 2006 menunjukkan
penggunaan obat antihipertensi paling banyak adalah ACEI dengan persentase ketepatan tepat pasien 91,84, tepat obat 84,09, tepat dosis 89,77 dan tepat
indikasi 94,32. Menurut hasil penelitian Rakhim 2011 penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi dengan komplikasi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2009 menunjukkan persentase tepat indikasi 100, tepat obat 81,82, tepat dosis 84,85 dan tepat pasien 100
dengan penggunaan obat antihipertensi paling banyak adalah furosemid sebanyak 65,66.
Jumlah penderita hipertensi rawat inap di RSUD Sukoharjo terdapat 723 pasien dalam tahun 2013, angka tersebut terbesar ketiga setelah demam tifoid
sebanyak 940 pasien rawat inap dan gastrointeritis akut sebanyak 845 pasien. Rasionalitas pengobatan dapat dilihat dari banyaknya obat yang digunakan setiap
pasien.Rata-rata obat untuk hipertensi yang diresepkan di RSUD Sukoharjo adalah 2-3 jenis obat, sehingga perlu dilakukan mengenai penelitian tersebut.Dari
hasil data pasien tersebut, diharapkan dapat memberi gambaran mengenai ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada penyakit hipertensi pasien rawat
inap berdasarkan tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis.
B. Perumusan Masalah