Hubungan egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja siswa SMP Muhammadiyah 22 Setia Budi Pamulang

S krip si

HUBUNGAN EGOSENTRISME DENGAN
KOMPETENSI SOSIAL REMAJA SISWA SMP
MUHAMMADIYAH

SETIABUDI PAMULANG

Diajukan untuk memenuhi persyaratan kelulusan jenjang strata satu

Oleh:
Fauzi Rahman
NIM: 102070026038

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
H/
i


M

HUBUNGAN EGOSENTRISME DENGAN KOMPETENSI SOSIAL
REMAJA SISWA SMP MUHAMMADIYAH

SETIABUDI

PAMULANG

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Psikologi

Oleh:
Fauzi Rahman
NIM: 102070026038

Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I,


Pembimbing II,

Dra. Diana Mutiah, M.Si
1967102 199603 2 001

Natris Indriyani, M.Psi
150 411 200

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDA YATU LLA H JAKARTA
H/

ii

M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Hubungan Egosentrisme dengan Kompetensi Sosial Remaja Siswa
SMP Muhammadiyah

Setiabudi Pamulang telah diujikan dalam sidang Munaqosyah
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 September
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 6 September 2010
Sidang Munaqosyah
Dekan/
Ketua Merangkap Anggota

Pembantu Dekan/
Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D
130 885 522

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
19561223 198303 2 001
Anggota:

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si

19620724 198903 2 001

Gazi, M.Si
19711214 200701 1014

Dra. Diana Mutiah, M.Si
1967102 199603 2 001

Natris Indriyani, M.Psi
150 411 200

iii

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Fauzi Rahman


NIM

: 102070026038

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Egosentrisme dengan
Kompetensi Sosial Remaja Siswa SMP Muhammadiyah

Setiabudi Pamulang adalah

benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya.
Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber
pengutipan dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang jika ternyata
skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, September 2010

Fauzi Rahman
NIM: 102070026038


iv

MOTTO

Ego adalah budak yang baik, namun tuan yang sangat buruk.
(Robert Frager, Ph.D)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Al Qur’an, surat Al Hujurat:

v

)

PERSEMBAHAN


Kupersembahkan Karya Penuh Makna Ini Untuk Kedua Orang Tua Tercinta,
Mama dan Papa

vi

ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(B)

September 2010

(C)

Fauzi Rahman

(D) Hubungan Egosentrisme dengan Kompetensi Sosial Remaja
(E)

xv + 55 halaman + lampiran


(F)

Remaja perlu memiliki kompetensi sosial, yakni sekumpulan kemampuan personal
individu untuk berperilaku yang sesuai dan tepat dalam berinteraksi dengan orang lain,
hingga menghasilkan hubungan sosial yang baik. Sementara itu seiring dengan
perkembangan, dalam diri remaja terdapat kecenderungan pola pikir yang dapat
menghambat penyesuaian tersebut, yakni adanya egosentrisme.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara egosentrisme dengan
kompetensi sosial remaja serta mengungkap hubungan antara usia dan jenis kelamin
dengan egosentrisme dan kompetensi sosial remaja. Pendekatan yang digunakan adalah
kuantitatif dengan metode korelasional, yakni mencari hubungan antara dua variabel
yang melekat pada suatu populasi. Populasi penelitian ini adalah siswa/siswi SMP
Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang, kelas VII dan VIII, berjumlah 120 orang.
Diambil sampel secara non-probabilitas purposif sejumlah 88 orang. Dari sampel
penelitian, data dikumpulkan menggunakan dua instrumen skala perilaku model Likert.
Skala egosentrisme remaja merupakan hasil modifikasi dan penyesuaian dari dua skala
baku egosentrisme (Imaginary Audience Scale milik Walters, dkk. (1991), dan The New
Personal Fable Scale dari Alberts, dkk. (2007)). Dan skala kompetensi sosial remaja
juga merupakan hasil modifikasi dan penyesuaian dari skala baku keterampilan sosial
milik Gresham & Elliot (1990).

Dari hasil uji validitas skala, pada skala egosentrisme memuat 20 aitem valid dari 25
aitem yang diuji, dan pada skala kompetensi sosial remaja memuat 23 aitem valid dari
34 aitem yang diuji. Reliabilitas kedua skala adalah kuat, sebesar α = 0,892 (N = 23)
untuk skala kompetensi sosial dan sebesar α = 0,800 (N = 20) untuk skala egosentrisme
remaja. Hasil uji hipotesis dengan rumus korelasi prodect moment dari Pearson,
diketahui terdapat hubungan signifikan antara egosentrisme (baik imaginary audience
maupun personal fable) dengan kompetensi sosial remaja. Di antara subjek penelitian
tergambar bahwa rendahnya egosentrisme remaja cenderung diikuti dengan tingginya
kompetensi sosial. Sementara itu, pada variabel usia dan jenis kelamin tidak didapat
hubungan yang signifikan dengan egosentrisme dan kompetensi sosial remaja.
Selanjutnya, untuk penelitian lebih lanjut disarankan agar memperhatikan variasi dan
jumlah subjek yang diteliti, serta dapat mengembangkan instrumen penelitian yang
sebaik-baiknya.

(G) Bahan Bacaan: 30 (1976 – 2009)\

vii

KATA PENGANTAR


Bismillâhirrahmânirrahîm.
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
nikmat, hidayah, serta pertolongan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada
Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW, beserta kepada seluruh keluarga, para sahabat, dan
pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis merasa wajib menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas keterlibatan semua pihak yang telah memberi
bantuan, dorongan, serta memfasilitasi penulis selama menjalani prosesnya. Oleh karena itu,
penulis sepantasnya menyampaikan terima kasih kepada:
1) Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, Ph.D, beserta jajaran dekanat lainnya,
yakni Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si., Ibu Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, dan Bapak
Bambang Suryadi, Ph.D.
2) Pembimbing I, Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si, dan pembimbing II, Ibu Natris Indriyani,
S.Psi, M.Si. yang dengan ketulusan hati telah mencurahkan tenaga dan pikiran, serta
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyusun
skripsi ini dengan semaksimal mungkin.
3) Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang
telah membagi ilmu serta pengetahuannya kepada penulis selama studi di kampus ini.
4) Bapak dan Ibu staf Fakultas Psikologi yang telah banyak membantu memfasilitasi

berbagai urusan penulis.
5) Bapak pimpinan beserta staf perpustakaan Fakultas Psikologi, perpustakaan utama
Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang telah membantu memfasilitasi bahanbahan bacaan untuk penulis selama melakukan studi dan menyusun skripsi.
6) Bapak Kepala SMP Muhammadiyah 22 Setabudi Pamulang beserta dewan guru yang
telah memfasilitasi penulis dalam penelitian, dan Bapak Kepala SMP Nusantara Plus
beserta para guru yang telah membantu penulis dalam melakukan tryout.

viii

7) Ibunda Idiniah (mama) tercinta, dan ayahanda Suyono Mulya (papa) tersayang, atas
semua cinta, kasih, doa, motivasi, dan ketulusan yang diberikan dari awal hingga akhir
penyusunan skripsi ini, serta semua yang telah dicurahkan untuk kebaikan ananda.
8) Kakak-adikku tercinta, Firmansyah, Fahmi Rifani beserta istri, Murniwati, dan Feny
Cattleya atas dorongan, dukungan, serta semangat yang diberikan.
9) Teman-teman seperjuangan, teman-teman angkatan 2002 atas perhatian, bantuan, kerja
sama, dan semangat yang diberikan.
10) Sahabat-sahabat di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Ciputat, Ikatan Abiturient Darul Arqam, DeA 19/7, Komunitas Hijau, dan alumni SDI
Muslimat atas dorongan, perhatian, celaan membangun, guyonan menggugah, serta
semangat yang diberikan.
11) Pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu namun tak kalah memberikan
kontribusi berarti dalam penyusunan skripsi ini.

Jakarta, September 2010

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………......................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………….

iv

MOTTO ............................................................................................

v

PERSEMBAHAN ............................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................

vii

KATA PENGANTAR ......................................................................

viii

DAFTAR ISI ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................

xiii

DAFTAR TABEL ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................

xv

BAB I PENDAHULUAN..................................................................
1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................

1

1.2. Batasan Masalah ...............................................................

5

1.3. Rumusan Masalah ............................................................. 5
1.4. Tujuan Penelitian ..............................................................

6

1.5. Manfaat Penelitian ............................................................

6

1.6. Sistematika Penulisan .......................................................

7

BAB II KAJIAN TEORI .................................................................

x

2.1. Kompetensi Sosial .............................................................

8

2.1.1. Pengertian ....................................................................

8

2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial

10

2.1.3. Kompetensi Sosial Remaja ........................................... 14
2.1.4. Aspek-aspek Kompetensi Sosial Remaja .....................

19

2.2. Egosentrisme ...................................................................... 20
2.2.1. Pengertian ..................................................................... 20
2.2.2. Egosentrisme dalam Perkembangan Kognitif ..............

21

2.2.3. Egosentrisme Remaja ...................................................

24

2.2.4. Penyebab Egosentrisme Remaja ..................................

27

2.3. Kerangka Berpikir .............................................................

30

2.4. Hipotesis ............................................................................

32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................
3.1. Jenis dan Pendekatan penelitian ........................................

33

3.2. Variabel Penelitian ...………………………...................... 33
3.3. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel ….............

33

3.3.1. Definisi Konseptual Variabel ………………………...

33

3.2.2. Definisi Operasional Variabel ......................................

34

3.4. Populasi dan Sampel .......................................................... 35
3.4.1. Populasi ........................................................................

35

3.4.2. Sampel ..........................................................................

35

3.5. Pengumpulan Data ............................................................. 35

xi

3.5.1. Metode Pengumpulan Data ..........................................

35

3.5.2. Instrumen Penelitian ..................................................... 36
3.5.3. Pengujian Instrumen dan Analisis Data .......................

37

3.6. Prosedur Penelitian ............................................................

37

BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................
4.1. Gambaran Subjek penelitian .............................................. 39
4.2. Presentasi dan Analisis Data .............................................. 40
4.2.1. Uji Instrumen Penelitian ............................................... 40
4.2.1.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala
Kompetensi Sosial ............................................... 40
4.2.1.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala
Egosentrisme Remaja .......................................... 41
4.2.2. Deskripsi Hasil Penelitian ............................................ 43
4.2.2.1. Kategorisasi Variabel .............................................. 43
4.2.2.2. Uji Hipotesis ...........................................................

45

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ........................
5.1. Kesimpulan ........................................................................

49

5.2. Diskusi ...............................................................................

49

5.3. Saran ..................................................................................

51

DAFTAR RUJUKAN .......................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar

. Bagan Kerangka Berpikir ...........................................................

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel

. Cetak Biru Skala Egosentrisme ................................................

Tabel

. Cetak Biru Skala Kompetensi Sosial Remaja .........................

Tabel

. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia .......

Tabel

. Cetak Biru Skala Kompetensi Sosial Remaja Setelah Uji
Validitas .....................................................................................

Tabel

. Cetak Biru Skala Egosentrisme Remaja Setelah Uji
Validitas .....................................................................................

Tabel

. Deskripsi Statistik Masing-masing Variabel ...........................

Tabel

. Kategorisasi Egosentrisme ........................................................

Tabel

. Kategorisasi Kompetensi Sosial ................................................

Tabel

. Tabulasi Silang Kategori Variabel ...........................................

Tabel

. Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Egosentrisme..

Tabel

. Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Imaginary
Audience ..…………………………………………………….

Tabel

. Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial Dengan Personal
Fable .………………………………………………………...

Tabel

. Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial, Egosentrisme dan
Usia .………………………………………………………….

Tabel

. Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial, Egosentrisme dan
Jenis Kelamin ………………………………………………..

xiv

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala Kompetensi Sosial Remaja (tryout)
Lampiran Skala Egosentrisme Remaja (tryout)
Lampiran Skor Hasil Tryout
Lampiran Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Lampiran Surat Keterangan SMP Muhammadiyah
Lampiran Skala Kompetensi Sosial Remaja
Lampiran Skala Egosentrisme Remaja
Lampiran Skor Penelitian
Lampiran Descriptive Statistics dan Uji Korelasi

xv

Setiabudi Pamulang

BAB I
PENDAHULUAN

. Latar Belakang Masalah
Proses sosialisasi merupakan salah satu tugas perkembangan terpenting
bagi anak-anak juga remaja. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) tugas
perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode
tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa
bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
berikutnya; dan kalau gagal, menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya. Ditambahkan bahwa beberapa dari tugastugas perkembangan itu muncul sebagai akibat dari sejumlah faktor, pertama
faktor kematangan fisik, seperti belajar berjalan; kedua faktor tuntutan budaya
dari masyarakat, seperti belajar membaca; dan ketiga faktor aspirasi individual,
seperti memilih dan mempersiapkan pekerjaan. Namun pada umumnya, tugastugas perkembangan muncul dikarenakan ketiga faktor tersebut secara sekaligus.
Seiring pertumbuhan dan perkembangan individu, aktivitas sosialisasinya
terus meningkat. Pada tiap-tiap tahap perkembangan muncul berbagai keadaan
tipikal yang dapat mendukung atau malah menghambat proses sosialisasi tersebut.
Salah satu tahap perkembangan yang paling krusial dan juga kritis adalah saat
mencapai masa remaja. Masa remaja dikenal sebagai masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Di masa tersebut individu muda banyak mengalami
perubahan, meliputi perubahan pada fisik, mental, emosional, serta sosial.
Perubahan-perubahan itu cenderung membuat remaja mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri. Dahsyatnya perubahan dalam fisik, mental-psikis, serta sosial
1

2
remaja menyebabkan kegoncangan dalam dirinya. Hingga remaja seringkali
menampilkan perilaku-perilaku yang buruk, atau bahkan menyimpang dari norma.
Dalam laporan tahunan dari Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro
Jaya), dinyatakan bahwa angka kenakalan remaja mengalami kenaikan sepanjang
tahun 2009 . Kenaikan yang terjadi bahkan melonjak drastis jika di banding tahun
2008. Di tahun 2009, terjadi 26 kasus kenakalan remaja, yaitu mengalami
kenaikan 160 persen jika dibanding tahun 2008 yang hanya mencapai 10 kasus
(Republika, 2009/12/30).
Dalam konteks tugas perkembangan dan proses sosialisasi, fenomena
kondisi remaja tersebut jelas menjadi hambatan dalam perkembangan sosialnya.
Para remaja yang terjebak dalam kecenderungan perilaku-perilaku bermasalah
akan mendapat stigma buruk yang kuat dari masyarakat. Akibatnya mereka akan
menemui kesulitan untuk mengembangkan perilaku sosial yang baik karena
lingkungan sosial terlanjur memberi cap buruk terhadap mereka. Untuk
penyesuaian diri serta sosial yang baik, remaja sebenarnya dapat mengembangkan
sejumlah kemampuan dan perilaku positif dalam pergaulannya di lingkungan
sosial. Kemampuan itu dapat disebut sebagai kompetensi sosial. Secara sederhana,
kompetensi sosial dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak secara
bijaksana dalam hubungan antar manusia (Thorndike, 1920, dalam Smart &
Sanson, 2003).
Sebuah penelitian baru-baru ini di Amerika menyebutkan bahwa anakanak muda yang memiliki masalah perilaku diketahui memiliki kompetensi sosial
yang rendah (Groot, 2009). Penelitian tersebut dilakukan pada 113 remaja (62
orang laki-laki, dan 51 orang perempuan) yang diidentifikasi mengalami

3
gangguan emosional berat (serious emotional disturbances-SEDs) dan dirawat
pada sebuah pusat perawatan setempat. Hasilnya ditemukan bahwa subjek
penelitian tersebut memang memiliki masalah perilaku yang serius dan
kekurangan dalam kompetensi sosialnya. Jadi, terdapat hubungan negatif
signifikan antara masalah perilaku remaja dengan kompetensi sosialnya.
Secara positif kompetensi sosial banyak terkait dengan sejumlah perilaku
sosial yang baik dan memberi kontribusi terhadap tercapainya penyesuaian
terhadap lingkungan sosial yang baik. Sebuah studi dilakukan oleh Smart &
Sanson (2003) terhadap 940 anak muda Australia (41 persen laki-laki dan 59
persen perempuan) yang berusia 19-20 tahun untuk mengungkap hubungan antara
kompetensi sosial dengan beberapa aspek dari penyesuaian dan kebaikan diri
(seperti memiliki hubungan yang erat dengan orangtua, kemampuan komunikasi
yang baik, kualitas pertemanan yang baik, dan sikap sosial yang baik). Kemudian
diketahui bahwa anak-anak muda yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi
diketahui lebih memiliki hubungan yang erat serta jarang mengalami konflik
dengan orangtua mereka. Di samping itu, mereka juga lebih dapat memiliki
hubungan pertemanan yang berkualitas dan sedikit mengalami keterasingan oleh
teman-teman. Jadi disimpulkan bahwa sejumlah aspek dari kompetensi sosial
yang dimiliki para subjek dapat menjadi faktor penting dalam penyesuaian dan
kebaikan diri mereka.
Studi mengenai kompetensi sosial remaja yang dilakukan di Indonesia
juga mengungkapkan fakta yang sejalan. Misalnya, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Amri (2005) diketahui bahwa remaja putri yang memiliki body
image yang positif memiliki kompetensi sosial yang tinggi, demikian sebaliknya

4
yang memiliki body image negatif memiliki kompetensi sosial yang rendah.
Selain itu, menurut hasil penelitian Santoso (2009), didapat remaja perempuan
memiliki kepercayaan diri dan kompetensi sosial yang lebih tinggi ketimbang
remaja laki-laki. Dari kedua penelitian tersebut, diketahui bahwa kompetensi
sosial memiliki kaitan yang positif dengan kepercayaan dan pencitraan diri
remaja.
Saat memasuki masa remaja mulai muncul suatu ciri pemikiran khusus
yang disebut dengan egosentrisme remaja. Secara umum, egosentrisme dimaknai
sebagai keterbatasan membedakan hubungan subjek-objek (Piaget, 1929 & 1958,
dalam Greene, Walters, Rubin, & Hale, 1996). Secara lebih spesifik, egosentrisme
remaja merujuk pada kesadaran individu bahwa ia menjadi pusat perhatian
lingkungan sosialnya, dibarengi dengan pemikiran bahwa selain dirinya tidak ada
orang yang memahaminya. Beberapa studi melaporkan bahwa egosentrisme
berkaitan dengan hubungan interpersonal remaja, yakni tingkat egosentrisme yang
tinggi pada diri remaja berhubungan dengan macam-macam masalah dalam
hubungan interpersonalnya (Jahnke, HC & Blanchard-Fields, F, 1993; Vartanian,
LR, 2001; Burack, JA, Flanagan, T, Peled, T, Sutton, HM, Zygmuntowicz, C, &
Manly, JT, 2006; dalam Yamamoto, M, Tomotake, M, & Ohmori, T, 2008).
Penelitian lain mengenai egosentrisme remaja menunjukkan bahwa nilai
yang tinggi pada aspek egosentrisme remaja berhubungan dengan rendahnya nilai
penyesuaian (adjusment), serta besarnya depresi dan perasaan kesepian
(loneliness) (Goossens, dkk, 2002; Schonert-Reich, 1994, dalam Smetana &
Villalobos, Lerner, & Steinberg, 2009). Diketahui pula bahwa tingginya
egosentrisme berhubungan dengan rendahnya harga diri remaja (Ryan &

5
Kuczkowski, 1994, dalam Smetana & Villalobos, Lerner & Steinberg, 2009). Dari
beberapa hasil temuan penelitian mengenai egosentrisme di atas dapat dikatakan
bahwa fenomena egosentrisme remaja memiliki hubungan dengan sejumlah
perilaku sosial remaja.
Berdasarkan fakta tersebut di atas serta menyadari pentingnya aspek
kompetensi sosial pada diri remaja, maka penulis merasa tertarik untuk
mengungkap hubungan antara egosentrisme remaja dengan kompetensi sosialnya
melalui penelitian ini.

. Batasan Masalah
Adapun pada penelitian ini, masalah penelitian dibatasi seperti sebagai
berikut:
• Egosentrisme

remaja

yang

dimaksud

adalah

kecenderungan

untuk

memandang dunia dari perspektif pribadi seseorang tanpa menyadari bahwa
orang lain bisa memiliki sudut pandang yang berbeda. Kecenderungan
tersebut memiliki dua bentuk berbeda, yakni imaginary audience dan
personal fable.
• Kompetensi sosial remaja adalah sejumlah kemampuan dan perilaku remaja
yang digunakan untuk bertindak secara bijaksana dalam hubungan sosial.
• Sebagai subjek pada penelitian ini adalah remaja awal siswa/siswi SMP
Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang dengan rentang usia 11-14 tahun.

. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah seperti dipaparkan di
atas, maka masalah-masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

6


Apakah terdapat hubungan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial
remaja?



Apakah terdapat hubungan antara imaginary audience dengan kompetensi
sosial remaja?



Apakah terdapat hubungan antara personal fable dengan kompetensi sosial
remaja?



Apakah terdapat hubungan antara usia, egosentrisme dengan kompetensi
sosial remaja?



Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin, egosentrisme dengan
kompetensi sosial remaja?

. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan bertujuan untuk mengungkap hubungan
antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja serta mengungkap
perbedaan usia dan jenis kelamin dalam hubungan egosentrisme dengan
kompetensi sosial remaja.

. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
menyediakan/menambah data-data empiris mengenai tema penelitian, sekaligus
menambah khazanah dan wawasan keilmuan di bidang psikologi perkembangan
atau pendidikan.
Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi
informasi kepada orangtua dan guru mengenai perkembangan perilaku sosial

7
remaja sehingga dapat dikembangkan pola asuh dan didik yang sesuai dengan
perkembangannya.

. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:


Bab 1, merupakan pendahuluan. Mencakup latar belakang masalah
penelitian,

lalu

identifikasi,

pembatasan,

serta

rumusan

masalah.

Selanjutnya tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.


Bab 2, kajian teori. Berisi penjelasan teoritis mengenai permasalahan yang
diteliti, kerangka berpikir peneliti, dan pengajuan hipotesis oleh peneliti.



Bab 3, metodologi penelitian. Mengungkapkan metodologi penelitian yang
digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan penelitian, variabelvariabelnya, teknik pengambilan sampel dan pengumpulan data, serta
prosedur penelitian.



Bab 4, presentasi dan analisa data. Menjelaskan tentang hasil-hasil
penelitian yang diperoleh mencakup gambaran umum responden, hasil uji
instrumen penelitian, dan deskripsi hasil akhir penelitian.



Bab 5, merupakan penutup. Berisi kesimpulan umum penelitian, diskusi,
dan saran-saran.

8
BAB II
KAJIAN TEORI

. Kompetensi Sosial
. Pengertian
Definisi dari kompetensi sosial adalah sama banyaknya dengan jumlah
peneliti yang mengkajinya (Rubin & Rose-Krasnor, 1992 dalam Meisels,
Atkins-Burnett, & Nicholson, 1996), sekaligus memuat variasi makna yang
banyak pula. Berikut beberapa pengertian kompetensi sosial menurut
beberapa peneliti.
Kompetensi sosial dapat diartikan sebagai sejumlah kemampuan serta
perilaku yang meliputi aspek sosial, emosional, dan kognitif yang dibutuhkan
anak-anak untuk dapat menyesuaikan diri sebaik-baiknya dengan masyarakat
(Welsh & Bierman, 2001).
Ford (1982), Waters & Sroufe (1983), & Zigler (1973) dalam Chen,
Li, Li, Li, & Liu (2000) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai
kemampuan untuk bertindak secara efektif dan tepat pada berbagai situasi
sosial. Ditambahkan bahwa aspek efektivitas dan penerimaan sosial
merupakan dua hal yang paling sering ditekankan dalam pengertian
kompetensi sosial. Artinya, seseorang yang memiliki kompetensi sosial yang
tinggi cenderung menampilkan perilaku yang efektif dan dapat diterima
dalam hubungan sosialnya.
Senada dengan pengertian di atas, Meisels, Atkins-Burnett, &
Nicholson (1996) berpendapat bahwa kompetensi sosial adalah sejumlah
keterampilan dan perilaku dari seorang anak yang menuntunnya menuju hasil

9
hubungan sosial yang baik dan menghindarkannya dari respon-respon sosial
yang buruk. Mereka lantas mengajukan beberapa kriteria pencapaian
kompetensi sosial, di antaranya:
a) Adanya kebaikan (kindness), kerja sama (cooperation), dan kerelaan
yang pantas (appropriate compliance), serta tidak menampilkan sikap
bermusuhan atau menentang.
b) Ekstroversi (kecenderungan untuk menampilkan minat terhadap orang
atau sesuatu hal), seperti bersosialisasi secara aktif, dan tidak takuttakut atau menarik diri dalam berinteraksi dengan orang lain.
c) Memiliki kemampuan komunikasi sosial, misalnya mampu memahami
bahasa non-verbal orang, mampu berhumor dan menanggapi humor
orang, serta mampu secara tepat mengajukan dan merespon usul.
Selanjutnya, Gresham & Elliot (1990, dalam Smart & Sanson, 2003)
memaknai kompetensi sosial sebagai cara-cara berperilaku yang dipelajari
agar seseorang dapat berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Cara-cara
tersebut meliputi sejumlah tindakan dan respon individu yang pantas secara
sosial, seperti berbagi, menolong, bekerja sama, memulai hubungan
interpersonal, peka dalam berinteraksi dengan orang, dan menghadapi situasi
konflik dengan baik.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil titik temu bahwa
kompetensi sosial adalah sekumpulan kemampuan personal individu untuk
berperilaku yang sesuai dan tepat dalam berinteraksi dengan orang lain,
hingga menghasilkan hubungan sosial yang baik.

10
. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial
Fabes, Gaertner, & Popp (dalam McCartney & Philips, 2006)
mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi
sosial. Ke semuanya menggambarkan berbagai kondisi dasar yang dapat
memberi kontribusi terhadap pencapaian kompetensi sosial di kemudian hari.
Di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Temperamen
Istilah temperamen secara umum digunakan untuk merujuk pada pola
perilaku secara mendasar dan menjelaskan perbedaan individu dalam
bertingkah laku sejak dari tahun pertama masa kanak-kanak awal. Perilaku
yang dimaksud mencerminkan kondisi khas emosi, motorik, dan perhatian
terhadap stimulus bagi setiap individu; dan perilaku tersebut secara
potensial mempengaruhi kemampuannya dalam membentuk hubungan
sosial yang positif.
Chess & Thomas (1977, 1987, 1991, dalam Santrock, 2002)
mengemukakan bahwa sejak kanak-kanak, seorang individu telah memiliki
kecenderungan memiliki temperamen tertentu, seperti sebagai berikut.
1) Anak bertemperamen sedang (easy child), pada umumnya memiliki
suasana hati yang positif, cepat membangun rutinitasnya yang teratur
pada masa bayi, dan mudah menyesuaikan diri dengan pengalamanpengalaman baru.
2) Anak bertemperamen tinggi (difficult child), cenderung bereaksi
secara negatif dan sering menangis, melibatkan diri dalam hal-hal

11
rutin sehari-hari secara tidak teratur, dan lambat menerima
pengalaman-pengalaman baru.
3) Anak bertemperamen rendah (slow-to-warm-up child), memiliki
tingkat aktivitas yang rendah, agak negatif, memperlihatkan daya
adaptasi yang rendah, dan memperlihatkan intensitas suasana hati
yang rendah.
Banyak peneliti meyakini temperamen telah menjadi karakteristik yang
tetap pada diri individu sejak masa yang amat muda (bayi), tetapi dapat
terus terbentuk dan diperbarui oleh pengalaman-pengalaman hidup seiring
dengan perkembangannya (Goldsmith, 1988; Thomas & Chess, 1987,
dalam Santrock 2002). Jadi, seseorang terlahir dengan memiliki
karakteristik tertentu pada temperamennya, namun pada perkembangan
selanjutnya temperamen tersebut dipengaruhi oleh respon-respon yang
diterima selama dalam pengasuhan orangtua dan juga pengalaman hidup
individu dalam lingkungan sosialnya.
b) Faktor keterampilan sosio-kognitif
Disebutkan bahwa kognisi sosial merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kompetensi sosial. Ia merupakan fungsi kognitif yang
dengannya seseorang belajar untuk mengenal dan menginterpretasikan
informasi mengenai orang lain, teman sebaya, situasi-situasi sosial, serta
belajar tentang perilaku dan respon sosial secara efektif. Fungsi tersebut
memberi dukungan terhadap perkembangan keterampilan kognisi sosial
yang memungkinkan individu membentuk pemahaman yang lebih baik
mengenai pikiran, perasaan serta kecenderungan perilaku orang lain.

12
Dengan demikian, saat individu berinteraksi dengan orang lain, atau
berperilaku dalam situasi sosial pikirannya membantu mengatur tingkah
laku yang akan dimunculkan sedemikian rupa hingga memungkinkannya
bersosialisasi secara efektif.
Paling tidak terdapat dua hal penting dalam kognisi sosial, yaitu
pemrosesan informasi dan pengetahuan sosial. Dodge (1983, dalam
Santrock, 2002) meyakini bahwa ketika seseorang melakukan interaksi
sosial, ia melampaui lima tahap dalam memroses informasi tentang dunia
sosialnya,

yaitu

membaca

kode/sandi

isyarat-isyarat

sosial,

menginterpretasikan, mencari suatu respon, memilih respon yang optimal,
dan bertindak. Jadi, bagaimana seseorang berperilaku dalam interaksi
sosialnya ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi perilaku-perilaku
orang lain, dan juga bagaimana pikirannya memberi pertimbangan tentang
pilihan respon/tindakan yang akan diambil orang tersebut.
Di samping itu, pengetahuan sosial juga dilibatkan dalam kemampuan
individu agar dapat akrab dengan lingkungan sosialnya. Yaitu pengetahuan
tentang arti dan tujuan-tujuan dari relasi sosial, nilai-nilai yang berlaku
dalam berhubungan sosial, pentingnya membangun interaksi sosial yang
baik, serta pengetahuan tentang kondisi emosi dirinya ataupun orang lain.
Semua pengetahuan tersebut terus berkembang sesuai dengan pengalaman
individu menjalani interaksi sosial dari waktu ke waktu, dan sejalan dengan
pengertian yang ditanamkan oleh pengasuh atau orangtua.
c) Keterampilan berkomunikasi

13
Bahasa merupakan cara utama bagi seseorang untuk membangun
interaksi, mengelola hubungan dengan orang lain, dan membangun kontak
interpersonal. Dapat dipahami bahwa individu dengan keterampilan bahasa
yang rendah tidak dapat menjalin hubungan sosial dengan baik. Kapasitas
untuk memahami orang lain, serta menunjukkan kebutuhan, pikiran, dan
tujuan-tujuan

individu

seringkali

tergantung

pada

kemampuan

berbahasanya. Jika seseorang mampu mengkomunikasikan keinginan dan
kebutuhnnya dengan baik dalam interaksi sosialnya, maka dapat dikatakan
bahwa ia adalah orang yang kompeten secara sosial. Bagaimanapun, bahasa
dan komunikasi merupakan sarana terpenting dalam hubungan sosial atau
proses sosialisasi.
Di samping tiga hal di atas beberapa faktor lain dapat pula memberi
kontribusi terhadap kompetensi sosial anak, di antaranya yaitu:
a) Faktor keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial paling awal bagi individu
untuk melakukan sosialisasi. Kompetensi sosial seseorang berkembang
seiring pengalamannya mendapat perlakuan sosial dalam keluarga.
Atkinson, Atkinson, Smith, & Biem (1990) mengungkapkan, cara
bagaimana orangtua merespon terhadap kebutuhan-kebutuhan anaknya –
secara sabar, dengan kehangatan dan perhatian, atau secara kasar, dengan
sedikit kepekaan – akan mempengaruhi hubungan si anak dengan orang lain
hingga kelak di kemudian hari setelah ia dewasa.
b) Pengalaman sosialisasi di masa paling awal

14
Seseorang yang di masa kecilnya mengikuti program pendidikan
prasekolah atau mendapatkan kesempatan lebih awal untuk berinteraksi
sosial dengan pihak selain keluarga, cenderung lebih mudah mencapai
kompetensi sosial yang matang. Ketersediaan kesempatan yang luas sejak
masa paling dini memungkinkan seseorang memperoleh latihan dan
pengalaman sosial yang kaya hingga dapat mendukung terhadap pencapaian
kompetensi sosial yang tinggi. Hurlock (1980) menyatakan, kalau pada saat
anak berusia empat tahun telah mempunyai pengalaman sosialisasi
pendahuluan, biasanya ia mengerti dasar-dasar permainan kelompok, dan
sadar akan pendapat orang lain. Pengertian akan dasar-dasar interaksi sosial
dalam permainan serta kesadaran akan adanya pandangan orang lain
sangatlah penting dalam menunjang kompetensi sosial anak.
Dari beberapa faktor di atas, tiga yang awal dapat dikategorikan
sebagai faktor internal (inheren dalam diri individu) dan dua yang terakhir
merupakan faktor eksternal (berasal dari luar diri individu). Meskipun faktorfaktor internal cenderung dipahami sebagai faktor bawaan, tapi faktor-faktor
tersebut terus berkembang sesuai dengan pengalamannya belajar dalam
lingkungan sosial.

. Kompetensi Sosial Remaja
Perkembangan dari anak menuju remaja sering dicirikan dengan
perubahan yang dramatis bagi orang muda, meliputi perubahan pada fisik,
mental-psikis, maupun sosial. Seiring dengan perubahan-perubahan tersebut
remaja juga menerima sejumlah tugas perkembangan baru. Menurut Hurlock
(1980), salah satu tugas perkembangan yang paling sulit bagi remaja adalah

15
yang

berhubungan

dengan

penyesuaian

sosialnya.

Remaja

harus

menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya
belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar
lingkungan keluarga dan sekolah.
Agar mencapai perkembangan sosial yang optimal, remaja harus
membuat banyak penyesuaian baru. Di antara yang paling penting adalah
penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya (peers).
Selama masa kanak-kanak, seseorang baik laki-laki atau perempuan sangat
terorientasi pada peran orangtua. Ketika memasuki remaja, peran orangtua
menjadi berkurang dan digantikan oleh peran kelompok sebaya yang
pengaruhnya begitu kuat. Hurlock (1980) mencontohkan, sebagian besar
remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai pakaian yang sama dengan
anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima
oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok
mencoba minuman alkohol, obat-obat terlarang, atau rokok, maka remaja
cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri akan
akibatnya.
Di samping penyesuaian terhadap menguatnya pengaruh kelompok
sebaya, remaja juga harus menyesuaikan diri akibat adanya perubahan dalam
perilaku dan hubungan sosial. Di antara perubahan sikap dan perilaku sosial
yang menonjol pada remaja adalah dalam hubungan heteroseksual. Hurlock
(1980) mengemukakan bahwa dalam waktu singkat remaja mengadakan
perubahan radikal, dari tidak menyukai berteman dengan lawan jenis menjadi
lebih menyukai teman dari lawan jenis daripada dengan yang sejenis. Lalu

16
terjadi pula pengelompokan sosial baru. Teman-teman di masa kanak-kanak
dulu berangsur-angsur berganti dengan teman-teman baru disertai adanya
pola hubungan yang lebih serius dan matang ketimbang masa kanak-kanak.
Penyesuaian yang juga penting bagi remaja adalah karena munculnya
nilai-nilai baru dalam pola pergaulan remaja. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai
dalam seleksi persahabatan, dalam dukungan dan penolakan sosial, serta
dalam memilih pemimpin kelompok (Hurlock, 1980). Para remaja tidak lagi
memilih teman berdasarkan kemudahannya sebagaimana halnya pada masa
kanak-kanak. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilainilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa nyaman, dan
yang kepadanya ia dapat mempercayakan hal-hal yang tidak dapat dibicarakan
dengan orangtua ataupun guru. Remaja juga mempunyai nilai baru dalam
menerima atau menolak teman-teman sebaya sebagai bagian dari kelompok.
Utamanya didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk
menilai anggota-anggota kelompok. Dalam hal menentukan pemimpin
kelompok, remaja menginginkan pemimpin yang berkemampuan tinggi yang
akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang lain, dan dengan demikian
akan menguntungkan mereka. Ini didasari pada pemikiran bahwa pemimpin
kelompok sebaya mewakili diri mereka dalam masyarakat yang lebih besar.
Dalam berbagai upaya penyesuaian tersebut, dibutuhkan keterampilan
yang dapat membantu remaja dalam menyesuaikan diri, atau disebut sebagai
kompetensi sosial. Smart & Sanson (2003) menyatakan bahwa kompetensi
sosial yang dikembangkan dengan baik dapat memudahkan anak-anak muda

17
(youngsters) untuk mengatasi sekaligus melampaui macam-macam kesulitan
dalam proses penyesuaian.
Dalam studinya Smart & Sanson (2003) memberi gambaran tentang
kompetensi sosial remaja. Remaja dengan kompetensi sosial yang tinggi
sedikit sekali mengalami perasaan tertekan (depressed), cemas (anxious),
ataupun stres. Mereka juga amat kurang menampilkan perilaku yang buruk,
dan merasa sangat puas dengan kehidupan yang dijalaninya.
Welsh & Bierman (2001) mengungkapkan bahwa remaja yang
menampilkan tingkat kompetensi sosial yang tinggi selalu dapat diterima
dengan baik dalam komunitas sosialnya. Mereka begitu bersahabat, mudah
bekerja sama, dan bercakap-cakap dengan amat baik dengan orang lain.
Teman-teman sebaya sering menggambarkan mereka sebagai orang yang suka
menolong, baik, pengertian, atraktif, serta bagus dalam permainan. Remaja
yang kompeten dalam hubungan sosial, biasanya mampu menyadari cara
pandang orang lain dan mampu menghadapi situasi konflik dengan tetap
tenang.
Sebaliknya, para remaja yang kurang memiliki kompetensi sosial
cenderung mengalami banyak masalah dalam hubungan sosial, dan sering
terkait dengan macam-macam masalah perilaku dan kenakalan (Hair, Jager, &
Garrett, 2001). Sebuah penelitian di Amerika yang melibatkan sejumlah
remaja yang memiliki gangguan emosional serius dan terbukti mengalami
berbagai masalah perilaku menunjukkan bahwa para remaja itu memiliki
kompetensi sosial yang rendah. Lebih parah, disebutkan bahwa mereka

18
mempunyai pemahaman dan kecakapan hubungan sosial yang tidak matang
dan terbelakang (Groot, 2009).
Selanjutnya Smart & Sanson (2003) menjelaskan bahwa terdapat
perbedaan tingkat kompetensi sosial di antara remaja laki-laki dan perempuan.
Berbagai kecakapan yang menjadi bagian dari kompetensi sosial cenderung
ditampilkan lebih menonjol oleh remaja perempuan ketimbang remaja lakilaki. Dijelaskan bahwa dorongan dari norma serta harapan sosial yang
menginginkan remaja perempuan agar lebih kooperatif (penurut, hormat
terhadap figur orangtua/guru), dan memiliki tanggung jawab (taat, memenuhi
tugas-tugas yang diberikan) lebih membantu mereka dalam mengembangkan
kompetensi sosial ketimbang remaja laki-laki. Demikian pula, proses
sosialisasi dalam keluarga dan pengalaman-pengalaman mendapat pengasuhan
selama kanak-kanak turut menyokong perkembangan emosional dan rasa
empati para remaja perempuan, sementara

remaja

laki-laki kurang

mendapatkan dorongan tersebut.
Mengembangkan kompetensi sosial yang baik selama remaja adalah
mutlak diperlukan. Kompetensi sosial memungkinkan remaja melakukan
penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang dialaminya secara optimal dan
tanpa kesulitan. Selanjutnya kompetensi sosial dapat membantu remaja untuk
memiliki hubungan sosial yang berkualitas. Kompetensi sosial bahkan dapat
membantu remaja dalam perkembangan sosial berikutnya di masa dewasa,
misalnya dalam menjalin hubungan pernikahan yang harmonis, atau
mengembangkan hubungan yang positif dengan anak-anak yang dimiliki
(Hair, Jager, & Garrett, 2001).

19

. Aspek-aspek Kompetensi Sosial Remaja
Sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, kompetensi sosial
didefinisikan dengan amat bervariasi oleh para ilmuwan. Dengan demikian,
aspek-aspek yang berkaitan dengannya juga bervariasi. Misalnya, Hair, Jager,
& Garrett (2001) mengajukan bahwa kompetensi sosial meliputi dua ranah,
yaitu

macam-macam

keterampilan

dalam

hubungan

interpersonal

(interpersonal skills), dan sejumlah atribut personal (personal attributes).
Termasuk dalam keterampilan-keterampilan dalam hubungan sosial di
antaranya, kemampuan penyelesaian konflik/masalah, keakraban dengan
orang lain, dan perilaku prososial. Dan yang termasuk di antara atribut
personal, yaitu kemampuan pengendalian diri, kepercayaan sosial (social
confidence) meliputi perilaku asertif, efikasi diri, dan inisiatif dalam hubungan
sosial, serta sikap empati dan simpati.
Berikut

merupakan

aspek-aspek

kompetensi

sosial

remaja

sebagaimana dikemukakan oleh Gresham & Elliott (1990, dalam Smart &
Sanson, 2003).
a) Assertif, yaitu perilaku berinisiatif seperti menanyakan informasi
kepada orang lain, memperkenalkan diri, dan menanggapi tindakan
orang lain.
b) Kooperatif, meliputi perilaku seperti menolong orang, berbagi sesuatu,
menaati aturan, serta memenuhi permintaan orang.
c) Empati,

yaitu

perilaku

yang

menunjukkan

kepedulian

penghargaan terhadap perasaan dan pandangan orang lain.

serta

20
d) Tanggung jawab, yaitu menggambarkan kemampuan berkomunikasi
dengan orang dewasa dan penghormatan terhadap kepemilikan benda
atau pekerjaan yang dilakukan.
e) Pengendalian diri, yaitu perilaku-perilaku yang muncul saat situasi
konflik, meliputi tindakan tepat ketika menghadapi hal-hal yang
mengganggu, atau berkompromi akan sesuatu.
Aspek-aspek kompetensi sosial menurut Gresham & Elliott di atas
akan digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat kompetensi
sosial subjek.

. Egosentrisme
Pengertian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, egosentrisme didefinisikan
sebagai sifat dan kelakuan yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat
segala hal. Sedangkan dalam wikipedia, istilah egosentrisme (egocentrism)
disebutkan berasal dari kata bahasa Yunani dan Latin “ego” yang artinya
saya, aku, atau diri. Egosentrisme merupakan istilah psikologi yang bermakna
diferensiasi yang tidak sempurna antara diri (the self) dengan dunia di luar diri
(the world), termasuk orang lain; kecenderungan individu untuk melihat
(perceive), memahami (understand), dan menafsirkan (interpret) dunia
menurut pandangan dirinya.
Dalam kamus istilah psikologi (Kartono dalam Chaplin, 2008),
egosentris didefinisikan sebagai menyangkut diri sendiri, keasyikan terhadap
diri sendiri; menurut Piaget, berkaitan dengan kemampuan berbicara dan
berpikir yang diarahkan pada kebutuhan pribadi. Sementara egosentrisme

21
didefinisikan sebagai kecenderungan menilai obyek-obyek atau peristiwaperistiwa berdasarkan kepentingan pribadi dan menjadi kurang sensitif
terhadap kepentingan-kepentingan atau hal-hal yang menyangkut orang lain;
menurut Piaget, merupakan ketidakmampuan memahami bahwa orang lain
juga mempunyai kepentingan atau pandangan yang mungkin berbeda dengan
yang dimilikinya (Kartono & Gulo, 2003).
Shaffer (2009) mendefinisikan egosentrisme sebagai kecenderungan
untuk memandang dunia dari perspektif pribadi seseorang tanpa menyadari
bahwa orang lain bisa memiliki sudut pandang yang berbeda.
Dari beberapa pengertian umum yang telah dikemukakan di atas,
dapat diambil titik temu bahwa egosentrisme adalah kemampuan persepsi
yang terbatas pada kepentingan dan/atau kebutuhan pribadi, tidak berorientasi
pada pemisahan/pembedaan antara diri sendiri dengan orang/objek lain.

. Egosentrisme dalam Perkembangan Kognitif
Diketahui bahwa terminologi egosentrisme berhubungan dengan teori
perkembangan kognitif Piaget (1896-1980). Maka perlu dibahas secara singkat
mengenai salah satu pokok

teori Piaget tersebut, yaitu tentang stadium

perkembangan kognitif. Berdasarkan observasinya, Piaget menjadi yakin
bahwa kemampuan berpikir dan bernalar anak berkembang melalui sejumlah
stadium yang berbeda secara kualitatif bersamaan dengan kematangan mereka
(Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1990).
Stadium pertama dari perkembangan kognitif adalah sensori-motorik.
Tahap sensori-motorik berlangsung dari sejak kelahiran hingga kira-kira 2
tahun, sama dengan periode perkembangan masa bayi (Santrock, 2002).

22
Selama masa ini, perkembangan mental dicirikan oleh beberapa kemampuan
bayi (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1990).
a) Diferensiasi antara diri dengan objek, yaitu kesadaran pemikiran bayi
bahwa dirinya terpisah/berbeda dari dunia luar.
b) Bayi mengenali dirinya sebagai subjek/pelaku dari suatu tindakan dan
mulai bertindak dengan sengaja, misalnya menggoyang-goyangkan
mainan untuk menghasilkan bunyi.
c) Mencapai kepermanenan objek (object permanency), yaitu menyadari
bahwa benda-benda terus ada walaupun tidak lagi tertangkap indera.
Stadium kedua adalah praoperasional. Berlangsung mulai usia 2
hingga 7 tahun. Ciri-ciri perkembangan mental yang utama di antaranya,
anak mulai belajar menggunakan bahasa dan merepresentasikan objek
melalu citra dan kata-kata; munculnya egosentrisme, yaitu keterbatasan
pemikiran yang kesulitan dalam memandang dari sudut pandang orang lain;
dan mengklasifikan objek dengan ciri tunggal, contohnya mengelompokkan
semua balok merah tanpa memandang bentuknya atau semua balok persegi
tanpa memandang warnanya.
Stadium perkembangan kognitif berikutnya adalah operasional
konkret. Terentang mulai usia 7 sampai 11 tahun. Beberapa ciri
perkembangan pemikiran di tahap ini ialah, anak dapat berpikir logis tentang
objek dan peristiwa meski hanya untuk hal-hal yang konkret, mencapai
keterampilan konservasi (yaitu pemikiran tentang ketetapan atribut suatu
objek atau situasi tertentu, terlepas dari perubahan yang bersifat dangkal),

23
dan mampu mengklasifikasikan objek menurut beberapa ciri sekaligus dapat
mengurutkannya secara serial mengikuti dimensi tunggal, seperti ukuran.
Stadium perkembangan kognitif yang terakhir adalah operasional
formal. Dimulai sejak usia 11 tahun hingga tahun-tahun selanjutnya. Pada
tahap ini individu telah sampai pada model pemikiran dewasa atau mencapai
tahap kematangan intelektual. Di antara cirinya

seperti, mampu berpikir

secara logis tentang masalah abstrak lalu menguji hipotesis secara sistematik.
Selain itu, dengan kematangan pemikiran yang diperoleh, individu dapat
memahami masalah-masalah kompleks seperti cinta, masa depan, atau yang
menyangkut dengan idealisme.
Dari penjelasan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif di atas,
diketahui bahwa masing-masing tahap memiliki ciri-ciri yang khas dari
kemampuan berpikir individu. Meski egosentrisme disebut sebagai salah satu
ciri yang menonjol dari pemikiran praoperasional, namun diyakini bahwa
egosentrisme (sebagai keterbatasan dalam membedakan hubungan subjekobjek) timbul pada permulaan tiap-tiap pencapaian kemampuan kognitif
baru. Piaget (1962, dalam Alberts, Elkind, & Ginsberg, 2007) menyatakan
bahwa egosentrisme dapat terwujud secara unik dalam pemikiran-pemikiran
serta tindakan-tindakan pada setiap tahap perkembangan mental.
Jadi, munculnya egosentrisme ialah pada tiap transisi di antara tahaptahap dari perkembangan kognitif. Alberts, Elkind, & Ginsberg (2007)
memberikan gambaran, seorang anak kecil dengan pemikiran praoperasional,
gagal/tidak mampu membedakan antara sebuah nama dengan benda. Di usia
ini si anak tidak dapat menerima fakta bahwa suatu objek/benda yang sama

24
bisa saja memiliki nama yang berbeda, begitu pula bahwa nama bisa saja
diubah untuk objek yang sama. Setelah usia 6 atau 7