Efektifitas hakim mediasi dalam menyelesaikan perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

(1)

EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD ROZI NIM : 208044100005

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2 0 1 4


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD ROZI

NIM : 208044100005

Di Bawah Bimbingan:

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2 0 1 4


(3)

Lembar Pengesahan

Skripsi berjudul EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM

MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN DIPENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu, 22 Oktober 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana syariah (S.Sy.) pada program studi Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsyiah)


(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

ABSTRAK

MUHAMMAD ROZI, NIM: 208044100005, EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x +87.

Perkembangan masyarakat modern menciptakan suasana masyarakat yang semakin komplek. Hal ini berdampak semakin banyaknya konflik yang muncul, terkhusus konflik yang terjadi antara hubungan keluarga, yang pada akhirnya memunculkan gugatan atau permohonan perceraian. Oleh karena itu perlu upaya untuk menyelesaikan perkara tersebut tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang dan menyita waktu untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah. Walaupun demikian ada anggapan bahwa hal tersebut belum efektif, ini lah yang menjadi persoalan dalam peneltian ini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu dpreskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, bahwa upaya yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Agama belum mampu untuk menciptakan mediasi yang efektif, hal ini terlihat dari segi keberhasilannya yang hanya 4,51% dari 1173 kasus yang ditangani di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Kedua, proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan melewati beberapa tahap. Pertama, tahap pramediasi, pembentukan forum, pendalaman masalah, penyelesaian akhi dan penentuan hasil kesepakatan, kesepakatan di luar pengadilan, keterlibatan ahli dalam proses mediasi, dan berakhirnya proses mediasi, sehingga dapat dilakukan eksekusi serta upaya hukum.

Ketiga, Pengadilan Agama Jakarta Selatan berwenang untuk menyelesaikan beberapa perkara terkait kewenangan absolute dan relatifnya. Keweanangan absolut Pengadilan Agama Jakarta Selatan berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Shadaqah, Infaq, dan Ekonomi syari’ah.

Kata kunci :Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Mediasi, efektif. Pembimbing : Drs. Ahmad Yani, M.Ag.


(6)

pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang pantas dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba memohon pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sholawat serta salam kepada “legislator” yang tidak ada tandingannya, membuat hukum dengan kemaslahatan yang mengelilinginya, menegakkan hukum dengan penuh kebersihan akal dan jiwa sehingga setiap keputusan sesuai tidak ada yang menentangnya. Semoga sholawat dan salam menolong hamba pada saat penghakiman di akhirat kelak, serta memberikan atsar semangat dan keteguhan dalam perjuangan penulis dalam menegakkan hukum di kehidupan sehari-hari hamba. Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:

1. Secara Khusus Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda M. Effendi dan Ibunda Saripah Aini

yang selalu membimbing dan memotivasi saya dengan tulus, serta selalu mendoakan saya agar saya selalu sukses dalam segala hal. Semua yang telah mereka berikan tidak akan dapat tergantikan dengan dengan apapun di dunia ini.


(7)

2. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. Ahmad Tholabi Kharli, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak

Isma’il Hasani, SH., MH. Sekretaris Program Doeble Degree;

4. Drs. Ahmad Yani, M.Ag. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini. 5. Drs. H. A. Basiq Djalil S.H., MA. dan Rosdiana MA. Sebagai penguji

pertama dan kedua. Mudah-mudahan segala masukan dan nasihatnya dapat memberi dampak positif pada penulis.

6. Mufidah S.H.I. yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan kuliyah saya.

7. Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi refrensi dalam penulisan skripsi.

8. Adik-adik tercinta Jumri beserta Istri, Hamidah, Taufik Hidayat dan Sofwan serta keluarga besar saya yang selalu memberikan motivasi dan semangat serta mendoakan saya dalam menyelesaikan kuliyah saya. 9. Murkan S. Pd.I terima kasih yang sedalam-dalamnya yang selalu

memberikan dukungan baik moril maupun secara material kepada saya.

10.Kanda Hendra Noer S.E. dan Kanda Muhammad Ainul Yakin Simatupang S. Sy. Terima kasih yang tak terhingga selalu memberikan dukungan serta motivasi kepada saya.


(8)

Rokan Hilir (IPEMAROHIL) Jakarta Terima kasih yang telah mengajarkan saya arti dan makna hidup berorganisasi.

13.Tak terlupakan pula terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini yang saya tidak bisa sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.

Jakarta, 22 Oktober 2014 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……….. iii

LEMBAR PERNYATAAN ………. iv

ABSTRAK ………. v

KATA PENGANTAR ……….. vi

DAFTAR ISI ………. ix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Identifikasi Masalah ………. 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 11

E. Kajian Terdahulu ………... 12

F. Metode Penelitian ………. 14

G. Sistematika Penulisan ……… 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI ………. 18

A. Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi ………. 18

B. Lata Belakang Lahirnya Proses Mediasi……….... 22

C. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 tahun 2008 ……….. 26


(10)

A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan ……….. 39

B. Tugas dan wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan …… 46

C. Beracara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ……… 52

D. Tata Cara dan Prosedur Perceraian ……… 54

E. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan …….. 60

F. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan …….. 66

BAB IV ANALISIS TENTANG EFEKTIFITAS HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN ………….. 66

A. Upaya Hakim Dalam Mendamaikan para pihak ……….. 66

B. Hambatan Para Hakim dalam Usaha mendamaikan …………. 71

C. Tingkat keberhasilan hakim dalam mediasi sengketa perceraian 74 BAB V PENUTUP ……….. 80

A. Kesimpulan ………. 80

B. Saran-saran ………. 81


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan bermasyarakaat merupakan suatu kumpulan orang yang di dalamnya terdapat prilaku dan kepentingan orang yang berbeda, dalam keadaan seperti ini akan sering muncul perselisihan dan persengketaan bahkan konflik. Konflik atau sengketa dapat saja terjadi dalam wilayah publik maupun dalam wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik terkait erat dengang kepentingan umum, dimana negara berkepentingan untuk mempertahankan kepentingan umum tersebut. Sedangkan dalam wilayah hukum privat/perdata menitikberatkan pada kepentingan pribadi. Dimensi privat cukup luas cakupannya yang meliputi hukum keluarga, kewarisan, kekayaan, hukum perjanjian dan lain-lain. Dalam hukum islam dimensi perdata mengandung hak manusia yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa. Kebanyakan yang bersengketa yang terjadi, mengambil jalan dengan cara menyelsaikan sengketanya lewat jalur hukum dipengadilan, untuk dimensi hukum perdata hukum islam maka arahnya ke Pengadilan Agama.

Dalam menyelesaikan sengketa atau perkara di pengadilan, maka jalan pertama yang ditempuh disana akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang dikenal dengan nama „mediasi’ dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau


(12)

bahkan konflik1. Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa dengan „win-win solution’ oleh karena itu upaya perdamaian yang diinginkan oleh para pihak harus dihargai. Dengan demikian, jika para pihak menghendaki, walaupun suatu perkara sedang dalam proses banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK) sepanjang perkara belum diputus para pihak dapat menempuh mediasi.2 Efektifitas dan efesiensi proses penyelesaian sengketa para pencari keadilan dipengadilan akan diuji oleh upaya perdamaian yang dilakukan selama proses beracara, baik tahapan pemeriksaan, terlebih upaya mengoptimalkan mediasi saat sebelum pemeriksaan pokok perkara3, secara keseluruhan dalam upaya menemukan penyelesaian sengketa harus lebih menemukan rasa keadilan bagi semua pihak (win-win solution).

Dalam sengketa yang berkaitan dengan status perkawinan (perceraian), maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian, seperti disebutkan4: “keberadaan tahapan acara perdamaian pada hukum acara (formil) telah diatur dalam pasal 154 RBg jo.Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan dalam sengketa yang berkaitan denagn

1

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif (Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h.22.

2

Tim penulis, Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung JICA, Jakarta, 2008, h.26.

3

Perma NO. 1 Tahun 2008, Pasal 7 ayat 1 jo. Pasal 11 ayat 1.

4

H. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, h.96.


(13)

3

status seseorang (perceraian) maka tindakan majlis hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketannya ialah mengupayaan tidak terjadinya perceraian.

Pada sidang pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dalam sidang tersebut suami istri harus datang pribadi kecuali ada alasan lain yang ditentukan undang-undang, kehadiran prinsipal dalam persidangan dalam acara mediasi tetap harus diartikan menghadap secara pribadi bukan diwakilkan, seperti disebutkan dalam pasal 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagai berikut5:

1. Pada sidang pertama gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.

2. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman diluar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanyayang secara khusus dikuasakan untuk itu.

3. Apabila kedua pihak bertempat tinggal diluar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.

4. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Dengan demikian usaha hakim untuk mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi selama perkara belum di putus pada tingkat

5

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, tt), h.206.


(14)

tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagai lazimnya perkara perdata6.

Mediasi pada dasarnya tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain. Semua negara yang mempraktekkan mediasi menganut prinsip tertutup. Prinsip tertutup ini tidak berlaku jika para pihak mengizinkan, misalnya saja kalau ada peneliti yang mau mengamati jalannya mediasi. Rasionya adalah perkara tersebut dapat memberi pelajaran kepada orang lain yang tidak terliabat dalam perkara itu, tetapi pada suatu saat mungkin saja mereka akan mengalami peristiwa yang sama atau mirip dengan perkara yang sedang dimediasi. Oleh sebab itu masyarakat berhak memperoleh akses terhadap perkembangan proses mediasi, wartawan dalam hal ini dapat menghadiri dan mengamati jalannya proses mediasi guna melaporkan masalah yang di bahas, kemajuan dan hambatan dalam proses mediasi. Akan tetapi, para pihak dan mediator berhak meminta wartawan untuk tidak memberitakan dalam media massa hal-hal yang oleh para pihak diminta untuk dirahasiakan7.

Istilah mediasi (mediator) pertama kali muncul di Amerika pada tahun 1970-an. Menurut Robert D.Benjamin (Director of Mediation and Conflict Services in St. Louis, Missourn) bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses Alternative Disopute /ADR di

6

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan, h.206.

7

Tim Penulis, Buku Komentatir Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung (Jakarta: JICA, 2008), h.26.


(15)

5

California, dan ia sendiri baru praktek menjadi mediator pada tahun 19798. Pada dasarnya munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosisal dimana pengadilan satu-satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur letigasi pada umunya lambat (waste of time), periksaan sangat formal (formalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk sudah overloaded9. Mediasi berasal bahasa latin yaitu mediare yang berarti brada ditengah. Makna menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antar para pihak, “Berada di tengah” juga berarti bermakna netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa10.

Ada beberapa batasan mediasi (mediation) seperti dikemukakan, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impaertial) dan netral bekerja dengan pihak sengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini, para pihak

8

Muhammad Saifullah, sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia (Semarang: WMC, 2007). h. 21

9

Akhmad Arif Junaidi, Mediasi Dalam Perundang-undangan di Indonesia (Semarang: WMC, 2007). h. 32

10

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif (Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, h.2.


(16)

menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya, bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.11

Mediator harus mempunyai insert based negotiation untuk dapat mengakomodir dari kedua belah pihak yang sedang bersengketa terlebih dapat mengupaya solusi terbaik bagi kedua belah pihak (win-win solution). Perdamaian merupakan amanat Unadang-undang bagi para Hakim dalam menyelesaikan perkara, baik secara acuan formil maupun materiil. Pasal 130 HIR/154 RBg secara formil telah mengamanatkan dan mengatur proses perdamaian bagi para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sedangkan pasal 65 jo. Pasal 82, 83 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 143 s.d 145 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dijadikan pegangan (hukum materiil) para hakim dalam menyelesaikan perkara. Akibat terlalaikannya proses mediasi dalam penyelesaian suatu perkara, maka putusan akan menjadi batal demi hukum (Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2008).

11

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.79.


(17)

7

Konsekuensi pada Pasal 2 perma No. 1 Tahun 2008, barulah dipahami sebagai landasan formil dalam melakukan tahapan persidangan, sehingga setiap perkara wajib dilakukan mediasi, sementara disisi lain “intisari” atau ”tanggung jawab rasa keadilan” belum dioptimalkan oleh pengadilan itu sendiri (meskipun pihak pengadilan bersifat pasif), sebagai salah satu bahan pemikiran adalah data pada Pengadilan Agama (dilihat dari internet), dengan sebuah ilustrasi bagaimana pihak pengadilan akan berhasil dalam mengatasi penyelesaian sengketa perkawinan kalaulah prosentase terbanyaknya dan perkara yang telah diregistrasi, salah satu pihak tidak pernah hadir, meskipun Perma No. 1 Tahun 2008 telah mangatur dan menyatakan bahwa mediasi di nyatakan “gagal”, namun misi “perdamaian” dan “tanggung jawab” menyelesaiakan sengketa tidak dapat dilakukan tanpa “pemaksaan”.

Dalam hal tersebut di atas, kita belumlah mendapatkan informasi lengkap, apakah salah satu pihak benar-benar tidak mau hadir, atau salah satu pihak bersikap pesimis atas “penyelesaian” yang dilakukan pengadilan yang prosentase terbesarnya seringkali penyelesaian dilakukan dengan “putusan” atau atau bersifat ajudikasi.

Pengamatan pada kondisi riil yang terjadi pada pengadilan agama, berpegang pada pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa: (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. (2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak mengahalangi pelaksanaan mediasi. (3) Hakim, melalui kuasa


(18)

hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. (6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan Pasal 7 di atas, sehingga medapatklan suatu pemahaman bahwa mediasi hanya wajib disaat kedua belah pihak yang berperkara hadir di persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar bahwa mediasi hanya logis dilaksanakan apabila kedua belah pihak berperkara hadir dipersidangan. Karena hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak tersebut permufakatan dan kesepakatan perdamaian dapat dilakukan bahkan tidak disyaratkan harus dihadiri oleh pihak prinsipal. Adapun kaitannya dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 adalah bersifat pengkhususan. Adapun Pasal 2 dan Pasal 4 bersifat umum sedangkan Pasal 7 bersifat lex spesialis ketentuan tersebut.12

12

Pasal 2 Perma No. Tahun 2008

1. Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses perkara di Pengadilan

2. Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Perkara ini.

3. Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

4. Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.


(19)

9

Hanya saja, dari penelitian terhadap jumlah perkara yang diterima pengadilan tersebut ternyata hanya 17,3 % setiap tahun dari perkara yang diterima tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak perkara (contradictoir), adapun sisanya 82,7% diperiksa secara verstek dan perkara voluntair.

Pada kondisi seperti diuraikan dai atas maka sangat sedikit jumlah perkara yang dapat dilakukan mediasi dengan maksimal. Akibatnya tugas pengadilan (khususnya hakim pengadilan agama) melalui tahapan mediasi sebagaimana yang disebutkan untuk mengutuhkan kembali keretakan dalam suatu rumah tangga, tidak dapat diharapkan, belum lagi masuk pada ranah pada metode mediasi yang dilakukan oleh para mediator.13 Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas maka penulis atau peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM

MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN SEBELUM PUTUSAN

PENGADILAN.

A. Indentifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan mediasi?

2. Bagaimana proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan? 3. Apa saja yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

13


(20)

4. Apakah usaha yang dilakukan oleh Hakim Mediasi di Pengadilan Agama telah berjalan dengan baik?

5. Apa indikator seorang Hakim Mediasi dikatakan sukses ketika proses mediasi?

6. Bagaimana hukum acara mediasi?

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus pada efektifitas hakim Pengadilan Agama dalam menangani sengketa perdata pada proses mediasi, yang dilakukan pada tahun 2013.

2. Perumusan Masalah

Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi ingin terwujudnya penyelesaian pada tahap perdamaian atau Arbitrase bisa dilakukan dengan efektif, namun pada kenyataannya hal tersebut sangat lah jauh dari ke-efektif-an bahkan, dari penelitian penulis di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dari 1173 kasus perceraian dalam kurun waktu selama satu tahun yaitu pada tahu 2013 yang berhasil dilakukan secara mediasi hanya 53 atau sekitar 4,51 % kasus. Artinya hakim mediasi di pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak memenuhi target atau tidak efektif.


(21)

11

Pengadilan merupakan lembaga yang diberi kewenangan untuk memutus perkawinan disamping itu pengadilan memiliki kewajiban untuk mengusahakan terjadi perdamaian dan mempersulit perceraian dan perselisihan.

a. Bahwa lembaga Pengadilan Agama yang menjadi studi analisis dalam skripsi ini adalah lembaga Pengadilan Agama Jakarta Selatan

b. Penelitian ini realita yang terjadi dilapangan yaitu hasil dari mediasi yang dikerjakan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Berdasarkan pada uraian di atas penulis merumuskan masalah yang akan diteliti. Bahwa ternyata ada kesenjangan antara apa yang diinginkan oleh Perma Nomor 1 Tahun 2008 dengan yang terjadi di Pengadilan Agama. Untuk mempermudah menjawab rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

b. Apakah usaha yang dilakukan oleh Hakim Mediasi di Pengadilan Agama telah berjalan dengan baik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian


(22)

a. Mengetahui usaha yang dilakukan Hakim Mediasi ketika mediasi dilakukan.

b. Mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. c. Mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menemukan keadaan hakim mediasi dalam mendamaikan pihak yang berperkara. Sehingga dapat menjadi bahan evaluasi kinerja bagi hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung secara umum untuk berusaha meningkatkan kualitas hakim-hakim mediasi di tingkat Pengadilan Agama.

Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi penegak hukum, pemerintah, dan legislatif untuk memperhatikan keberadaan mediasi, karena hal ini berkaitan dengan keberadaan masyarakat Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan untuk mewujudkan salah satu sifat pengadilan, mudah, cepat, dan biaya ringan.

D. Kajian Terdahulu

Perkembangan kajian mediasi secara khusus mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah banyak mengambil perhatian para peneliti khususnya mahasiswa. Berikut penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan mediasi.


(23)

13

Nur Hidayat melakukan penelitian dalam bentuk Skripsi yang berjudul, “Efektifitas mediasi di pengadilan Agama (studi implementasi perma No.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Agama Bekasi)” ditulis pada tahun 2011 di Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Bekasi yang berfokus pada objek lembaga mediasinya.

Ubaidillah melakuka penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Efektifitas dan peranan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mewujudkan proses mediasi” ditulis pada tahun 2011 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini lebih jauh lagi melihat peran Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara melalui mediasi.

Atika melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Efektifitas mediasi dalam sengketa waris di lembaga pengadilan Agama Jakarta Selatan” yang ditulis pada tahun 2012 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Focus yang dikaji dalam penelitian ini hanya terbatas pada sengketa waris semata.

Sedangkan dalam bentuk tesis penulis menemukan sebuah peneltian yang dilakukan oleh Fitriyah Alkaf dengan judul “Mediasi Perceraian Di Pengadilan Agama Provinsi Jambi” ditulis pada tahun 2009 di Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang


(24)

dilakukan oleh Atika, penelitian ini juga menitik beratkan satu persoalan seputar hukum perceraian.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penelitian yang dilakukan di atas hanya terfokus pada satu kasus dan tempat yang berbeda. Akan tetapi tetap pada objek penelitiannya yaitu lembaga mediasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah peran hakim mediasi dalam melakukan mediasi.

E. Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang telah penulis kemukakan di atas diperlukan metode penelitian sehingga jawaban dari setiap rumusan di atas dapat dipertanggungjawabkan dan bernilai akademis. Sehingga dapat diterapkan oleh semua kalangan.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang berlokasi di kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dengan demikian penelitian yang cocok untuk tema ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif (dogmatic).14 Suatu penelitian yang menganalisis hukum posistif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan secara sistematis ketentuan-ketentuan hukum

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986), h.51.


(25)

15

dalam sebuah kategori hukum tertentu, menganilisis hubungan antara ketentuan hukum, menjelaskan dan memprediksi pengembangan kedepan. 2. Pendekatan masalah

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep, perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus. Pendekatan konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep dengan aplikasi yang berlaku di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk menyingkap konsep kontrak dalam sistem hukum di Indonesia. untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa peraturan perundang-undangan terkait.

3. Bahan hukum

Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu dimungkinkan juga untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder bahan non hukum.

Bahan hukum primer berupan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang


(26)

Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Bahan hukum sekunder meliputi bahan yang mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal, hasil penelitian, makalah, dan karya ilmiah lainnya, serta dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

4. Analisis data

Data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan disajikan secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitif dan perskriptif-analitis. Analisa data dilakukan secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan, metode yang demikian ditempuh mengingat penelitian ini tidak mementingkan kuantitas datanya, akan tetapi lebih mementingkan pada kesesuaian prosedur dan isinya dengan teori dan peraturan perundang-undangan.

Teknik analisis dimulai dengan menghimpun bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan peran hakim dalam melaksanakan mediasi. Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi, pengamatan, data,


(27)

17

kepustakaan, buku-buku (treatises) hukum, artikel, jurnal hukum, internet, hasil seminar dan lain-lain.

Terhadap bahan hukum primer dipelajari dan diidentifikasi kaidah-kaidah atau asas-asas hukum yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Langkah-langkah tersebut oleh Terry Hutchinson diberi singkatan “IRAC” yaitu memilih masalah (issues), menentukan peraturan hukum yang relevan (rule of law), menganalisis fakta-fakta dari segi hukum (analyzing the facts), akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan (conclusion).

5. Metode dan Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyusunnya dalam lima bab yaitu: Bab pertama yang berisi pendahuluan yang menjabarkan latar belakang permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah rumusan penelitian yang layak dengan menjelaskan metode penelitian dan terakhir dijabarkan sistematika penulisan.


(28)

Bab kedua penulis membahas tema tinjauan umum tentang mediasi mencakup pembahasan Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi, kemudian penulis menjelaskan Lata Belakang Lahirnya Mediasi, Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 tahun 2008, Mediasi Dalam Perkara Perceraian, dan ditutup dengan pembahasan Manfaat Mediasi.

Pada bab ketiga penulis membahas tentang kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Melaksanakan Mediasi. Pembahasan ini terdiri dari 5 sub tema, yaitu: Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Tugas dan wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Beracara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Tata Cara dan Prosedru Perceraian, Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Bab keempat penulis melakukan analisis tentang efektifitas hakim pengadilan agama jakarta selatan dalam menyelesaikan perkara perceraian yang mencakup tiga pembahasan. Pertama, Upaya Hakim Dalam Mendamaikan para pihak; kedua, Hambatan Para Hakim dalam Usaha mendamaikan; ketiga, tingkat keberhasilan hakim dalam mediasi sengketa perceraian.

Bab kelima sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian yang bisa diterapkan dan menjadi pegangan bagi hakim mediasi.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI A. Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi

1. Pengertian

Kata "mediasi" berasal dari bahasa Inggris, "mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah.1

Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.2 Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara Kemudian.3 dikenal juga dengan istilah

1

John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 377. Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Prof. Dr. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Kencana, 2005), h.175. Lihat juga Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta: PT. Gramedai Pustaka Utama, 2001), h.69.

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h.640.

3

Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita, 1985), h.414.


(30)

dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara damai untuk menyelesaikan atau memberhentikan berlangsungnya terus suatu perkara.4 Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dan penjelasannya tidak ditemukan pengertian mediasi, namun hanya memberikan keterangan bahwa jika sengketa tidak mencapai kesepakatan maka sengketa bisa diselesaikan melalui penasehat ahli atau mediator.5

Dalam hukum islam, secara terminologi perdamaian disebut dengan istilah islah (as-sulh) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan antara dua pihak. Menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.6

Sedangkan secara yuridis, pengertian mediasi hanya dapat dijumpai dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 dalam pasal 1 ayat 7, yang menyebutkan bahwa: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”7

4

Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Cet ke 8 (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h.33.

5Bunyi Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah “Dalam hal sengketa atau beda

pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih

penasehat ahli maupun melalui mediasi”.

6

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), 1188. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III (Beirut:Dara al Fikr, 1977), h.305.

7

Dalam Pasal 1 ayat (6) Perma Nomor.1 Tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna


(31)

20

Beberapa unsur penting dalam mediasi antara lain sebagai berikut: 1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan 2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam

perundingan.

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.8

Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan negosiasi yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki ketrampilanketrampilan khusus. ketrampilan khusus yang dimaksud ialah:

1. Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa. 2. Mempunyai ketrampilan bertanya terhadap hal-hal yang dipersengketakan-

Mempunyai ketrampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa (win-win solution).

3. Mempunyai ketrampilan tawar menawar secara seimbang.

mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

8

Suyut Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor: PT.Graha Indonesia, 2000), 59.


(32)

4. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap hal-hal yang dipersengketakan.9

2. Dasar Hukum

Mediasi sebagai sebuah cara penyelesaian sengketa memiliki dasar hukum sebagai berikut:

1. Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat.

2. HIR Pasal 130 (HIR= Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv)

3. UU Nomor. 1 Tahun 1974 tetang perkawinan jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama jo. UU nomor 3 Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan 82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), 143 ayat (1) dan (2), dan 144.10

4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg).

9Harijah Damis, “Hakim Mediasi Versi Sema Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan

Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai”, Dalam Mimbar Hukum, Nomor 63 Thn. XV, Edisi Maret-April 2004, h.28.

10

Dalam pasal-pasal tersebut, disebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan diajukan. Usaha mendamaikan ini dapat dilaksanakan pada setiap sidang pemeriksaan. Khusus perkara perceraian, dalam upaya mendamaikan itu pula hakim wajib menghadirkan pihak keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak-pihak yang berperkara untuk didengar keterangannya dan meminta bantuan mereka agar kedua pihak berperkara itu dapat rukun dan damai kembali. Apabila upaya untuk mendamaikan ini tidak berhasil, maka barulah hakim menjatuhkan putusan cerai, terhadap putusan ini dapat dimintakan upaya banding dan atau kasasi.


(33)

22

5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

6. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 01 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

7. Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dasar hukum perdamaian atau mediasi dalam Hukum Islam adalah sebagaimana firman Allah:

(

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.

B. Latar Belakang Lahirnya Proses Mediasi

Mediasi dalam literatur Hukum Islam dapat ditemui dalam firman Allah:

Artinya: …urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka

Pada ayat Al-Qur’an diatas, Allah menganjurkan kepada manusia agar dapat menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. Hal ini sejalan dengan sifat mediasi yang penyelesaian sengketanya bersifat consensus (kesepakatan) dengan cara negosiasi. Agar dapat diselesaikan tanpa melalui proses litigasi.


(34)

Di Indonesia, bila dilihat secara mendalam, tata cara penyelesaian sengketa secara damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa diantara warganya.

Terlebih pada tahun 1945, tata cara ini secara resmi menjadi salah satu falsafah negara dari bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas musyawarah untuk mufakat.

Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah merupakan culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri. Baik dalam masyarakat tradisional maupun sebagai dasar negara pancasila yang dikenal istilah musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi mempunyai makna yang sama. dalam klausula-klausula suatu kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata “kalau terjadi sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di Pengadilan Negeri”.11

Walaupun dalam masyarakat tradisional di Indonesia mediasi telah diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisional, namun pengembangan konsep dan teori penyelesaian sengketa secara kooperatif justru

11


(35)

24

banyak berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak memiliki akar penyelesaian konflik secara kooperatif.

Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem hukum Indonesia (dalam hal ini MA) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution.12

Untuk saat ini, pemberlakuan mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (Perma Pasal2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-Undang, Perma ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan, (Pasal 1 butir 10). Sedangkan tujuan utama dari pengintegrasian

12

Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini (mediasi dan litigasi) diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masingmasing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum. Lihat tinjauan proses penyelesaian sengketa Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h.23-33.


(36)

mediasi dalam proses beracara di peradilan adalah tidak lain untuk mengurangi tunggakan perkara di MA yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi latar belakang adanya proses mediasi ialah sebagai berikut:

1. Sistem litigasi (peradilan): proses yang memakan waktu (waste time)

Mahkamah Agung sebagai pucuk lembaga peradilan telah memberlakukan kebijakan dengan suratnya yang ditujukan kepada seluruh ketua pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi, yang isinya tentang pelaksanaan proses peradilan pada tingkat pertama dan tingkat banding masing-masing untuk tidak melebihi 6 bulan. Kebijakan tersebut dapat dianggap efektif berjalan lancar sesuai harapan. Namun yang terjadi adalah penumpukan perkara pada tingkat MA karena arus perkara yang demikian tinggi, sehingga justisiabelen setelah melewati masa kurang lebih 1 tahun (tingkat pertama dan tingkat banding) masih harus menunggu pada tingkat MA yang lamanya rata-rata lebih dari tiga tahun. Waktu tersebut belum ditambah apabila ada pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali. 2. Biaya yang tinggi (high cost)

Biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh para pihak untuk menyelasaikan sengketa di pengadilan timbul oleh karena mereka diwajibkan membayar biaya perkara yang secara resmi telah ditentukan oleh pengadilan.Belum lagi upah yang


(37)

26

harus dibayarkan kepada pengacara /advokat bagi pihak yang menggunakan jasa mereka.13

3. Putusan pengadilan tidak menyelesaiakan perkara

“Menang jadi arang kalah jadi abu” begitu kira-kira slogan yang menggambarkan jika suatu sengketa diselesaikan dengan menggunakan jalur litigasi. Sinyalmen tersebut mencerminkan putusan pengadilan terkadang tidak serta merta menyelesaikan persoalan sengketa melalui jalan perundingan, karena dengan melalui hal itu akan mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar, baik kerugian yang berupa moril maupun materiil. Menurut Yahya Harahap, tidak ada putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa kearah penyelesaian masalah, putusan pengadilan tidak bersifat problem solving diantara pihak yang bersengketa melainkan putusan pengadilan cenderung menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang saling berhadapan, karena menempatkan salah satu pihak pada posisi menang (winner) atau kalah (losser), selanjutnya dalam posisi ada pihak yang menang dan kalah, bukan kedamaian dan ketentraman yang timbul, tetapi pihak yang kalah timbul dalam dendam dan kebencian.14

Selain itu, putusan hakim terpaku dengan aturan formil yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan batal demi hukum. Pada perkara-perkara tertentu,

13

Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, MARI 2004, h.156.

14M. Yahya Harahap “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian (Jakarta:


(38)

seorang yang mempunyai hak sering dirugikan karena tidak memenuhi syarat formil. Sebaliknya orang yang seharusnya dihukum memberikan ganti rugi, karena tidak terbukti secara formil maupun materil maka dia bebas dari jeratan hukum.

C. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 Tahun 2008

Beberapa kekhususan Perma Nomor l Tahun 2008 adalah sebagai berikut: 1. Kewajiban Proses Mediasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2008 maka setiap sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui prosedur mediasi, yakni penyelesaian dengan upaya perdamaian dengan bantuan mediator, kelalaian atau mengabaikan prosedur mediasi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

2. Biaya Proses

Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para` pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan. Apabila gagal biaya dibebankan kepada yang kalah (Pasal 3).


(39)

28

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesain sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, sedangkan jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak (Pasal 10).

Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati dan jika dianggap perlu mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak yang lainnya), (Pasal 15). Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal 13 ayat (6)).

Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat diantara para pihak (Pasal l6 ayat 1).

Mediator wajib menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan yang telah disepakati, atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut (Pasal 14 ayat 1).


(40)

Mediator juga dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak dimediasi dengan alasan bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi berkaitan dengan hak atau kepentingan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan (Pasal 14 ayat 2).

Mediator wajib memeriksa materi kesepakatan perdamaian yang telah disepakati oleh para pihak sebelum mereka tanda tangani untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik (Pasal 17 ayat 4).

Mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim jika sampai lampau waktu maksimal mediasi (40 hari kerja) sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan (Pasal 13 ayat 1).

Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan dan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi (pasal 19 ayat 3-4).

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikat : a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada Pengadilan yang bersangkutan;


(41)

30

b. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

c. Hakim Majelis pemeriksa perkara;

d. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir e dan d (Pasal 8 ayat 1).

Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada Ketua Majelis Hakim dan jika setelah jangka waktu maksimal dua hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada Ketua Majelis Hakim (Pasal 11 ayat (2) dan (4).

Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan itikad baik. Jika ternyata salah satu pihak menempuh mediasi dengan itikad tidak baik, maka pihak lainnya dapat menyatakan mundur dari proses mediasi (Pasal 12). Para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan menandatangani kesepakatan tersebut bersama-sama dengan mediator (Pasal 17 ayat 1).

Jika dalam proses mediasi tersebut para pihak diwakili oleh kuasa hukum, maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuannya atas kesepakattan yang dicapai, selanjutnya para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian (Pasal 17 ayat 2 dan 4).


(42)

Para pihak dapat mengajukan kepada hakim agar kesepakatan perdamaian yang telah dirumuskannya dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian ataupun tidak, hanya saja jika para pihak tidak menghendaki akta perdamaian ini maka dalam kesepakatan tersebut harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara sudah selesai (Pasal 17 ayat 5-6).

5. Hasil Akhir Mediasi

Setelah proses mediasi dijalani oleh para pihak dengan bantuan mediator, maka hasil akhimya ada dua kemungkinan:

a. Diperoleh kesepakatan perdamaian yang dirumaskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 17 ayat (1))

b. Pernyataan secara tertulis yang dibuat oleh mediator yang menyatakan bahwa proses mediasi telah gagal (Pasal 14 ayat (1))

6. Tindakan Majelis Pemeriksa Perkara Pasca Mediasi.

Dalam hal mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian dan para pihak menghendaki agar kesepakatannya dikuatkan dalam bentuk suatu akta perdamaian, maka majelis segera mengeluarkan akta perdamaian, sedangkan jika para pihak tidak menghendaki akta perdamaian dan dalam kesepakatannya telah mencantumkan klausula pencabutan gugatan dan atau menyatakan perkara telah selesai, maka majelis hanya mengeluarkan penetapan yang amarnya menyatakan bahwa perkara telah selesai (Pasal 17 ayat 5 dan 6).


(43)

32

Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan perdamaian dan mediator telah menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku dengan tidak menutup kemungkinan majelis masih mendorong para pihak untuk berdamai atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan (Pasal 18 ayat l-3),

7. Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi dan PK

Jika para pihak bersepakat untuk menempuh upaya perdamaian sedangkan perkara sedang berada dalam proses upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali tetapi belum diputus, maka para pihak wajib menyampaikan secara tertulis kehendaknya itu kepada Ketua Pengadilan Agama yang mengadili perkara yang bersangkutan (Pasal 21 ayat 1-2).

Majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang adanya kehendak para pihak untuk menempuh upaya perdamaian (Pasal 21 ayat 4).

D. Mediasi Dalam Perkara Perceraian

Perkara perceraian termasuk perkara contentius15 dan termasuk karakteristik sengketa emosional.16 Dalam sengketa perkara perceraian, kewajiban

15

Perkara contentius adalah suatu perkara yang didalamnya berhadapan kedua belah pihak yang bersengketa. disebut juga dengan perkara gugatan. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.41.


(44)

mendamaikan para pihak bersifat imperative yakni sebagai beban yang diwajibkan oleh undang-undang/hukum kepada majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut,17 oleh karena itu upaya mendamaikan ini haruslah dilakukan secara serius dan optimal. Khusus dalam perkara perceraian yang didasarkan pada alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus,18 maka agar majelis hakim mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap tentang penyebab dan seluk beluk perselisihan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan dalam upaya mendamaikan, undang-undang pun memerintahkan agar menghadirkan keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu untuk didengarkan keterangannya.19 Bahkan untuk perkara syiqa>q,20 Majelis Hakim dapat menunjuk keluarga kedua belah pihak untuk diangkat menjadi h}akam,

16

Seperti telah diketahui, bahwa ada 3 karakteristik sengketa, yaitu: 1) Formal, adalah sengketa tentang suatu norma hukum atau status hukum suatu obyek tertentu yang menjadi sengketa, dalam hal ini sasaran akhirnya adalah kepastian hukum. 2) Material/kebendaan, damai berarti tercapainya persamaan persepsi (kesepakatan) tentang pembagian hak atas benda, penaksiran nilai atau harga, pemenuhan kewajiban antar pihak, atau pemecahannya lebih lanjut. Hal ini dapat terjadi dalam sengketa harta waris, hibah, wasiat, shodaqoh, harta bersama dalam perkawinan. Dalam hal ini, sasarannya ialah rasa keadilan.3) Emosional, maka damai berarti tercapainya kesepakatan untuk saling memaafkan, saling menghormati, atau menghargai dan saling membantu sehingga tercipta kembali hubungan kehidupan yang damai, rukun, tertib dan tentram , karena mereka akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Dalam hal ini yaitu perkara perceraian. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.192.

17

Lihat Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 65

dan 82 UU Nomor 7 Tahun 1989. Evi Sofiah, “Putusan Perdamaian dan Penerapannya di PA”, Jaih

Mubarok (ed.), Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004), h.123.

18

Lihat Pasal 19 huruf ( f ) PP No. 9 tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f ) KHI.

19

Lihat Pasal 22 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975.

20

Merupakan perselisihan yang meruncing antara suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang juru damai (hakam). Lihat Syahrizal Abbas, Mediasi (Dalam Perspektif Hukum Syarai’ah,


(45)

34

kemudian h}akam inilah yang secara intensif akan mengupayakan perdamaian kedua belah pihak yang hasilnya kemudian disampaikan kepada majelis hakim.21 Hal tersebut senada dengan Q.S. An-Nisa’: 35,

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”22

Adapun apabila perkara perceraian itu karena alasan zina, cacat badan, atau sakit jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka upaya perdamaian oleh majelis hakim tetap saja harus dilaksanakan karena hal itu merupakan suatu kewajiban tetapi tidak dituntut secara optimal, apa yang dilakukan hanya sebagai suatu kewajiban moral saja, bukan sebagai kewajiban hukum.

Perdamaian dalam sengketa yang menyangkut hukum kebendaan (zaken recht), maka akan dengan sendirinya menghentikan sengketa dan perdamaian yang dibuat serta telah disepakati kedua belah pihak yang kemudian dikukuhkan dengan putusan perdamaian berkekuatan eksekutorial. Lain halnya dengan perkara yang menyangkut dengan status seseorang (personal recht) seperti dalam perkara perceraian ini, maka apabila terjadi perdamaian, tidak perlu dibuat akte

21

Lihat pasal 76 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1989.

22


(46)

perdamaian yang dikuatkan dengan putusan perdamaian, karena tidak mungkin dibuat suatu perjanjian/ketentuan yang melarang seseorang melakukan perbuatan tertentu, seperti melarang salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, memerintahkan supaya tetap mencintai dan menyayangi, tetap setia, melarang supaya tidak mencaci maki, ngomel, dan lain sebagainya, karena hal-hal seperti ini apabila diperjanjikan dalam suatu akte perdmaian, dan kemudian dilanggar oleh salah satu pihak, maka akte perdamaian itu tidak akan dapat dieksekusi. Selain itu akibat dari berbuat dan tidak berbuat yang demikian itu tidak mengakibatkan putusnya perkawinan kecuali salah satu pihak mengajukan gugatan baru untuk perceraiannya.23

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mewujudkan keinginan perdamaian dalam perkara perceraian adalah dengan jalan mencabut perkara tersebut oleh Penggugat/Pemohon, pencabutan perkara karena damai (rukun kembali) ini, haruslah dibuatkan penetapan oleh majelis hakim.24

E. Manfaat Mediasi

Sebagaimana umumnya lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang lain, maka keunggulan dan manfaat mediasi masih terkait dengan karakteristik

23

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta:Yayasan Al-Hikmah , 2000), h.104.

24

Hal tersebut sejalan dengan yurisprudensi MA RI No. 216 K/Sip/1953 tanggal 21 Agustus 1953 yang berpendapat bahwa gugatan perceraian (termasuk permohonan talak) harus ditolak apabila antara suami isteri telah terjadi perdamaian dan apabila ditolak harus dibuatkan produk hukum berupa putusan atau penetapan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h.105.


(47)

36

umum keunggulan dan manfaat yang terdapat pada alternatif penyelesaian sengketa antara lain, yaitu:

1. Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain

2. Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan adanya rasa memiliki putusan mediasi

3. Dapat menjadi dasar bagi pihak yang bersengketa untuk menegosiasikan sendiri sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari.

4. Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa

5. Membuka kemungkinan adanya saling percayaan diantara pihak yang bersengketa sehingga dapat dihindari rasa permusuhan dan dendam25

6. Dalam pelaksanaan mediasi segala hal yang diungkap serta sifat acara mediasi adalah rahasia. Berbeda dengan cara litigasi yang sifatnya terbuka untuk umum, sifat tidak terbuka untuk umum ini bisa membuat pihak-pihak yangbersengketa merasa nyaman selama pelaksanaan mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa. Karena tanpa adanya kekhawatiran sengketa yang terjadi diantara mereka menjadi perhatian publik.

7. Penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu penyelesaian berperkara, memperingan beban ekonomi keuangan, dan yang tidak kalah penting adalah

25

Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.50.


(48)

mengurangi beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.26

8. Salah satu manfaat mediasi apabila dilihat dari kekuatan putusan yang dihasilkan adalah karena pada hakekatnya mekanisme mediasi adalah upaya untuk mengarahkan para pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan perdamaian maka kekuatan hukum mediasi tidak jauh berbeda dengan kekuatan akta perdamian. Putusan perdamaian hasil mediasi mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan yang dihasilkan dari persidangan (proses litigasi).

9. Apabila sudah tercapai kesepakatan para pihak, maka hakim tinggal membuatkan yang dalam amar putusan menjatuhkan putusan sesuai dengan isi persetujuan dictum (amar): menghukum para pihak untuk menaati dan melaksanakan isi persetujuan perdamaian” amar putusannya selanjutnya adalah “menghukum para pihak membayar biaya perkara dengan ditanggung masing-masing pihak secara sama besar”.

10.Bagi Mahkamah Agung, apabila mediasi di pengadilan bisa terlaksana dengan baik, maka hal itu akan mengurangi tumpukan perkara yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung.

26

Bagir Manan, “Mediasi Sebagai Alternative Menyelesaikan Sengketa”, Dalam Majalah


(49)

38

11.Pemberdayaan individu. Orang yang menegosiasikan sendiri masalahnya sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalui wakil seperti pengacara.27

27

Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT Aditya Bakti, 2003), h.83-85.


(50)

A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang terakhir telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana ditetapkan empat lingkungan Peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama1.

Lingkungan Peradilan ini terdiri dari tingkat pertama dan tingkat banding. Sedang kasasi semuanya bermuara ke Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama di lingkungan Peradilan Agama disebut Pengadilan Tinggi Agama2.

Semula berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di provinsi Aceh yang kemudian diubah oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/mahkamah Syariah diluar Jawa dan Madura, nama Pengadilan Agama adalah Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama, sedang nama untuk Pengadilan Tinggi Agama adalah Mahkamah Syariah Provinsi3.

Kemudian pada tahun 1980, dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980, nama yang beragam itu seperti: Mahkamah Syariah dan Mahkamah

1

A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 188

2

A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 188

3


(51)

40

Syariah Provinsi dan nama lainnya seperti Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan, disatukan sebutannya, yakni tingkat pertama disebut Pengadilan Agama sedangkan tingkat bandingnya disebut Pengadilan Tinggi Agama4.

Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh sekarang, merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibentuk untuk “menjalankan Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional”. Undang-undang ini menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang akan diatur dalam qanun Provinsi Aceh Darussalam. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam5.

Hukum Islam merupakan bagian integral dari hukum positif (tata hukum) di Indonesia. Pada masa raja-raja Islam, misalnya ketika Sultan Agung berkuasa di Mataram, ia menjadikan hukum Islam sebagai hukum resmi yang berlaku di seluruh Kerajaan Mataram.6 Hal ini telah berlaku sejak berdiri kerajaan-kerajaan Islam tersebut sampai dengan terbentuknya VOC di Indonesia.7

4

A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 189

5

A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 189

6 ASA, “Sejarah Peradilan Agama”, serial Media Dakwah, (Jakarta, Agustus, 1989), h.15. 7

Maret 1602 - Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), lihat juga Taufiq Hamimi, “Ikhtisar Sejarah Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, No. 59 Thn. XIV, 2003,h.18.


(52)

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:

1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara 2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah

3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk

4. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA)8.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara

8

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id


(53)

42

otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta9.

Perkembangan PA. Jakarta Selatan berawal sejak berkantor di Serambi Masjid (1967-1979). Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun 1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang di wilayahnya cukup luas. Untuk itu keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. POLANA10.

Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada tentang warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak BISMAR SIREGAR, S.H. Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertepatan dengan bertentangan dengan

9

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

10

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id


(54)

kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Pak HASAN MUGHNI ditahan karena Penetapan Fatwa Waris sehingga sejak itu Fatwa Waris ditambah dengan kalimat “Jika ada harta peninggalan”11

.

Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H. ICHTIJANTO, S.A., S.H12.

Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif Kepala Kandepag Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. MUHDI YASIN. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas–tugas kepaniteraan yaitu ILYAS HASBULLAH, HASAN JAUHARI, SUKANDI, SAIMIN, TUWON HARYANTO, FATHULLAH AN, HASAN MUGHNI, dan IMRON, keadaan penempatan Kantor di serambi Masjid tersebut bertahan sampai pada tahun 1979. Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada

11

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

12

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id


(55)

44

saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. ALIM BA diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya: KH. YA’KUB, KH. MUHDATS YUSUF, HAMIM QARIB, RASYID ABDULLAH, ALI IMRAN, Drs. H. NOER CHAZIN13.

Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H. DJABIR MANSHUR, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas jalan III C. Namun sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang, pembenahan–pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. JAYUSMAN, S.H. Begitu pula pembenahan–pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. AHMAD KAMIL, S.H. pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. RIF’AT YUSUF14

.

Pada masa perkembangannya selanjutnya tahun 2000 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. ZAINUDDIN FAJARI, S.H.

13

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

14

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id


(56)

pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan sistem komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang oleh Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H. Yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa15.

Perkembangannya selanjutnya tahun 2007-2008 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. A. CHOIRI, S.H., M.H. pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak di Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan16.

Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap, tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 200917.

Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung baru lainnya di Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada

15

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

16

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

17

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id


(57)

46

awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas perkantoran di gedung baru18.

Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti program SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama) yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen

(KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web http://www.pa-jakartaselatan.go.id19

B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Sebagaimana pada umumnya Pengadilan Agama lainnya, Pengadilan Agama Jakarta Selatan menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Berikut beberapa dasar hukum dibentuknya dan pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Jakarta Selatan

1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

18

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

19

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id


(58)

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 7. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI 8. Intruksi Dirjen Bimas Islam/ Bimbingan Islam

9. Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan20;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer,21 merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.22

Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di

20

Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari WWW.PAjaksel.co.id

21

Mohd. Abdu A. Ramly, “Kedudukan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional (

Akar, Sejarah, dan Perkembangannya)”, dalam Mimbar Hukum No. 59 Tahun XIV 2003, hlm. 30

lihat juga Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga”, dalam Amrullah et.al. (ed), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasioal di Indonesia, (Jakarta: PP. IKAHA, 1994), h.301.

22

Depatemen Agama RI, Sketsa Peradilan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000). h.19.


(1)

81

Selain itu perlu juga penguatan dalam bidang keahlian dan penekanan kepada masyarakat akan pentingnya proses mediasi dalam mengambil putusan. Hal ini diwujudkan dengan cara meningkatkan keahlian mediator hakim pengadilan agama. Selain itu diperlukan juga hukum acara yang lebih efektif khusunya terkait dengan pemanggilan para pihak.


(2)

83

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. Mediasi (Dalam Perspektif Hukum Syarai’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2009.

Abubakar, Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan. Jakarta: Yayasan Al Hikmah, tt.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia). Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999

Amrullah et.al. (ed), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasioal di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA, 1994.

Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Cetakan 1. Yogyakarta: UII Press, 2007.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Djalil, Abdul Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana 2006 ASA, “Sejarah Peradilan Agama”, serial Media Dakwah, Jakarta, Agustus, 1989. Depatemen Agama RI, Sketsa Peradilan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI,

2000.

DIBINBAPERA, Mimbar Hukum No.39 Tahun VIII. Jakarta: Alhikmah, 1997. Echols, John dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase). Jakarta: PT. Gramedai Pustaka Utama, 2001. Evi, Sofiah. “Putusan Perdamaian dan Penerapannya di PA”, Jaih Mubarok (ed.),

Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004. Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis,


(3)

H. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Hamimi, Taufiq. “Ikhtisar Sejarah Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, No. 59 Thn. XIV, 2003.

Harahap, M Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989.Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.

Harahap, M. Yahya, “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Harahap, Yahya. Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.

http://pa-jakartaselatan.go.id/vx/en/features/2012-01-17-02-53-24/struktur-organisasi http://www.badilag.net/component/content/arti

Junaidi, Akhmad Arif. Mediasi Dalam Perundang-undangan di Indonesia. Semarang: WMC, 2007.

Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, tt: tp, 2004. Majalah Hukum Varia Peradilan No. 248 juli 2006.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdatta, edisi VI. Yogyakarta: Liberty, 2002. Mimbar Hukum No. 59 Tahun XIV 2003

Mimbar Hukum, Nomor 63 Thn. XV, Edisi Maret-April 2004, h.28. Perma Nomor. 1 Tahun 2008


(4)

85

Rasyid, Chatib. “Eksistensi Peradilan Agama Pasca UU. No. 3 Tahun 2006”, makalah dalam Kuliah Umum Acara Peresmian/pengukuhan Pengurus Ikatan Keluarga Magister Ilmu Hukum UMSU, Medan, Tahun 2007.

Saifullah, Muhammad. sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia. Semarang: WMC, 2007.

Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III. Beirut:Dara al Fikr, 1977.

Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Cet ke 8. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3.. Jakarta: UI Press, 1986.

Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

Tim Penulis, Buku Komentatir Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung. Jakarta: JICA, 2008.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pasal 54.

Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.


(5)

(6)