Syarat subyektif. BAB III KONTRAK / PERJANJIAN DALAM HUKUM BISNIS

38 3. suatu hal tertentu; dan 4. suatu sebab yang halal.3 3 Hananudin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal 4-5.

1. Syarat subyektif.

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya para pihak yang mengadakan kontrak, maka disebut syarat subyektif, karena jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya. a. Sepakat para pihak untuk mengikat diri . Dengan diperlukannya kata ” sepakat ”, maka berarti kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya ” cacat ” bagi perujudan kehendak tersebut. Sehubungan dengan syarat kesepakatan tersebut, KUH Perdata mencantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1321 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : ” Tidak ada sepakat yang sah, apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan cara paksaan atau penipuan ”. Undang –undang juga mengatur kategori kekhilafan, yakni : kekhilafan pada orangnya error in Persona contoh : perjanjian kontrak untuk menampilkan biduan terkenal, ternyata yang tampil bukan biduan tersebut hanya namanya saja yang sama.; dan kekhilafan pada hakekat barangnya error in substantia ,Contoh seseorang yang bermaksud membeli lukisan asuki Abdullah ternyata lukisan tersebut yang dibelinya adalah tiruan dari lukisan Basuki Abdullah. Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman akan membuka rahasia yang mengakibatkan ketakutan kepada seseorang, sehingga ia terpaksa membuat perjanjian kontrak tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1324 KUH Perdata yang berbunyi : ” Paksaan dianggap terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menimbulkan ketakutan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu akan menimbulkan ketakutan pada orang tersebut, bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata ”. ” Dalam hal mempertimbangkan adanya pemaksaan harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan ”. 39 Pasal 1328 KUH Perdata memberikan pengertian penipuan yang mengakibatkan cacatnya kesepakatan dalam kontrak, yakni : ” Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, yang dilakukan sedemikian rupa oleh salah satu pihak dan pihak yang merasa ditipu harus dapat membuktikan bukan dengan dasar persangkaan semata ”. b. Cakap untuk melakukan perjanjian. Yang kedua dari syarat subyektif adalah ” Cakap ” untuk melakukan Perbuatan hukum karena menyangkut jati diri para pihak yang mengadakan kontrak Pasal 1330 KUH Perdata mengatur hal tersebut, yakni : ” orang-orang pihak yang dianggap tidak cakap membuat persetujuan perjanjian kontrak adalah sebagai berikut : Orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan dan orang-orang perempuan yang ditetapkan oleh undang-undang yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu ”. Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 21 tahun, atau beum pernah melakukan perkawinan.”. Menurut pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah : ” setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap pemarah pemabuk dan pemboros ” Dalam hal ini pembentuk undang-undang menganggap bahwa yang bersangkutan tidak menyadari tanggung jawabnya, oleh karena diangap tidak cakap untuk mengadakan perjanjian kontrak. Perjanjian yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa dan yang diletakkan dibawah pengampuan dapat mengadakan perjanjian kontrak, jika dilaksanakan oleh orang yang mewakilinya yang mengurusnya atau walinya.4 4. op.cit, kompilasi hukum perikatan hal 75 – 78 2. Syarat Obyektif. a. Suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus mempunyai obyek tertentu suatu hal tertentu yang berkenaan dengan pokok adanya kontrak perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai pokok obyek suatu barang yang paling tidak dapat ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada saat dibuat perjanjian asalkan nanti 40 dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya pasal 1333 KUH Perdata . Bila dilihat dari bahasa Belandanya, maka terjemahan kata ” zaak ” yakni barang dapat diartikan sebagai : 1. Benda barang ; 2. Usaha perusahaan ; 3. Sengketa perkara ; 4. pokok persoalan ; 5. sesuatu yang diharuskan . Kalau dihubungan dengan pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan salah satu syarat kontrak adalah ” hal ” yang tertentu dan kata ” hal ” ini berasal dari bahaa Belanda ondewerp yang dapat juga diartikan pokok pembicaraan atau pokok persoalan, maka zaak lebih tepat bila diterjemahkan sebagai pokok persoalan.5 5.Hasanudin Rahman, Legal Drafting : seri keteramplan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam meancang kontrak,Citra Aditya bakti, Bandung, 2000 hal 7 . Suatu perjanjian kontrak memang seharusnya berisi pokok obyek yang tertentu agar dapat dilaksanakan , maka jika tidak obyek dari suatu perjanjian atau obyek itu merupakan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, kesusialan dan ketertiban umum, maka perjanjian itu batal demi hukum jadi jika syarat obyektif no. 3 dan 4 dari pasal 1320 KUH Perdata tidak terpenuhi, maka perjanjian itu secara otomatis batal demi hukum . b. Suatu sebab yang halal. Untuk suatu sebab yang halal ada beberapa pasal yang mengatur syarat tersebut dalam suatu kontrak , yakni : 1. Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi : ”suatu persetujuan perjanian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum ”. 2. Pasal 1336 KUH Perdata : ” jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika ada sebab lain yang dapat dinyatakan, perjanjian demikian adalah sah ” Pasal 1336 dilihat maksudnya membingungkan, karena pertama dikatakan : ” tidak dinyatakan sesuatu sebab, kalima t ini menjelaskan tentang perjanjian tanpa suatu sebab. Lalu, kata-kata selanjutnya menyebutkan : ...” tetapi ada sebab yang halal .” sehingga semestinya dapat diterjemahkan perjanjian tidak ada sebab tetapi ada sesuatu yang halal diperbolehkan . Jadi pasal 1336 KUH Perdata ini menjadi dasar bagi perjanjian tanpa sebab menjadi suatu kontrak perjanjian yang sah asalkan ada sesuatu 41 yang halal diperbolehkan . Dan ini dikuatkan jika merujuk kepada yurisprudensi maksud kata ” causa ” inggris atau Orzaak Belanda yang terdapat dalam pasal 1336 KUH Perdata tersebut adalah ” isi atau maksud dari perjanjian ”. 3. Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi : ” suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan norma susila yang baik atau ketertiban umum ”. D. Akibat Hukum suatu kontrak. Akibat hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah merupakan salah satu bentuk dari pada adanya suatu kontrak. Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari pada para pihak, maksudnya kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama. Jadi dengan demikian akibat hukum disini tidak lain adalah pelaksanaan dari pada kontrak itu sendiri. Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegadan cermat apa saja isi perjanjian tesebut, atau dengan kata lain, apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak . Terkadang orang mengadakan perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja, lupa hal-hal yang menjadi turunan dari hak dan kewajiban tersebut, sebagai contoh dalam jual beli hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya, namun tidak menetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana kalau barang musnah di perjalanan dan sebagainya. Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan di suatu tempat dan kalangan tertentu , sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan dalam kepatutan harus juga 42 diindahkan, jadi tiga sumber norma sebagaimana disebut diatas merupakan sesuatu yang penting diperhatikan para pihak dalam mengadakan suatu perjanjian. Salah satu sendi penting yang juga harus ada dalam suatu kontrak perjanjian adalah i’tikad baik yang merupakan anasir subyektif dari pihak yang mengadakan perjanjian, yang maksudnya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan, jadi ada ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian yakni harus berjalan diatas rel yang benar. Hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksnaan kontrak perjanjian melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti hakim berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut isinya akan bertentangan dengan i’tikad baik yang berlandaskan kepada perasaan keadilan bagi para pihak dan nilai keadilan yang hidup di masyarakat E. Identifikasi pemahaman dan Technik penyusunan kontrak . 1. Identifikasi pemahaman kontrak Seseorang yang bermaksud menyusun suatu kontrak, wajib memenuhi sejumlah syarat pendahuluan, yang dapat dijabarkan sebagai katalog yang disertai akan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1.A. Pemahaman akan latar belakang transaksi. setiap kontrak sebenarnya merupakan pencerminan maksud dari pihak untuk mewujudkan sesuatu tujuan yang dirumuskan dalam entuk kontrak, pemahaman akan latar belakang transaksi sangat penting, terutama untuk menetapkan judul suatu kontrak yang mencerminkan esensi ketentuan-ketentuan dari kontrak yang bersangkutan. Pemahaman akan latar belakang transaksi tidak saja menuntut pengetahuan yuridis, melainkan juga wawasan di bidang lainnya, khususnya tentang bidang transaksi yang dilakukan dalam kontrak. Kurangnya kemampuan, pengetahuan dan wawasan yang diperlukan di dalam diri seorang penyusun kontrak dalam banyak keadaan dapat mengakibatkan kerugian- kerugian besar. Misalnya, perlu dibedakan dari depan, manakala yang dibutuhkan kerjasama operasi bukan konsorsium, atau sebaliknya. Jadi jangan sampai terjadi suatu ” kontrak jual beli ” dengan cicilan , ternyata berisi ketentuan-ketentuan kontrak ” sewa menyewa ” dengan opsi hak pertama untuk membeli bagi si penerima sewa karena 43 diantara dua kontrak tesebut selain tedapat persamaan namun banyak juga perbedaannya. Disamping itu kadang-kadang ditemukan kontrak-kontrak yang diberi judul ” surat perjanjian ”, atau ” perjanjian ” atau ” kontrak ” yang seringkali isinya tidak terlalu jelas sehingga mengandung potensi kerugian bagi para pihak yang terikat pada perjanjian. 1.B. Mengenali dan memahami para pihak . Seseorang yang hendak melakukan transaksi, pastilah hendak mendapatkan pengetahuan yang cermat tentang mitra transaksinya.dengan baik, baik asal usulnya maupun reputasi bisnisnya. Jika kita selesai dengan ” proses identifikasi ”, maka kita beranjak kepada apa usaha yang dimilikinya ?, seberapa besar kemampuan modalnya, seberapa pangsa pasar yang dikuasainya ?, seberapa besar pengalaman atau kairernya dalam usaha tersebut ?. Setelah mengetahui dengan baik. Maka para pihak bisa melanjutkan kerjasama. 1.C. Mengenal dan memahami obyek transaksi. Pertanyaan berikut sudah mulai lebih memfokuskan diri pada esensi dari transaski yang hendak dirumuskan, bisnis apakah gerangan yang akan dijalankanbersama-sama?, prosedur kerja yang harus dilalui ?, bagaimana cara kerja unsur-unsurnya ?. dan tingkat probabilitas kemungkinan sukses dari bisnis yang dilakukan. Karena setiap bisnis transaksi mempunyai unsur-unsur atau segi-segi yang berbeda, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang berbeda dalam pembuatan kontrak. 1.D. Merumuskan pokok-pokok kontrak. Untuk menyusun suatu kontrak, dimulai dengan langkah dengan bertanya : manakah pesan dari pihak yang menonjol ?, karena pesan yang menonjol itu merupakan pokok kepentingan para pihak yang diharapkan akan menjadi pokok dari suatu kontrak. Setelah kita mampu menetapkan pesan yang menonjol dari pihak dalam konteks yang konstruktif, barulah kita dapat memulai dengan merumuskan pokok-pokok dari kontrak yang harus dirumuskan secara cermat dan akurat, karena hal itu didasarkan atas hal-hal sebagai berikut : 1. rumusan-rumusan tentang pokok-pokok kontrak itu menentukan keruntutan kesinambungan logis dari ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari kontrak. keruntutan itu menentukan hubungan timbal 44 balik dari hak dan kewajiban yang akan berlaku bagi para pihak yang ditetapkan secara adil dan masuk akal; 2. keruntutan ini perlu diperhatikan , karena kadang-kadang dapat terjadi, suatu pihak hendak mempercundangi pihak lain, jauh sebelum benar- benar mereka saling mengikatkan diri. 1.E. Membangun struktur transaksi Struktur transaksi yang terjadi diantara para pihak yang mengadakan perjanjian kontrak ada yang sederhana tunggal, seperti sewa menyewa rumah atau mebuka rekening bank dan transaski yang majemuk maka kita memerlukan judul-judul sub kontrak yang lengkap. Maka untuk transaksi yang majemuk kita harus merumuskan tema transaksi . untuk lebih jelasnya berikut ini, skema struktur sebagamna disebut diatas : Transaksi tunggal --transaski tunggal ----struktur kontrak – judul kontrak; Transaksi majemuk – transaksi majemuk– tema transaksi – struktur transaksi ----strktur kontrak ----judul kontrak utama - kontrak pelengkap 1 - kontrak pelengkap 2 - kontrak pelengkap 3 dstnya.6 6 Budiono Kusumohamidjojo, Dasar-dasar merancang kontrak, Penerbit P.T. Grasindo, Jakarta, 1998, hal 7 – 14.

2. Technik penyusunan kontrak.