Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi Rawa Menjadi Lahan Sawah Di Desa Pulau Banyak Kabupaten Langkat

Agustrisno Rawa...

Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi

SISTEM KATEGORISASI PENGETAHUAN PETANI: Kasus Konservasi Rawa Menjadi Lahan Sawah di Desa
Pulau Banyak Kabupaten Langkat
Agustrisno Departemen Antropologi Fisip USU
Abstrak Kategorisasi pengetahuan petani sangat menentukan bagaimana mereka melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan pengetahuan itulah sekelompok petani Jawa di Desa Pulau Banyak, Langkat, mengkonversi lahan rawa-rawa yang dulu tidak produktif menjadi lahan sawah. Tulisan ini menguraikan ringkas bagaimana kategorisasi pengetahuan petani di desa tersebut khususnya berkaitan dengan lahan rawa dan pengolahannya menjadi sawah.
Kata kunci: pengetahuan lokal, rawa tanah galong, rawa tanah cabuk

Pendahuluan Pada tahun 1970-an sekelompok warga
Jawa mantan karyawan perkebunan membeli lahan rawa-rawa ‘milik’ penduduk Desa Pulau Banyak, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Mereka membeli lahan rawa secara patungan dengan harga murah dari orang-orang Melayu penduduk asli, dan kemudian mengkonversinya menjadi lahan sawah. Setelah menjadi petani mereka hidup menetap di desa itu, dan jumlah mereka saat ini ada sebanyak + 233 KK (bertambah sekitar 50 % dari jumlah saat mereka tiba pertama kali di desa tersebut pada tahun 1970-an). Petani Jawa tersebut tinggal terkonsentrasi di tiga lorong, yakni Lorong Rejosari (37 KK), Lorong Manggis (102 KK), dan Lorong Paluh Medan (94 KK). Berkat kegigihan mereka bersawah, produksi padi sawah seluas 20 Ha lahan bekas rawa itu mencapai 5 ton pertahun. Menurut Kepala Desa Pulau Banyak, hasil padi petani Jawa tersebut merupakan income terbesar desanya dari sektor pertanian, sehingga menjadi perhatian bagi warga kelompok ‘tetangga’ yang lain (Wawancara dengan kepala desa, Februari 2000).

Di tengah luasnya lahan-lahan rawa tak produktif di wilayah pesisir timur Sumatera Utara, tentu menarik untuk mengkaji bagaimana orang Jawa bisa mengkonversinya menjadi lahan yang produktif untuk menunjang pasokan pangan penduduk. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang sistem kategorisasi pengetahuan38 sekelompok petani Jawa tersebut, khususnya untuk mendeskripsikan kategorisasi pengetahuan yang mereka gunakan dalam memilih dan mengubah lahan, dari yang dulunya rawa-rawa bersemak menjadi lahan sawah produktif. Penggalian kategorisasi pengetahuan ini, selain dimaksudkan untuk mengungkap khazanah pengetahuan lokal (local knowledge)
38 Sistem kategorisasi inilah kata para ahli yang memungkinkan manusia (1) menyederhanakan keanekaragaman unsur-unsur yang ada; (2) mengidentifikasi berbagai unsur yang ada dalam lingkungannya, dan menempatkan masing-masing unsur menurut sistem pengkategorisasian, (3) mengurangi proses belajar yang terus menerus, (4) melakukan tindakan yang bersifat instrumental antara dua kategori yang saling berpasangan, (5) membuat keteraturan dan ketertiban dalam kehidupannya, (6) memprediksikan peristiwa atau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang (Suparlan 1981: 8-9 dan 1981a: 5-6).

93

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005

yang secara efektif masih digunakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan alam; juga diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritik dalam menjelaskan hubungan antara sistem kategorisasi pengetahuan dengan tindakan instrumentatif manusia. Kepentingan praktisnya adalah menemukan kiat-kiat yang digunakan oleh masyarakat lokal dalam ‘menjinakkan’ lahan rawa, yang bisa direplikasi guna menunjang ketahanan pangan di masa mendatang.

Sistem kategorisasi pengetahuan petani tersebut merupakan landasan kognitif yang kelak bisa ditransfer kepada orang lain agar mereka bisa memilih dan menentukan apakah kondisi sekarang ini di Desa Pulau Banyak masih memungkinkan untuk mengubah rawa-rawa yang ada menjadi areal sawah.
Pendekatan Pendekatan etnosain, sebuah pendekatan
yang mengasumsikan bahwa pengetahuan manusia tersusun menurut kategori-kategori yang berbeda-beda, digunakan sebagai pendekatan dalam kajian ini. Terkait dengan itu, sistem peristilahan (bahasa) menjadi alat yang sangat penting untuk mengungkapkan pengetahuan beserta sistem kategorisasinya. Untuk itu, metode yang digunakan dalam menggali pengetahuan mereka adalah observasipartisipasi, wawancara mendalam (indepth interview), dan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD). Melalui pengamatan kemudian dilakukan wawancara terhadap informan. Dalam hal ini, informan bertindak selaku ‘guru’ bagi peneliti, yang kepadanya diminta jawaban atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan jawaban atau penjelasan yang diberikan kemudian menjadi dasar bagi peneliti dalam membangun inferensi-inferensi tentang kategorisasi pengetahuan mereka. Teknik FGD kemudian sengaja ditambahkan di pertengahan masa penelitian untuk memverifikasi atau memvalidasi inferensi-inferensi yang sudah dibuat.
Daftar istilah dijadikan sebagai bahan wawancara selanjutnya untuk mengetahui prinsip-prinsip yang digunakan petani dalam menyusun kategori-kategori terhadap bendabenda, ataupun cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-kegiatan, pelaku-pelaku, dan tujuantujuannya dalam pekerjaan mengubah lahan

rawa-rawa menjadi lahan sawah sesuai dengan kerangka pemikiran petani sendiri. Untuk mengetahui kriteria yang dipakai dalam pengkategorisasian data, peneliti menggunakan kartu-kartu yang berisi kategori-kategori seperti yang pernah dilakukan oleh Perchonock dan Warner (1969). Untuk itu peneliti harus melakukan pendekatan emik, menjelaskan sesuatu hal menurut pandangan masyarakat setempat (Sturtevant 1969). Tingkah laku kebudayaan sebaiknya dikaji dan dikategorikan mengikuti pandangan orang yang diteliti itu sendiri, definisi yang digunakan adalah definisi yang diberikan oleh si petani yang mengalami peristiwa dalam kehidupannya. Pengkonsepan yang dilakukan perlu ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksa secara etnosentrik. Pandangan ini disebut sebagai etnografi baru (Sturtevant 1969).

Uraian

Studi tentang pengetahuan mengubah

lahan rawa-rawa menjadi sawah adalah studi

mengenai kebudayaan, yang di dalamnya

terintegrasi berbagai macam unsur pengetahuan

dalam mengolah alam. Pengetahuan itu

mempunyai


unsur-unsur

yang

tersistematisasikan menurut suatu sistem

kategorisasi, di antaranya yang paling dasar

adalah binary opposition atau penggolongan

dalam dua bagian yang saling bertentangan

tetapi berpasangan mirip dengan konsepsi dalam

filosofis Yin-Yang (Agustrisno 2000: 61).

Sebagai contoh: kanan-kiri, pria-wanita, panas-

dingin, keras-lunak, dan lain sebagainya. Sistem


kategori yang selanjutnya adalah bersifat

fungsional, saling berkaitan dan pengaruh

mempengaruhi serta prinsipil, tidak ada yang

satu kalau tidak ada yang lain (Shri Ahimsa

Putra 1985 dan Suparlan 1981: 8-9 dan 1981a:

5-6).

Sistem pengkategorisasian ini dapat

bermanfaat bagi peneliti untuk mengetahui ‘peta

kognitif’ mengenai ‘jagad ‘ dari seorang petani

(Shri Ahimsa Putra 1985). Studi semacam ini


banyak menggunakan ungkapan bahasa

pendukung kebudayaan yang diteliti, oleh karena

itu data dapat diperoleh dari data linguistic

utterances, yaitu dengan memperhatikan istilah-

istilah yang dipakai oleh masyarakat yang diteliti

(Shri Ahimsa Putra 1985). Menurut Spradley

(1979:17) istilah ‘bahasa’ adalah alat untuk

94

Agustrisno Rawa...

Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi


membangun realitas; istilah bahasa yang berbeda-beda menimbulkan dan memperhatikan realitas yang berbeda pula.
Dalam kasus konversi lahan rawa menjadi sawah, dapat ditemukan sejumlah unsur alam yang terdapat di dalamnya: tetumbuhan, hewan, tanah, air, dan unsur-unsur ekologi serta kait-mait di antara sesamanya. Dengan istilah apa mereka membaca realitas itu, dan bagaimana mereka menjelaskan hubungan-hubungan di antaranya (opposisi, parasitisme, mutualisme, komensalisme, dan sebagainya) serta apa yang mereka perbuat dan alat apa yang mereka gunakan untuk mengubah atau tidak mengubah susunan itu saat mereka mengubah rawa-rawa menjadi sawah. Mana yang diselamatkan, mana yang dihancurkan. dan untuk apa semua itu dilakukan?
Pengetahuan Petani tentang Rawa Pada dasarnya warga Desa Pulau
Banyak telah mengetahui bahwa posisi lahan yang berada di desa mereka, khususnya yang terletak di lorong (dusun) Manggis, Rejosari, dan Paluh Medan sangat dekat dengan laut. Ketiga lorong itu dikelilingi oleh beberapa paluh. Paluh adalah lahan basah yang ditumbuhi nipah dengan karakter tanah yang berlumpur, sehingga ketika datang air pasang, maka lahan-lahan mereka dipenuhi dengan air. Lahan yang ada di ketiga lorong itu dulunya mereka namakan rawa.
Konsep rawa menurut informan (Kateman dan Timin) adalah lahan berupa semak belukar berisikan tumbuhan-tumbuhan seperti nipah, rerumputan semak, dan yang bertanah lumpur. Informan lain (Legimin) menyebut rawa sebagai lahan tanah ‘pancengan’ dengan tekstur tanah berkombinasi ada yang keras dan ada yang berlumpur sehingga berair dan lembek yang di atasnya ditumbuhi pohon kayu seperti kayu mara, waru (Hibiscustilliaceus LINN). Sementara itu, Warsim (informan) mendefinisikan rawa sebagai lahan tanah pancengan yang ditumbuhi oleh pohon keras, seperti bera-bera dan beringin (Eicus benjamina LINN); sedangkan Suryadi mengatakan rawa adalah lahan tanah pancengan yang ditumbuhi tanaman-tanaman keras, seperti pohon bera-bera

dan berpaluh yang ditumbuhi nipah dengan karakter tanah yang berlumpur.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa yang namanya rawa adalah lahan tanah pancengan yang dekat dengan laut maupun paluh sehingga berair dan berlumpur yang ditumbuhi semak belukar maupun pepohonan kayu keras, seperti: nipah, rumbia, bera-bera, beringin, waru, jabi-jabi, pohon sawit, kelapa, pinang, dan lain-lain sebagainya. Di samping tumbuhan, di dalamnya juga hidup berbagai fauna seperti babi hutan, ular, kodok, lintah, dan beberapa jenis ikan. Jenis ikan bado dapat dijumpai dalam jumlah yang besar.
Pengetahuan masyarakat tentang iklim atau musim berkaitan langsung dengan lahan, maupun aktivitas pertanian mereka. Menurut warga tiap bulan daerah mereka akan kedatangan air pasang. Dalam sebulan air pasang akan terjadi sebanyak dua kali. Masyarakat menyebutnya dengan pasang besar yang selalu datang setiap tanggal 15 -17 dan 30 – 2, tiap bulannya. Pada saat seperti ini, petani akan mengurungkan diri untuk menanam bibit padi di sawahnya, karena apabila padi ditanam hasilnya akan sia-sia belaka, tanaman padi biasanya rusak (membusuk).
Bila ditinjau dari struktur tanah dan kandungan mineral yang ada pada rawa, menurut Kateman (informan) rawa di daerah tersebut dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, rawa yang dinamakan rawah tanah cabuk yakni, rawa yang tanahnya berwarna tidak terlalu hitam dan juga tidak terlalu putih/kuning (tanah humus). Tanah rawa semacam ini sangat cocok untuk areal tanaman padi. Jenis yang kedua adalah rawa tanah galong, yaitu rawa yang tanahnya mengandung tanah liat. Tanah rawa jenis ini tidak cocok untuk lahan tanaman padi tetapi diupayakan untuk tanaman keras ataupun untuk tanaman buah-buahan.
Dalam pengelolaan lahan rawa menjadi lahan bertanam padi masyarakat membedakan lagi jenis rawa tanah cabuk menjadi rawa lahan rendah dan rawa lahan tinggi. Kedua jenis rawa itu akan berbeda cara pengolahannya untuk tempat bertanam padi. Secara skematis konsepsi petani Desa Pulau Banyak tentang rawa dapat digambarkan sebagai berikut:

95

Agustrisno Rawa...

Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi

Rawa adalah lahan tanah pancengan yang dekat dengan laut maupun paluh sehingga berair dan berlumpur yang ditumbuhi semak belukar maupun pepohonan kayu kera seperti: nipah, rumbia, bera-bera, beringin, waru, jabi-jabi, pohon sawit, kelapa, pinang, dan lain-lain sebagainya. Di samping tumbuhan, di dalamnya juga hidup berbagai fauna seperti: babi hutan, ular, kodok, lintah, dan beberapa jenis ikan.


Rawa tanah galong: rawa yang tanahnya mengandung tanah liat. Tanah rawa jenis ini tidak cocok untuk lahan tanam padi tetapi dapat diupayakan untuk tanaman keras ataupun untuk tanaman buah-buahan.

Rawa tanah cabuk: rawa yang tanahnya berwarna tidak terlalu hitam dan juga tidak terlalu putih/kuning (tanah humus). Tanah rawa semacam ini sangat cocok untuk areal tanaman padi.

Rawa lahan rendah: Adalah lahan yang jika terjadi air pasang maka lahan tersebut biasanya terendam (banjir), lahan seperti ini meliputi Lorong Paluh Medan. Siklus dan cara pengerjaan rawa lahan rendah meliputi:
1. Turun bibit 2. Ngerenep 3. Cocok tanam 4. Pemeliharaan lahan dan tanaman,
yang meliputi: • Penyabutan rumput • Pemberantasan hama • Pemupukan. 5. Panen, meliput: • Pemotongan • Perontokkan 6. Pengolahan lahan sawah pascapanen meliputi: • Penajakan • Pembersihan dan penyingkiran
batang padi • Pembersihan dan penyingkiran
keong • Penggemburan tanah • Pemilihan • Benih

Rawa lahan tinggi: Rawa lahan tinggi adalah lahan yang datarannya lebih tinggi dari permukaan air laut, sehingga apabila terjadi air pasang lahan tersebut jarang terendam. Lahan semacam ini di Desa Pulau Banyak meliputi Lorong Rejosari dan Manggis. Cara pengolahannya sama dengan rawa lahan rendah, hanya tahap ngerenep tidak ada.

96

Agustrisno Rawa...

Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi

Metodologi Pengolahan Rawa menjadi Lahan


Sawah

Dalam usaha pengolahan rawa menjadi

sawah, pada dasarnya dimulai dari proses

perencanaan yang meliputi beberapa tahap,

yaitu: peninjauan lahan, transaksi pembelian,

upacara ritual, perintisan (penebangan dan

pembabatan),

pembusukan/pembakaran,

perataan tanah dan pembuatan beteng.

Peninjauan lahan atau survai dilakukan


di awal tahun 1970-an dengan status tanah pancengan, meliputi seluruh tanah pancengan39.

Pada waktu itu, akses menuju lokasi tergolong

sulit karena belum adanya jalur jalan yang relatif

baik. Ada dua jalur yang bisa dilalui menuju

lokasi tersebut yakni dari sisi barat dan sisi timur

desa. Dari sisi barat, jalur masuk melalui Desa

Pulau Banyak, berjalan kaki menuju timur

sejauh 1 km dengan kondisi jalan perkerasan

hingga ke pinggir paluh, kemudian

menyeberangi paluh dan tanah berlumpur penuh


pacet sedalam paha orang dewasa membentang

sejauh 500 meter. Untuk jalur kedua, dapat

langsung menggunakan boat tempel dari

Tanjung Pura menuju sisi barat lorang Paluh

Medan yang pada waktu itu hanya genangan

lumpur saja.

Ada beberapa warga yang membeli

lahan rawa di Desa Pulau Banyak pada masa-

masa awal, seperti terlihat pada tabel di bawah

ini.


Pembukaan lahan didahului dengan

melaksanakan upacara ritual, dengan meminta

petunjuk ‘orang pintar’ mengenai waktu

pelaksanaan (hari baik) dan cara pelaksanaannya40. Pada saat pelaksanaan ritual

dibuatkan sesaji berupa kepala kambing

berwarna hitam. Kepala kambing yang berusia

sekitar 1,5 tahun itu dibungkus dengan kain

putih (menggunakan kain kafan) dan ditanam di

lahannya oleh seorang bilal. Ramuan bunga

berupa bunga kenanga, kantil, mawar, melati,


turut juga ditanam bersama kepala kambing tadi.

Setelah penanaman selesai, maka diundang pula

orang kampung untuk menghadiri kenduri

dengan lauk berupa daging kambing yang

kepalanya ditanam. Satu sampai dua hari setelah

39 Keluarga Warsim, kini warga Lorong Paluh Medan,
adalah orang yang pertama melakukan peninjauan lahan
rawa dan kemudian membelinya pada tahun 1971. 40 Sebagaimana dituturkan dan dilakukan oleh Suryadi
ketika ia mulai membuka lahan.

pelaksanaan ritual lahan yang baru dibuka dijedakan. Petani lain41 juga melakukan ritual yang hampir sama, dengan membuat sesajen berupa pencok bakal yang berisi antara lain ketumbar, cabe, kelapa sebesar jempol, berambangan sebanyak 1-2 yang ditungkir/dipincuk, sesuai dengan petunjuk ‘orang pintar’.
Pekerjaan membuka lahan dilakukan bersama anggota keluarga atau menggunakan tenaga kerja upahan yang berasal dari penduduk setempat. Waktu pengerjaan lahan dipilih sesuai tanggal di mana air tidak mengalami pasang, dan ketika air pasang datang mereka harus istirahat atau tidak melakukan kegiatan di lahannya karena genangan air cukup dalam, bisa mencapai ketinggian 170 cm. Pohon-pohon yang telah ditebang kemudian dibakar. Waktu yang dibutuhkan pada fase pembukaan lahan tersebut berkisar antara satu hingga enam bulan.
41 Kateman

97

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005

Tabel 1. Uraian pembelian lahan rawa:tahun, luas lahan, dan harga

No Nama Pembeli/Lokasi
1 Warsim/Paluh Medan 2 Legimin/Paluh Medan 3 Suryadi/Paluh Medan 4 Kateman/Manggis 5 Saren/ Paluh Medan

Tahun Pembelian 1971 1972 1974 1980 1983

Luas Lahan
1 Hektar 1 Hektar 1 Hektar 1 Hektar 1 Hektar

Harga
Rp 3.000 Rp 25.000 Rp 10.000 Rp 500.000 Rp 30.000

Selama membersihkan lahan, mereka sering menemukan beragam jenis ikan, semisal ikan bado, yang dapat dikonsumsi. Selain itu juga ditemukan hewan seperti babi hutan, dan binatang-binatang lain yang hidup di rawa seperti pacet, lintah, ular, kodok, dan sebagainya. Beberapa jenis tumbuhan yang ada juga dimanfaatkan seperti daun nipah yang dimanfaatkan untuk bahan atap rumah. Batang tanaman rumbia juga dimanfaatkan untuk membuat sagu jika cadangan berasnya mulai menipis. Pengetahuan membuat sagu ini telah diperoleh informan sejak lama.
Pohon-pohon besar seperti beringin, jabi-jabi, dan waru setelah ditebang harus dibersihkan dengan cara membakar. Semaksemak yang sudah dibabat disingkirkan atau digunakan untuk pembuatan bedeng. Ada juga yang menumpuk semak-semak yang sudah dibabat ke pangkal bekas pohon nipah untuk proses pembusukan hingga menjadi tanah. Sementara itu, genangan air yang ada di lahan yang baru dibuka sangat berguna ketika mereka meratakan tanah dengan menggunakan cangkul. Permukaan lahan mereka buat miring agar air dapat tetap mengalir dengan lancar. Seorang petani mengatakan bahwa ia meratakan lahannya sedikit lebih rendah dari paluh, agar ketika pasang surut lahannya masih tetap berair dan ketika pasang naik tidak terlalu penuh dengan air.
Untuk penanda batas-batas lahan yang telah diratakan dibuat bedeng, dengan memindahkan sedikit demi sedikit tanah ke pinggir lahan. Selain untuk pembatas lahan, bedeng berukuran sekitar 0,5 meter itu juga dimanfaatkan untuk mengatur jalannya air dari satu petak sawah ke petak lainnya. Di atas bedeng-bedeng itu ditumpukkan pula bekas tebangan semak-semak untuk membuat bedeng lebih tinggi dan padat.

Pengolahan Rawa Lahan Rendah

Cara pengolahan rawa lahan rendah

secara berurutan adalah sebagai berikut:

a. Turun bibit

Turun bibit/menyemai bibit di beteng-

beteng merupakan langkah awal petani dalam

mengolah sawah. Petani pria menakul tanah

(membuat lubang) di beteng-beteng sawahnya

dengan menggunakan nakul, lalu petani wanita

memasukkan benih sekitar 10-15 benih ke dalam

sawah dan menimbunya kembali. Kegiatan ini

dilakukan cukup satu hari untuk 1 hektar lahan.

b. Ngerenep

Ngerenep adalah kegiatan memindahkan

bibit dari beteng-beteng yang telah berusia 20

hari ke lahan sawah yang telah digemburi

sebelumnya. Dengan menggunakan tangan,

petani pria mencabut pohon-pohon padi dari

beteng kemudian petani wanita menanam pohon

padi ke lahan sawah yang agak tinggi (lahan

sawah sementara) dengan menggunakan sejenis

alat bernama kuku kambing. Jarak tanam antara

padi yang satu dengan yang lainnya kira-kira

sejengkal. Fungsi ngerenep adalah untuk

membesarkan bibit. Dalam sehari pekerjaan

ngerenep bisa dilakukan untuk lahan seluas 2

hektar. Pekerjaan ini juga dilakukan oleh tenaga

kerja upahan secara berkelompok 2-8 orang.

Upah

ngerenep

sekitar

Rp

11.000/kelompok/hektar. Pekerjaan ini biasanya

dilakukan oleh anak-anak gadis di kampung.

Ngerenep hanya ada di Lorong Paluh Medan.

c. Cocok tanam

Cocok tanam sama dengan ngerenep.

hanya saja pada ngerenep pohon padi masih

kecil, belum kuat dan batang belum terlalu besar.

Pada saat cocok tanam padi, pohon padi sudah

besar dan akarnya sudah kuat sehingga kalau air

pasang tidak mudah terbawa air. Cocok tanam

dilakukan di lahan yang rendah (lahan

sesungguhnya). Cara pengerjaan cocok tanam

sama alatnya dengan ngerenep. Cocok tanam ini

98

Agustrisno Rawa...

Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi

juga menggunakan tenaga upahan yang besarnya upah sama dengan ngerenep.

dan atau rebon, yang menggunakan peralatan semacam itu hanya laki-laki.

d. Pemeliharaan lahan dan tanaman

f. Pengolahan lahan sawah pascapanen

• Penyabutan rumput. Rumput-rumput

Pengolahan lahan sawah pascapanen

yang tumbuh di sawah di sekitar dilakukan dengan berbagai tahap, yaitu:

tanaman padi dicabut atau disemprotkan melakukan penajakan, batang-batang padi yang

obat 64 atau polaris, dengan masih ada di sawah setelah pascapanen

menggunakan sprayer/ seneyor. dipotongi dengan menggunakan tajak atau jettor.

Penyabutan rumput dilakukan kalau ada Kegiatan ini berlangsung 1 minggu dan

rumput yang mulai tinggi.

dikerjakan oleh laki-laki. Batang-batang padi

• Pemberantasan hama. Hama yang ada di dimanfaatkan untuk menambah kuat dan

antaranya adalah tikus, ulat, keong. semakin tinggi beteng. Ukuran beteng 0,5 meter.

Untuk mencegah hama ini digunakan Penggemburan tanah sawah dilakukan dengan

obat deseas untuk hama ulat, obat cara meratakan tanah dan pendiaman tanah

akodan untuk keong, sedangkan untuk selama kurang lebih 1-2 bulan. Selanjutnya

tikus tidak ada. Ini biasanya dikerjakan dilakukan pemilihan benih yang akan ditanam.

laki-laki.

• Pemupukan. Pupuk yang digunakan meliputi urea, yang diberikan pada saat padi berusia 1 minggu; TSP, ZA, dan pupuk buah. Umumnya para petani sekarang menggunakan pupuk sehingga panen bisa 2 kali dalam setahun dan produktivitas padi meningkat bisa sampai 2 goni (160 kg)/rante. Sedangkan kalau tidak menggunakan pupuk hanya 1 goni (80 kg) per rante.

g. Upacara ritual Upacara ritual yang dilakukan setelah
pasca panen adalah upacara jamu ladang atau turun bibit (kenduri selamatan bagi para petani). Upacara ritual semacam itu mengandung kepercayaan animisme, bahwa segala benda yang ada memiliki jiwa. Padi adalah tumbuhan yang dianggap memiliki jiwa. Pada pelaksanaan upacara bersifat sinkretis, terjadi kombinasi antara ajaran agama Islam di satu pihak dan kepercayaan animistis. Tujuan dari upacara

e. Panen Pekerjaan memanen dapat dilakukan
dengan dua cara: pertama, panen dengan cara melakukan pemotongan, yakni dengan cara mengari (menyabit) batang padi setinggi 2 jengkal (setengah tiang); kedua, dengan menggunakan ketam (alat memanen padi/mengambil padi) atau ani-ani. Cara yang ketiga adalah dengan menggunakan arit (sabit).
Perontokan, yakni pohon padi yang telah dipotong, kemudian dirontokkan biji padinya dengan menggunakan alat yang disebut grendel

dimaksud adalah agar petani pemilik sawah ataupun pekerja di lahan pertanian memperoleh selamat dalam mengolah lahannya. Pelaksanaan upacara dilakukan di bulan Agustus setiap tahunnya. Upacara jamu ladang dipimpin oleh seorang pawang pada pelaksanaannya, serta dihadiri semua petani, juga dihadiri kepala lorong/dusun. Pada pelaksanaan upacara jamu ladang setiap petani membawa jenis benih padi yang akan ditanam dengan terlebih dahulu di beri doa-doa dari sang pawang. Setelah usai upacara jamu ladang, setiap petani membawa

Tabel 2. Jenis benih padi yang digunakan di Desa Pulau Banyak

No Nama Benih

Bentuk

Keadaan Masa Panen

1 Cantik Manis

Panjang

Kaku

3,5 Bulan

2 64

Bulat

Lembek

4 Bulan

3 42

Panjang

Agak keras 4 Bulan

4 Ramos Lebih besar dari 42 Agak lembek 4 Bulan

jenis benih padi yang telah diberi doa dibawa pulang ke rumah masing-masing untuk ditanam di lahan persawahannya.

99

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005

Pengolahan Rawa Lahan Tinggi Cara pengolahan rawa lahan tinggi
hampir sama tahap-tahapnya dengan cara pengolahan rawa lahan rendah, bedanya dalam mengelola rawa lahan tinggi tahap pekerjaan ngerenep tidak ada. Jadi pekerjaan petani dimulai dari tahap: turun bibit, langsung pekerjaan cocok tanam. Selanjutnya pekerjaan pemeliharaan lahan dan tanaman, panen, pengolahan lahan sawah pascapanen, dan upacara ritual.
Penutup Sistem kategorisasi pengetahuan petani
dalam mengkonversi rawa menjadi lahan sawah pada masyarakat Desa Pulau Banyak sangat bermanfaat ke depan bagi pengelolaan lahan rawa yang ada umumnya. Kemampuan penduduk lokal dalam mendefinisikan lahan rawa dapat digunakan sebagai acuan atau tolok ukur bagi pengembangan lahan rawa. Menurut konsepsi masyarakat, rawa adalah lahan pancengan yang dekat dengan laut dan

dikelilingi oleh beberapa paluh (sungai), ketika air laut pasang maka akan tergenang air sehingga karakter tanahnya berlumpur dan lembek. Rawa tersebut juga ditumbuhi oleh semak belukar, nipah, rumbia, mara, bera-bera, waru, jabi-jabi, dan beringin. Serta fauna yang hidup seperti ular, kodok, lintah, ikan bado, dan babi hutan.
Rawa itu sendiri terbagi atas dua bagian, yakni rawa tanah galong (tanah liat) dan rawa tanah cabuk (tanah humus). Rawa tanah galong hanya dapat ditanami tanaman keras, dan rawa tanah cabuk sangat subur dan baik untuk tanaman padi. Tanah cabuk dibedakan atas dua, yakni rawa lahan tinggi dan rawa lahan rendah. Rawa lahan tinggi terdapat di Lorong Rejosari dan Manggis, sedangkan rawa lahan rendah terdapat di Lorong Paluh Medan. Perbedaan atas pengolahan rawa lahan rendah dan rawa lahan tinggi terletak pada ngerenep. Pekerjaan ngerenep hanya terdapat pada rawa lahan rendah.

Daftar Pustaka

Agustrisno. 2000. Pola Adaptasi Masyarakat Cina Medan dalam Kasus Kepercayaan Terhadap Datuk dan Pekong. Laporan Penelitian SPP/DPP FISIP USU. Tidak diterbitkan.

Bogdan, R. & Taylor Steven, J. 1983. Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian (edisi terjemahan). Surabaya: Usaha Nasional.

Burling, Robbins. 1969. “Cognition and Componential Analysis, God’s Truth or Hocus-Focus.” Dalam Manners, Robert A., and David Kaplan (eds), Theory in Anthropology A Sourcebook, Chicago: Aldine Publishing Company, 514-523.

Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan di Indonesia, Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dwyer, Peter. 1984. “Other People’s Animals Two Examples From New Guinea.” Dalam: Search, St. Lucia, Queensland, Vol.15 No.11-12 Desember/Januari, 321-327.1984-85.

Pelto, P. J. & Pelto G. H. 1989. Penyelidikan Antropologi; Struktur Penelitian ( terjemahan ). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Shinichi Ichimura dkk. 1976 “Lingkungan Alam dan Perilaku Sosio-ekonomis dari Petani-Petani di Muangthai dan Jawa.” Dalam S. Ichimura dan Koentjaraningrat, Indonesia Masalah dan Peristiwa, Bunga Rampai. Diterbitkan oleh Yayasan Obor Kyoto University, Japan, Jakarta: Gramedia, hal.119-156. 1976.

Shri Ahimsa Putra, Heddy. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi.” Dalam majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Agustus jilid XII, No.2: hal.103-133. 1985.

100

Agustrisno Rawa...

Sistem Kategorisasi Pengetahuan Petani: Kasus Konservasi

Suparlan, Parsudi. 1981 Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi. Makalah disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama, Dep.Agama R.I., di IAIN Jakarta, Ciputat 14 september, 1981.
----- . 1981a Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi. Dalam majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Juni, Jilid X, No.1, hal.1-15.
Spradley, J.P and D.W. Mc Curdy. 1975 Anthropology The Cultural Perspective. New York: John Wiley & Sons. Inc.
----- . 1979 The Ethnographic Interview. New York: Rinehard and Winston.
----- . 1980 Participant Observation. New York: Rinehart and Winston.

101