BAHASA DAN JENIS KELAMIN
MAKALAH SOSIOLINGUISTIK
Disusun guna memenuhi tugas akhir semester matakuliah Sosiolinguistik
dosen pengampu Dr. Hisyam Zaini, MA
Disusun oleh:
NAILI VIDYA YULISTYANA 1420410059
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PRODI PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015
A. Pendahuluan
Bahasa dan jenis kelamin, merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Dimana baik itu laki-laki maupun perempuan bahkan seorang waria pun membutuhkan bahasa
untuk berkomunikasi dalam kehidupannya, dan masing-masing dari mereka pun memiliki ciri-ciri tersendiri dalam berkomonikasi dengan lawan bicaranya. Hal itu yang menjadi dasar bahwasannya
ada keterkaitan antara bahasa dan jenis kelamin. Bahasa dan jenis kelamin merupakan salah satu kajian yang menarik dalam sosiolinguistik.
Karena terlihat jelas perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan. Jika mendengar kalimat bahasa dan jenis kelamin, maka yang terbayang dalam benak kita adalah banyak
pertanyaan,” mengapa ada bahasa antara kaum laki-laki dan perempuan?”, “mengapa cara berbicara keduanya berbeda?”, “apakah ada faktor yang menyebabkan mereka dalam berbahasa itu
berbeda?”, dan lain sebagainya. Sebelum penjelasan bahasa dan jenis kelamin lebih jauh, perlu diketahui sebelumnya
bahwa memang ada perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan. Salah satu perbedaan itu adalah terdapat pada bentuk otak pada laki-laki dan perempuan.
Ada yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara otak laki-laki dengan otak perempuan dalam hal bentuknya, yakni hemisfir kiri pada perempuan lebih tebal daripada hemisfer kanan.
1
Hal ini cukup membuktikan bahwa kemampuan berbahasa pada perempuan lebih baik daripada laki-laki. Keadaan seperti ini juga banyak ditemui pada kelas bahasa di sekolah-sekolah yang
umumnya didominasi oleh perempuan. Akan tetapi itu juga tidak satu-satunya alasan bahwa perempuan jauh lebih baik dalam berpikir, karena kenyataannya sekarang jika sudah di tingkat
magister atau doktor, justru laki-laki lah yang menjadi dominan. Hal tersebut bisa dipengaruhi oleh budaya bukan hanya gen semata-mata.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa perempuan sadar di dalam masyarakat status mereka lebih rendah dari pada laki-laki, mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar dari pada
laki-laki yang menghubungkan cara masyarakat memperlakukan perempuan, hal ini karena perempuan ingin menjunjung tinggi status sosialnya di masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur juga berpengaruh terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam
masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang
1 Soenjono Dardjowidjojo. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Hlm. 221
tentunya sama, atau jika berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk- bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
2
Multamia dan Basuki 1989 mengutip beberapa pandangan para pakar dialektologi “tradisional” tentang perempuan yang akan dijadikan informan, diantaranya pendapat dari Kurath
1939:43 yang mengemukakan bahwa “mereka, yaitu responden, haruslah laki-laki karena dalam masyarakat barat tutur perempuan itu cenderung lebih sadar-diri dan sadar-kelas daripada tutur
laki-laki.” Kemudian pendapat lain memperkuat pendapat sebelumnya datang dari Orton 1962:15 menyatakan bahwa “di negeri ini Inggris laki-laki lebih banyak berbicara dalam bahasa aslinya,
lebih taat asas, dan lebih rapi daripada perempuan, dan hal semacam itu bisa berlaku di mana saja.”
3
Menurut pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwasannya perempuan memang lebih sadar diri dalam berbahasa, sehingga perempuan terkadang bersikap hiperkorek dan
cenderung mengaburkan situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh peneliti. Alasan-alasan itu yang menjadi pemicu para kaum perempuan di Inggris berusaha keras untuk mensejajarkan dirinya
dengan laki-laki di sana, dengan cara menggunakan ragam baku dengan sebaik-baiknya. Para kaum perempuan di Inggris memilih ragam baku karena dianggap ragam baku di sana merupakan
bahasa orang terpelajar, jadi jika menggunakan ragam baku berarti orang tersebut berstatus, berkualitas, kompeten, independen, dan kuat. Demikianlah menurut pemikiran para perempuan di
Inggris dalam penggunaan ragam baku di sana karena alasan tersebut, dan ini sangat berbeda dengan kaum laki-laki di sana.
Menurut Janet Holmes, women are designated the role of modelling correct behaviour in the community. Dalam sudut pandang ini, di dalam berbicara perempuan diharapkan lebih sopan.
Namun, ini tidak selalu benar. Kita semua tahu bahwa hubungan antara ibu dan anaknya atau suami dan istri biasanya tidak formal, diselingi dengan colloquial atau bentuk ujaran sehari-hari.
Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk seorang perempuan menggunakan kata seru atau lontaran yang “keras”, seperti damn atau shit; perempuan hanya dapat bilang oh dear atau fudge.
4
Hal ini terjadi karena adanya kesadaran dari sebagian komunitas masyarakat yang tidak kentara bahwa perbedaan ini dibuat, dalam pilihan kosa kata, digunakan untuk menggambarkan
masing-masing peranan yang dipegang antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal panggilan
2 Abdul Chaer, Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Hlm.6 3 Sumarsono, Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA, 2013. hlm.98
4 http:seribupena.blogspot.com200802bahasa-dan-jenis-kelamin.html
, diakses pada tanggal 13 Desember 2014 pukul 12.00 WIB
perempuan juga berbeda dengan laki-laki. Biasanya dalam menggunakan panggilan untuk mereka perempuan sering digunakan kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe baby.
5
Dalam bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi formal, atau pajak. Sedangkan topik yang dibicarakan oleh perempuan lebih
menjurus kepada masalah kehidupan sosial, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup.
B. Aspek- Aspek Perbedaan Penggunaan Bahasa Laki-Laki dan Perempuan