Efektivitas mediasi dalam sistem peradilan di Pengadilan Agama Jakarta selatan dalam menyelesaikan kasus perceraian

(1)

iii

Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum (PMH).

Jakarta, 6 Desember 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (……….) NIP. 195703121985031003

2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (……….) NIP. 196511191998031002

3. Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, M.Ag. (……….) NIP. 150277991

4. Penguji I : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (……….) NIP. 197202241998031003

5. Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (……….) NIP. 195003061976031001


(2)

iv

satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Uiversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Oktober 2010


(3)

v

karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., Rasul yang paling mulia dan penutup para Nabi, serta iringan do‟a untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu setia hingga akhir zaman.

Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah berakhir. Banyak suka maupun duka mengiringi perjalanan panjang studi yang penulis lalui. Kadang haru dan bahagia mengenang banyak kenangan dan pengalaman yang penulis peroleh. Namun, selesainya penyusunan skripsi ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini merupakan awal dari perjuangan lain yang akan penulis tempuh dalam hidup ini. Satu tugas telah selesai maka ada tugas lain yang menanti.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sadar bahwa tidak akan sanggup menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang mengganggu berjalannya penulisan ini tanpa adanya doa, dorongan motivasi dan bantuan yang bersifat materil maupun spiritual baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada:


(4)

vi

2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum beserta Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang telah membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktivitas yang berkenaan dengan jurusan.

3. Dr. Yayan Sopyan M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasihat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya Ibu Tamah, SH., Bapak Drs. Kadi Sastro Wirjono yang telah meluangkan waktunya dan ketersediaannya untuk diwawancara, dan untuk mbak Ayu yang telah membantu penulis menemui orang yang tepat untuk dimintai data tentang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas maupun Perpustakaan umum lainnya beserta staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi keperpustakaan berupa beberapa buku maupun literature lainnya sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan.

6. Para Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu


(5)

vii

mengingatnya. Skripsi ini penulis persembahkan untuk “Papap dan Mama”. Kepada kakak-kakak dan adik-adik tersayang, a Kiki, a Dede, a Zenit, Zico dan Adli, kalian selalu memberikan semangat dan doa dalam mengerjakan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga besar penulis, kalau bukan berkat doa kalian tidak akan mampu penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Untuk teman-teman tersayang yang selalu mengingatkan penulis, PH Community, Lidya, Robhitoh, Acep, Ruqiyah, Khairunnisa, Khodijah, Zakiah, Husnul, Iin, Merli, Diana, Aam, Afifah, Ronti, Siti, Vini dan Rival teman seperjuangan dalam memperjuangkan penyusunan skripsi ini serta seluruh teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Untuk Akang-akang, Teteh-teteh dan adik-adik Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) kalian adalah rumah kedua setelah keluarga untuk penulis bisa berbagi dan bertukar fikiran. Terimakasih atas doa dan semangat yang kalian beri.

9. Dan kepada seluruh pihak yang telah membatu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.


(6)

viii

dengan baik. Dan untuk orang-orang yang telah berjasa, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu dilimpahkan Rahmat dan Hidayah oleh-Nya. Amin. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan untuk para pembaca.

Jakarta, 20 Oktober 2010


(7)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Metode Penelitian... 7

E. Review Studi Terdahulu... 11

F. Sistematika Penulisan... 14

BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS A.Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia……….. 16

B. Dasar Hukum Mediasi………. 22

C. Ruang Lingkup Mediasi……….. 31

D. Prinsip-prinsip Mediasi……….. 34


(8)

x

B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan... 49

BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN

AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Dasar Hukum Seorang Hakim Menjadi Mediator... 61 B. Administrasi Mediasi Berdasarkan PERMA Nomor 1

Tahun 2008 dan Praktek yang Ada di Lapangan... 63 C. Hambatan Dalam Mengupayakan Keefektivan Mediasi… 65 D. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan

Agama Jakarta Selatan……… 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 86 B. Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia pastilah ada permasalahan-permasalahan dalam menjalankan hidup ini. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan menemui suatu tantangan-tantangan berupa konflik atau pertikaian-pertikaian yang terjadi antar manusia itu sendiri karena berbeda kepentingan satu sama lain. Kita tidak dapat mengelak atau menghindar dari permasalahan-permasalahan hidup. Kita harus menghadapi segala macam permasalahan-permasalahan dan menyelesaikan permasalahan atau konflik tersebut. Salah satu permasalahan tersebut yaitu perbedaan-perbedaan dan pertentangan dari sesama manusia karena berbeda kepentingan antara satu sama lain. Perbedaan dan pertentangan yang dialami manusia tersebut merupakan hal yang alamiyah, karena Allah swt. menciptakan manusia dalam keragaman, berbeda-beda suku dan bangsa. Keragaman dan perbedaan-perbedaan tersebut dapat kita lihat dari perbedaan warna kulit, bahasa, ras, agama, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Keragaman dan perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu potensi yang dapat menimbulkan konflik-konflik antar manusia. Oleh karena itu manusia harus dapat menangani konflik dan menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi antar manusia, sehingga tidak membawa pada kekerasan apalagi sampai ada pertumpahan darah.


(10)

Al-Qur‟an pun mengakui konflik dan persengketaan di kalangan manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.1 Hal ini dijelaskan pada firman Allah swt. :

فْسي ا يف سْفي ْ م ا يف عْجتأ ا اق ةفي خ ضْرأْا يف عاج ي إ ة ئا ْ ّر اق ْ إ

ْعت ا ام م ْعأ ي إ اق س ْ حّ حّس ْح ءام ا

(

ةر ّ ا

/

2

:

30

)

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: „sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: „mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi adalah orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau. Tuhan berfirman: „sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui„.”(QS. Al-Baqarah/2 : 30).

Dari ayat ini sudah jelas terlihat bahwa manusia merupakan orang yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Manusia dan konflik tidak dapat dipisahkan dan konflik tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ayat ini pun menjelaskan bahwa keterkaitan manusia dengan konflik sudah diinformasikan jauh sebelum diciptakannya (orang yang akan membuat kerusakan). Oleh karena itu kita sebagai manusia yang diberi kelebihan untuk memimpin muka bumi ini, harus bisa menyikapi konflik tersebut dengan mengendalikan hawa nafsu yang kita miliki.

Perlunya penyikapan konflik secara benar tersebut berangkat dari adanya kesadaran bahwa konflik yang ditimbulkan dari sebuah interaksi sosial yang saling merugikan dapat menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan antar sesama.

1


(11)

Walaupun terkadang tidak dapat dihindari bakal terjadinya konflik. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik berkelanjutan, penyelesaian sengketa atau konflik dapat dilakukan melalui beberapa cara, diataranya adalah mediasi.

Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.2 Pada sistem pengadilan yang ada di Indonesia pun mewajibkan proses mediasi tersebut. Hal ini terdapat pada PERMA No. 1 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan dari PERMA No. 2 Tahun 2003. PERMA No. 1 Tahun 2008 ini dikeluarkan oleh Bagir Manan selaku ketua Mahkamah Agung RI.

PERMA Nomor 1 tahun 2008 ini mewajibkan seluruh perkara perdata yang masuk ke pengadilan harus melewati proses mediasi. Apabila pihak-pihak yang terkait menolak melakukan mediasi maka mediasi proses persidangan tidak dapat dilanjutkan karena batal demi hukum. Seperti yang tertera pada PERMA Nomor 1 tahun 2008 ini bab I pasal 2 mengenai “Ruang Lingkup dan Kekuatan

Berlaku PERMA” ayat (2) dan (3). Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib

mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan

2 Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang

Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari http://www.bapmi.org/pdf/DiskusiTerbatasPelaksanaanMediasi_FelixSoebagjo.pdf


(12)

Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini dapat dikatakan proses mediasi ini merupakan paksaan bagi para pihak yang berpekara.

Oleh karena itu dengan dikeluarkannya PERMA No.1 Tahun 2008 mengenai mediasi ini yang mengharuskan para pihak yang berpekara mengikuti proses mediasi, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa efektif pelaksanaan mediasi yang telah masuk ke dalam sistem peradilan di Indonesia dan diwajibkan bagi pihak-pihak yang berpekara untuk dapat mengikuti prosedur mediasi tersebut, khususnya di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Penulis memilih melakukan penelitian di lokasi tersebut karena Pengadilan Agama

Jakarta Selatan merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi untuk seluruh

Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Jadi, dengan diketahuinya keefektifan

mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan “Pilot Project”nya

akan tergambarkan keefektifan mediasi secara scala besar nasional.

Karena latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menuliskannya menjadi sebuah skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS MEDIASI DI

PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH

DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG


(13)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah mediasi tidaklah mungkin dituangkan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis akan membatasi permasaahan yang ada, yaitu keefektivan mediasi yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan hanya pada kasus perceraian 2 (tiga) tahun belakangan ini.

Agar lebih terfokus, penulis akan membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Skripsi ini hanya mengkaji efektivitas pelaksanaan mediasi. 2. Mediasi yang dilakukan sesuai dengan PERMA No 1 Tahun 2008. 3. Tahun perkara dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.

4. Lokasi penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Perumusan Masalah

Masalah adalah adanya perbedaan antara teori dan kenyataan, oleh karena adanya perbedaan itu penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Berapa perbandingan antara jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah perkara yang berhasil di mediasi?

2. Apa kendala yang dihadapi oleh para mediator dalam menjalankan mediasi itu?


(14)

3. Seberapa efektif mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Selain gambaran di atas, pembuat skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS

MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN” mempunyai tujuan, yaitu:

1. Secara teoritis, dimaksudkan agar masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya dapat mengetahui sejauh mana keefektivan mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Mengetahui Perbandingan jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah perkara yang berhasi di mediasi.

3. Mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi para mediator dalam menjalankan mediasi.

Disamping itu, semoga penulisan ini dapat berguna sebagai:

1. Memperkaya khazanah keilmuan intelektualitas di bidang hukum, khususnya mengenai mediasi.

2. Dari segi praktis, diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada segenap pihak yang berkompeten untuk dijadikan bahan evaluasi terhadap pelaksanaan program hukum dan untuk meningkatkan efektivitas mediasi


(15)

dalam memutuskan perkara perdata sehingga dapat mengendalikan jumlah kasus dalam litigasi.

D. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan survei. Dilakukan pendekatan survei ini yaitu untuk lebih dapat mengamati sejauh mana efektivitas mediasi di lapangan. Dengan dilakukannya survei langsung ke lapangan penulis akan lebih aktual mendapatkan informasi mengenai keefektivan mediasi.

2. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan deskripsi berup kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti natau dari orang-orang yang berkopenten di bidangnya.3 Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, hingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data.

3

Lexi. J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 3.


(16)

Selain itu penelitian ini termasuk juga dalam jenis empiris. Karena penulis terjun langsung ke lokasi penelitian untuk menganalisa keefektivan suatu hukum. Penelitian jenis empiris terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivisitas hukum.4

Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu untuk menganalisa dan menguraikan mengenai pelaksanaan mediasi yang dilakoni olah para hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. 3. Data Penelitian

Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan terbagi menjadi 2:

a. Data Primer

Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan berkaitan dengan penelitian terutama hakim-hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang mediasi dan Dirjen Badan Peradilan Agama selaku pejabat yang berwenang dalam penerapan PERMA No. 1 Tahun 2008 pada tahun 2010.

4 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 42.


(17)

b. Data Sekunder

Data sekunder didapat dari peraturan perundang-undangan,5 data-data resmi dari instansi pemerintah, dari peradilan, buku-buku literatur, karangan ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

4. Teknik Pengolahan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka (library research)

Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah. Pengolahan data studi pustaka ini dilakukan dengan cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang terdapat dalam skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai perkara-perkara perceraian yang berhasil dan gagal menggunakan mediasi serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan

5

Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.302.


(18)

menguasai tentang mediasi yang berada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yaitu Drs. Kadi Sastrowirjono selaku mediator non hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dan Tamah, SH., selaku mediator hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Serta Pejabat Badan Peradilan Agama yaitu Drs. Wahyu Widiana, MA. Selaku Dirjen Badan Peradilan Agama. Wawancara ini menggunakan metode bebas dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan referensi untuk memperkuat data.

c. Pengolahan Data

Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis mengolah data dengan metode deskriptif dan komparatif. Yaitu menyajikan dan menggambarkan data secara alamiah tanpa melakukan suatu manipulasi. Dalam penyajian data tersebut dikomparatifkan antara data yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan kenyataan sesungguhnya yang didapatkan dari penelitian di lapangan. 5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis wacana (content analysis), yaitu mengidentifikasi kehadiran konsep tertentu melalui rangkaian kata yang ada pada suatu teks. Rangkaian kata dalam suatu teksnya itu berupa fakta-fakta pengamatan di lapangan, wawancara dan dokumen yang tersedia.


(19)

6. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan deskriptif analisis. Dalam penulisannya penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.

E. Review Studi Terdahulu

Sebelum dilakukannya penelitian ini, terdapat skripsi-skripsi dengan penelitian mengenai perdamaian yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, yaitu:

NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA

1. Nama : Suaeb Jurusan/prodi : PMH/PH Tahun : 2006

Judul : “Peran Hakim Dalam

Mendamaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bekasi”

Menjelaskan tentang perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, sebab perceraian dan akibat yang ditimbulkan dari perceraian. Kemudian membahas tentang upaya perdamaian dalam perkara cerai di Pengadilan Agama, pengertian perdamaian, maksud perdamaian dalam perceraian serta tekhnik dan tatacara hakim dalam mendamaikan para pihak pada kasus perceraian.

Dalam skripsi ini lebih ditekankan peran hakim yang mendamaikan para pihak dalam artian dilihat dari segi meditor atau subjeknya,

sedangkan di skripsi penulis lebih melihat dari segi objeknya, yaitu mediasi yang dilaksanakannya, berhasil atau tidak.

2. Nama : Budi

Setiawan

Jurusan/prodi : PMH/PF Tahun : 2006

Judul :

Membahas seputar pengertian hakam , syarat-syarat menjadi hakam, kemudian membahas perdamaian di masa

Dalam skripsi tersebut lebih menekankan pada perbandingan antara perdamaian pada


(20)

“Hakam Menurut Imam madzhab dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Serta Peranannya Dalam Menyelesaiakan

Sengketa Perceraian (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Jakarta Utara).”

sahabat dan perdamaian pada sengketa perceraian di masa sekarang. Selain itu dalam skripsi ini memuat juga mengenai pandangan Imam madzhab dan Undang-undang Peradilan Agama tentang hakam, serta bentuk dan upaya hakam dalam mendamaikan, peranan hakam di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terdiri dari sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Utara, jenis perkara yang ditangani hakam serta peranan hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

masa sahabat dengan perdamaian pada masa sekarang. Sedangkan skripsi penulis lebih mengedepankan efek dari mediasi tersebut yang dituangkan dalam efektivitas mediasi. Dan landasan hukumnya juga berbeda, pada skripsi yang ditulis oleh Budi Setiawan berdasarkan pada UU No. 7 Tahun 1989, sedangkan penulis

menggunakan

PERMA No. 1 Tahun 2008.

3. Nama : Musliman

Jurusan/prodi : ASS/PA Tahun : 2007

Judul :

“Upaya Hakim Dalam Mendamaikan Pihak-pihak Terhadap Perkara Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok)”

Menjelaskan tentang perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, macam-macam perceraian, bentuk-bentuk perceraian, dan alasan-alasan dilakukannya perceraian. juga membahas tentang pengertian perdamaian, dasar hukumnya dan tata cara mengajukan perceraian. selain itu penulis membahas upaya

hakim dalam

mendamaikan pihak-pihak terhadap perceraian di Pengadilan Agama Depok.

Dalam skripsi yang ditulis oleh Musliman

membahas tentang upaya hakim yang mendamaikan pihak-pihak di dalam persidangan.

Sedangkan dalam judul yang penulis angkat membahas tentang upaya mediator baik hakim atau non hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang berpekara di luar persidangan.


(21)

4 Nama : Nusra Arini

Jurusan/prodi : PMH/PH Tahun : 2009

Judul :

“Aplikasi PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”

Menjelaskan tentang kandungan PERMA No.1

Tahun 2008,

pngertian,sejarah mediasi, dasar hukum mediasi dalam litigasi, tujuan hukum dalam litigasi, prosedur mediasi,putusan perkara perdata, pengaplikasian PERMA No.1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pengaruh Mediasi terhadap putusan sebelum dan sesudah PERMA.

Perbedaannya

dengan skripsi yang penulis tulis adalah dalam skripsi yang di tulis oleh Nusra Arini ini lebih menekankan

pengaplikasian mediasi, sedangkan penulis lebih meneliti tentang keefektifan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, apakah berhasil guna atau tidaknya.

Dalam penulisan skripsi, penulis mengangkat judul “Efektivitas Mediasi

di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”, penulis

menjelaskan tentang keefektivan mediasi yang diwajibkan oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengenai mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Judul ini belum ada di skripsi-skripsi sebelumnya.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya:

Bab I, bab ini memuat tentang PENDAHULUAN yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan


(22)

penelitian, metodelogi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab II, dalam bab ini akan dikemukakan secara umum MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS yang meliputi pengertian mediasi, sejarah mediasi, baik itu sejarah awal mulanya mediasi di Indonesia ataupun sejarah awal mulanya mediasi dalam Islam. Kemudian membahas mengenai dasar hukum mediasi dalam hukum Nasional dan dalam hukum Islam, bagaimana prinsip-prinsipnya dan praktik mediasi pada keduanya, pada PERMA No. 1 Tahun 2008 dan A-Qur‟an, kemudian mengenai ruang lingkup mediasi dan dasar hukum mediasi, baik dasar hukum mediasi dalam hukum nasional maupun dalam hukum Islam serta jenis-jenis perkara yang ditangani mediasi.

Bab III, pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci tentang TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN. Terdiri dari pengertian umum efektivitas, indikator dapat dikatakan efektif, letak geografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Bab IV, PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN. Bab ini merupakan bab inti yang ada dalam skripsi ini, karena dalam bab ini akan dibahas beberapa problem dalam penerapan serta bagaiman efektivitas mediasi di ranah hukum Indonesia khususnya di Peradilan Agama Jakarta Selatan.


(23)

Bab V, PENUTUP. Bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.

Adapun untuk melengkapi skripsi ini dan untuk mempertanggungjawabkan karya ilmiah ini, diakhiri dengan data-data buku sebagai referensi dalam mengkaji permasalahan di seputar hukum mengenai mediasi.


(24)

16 BAB II

MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia 1. Pengertian Mediasi

Dalam pengertian umum, makna mengenai mediasi secara etimologi dan terminologi yang diberikan oleh para ahli akan dipaparkan sebagai berikut. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin yaitu

mediare, yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan kepada peran yang bertindak sebagai mediator. Mediator dalam menjalankan tugasnya berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa atau dalam artian menengahi kedua belah pihak. “Berada di tengah” juga mempunyai makna harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.1 Oleh karena itu, para mediator haruslah orang yang dapat dipercaya untuk mendamaikan atau menengahi kedua belah pihak yang bersengketa tanpa memihak salah satunya.

Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus yang dikutip dalam

buku “Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum adat dan Hukum

1

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 2.


(25)

Nasional” karangan Syahrizal Abbas disebutkan bahwa mediasi adalah

kegiatan menjebatani kedua belah pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. 2

2. Sejarah Mediasi di Indonesia

Pada tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001, Rakernas Mahkamah Agung RI yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg.3

Sejalan dengan hasil rakernas tersebut dan untuk membatasi perkara kasasi ke Mahkamah Agung secara substantif dan prosessual, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, yang diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002.

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.569.

3Yasardin, “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA N

o.1 Tahun


(26)

Namun, belakangan MA menyadari SEMA itu sama sekali tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak. SEMA itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya SEMA tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara. Namun, tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.4

Umur SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, hanya 1 tahun 9 bulan (30 Januari 2002 sampai dengan 11 September 2003). Pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No.2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan:

Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku.

PERMA No.2 Tahun 2003 terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal:

Sistematika PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

BAB I Ketentuan Umum Pasal 1-2

4

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.242.


(27)

BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI

Tahap Pra Mediasi Tahap Mediasi Tempat dan Biaya Lain-lain

Penutup

Pasal 3-7 Pasal 8-14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17-18

Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA menggantikan SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, antara lain:

1. Mengatasi Penumpukan Perkara

Pada huruf a konsideran dikemukakan pemikiran bahwa perlu diciptakan suatu instrumen efektif yang mampu mengatasi kemungkinan perkara di pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut PERMA, instrumen yang dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengan jalan pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan.

2. SEMA No.1 Tahun 2002, Belum Lengkap

Pada huruf e konsideran dikatakan, salah satu alasan mengapa PERMA diterbitkan, karena SEMA No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi belum lengkap atas alasan SEMA


(28)

tersebut belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi masih bersifat sukarela

(voluntary). Akibatnya, SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.

3. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg, Dianggap Tidak Memadai

Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg masih belum cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancar. Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah Agung menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama mendamaikan para pihak yang berperkara.5

Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung Susanti

5

Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h.243.


(29)

Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung (MA).6

Sejak tahun 2006 MA sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi kelemahan-kelemahan pada PERMA No.2 Tahun 2003. Beranggotakan dari hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional dan organisasi yang selama ini concern

pada masalah-masalah mediasi, Indonesian Institute for Conflict Transformation

(IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni PERMA No.1 Tahun 2008. Ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung, Prof.Dr.Bagir Manan,SH.,M.CL pada tanggal 31 Juli 2008. Perma ini lahir karena dirasakan Perma No.2 Tahun 2003 mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan.

Penerbitan PERMA No.1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar prosedur mediasi di Pengadilan. MA belajar dari kegagalan selama lima tahun terakhir. Bab VIII Pasal 26 PERMA ini menyatakan:

Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.

Dari jumlah klausul, PERMA 2008 jauh lebih padat karena memuat 27 Pasal, sementara PERMA 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan jumlah pasal ini setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba memberikan pengaturan yang

6Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 d

ari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita.


(30)

lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan.

PERMA 2008 memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. PERMA 2003 sama sekali tak mengenal tahapan demikian. PERMA No.1 Tahun 2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi.

Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, PERMA No.1 Tahun 2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat (3) tegas menyebutkan:

Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Demikianlah latar belakang lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yang merupakan peraturan baru dalam proses penyelesaian perkara melalui litigasi (lembaga peradilan).

B. Dasar Hukum Mediasi

1. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Nasional

Yang menjadi dasar hukum diberlakukannya mediasi dalam proses litigasi:


(31)

a. Pancasila.

Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1)

menyatakan: Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.7

Kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaian sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

b. Pasal 130 HIR/154 Rbg

7

Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI (Jakarta: Peslitbang Hukum Dan Peradilan MA-RI, 2007), h.36.


(32)

Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:

Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.8

Selanjutnya ayat (2) menyatakan:

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.9

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154

Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini.10

8

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor: Politeia,1985), h.88.

9

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, h.187.

10

Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak. Dan dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum. Lihat Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbiterase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 23-33.


(33)

c. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Pasal 82 berbunyi:

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi.

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah, walaupun perbuatan itu adalah halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa seorang hakim dalam menangani kasus (pasal ini menyebutkan gugat cerai) berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

Usaha perdamaian (mediasi) tidak hanya dilakukan pada peradilan tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi. Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan pihak yang berperkara.

d. Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi:

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.


(34)

“Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.11

Pasal tersebut menyiratkan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para pihak yang berperkara (dalam pasal ini suami istri) dengan bantuan seorang mediator (hakim). Proses mediasi dapat dilakukan pada setiap persidangan, ini berarti bahwa usaha untuk mendamaikan tidak hanya dilakukan pada sidang pertama saja yang dihadiri oleh kedua belah pihak, tetapi dapat juga dilakukan pada sidang kedua, sidang ketiga dan sidang berikutnya selama perkara belum diputus.

e. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara.

11

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Depag RI, 2001), h.178.


(35)

2. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut syara‟ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.12

a. Al-Qur’an

Dasar hukum dalam Al-Qur‟an, termaktub dalam surat An-Nisa‟ ayat 128:

ا ب ا ص أ ا ع ا ج ا ف اضا ع أ ا ش ا عب تفاخ أ ا

ا ب اك لا ف ا قّت ا س ت شلا سف ألا ت ض أ خ صلا ا ص

ا خ

عت

(

ءاس لا

/

4

:

128

)

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan

perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. An-Nisa‟: 4 ayat 128)

Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu „Abbas ra, ia berkata: “yaitu memberikan pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus mengutamakan istri yang lain daripada dirinya.

12


(36)

Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih baik daripada terjadi perceraian secara total.

Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap mempertahankan Saudah binti Zam‟ah dengan memberikan malam gilirannya kepada „Aisyah RA. Beliau tidak menceraikannya dan tetap menjadikannya sebagai istri.

Beliau melakukan hal itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya hal

tersebut disyari‟atkan dan dibolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi

Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian. Firman Allah “wal shulhu khair” „dan perdamaian itu lebih baik‟, bahkan perceraian sangat dibenci Allah SWT.13Ayat ini berkaitan dengan perdamaian masalah perkawinan.

Selain ayat tersebut, ada ayat lain yang secara langsung menganjurkan agar diadakan perdamaian yakni Surat Al-Hujarat ayat 9:

ّلا ا تاقف خألا ع ا ا تغب ف ا ب ا صأف ا ّّقا

لا اّفئاط

ّ لا ا طسقأ ل علاب ا ب ا صأف تءاف ف لا أ ل ء فت ّ غ ت

طسق لا

(

تا

لا

/

49

:

9

)

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.

13

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h.683-684.


(37)

kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujurat/49: 9)

Allah berfirman seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang beriman meski saling menyerang satu sama lain.14

Bila Al-Qur‟an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti di atas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut dengan harta bendapun sudah barang tentu dibolehkan pula. Bahkan bila ditelaah dengan seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqh klasik, objek kajiannya tertuju pada bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda.

b. Al Sunnah

Dalam penyelasaian sengketa, langkah pertama yang Rasulullah tempuh adalah jalan damai. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

با ع

,

لاق

:

ّا

س لا ب ئاج صلا س ع ها ص ها ل س لاق

ّ ا

ا ا ا ّ ا ا ص

(

ا با ا

)

15

Artinya: Dari abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Perdamaian antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”(HR. Abu Daud).

14

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h.470.

15

Abu Daud, Kitab Sunan Abu Daud (Beirut: Karoban Hazm, 1974), h.553. Dapat juga

dilihat Li „Ala Addin Samarqondi, Tuhfah al-fuqoha Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h.249.


(38)

ّلا ا لاق , ا ا ّ ا ا , ّا

اط شّا , ط ش ع

س لا ا

:

ص س ث ا

Tirmidzi menambahkan:

Artinya:“Dan orang-orang Islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmidzi berkata, hadis ini Hasan Shahih).16

Perdamaian yang dikandung oleh sabda ini bersifat umum, baik mengenai hubungan suami istri, transaksi maupun politik. Selama tidak melanggar hak-hak Allah dan Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh.17

c. Doktrin Umar ibn Khattab

Umar dalam suatu peristiwa pernah berkata:

ع ها ض ع لاق

:

ا طص ّ ص لا ا

,

ءاضفلا ّصف ف

ئاغضلا ب ث

18

“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka”.

16Muhammad ibn „Ali ibn Muhammad al

-Syaukani, Nailu al-authar Juz 5 (Kairo: Al-Babi al-Holbi, t.th), h.378.

17 “Sulh”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed.,

Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h.1653.

18


(39)

C. Ruang Lingkup Mediasi

Konflik atau sengketa yang terjadi pada manusia cukup luas ruang lingkupnya. Konflik dan persengketaan dapat saja terjadi dalam wilayah publik maupun wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik yaitu konflik yang terkait erat dengan kepentingan umum, di mana negara berkepentingan untuk mempertahankan kepentingan umum tersebut. Kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan seseorang, harus diselesaikan secara hukum melalui penegakan aturan pidana di pengadilan. Dalam kasus pidana, pelaku kejahatan atau pelanggaran tidak dapat melakukan tawar-menawar dengan negara. Dalam hukum islam, kepentingan umum yang dipertahankan negara melalui sejumlah aturan pidana dikenal dengan mempertahankan hak Allah (haqqullah).

Beda halnya dengan wilayah hukum privat, di mana titik berat kepentingannya terletak pada kepentingan perseorangan (pribadi). Dimensi privat cukup luas cakupannya. Yaitu meliputi hukum keluarga, hukum kewarisan, hukum kekayaan, hukum perjanjian (kontrak), bisnis dan lain-lain. Dalam dimensi hukum privat atau perdata, para pihak yang bersengketa dapat melakukan penyelesaian sengketanya melalui jalur hukum di pengadilan ataupun di luar jalur pengadilan. Karena dalam hukum islam dimensi perdata mengandung hak manusia (haqqul „ibad) yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai antar para pihak yang bersengketa.

Oleh karena itu, mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa


(40)

perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Penyelesaian melalui mediasi ini dapat di tempuh di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan merupakan rentetan dari prosedur hukum di pengadilan. Sedangkan bila mediasi dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut adalah bagian tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.19

Berdasarkan pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui proses mediasi, kecuali untuk beberapa perkara. Pengecualian tersebut adalah perkara yang diselesaikan melalui pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Pemeriksaan perkara niaga, hubungan industrial, perlindungan konsumen dan persaingan usaha telah diatur dalam prosedur tersendiri, sehingga meskipun perkara itu termasuk dalam kategori sengketa perdata, tetapi dikecualikan dari

19

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 21-23.


(41)

kewajiban untuk menempuh proses mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA ini.20

Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga tidak dapat dimediasi karena substansi persoalan adalah murni hukum yaitu berkaitan dengan validitas atau keabsahan dari putusan KPPU, sehingga masalah pokok adalah sah atau tidak sahnya putusan KPPU. Peran pengadilan tingkat pertama dalam konteks ini adalah untuk menentukan keabsahan putusan KPPU. Persolan hukum seperti itu tidak memberi peluang bagi para pihak untuk mengadakan tawar-menawar dalam sebuah proses perundingan.

Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setiap perkara yang diterima wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui mediasi tetapi dalam perkara kontentius.21 Dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak hadir pada sidang pertama. Karena pada sidang pertama inilah para pihak diperintahkan untuk menempuh proses mediasi oleh majelis hakim yang menangani perkara tersebut.

Sedangkan perkara voluntair22 karena hanya satu pihak yang mengajukan permohonan, tentu saja tidak dapat menempuh mediasi. Seperti perkara penetapan ahli waris, dispensasi nikah, pengangkatan anak.

20

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama JICA dan IICT, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan (Jakarta: MA-RI, JICA dan IICT, 2008), h.23.

21

Perkara Kontentius adalah perkara gugatan/permohonan yang didalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak.

22

Perkara Voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada pihak lawan.


(42)

Jadi, kalau dalam PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa semua perkara perdata wajib menempuh proses mediasi. Sedangkan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibatasi pada perkara kontentius.

D. Prinsip-prinsip Mediasi

1. Prinsip-prinsip Mediasi Menurut Para Ahli

Menurut Ruth Carlton terdapat lima prinsip mediasi, lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi, kelima prinsip itu adalah prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality) dan prinsip solusi yang unik (a uniqe solution).

a. Prinsip Kerahasiaan (confidentiality)

Kerahasiaan yang dimaksud di sini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau diberitahukan kepada pers oleh masing-masing pihak. Begitupun mediator itu sendiri tidak boleh membocorkan isi dari mediasi tersebut. Bahkan setelah mediasi itu memperoleh hasil, dokumentasi-dokumentasi yang ada harus dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan hasil mediasi tersebut. Dan para pihak yang terlibatpun diharapkan menghargai kerahasiaannya. mediator tidak dapat dijadikan saksi dalam memberi keterangan dalam kasus yang ia tangani.


(43)

b. Prinsip Sukarela (volunteer)

Yang dimaksud dengan sukarela disini yaitu masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginannya sendiri, dengan sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerjasama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka dan atas keinginan mereka sendiri.

c. Prinsip Pemberdayaan (empowerment)

Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasiakan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai. Oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.

d. Prinsip Netralitas (neutrality)

Dalam mediasi, seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan mengontrol berjalan atau tidak mediasi tersebut. Sedangkan isinya tetap menjadi milik orang yang bersengketa. Dalam mediasi, mediator tidak ikut campur seperti halnya seorang hakim atau juri yang dapat menghakimi benar atau salahnya salah satu pihak atau


(44)

membenarkan dan menyalahkan salah satu pihak, tetapi mediator di sini bersifat netral.

e. Prinsip Solusi yang unik (a uniqe solution).

Solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak haus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreatifitas. Oleh karena itu hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang terkait erat oleh konsep pemberdayaan masing-masing pihak.

2. Prnsip-prinsip Mediasi Dalam al-Qur’an

Mediasi dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Shulhu/Ishlah, beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam redaksi yang berbeda, artinya yang mudah difahami adalah memutus suatu persengketaan. Dalam penerapan yang kita fahami adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Allah Swt telah mengingatkan kepada kita akan posisi antara sesame manusia, hal tersebut tercantum di dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 10,























Artinya: Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.


(45)

Ada beberapa bentuk Ishlah dalam Islam yang kita kenal antara lain : a. Ishlah antara orang muslim dengan orang kafir;

b. Ishlah antara suami dengan isteri;

c. Ishlah antara kelompok yang berbuat aniaya dengan orang yang berbuat adil;

d. Ishlah antara orang yang saling menuntut;

e. Ishlah dalam hal penganiayaan seperti mema‟afkan dengan ganti rugi berupa uang;

f. Ishlah untuk memutuskan suatu persengketaan yang terjadi dalam hak milik.

E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan terdiri dari 8 bab dan 27 pasal:

Sistematika PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Bab I: Ketentuan Umum  Ruang Lingkup dan Kekuatan Berlakunya Perma

Pasal 1 – 6


(46)

 Biaya pemanggilan para pihak  Jenis perkara yang dimediasi  Sertifikasi mediator

 Sifat proses mediasi

Bab II: Tahap Pra Mediasi  Kewajiban hakim pemeriksaan dan kuasa hukum

 Hak para pihak memilih mediator  Daftar mediator

 Honorarium mediator

 Batas waktu pemilihan mediator

 Menempuh mediasi dengan iktikad baik

Pasal 7 – 12

Bab III: Tahap-Tahap Proses Mediasi

 Penyerahan resume perkara dan lama waktu proses mediasi

 Kewenangan mediator menyatakan mediasi gagal

 Tugas-Tugas mediator  Keterlibatan ahli  Mencapai kesepakatan  Tidak mencapai kesepakatan  Keterpisahan mediasi dan litigasi

Pasal 13– 19


(47)

Penyelenggaraan Mediasi 20 Bab V: Perdamaian di

Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali

Pasal 21– 22

Bab VI: Kesepakatan di Luar Pengadilan

Pasal 23 Bab VII: Pedoman Perilaku

Mediator dan Insentif

Pasal 24– 25

Bab VIII: Penutup Pasal

26– 27

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).


(48)

Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaikan Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.

Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI ( Pasal 5 ayat (1) Perma). Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para pihak.

Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang


(49)

memuat sekurang-kurangnya (5) nama mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi mediator dan memperbarui daftar mediator setiap tahun. (Pasal 9 Ayat (7) Perma). Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya apapun, sedangkan bila memilih mediator nonhakim uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasakan kesepakatan.

Dalam Pasal 11 Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim membertahukan mediator untuk melaksanakan tugasnya.

Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat (3)Perma). Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari sejak berakhirnya masa 40 hari (Pasal 13 ayat (4) Perma).

Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tinggi pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang


(50)

berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendap para pihak untuk menempuh perdamaian.

Adapun perbedaan-perbedaan mendasar antara PERMA No. 2 Tahun 2003 dan PERMA 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut23:

1. Penegasan sifat wajib, mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas perkara yang bersangkutan batal demi hukum [Pasal 2 ayat (3)]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada penegasan seperti ini.

2. Pihak tergugat lebih dahulu menanggung biaya pemanggilan para pihak [Pasal 3]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada pengaturan seperti ini.

3. Hakim pemeriksa perkara diperkenankan menjadi mediator [Pasal 8 ayat (1) d]. Dalam PERMA sebelumnya hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan menjadi hakim mediator.

4. Dimungkinkannya mediator lebih dari satu orang [ Pasal 8 ayat (1) edan ayat (2)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.

5. Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib [Pasal 13 ayat (1) dan (2)]. Dalam PERMA sebelumnya pembuatan resume bersifat wajib.

6. Lama proses mediasi yaitu 40 (empat puluh) hari dan dapat diperpanjang serta masa untuk proses mediasi itu terpisah dari masa pemeriksa perkara selma 6

23

Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 11-13.


(51)

(enam) bulan. Dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 selam 21 (dua puluh satu) hari dan termasuk masa pemeriksaan perkara [Pasal 13 ayat (3) dan (5)]. 7. Mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak

layak (pasal 15), dalam PERMA sebelumnya pengaturan ini tidak ada.

8. Hakim wajib mendorong para pihak untuk menempuh perdamaian pada tiap tahap pemeriksaan perkara sebelum pembacaan putusan [Pasal 18 ayat (3)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.

9. Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan [Pasal 19 ayat (4)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.

10. Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi [Pasal 21 dan Pasal 22]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. 11.Pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan


(52)

44

A. Teori Efektivitas

Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu hukum dalam menangani suatu permasahan yang dapat diselesaikan oleh keeksistensian hukum itu tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.

Efektivitas juga dapat dikatakan adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.1 Efektifitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu tujuan. Kriteria yang menjadikan suatu tujuan atau rencana menjadi efektif, harus meliputi : kegunaan, ketetapan dan objektifitas, adanya ruang lingkup (prinsip

1

E. Mulyana, Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi (Jakarta, PT Rosyda Karya, 2004), h. 82.


(53)

kelengkapanm, kepaduan dan konsisten), biaya akuntabilitas serta ketepatan waktu.2

Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Namun agar hukum dan peraturan benar-benar berfungsi sacara efektif, senantiasa dikembalikan pada penegak hukumnya, dan untuk itu sedikitnya memperhatikan empat faktor penegakan hukum (law enforcement), yaitu:

1. Hukum atau aturan itu sendiri ; 2. Penegak hukum;

3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum; 4. Masyarakat;

Adapun secara terminologi, pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Soejono Soekanto mengungkapkan bahwa efektivitas adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan efektif.3

Kemudian efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan dari usaha yang telah dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan mediasi di

2

T. Hani Handoko, Managemen, edisi II (Yogyakarta, BPFE, 1993), h.7.

3

Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Padang, Alumni, 1979), h. 114.


(54)

Peradilan Agama Jakarta Selatan. Seberapa besar kesuksesan yang diraih oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan melaksanakan usaha damai dalam wadah mediasi dengan memperhatikan berbagai macam aturan yang ada, baik peraturan yang berasal dari pemerintah maupun peraturan yang berasal dari agama.

Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam perspektif efektivitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksanaan hukum yang kurang efektif. Pada hakikatnya persoalan efektivitas hukum seperti yang diungkapkan Syamsuddin Pasamai, dalam bukunya “Sosiologi dan Sosiologi Hukum”, persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangan erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.4

Dalam hal ini ukuran atau indikator efektivitas adalah sebagai berikut:5

1. Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat (sesuai target) dengan waktu yang ditetapkan. 2. Ekonomis, dipergunakan dengan setepat-tepatnya sesuai dengan rencana

serta tidak ada penyelewengan.

4 Ilham Idrus, “efektivitas Hukum” artikel di akses pada 23 September 2010 dari

hhtp://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html

5

Sujudi FX, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen (Jakarta, CV Masagung, 1990), h.36.


(55)

3. Pelaksanaan kerja bertanggung jawab, sebagai bukti telah dimanfaatkan dengan setepat-tepatnya.

4. Rasionalitas wewenangan dan tanggungjawab, harus dihindari adanya dominasi oleh salah satu pihak atas pihak lainnya.

5. Pembagian kerja yang nyata, dibagi berdasarkan beban kerja, ukuran kemampuan kerja dan waktu yang tersedia.

6. Prosedur kerja yang praktis, kegiatan operasional yang dapat dilaksanakan dengan lancar.

Apabila dikaitkan dengan mediasi Laurence Boulle seperti yang dikutip

dalam buku “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia” karangan Gatot Soemarsono,

untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan mediasi ada beberapa prasyarat yang berupa faktor-faktor kunci kesuksesan (key success factor) yang harus diketahui. Faktor-faktor kunci kesuksesan mediasi tersebut diantaranya:6

1. sengketa masih dalam batas “wajar”.

Konflik diantara para pihak masih moderate, artinya permusuhan masih dalam batas yang bisa ditoleransi. Ukuran wajar atau moderate sangat relatif. Misalanya, jika kedua belah pihak tidak mau bertemu, berarti permusuhan diantara mereka telah sangat parah. Jika sengketa sudah sangat parah, harapan untuk mendapatkan win-win solution sulit atau tidak mungkin tercapai. Dengan demikian mereka lebih menyukai penyelesaian lose solution. Dalam kondisi demikian,

6

Gatot Soemarsono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 6-7.


(56)

penyelesaian melalui APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa)7 mungkin tidak mampu memberikan kontrol perlindungan serta pengaruh yang cukup untuk menghasilkan keputusan yang konstruktif.

2. Komitmen para pihak

Para pihak, penguasa, atau pelaku bisnis yang bersengketa memang bertekad menyelesaikan sengketa mereka melalui APS, dan mereka menerima tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri serta menerima legitimasi dari APS. Semakin besar komitmen dan penerimaan atas proses tersebut dari para pihak, semakin besar kemungkinan para pihak akan memberikan response positif terhada penyelesaian melalui APS.

3. keberlanjutan hubungan

Penyelesaian melalui APS selalu menginginkan hasil win-win solution. Dengan demikian, harus ada keinginan dari para pihak untuk mempertahankan hubungan baik mereka. Misalnya, dua pengusaha yang bersengketa, seorang dari Indonesia dan seorang dari jepang, inin tetap melanjutkan hubungan usahanya setelah sengketa mereka berhasil. Dengan pertimbangan kepentingan di masa depan, hal itu mendorong mereka untuk tidak hanya memikirkan hasilnya tapi juga cara mencapainya.

7

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilandengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.


(57)

4. Keseimbangan posisi tawar menawar

Para pihak harus memikliki keseimbangan dalam posisi tawar menawar. Meskipun hal itu kadang sulit dijumpai, khususnya jika sengketa melibatkan multinasional dan pengusaha lokal, dimana hampir seluruh sumberdaya dikuasai oleh pengusaha multinasional. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak seharusnya mempengaruhi posisi tawar menawar. Artinya salah satu pihak harus tidak mendikte atau bahkan mengintimidasi agar sebuah penyelesaian di setujui.

5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia

Para pihak menyadari bahwa, tidak seperti penyelesaian sengketa di pengadilan,proses penyelesaian sengketa melalui APS tidak terbuka untuk umum. Demikian pula, hasil penyelesaian sengketa tidak dimaksudkan untuk diketahui oleh umum atau dipublikasikan kepada khalayak, bahkan dinilai konfidensial. Jadi, tujuan yang hendak dicapai, yang terpenting, adalah para pihak mencapai penyelesaian sengketa mereka dengan hasil yang memuaskan.

B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan 1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta Selatan hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang, yaitu:


(58)

a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara b. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah

c. Kantor cabang Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk8 Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1967 tanggal 16 Desember 1967. Semua pengadilan agama di provinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Surakarta dipindah ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Berdasarkan Surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985, Pengadilan Tinggi di Surakarta dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara

8

Yuridiksi Pengadilan Tinggi agama Jakarta, Mahkamah Agaung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006, hal. 31


(1)

90

mewajibkan para hakim untuk mengikuti pelatihan mediasi. Karena pada umumnya kebanyakan dari hakim di Indonesia masih belum memiliki kemampuan dalam hal mediasi dan baru sedikit diantaranya yang memiliki sertifikasi mediasi. Sehingga program mediasi yang ada dalam sistem peradilan di Indonesia dapat dengan maksimal dan efektif untuk dilaksanakan.

3. Kepada pengadilan Agama Jakarta selatan, penulis berharap sebaiknya menerapkan daftar mediator lengkap dengan pendidikan, profesi dan pengalaman, agar para pihak dapat menentukan sendiri mediator yang diinginkan. Selanjutnya membuat laporan daftar perkara yang berhasil didamaikan sehingga terlihat jelas tingkat keberhasilan mediasi yang dilaksanakan. Supaya dapat meningkatkan keefektifan mediasi dari perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Kepada para hakim yang menangani perkara perdata, penulis menyarankan agar mengikuti pelatihan mediasi supaya dapat menjadi mediator yang baik dan terlatih, serta dapat memaksimalkan upaya damai kepada para pihak yang berpekara. Terlebih lagi bagi hakim yang beragama islam, karena mediasi ini merupakan suatu produk islami. Apabila dapat dilaksanakan dengan optimal maka hal tersebut merupakan perwujudan dari bentuk ijtihad demi mendapatkan keputusan yang memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak. 5. Kepada para pihak yang berpekara, agar mematuhi dan mengikuti aturan-aturan

pengadilan yang telah ditetapkan, sehingga tidak menghambat prosedur pengadilan. Karena selain bermanfaat untuk masa sekarang mediasi juga


(2)

91

bermansfaat untuk kehidupan para pihak di masa mendatang. Karena penyelesaian sengketa melalui mediasi mengutamakan prinsip-prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras dengan budaya bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya mediasi diterapkan secara maksimal dalam setiap proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.

6. Kepada akademisi hukum yang ada di Indonesia, agar memasukkan permasalahan mediasi ini lebih mendetil ke dalam mata kuliah Fakultas Hukum. Agar para mahasiswa Fakultas Hukum lebih memahami pentingnya perdamaian atau mediasi ini. Sekaligus mensosialisasikan kepada para calon praktisi hukum nantinya.

7. Kepada para mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia hukum, agar lebih mendalami keilmuan tentang mediasi. Agar peradilan di Indonesia di masa yang akan datang lebih meningkat mutu dan kualitasnya. Karena para mahasiswalah yang nantinya akan mengganti kedudukan-kedudukan para pemerintah di masa yang akan datang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.

Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008).

Al-qur‟an Karim

Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia Jakarta: Kencana, 2008.

As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III. Beirut: Dar Al Fikr, 1977. Daud, Abu. Kitab Sunan Abu Daud, Beirut: Karoban Hazm, 1974.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Depag RI, 2001.

Handoko, T. Hani. Managemen, edisi II. Yogyakarta, BPFE, 1993.

Harahap, Muhammad Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4 , Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4. Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT). Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan. Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), 2008.


(4)

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2005.

Mulyana, E. Menejemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi Dan Implementasi. Jakarta: PT Rosyda Karya, 2004.

Mulyana, E. Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi. Jakarta, PT. Rosyda Karya, 2004.

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia,1985. Sabiq, As Sayyid. Fiqh As Sunnah, Juz III, Beirut: Dar Al Fikr, 1977.

Samarqondi, Li „Ala Addin. Tuhfah al-fuqoha Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.

Soekanto, Soejono dan Purbacaraka, Purnadi. Perihal Kaidah Hukum. Padang: Alumni, 1979.

Soemarsono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Sujudi FX, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen, Jakarta, CV Masagung, 1990.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Supranto, J. Metode Penelitian Hukum Dan Statistik. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI, Jakarta: Peslitbang Hukum Dan

Peradilan MA-RI, 2007.

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988. ARTIKEL DALAM JURNAL


(5)

Yasardin. “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No.1 Tahun 2002”, Suara Uldilag, Edisi II (1 Juli 2003).

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

DOKUMEN ELEKTRONIK DARI INTERNET

Admin, “Optimalisasi Pelaksanaan Mediasi”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari

2009 dari

http://www.pasimalungun.net/kiri/optimalisasi_pelaksanaan_mediasi.htm

Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2009 dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita.

Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari http://www.bapmi.org/pdf/DiskusiTerbatasPelaksanaanMediasi_FelixSoebagj o.pdf

Hermansyah, “Para Mediator Se-DKI Jakarta Mulai Diperkenalkan”, artikel diakses pada 22 September 2010 dari

http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5288&It emid=1

Idrus, Ilham. “efektivitas Hukum”. artikel di akses pada 23 September 2010 dari hhtp://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html


(6)

Siddiki, Drs., Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilam Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, www.badilag.net,2009.

Wawancara Pribadi

Wawancara Pribadi dengan Kadi Sastro Wirjono. Jakarta. 8 September 2010. Wawancara Pribadi dengan Tamah. Jakarta. Jakarta. 8 September 2010. Wawancara Pribadi dengan Wahyu Widiana. Jakarta. 7-8 September 2010.