Suasana Pelajar Indonesia Belajar Di Jepang Pada Saat Perang Pasifik

(1)

SUASANA PELAJAR INDONESIA BELAJAR DI JEPANG PADA SAAT PERANG PASIFIK

( DAITOU AJIA SENSOU NO TOKI NO NIHONG DE MANANDA INDONESIA NO GAKUSEI NO JYOUTAI )

KERTAS KARYA

O

L

E

H

MELFA SITINJAK

092203029

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG DIII

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

SUASANA PELAJAR INDONESIA BELAJAR DI JEPANG PADA SAAT PERANG PASIFIK

( DAITOU AJIA SENSOU NO TOKI NO NIHONG DE MANANDA INDONESIA NO GAKUSEI NO JYOUTAI )

KERTAS KARYA

Kertas Karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non- Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu

syarat ujian Diploma III dalam bidang Studi Bahasa Jepang. Dikerjakan

OLEH :

MELFA SITINJAK 092203029

Pembimbing, Pembaca,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum

Nip. 196009191988031001 195807041984121001 Prof.Hamzon

Situmorang,Ms.Ph.D

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG DIII FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh

Panitia Ujian Program Pendidikan Non- Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan,

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang studi Bahasa Jepang.

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Nip. 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A.

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan 1. Zulnaidi, S.S., M.Hum ( ) 2. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum ( )


(4)

Disetujui oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan

Program studi D III Bahasa Jepang Ketua Program Studi

Nip. 196708072004011001 Zulnaidi, SS, M. Hum


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini guna untuk melengkapi syarat mencapai gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul kertas karya ini adalah “ Suasana Pelajar Indonesia Belajar Di Jepang Pada Saat Perang Pasifik”.

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini jauh dari sempurna, baik dari pengkajian kalimat, penguraian materi, dan pembahasan masalah. Tetapi berkat dari bimbingan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulnaidi, S.S,M.Hum. selaku Ketua Program Studi Diploma III Bahasa Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan fikirannya untuk membingbing dan memberikan petunjuk kepada penuli dalam menyelesaikan kertas karya ini.

4. Bapak dan ibu dosen (Sensei tachi), serta seluruh staff pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara atas arahan, bimbingan, dan ilmu yang di berikan kepada penulis selama menjadi mahasiswi program studi Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.

5. Karya ini ku persembahkan kepada kedua orang tua ku M. Sitinjak (Bapak) dan Ibu R. Saragih (Lovely Mommy), makasih banyak atas doa dan kerja keras kalian selama ini sampai aku bisa menyelesaikan studi ku sampai saat ini, Tuhan Yesus s’lalu memberkati dan melindungi kita sekeluarga.

6. Ku persembahkan juga kepada adik-adik ku Erwinsyah Sitinjak, Melisa Wati Sitinjak, Bela Esperansa Sitinjak, dan adik ku yang palin manja Moses Aditya Sitinjak, jadi anak yang baik dan patuh kepada perintah mamak dan bapak.

7. Karya ini juga ku persembahkan untuk Bethel Ginting S.Sos, yang penuh cinta kasih dan selalu setia mendoakan dan menemani ku saat senang maupun bener-bener susah.

8. Terimakasih buat teman-teman Bahasa Jepang ’09 atas kebersamaan kita selama ini, terkhusus buat Evelyn, Wiraswasta, Aisyah, Hartono, Melda, Arwin dan Agus.


(6)

9. Terimakasih sahabat Mayoniez SMA N 17 Medan Leylisa Sihotang dan Marina Nainggolan buat dukungan dan semangat nya.

10.Terimakasih buat My GrandMa (+) & GrandPa (+) yang tidak bisa mendampingi ku sampai akhir studi ku.

11.Terimakasih buat Himpunan Mahasiswa Departemen Bahasa Jepang HINODE.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat-Nya yang berlimpah atas semua bantuan yang telah di berikan kepada penulis. Akhirnya penuli berharap emoga kertas karya ini dapat menambah dab memperluas pengetahuan kita, sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan terimakasih, Tuhan Yesus Memberkati.

Medan, Juli 2012

Melfa Sitinjak 092203029


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii BAB I PENDAHULUAN

1.1 ... Al

asan Pemilihan Judul ... 1 1.2 ... Tu

juan Penulisan ... 2 1.3 ... Ba

tasan Masalah ... 3 1.4 ... M

etode Penulisan ... 3 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDIDIKAN DI JEPANG 2.1 Keterbukaan Negara Jepang Terhadap Pelajar Asing ... 5 2.2 Motif yang Mendorong Pelajar Indonesia Belajar ke Jepang ... 6

BAB III SUASANA BELAJAR DI JEPANG PADA SAAT PERANG PASIFIK


(8)

3.1. ...

Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang ... 8 3.2. ...

Suasana Belajar di Jepang Pada Perang Pasifik ... 17

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 21 4.2 Saran ... 22 DAFTAR PUSTAKA ... 23


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Perang Pasifik atau Perang Asia Pasifik, atau yang dikenal di

Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War Dai Tō-A Sens

adalah perang yang terjadi di

terjadi antara tahun

setelah

Jepang adalah negara yang mempunyai cita-cita untuk bisa menjadi negara pemimpin bangsa di Asia. Secara ekonomi Jepang ingin memenangkan perang di Asia Timur untuk menjamin tersedianya bahan mentah untuk industri dan operasi militernya. Pada akhirnya Jepang berhasil menduduki wilayah-wilayah di Asia Pasifik dan Jepang juga mendatangi Indonesia. Awalnya Indonesia menerima dan menyambut baik atas kedatangan Jepang karena ini dilatarbelakangi oleh citra baik yang dibawa Jepang pada saat pemerintahan


(10)

Hindia Belanda dan adanya dugaan bahwa Jepang akan dapat membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Namun pada kenyataanya, Jepang datang ke Indonesia hanya karena ingin menguasai kekayaan negara Indonesia sehingga Jepang menjajah Indonesia dengan sangat kejam. Jepang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun dan mengakibatkan penderitaan terhadap masyarakat Indonesia yang jauh lebih menderita dan sengsara dari pada penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun. Dalam melakukan penjajahan, Jepang merekrut dan melatih pemuda-pemuda Indonesia untuk berlatih militer dan membentuk kesatuan militer yang beranggotakan para pemuda maupun pemudi Indonesia.

Tidak hanya itu saja, Jepang menerapkan system ekonomi perang di Indonesia yang bertujuan untuk mengambil semua sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Indonesia untuk kepentingan perangnya. Jepang mengarahkan sumber daya manusia untuk bekerja “romusa” yaitu system kerja paksa yang dilakukan oleh Jepang terhadap masyarakat Indonesia.

Tetapi pada zaman pemerintahan Jepang di Indonesia, Jepang membuka kesempatan kepada pelajar Indonesia yang ingin belajar ke Jepang. Dari Indonesia sudah ada golongan pemuda yang berani menempuh perlawatan ke Jepang sekalipun menghadapi tantangan bahasa. Dengan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menulis sebuah tulisan dari pengalaman pelajar Indonesia yang pernah belajar di Jepang, mulai dari sebelum perang, selama perang, dan beberapa tahun setelah perang pasifik.


(11)

1.2. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan masalah yang sebagaimana telah di kemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan tentang Suasana Pelajar Indonesia Belajar di Jepang pada saat perang pasifik

2. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca serta mahasiswa mengenai Pendidikan di Jepang

3. Dapat dijadikan referensi bagi pembaca apabila ingin melakukan penelitian dengan topik yang sejenis.

1.3. Batasan Masalah

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tidak terlalu luas. Pada penulis kertas karya ini hanya membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada Suasana Pelajar Indonesia Belajar di Jepang pada perang pasifik yaitu pada tahun 1942-1960.

1.4. Metode Penulisan

Dalam penulisan Tugas Akhir ini, penulis menggunakan metode penulisan deskriptif. Metode deskriptif ini digunakan untuk mengukur dengan cermat fenomena


(12)

yang terjadi atau berlangsung. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang berdasarkan atau bersifat deskriptif dapat memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif ini juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data atau bahan yang telah dikumpulkan sebelumnya dalam proses penelitian tersebut.

Metode deskriptif sering juga disebut dengan metode penulisan studi dokumenter atau yang biasa disebut dengan studi kepustakaan (Library Research). Menurut Nawawi (1991:133), Studi kepustakaan merupakan suatu metode penulisan penelitian yang mengumpulkan data dengan atau melalui peninggalan tertulis, berupa arsip-arsip, termaksud buku-buku tentang pendapat, teori, dalil (hukum) dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah pencarian dan pengumpulan data yang diperlukan dalam proses penulisan penelitian tersebut. Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan tema penulisan. Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.


(13)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDIDIKAN DI JEPANG

2.1. Keterbukaan Negara Jepang Terhadap Pelajar Asing

Di Jepang perlawatan belajar ke luar negeri mempunyai sejarah yang tua, sesuai dengan tradisi bangsa yang haus belajar dari peradaban yang dipandangnya lebih tinggi dari peradabannya sendiri. Karena bagi Jepang pendidikan menjadi ujung tombak kemajuan suatu negara. Di abad ke 8 Jepang telah melancarkan suatu program perlawatan belajar keluar negeri, ke kawasan China dan baru ke abad ke 19 ditingkatkan secara menyolok dengan program studi banding kaum pemuda ke Perancis, Inggris, Jerman, dan Amerika, sesuai dengan kebutuhan yang mendesak akan pengetahuan dan ketrampilan baru pada era Meiji yang bermula pada tahun 1868.


(14)

Pada masa-masa awal restorasi Meiji ada gagasan yang di sebut Datsu A Ron (keluar dari Asia). Target yang paling utama ialah “mengejar sehingga melampaui negara-negara Barat”. Dalam usaha itu Jepang mengikuti contoh negara Barat sehingga berekspansi dan menjajah negara-negara tetangga sebelum perang dunia (PD) II.

Sejak zaman restorasi Meiji inilah Jepang telah menempatkan ilmu dan pendidikan dalam posisi penting (1860-an-1880-an). Pada akhir 1888, dikatakan, terdapat sekitar 30.000 pelajar yang belajar pada 90 buah sekolah swasta di Tokyo. Sekitar 80 persennya berasal dari luar kota. Pelajar miskin diberi beasiswa. Maka dari itu Negara Jepang terbuka dengan pelajar-pelajar asing.

Pada pemerintahan Jepang di Indonesia mulai ada pengiriman siswa-siswa Indonesia dalam rombongan ke Jepang. Kesempatan tidak terbatas pada lapisan atas, melainkan terbuka bagi semua lapisan, asal lulus dari serangkaian ujian yang diselenggarakan di kantor-kantor pemerintah di daerah dan di pusat (Jakarta). 2.2. Motif Yang Mendorong Pelajar Indonesia Belajar ke Jepang

Jepang datang ke Indonesia di saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Saat itu Indonesia sangat ingin lepas dari penjajahan Belanda dan ingin menjadi suatu negara yang Merdeka. Dengan kedatangan Jepang di Indonesia ini, rakyat Indonesia menyimpan harapan bahwa Jepang lah yang akan membantu


(15)

Indonesia lepas dari penjajahan Belanda. Karena itu rakyat Indonesia sangat senang menerima kedatangan Jepang dan percaya terhadap Jepang.

Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang telah berhasil mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Keesokan harinya Jepang benar-benar berhasil menduduk i daerah ini karena Belanda yang menguasai daerah Tarakan menyerah terhadap Jepang dan mereka sama sekali tidak melakukan suatu perlawanan terhadap Jepang. Jepang yang telah berhasil menuduki sebagian dari wilayah Indonesia, memperkuat kekuasaannya di Indonesia. Jepang pun membuat peraturan perundang-undangan yang menetapkan adanya suatu pemerintahan baru dan menghapus sistem pemerintahan lama yang telah ada sebelumnya. Pihak pemerintahan militer Jepang berusaha men-Jepang-kan segala sesuatu yang ada di Indonesia. Seperti mengubah penentuan tanggal, tahun, jam, mata uang serta sistem pendidikan yang di sesuaikan dengan keadaan yang ada di Jepang.

Pada zaman pemerintahan Jepang di Indonesia mulai ada pengiriman siswa-siswa Indonesia dalam rombongan ke Jepang. Kesempatan tidak terbatas pada lapisan atas, melainkan terbuka bagi semua lapisan, asal lulus dari serangkaian ujian yang diselenggarakan di kantor-kantor pemerintah di daerah dan di pusat (Jakarta). Banyak kaum pemuda dari berbagai kota yang tertarik dan mengikuti serangkaian ujian yang di selenggarakan di Jakarta

Motifasi Kaum pemuda dikala itu adalah untuk meraih pengetahuan dan profesi dibarengi suatu cita-cita politik berhubung di kala itu berada di zaman penjajahan asing dan menginginkan cita-cita mencari perbaikan nasib, melalui


(16)

kesempatan meraih profesi yang layak di kalangan masyarakat, ingin berbakti kepada masyarakat, dan ingin menyumbang kepada karya nasional membangun bangsa dan negara.

Oleh karena itu dengan memahami latar belakang suasana politik yang ada selama perang pasifik dapat disimpulkan bahwa motifasi pelajar Indonesia pergi ke Jepang untuk belajar dengan kesadaran politik.

“Pemuda-pemuda pendatang pertama terdorong terutama oleh kesadaran politik, tetapi pemuda-pemuda yang datang kemudian tertarik oleh berbagai alasan lain.”

Pemuda-pemuda yang datang kemudian tertarik oleh berbagai alasan, dikatakan diantaranya:

1. Karena anjuran teman-teman yang pernah melawat ke Jepang 2. Karena keinginan orang tua.


(17)

BAB III

SUASANA BELAJAR DI JEPANG PADA SAAT PERANG PASIFIK

3.1. Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang

Pada zaman pemerintahan Jepang di Indonesia, Jepang membuka kesempatan kepada pelajar Indonesia yang ingin belajar ke Jepang. Kesempatan terbuka untuk semua kalangan, dengan mengikuti serangkaian ujian yang di adakan di Jakarta.

Dari seluruh pulau Jawa berkumpul pemuda-pemuda sejumlah 72 orang kemudian di seleksi, sehingga jumlah pemuda yang akan dikirm hanya 20 orang. Setelah lulus dari ujian seleksi babak akhir, pemuda-pemuda yang lulus masuk ke asrama latihan di gedung Jl.Cilacap II, yaitu Departemen Pendidikan dan Agama pada zaman Belanda. Rombongan siswa yang berkumpul di gedung Jl.Cilacap II mula-mula terdiri dari 23 orang. Tetapi pada saat menjelang keberangkatan rombongan ke Tokyo, diadakan ujian final untuk menetapkan rombongan siswa sejumlah 20 orang. Berarti bahwa 3 orang harus gugur dalam ujian final.


(18)

Di pelabuhan Tanjung Priok koper-koper para siswa dibuka dan diperiksa oleh polisi militer Jepang. Kapal pengangkut barang yang akan membawa rombongan ke Singapura sudah tua dan kecil, dan tampaknya adalah kapal buatan Jepang karena dalam kabin terpasang tikar Jepang (tatami).

Kapal berlayar zig-zag, dan setelah dua hari tiba dengan selamat di Singapura. Dari pelabuhan rombongan dibawa dengan sebuah bus bagus ke hotel di kota. Kota Singapura dalam suasana pendudukan Jepang sama sekali tidak memperlihatkan aspek-aspek keindahan kota, jauh berbeda dengan suasana pagi dan petang hari di Indonesia. Setelah lebih kurang dua minggu di Singapura maka datanglah perintah untuk meneruskan perjalanan dengan kapal laut ke Jepang. Kapal yang digunakan ialah Iwamaru, keadaan di Iwamaru berbeda dengan kapal yang membawa kami dari tanjung priok ke Singapura. Iwamaru penuh dengan militer Jepang. Untuk dapat mengangkut orang sebanyak mungkin, maka tiap dek dibagi menjadi dua tingkat sehingga orang dapat tidur dan duduk akan tetapi tidak dapat berdiri di kolong. Meskipun tentara sekutu telah mundur ke benua Australia, kapal selamnya diduga masih berada di Laut Cina Selatan untuk mengacau konvoi kapal-kapal Jepang. Pada suatu hari pluit tanda bahaya dibunyikan dan semua penumpang harus menggunakan pelampung dan bersiap menghadapi bahaya. Ini adalah satu-satunya tanda bahaya selama perjalanan. Iwamaru tidak membawa cukup air tawar, maka penumpang tidak dapat mandi. Kira-kira setelah seminggu di laut terbuka cuaca berubah, awan hitam mengepul dan kemudian mencair menjadi hujan lebat, membuat keadaan di kapal agak sejuk


(19)

serta memberi kesempatan untuk mandi. Setelah sekian hari di jemur di terik matahari, air hujan sungguh membuat segar kembali.

Iwamaru terus meluncur tanpa menghiraukan bahaya perang serta pergantian cuaca dan setelah melewati selat Taiwan dapat melihat banyak pulau kecil di Laut Cina Timur, termasuk Okinawa yang di bulan-bulan menyerahnya Jepang menjadi medan pertempuran yang sangat dahsyat. Akhirnya pada tanggal 28 Juni 1943 Iwamaru menurunkan jangkarnya di Moji, suatu pelabuhan di Pulau

Kyushu berhadapan dengan Shimonoseki di Honshu, pulau utama di Negara

Jepang, dipisahkan oleh selat Shimonoseki. Kedua pulau ini dihunungkan oleh terowongan di bawah laut. Iwamaru tidak merapat di dermaga melainkan berlabuh diluar pelabuhan. Dan harus turun melalui tangga tali seperti jala ke kapal kecil yang membawa ke dermaga. Keberangkatan menuju Jepang dari pelabuhan Singapura dengan menggunakan kapal Iwamaru sangat mengesankan karena rombongan siswa diberangkatkan bersama-sama dengan rombongan pasukan Jepang yang dipulangkan ke negerinya.

Setelah menyelesaikan formalitas imigrasi rombongan ditempatkan di suatu ryokan (rumah penginapan khas Jepang) bersama-sama dengan guru-guru pembimbing. Begitu tiba di ryokan tamu harus menanggalkan sepatu di genkan

(bagian muka penginapan) dan mengenakan surippa (selop) sebelum menuju ke kamar melalui roka (lantai kayu antara kamar-kamar). Berbeda dengan kapar di hotel, kamar-kamar kanan kiri rokka tidak bertembok melainkan ditutup pintu


(20)

atau kekiri. Karena ryokan ini dimaksudkan untuk melayani rombongan maka kamarnya besar-besar, satu kamar cukup untuk sepuluh sampai dua puluh orang.

Setelah melewati pintu fusuma harus menanggalkan surippa masuk ke dalam kamar yang letaknya agak tinggi dari lantai yang melewati pintu sorong yang terbuat dari kerangka kayu yang ditempeli dengan kertas tipis yang dinamakan shoji. Kamar berlantaikan tatami yang dibuat dari jerami dilapis dengan tikar halus, sedangkan pinggirannya ditutup dengan pita hitam. Besar kecil kamar ditentukan oleh jumlah tatami. Didalam ruagan yang besar itu tidak ada meja, kursi, ataupun tempat tidur. Di ujung kamar ada tumpukkan bantal kecil untuk duduk, namanya zabuton. Kamar seperti ini dapat dipakai untuk tidur, makan, pertemuan, dan juga bersantai. Untuk melepaskan lelah dari pelayaran yang lama dan berbahaya itu, disediakan mandi air panas yaitu o furo. Mandi o furo merupakan suatu kemewahan bagi Jepang yang kekurangan bahan bakar. Setelah mandi menggunakan yukata, yakni kimono yang disediakan untuk para tamu.

Kamar besar yang semula kosong berubah menjadi kamar makan. Meja kecil, pendek dijajar dalam bentuk huruf O persegi panjang dan didepan setiap meja diletakkan zabuton. Di atas setiap meja terdapat kaki kayu dicat dengan hiasan lukisan bunga. Diatasnya terdapat semangkok nasi, soup tauco, ikan panggang, tsukemono yakni acar Jepang, dan nori, hasil laut seperti kertas karbon. Selain itu terdapat teko kecil berisi teh Jepang serta cangkir kecil. Untuk makan disediakan hashi atau sumpit dibuat dari kayu ringan yang harus dibelah sebelum dipakai. Penyajian makanan terlihat mengandung seni, rapi, sehingga enak dilihat.


(21)

Pada saat itu keadaan makanan terbatas. Di Jepang semua bahan makanan dan pakaian sudah ditentukan.

Kamar besar kini berubah menjadi kamar tidur, kasurnya disebut futon

dijajar dari ujung ke ujung. Cara tidur ialah diatas dua lembar shikibuton (kasur bawah yang ditutupi dengan sprei putih) dan sebagai selimut digunakan kakebuton

(kasur tipis, ringan tetapi cukup hangat)

Esok harinya pelajar menuju Shimonoseki dan dengan kereta api meneruskan perjalanan ke Tokyo. Angkutan kereta api di Jepang sangat maju dari pada angkutan darat lainnya. Negara Jepang terdiri dari pegunungan, akan tetapi bangsa Jepang tidak mau menyerah kepada gunung-gunung yang menghalang jalur kereta api. Maka ratusan terowongan digali. Jarak antara Shimonoseki dan Tokyo lebih kurang 1.100 km. kereta api melewati kota-kota besar Hiroshima, Kobe, Osaka, Kyoto, Nagoya, dan Yokohama serta banyak kota kecil, perjalanan melewati laut, tengah-tengah sawah dan tanah tegalan. Dari kerta api juga dapat melihat Gunung Fuji, yakni gunung keramat bangsa Jepang yang pucaknya dihias salju sepanjang masa.

Pelajar-pelajar di jemput wakil-wakil Jepang dan perwakilan dari Indonesia ialah Bapak Umarjadi dan pemuda-pemuda Omar Barack dan Hasan Basri. Dari peron pelajar berbaris menuju ruang makan Station Hotel untuk makan siang dan mendengarkan sambutan selamat datang serta petunjuk-petunjuk. Setekah itu pelajar-pelajar kemudian berbaris menuju kyujo hiroba, yakni lapangan dimuka istana kaisar. Dari lapangan istana pelajar kembali ke stasiun


(22)

Tokyo dan naik Yamate sen, yakni sepur listrik yang melaju dalam dua jurusan mengitari kota praja Tokyo. Dan dari situ menuju Sibuya, salah satu stasiun besar yang juga melayani trem listrik ke berbagai jurusan termasuk sepur listrik di bawah tanah. Dari Sibuya pindah ke Tokyo sen, trem listrik swasta yang menghubungkan stasiun ini dengan Yokohama. Dan turun di stasiun keempat yang bernama Daiichi Shihan, stasiun kecil dengan dua peron, sedangkan di sekelilingnya banyak toko-toko kecil.

Dari stasiun pelajar berbaris menuju ke asrama bernama Hong Ryo. Asrama ini berbentuk seperti Ryokan, terdiri dari kamar-kamar untuk satu orang berukuran enam tatami. Ditiap kamar ada tokonama, yakni semacam ruang sempit yang biasanya dihias dengan karangan bunga dan kakemono (lukisan kaligrafi) yang digantung di dinding. Di sebelah tokonama terdapat ruang yang disebut

oshire yang terdiri dari dua bagian, di atas untuk menyimpan futon dan dibawah untuk barang lain, dan disebelahnya untuk menggantung pakaian.

Terdapat dua macam jendela, jendela dalam dari kaca dan jendal luar dari papan. Kedua macam jendela ini dibuka dan ditutup secara disorong. Asrama ini dilengkapi dengan dapur, kamar kecil dan tempat cuci muka. Tetapi tidak ada kamar mandi, karena mereka mandi dipemandian umum yang disebut sento.

Pelajar tidak lama tinggal di Hongo Ryo dan pindah ke asrma di Shimo Meguro. Kalau Hongo Ryo diperuntukkan bagi mahasiswa dari berbagai Negara, asrama di Shimo Meguro hanya untuk rombongan dari Indonesia. Asrama ini terletak agak jauh dari jalan raya atau statsiun maka tidak ada angkutan umum.


(23)

Asrama ini pun tidak dilengkapi kamar mandi. Pemuda Indonesia hanya di beri dua stell seragam, satu untuk musim panas dan satu untuk musim dingin. Tidak begitu lama setelah pemuda Indonesia pindah ke asrama di Shimo Meguro maka datang lah empat pemuda dari keluarga Keraton Solo dan Yogyakarta. Mereka adalah Sukisman, Sandjojo, Suhardji, dan Kustedjo. Dengan kedatangan mereka jumlah penghuni asrama menjadi 24 orang. Tugas pertama segala program kehadiran pemuda-pemuda di Jepang ialah belajar bahasa Jepang. Lamanya pelajaran satu tahun dan dipusatkan di Nihonggogakko yang dikelola oleh Kokusai

Gakuyukai yang berpusat di kota Tokyo. Di kota ini permukiman

pemuda-pemuda Indonesia di pisah. Rombongan dari Sumatera yang dtempatkan dalam satu asrama dengan mahasiswa-mahasiswa Filipina dan Malaysia, sedangkan rombongan dari Jawa ditempatkan dalam satu asrama sendiri. Motif dari pemisaham ini mudah diterka. Namun demikian, semangat kesatuan dan persatuan antara mahasiswa dan pemuda Indonesia tak mungkin lagi dapat dibendung oleh apapun. Malam pertama di Tokyo di lewati oleh pemuda-pemuda Indonesia di lewati di Hong Ryo. Esok hari nya pergi ke Kokusai Gakuyukai, yakni Institute Mahasiswa Internasional di Naka Meguro. Gedung yang di pakai Institute ini adalah milik American School. Gedung tidak begitu besar, hanya berlantai dua dan ruang bawah tanah serta auditorium merangkap sebagai ruang bola basket dan olahraga lain nya.

Untuk mempelajari bahasa Jepang kamus sangat di butuhkan. Yang fasih berbahasa Inggris beruntung karena banyak terdapat kamus Jepang-Inggris dan sebalik nya. Mahasiswa Indonesia kurang beruntung karena sukar sekali


(24)

mendapatkan kamus Jepang-Indonesia atau Jepang-Belanda dan sebalik nya. Dalam hubungan antar mahasiswa ada perhimpunan bernama Nanyo Kyokai yang mempunyai minat besar terhadap keadaan Asia, terutama Indonesia. Perhimpunan inilah yang berhasil mendapatkan kamus Jepang-Belanda karangan Van der Stadt. Kamus ini sangat menolong mahasiswa Indonesia dalam mempelajari bahasa Jepang. Selain itu banyak pelajar Indonesia yang mengantongi kartu kanji kemana saja mereka pergi karena sambil jalan, istirahat, atau tempat lain kartu dapat di ambil dari kantong baju kiri untuk di hafal dan kemudian di masukkan ke kantong kanan. Begitulah usaha pelajar Indonesia untuk cepat menguasai bahasa Jepang, karena tanpa menguasai bahasa akan sukar sekali untuk mengikuti kuliah. Setelah seminggu berada di Tokyo, pelajar di bawa ke Dai Toa Sho atau Kementrian Asia Timur Raya. Rombongan di pimpin oleh Sam Suhedi.

Pertengahan bulan Juli 1943 pelajar mulai sungguh-sungguh belajar bahasa Jepang dari pagi sampai sore di bawah asuhan guru bernama Nakamura. Pelajaran temasuk membaca, menulis, berbicara dan mendengar. Belajar menulis kanji dengan menggunakan dengan fude (writing brush) dan sumi, yakni tinta cina. Pelajar menulis dengan menggunakan tinta hitam sedangkan guru memakai tinta merah untuk membetulkan. Belajar menulis huruf Kanji atau kaligrafi ini dinamakan shuji.

Karena cuaca di Tokyo pada bulan Agustus sangat panas, maka tempat belajar di geser ke bungalo dekat Kutsusake di daerah sejuk Krauizawa kira-kira 130 km sebelah utara Tokyo di kaki gunung Asama. Pagi hari belajar di bungalo, siang hari gerak badan termasuk jalan jarak jauh dan malam hari pelajar


(25)

berkumpul di sekeliling api unggun, brnyanyi dan memprtunjukkan kemahiran masing-masing.

Setelah kembali ke Tokyo dari Karuizawa pemuda di beri kesempatan bertemu dengan para anggota Shisatsu dan, yakni rombongan pemimpin rakyat yang datang meninjau keadaan Jepang. Pemuda Indonesia juga mendapat kehormatan bertemu dengan Bung Karno, Bung hatta, dan Bapak Ki Bagus Hadikusumo ketika beliau-beliau mengunjungi Tokyo. Pada saat itu pembesar Jepang hanya memperboleh kan pelajar-pelajar itu bertemu dengan pelajar dari Jawa meskipun pemuda-pemuda Indonesia dari daerah lain juga ingin sekali bertemu dengan para pemimpin Indonesia.

Semenjak di asramakan di Jakarta hingga saat pelajar berjumlah 20 orang selalu bersama-sama dalam perjalanan, belajar, berlatih, bepergian,dan dalam segala suka dan duka. Pesan umum dari pengalaman hidup di Kota Tokyo selama satu tahun pertama ini cukup favourable, dalam arti kata suasana masih belum begitu gawat, sehingga pemuda-pemuda Indonesia masih sempat mengalami masa tenang dan tentram dengan fasilitas-fasilitas yang ada kaitannya dengan istilah tokubetsu atau istimewa.

Setelah menyelesaikan pelajaran bahasa Jepang tepatnya pada bulan Maret 1944, pelajar-pelajar asing yang didatangkan tadi dikirim ke daerah-daerah yang dianggap aman dari kemungkinan serangan musuh, seperti Kota Gifu, Kyota, Hiroshima, dan Yamaguchi di Pulau Honshu bagian tenggara, Akita di Pulau Honshu bagian utara, dan Fukuoka, Kumamoto, dan Miyazaki di Pulau Kyushu


(26)

atau Tokushima di Pulau Shikoku. Mereka dimasukkan ke berbagai perguruan tinggi di kota-kota tersebut menurut bidangnya masing-masing.

Kebijaksanaan tersebut di tetapkan oleh para pengelola pemerintah Jepang (Momboshu, Dai Toa-sho, Rikugun-sho; Kementrian pendidikan, Kementrian Asia Timur Raya, dan Kementrian Pertahanan), karena pengetahuan bahasa Jepang yang di miliki para mahasiswa setelah belajar bahasa di Kokusai Gakuyu-kai di anggap belum cukup untuk langsung masuk ke Universitas. Kalangan Pemerintah Jepang beranggapan bahwa Nippon no daigaku wa mujukashii

(Universitas Jepang adalah terlalu sukar), maksud nya ialah universitas Jepang gemar memperbincangkan teori-teori dan filsafah perilmuan, tidak semata-matamengejar kecakapan keahlian secara praktis seperti universitas Amerika.

Rombongan pelajar Indonesia di bagi dalam kelompok-kelompok kecil menurut tempat belajar yang di tuju. Kelompok-kelompok itu adalah :

Bagian Pendidikan di kirim ke Hiroshima, terdiri dari : 1. Sudio Gandarum

2. Sam Suhaedi

3. Muskarna Sastranegara 4. Tarmidi

5. Supadi, dan

6. Sukristo Sastrowarsito


(27)

1. Adnan Kusuma 2. Djoko Soejoto 3. Jusuf Odang 4. Juwono Budiardjo 5. Sarudji

6. Fatwan, dan 7. Kustedjo

Bagian Kedokteran dikiri ke Kumamoto, Kyushu, terdiri dari : 1. Utojo Sukaton

2. Raden Sidharto, dan 3. Sukisman

Bagian Pertanian dikirim ke Miyazaki, Kyushu, terdiri dari : 1. Yoga Soegomo

2. Tjutjuk Sudardi 3. Sutama

4. Suleiman, dan

5. Sudjarwoko Danusastro Yang tinggal di Tokyo ialah :

1. Sudjiman untuk masuk Akademi Polisi


(28)

3. Sandjojo untuk masuk Gakushuin, sebuah peguruan yang di peruntukkan putra-putri keluarga ningrat.

3.2. Suasana Belajar di Jepang Pada Saat Perang Pasifik

Menjelang akhir 1944 keadaan perang makin hari makin lebih tidak menguntungkan Jepang. Di antara berita kemenangan juga terselip berita-berita kekalahan di berbagai pulau di Lautan Teduh.

Dalam musim dingin tahun 1944, serangan sekutu terhadap Jepang semakin dahsyat siang dan malam, membuat tentara Jepang tak berdaya sama sekali. Serangan demi serangan datang datang dengan sangat gencar sehingga membuat pelajar-pelajar bertekad bulat utntuk mempertahan kan asrama dari amukan api. Pelajar-pelajar berkumpul menurut Negara masing-masing serta berdoa menurut kepercayaannya masing-masing, memohon kepada yang Maha Kuasa agar di selamatkan dan di lindungi dari malapetaka.

Pada tanggal 6 Agustus, kota Hiroshima di lenyapkan dari muka bumi oleh sebuah bom. Dari ujung ke ujung bekas kota tampak kosong. Gedung-gedung bertingkat semuanya lengkap dari pandangan. Jembatan yang mebentang di atas sungai yang membelah kota Hiroshima juga meleleh. Meskipun demikian ada terjadi suatu keanehan. Satu-satu nya gereja katedral di tengah kota, dan tidak jauh dari episentrum ledakan bom tersebut masih meninggalkan bekas bangunan itu dengan kerangka kupel-kupel dan salib besi di atas nya. Rumah Tuhan di lindungi dan tidak Roboh. Di samping itu salah seorang pelajar Indonesia bernama Sagala secara kebetulan pagi hari itupada jam 7:00 ke ruangan bawah


(29)

tanah tempat perpustakaan untuk mengambil buku pelajaran nya. Karena melihat ada nya suatu kilatan menyilaukan dari luar, kemudian keningnya terkena sinar atom. Betapa ajaib nya ia masih di beri panjang umur dan dapat sembuh. Tiga hari kemudian Nagasaki di Pulau Kyushu mengalami nasib yang sama.

Tokyo, Yokohama dan sekitarnya siang-malam di hujani Bom oleh pesawat pembom B-29, Angkatan Udara serta pertahanan udara Jepang suda tak mampu lagi membendung penyerbuan pesawat-pesawat itu. Rumah-rumah dan bangunan di kota Tokyo sebagian besar sudah hampir menjadi rata dengan tanah dan menjadi puing-puing sebagai akibat dari pemboman pesawat B-29 dari Tentara Amerika Serikat. Hampir setiap hari secara berulang-ulang pesawat B-29 yang dikawal oleh berbagai jenis pesawat pemburu mengadakan pemboman dan penembakan terhadap bangunan-bangunan maupun instalasi-instalai yang ada di kota Tokyo. Ryugakusei yang saat itu tinggal di Tokyo mengalami dan melihat dengan mata dan kepala sendiri serangan-serangan pesawat udara Amerika. Banyak korban manusia selain kehancuran bangunan-bangunan di kota Tokyo. Bagi pelajar-pelajar Indonesia di Jepang saat-saat ini merupakan saat yang penuh tantangan. Kurang makan dan tidak tenang, merupakan hambatan untuk mengikuti pelajaran secara total. Bahaya serangan udara pesawat pembom B-29 berdengung setiap hari, siang dan malam. Mula-mula menjatuhkan bom pembakar. Kemudian di selingi dengan bom-bom lainnya. Di sekolah sejak memuncaknya peperangan pada awal tahun 1944, hamper tidak ada kuliah. Pelajar-pelajar di perkerjakan di pabrik senjata. Juga untuk latihan ketentaraan, banyak pelajar yang di kirim ke medan perang.


(30)

Amerika selanjutnya mengancam Jepang akan menjatuhkan bom atom di atas kota kebudayaan dan ibu kota, Kyoto. Mengingat kota itu masih mempertahan kan bentuk arsitektur kuno serta adat aslinya, maka pimpinan Jepang menjadi goyah dan berfikir sejuta kali. Dan tibalah hari yang sangat menentukan bagi rakyat Jepang pada khusus nya dan dunia pada umumnya. Kemudian datang lah utusan Kokusai Gakuyukai yang terdiri dari beberapa orang untuk mengumpulkan para pelajar kembali ke kota Tokyo. Pada tanggal 15 Agustus 1945 semua kadet di perintah kan berseragam lengkap berbaris di lapangan kampus untuk suatu upacara yang di katakan sangat penting. Pelajar mengira ada pemeriksaan oleh pembesa militer. Kemudian Tenno Heika memberikan pidato singkat mengatakan bahwa Pemerintah Jepang telah menerima Deklarasi Postdam serta menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Maka dengan pernyataan ini berakhir lah Dai Toa Senso yang di mulai dengan rentetan kemenangan tentara Jepang di seluruh medan pertempuran setelah melumpuhkan kekuatan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, tanggal 8 Desember 1941.

Tantangan baru yang harus di hadapi para pelajar Indonesia, dan di hadapkan kepada 2 macam pilihan, yaitu :

1. Kembali ke Indonesia

2. Tetap tinggal di Jepang, meneruskan cita-cita meneruskan studi, dengan konsekuensi siap menghadapi segala macampenderitaan, karena sejak saat itu soal Survival sudah menjadi tanggung jawab masing-masing.


(31)

Setelah mempertimbangkan segala sesuatu, para pelajar akhirnya memilih tetap tinggal di Jepang dengan tekad tidak akan kembali ke tanah air sebelum berhasil menyelesai kan study. Dan ada juga pelajar yang kembali ke Indonesia.

Kemudian para pelajar yang tetap tinggal di Jepang di tampung di asrama yang bernama Shoshukan, Gifu. Tempatnya di dekat Nagara Gawa (Sungai Nagara). Indah sekali dan terkenal dengan commorants fishing-nya. Di Gifu para pelajar juga tidak luput dari serangan-serangan udara Sekutu, Amerika. Di Gifu ada suatu pengalaman yang pahit bagi pelajar-pelajar dengan adanya pemuda-pemuda Jepang yang menyerbu asrama Shoshukan yaitu pada tanggal 15 Agustus 1945, pada sore hari sekitar jam 4 sore. Pemuda-pemuda Jepang mendatangi asrama dengan menggunakan kekerasan, memukuli para pelajar yang sedang menikmati keindahan alam di situ dan dengan suara keras berkata : “ Kimi tachi kyoryoku shinai kara, Nihon maketanda” yang arti nya : “Jepang kalah perang karena kamu sekalian tidak membantu”. Kejadian yang perlu di sesalkan, tetapi di dalam suasana yang sedih bagi rakyat Jepang seluruhnya, hal ini, bagi pemuda-pemuda yang belum sadar, dapat di maklumi. Suasana dapat di kendalikan dan menjadi tenteram setelah pemuda-pemuda itu di persilah kan berunding di ruang atas shosukan, dan setelah berbicara dengan semua pelajar yang hadir di situ, keadaan yang semula hangat dapat di tertibkan.

Kemudian para pelajar di pindahkan ke bekas Sekolah Internasional (Kokusai Gakuyukai) tempat pertama kali belajar bahasa Jepang yang berlokasi di Shinjuku, Kashiwagi-Cho. Mungkin satu mukjizat bahwa asrama tersebut tidak


(32)

ikut terbakar, walau pun daerah sekeliling nya hangus dengan api. Dan selanjut nya pelajar-pelajar menetap di asrama Meguro, Tokyo.

Kehidupan orang-orang Indonesia di Jepang, khususnya para pelajar dan mahasiswa di Jepang boleh dikatakan cukup payah. Para mahasiswa sering sekali pergi ke desa-desa di sekitar Tokyo untk kaidashi (pergi beli bahan makanan). Para pelajar biasa membawa dua rugzak (ransel) dan mengunjungi para petani dan mendapat bermacam-macam tanaman seperti terong, labu, tomat, kol, lobak dan lain-lain. Pulang ke asrama dan hasilnya dimakan bersama-sama dengan para pelajar lainnya. Kereta api biasanya penuh sesak dan kondisi orang-orang Jepang sendiri pada waktu itu masih buruk karena banyak yang baru kembali dari daerah-daerah jajahan mereka karena kekalahan dalam perang dunia kedua. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada tahun 1945 di bulan agustus, kuliah sedikit demi sedikit di mulai lagi pada tahun 1946. Akhirnya setelah bergelut dengan suka duka dan derita, selama 4 tahun menjadi pelajar asing, pada tahun 1951 pelajar berhasil lulus sebagai mahasiswa Indonesia dari perguruan tinggi yang ada di Jepang. Empat tahun selama belajar di Jepang merupakan hal yang paling indah bagi pelajar-pelajar, pengalaman yang sangat akrab dengan pelajar-pelajar lainnya, hubungan yang harmonis dan menyenangkan dengan dosen pengajar serta pelajar lain nya. Setelah lulus dari akademi di perguruan, ada pelajar yang melanjutkan studi di Jepang, bekerja di Jepang, pulang ke Indonesia.


(33)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 1.1Kesimpulan

1. Pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia tidak pernah terlihat ada pengiriman siswa-siswa dan segala sesuatunya dibiayai pemerintah. Nyata sekali stratifikasi masyarakat di Indonesia, yaitu terdiri dari lapisan-lapisan yang atas dan bawah. Pendidikan menengah dan tinggi tidak terjangkau dan tidak dapat dinikmati oleh kaum lapisan bawah. Tetapi pada zaman Jepang, mulai ada pengiriman siswa-siswa Indonesia dalam rombongan ke Jepang. Kesempatan tidak terbatas kepada lapisan atas melainkan terbuka bagi semua lapisan, asal lulus dari serangkaian ujian


(34)

yang diselenggarakan dikantor-dikantor pemerintah di daerah dan dipusat kota.

2. Kaum pemuda Indonesia pada saat penjajahan Jepang menginginkan cita-cita untuk mencari perbaikan nasib, melalui kesempatan meraih profesi yang layak dikalangan masyarakat, ingin berbakti kepada masyarakat melalui profesinya, dan ingin menyumbang biarpun sedikit kepada karya nasional membangun bangsa dan negara.

3. Suasana pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Jepang pada saat perang pasifik sangat penuh dengan tantangan. Seperti kekurangan bahan makanan, dan suasana yang tidak tenang, ini merupakan hambatan bagi pelajar untuk mengikuti pelajaran secara total. Bahaya serangan udara pesawat pembom B-29 berdengung setiap hari, siang dan malam. Pada akhirnya suasana yang penuh tantangan ini dapat dilewati oleh pelajar-pelajar Indonesia dengan baik.

4. Segala manfaat yang diraih dari pengalaman perlawatan belajar keluar negeri (Jepang) selama perang pasifik terasa cukup luas terutama berhubungan dengan berbagai kesaksian-kesaksian yang menyangkut keadaan dan kondisi masyarakat Jepang, batas kemampuannya dan watak bangsanya. Kesaksian-kesaksian atas keadaan-keadaan Jepang selama menjadi pelajar disana diwaktu perang, yang serba miskin dan darurat kesaksian-kesaksian atas kejadian kalah perang di satu pihak lalu dilain pihak disusul kesaksian-kesaksian secara tiba-tiba atas keadaan-keadaan masyarakat Jepang yang makmur dewasa ini, semuanya telah memberikan


(35)

manfaatnya yaitu untuk menerka peranan yang akan dimainkan oleh Jepang di masa yang mendatang.

5. Manfaat pribadi bagi pelajar yang menempuh pendidikan di Jepang ialah menyangkut pergaulan manusiawi secara internasional, yang membawa pengaruh besar kepada pertumbuhan pandangan yang luas, toleransi, pengertian terhadap budaya bangsa lain dan penumpasan egotisme. Mengenal budaya bangsa lain dapat berguna untuk menilai lebih baik terhadap budaya bangsa sendiri.

1.2 Saran

1. Sejarah perjalanan pelajar Indonesia di Jepang pada saat perang pasifik termasuk sejarah penting yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan sekolah ke Jepang.

2. Sejarah perjalanan pelajar Indonesia di Jepang pada saat perang pasifik termasuk sejarah penting yang dapat dijadikan sebagai motifasi dan semangat bagi pelajar Indonesia untuk menghargai akan arti pentingnya pendidikan untuk pribadi maupun untuk bangsa dan negara.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Persada Senior.1990. Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.Jakarta: CV Antar Karya


(1)

Setelah mempertimbangkan segala sesuatu, para pelajar akhirnya memilih tetap tinggal di Jepang dengan tekad tidak akan kembali ke tanah air sebelum berhasil menyelesai kan study. Dan ada juga pelajar yang kembali ke Indonesia.

Kemudian para pelajar yang tetap tinggal di Jepang di tampung di asrama yang bernama Shoshukan, Gifu. Tempatnya di dekat Nagara Gawa (Sungai Nagara). Indah sekali dan terkenal dengan commorants fishing-nya. Di Gifu para pelajar juga tidak luput dari serangan-serangan udara Sekutu, Amerika. Di Gifu ada suatu pengalaman yang pahit bagi pelajar-pelajar dengan adanya pemuda-pemuda Jepang yang menyerbu asrama Shoshukan yaitu pada tanggal 15 Agustus 1945, pada sore hari sekitar jam 4 sore. Pemuda-pemuda Jepang mendatangi asrama dengan menggunakan kekerasan, memukuli para pelajar yang sedang menikmati keindahan alam di situ dan dengan suara keras berkata : “ Kimi tachi kyoryoku shinai kara, Nihon maketanda” yang arti nya : “Jepang kalah perang karena kamu sekalian tidak membantu”. Kejadian yang perlu di sesalkan, tetapi di dalam suasana yang sedih bagi rakyat Jepang seluruhnya, hal ini, bagi pemuda-pemuda yang belum sadar, dapat di maklumi. Suasana dapat di kendalikan dan menjadi tenteram setelah pemuda-pemuda itu di persilah kan berunding di ruang atas shosukan, dan setelah berbicara dengan semua pelajar yang hadir di situ, keadaan yang semula hangat dapat di tertibkan.

Kemudian para pelajar di pindahkan ke bekas Sekolah Internasional (Kokusai Gakuyukai) tempat pertama kali belajar bahasa Jepang yang berlokasi di Shinjuku, Kashiwagi-Cho. Mungkin satu mukjizat bahwa asrama tersebut tidak


(2)

ikut terbakar, walau pun daerah sekeliling nya hangus dengan api. Dan selanjut nya pelajar-pelajar menetap di asrama Meguro, Tokyo.

Kehidupan orang-orang Indonesia di Jepang, khususnya para pelajar dan mahasiswa di Jepang boleh dikatakan cukup payah. Para mahasiswa sering sekali pergi ke desa-desa di sekitar Tokyo untk kaidashi (pergi beli bahan makanan). Para pelajar biasa membawa dua rugzak (ransel) dan mengunjungi para petani dan mendapat bermacam-macam tanaman seperti terong, labu, tomat, kol, lobak dan lain-lain. Pulang ke asrama dan hasilnya dimakan bersama-sama dengan para pelajar lainnya. Kereta api biasanya penuh sesak dan kondisi orang-orang Jepang sendiri pada waktu itu masih buruk karena banyak yang baru kembali dari daerah-daerah jajahan mereka karena kekalahan dalam perang dunia kedua. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada tahun 1945 di bulan agustus, kuliah sedikit demi sedikit di mulai lagi pada tahun 1946. Akhirnya setelah bergelut dengan suka duka dan derita, selama 4 tahun menjadi pelajar asing, pada tahun 1951 pelajar berhasil lulus sebagai mahasiswa Indonesia dari perguruan tinggi yang ada di Jepang. Empat tahun selama belajar di Jepang merupakan hal yang paling indah bagi pelajar-pelajar, pengalaman yang sangat akrab dengan pelajar-pelajar lainnya, hubungan yang harmonis dan menyenangkan dengan dosen pengajar serta pelajar lain nya. Setelah lulus dari akademi di perguruan, ada pelajar yang melanjutkan studi di Jepang, bekerja di Jepang, pulang ke Indonesia.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1Kesimpulan

1. Pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia tidak pernah terlihat ada pengiriman siswa-siswa dan segala sesuatunya dibiayai pemerintah. Nyata sekali stratifikasi masyarakat di Indonesia, yaitu terdiri dari lapisan-lapisan yang atas dan bawah. Pendidikan menengah dan tinggi tidak terjangkau dan tidak dapat dinikmati oleh kaum lapisan bawah. Tetapi pada zaman Jepang, mulai ada pengiriman siswa-siswa Indonesia dalam rombongan ke Jepang. Kesempatan tidak terbatas kepada lapisan atas melainkan terbuka bagi semua lapisan, asal lulus dari serangkaian ujian


(4)

yang diselenggarakan dikantor-dikantor pemerintah di daerah dan dipusat kota.

2. Kaum pemuda Indonesia pada saat penjajahan Jepang menginginkan cita-cita untuk mencari perbaikan nasib, melalui kesempatan meraih profesi yang layak dikalangan masyarakat, ingin berbakti kepada masyarakat melalui profesinya, dan ingin menyumbang biarpun sedikit kepada karya nasional membangun bangsa dan negara.

3. Suasana pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Jepang pada saat perang pasifik sangat penuh dengan tantangan. Seperti kekurangan bahan makanan, dan suasana yang tidak tenang, ini merupakan hambatan bagi pelajar untuk mengikuti pelajaran secara total. Bahaya serangan udara pesawat pembom B-29 berdengung setiap hari, siang dan malam. Pada akhirnya suasana yang penuh tantangan ini dapat dilewati oleh pelajar-pelajar Indonesia dengan baik.

4. Segala manfaat yang diraih dari pengalaman perlawatan belajar keluar negeri (Jepang) selama perang pasifik terasa cukup luas terutama berhubungan dengan berbagai kesaksian-kesaksian yang menyangkut keadaan dan kondisi masyarakat Jepang, batas kemampuannya dan watak bangsanya. Kesaksian-kesaksian atas keadaan-keadaan Jepang selama menjadi pelajar disana diwaktu perang, yang serba miskin dan darurat kesaksian-kesaksian atas kejadian kalah perang di satu pihak lalu dilain pihak disusul kesaksian-kesaksian secara tiba-tiba atas keadaan-keadaan masyarakat Jepang yang makmur dewasa ini, semuanya telah memberikan


(5)

manfaatnya yaitu untuk menerka peranan yang akan dimainkan oleh Jepang di masa yang mendatang.

5. Manfaat pribadi bagi pelajar yang menempuh pendidikan di Jepang ialah menyangkut pergaulan manusiawi secara internasional, yang membawa pengaruh besar kepada pertumbuhan pandangan yang luas, toleransi, pengertian terhadap budaya bangsa lain dan penumpasan egotisme. Mengenal budaya bangsa lain dapat berguna untuk menilai lebih baik terhadap budaya bangsa sendiri.

1.2 Saran

1. Sejarah perjalanan pelajar Indonesia di Jepang pada saat perang pasifik termasuk sejarah penting yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan sekolah ke Jepang.

2. Sejarah perjalanan pelajar Indonesia di Jepang pada saat perang pasifik termasuk sejarah penting yang dapat dijadikan sebagai motifasi dan semangat bagi pelajar Indonesia untuk menghargai akan arti pentingnya pendidikan untuk pribadi maupun untuk bangsa dan negara.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Persada Senior.1990. Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.Jakarta: CV Antar Karya