Cara Hidup Sufi

CARA HIDUP SUFI
Secara sepeintas orang memandang bahwa sufi mempunyai cara hidup yang
berbeda dengan orang kebanyakan. Kalau yang dimaksud dengan pernyataan tersebut
adalah cara hidup dalam beribadah pada Allah, barangkali jawabannya benar, sebab
seorang sufi benar-benar mencurahkan hidupnya untuk beribadah kepada Allah, tetapi
jika yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut adalah cara hidup yang nyelenih dan
mengada-ada serta berlebih-lebihan tentu saja jawabannya tidak.
Memang secara sepihak orang memandang bahwa sufi banyak yang melanggar
syari’at Allah (dalam hal ini fiqh). Pandangan tersebut juga pendapat sepihak dan
serampangan yang hanya didasarkan pada kasus-kasus tertentu saja, dan mereka tidak
melihat bagaimana sufi-sufi lainnya. Tuduhan-tuduhan itu selalu dilemparkan kepada
para sufi atau zahid (asketis) yang memang tanpak lebih mementingkan hubungan baik
dengan Allah, yang seakan-akan meninggalkan kehidupan duniawi.
Padahal menurut Syekh Fadlullah Haeri sufi adalah orang yang telah diberi
kemampuan oleh Allah Swt untuk menyucikan hatinya dan menjaga hubungannya
dengan Allah dan ciptaan-Nya dengan terus melangkah pada jalan yang benar
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Jadi keliru jika mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai kebersihan batin
tanpa memelihara tuntutan hukum syari’at. Seorang sufi pastilah mereka yang benarbenar menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarangnya dengan
ketundukan dan kepatuhan penuh semata-mata karena Allah, bukan karena imbana
pahala maupun ancaman siksa Allah. Berkaitan dengan ini, maka ada ungkapan yang

sangat terkenal dalam wacana tasawuf adalah: “siapa yang bertasawuf tanpa berfiqh
maka ia telah fasiq, siapa yang berfiqh tanpa tasawuf maka ia telah zindiq, dan siapa yang
bertasawuf dan berfiqh, dialah yang sebenarnya.”
Kekeliruan umum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah kekeliruan
dalam mengidentifikasi siapa sebenarnya yang dikatakan sebagai sufi? Selama ini bila
disebutkan sufi, maka seakan-akan terbesit dalam benak mereka adalah: orang yang
sudah tua renta, berjubah putih, memakai tongkat, hidup menyendiri di hutan rimba atau
di padepokan, kurus, kumal karena tidak pernah mandi, mempunyai kesaktian yang luar
biasa, dan lain sebagainya. Gambaran seperti itu timbul karena cerita yang turun menurun
dari seorang guru ilmu kadikjayaan atau guru tenaga di padepokan yang mereka itu
bukanlah seorang sufi.
Tasawuf sendiri didefinisikan sebagai ilmu untuk memperbaiki hati dengan
menjadikannya semat-mata karena Allah dengan menggunakan jalan Islam, khususnya
fiqh dan pengetahun lainnya untuk memperbaiki anal ibadah dan menjaganya dari batasbatas syari’at Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Dari pengertian tersebut, pastilah
seorang sufi adalah orang yang senantiasa kesucian dirinya, baik dari hadas mapun najis,
serta memelihara hatinya dari berbagai kotoran hati, ia selalu mengamalkan syari’atsyari’at Allah, menjaga hubungan yang sebaik-baiknya, baik dengan Allah, manusia,
maupun alam sekitar.
Jadi seorang sufi adalah orang biasa dengan intensitas peribadatan yang tinggi dan
orientasi hidup yang hanya untuk Allah. Cara hidup sufi adalah mengikuti cara hidup
yang diajarkan oleh rasullullah Saw.Untukmemperkuat pendapat ini, Syekh Fadlulah

Haeri menyatakan bahwa tasawuf sebenarnya sudah ada pada masa nabi Muhamamd saw

tetapi tanpa diberi label tasawuf. Dengan kata lain, bahwa tasawuf kala itu adalah suatu
realitas tanpa nama.
Seluruh pola hidup rasul dengan jelas memberikan tuntunan seperti yang
dilakukan para sufi. Misalnya saja, kalau sufi menganjurkan untuk hidup zuhud,
bukankah rasul sendiri juga menunjukkan kezuhudan. Muhammad Saw bukankah
seorang yang kaya raya yang kelebihan harta, walaupun pada dasarnya sangat mudah
untuk meminta kekayaan pada Allah. Beliau adalah orang yang sangat sederhana yang
bahkan dalam suatu riwayat tidak pernah menyimpan harta, atau dalam riwayat yang lain
ketika rasul menyanyakan kepada salah satu istri beliau tentang makanan hari ini, dan
kebetulan tidak ada, maka rasul menyatakan ia berpuasa.
Dikatakan sufi terlalu berlebihan dalam beribadah dan menghabiskan waktunya
hanya untuk berasyik maksuk dengan Tuhan. Rasul sendiri memberikan contoh yang
demikian. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Rasulullah selalu melaksanakan salat
malam sampai kakinya bengkak. Padahal rasul adalah orang yang maksum dan terjamin.
Apakah salah jika seorang sufi melaksanakan ibadah seperti itu. Kalau dikatakan
berlebihan, itu hanya dalam pandangan orang-orang yang kurang rajin beribadah,
menurut sufi sendiri ibadah mereka justri belum seberapa jika dibandingkan ibadah
rasullah.

Dikatakan sufi hidup menyendiri dan meninggalkan masyarakat. Pada dasarnya
ketika sufi hidup menyendiri (baca: berkhalwat, melaksanakan suluk), itu hanya
dilaksanakan dalam waktu tertentu yang sangat tersbatas, bukan selam hidupnya. Hanya
saja orang lainmembacanya bahwa sufi menghasbisnya seluruh episode hidupnya dengan
mengasingkan diri. Pendapat seperti ini sangat mengada-ada dan tidak mempunyai fakta
dalam kehidupan sufi. Rasulullah juga melaksanakan khalwat, misalnya ketika sebelum
diangkat menjadi rasul pergi ke Gua Hira’ dan ketika suatu waktu wahyu Allah lama
tidak turun Rasul juga melaksanakan khalwat. Bagi seorang sufi khalwat dilaksanakan
hanya semata-mata untuk menjernihkan bathin dan mengkonsentrasikan pikiran kepada
Allah, tetapi itu hanya dilakukan dalam waktu tertentu saja, setelah sufi selesai
melaksanakan khalwat, maka ia kembali ke masyarakat dan bergaul serta menjalani
kehidupan sebagaimana biasanya.
Sekelumit contoh di atas adalah ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang salah
dengan kehidupan sufi sebab ia mengikuti pola kehidupan Rasul. Kalaupun ada sesuatu
yang seakan-akan berbeda dengan kehidupan rasul, itu boleh jadi karena penulis hanya
menginformasikan salah satu fragmen kehidupannya saja, tetapi tidak dipahami dalam
seluruh hidupnya.