Konservasi Lahan Padi Sawah (Oryza Sativa, L) Dengan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

(1)

KONSERVASI LAHAN PADI SAWAH (Oryza Sativa, L) DENGAN

SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

DI DESA AMAN DAMAI KECAMATAN KUALA

KABUPATEN LANGKAT

TESIS

Oleh

VANDALISNA

067004017/PSL

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KONSERVASI LAHAN PADI SAWAH (Oryza sativa, L) DENGAN

SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

DI DESA AMAN DAMAI KECAMATAN KUALA

KABUPATEN LANGKAT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

VANDALISNA

067004017/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : KONSERVASI LAHAN PADI SAWAH (Oryza sativa, L) DENGAN SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DI DESA AMAN DAMAI KECAMATAN KUALA KABUPATEN LANGKAT

Nama Mahasiswa : Vandalisna Nomor Pokok : 067004017

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc) Ketua

(Dr. Ir. Tavi Supriana, M.S) (Drs. Heru Santoso, M.S) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 13 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc Anggota : 1. Dr. Ir. Tavi Supriana, M.S

2. Drs. Heru Santoso, M.S

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS 4. Ir. H. Guslim, MS


(5)

ABSTRAK

Pengelolaan Tanaman Terpadu bersifat spesifik lokasi dengan memperhatikan asupan teknologi (mengintegrasikan teknologi asli petani dengan teknologi maju) dan keseimbangan ekologis tanaman dengan lingkungannya sehingga usahatani dapat berkelanjutan dan menguntungkan dari segi ekonomi.

Pendekatan PTT merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi dan produktivitas padi.

Tujuan Penelitian ini 1). Untuk menganalisis perbedaan penggunaan pestisida pada lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT, 2). Untuk menganalisis perbedaan penggunaan pupuk pada lahan padi sawah antara sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan sistem non PTT, 3). untuk menganalisis perbedaan produktivitas dan pendapatan petani antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT, 4). Untuk menganalisis perbedaan keanekaragaman makrofauna tanah pada lahan sawah dengan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT, 5). Untuk menganalisis perbedaan nutrien tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan sistem non PTT.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juni 2008.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, untuk penggunaan pestisida dan pupuk, produktivitas dan pendapatan dianalisis dengan menggunakan uji beda rata-rata (t-test). Untuk kualitas lahan (indeks keanekaragaman makro fauna) berdasarkan indeks keanekaragaman Simpson (D) diidentifikasi di FMIPA USU. Untuk nutrien tanah dilakukan pengujian di laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas pertanian USU.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pestisida antara usahatani sistem PTT dan non PTT tidak berbeda nyata. Penggunaan pestisida pada sistem PTT dan non PTT sama hanya berbeda dalam penggunaan dosis. Penggunaan pupuk organik usahatani sistem PTT dan non PTT berbeda nyata. Petani sistem PTT menggunakan pupuk kandang dan jerami padi sedangkan pada sistem non PTT tidak. Produktivitas dan pendapatan usahatani sistem PTT berbeda nyata. Produktivitas dan pendapatan usahatani sistem PTT lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani non PTT. Indeks keanekaragaman makro fauna menurut perhitungan Shannon Winner, pada sistem PTT indeksnya = 0.570 dan non PTT indeksnya = 0.603. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem stabil dari segi serangganya. Nutrien tanahnya berbeda. Usahatani yang menerapkan sistem PTT lebih terkonservasi dibandingkan dengan usahatani yang tidak menerapkan sistem PTT.


(6)

ABSTRACT

Integrated Plants Management has the character of specific location with concerned about asupan technology (integrate technology of farmer genuiness with technology go forward) and ecological balance plants with its environment until usahatani can be going concern and advantageous from economy facet.

Approach PTT is alternative of paddy management intensively as a mean to repair and improve productivity of irrigation rice field farm and paddy productivity.

Target this research 1). to analyse difference the usage of pesticide at farm of rice field paddy between integrated system of plants management (PTT) with system non PTT, 2). to analyse difference the usage of manure at farm of rice field paddy between integrated system of plants management (PTT) with system non PTT, 3). to analyse productivity difference and farmer earnings between integrated system of plants management (PTT) with system non PTT, 4). To analyse variety difference makrofauna land/ground at rice field farm with integrated system of plants management (PTT) with system non PTT, 5). To analyse difference of land/ground nutrient at rice field farm between integrated system of plants management (PTT) and system non PTT.

This Research is executed in the countryside Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat. This Research is executed from April up to June 2008.

Method as used in this research, for the usage of pesticide and manure, productivity and earnings are analysed by using test of average difference (t-test). For farm quality (macro variety index fauna) base variety index Simpson (D) diidentifikasi in FMIPA USU. For land/ground nutrient conducted testing in laboratory Research and Technology Faculty of agriculture USU.

Research Result indicates that the usage of pesticide between farm system PTT and non PTT not differs reality. The usage of pesticide at system PTT and non same PTT only differs in the usage of dose. The usage of farmer organic manure system PTT and non PTT differs reality. System Farmer PTT uses cage manure and paddy hay whereas at system non PTT not. Productivity and earnings farmer system PTT differs reality. Productivity and earnings farmer system higher PTT is compared to farmer non PTT. Macro variety index fauna according to calculation Shannon Winner, at system PTT its index = 0.570 and non PTT its index = 0.603. This condition indicates that stable ecosystem from its insect facet. Its land/ground Nutrient differs. Farm that apply system PTT more conservation is compared to farmer that not apply system PTT.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”Konservasi Lahan Padi Sawah (Oryza sativa, L) dengan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat”.

Pada kesempatan ini, dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Departemen Pertanian, khususnya Badan Pengembangan SDM Pertanian, yang telah memberikan biaya-biaya selama menjalani studi di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc, sebagai Ketua Pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Dr. Ir. Tavi Supriana, M.S, sebagai Anggota Pembimbing I yang banyak meluangkan waktu, dengan sabar membimbing dan mengarahkan selama melaksanakan penelitian hingga menyelesaikan tesis ini.

6. Drs. Heru Santoso, M.S, sebagai Anggota Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, bimbingan dan arahan selama melaksanakan penelitian hingga menyelesaikan tesis ini.

7. Prof. Dr. Ir. Retno Widhiastuti, M.S, selaku dosen penguji yang juga banyak memberikan saran dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini.


(8)

8. Ir. H. Guslim, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Prof. Dr. Erman Munir, M.S, selaku Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staf pengajar dan Staf administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak Suherman selaku Kepala Desa Aman Damai berserta stafnya yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi dan data desa.

12. Bapak Hadi Suharno selaku Ketua Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Desa Aman Damai, yang telah membantu memberikan informasi dan data petani. 13. Para responden dan instansi yang terkait dengan penelitian ini, atas bantuannya

selama penulis melakukan penelitian.

14. Rekan PSL’ 06 serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian hingga selesainya tesis ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Muchlis Mardjanin dan Ibunda Hj. Yusnamelly, suami tercinta Sugeng Mulyono dan yang tersayang ananda Muharrafi Rizki Sulistio, serta abang Sesbany dan adik-adikku, Budi Putra dan Melfi Lusia Muchlis, atas kasih sayang dan doanya serta dukungan dan bantuannya baik moril maupun materil sehingga selesainya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memerlukan penyempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.


(9)

Akhir kata semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca yang membaca tulisan ini. Terima kasih.

Medan, Agustus 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

VANDALISNA, dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Agustus 1969, merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari keluarga Bapak H. Muchlis Mardjanin dan Ibu Hj. Yusnamelly.

Jenjang pendidikan yang telah dilalui: 1. TK Tunas Kartika III Medan.

2. Tahun 1982, menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Tunas Kartika IV Medan. 3. Tahun 1985, menyelesaikan Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMP Negeri

III Binjai.

4. Tahun 1988, menyelesaikan Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMA Tunas Kartika II Medan.

5. Tahun 1994, menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi di Universitas Medan Area Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian.

6. Tahun 1998 bekerja di Departemen Pertanian pada Instansi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa Sulawesi Selatan sampai sekarang.

7. Tahun 2006, mendapat kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beasiswa dari Departemen Pertanian.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ……….... 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Identifikasi Masalah ………... 4

1.3. Tujuan ………... 5

1.4. Hipotesis ………... 5

1.6. Manfaat ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN ………... 7

2.1. Tinjauan Pustaka ………... 7

2.2. Landasan Teori ………... 19

2.3. Kerangka Pemikiran ………... 24

III. METODE PENELITIAN ………... 26

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 26

3.2. Metode Penentuan Sampel ………... 26

3.3. Metode Pengumpulan Data ………... 28

3.4. Metode Analisis Data ………... 28

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional ……… 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Penerapan dengan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai ... 32

4.2. Penerapan dengan Sistem Non PTT di Desa Aman Damai ... 37

4.3. Hasil Analisis Penggunaan Pestisida ... 38

4.4. Hasil Analisis Penggunaan Pupuk ... 41

4.5. Analisis Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Sistem PTT dan Non PTT ... 43

4.6. Analisis Peningkatan Keanekaragaman Makro Fauna Tanah... 46


(12)

V. PEMBAHASAN UMUM ... 51

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

6.1. Kesimpulan ... 55

6.2. Saran ... 56


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 1. Jumlah Populasi dan Sampel Petani Padi Sawah yang Menerapkan

Sistem PTT Berdasarkan Luas Lahan di Desa Aman Damai ... 27 2. Jumlah Populasi dan Sampel Petani Padi Sawah Non PTT

Berdasarkan Luas Lahan di Desa Aman Damai ... 27 3. Pestisida yang Digunakan Petani Sistem PTT dan Non PTT ... 38 4. Analisis Uji Beda Rata-rata Penggunaan Pestisida, Petani yang

Menerapkan Sistem PTT dan Petani Non PTT ... 39 5. Pupuk yang digunakan Petani Sistem PTT dan Non PTT ... 41 6. Analisis Uji Beda Rata-rata Penggunaan Pupuk, Petani yang

Menerapkan Sistem PTT dan Petani Non PTT ... 42 7. Produksi dan Produktivitas Usahatani yang Menerapkan Sistem

PTT dan Usahatani Non PTT ... 43 8. Analisis Uji Beda Rata-rata Produktivitas Usahatani yang

Menerapkan Sistem PPT dan Usahatani Non PTT ... 44 9. Pendapatan Usahatani Padi Sawah yang Menerapkan Sistem PTT

dan yang Tidak Menerapkan Sistem PTT ... 45 10. Analisis Uji Beda Rata-rata Pendapatan Usahatani yang

Menerapkan Sistem PTT dan Petani Non PTT ... 45 11. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga dalam Habitat Padi Sawah

yang Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

di Desa Aman Damai ... 47 12. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga dalam Habitat Padi Sawah

yang Tidak Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu

(PTT) di Desa Aman Damai ... 48 13. Hasil Analisis Nutrien Tanah ... 49


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Kerangka Pemikiran ………... 25


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Karakteristik Petani Sampel yang Menerapkan Sistem PTT

di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat …….. 61 2. Karakteristik Petani Sampel yang tidak Menerapkan Sistem PTT

di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat …….. 62 3. Pemakaian Pestisida Per Petani Per Musim Tanam pada Usahatani

Padi Sawah yang Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten

Langkat ……….. 63

4. Pemakaian Pestisida Per Petani Per Musim Tanam pada Usahatani Padi Sawah yang Tidak Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten

Langkat ……….. 64

5. Pemakaian Pupuk Per Petani Per Musim Tanam pada Usahatani Padi Sawah yang Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten

Langkat ……….. 65

6. Pemakaian Pupuk Per Petani Per Musim Tanam pada Usahatani Padi Sawah yang Tidak Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten

Langkat ………... 66

7. Produktivitas Petani yang Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala

Kabupaten Langkat ……… 67

8. Produktivitas Petani yang tidak Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala

Kabupaten Langkat ……… 68

9. Pendapatan Petani yang Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten


(16)

10. Pendapatan Petani yang Tidak Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala

Kabupaten Langkat ……… 70

11. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Pestisida Per Musim Tanam Usahatani Padi dengan Sistem PTT dan Non PTT di Desa Aman

Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ………... 71 12. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Pupuk Per Musim Tanam

Usahatani Padi dengan Sistem PTT dan Non PTT di Desa Aman

Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ……… 72 13. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Produktivitas Per Musim

Tanaman Usahatani Padi dengan Sistem PTT dan Non PTT

di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ……… 73 14. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Pendapatan Pestisida Per

Musim Tanam Usahatani Padi dengan Sistem PTT dan Non PTT

di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ……… 74 15. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga dalam Habitat Padi

Sawah yang Menerapkan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setelah beberapa dasawarsa Indonesia selalu sebagai negara pengimpor beras, pada akhir Pelita III, yaitu tepatnya tahun 1984, Indonesia dapat memegang swasembada beras (Suparjo, 1994).

Menurut Widodo (2001), salah satu kunci keberhasilan swasembada adalah penyediaan input teknologi modern. Penggunaan teknologi modern yang dikenal dengan “Revolusi Hijau” dapat memecahkan masalah kekurangan produksi pangan. Akan tetapi revolusi hijau itu sendiri mendapat kritik dalam hal kerusakan lingkungan, terabaikannya teknologi lokal dan kelembagaan lokal. Selain itu revolusi hijau sendiri menimbulkan masalah pemerataan dan kemiskinan. Sementara itu kebutuhan beras semakin meningkat, tercermin dari masih besarnya impor beras pada tahun 2002-2004. Kondisi ini terjadi akibat pertumbuhan produksi padi/beras dalam negeri relatif lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk.

Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus dapat difungsikan secara terus menerus. Konservasi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi pangan tetapi hilangnya investasi untuk membangun infrastruktur (Sarwono, 1993).


(18)

Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat mengingat banyaknya lahan sawah subur yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian dan penduduk terus bertambah serta penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap penurunan produktivitas. Adanya penciutan luas lahan sawah karena pengalihan fungsi, maka lahan untuk pengembangan pertanian harus segera dioptimalkan. Peluang pengembangan pertanian dari segi potensi sumberdaya lahan, maupun peningkatan produktivitasnya melalui penerapan paket-paket teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998).

Pendekatan sistem intensifikasi yang selama ini diterapkan tidak lagi mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi secara nyata. Penggunaan input yang makin tinggi untuk mempertahankan produktivitas tetap tinggi ternyata telah menurunkan efisiensi sistem produksi padi (Deptan, 2003).

Penyebab pelandaian produktivitas padi sawah antara lain adalah ketidakterpaduan pengelolaan lahan dan kurangnya perhatian terhadap upaya pelestarian lahan dan lingkungan. Di satu sisi, eksploitasi lahan sawah secara intensif dan terus menerus telah berlangsung selama bertahun-tahun sehingga berdampak terhadap penurunan tingkat kesuburan dan sifat fisik tanah. Di sisi lain, terabaikannya penggunaan bahan organik dan intensifnya pemberian pupuk kimia untuk mengejar hasil tinggi telah menurunkan kandungan bahan organik tanah. Akibat lebih lanjut dari kondisi ini adalah menurunnya kemampuan tanah menyimpan dan melepaskan


(19)

hara dan air bagi tanaman, sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pupuk dan air irigasi (BPTP Jabar, 2004).

Untuk mengatasi masalah ini, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan suatu model melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang tujuan utamanya meningkatkan produktivitas baik lahan maupun hasil, dan meningkatkan efisiensi biaya produksi serta melestarikan sumberdaya lahan untuk keberlanjutan sistem produksi.

Pendekatan pengelolaan tanaman terpadu bersifat spesifik lokasi dengan memperhatikan asupan teknologi (mengintegrasikan teknologi asli petani dengan teknologi maju) dan keseimbangan ekologis tanaman dengan lingkungannya sehingga usahatani dapat berkelanjutan dan menguntungkan dari segi ekonomi (BPTP Sumut, 2004a).

Pendekatan PTT merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi dan produktivitas padi (Zaini, et al., 2002; Budianto, 2003).

Pengelolaan tanaman terpadu diartikan sebagai penerapan teknologi secara terpadu yang tepat pada seluruh rangkaian usahatani mulai dari penyiapan lahan, pembibitan sampai pada rangkaian pengolahan hasil dan pemasaran yang bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya tahan tanaman dari gangguan organisme pengganggu tanaman serta memanfaatkan sumberdaya alam dengan menerapkan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi daerah, kebutuhan petani, dan ramah lingkungan (BPTP Jabar, 2004).


(20)

Desa Aman Damai merupakan sentra produksi tanaman padi sawah, dengan luas lahan sawah sebesar 163 Ha dan produksi 5 ton/ha. Desa ini merupakan lokasi penerapan sistem Pengelolaam Tanaman Terpadu (PTT). Dalam menjalankan usahataninya petani di desa tersebut dibina oleh penyuluh pertanian lapangan.

1.2. Identifikasi Masalah

Untuk menganalisis konservasi lahan dengan sistem pengelolaan tanaman terpadu secara spesifik:

1. Apakah ada perbedaan penggunaan pestisida pada pengelolaan lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

2. Apakah ada perbedaan penggunaan pupuk pada pengelolaan lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

3. Apakah ada perbedaan produktivitas dan pendapatan petani melalui peningkatan konservasi lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

4. Apakah ada perbedaan keanekaragaman makro fauna tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

5. Apakah ada perbedaan nutrien tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.


(21)

1.3. Tujuan

1. Untuk menganalisis perbedaan penggunaan pestisida pada lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT.

2. Untuk menganalisis perbedaan penggunaan pupuk pada lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT.

3. Untuk menganalisis perbedaan produktivitas dan pendapatan petani antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT.

4. Untuk menganalisis perbedaan keanekaragaman makro fauna tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT. 5. Untuk menganalisis nutrien tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan

tanaman terpadu (PTT) dengan sistem non PTT.

1.4. Hipotesis

1. Ada perbedaan penggunaan pestisida yang nyata pada pengelolaan lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

2. Ada perbedaan penggunaan pupuk yang nyata pada pengelolaan lahan padi sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

3. Ada perbedaan produktivitas dan pendapatan petani pada lahan padi sawah antara pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.


(22)

4. Ada perbedaan keanekaragaman makro fauna tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT. 5. Ada perbedaan nutrien tanah pada lahan sawah antara sistem pengelolaan

tanaman terpadu (PTT) dengan sistem pengelolaan non PTT.

1.5. Manfaat

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi petani setempat dengan menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan baik, kualitas lingkungan tetap terjaga.

2. Bagi petani yang menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT), dapat meningkatkan produksi dan pendapatan.

3. Bagi para penyuluh, agar mensosialisasi kepada petani untuk berperan serta dalam menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dalam pengelolaan usahataninya, yang dapat meningkatkan produktivitas dan peningkatan kualitas lingkungan.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Pengendalian Konservasi Lahan Pertanian

Pertanian di Indonesia masih menghadapi persoalan-persoalan klasik dalam program peningkatan produksi pangan. Persoalan klasik tersebut timbul sebagai akibat dari berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pertanian setiap tahunnya. Permasalahan dari sisi produksi dari tahun ke tahun tidak pernah berubah seperti:

a) Kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir serta turunnya harga gabah pada musim panen. Turunnya harga gabah ini pada akhirnya berdampak pada penghasilan petani itu sendiri.

b) Tuntutan kebutuhan lahan untuk pengembangan sektor-sektor industri dan jasa. Perubahan ini menyebabkan menurunnya luas lahan sawah dan mustahil kembali alih fungsi menjadi sawah.

c) Mengeringkan aliran irigasi teknis untuk mensiasati peraturan perundang-undangan yang berlaku yang melarang keras konservasi lahan sawah, yang pada akhirnya tidak berfungsinya irigasi teknis.

d) Terjadinya degradasi lingkungan. Pembangunan daerah yang mengutamakan keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya alam menyebabkan turunnya kualitas lingkungan.


(24)

e) Lemahnya penegakan hukum.

Konversi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi pangan tetapi hilangnya investasi untuk membangun infrastruktur. Upaya-upaya pengendalian untuk mencegah konversi lahan menjadi penggunaan non pertanian dapat dilakukan melalui: a). Peraturan perundang-undangan yang ada. Ada 9 (sembilan) peraturan mulai dari undang-undang, keppres, Permen-permen maupun peraturan kepala BPN, dan Bappenas yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konversi lahan, b). Pembukaan lahan pertanian baru, c). Penerapan RTRW, RTRP dan RTR kabupaten/kota secara bertanggungjawab melalui pemanfaatan dan pengendalian ruang, d). Pengentasan kemiskinan sesuai RPJMN secara terpadu dan komprehensif melalui program-program lintas sektor.

Pengembangan sumberdaya lahan merupakan konsekuensi dari usaha untuk mempertahankan kemampuan lahan dalam mendukung produktivitas tanaman. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan dua hal penting, yaitu produktivitas lahan dan produktivitas petani. Potensi produktivitas apabila dikelola dengan pola yang tepat, dan sebaliknya usaha dikelola pertanian/usahatani akan memperoleh optimalisasi hasil, apabila didukung oleh kondisi lahan yang potensial.

Konservasi lahan pertanian dapat dilakukan melalui upaya-upaya pengolahan lahan dilakukan bersamaan dengan terjadinya penambahan bahan organik, pemupukan yang dilakukan sebaiknya merupakan kombinasi pupuk sintesis dan organik, dan dalam jangka panjang diusahakan untuk sepenuhnya menggunakan pupuk organik, karena memiliki beberapa keuntungan, selain penggunaan pupuk


(25)

organik, digunakan pupuk hayati, pemilihan benih yang sesuai dengan kondisi setempat dan berumur genjah (cepat panen), serta pemberantasan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan mulai menggunakan predator alami hama tanaman (Winoto, 1995; Nasoetion dan Winoto, 1996).

2.1.2. Pengertian dan Permasalahan Kerusakan Lahan

Kerusakan lingkungan dapat didefinisikan sebagai adanya perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik dan atau hayati lingkungan hidupnya. Kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Dalam arti lain jika lingkungan tersebut rusak, baik fisik maupun hayatinya maka lingkungan tersebut tidak dapat lagi mendukung kehidupan berikutnya (Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan). Dengan definisi ini maka dapat diketahui bahwa kerusakan lahan adalah terjadinya perubahan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap lahan sehingga lahan tidak bisa lagi mendukung kehidupan, baik kehidupan makro & mikro fauna yang selanjutnya menyebabkan kerugian pada manusia.

Kerusakan lahan sudah banyak terjadi di mana-mana. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya lahan yang sudah tidak dapat lagi berfungsi sesuai dengan peruntukkannya atau sebaliknya lahan yang seharusnya masih berfungsi sesuai peruntukkannya malah diubah fungsinya.


(26)

Secara umum pengertian kerusakan lahan dapat dibagi 2 kategori, yaitu: a). Kerusakan lahan secara kuantitas, artinya sifat-sifat fisik dan kimiawi lahan sudah rusak sehingga tidak berfungsi lagi sesuai potensinya. Hal ini disebabkan karena adanya pencemaran, baik yang disengaja maupun tidak, seperti pemakaian pupuk yang tidak terkontrol dengan baik, pemakaian pestisida dan zat-zat kimia lain yang berfungsi untuk mengontrol pengganggu tanaman, dan pola tanam yang tidak beraturan bisa menyebabkan lahan menjadi rusak dan tidak produktif, b). Kerusakan lahan secara kuantitas, artinya secara luasan lahan sudah berkurang karena beralih fungsi dari lahan sawah menjadi non pertanian (Budi, 2004).

Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian telah berlangsung dan sulit dihindari sebagai akibat pesatnya laju pembangunan. Penurunan produksi beras nasional terjadi akibat penciutan lahan sawah karena alih fungsi lahan dan pelandaian produktivitas. Kerugian lain akibat alih fungsi adalah hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Dampak yang ditimbulkan dengan alih fungsi tersebut adalah terganggunya ketersediaan pangan, yang pada akhirnya mengancam produksi pangan nasional, gagal panen akibat banjir, tidak berfungsinya prasarana dan sarana infrastruktur yang mengakibatkan kerugian investasi yang ditanamkan, dampak sosial ekonomi pada rumah tangga pertanian dengan hilangnya kerja bagi buruh tani dan meningkatnya petani gurem.


(27)

2.1.3. Pendekatan Tanaman dengan Sistem PTT

Pengelolaan tanaman terpadu diartikan sebagai penerapan teknologi secara terpadu yang tepat pada seluruh rangkaian usahatani mulai dari penyiapan lahan, pembibitan sampai pada rangkaian pengolahan hasil dan pemasaran yang bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya tahan tanaman dari gangguan organisme pengganggu tanaman serta memanfaatkan sumberdaya alam dengan menerapkan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi daerah, kebutuhan petani dan ramah lingkungan. Dengan demikian model PTT yang mengacu pada teknologi dan memanfaatkan SDA setempat secara optimal sehingga dapat menghasilkan efek sinergis dan efisiensi tinggi.

Pendekatan pengelolaan tanaman terpadu bersifat spesifik lokasi dengan memperhatikan asupan teknologi (mengintegrasikan teknologi asli petani dengan teknologi maju) dan keseimbangan ekologis tanaman dengan lingkungannya sehingga usahatani dapat berkelanjutan dan menguntungkan dari segi ekonomi.

Keunggulan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu pada tanaman padi sawah adalah:

1. Penggunaan teknologi yang spesifik lokasi dan efisien dalam pengelolaan tanaman padi (menghemat biaya usahatani) serta berwawasan lingkungan.

2. Meningkatkan produksi tanaman padi melalui integrasi beberapa komponen teknologi yang saling menunjang (sinergis) sesuai dengan kondisi SDA setempat yang berwawasan lingkungan.


(28)

3. Petani dapat menentukan atau memilih kombinasi teknologi yang digunakan, tergantung pada potensi lahan dan kemampuan petani (spesifik lokasi).

4. Kombinasi komponen teknologi yang digunakan pada lokasi tertentu dapat berbeda dengan lokasi lainnya, karena beragamnya kondisi lingkungan pertanaman padi.

5. Setiap teknologi atau kombinasi teknologi yang sedang dikembangkan pada suatu lokasi dapat berubah sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengalaman petani di lokasi setempat.

6. Meningkatkan produktivitas lahan pertanaman padi secara berkelanjutan.

2.1.4. Komponen-Komponen PTT

Alternatif komponen teknologi dalam PTT Padi adalah: 1. Varietas Unggul Baru

Varietas padi yang dipilih pada PTT adalah varietas unggul baru yang telah dilepas oleh pemerintah, mempunyai daya hasil tinggi, berumur genjah (pendek), tahan terhadap hama dan penyakit, serta sesuai keinginan pasar.

Ciri khas varietas padi unggul spesifik lokasi adalah: a). dapat beradaptasi terhadap iklim dan tipe tanah setempat cita rasanya disenangi dan memiliki harga jual yang tinggi di pasar lokal, b). daya hasil tinggi, c). toleran terhadap hama dan penyakit dan d). tahan rebah (BPTP, 2004a).


(29)

Dalam pemilihan varietas perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Pergiliran varietas perlu dilakukan pada pola tanam padi-padi-palawija untuk

mencegah ledakan hama dan penyakit tertentu. Pergiliran varietas pada padi sawah harus dilaksanakan guna memperpanjang sifat ketahanan suatu varietas atas serangan hama dan penyakit tertentu. Hama dan penyakit utama seperti wereng coklat, virus tungro, bakteri hawar daun atau kresek (Xanthomonas

capetris Sp) dan blas (Pyricularia oryzae) dikendalikan dengan penerapan

pergiliran varietas (Istuti dan Endah, 2000).

b. Pada musim hujan (MH), pilih varietas yang tahan wereng dan tahan penyakit. Varietas yang cocok pada musim hujan antara lain: memberamo, ciherang, widas, sunggal, wera, angke, konawe, cimelati, singkil, kalimas, bondoyudo, way apo buru, dan conde.

c. Pada musim kemarau (MK), pilih varietas yang relatif toleran terhadap kekeringan dan kurang disukai hama penggerek batang. Varietas yang cocok pada musim kemarau antara lain: widas, ciherang, sunggal, dan selugonggo.

d. Memperhatikan lingkungan setempat, antara lain: curah hujan, jenis tanah, suhu udara pada waktu siang dan malam hari, ketinggian tempat dan permintaan pasar (bentuk gabah, beras, dan cita rasa).

2. Penggunaan Benih Bermutu

Benih yang akan ditanam hendaknya yang bermutu tinggi yakni kemurnian dan daya kecambahnya lebih besar dari 90 %, sebab benih bermutu akan menghasilkan a). Perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, b). Bibit yang


(30)

sehat dengan akar yang banyak, c). Ketika ditanam pindah, dapat tumbuh lebih cepat dan tegar serta d). Memperoleh hasil yang tinggi (Suyamto, et al, 2007). Untuk itu pilih benih yang bersertifikat atau berlabel biru. Selain itu benih perlu diseleksi, agar benih yang akan ditanam benar-benar memiliki daya tumbuh yang tinggi.

3. Penanaman Bibit Muda dengan Penanaman Tunggal

Dalam model PTT, dianjurkan penanaman dengan bibit umur muda 10–15 hari setelah sebar dan penanaman tunggal yaitu 1 – 2 bibit perumpun. Keuntungan menggunakan bibit muda adalah: a). Bibit akan cepat kembali pulih (cepat beradaptasi dengan lingkungan), b). Akar akan lebih kuat dan dalam, c). Tanaman akan lebih tahan rebah, d). Tanaman akan lebih tahan kekeringan, e). Tanaman akan menghasilkan anakan lebih banyak, f). Tanaman menyerap pupuk lebih efisien.

Penanaman satu bibit perumpun dapat mendorong tanaman untuk memperlihatkan potensi genetiknya. Menurut Las, et al (2003), penanaman bibit muda-tunggal akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan akar lebih baik, dan jumlah anakan lebih banyak, serta kemampuan adaptasi lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman bibit yang tua. Di samping itu, penggunaan benih dapat dikurangi.

4. Asupan Bahan Organik

Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan diperlukan terobosan yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya lokal.


(31)

Untuk meningkatkan produksi padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan jerami padi.

Menurut Mario (2003), penambahan bahan organik/kompos jerami ke dalam tanah, khususnya pada tanah-tanah dengan bahan organik rendah, adalah suatu usaha ameliorasi tanah agar pemberian unsur hara tanaman lebih efektif. Pemberian bahan organik ke dalam tanah akan memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah.

Penambahan bahan organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman yang antara lain dapat meningkatkan efisiensi pupuk. Hasil penelitian penggunaan bahan organik, seperti sisa-sisa tanaman yang melapuk, kompos, pupuk kandang atau pupuk organik cair menunjukkan bahwa pupuk organik dapat meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk, terutama pupuk K (Adiningsih dan Rochayati, 1988).

Hara nitrogen, fosfor, dan kalium merupakan faktor pembatas utama untuk produktivitas padi sawah. Respon padi terhadap nitrogen, fosfor, dan kalium dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah penggunaan bahan organik. Bahan organik merupakan kunci utama dalam meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan (Arafah, 2002).

Pemberian 5,0 t/ha jerami dapat menghemat pemakaian pupuk KCl sebesar 100 kg/ha (Arifin dkk, (1993); Hadiwigeno, 1993; Basyir dan Suyamto, 1996) Sedangkan Adiningsih (1984) melaporkan bahwa penggunaan kompos jerami sebanyak 5 t/ ha selama 4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 kg


(32)

Kalium, 160 kg Magnesium, dan 200 kg Silica. Hal ini disebabkan karena sekitar 80% kalium yang diserap tanaman berada dalam jerami (Rochayati, et al, 1991), sehingga menurut Sharma dan Mittra (1991), penggunaan jerami sebagai sumber kalium cenderung lebih efektif. Hal ini diperkuat oleh Dobermann dan Fairhurst, (2000) bahwa kandungan hara tertinggi dalam jerami selain Silica (4-7 %) adalah kalium, yaitu sekitar 1,2-1,7 %, sedangkan lainnya adalah Nitrogen (0,5-0,8 %), Phosfor (0,07-0,12 %), dan Sulfur (0,05-0,10 %).

Cara penggunaan bahan organik untuk lahan sawah adalah: bahan organik disebar merata di atas hamparan sawah, dua minggu sebelum pengolahan tanah. Kadang-kadang untuk jerami padi dibiarkan melapuk langsung di sawah selama satu musim (BPTP Jabar, 2004).

6. Pengairan Berselang

Pengelolaan air pada PTT dilakukan dengan penerapan irigasi berselang yakni dengan cara mengatur waktu pemberian air dan waktu pengeringan. Air diberikan 1 hari basah dan 5 hari kering (dikeringkan), kecuali pada saat pembungaan dan pemasakan biji. Irigasi berselang diutamakan pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan hanya dapat dilakukan pada daerah irigasi yang manajemennya baik (BPTP Sumut, 2004a).

Manfaat penerapan irigasi berselang adalah:

1. Memberi kesempatan bagi akar untuk mendapatkan aerasi yang cukup untuk pengembangan akar yang dalam dan intensif.


(33)

3. Mencegah penimbunan asam-asam organik dan gas H2S yang dapat menghambat pengembangan akar.

4. Menaikkan temperatur tanah, sehingga dapat mengaktifkan mikroba bermanfaat. 5. Membatasi perpanjangan ruas batang sehingga tanaman tidak mudah rebah.

6. Mengurangi jumlah anakan tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah).

7. Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat masa panen.

8. Penggunaan air irigasi dapat dihemat sekitar 25-30 %, sehingga areal sawah yang diairi dapat lebih luas (Suyamto, et al, 2007 dan BPTP Jabar, 2004).

Selain itu menurut Abdulrachman, et al, (2000), penerapan irigasi berselang juga dapat menekan laju gas metan 8,7 persen lebih rendah dibandingkan irigasi kontinyu, dapat menekan populasi Wereng Batang Coklat (WBC) pada saat primordia dari 125–192 ekor per 30 rumpun menjadi 86 ekor per 30 rumpun.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengairan berselang antara lain: a). Jenis tanah; tanah yang tidak dapat menahan air sebaiknya jangan menerapkan sistem pengairan berselang, b). Lahan sawah yang sulit dikeringkan karena drainase jelek, pengairan berselang tidak dapat diterapkan, c). Pola pengairan wilayah setempat; kalau pengairan sudah ditetapkan berselang 3 hari maka pola ini saja yang dijalankan.

7. Pemupukan Spesifik Lokasi

Dalam model PTT, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan unsur hara di tanah (spesifik lokasi). Untuk menentukan


(34)

kebutuhan pupuk N bagi tanaman digunakan bagan warna daun (BWD), yaitu alat sederhana pengukur tingkat kehijauan warna daun padi yang dilengkapi dengan empat skala warna. Kalau tingkat kehijauan daun tanaman padi kurang dari empat pada skala BWD, berarti tanaman perlu diberi pupuk N. Sebaliknya, tanaman tidak perlu lagi diberi pupuk N jika tingkat kehijauan daunnya berada pada skala empat.

Penggunaan BWD, memberikan manfaat antara lain: a). Pemberian pupuk N dapat dihemat 20 %, b). Membantu petani dalam menentukan saat yang tepat untuk memberikan pupuk N (urea), c). Mengurangi resiko serangan hama dan penyakit, kerebahan tanaman, serta pencemaran lingkungan.

Sedangkan kebutuhan pupuk P dan K tanaman padi ditentukan berdasarkan hasil analisis tanah.

8. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Secara Terpadu Strategi pengendalian hama pada tanaman padi adalah:

a. Menanam tanaman yang sehat, termasuk pengendalian dari aspek kultur teknis, seperti: pola tanam tepat, sanitasi lapangan, pergiliran tanaman, waktu tanam dan pemupukan yang tepat, pengelolaan tanah dan irigasi, menanam tanaman perangkap untuk mengendalikan tikus.

b. Menggunakan varietas tahan terhadap hama. c. Pengamatan berkala di lapangan.

d. Pemanfaatan musuh alami, seperti predator, parasitoid, dan patogen serangga. e. Pengendalian secara mekanik, seperti menggunakan alat atau mengambil dengan


(35)

f. Pengendalian secara fisik, seperti menggunakan lampu perangkap.

g. Eradikasi dan sanitasi: untuk tanaman terserang berat/puso, penanaman berikutnya non padi atau dilakukan berat.

h. Penggunaan insektisida secara bijaksana.

Pengendalian lain tidak efektif (ambang ekonomi: 15 wereng/rumpun), tidak berdampak negatif terhadap musuh alami wereng coklat, wereng tidak resisten, tidak menimbulkan resulgensi, dan gunakan insektisida tertentu (buprofezin, karbamat, insektisida butiran sistemik).

9. Panen dan Pascapanen

Penanganan pascapanen hasil pertanian meliputi semua kegiatan perlakuan dan pengolahan langsung terhadap hasil pertanian yang karena sifatnya harus segera ditangani untuk meningkatkan mutu hasil pertanian agar mempunyai daya simpan dan daya guna lebih tinggi. Selain itu masalah panen dan pasca panen yang sering terabaikan adalah yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan seperti pengembalian jerami untuk dijadikan pupuk organik dan menghindari pembakaran jerami di lahan sawah.

2.2. Landasan Teori

Praktek pertanian yang berwawasan lingkungan (pertanian berkelanjutan) menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan. Untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan adalah mengubah sistem pertanian konvensional yang mempunyai ketergantungan kuat pada masukan energi dari luar usahatani (penggunaan pupuk dan


(36)

organik dan pestisida sintetik) yang tinggi sehingga berdampak terhadap lingkungan. Masalah kelestarian pembangunan pertanian tidak akan pernah terlepas dari masalah-masalah fisik, lingkungan dan sosial ekonomi. Tidak ada sistem pertanian yang lestari apabila secara ekonomi tidak menguntungkan, baik untuk petani sebagai pelaku pembangunan pertanian maupun masyarakat pada umumnya. Tetapi kelestarian secara ekonomi tidak pernah tercapai apabila harus dibayar mahal akibat terjadinya kerusakan lingkungan, yakni kerusakan fisik berupa degradasi lahan yang tidak dapat balik, atau serangan hama, penyakit dan gulma yang tidak terkontrol.

Untuk masa yang akan datang, kita memerlukan sistem usaha tani dan teknologi produksi pertanian yang terpadu dengan azas-azas lingkungan yang dapat tetap menjamin kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam bagi generasi mendatang.

Menurut FAO (1989) pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang.

Ciri-ciri pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan:

1. Mampu meningkatkan produksi pertanian dan menjamin keamanan pangan di dalam negeri.

2. Mampu menghasilkan pangan yang terbeli dengan kualitas gizi yang tinggi serta menekan atau meminimumkan kandungan bahan-bahan pencemar kimia maupun bakteri yang membahayakan.


(37)

3. Tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan menekan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan.

4. Mampu mendukung dan menopang kehidupan masyarakat pedesaan dengan meningkatkan kesempatan kerja, menyediakan penghidupan yang layak dan mantap bagi para petani.

5. Tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lingkungan pertanian, dan bagi yang mengkonsumsi hasil-hasil pertanian.

6. Melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta melestarikan sumberdaya alam dan keragaman hayati.

Memperhatikan kondisi pembangunan pertanian yang sedang berjalan di Indonesia, usaha untuk meningkatkan kebutuhan pangan dilakukan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan untuk memperbaiki kesehatan tanah, perlindungan lingkungan serta produktivitas yang berkelanjutan. Penerapan sistem pertanian alternatif yang berwawasan lingkungan merupakan konsep yang pemasyarakatannya memerlukan waktu yang relatif panjang.

Pembangunan pertanian pada umumnya dan khususnya pertanian pangan banyak menghadapi kendala-kendala, diantaranya:

a) Ketersediaan lahan potensial untuk pertanian semakin terbatas. Lahan yang tersedia sudah semakin banyak yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk pertanian maupun kepentingan yang lain.

b) Pengalihan fungsi lahan pertanian subur ke lahan bukan pertanian meningkat secara dramatis sehingga luas garapan sawah terlalu sempit.


(38)

c) Teknologi konservasi sumberdaya tanah tidak dapat diterapkan secara baik, disebabkan karena luas pemilikan lahan terlalu sempit, tekanan penduduk yang besar, kondisi biofisik lahan tidak seragam, biaya investasi konservasi yang mahal.

d) Dilema irigasi konvensional sebagai andalan pengembangan lahan pertanian tanaman pangan dan lahan produksi banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, di samping sudah jauh berkurang karena ditempati industri, pemukiman dan infrastruktur lainnya.

e) Kerusakan lahan pertanian makin meningkat, terjadi baik akibat erosi, pemakaian pupuk kimia dan obat kimia secara berlebihan, tidak ada pendauran ulang limbah pertanian.

f) Terjadinya penyempitan pemilikan lahan akibat luas lahan terbatas, penduduk terus bertambah, di lain pihak sektor pertanian harus menyediakan lapangan kerja terbesar.

Kalau diperhatikan lebih mendalam bahwa keberhasilan pembangunan pertanian, terutama sektor tanaman pangan lebih banyak terjadi di lahan sawah. Keberhasilan ini tercapai melalui:

a) Penggunaan bibit unggul secara meluas.

b) Penggunaan pupuk kimia terutama N dengan dosis tinggi secara meluas, dan pemberantasan hama penyakit dengan obat kimia.

c) Pembangunan fasilitas irigasi secara besar-besaran, perluasan lahan sawah, perluasan intensifikasi padi sawah secara monokultur.


(39)

d) Mengatur produksi secara sentral dengan paket teknologi masukan tinggi. e) Pemberian subsidi kepada sarana produksi dan kredit usahatani dalam jumlah

besar (Sutanto, 2002).

Sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian yang lebih memfokuskan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, maka Badan Litbang Pertanian bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan dan Direktorat Jendral Produksi Peternakan telah melaksanakan kegiatan percontohan Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (PT) di 22 provinsi. Program ini dilaksanakan sejak tahun anggaran 2002 hingga 2004. Kegiatan ini merupakan upaya pengembangan model alih teknologi atau inovasi baru untuk memacu peningkatan produktivitas padi dan sekaligus peningkatan pendapatan petani melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) (Deptan, 2002).

Pendekatan PTT mengutamakan sinergisme berbagai komponen teknologi dalam suatu paket teknologi agar mampu meningkatkan efisiensi penggunaan input

dan sekaligus hasil panen. Pendekatan PTT juga memperhitungkan keterpaduan antara tanaman disatu pihak dan sumberdaya yang ada di pihak lain (Las, 2002). Hasil penelitian di 22 provinsi menunjukkan bahwa penerapan model PTT dapat meningkatkan hasil gabah kering panen (GKP) daripada teknologi petani (non PTT) sebesar 18% atau sekitar 1,0 t/ha (Zaini, et al, 2002; Budianto, 2003).


(40)

2.3. Kerangka Pemikiran

Pengelolaan lahan sawah oleh petani di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala dilakukan dengan dua cara yakni cara konvensional dan cara pengelolaan tanaman terpadu. Kedua cara pengelolaan tersebut mempunyai perbedaan dalam usahatani padi sawah. Untuk itu peneliti ingin membandingkan kedua cara tersebut dan pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan.


(41)

Petani non PTT

•Varietas lokal/unggul turunan

•Asupan bahan an organik.

•Pengguna pestisida kimia

•Pengguna pupuk kimia Komponen-komponen PTT

•Varietas Unggul Baru

•Asupan Bahan Organik

•Pengairan Berselang

•Pemupukan Spesifik Lokasi

•Pengendalian OPT Secara Terpadu Petani menerapkan

Sistem PTT

Pengelolaan Lahan Sawah

• Penggunaan pestisida

• Penggunaan pupuk

• Peningkatan produktivitas pendapatan

• Peningkatan kualitas lingkungan (makro fauna dan nutrien tanah


(42)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penentuan daerah penelitian untuk sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan non PTT dilakukan secara purposive yaitu di Desa Aman Damai, Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat. Pada daerah ini terdapat lokasi yang menerapkan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan non PTT. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2008.

3.2. Metode Penentuan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani yang memiliki usaha padi sawah. Jumlah petani di Desa Aman Damai berjumlah 330 petani, yang menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) sebanyak 221 petani dan petani yang tidak menerapkan sistem PTT sebanyak 109 orang.

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel acak terstratifikasi (Stratified random sampling). Metode pemilihan sampel dilakukan dengan cara membagi populasi ke dalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata, dan kemudian sampel diambil secara acak dari tiap strata tersebut.

Besar ukuran sampel ditetapkan atas dasar informasi keragaman (variabilitas) dari individu-individu penyusun populasi dan tingkat ketelitian yang diinginkan. Bila individu-individu anggota populasi relatif memiliki karakteristik yang seragam,


(43)

sampel yang berukuran kecil akan mampu memberikan jumlah informasi yang diperoleh dari sampel yang berukuran besar.

Pada pengambilan sampel petani padi sawah dikelompokkan menjadi 3 strata yaitu strata I dengan luas lahan ≤ 0,5 Ha, strata II dengan luas 0,6 – 0,9 ha dan strata III luas lahan ≥ 1 ha.

Tabel 1. Jumlah Populasi dan Sampel Petani Padi Sawah yang Menerapkan Sistem PTT Berdasarkan Luas Lahan di Desa Aman Damai

No Strata Luas Lahan Jumlah Sampel

(Ha) Populasi

1 I ≤ 0,5 148 15

2 II 0,6 – 0,9 45 4

3 III ≥ 1 28 3

Jumlah 221 22

Petani yang tidak menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (non PTT) yang dijadikan sampel penelitian juga pengambilan sampelnya dilakukan secara acak terstratifikasi berdasarkan luas lahan yang dikelompokkan menjadi 3 strata.

Tabel 2. Jumlah Populasi dan Sampel Petani Padi Sawah Non PTT Berdasarkan Luas Lahan di Desa Aman Damai

No Strata Luas Lahan Jumlah Sampel

(Ha) Populasi

1 I ≤ 0,5 71 7

2 II 0,6 – 0,9 26 3

3 III ≥ 1 12 1


(44)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani sampel (responden) dengan menggunakan daftar kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait dengan penelitian ini seperti: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Balai Penyuluhan Pertanian, Kantor Kecamatan, Kepala Desa, serta literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian.

3.4. Metode Analisis Data

Semua data yang diperoleh terlebih dahulu ditabulasi kemudian dianalisis. Untuk hipotesis 1, 2, 3, dan dianalisis dengan menggunakan uji beda rata-rata (t-test). Kegunaan t-test sebagai alat analisis data dapat dipakai untuk menguji dua sampel bebas atau sampel yang berkorelasi. Implikasi penggunaan t-test dalam penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua rerata (mean) dalam upaya menentukan apakah perbedaan rerata tersebut adalah perbedaan nyata dan bukan karena kebetulan (Soepeno, 1997).

Untuk hipotesis 1, 2, 3, dianalisis dengan menggunakan uji beda rata-rata (t-test) pada dua sampel yang bebas (independent sample) dengan rumus:

Ho : µ1 = µ2 Ho : µ1≠ µ2


(45)

Di mana:

µ1 = rata variabel I (Menerapkan sistem PTT) µ2 = rata variabel I (Tidak menerapkan sistem PTT) __ __

x1 – x2

t - hitung = ---

⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ + − ++ − − 2 1 2 1 2 2 2 1 2

1 1 1

2 ) ( ) 1 ( ) 1 ( n n n n S n S n Di mana: __

x1 = Rata-rata nilai variabel I __

x2 = Rata-rata nilai variabel II

S1 = Rata-rata standard deviasi variabel I S2 = Rata-rata standard deviasi variabel II n1 = Jumlah sampel variabel I

n2 = Jumlah sampel variabel II Kriteria uji:

t-hitung ≤ t-tabel ...hipotesis H0 diterima (H1 ditolak) t-hitung > t-tabel ...hipotesis H0 ditolak (H1 diterima) (Sugiyono, 2004).

Untuk hipotesis 4, keanekaragaman makro fauna, diidentifikasi serangganya di laboratorium FMIPA USU dan indeks keanekaragamannya dihitung berdasarkan Indeks Keanekaragaman menurut rumus Shannon Winner (H).


(46)

Indeks Shannon Winner (H) H = - ∑pi2ln pi2

Di mana : H = Keragaman jenis dalam komunitas

pi = Jumlah individu ke I dibagi total individu semua jenis (Odum, 1993).

Untuk hipotesis 5, pengujian nutrien tanah dilakukan pengujian di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian USU.

3.5. Definisi dan Batasan Operasional 3.5.1. Definisi

1. Konservasi lahan sawah adalah: mengelola dan mempertahankan lahan sawah dengan tidak mengalih fungsikannya.

2. Petani sampel adalah petani yang menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan petani yang tidak menerapkan sistem PTT.

3. Petani sistem PTT adalah petani yang telah menerima dan menerapkan hasil-hasil inovasi teknologi pertanian yang diperkenalkan oleh Badan Litbang Pertanian pada usahataninya.

4. Petani Non PTT adalah petani yang menjalankan usahataninya dengan cara turun temurun, tanpa adanya penggunaan inovasi teknologi baru oleh Badan Litbang Pertanian.

5. Luas lahan adalah luas sawah yang dijadikan sebagai areal pertanaman padi sawah yang diukur dalam satuan Ha.


(47)

6. Penggunaan pestisida adalah petani yang menggunakan pestisida alami dan pestisida kimia pada lahan padi sawahnya, liter per luas lahan.

7. Penggunaan pupuk kimia adalah petani yang menggunakan pupuk kimia untuk lahan padi sawahnya, kg per luas lahan.

8. Penggunaan pupuk organik adalah petani yang menggunakan pupuk organik yang ramah lingkungan untuk lahan padi sawahnya, kg per luas lahan.

9. Produktivitas adalah kemampuan tanaman padi sawah untuk menghasilkan produksi per luas lahan.

10.Pendapatan petani adalah penerimaan usahatani dikurangi seluruh (total) biaya produksi.

11.Penerimaan adalah hasil perkalian antara besarnya produksi padi sawah dengan harga jual.

12.Kualitas lingkungan adalah diukur dari indeks keanekaragaman makro fauna pada lahan sawah dan nutrien tanah.

3.5.2. Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat.

2. Waktu penelitian adalah bulan April – Juni tahun 2008.

3. Sampel penelitian adalah petani padi sawah yang menerapkan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan Petani yang tidak menerapkan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).


(48)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penerapan dengan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai

Pengelolaan tanaman terpadu bersifat spesifik lokasi dengan memperhatikan asupan teknologi (mengintegrasikan teknologi asli petani dengan teknologi maju) dan keseimbangan ekologi tanaman dan lingkungannya sehingga usahatani dapat berkelanjutan dan menguntungkan dari segi ekonomi.

Pengelolaan tanaman terpadu diartikan sebagai penerapan teknologi secara terpadu yang tepat mulai dari penyiapan lahan, pembibitan sampai pengolahan hasil dan pemasaran. Tujuannya untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya tahan tanaman dari gangguan organisme pengganggu tanaman serta memanfaatkan sumberdaya alam dengan menerapkan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi daerah, kebutuhan petani dan memanfaatkan sumberdaya alam setempat secara optimal.

Di desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat, petani yang menerapkan sistem PTT dalam melaksanakan usahataninya:

1. Menggunakan varietas unggul

Varietas padi merupakan salah satu teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. Dengan tersedianya varietas padi yang telah dilepas pemerintah, petani dapat memilih varietas unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit.


(49)

Varietas padi yang digunakan petani adalah jenis varietas ciherang. Varietas ciherang diperoleh petani dari penangkar benih yang ada di desa tersebut.

2. Benih bermutu

Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat disarankan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, (2) benih yang baik akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, (3) ketika ditanam pindah, bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi. Benih yang digunakan 20 kg/ha. Uji benih dilakukan dengan cara membenamkan ke dalam larutan air garam 1 sendok/liter air, benih yang terapung dibuang, yang digunakan hanya benih yang tenggelam.

3. Bibit muda

Penanaman bibit muda atau berumur 10-15 hari setelah sebar (HSS) dan penanaman tunggal, yaitu 1-2 bibit perumpun. Keuntungan menggunakan bibit muda adalah: bibit muda cepat tumbuh dan berkembang baik, sistem perakaran lebih intensif, anakan lebih banyak, dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan dibandingkan dengan bibit tua.

4. Asupan bahan organik

Dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan diperlukan terobosan yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya lokal.


(50)

Untuk meningkatkan produksi padi dan mempertahankan pelestarian lingkungan, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah, petani yang menerapkan sistem PTT menggunakan pupuk kandang dan pemanfaatan limbah jerami padi pada lahan sawahnya.

Penambahan bahan organik merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan ketersediaan unsur hara di tanah (spesifik lokasi).

Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanaman. Pupuk organik yang dikomposkan berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman (jerami, batang, dahan) kotoran ternak (sapi, kambing, ayam).

5. Jarak tanam

Menanam bibit per rumpun dengan jumlah yang lebih sedikit. Jumlah bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Lebih banyak jumlah bibit per rumpun, lebih tinggi kompetisi antar bibit (tanaman) dalam satu rumpun.

Jarak tanam yang digunakan adalah sistem legowo 2 : 1 (20 cm x 10 cm) x 40 cm. Keuntungan dengan menerapkan sistem legowo ini, semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), pengendalian hama, penyakit, dan gulma lebih mudah, menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong mas, atau untuk mina padi. Selain itu penggunaan pupuk lebih efektif dan seluruh barisan


(51)

tanaman padi memiliki ruang terbuka sehingga mendapatkan sinar matahari lebih tinggi.

6. Pengendalian OPT secara terpadu a. Pengendalian Gulma secara terpadu

Gulma dikendalikan dengan cara pengolahan tanah sempurna, mengatur air dipetakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, hanya menggunakan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan menggunakan herbisida apabila gulma sudah tinggi. Pengendalian gulma secara mekanis digunakan gasrok karena cara ini lebih efektif dilakukan pada kondisi air dipetakan sawah macak-macak.

Keuntungan cara ini adalah: ramah lingkungan (tidak menggunakan bahan kimia), lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan, meningkatkan udara di dalam tanah dan merangsang pertumbuhan akar padi lebih baik, serta pemberian pupuk lebih efisien.

b. Pengendalian hama dan penyakit

Untuk mendapatkan hasil panen yang optimal dalam budidaya padi, perlu dilakukan usaha pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. Dalam mengendalikan hama dan penyakit, petani juga menggunakan pestisida kimia yang disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Petani mengetahui bahwa penggunaan pestisida hayati aman bagi lingkungan, namun untuk mendapatkan pestisida hayati tersebut sangat sulit dipasar.


(52)

7. Pengelolaan air

Di Desa Aman Damai, petani sistem PTT, pengelolaan air dilakukan dengan menerapkan irigasi berselang yakni dengan cara mengatur waktu pemberian air dan waktu pengeringan. Air diberikan selang 3 hari. Tinggi genangan pada hari pertama lahan diairi sekitar 3 cm selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air. Lahan sawah diairi lagi pada hari ke 4. Pengairan ini berlangsung sampai fase anakan maksimal. Mulai dari fase pembentukan malai sampai pengisian biji, petakan sawah digenangi terus. Sekitar 10-15 hari sebelum tanaman dipanen, petakan sawah dikeringkan. Pemberian irigasi berselang bermanfaat untuk:

a. menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas. b. memberi kesempatan pada akar tanaman untuk mendapatkan udara yang

cukup sehingga akar dapat berkembang lebih dalam. c. mencegah timbulnya keracunan besi pada tanaman padi.

d. mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar.

e. mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif (tidak menghasilkan malai dan gabah).

f. mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat.

g. membatasi perpanjangan ruas batang sehingga tanaman tidak mudah rebah. h. menaikkan temperatur tanah.

i. menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen. j. memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah).


(53)

k. memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama wereng coklat dan penggerek batang, dan mengurangi kerusakan tanaman padi karena hama tikus. Selain itu penerapan irigasi berselang dapat menekan laju gas metan.

4.2. Penerapan dengan Sistem Non PTT di Desa Aman Damai

Di Desa Aman Damai, petani yang tidak menerapkan sistem PTT menggunakan varietas yang sama dengan petani yang menerapkan sistem PTT yakni varietas ciherang. Jarak tanam yang digunakan adalah sistem tegel dengan jarak tanaman 15 x 15. Pupuk yang diberikan pada tanaman padi, pupuk kimia tanpa menggunakan bahan organik seperti pupuk kandang dan pemanfaatan limbah jerami. Jerami padi yang ada dilahan dikumpul kemudian dibakar. Hal ini dapat merusak lingkungan. Pembakaran jerami yang dilakukan selama ini, selain lebih praktis, juga dapat mengusir hama dan penyakit endemik, dampak negatifnya dapat menimbulkan pencemaran udara dan menghilangkan hara dalam jumlah yang cukup banyak. Jerami yang dibakar akan kehilangan N mencapai 93% dan K sebesar 20%. Pemupukan yang selama ini dilakukan petani sesuai dengan rekomendasi pemupukan yang berlaku umum, bahkan petani menggunakan pupuk dengan takaran tinggi.

Penggunaan air irigasi tidak efesien. Petani cenderung untuk menggenangi lahan sawahnya dari sejak bibit padi ditanam sampai tanaman mendekati waktu panen. Penggenangan air terus menerus pada tanaman padi dapat menyebabkan kekurangan kadar oksigen dalam tanah sehingga terbentuknya senyawa-senyawa


(54)

beracun dalam tanah. Keracunan tersebut dapat mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, tanaman kekurangan unsur hara yang dibutuhkan serta menghambat pertumbuhan anakan, dan mengakibatkan lajunya gas metan yang dapat merusak lapisan ozon.

4.3. Hasil Analisis Penggunaan Pestisida

Pengendalian hama dan penyakit sangat penting dilakukan untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Petani melakukan kegiatan pengendalian hama dan penyakit dengan menyemprotkan pestisida yang sesuai dengan gejala serangan pada tanaman. Penggunaan pestisida yang dipakai petani terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pestisida yang Digunakan Petani Sistem PTT dan Non PTT Sistem PTT Non PTT

Jumlah Jumlah Jenis Apli Dosis Pemakai- Jenis Apli Dosis Pemakai Pestisida kasi Rata-rata an Pesti- Pestisida kasi Rata-rata an Pesti- (kali) (ml/ha) sida (kali) (ml/ha) sida

(ml/ha) (ml/ha)

Firtako 2 60,45 1.330,00 Firtako 2 100,00 1.100,00 Bestok EC 1 79,09 1.740,00 Bestok EC 1 91,82 1.010,00 Solusi 1 636,36 14.000,00 Solusi 1 818,18 9.000,00 Skor 1 81,36 1.790,00 Skor 1 95,45 1.050,00 Amistartop 1 11,36 250,00 Amistartp 1 27,27 300,00 Hopcin 1 5,45 120,00 Hopcin 1 16,36 180,00 Rodiamin 1 6,36 140,00 Rodiamin 1 14,55 160,00 Spontan 1 27,27 300,00

Jumlah 14.660,00 13.100,00


(55)

Petani yang menerapkan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan petani yang tidak menerapkan sistem PTT, menggunakan jenis pestisida yang sama yakni: Firtako, bestok, solusi, skor, amistartop, hopcin, rodiamin kecuali pestisida spontan yang digunakan petani non PTT. Perbedaannya terletak pada jumlah dosis yang digunakan. Petani dengan sistem PTT menggunakan pestisida dengan dosis/ha lebih rendah dibandingkan dengan petani non PTT. Hal ini disebabkan karena petani dengan sistem PTT dalam mengendalikan hama dan penyakit berdasarkan sistem pengamatan di lapangan, yakni dengan melihat tingkat serangan gejala hama dan penyakit pada tanaman. Sebaliknya petani non PTT dalam mengendalikan hama dan penyakit tidak berdasarkan pengamatan di lapangan sehingga dosis pestisida yang digunakan melebihi dosis anjuran pestisida. Dalam mengendalian hama dan penyakit, petani sistem PTT menerapkan konsep PHT yakni menekankan pada penggunaan yang rasional (bila perlu saja).

Untuk mengetahui perbedaan rata-rata penggunaan pestisida dengan menggunakan uji beda rata-rata. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis Uji Beda Rata-rata Penggunaan Pestisida, Petani yang Menerapkan Sistem PTT dan Petani Non PTT

Rata-rata Penggunaan

No Uraian n Pestisida (ml) Keterangan

Per Musim Tanam

1 Petani Sistem PTT 22 666,36 Sig. 0.094 2 Petani Non PTT 11 1.764,13


(56)

Hasil analisis menunjukkan nilai sig. 0,094 > 0,05. Dengan nilai ini maka H1 ditolak. Ini berarti tidak ada perbedaan penggunaan pestisida antara petani sistem PTT dengan petani non PTT.

Pemakaian pestisida yang sangat besar berawal dari pelaksanaan program intensifikasi pertanian yang berorientasi pada peningkatan hasil panen yang sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pestisida kimia dapat dengan cepat menurunkan populasi OPT dengan periode pengendalian (residu). Namun akhir-akhir ini disadari bahwa dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, tersembunyi bahaya yang mengerikan yakni kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan. Petani selama ini tergantung pada penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Selain harganya mahal, pestisida juga banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia antara lain: hama menjadi kebal (resisten), peledakan hama baru (resurjensi), penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan generasi mendatang tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya, maka pertanian harus menguntungkan secara ekonomi dan berkelanjutan menurut pertimbangan lingkungan. Penggunaan pestisida alami aman bagi lingkungan. Petani sistem PTT dan non PTT menggunakan pestisida kimia yang sama. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan pestisida organik dipasaran.


(57)

4.4. Hasil Analisis Penggunaan Pupuk

Untuk dapat menghasilkan produksi yang optimal baik kualitas maupun kuantitas, tahap pemupukan sangat diperlukan guna membantu mempercepat dan merangsang pertumbuhan tanaman padi sawah. Dosis pupuk yang diberikan pada tanaman sebaiknya sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Jenis pupuk yang digunakan oleh petani yang menerapkan sistem PTT adalah pupuk kandang, jerami padi, urea, ZA, Poska, SP 36, KCL. Pemupukan dilakukan paling banyak 2 kali. Petani yang tidak menerapkan sistem PTT jenis pupuk yang digunakannya adalah urea, ZA, SP, Poska. Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali. Penggunaan pupuk dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pupuk yang Digunakan Petani Sistem PTT dan Non PTT Sistem PTT Non PTT

Jenis Apli Dosis Jumlah Jenis Apli Dosis Jumlah Pupuk kasi Rata-rata Pemakai- Pupuk kasi Rata-rata Pemakai (kali) (kg/ha) an Pupuk (kali) (kg/ha) an Pupuk

(kg/ha) (kg/ha)

Urea 2 107,73 2.370,00 Urea 2 119,09 1.310,00 Poska 1 35,91 1.128,00 Poska 1 27,45 660,00 ZA 2 51,27 162,50 ZA 2 60,00 272,00 SP 36 1 7,39 790,00 SP 36 1 24,73 302,00 P. Kandang/ 1 1.491,27 18.148,00

Jerami padi

Jumlah 22.598,50 2.544,00

Rata-rata 1.027,20 231,27

Petani sistem pengelolaan tanaman terpadu dengan petani yang tidak menerapkan sistem PTT, menggunakan jenis pupuk yang sama, yakni: urea, poska, ZA, SP 36, kecuali pupuk kandang dan jerami padi yang digunakan petani sistem


(58)

PTT. Petani dengan sistem PTT menggunakan pupuk dengan dosis/ha lebih rendah dibandingkan dengan petani non PTT.

Untuk mengetahui perbedaan rata-rata penggunaan pupuk dengan menggunakan uji beda rata-rata dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis Uji Beda Rata-rata Penggunaan Pupuk, Petani yang Menerapkan Sistem PTT dan Petani Non PTT

Rata-rata Penggunaan

No Uraian n Pupuk (kg/ha) Keterangan

Per Musim Tanam

1 Petani Sistem PTT 22 1.027,20 Sig. 0.000 2 Petani Non PTT 11 231,27

Untuk penggunaan pupuk nilai sig 0.000 ≤ 0,05 maka H1 diterima. Ini berarti ada perbedaan penggunaan pupuk antara petani sistem PTT dengan petani non PTT. Hal ini dapat dilihat pada petani yang menerapkan sistem PTT menggunakan pupuk kandang dan memanfaatkan limbah jerami padi sedangkan pada petani non PTT tidak menggunakan pupuk kandang dan limbah jerami. Jerami dikumpulkan untuk kemudian membakarnya di lahan sawah.

Pupuk kandang biasanya diberikan sebagai pupuk dasar. Pupuk kandang akan mendorong meningkatkan populasi mikrobia di dalam tanah. Penggunaan pupuk organik lebih besar karena didorong dari pemahaman peranan bahan organik dalam memperbaiki sifat fisik tanah, kimia dan biologi tanah.

Di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat, petani sistem PTT menggunakan pupuk kandang dengan cara pupuk disebar merata di lahan sawah,


(59)

dua minggu sebelum pengolahan lahan. Untuk pemanfaatan jerami padi, jerami dibiarkan melapuk langsung di sawah selama musim tanam. Penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Departeman Kimia Tanah IRRI menunjukkan bahwa pembenaman kembali jerami di lapangan secara nyata meningkatkan hara di dalam tanah.

4.5. Analisis Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Sistem PTT dan Non PTT

4.5.1. Analisis Uji Beda Rata-Rata Produktivitas

Usahatani dengan sistem PTT memberikan produksi yang cukup tinggi dibandingkan usahatani non PTT. Produksi padi sawah di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Produksi dan Produktivitas Usahatani yang Menerapkan Sistem PTT dan Usahatani Non PTT

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Strata Luas Lahan Produksi Produktivitas

(Ha) (Ton) (Ton/ha)

Sistem PTT Non PTT Sistem PTT Non PTT Sistem PTT Non PTT I 0,39 0,24 3,23 2,16 8,57 7,38 II 0,78 0,70 7,45 4,13 9,49 6,00 III 2,17 1,30 14,7 6,50 7,17 5,00 Jumlah 15,45 5,60 122,30 34,00 187,97 74,65 Rata- 0,70 0,51 5,56 3,09 8,54 6,79 rata

Untuk mengetahui perbedaan rata-rata produktivitas usahatani padi sawah dapat dilihat pada Tabel 8.


(60)

Tabel 8. Analisis Uji Beda Rata-rata Produktivitas Usahatani yang Menerapkan Sistem PTT dan Usahatani Non PTT

Rata-rata Penggunaan

No Uraian n Pupuk (kg/ha) Keterangan

Per Musim Tanam

1 Petani Sistem PTT 22 8,54 Sig. 0.007 2 Petani Non PTT 11 6,79

Rata-rata produktivitas usahatani padi sawah per musim tanam untuk usahatani padi sawah yang menerapkan sistem PTT adalah: 8,54 ton/ha. Petani yang tidak menerapkan sistem PTT produktivitasnya sebesar 6,79 ton/ha. Produktivitas petani dengan sistem PTT lebih tinggi bandingkan dengan produktivitas petani non PTT. Hal ini disebabkan oleh banyaknya hasil panen padi/ha, di mana petani dengan sistem PTT menghasilkan padi 8,54 ton/ha dibandingkan dengan petani non PTT sebesar 6,79 ton/ha. Artinya, petani dengan sistem PTT mampu meningkatkan produksi sebesar 1,75 ton/ha.

Untuk mengetahui perbedaan rata-rata produktivitas usahatani padi sawah antara petani yang menerapkan sistem PTT dengan petani non PTT, dengan menggunakan uji beda rata-rata. Hasil analisis menunjukkan nilai sig. 0,007 berarti H1 diterima. Produktivitas antara petani yang menerapkan sistem PTT dengan petani non PTT berbeda nyata. Peningkatan produktivitas disebabkan penggunaan varietas unggul, adanya perubahan pada sistem tanam yaitu dengan menerapkan sistem legowo, pemupukan dengan asupan bahan organik (pupuk kandang dan jerami padi), pengairan irigasi berselang, serta pengendalian OPT secara terpadu.


(61)

4.5.2. Analisis Uji Beda Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi Sawah

Usahatani yang menerapkan sistem PTT, pendapatannya lebih tinggi dibandingkan usahatani non PTT. Pendapatan usahatani padi sawah di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Pendapatan Usahatani Padi Sawah yang Menerapkan Sistem PTT dan yang Tidak Menerapkan Sistem PTT

Rata-rata Rata-rata Strata Luas Lahan Pendapatan

(Ha) (Rp/ha)

Sistem PTT Non PTT Sistem PTT Non PTT I 0,39 0,31 19.424.330,00 15.963.853,81 II 0,78 0,70 22.084.886,56 12.070.996,67 III 2,17 1,30 15.570.996,67 9.504.330,00 Jumlah 15,45 5,60 426.417.482,22 157.464.296,67

Rata- 0,70 0,51 19.382.612,83 14.314.936,06 rata

Untuk mengetahui perbedaan rata-rata pendapatan usahatani padi sawah dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Analisis Uji Beda Rata-rata Pendapatan Usahatani yang Menerapkan Sistem PTT dan Petani Non PTT

Rata-rata Pendapatan

No Uraian n (Rp/ha) Keterangan

Per Musim Tanam

1 Petani Sistem PTT 22 19.382.612,83 Sig. 0.008 2 Petani Non PTT 11 14.314.936,06

Rata-rata pendapatan per musim tanam usahatani padi sawah yang menerapkan sistem PTT sebesar Rp. 19.382.612,83 dan usahatani non PTT sebesar 14.314.936,06.


(62)

Pendapatan usahatani dengan sistem PTT lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani non PTT. Hal ini disebabkan oleh banyaknya hasil panen padi/ha, di mana usahatani dengan sistem PTT menghasilkan padi 8,54 ton/ha dan usahatani non PTT sebesar 6,79 ton/ha. Artinya, petani dengan sistem PTT mampu meningkatkan produksi sebesar 1,75 ton/ha.

Berdasarkan hasil analisis uji beda rata-rata diperoleh nilai sig. 0.008 ≤ 0,05 maka H1 diterima. Ini berarti ada perbedaan pendapatan antara usahatani yang menerapkan sistem PTT dengan usahatani non PTT.

4.6. Analisis Peningkatan Keanekaragaman Makro Fauna Tanah

Indeks keanekaragaman makro fauna lahan sawah usahatani yang menerapkan sistem PTT dan usahatani non PTT diidentifikasi di laboratorium FMIPA USU. Hasil indeks keanekaragaman jenis serangga dalam habitat padi sawah yang menerapkan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Desa Aman Damai, dapat dilihat pada Tabel 11.


(1)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Sesuai dengan hasil penelitian pada Bab V dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penggunaan pestisida pada usahatani yang menerapkan sistem PTT dengan

usahatani non PTT tidak berbeda nyata. Dalam pengendalian hama dan penyakit, usahatani yang menerapkan sistem PTT menggunakan jenis pestisida yang sama dengan usahatani non PTT. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan pestisida organik di pasar.

2. Penggunaan pupuk pada usahatani yang menerapkan sistem PTT dengan usahatani non PTT berbeda nyata. Usahatani sistem PTT menggunakan pupuk kandang dan jerami padi pada lahan sawahnya, pada usahatani non PTT tidak menggunakan pupuk kandang dan limbah jerami padi. Jerami padi dikumpul kemudian dibakar di lahan sawah yang mengakibatkan kurangnya unsur hara tanaman dan pencemaran udara.

3. Produktivitas dan pendapatan usahatani padi sawah yang menerapkan sistem PTT dengan usahatani non PTT berbeda nyata. Rata-rata produktivitas dan pendapatan usahatani padi sawah yang menerapkan sistem PTT lebih besar daripada usahatani non PTT.

4. Indeks keanekaragaman makro fauna pada lahan sawah antara usahatani yang menerapkan sistem PTT dengan non PTT secara deskriptif, populasi pada lahan sawah usahatani sistem PTT lebih banyak jumlah dan jenisnya dibandingkan


(2)

dengan usahatani non PTT. Menurut perhitungan Simpson (D) indeks keanekaragaman yang menerapkan sistem PTT didapat hasilnya 0,796 dan yang tidak menerapkan sistem PTT didapat hasilnya 0,774. Ini berarti ekosistemnya stabil dari segi serangganya.

5. Nutrien tanah antara usahatani yang menerapkan sistem PTT dengan usahatani non PTT berbeda, di mana nutrien tanahnya terlihat dari C-organik, N dan P, sangat tinggi sedangkan usahatani non PTT C-organik, N sedang bahkan P nya sangat rendah. Hal ini disebabkan pada lahan sawah usahatani yang non PTT, jerami padi dibakar di lahan sawahnya. Ini dapat menyebabkan berkurangnya unsur hara tanaman dan pencemaran lingkungan.

6.2. Saran

1. Untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani padi sawah, serta menjaga kelestarian lingkungan, sebaiknya usahatani non PTT dapat mengikuti penerapan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).

2. Untuk mempertahankan kesuburan tanahnya, hendaknya petani menggunakan pupuk kandang dan memanfaatkan jerami padi sebagai pupuk organik daripada membakarnya di lahan sawah yang mengakibatkan kerusakan lahan dan lingkungan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman. S, Suparyono, I.N. Widiarta, Udin. S. Nugraha dan A. Hasanuddin. 2000. Lokakarya Padi, Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sukamandi, 22 Maret 2000.

Adiningsih, Sri J. 1984. Pengaruh Beberapa Faktor Terhadap Penyediaan Kalium Tanah Sawah Daerah Sukabumi dan Bogor. Disertasi. Doktor Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Adiningsih dan Sri Rochayati. 1988. Peranan Bahan Organik dalam Meningkatkan Efisiensi Pupuk dan Produktivitas Tanah. Dalam M. Sudjadi et al. (ed.) Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Puslittan, Bogor

Arafah, 2002. Efektivitas Pemupukan P dan K pada Lahan Bekas Pemberian jerami Selama 3 Musim Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan. J. Sains & Teknologi, Agustus 2004, Vol. 4 No. 2: 65-71. ISSN 1411-4674.

Arifin, Z., Suprapto, & A.M. Fagi. 1993. Pengaruh Kalium Anorganik dan Organik Terhadap Hasil Padi Sawah. Balittan, Sukamandi.

Basyir, A. & Suyamto, 1996. Penelitian Padi untuk Mendukung Pelestarian Swasembada Pangan. Pros. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balittan Padi. Badan Litbang Pertanian. Buku I.

BPTP, 2004. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

---, 2004a. Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah – Meningkatkan Hasil Panen dan Menghemat Saprodi. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. International Rice Research Institute.

Budianto, D. 2003. Kebijaksanaan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu di Indonesia. Prosiding Lokakarya Pelaksanaan Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) Tahun 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor.


(4)

Budi H. R, 2004. Pengendalian Kerusakan Lahan, Hutan dan Air. Infomatek Volume 6 Nomor 1 Maret 2004. Jurusan Teknik Planologi Fakultas Teknik Universitas Pasundan.

Deptan. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Departemen Pertanian, Jakarta.

______. 2003. Petunjuk Teknis Penelitian dan Pengkajian Nasional Tanaman Pangan. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Dobermann, A; T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient

Management. Potash and Potash Institute/Potash and Potash Institute of Canada.

FAO. 1989. Sustainable Agriculture Production: Implications for International Agriculture Research. Dalam FAO Research and Technology Paper 4, Rome, Italy.

Hadiwigeno, S. 1993. Kebijaksanaan dan Arah Penelitian Pupuk dan Pemupukan dalam Menghadapi Tantangan Peningkatan Produksi Tanaman Pangan di Masa Datang. J. Litbang Pertanian, XII (1): 10-15.

Istuti Wigati dan Endah R, 2000. Paket Teknologi Usahatani Padi. Proyek Pembinaan Pembangunan Pertanian Terpadu di Kabupaten/Dati II se Jawa Timur Th. 1999/Th. 2000. IPPT Wonocolo. Jawa Timur.

Las, H.M. Toha, dan A. Gani. 2002. Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Las, I; A. Gani, dan I.N.Widiarta. 2003. Juknis Litkaji PTT. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Mario, Muljady. 2003. Peningkatan Produksi Padi Melalui Peningkatan Efesiensi Pemupukan P dengan Pemberian Bahan Organik. Jurnal Agroland, edisi khusus Oktober, 2003.

Nasoetion, L. Dan J. Winoto, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan, hal 64-82. Dalam Hermanto (Ed). Prodising Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.


(5)

Odum, Eugene P, 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Rochayati, Sri, Mulyadi, dan J. Sri Adiningsih. 1991. Penelitian Efisiensi

Penggunaan Pupuk di Lahan sawah. Hal. 107-143. Dalam Pros. Lokakarya

Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13 Nopember 1990. Puslittanak.

Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sharma, A.R.; B.N. Mittra. 1991. Effect of Different Rates of Application of Organic and Nitrogen Fertilizers in a Rice Based Cropping System. J. of Agr.2: 3038. Soekartawi, 1995. Analisis Usahatani. UI Press, Jakarta.

Soepeno. 1997. Statistik Terapan Dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta.

Sugiyono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.

Supardjo. 1994. Analisis Permintaan Beras. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sutanto, R. 2002. Gatra Tanah Pertanian Akrab Lingkungan dalam Menyongsong Pertanian Masa Depan. Jurnal Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Sekip Unit I, Yogyakarta.

Suyamto; Abdulrachman S; Wardana Putu I; Sembiring H; Widiarta Nyoman I. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu PTT) Padi Sawah Irigasi – Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998. Laporan Hasil Penelitian Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. 386p.

Widodo, Sri. 2001. Reformasi Pembangunan Pertanian. Sumbangan Pemikiran pada Lokakarya Pada Seri Reformasi Pembangunan Pedesaan. BAPPENAS. Oktober 2000 – Januari, hal 9.


(6)

Winoto, 1995. Impact of Urbanization on Agricultural Development In The Northem Coastal Region of West Java. Michigan State University and University Microfilm, Inc., USA.

Zaini et, al. 2002. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan Padi Terpadu 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.