Dimana : R
k
= nilai koefisien autokorelasi tingkat ke-k Y
t
= nilai observasi pada waktu t Y
t-k
= nilai observasi pada k periode sebelum t t-k Ŷ
= nilai rata-rata serial data n
= banyaknya observasi series stasioner Nilai koefisien autokorelasi yang berbeda dengan nol atau diluar confidence limit
dapat digunakan untuk menentukan model ARIMA untuk meramal. Apabila nilai autokorelasi tidak dalam interval confidence limit berarti koefisien autokorelasi signifikan
berbeda dari nol, sehingga nilai autokorelasi tersebut berpengaruh dalam menentukan koefisien model ARIMA. Hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh antara data tertentu
sebelumnya dengan data sekarang. Hipotesis yang menduga bahwa ada lag nilai harga inflasi terdahulu tertentu, yaitu
Y
t-1
, Y
t-2
,.., Y
t-n
berpengaruh signifikan positif dalam meramal Y
t
harga inflasi periode harian pada waktu t menggunakan metode ARIMA akan dapat diterima apabila ada nilai
koefisien autokorelasi diluar interval confidence limit. Dan sebaliknya hipotesis akan ditolak jika nilai koefisien berada dalam interval confidence limit.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Statistik Deskriptif
Pada bagian ini akan dibahas mengenai statistik deskriptif dari variabel yang digunakan, yaitu Data Inflasi Bulanan Nasional periode Januari 2006 sampai dengan
Desember 2011. Pada periode tersebut terdapat 72 data inflasi bulanan. Pada tabel 4.1 dapat dilihat mengenai statistik deskriptif inflasi bulanan selama periode pengamatan.
36
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Inflasi Nasional
N Minimum
Maximum Mean
Std. Deviation Variance
Inflasi 72
-.32 2.46
.5172 .51468
.265 Valid N listwise
72
Sumber: BPS, diolah.
Selama periode pengamatan dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2011 rata- rata mean dan standar deviasi standard deviation dari data inflasi bulanan nasional
sebesar 0,517 dan 0,515. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa data inflasi nasional memiliki variasi yang relatif kecil, dan sebaran data berada tidak jauh dari rata-ratanya.
Hal ini memunjukan bahwa data tersebut telah stasioner karena nilai rata-rata dan variannya hampir sama.
Untuk menganalisis data time series menggunakan metode ARIMA syarat utama yang harus terpenuhi adalah data bersifat stasioner. Berdasarkan tabel di atas, data telah
memenuhi syarat untuk dilakukan analisis menggunakan metode ARIMA. Dan tidak perlu lagi dilakukan proses differencing.
4.2 Analisis Data
Jika data time series sudah stasioner maka kita dapat membuat berbagai model peramalan, yaitu Autoregressive AR, Moving Average MA, dan Autoregressive
integrated Moving Average ARIMA. Untuk mengetahui apakah data time series ini mengikuti proses AR jika ya, berapa nilai p atau mengikuti proses MA jika ya, berpa
nilai q atau mengikuti proses ARIMA dimana kita harus mengetahui nilai dari p, d, dan q, maka terlebih dahulu perlu dilakukan serangkaian pengujian, seperti uji kestasioneran
data, uji normalitas data, proses differencing, dan pengujian correlogram untuk mengetahui koefisien autokorelasinya.
37
Dari gambar grafik correlogram autokorelasi ACF dan autokorelasi parsial PACF dapat ditentukan bentuk model peramalannya. Jika hasil correlogram ACF
signifikan pada lag 1 dan PACF mengalami penurunan secara ekponensial bergelombang setelah lag 1, maka yang terjadi adalah proses AR1 atau ARIMA 1,1,0
jika data sudah dilakukan differencing. Jika hasil correlogram PACF signifikan pada lag 1 dan ACF mengalami penurunan secara eksponensial bergelombang setelah lag 1 maka
yang terjadi adalah proses MA1 atau ARIMA0,1,1 jika data sudah dilakukan differencing.
Sangat dimungkinkan jika suatu saat kita menemukan data time series yang dapat diproses dengan sama baiknya pada semua model yang disebutkan di atas AR, MA, dan
ARIMA. Jika hal tersebut terjadi maka pemilihan model terbaik adalah berdasarkan pada model yang memberikan nilai minimum BIC, yang dapat dilihat dari hasil output residual
diagnostics pada dengan program komputer SPSSPASW 18.0.
Gambar 4.1 Grafik Data Inflasi Nasional Periode Januari 2006 – Desember 2011
Sumber: BPS, diolah.
38
Pada gambar 4.1 kita dapat melihat pergerakan data inflasi nasional walaupun berfluktuatif namun membentuk pola yang berulang dan bergerak di antara garis normal,
jika kita tarik garis horisontal. Hal ini menunjukan data memang sudah stasioner. Sehingga tidak perlu dilakukan proses differencing.
4.2.1 Pengujian Kestasioneran dan Normalitas Data
Kestasioneran data dapat kita periksa dengan menganalisis fungsi autokorelasi dan autokorelasi parsialnya Sadeq, 2008. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa data yang
dianalisis menggunakan metode ARIMA harus data yang bersifat stasioner, yaitu data yang nilai rata-rata dan variannya relatif konstan dalam suatu periode. Jadi sebelum
dilanjutkan ketahap selanjutnya, data terlebih dahulu harus diperiksa kestasionerannya. Berdasarkan perhitungan fungsi autokorelasi ACF dan fungsi autokorelasi parsial
PACF menggunakan program SPSSPASW 18.0 dengan jumlah lag 16 dihasilkan data sebagai berikut:
Tabel 4.2 Perhitungan Fungsi Autokorelasi ACF
39
Lag Autocorrelation
Std. Error
a
Box-Ljung Statistic Value
df Sig.
b
1 .517
.115 20.032
1 .000
2 .095
.115 20.717
2 .000
3 -.017
.114 20.741
3 .000
4 .017
.113 20.763
4 .000
5 .175
.112 23.193
5 .000
6 .135
.111 24.674
6 .000
7 -.081
.110 25.213
7 .001
8 -.176
.110 27.803
8 .001
9 -.215
.109 31.720
9 .000
10 -.162
.108 33.983
10 .000
11 .019
.107 34.015
11 .000
12 .077
.106 34.538
12 .001
13 -.071
.105 34.997
13 .001
14 -.161
.104 37.370
14 .001
15 -.169
.103 40.039
15 .000
16 -.121
.103 41.443
16 .000
Sumber: Data diolah.
Tabel 4.3 Perhitungan Fungsi Autokorelasi Parsial PACF
Lag Partial
Autocorrelation Std. Error
1 .517
.118 2
-.235 .118
3 .062
.118 4
.032 .118
5 .201
.118 6
-.099 .118
7 -.152
.118 8
-.034 .118
9 -.138
.118 10
-.041 .118
11 .127
.118 12
.035 .118
13 -.150
.118 14
-.015 .118
15 -.051
.118 16
-.105 .118
Sumber: Data diolah.
40
Gambar 4.2 Grafik Correlogram Fungsi Autokorelasi
Sumber: Data diolah.
Gambar 4.3 Grafik Correlogram Fungsi Autokorelasi Parsial
Sumber: Data diolah.
Berdasarkan gambar 4.2 dan gambar 4.3 di atas dapat dilihat bahwa grafik fungsi autokorelasi ACF dan fungsi autokorelasi parsial membentuk pola sinusoid
bergelombang dan terpotong cut off pada lag pertama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data inflasi nasional tersebut telah stasioner.
41
Dengan taraf signifikansi α = 5 dan banyaknya observasi n = 72, data berada di dalam interval confidance limit, yaitu 0 ± 0,231, seperti terlihat pada gambar di atas.
Kemudian, kita juga perlu menguji apakah data inflasi nasional berdistribusi normal, karena analisis dengan metode ARIMA mensyaratkan data berdistribusi secara
normal. Untuk menguji normalitas data tersebut kita menggunakan uji Kolmogorov- Smirnov. Dengan program komputer SPSSPASW 18.0 diperoleh hasil uji Kolmogorov-
Smirnov sebagai berikut:
Tabel 4.4 Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
Kolmogorov-Smirnov
a
Shapiro-Wilk Statistic
df Sig.
Statistic df
Sig. Inflasi
.094 72
.194 .946
72 .004
Sumber: Data diolah.
Gambar 4.4 Grafik Normalitas Data Inflasi Nasional
Sumber: Data diolah.
42
Berdasarkan tabel 4.7 kita dapat melihat hasil perhitungan uji Kolmogorov- Smirnovnya, dengan p-value sebesar 0,194. Dengan taraf signifikansi α = 5, p-value
sebesar 0,194 lebih besar dari 0,05, sehingga dapat kita simpulkan bahwa data data inflasi nasional selama periode pengamatan berdistribusi secara normal. Hal ini diperkuat
dengan grafik normalitas datanya lihat gambar 4.4, data tersebar di sekitar garis normalnya.
4.2.2 Penentuan Nilai p, d, dan q dalam ARIMA
Karena data telah stasioner dan tidak dilakukan proses differencing maka nilai d tidak perlu dicari lagi, secara otomatis nilai d telah diketahui yaitu nol. Sedangkan nilai p
dan q ditentukan dari pola fungsi autokorelasi dan autokorelasinya. Berdasarkan gambar 4.2 dan gambar 4.3 dapat kita lihat koefisien autokorelasi dan autokorelasi parsial
membentuk gelombang sinusoid, dan terpotong cut off pada lag pertama. Sehingga nilai p dan q dapat ditentukan sebesar 1. Hal ini juga menunjukan bahwa proses tersebut
adalah proses ARMA 1,1 atau proses ARIMA1,0,1. Setelah proses analisis teridentifikasi, yaitu proses ARIMAp,d,q, selanjutnya kita
tentukan model-model yang terbaik untuk peramalan. Berdasarkan proses trial and error diperolah tiga model tentatif terbaik yang memungkinkan untuk dijadikan model
peramalan, yaitu model ARIMA0,0,1, ARIMA1,0,1, dan ARIMA1,0,0.
4.2.3 Estimasi Parameter Model ARIMA
Ketiga model tentatif di atas, yaitu model ARIMA0,0,1, ARIMA1,0,1, dan ARIMA1,0,0 selanjutnya kita estimasi parameter modelnya. Dari ketiga model tersebut
akan dipilih model yang paling terbaik untuk dijadikan model peramalan inflasi nasional periode Januari – Mei 2012 inflasi estimasi, dan akan dibandingkan dengan inflasi
aktualnya.
43
Berikut ini komparasi beberapa pengujian parameter dari ketiga model di atas lihat table 4.8:
Table 4.5 Komparasi Hasil Pengujian Parameter Model
44
Sumber: Data diolah.
Berdasarkan tabel di atas beberapa pengujian menunjukan hasil yang mendekati kesamaan. Model ARIMA yang terbaik adalah jika memiliki nilai koefisien determinasi
R
2
yang besar atau mendekati 1, nilai Mean Square Error MSE atau kesalahan rata- rata kuadrat dan Mean Absolute Percentage Error MAPE atau persentase kesalahan
absolut rata-rata yang kecil, nilai uji Ljung-Box yang lebih besar dari taraf α = 5, serta nilai BIC yang terkecil.
Berdasarkan tabel 4.5 model yang mendekati kriteria tersebut adalah model ARIMA1,0,1, karena model ini memiliki nilai koefisien determinasi R
2
sebesar 0,3160, nilai MSE dan MAPE yang lebih kecil dibanding model yang lain, yaitu sebesar
0,4318 dan 133,5831, serta nilai signifikansi Ljung-Box sebesar 0,7230 lebih besar dari taraf α = 5 . Selain itu, nilai BIC sebagai penguji kriteria model terbaik menunjukan
nilai yang terkecil, sebesar -1,5014. Dengan demikian keputusan pemilihan model terbaik dijatuhkan pada model
ARIMA1,0,1 sebagai model untuk peramalan inflasi nasional periode Januari – Mei 2012.
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Parameter Model ARIMA1,0,1
Estimate SE
t Sig.
Inflasi- Model_1
Inflasi No
Transforma tion
Constant .527
.094 5.612
.000 AR
Lag 1 .214
.188 1.138
.259 MA
Lag 1 -.475
.171 -2.784
.007
Sumber: Data diolah.
Berdasarkan tabel di atas, dapat kita tentukan model persamaan peramalannya, yaitu:
45
Y
t
= 0,527 + 0,214Y
t-1
+ -0,475Z
t-1
+ ... + -0,214 Y
t-p
+ -0,475Z
t-p
+ e
t
......... 4.1
4.2.4 Peramalan
Model persamaan 4.1 digunakan untuk melakukan peramalan inflasi nasional periode Januari – Mei 2012 dan dibandingkan dengan inflasi aktualnya, untuk melihat
seberapa besar tingkat akurasi dari model peramalan dengan metode ARIMA ini. Dengan menggunakan model tersebut diperoleh nilai peramalan inflasi untuk
periode Januari – Mei 2012 sebagai berikut:
Tabel 4.7 Nilai Inflasi Estimasi Tahun 2012
Bulan Inflasi Estimasi
Januari 0,55
Februari 0,53
Maret 0,53
April 0,53
Mei 0,53
Sumber: Data diolah.
Bila divisualisai dengan grafik, maka prediksi inflasi nasional periode Januari – Mei 2012 seperti di bawah ini.
Gambar 4.5 Pergerakan Data Aktual dan Prediksi Inflasi Nasional
46
Sumber: Data diolah.
4.2.5 Pengukuran Kesalahan Peramalan
Menurut Arsyad 1995 terdapat beberapa teknik dalam mengevaluasi peramalan, antara lain:
1. Mean Absolute Deviation MAD atau simpangan absolut rata-rata.
MAD=
∑
i=1 n
Y
t
− Y
t
n 2. Mean Square Error MSE atau kesalahan rata-rata kuadrat.
MSE=
∑
i=1 n
Y
t
− Y
t 2
n 3. Mean Absolute Percentage Error MAPE atau persentase kesalahan absolut rata-
rata.
MAPE=
∑
i=1 n
|
Y
t
− Y
t
|
Y
t
n 4. Mean Percentage Error MPE atau persentase kesalahan rata-rata.
47
MPE=
∑
i=1 n
Y
t
− Y
t
n Empat cara pengukur ini digunakan untuk tujuan sebagai berikut : pembanding
akurasi dari dua teknik peramalan yang berbeda, pengukuran keandalan atau reliabilitas suatu teknik peramalan, pencarian teknik peramalan yang optimal.
Tabel 4.8 Tabel Perhitungan Hasil Peramalan Inflasi 2012
t Inflasi
Aktual Infalsi
Estimas i Y
t
Error E
t
E │
t
│ E
t 2
E │
t
Y │
t
E
t
Y
t
Januari 0,76
0,55 0,21
0,21 0,04
8,16 2,59
Februar i
0,05 0,53
-0,48 0,48
0,23 43,60
-1,10 Maret
0,07 0,53
-0,46 0,46
0,21 39,69
-1,15 April
0,21 0,53
-0,32 0,32
0,10 19,05
-1,66 Mei
0,07 0,53
-0,46 0,46
0,21 39,59
-1,15 Jumlah
1,16 2,66
-1,50 1,92
0,79 29,86
-5,03 N
5 5
5 5
5 5
5 Rata-
Rata 0,23
0,53 -0,30
0,38 0,16
5,97 -1,01
MAD MAE
MSE MAPE
MPE
Sumber: Data diolah.
Selisih rata-rata nilai inflasi aktual dan nilai inflasi ramalan menunjukan adanya overestimate antara hasil ramalan dengan nilai aktualnya. MAD menunjukan bahwa
setiap peramalan terdeviasi secara rata-rata sebesar -0,30. MAPE menunjukan hasil sebesar 5,97 menunjukan bahwa model relevan untuk digunakan dalam peramalan.
4.3 Pengujian Hipotesis