Kajian kualitas daging rusa sambar (cervus unicolor) buru dan dipeliharaan secara intensif
KAJIAN KUALITAS DAGING RUSA SAMBAR
(Cervus unicolor) BURU DAN DIPELIHARA
SECARA INTENSIF
TESIS
JULI MUTIARA SIHOMBING
107040001
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(2)
KAJIAN KUALITAS DAGING RUSA SAMBAR
(Cervus unicolor) BURU DAN DIPELIHARA
SECARA INTENSIF
TESIS
Oleh
:
JULI MUTIARA SIHOMBING
107040001
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(3)
Judul : Kajian kualitas daging rusa sambar (cervus unicolor) buru dan dipeliharaan secara intensif
Nama : Juli Mutiara Sihombing
NIM : 107040001 Progam studi : Ilmu Peternakan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Ristika Handarini, MP) (Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP) Ketua Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Pertanian
(Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP) (Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS)
(4)
Tesis ini telah diuji di Medan pada Tanggal : 30 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Komisi Pembimbing : 1. Dr. Ir. Ristika Handarini, MP 2. Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP
Penguji : 1. Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP. 2. Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS.
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis KAJIAN KUALITAS DAGING RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) BURU DAN DIPELIHARA SECARA INTENSIF adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis diperguruan tinggi lain.
Medan, Oktober 2012
Juli Mutiara Sihombing
(6)
ABSTRAK
JULI MUTIARA SIHOMBING: Kajian kualitas daging rusa sambar (Cervus unicolor) buru dan dipelihara secara Intensif, dibimbing oleh RISTIKA HANDARINI dan HERLA RUSMARILIN.
Informasi mengenai kualitas daging rusa sambar masih sangat kurang terutama perbandingan antara rusa sambar buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif. Tujuan penelitian ini untuk menguji perbedaan kualitas daging rusa buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif yang diberikan pakan dengan kadar protein 16%. Penelitian pemeliharaan rusa telah dilakukan di Penangkaran Rusa Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengambilan Sampel daging rusa buruan di daerah Kecamatan Bireun Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Analisis Kualitas daging di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Metode penelitian experimental dengan penggunaan rancangan tersarang yaitu membandingkan rusa buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif untuk setiap bagian karkas (paha depan, paha belakang dan punggung). Parameter yang diamati adalah Kualitas fisik daging (nilai pH, daya mengikat air, tekstur, dan susut masak) dan kualitas kimia daging (kadar air, kadar abu, protein, lemak, dan kolesterol).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas daging secara fisik dan kualitas secara kimia menunjukkan perbedaan antara rusa buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif pada nilai pH, susut masak, kadar abu dan lemak daging. Kata Kunci: rusa sambar, buruan, peliharaan sintensif, daging, kualitas fisik,
(7)
ABSTRACT
JULI MUTIARA SIHOMBING: The Meat Quality Sambar Deer (Cervus unicolor) Hunting and Intensive maintained deer, guided by RISTIKA HANDARINI and HERLA RUSMARILIN.
Information about sambar meat quality is still lacking, especially the comparison between Sambar deer hunting and intensively maintained. The purpose of this study to examine differences in the quality of game and deer venison reared intensively given feed with crude protein 16%. The research was conducted in deer captivity at University of North Sumatera, Medan. Sampling venison hunted in the area Bireun, District Central Aceh, Aceh. Analysis of meat in Laboratory of Food Technology Faculty of Agriculture, University of North Sumatera. Experimental research methods with the use of nested comparing the treatments are deer hunting and deer reared intensively with carcass parts (front leg, hind leg and saddle). Parameters measured were physical quality of the meat (pH, water holding capacity, texture and cooking loss) and the chemical quality of meat (moisture content, ash content. Protein, fat, and cholesterol).
The results showed of the meat quality is physically and chemically quality shows the difference between deer hunting and deer reared intensively on pH, cooking loss, ash and fat
Keywords: sambar deer, hunting, intensively reared, meat, physical quality, chemical quality.
(8)
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama
: Juli Mutiara Sihombing
Tempat dan Tanggal
: Tarutung, 15 Juli 1988
Alamat Rumah
: Jl. Marakas, No. 44 Pasar 2 Padang Bulan
Kec. Medan Baru
Telepon/HP
: 085263961244
: [email protected]
DATA PENDIDIKAN
SD
: Inpres 173131 Tarutung Kab.Tapanuli
Utara, tahun 1995 – 2000.
SMP
: SLTP Negeri 2 Tarutung Kab. Tapanuli
Utara, tahun 2000 – 2003.
SMA
: SMA Negeri 2 Tarutung Kab. Tapanuli
Utara, tahun 2003 – 2006.
S1
: Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan, tahun
2006 – 2010.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul “Kajian kualitas daging rusa sambar (Cervus unicolor) buru dan dipelihara secara Intensif”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Ristika Handarini, MP dan Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul sampai terbentuknya tesis ini serta kepada Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP dan Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS yang telah memberikan berbagai masukan dalam penulisan tesis. Penulis juga berterimakasih kepada Ketua, Sekretaris, Pegawai Pasca Sarjana Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian dan Biro Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberi izin dalam penelitian di Penangkaran Rusa Universitas Sumatera utara dan kepada semua pihak yang telah mendukung serta membantu selama penelitian dan penulisan tesis ini. Semoga juga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kiranya dapat memberi saran untuk perbaikan tesis ini. Sekian dan Terima Kasih.
Medan, Oktober 2012
(10)
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK i
ABSTRAC ii
RIWAYAT HIDUP ii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... iiiv
DAFTAR GAMBAR ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Rumusan Masalah ... 4
Tujuan Khusus Peneliti ... 4
Kegunaan Penelitian ... 4
Hipotesis Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Rusa Sambar ... 5
Ketersediaan Rusa Sambar sebagai Sumber Protein Hewani ... 6
Rusa Sambar dihabitat alamiahnya (insitu) ... 6
Rusa Sambar di penangkaran (exsitu) dan yang didomestikasi ... 8
Sistem Peternakan Rusa Sambar ... 9
Pemberian pakan Rusa Sambar ... 9
Hijauan ... 9
Konsentrat ... 10
Sumber Bahan Pakan Penyusun Konsentrat ... 11
Karkas ... 12
Daging dan Proses Pelayuan ... 12
Konversi Otot menjadi Daging ... 14
Rigormortis Daging ... 15
Maturasi (aging) pada daging ... 16
Kualitas Daging ... 17
Sifat Fisisk Daging ... 17
Nilai pH ... 17
Daya Mengikat Air ... 18
Keempukan ... 20
Susut masak ... 20
Tekstur ... 21
Sifat Kimia Daging ... 22
Analisis Proksimat ... 22
Analisis Kolesterol ... 23
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
Bahan dan Alat Penelitian ... 25
Bahan Penelitian ... 25
(11)
Pemeliharaan Rusa ... 25
Analisis Laboratorium ... 26
Alat Penelitian ... 26
Sampling Rusa Buru dan Peliharaan secara Intensif ... 26
Analisis Laboratorium ... 26
Analisis Data ... 27
Peubah Penelitian ... 27
Pelaksanaan Penelitian ... 28
Rusa hasil buruan ... 28
Pemeliharaan Rusa ... 28
Analisis Laboratorium ... 30
Prosedur Analisis Laboratorium ... 30
Pengukuran Kualitas Fisik ... 30
Nilai pH ... 30
Daya mengikat air ... 31
Susut Masak ... 31
Tekstur ... 32
Pengukuran Kualitas Kimia ... 32
Analisis Proksimat ... 32
Kadar Air ... 32
Kadar Abu ... 33
Kadar Protein ... 33
Kadar Lemak ... 34
Analisis Kolesterol ... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN Rigormortis daging rusa ... 37
Kualitas Fisik Daging Rusa ... 38
Nilai pH ... 38
Daya Mengikat Air ... 42
Susut Masak ... 44
Tekstur Daging ... 46
Kualitas Kimia Daging Rusa ... 49
Kadar Air ... 49
Kadar Abu ... 51
Protein ... 53
Lemak ... 55
Kolesterol ... 57
Rekapitulasi Data ... 59
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 61
Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA
(12)
(13)
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Nilai nutrisi (%BK) daging rusa sambar hasil buru berdasarkan bagian
karkas ... 8
2. Nilai Tes fisik pada daging rusa sambar buru ... 8
3. Komposisi kimia daging dari berbagai spesies ternak (%) ... 22
4. Perbandingan kandungan kolesterol daging ternak ... 24
5. Kandungan bahan pagan (dalam bahan kering) ... 29
6. Komposisi kosentrat perlakuan ... 29
7. Kandungan Nutrisi Konsentrat Perlakuan... 29
8. Rataan suhu tiap bagian daging pada suhu ruang 30oC dan suhu 16oC selama proses rigormortis (o 9. Rataan nilai pH rusa peliharaan setelah pemotongan ... 38
C) ... 37
10. Rataan nilai pH tiap bagian daging rusa buruan dan rusa peliharaan ... 39
11. Rataan daya mengikat air rusa buruan dan rusa peliharaan (%) ... 42
12. Rataan susut masak tiap bagian daging rusa buruan dan peliharaan (%) .... 44
13. Rataan tekstur sebelum dimasak tiap bagian daging rusa buruan dan peliharaan (g/mm3 14. Rataan tekstur setelah dimasak tiap bagian daging rusa buruan dan peliharaan (g/mm ) ... 46
3 15. Rataan kadar air tiap bagian daging rusa buruan dan peliharaan (%) ... 49
) ... 48
16. Rataan kadar abu tiap bagian daging rusa buruan dan peliharaan (%) ... 51
17. Rataan kandungan protein bagian daging rusa buruan dan peliharaan (%) .. 53
18. Rataan kandungan lemak kasar daging rusa buruan dan peliharaan ... 55
19. Rataan kolesterol bagian daging rusa buruan dan peliharaan (mg/100g) ... 57
(14)
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih .... 15
2. Grafik nilai pH rusa buruan dan peliharaan ... 43
3. Grafik daya ikat air daging rusa buruan dan peliharaan ... 45
4. Grafik susut masak daging rusa buruan dan peliharaan ... 44
5. Grafik tekstur daging sebelum dimasak ... 47
6. Grafik tekstur daging setelah dimasak ... 48
7. Grafik kadar air daging rusa buruan dan peliharaan ... 50
8. Kadar abu daging rusa buruan dan rusa peliharaan ... 52
9. Grafik kandungan protein daging rusa buruan dan peliharaan ... 54
10. Grafik kadar lemak rusa buruan dan peliharaan ... 56
(15)
ABSTRAK
JULI MUTIARA SIHOMBING: Kajian kualitas daging rusa sambar (Cervus unicolor) buru dan dipelihara secara Intensif, dibimbing oleh RISTIKA HANDARINI dan HERLA RUSMARILIN.
Informasi mengenai kualitas daging rusa sambar masih sangat kurang terutama perbandingan antara rusa sambar buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif. Tujuan penelitian ini untuk menguji perbedaan kualitas daging rusa buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif yang diberikan pakan dengan kadar protein 16%. Penelitian pemeliharaan rusa telah dilakukan di Penangkaran Rusa Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengambilan Sampel daging rusa buruan di daerah Kecamatan Bireun Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Analisis Kualitas daging di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Metode penelitian experimental dengan penggunaan rancangan tersarang yaitu membandingkan rusa buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif untuk setiap bagian karkas (paha depan, paha belakang dan punggung). Parameter yang diamati adalah Kualitas fisik daging (nilai pH, daya mengikat air, tekstur, dan susut masak) dan kualitas kimia daging (kadar air, kadar abu, protein, lemak, dan kolesterol).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas daging secara fisik dan kualitas secara kimia menunjukkan perbedaan antara rusa buruan dan rusa yang dipelihara secara intensif pada nilai pH, susut masak, kadar abu dan lemak daging. Kata Kunci: rusa sambar, buruan, peliharaan sintensif, daging, kualitas fisik,
(16)
ABSTRACT
JULI MUTIARA SIHOMBING: The Meat Quality Sambar Deer (Cervus unicolor) Hunting and Intensive maintained deer, guided by RISTIKA HANDARINI and HERLA RUSMARILIN.
Information about sambar meat quality is still lacking, especially the comparison between Sambar deer hunting and intensively maintained. The purpose of this study to examine differences in the quality of game and deer venison reared intensively given feed with crude protein 16%. The research was conducted in deer captivity at University of North Sumatera, Medan. Sampling venison hunted in the area Bireun, District Central Aceh, Aceh. Analysis of meat in Laboratory of Food Technology Faculty of Agriculture, University of North Sumatera. Experimental research methods with the use of nested comparing the treatments are deer hunting and deer reared intensively with carcass parts (front leg, hind leg and saddle). Parameters measured were physical quality of the meat (pH, water holding capacity, texture and cooking loss) and the chemical quality of meat (moisture content, ash content. Protein, fat, and cholesterol).
The results showed of the meat quality is physically and chemically quality shows the difference between deer hunting and deer reared intensively on pH, cooking loss, ash and fat
Keywords: sambar deer, hunting, intensively reared, meat, physical quality, chemical quality.
(17)
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pemenuhan kebutuhan protein hewani Indonesia sampai saat ini belum tercapai. Konsumsi rata-rata protein hewani rakyat Indonesia masih di bawah norma gizi, khususnya daging sekitar 51,5% yang dapat dipenuhi (Putri, 2002). Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia maka diperkirakan kebutuhan konsumsi akan protein hewani khususnya daging juga meningkat. Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor mencatat konsumsi daging tahun 2011 sebesar 1,87 kg per kapita per tahun, sehingga untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tahun 2012 dibutuhkan 448.800 ton dan masih harus diimpor 72.290 ton yang setara dengan 441.600 ekor sapi (Bisnis-Jabar, 2011). Berdasarkan statistik peternakan (2008), total konsumsi daging dipenuhi dari daging unggas sebesar 60%, daging sapi menyumbang 20% dan daging lainnya (kambing, domba, babi) menyumbang sekitar 20%.
Konsumsi protein hewani hanya mengandalkan daging yang berasal dari ternak sapi, kerbau, kambing, domba, ayam, dan babi, yang dari segi jumlah masih belum dapat mencukupi kebutuhan rakyat banyak dan dari segi harga baru bisa terjangkau oleh golongan masyarakat tertentu atau karena daya beli masyarakat yang rendah. Pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam yang terpendam di hutan-hutan, seperti yang populasinya cukup besar yaitu hewan buruan, khususnya rusa sambar.
Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia terbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Rusa sambar memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai ternak terutama untuk pemanfaatan kebutuhan daging (venison) dan ranggahnya. Menurut Garsetiasih (2007) rusa dapat dimanfaatkan manusia karena beberapa keunggulan, yaitu mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga mudah untuk ditangkarkan dengan cara mempersiapkan formula pakan yang tepat untuk dapat menghasilkan daging dengan kualitas baik.
(18)
Produk hasil rusa lainnya yang dinilai memiliki keunggulan yaitu kulit dan tanduk yang memiliki nilai jual cukup tinggi dan dapat diproduksi tanpa harus melakukan proses penyembelihan. Dalam dunia pengobatan, tanduk yang masih muda (velvet) dapat digunakan sebagai ramuan obat-obatan. Rusa termasuk hewan yang produktif karena dapat bereproduksi setiap tahun dan mempunyai tingkat produksi yang tinggi dengan persentase karkas yang relatif lebih tinggi dibanding satwa lain. Penelitian kearah reproduksi rusa sambar juga sudah banyak dikembangkan misalnya melalui inseminasi buatan. Menurut Drajat (2002) bahwa kebuntingan hasil inseminasi dapat mencapai 25% hingga 40% rusa. Penelitian mengenai ranggah juga telah banyak dilakukan dimana menurut Handarini (2005) bahwa kualitas semen pada rusa timor lebih tinggi pada tahap ranggah keras dibandingkan ranggah velvet. Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi erat kaitannya dengan pertumbuhan ranggah.
Produk utama yang dihasilkan oleh rusa sambar adalah daging (venison) dan ranggah (velvet antler). Daging rusa mempunyai flavour yang khas dan banyak disukai masyarakat Eropa (Semiadi, 2002). Ditinjau dari tingkat rasa (juiceness, flavor) dan tekstur yang lembut, masyarakat dan pemburu banyak melaporkan bahwa daging rusa termasuk jenis daging yang terbaik dan sangat digemari, disusul daging sapi dan terakhir daging kambing. Oleh sebab itu, penjualan daging rusa di pasar berlangsung sangat singkat, tidak lebih dari empat jam. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap daging rusa (Yuliasri et.al., 2002).
Daging rusa mempunyai nilai gizi yang relatif lebih baik dibandingkan ternak lain karena kandungan kalori dan kolesterolnya yang rendah, dimana merupakan pilihan masyarakat modern saat ini (Semiadi, 2001). Kandungan nutrisi daging rusa yaitu ( protein 32 g, lemak 3.30 g, kolestrol 66 mg), sapi (protein 31 g, lemak 9.76 g, kolestrol 92 mg), babi (protein 29 g, lemak 10,64 g, kolestrol 101 mg), domba (protein 25 g, lemak 7.62 g, kolestrol 83 mg) dan ayam mengandung protein 31 g, lemak 3,42 g, kolestrol 83 mg (Naipospos, 2003).
(19)
Berdasarkan uraian tersebut ternyata kandungan lemak daging rusa relatif lebih rendah dibandingkan ternak lainnya, sehingga memberikan peluang yang sangat besar untuk dapat dipasarkan dan dikonsumsi. Bagi konsumen tertentu yang selektif menghendaki jenis daging dengan kadar lemak yang rendah karena alasan takut mengkonsumsi daging dengan kandungan kolesterol tinggi.
Tingginya minat masyarakat terhadap daging rusa diperlukan suatu upaya untuk peningkatan populasi rusa sebagai sumber protein. Pemanfaatan rusa sebagai sumber protein memang bukan merupakan hal baru bagi beberapa masyarakat daerah, namun sifatnya masih dalam bentuk hewan buruan. Rusa yang hidup dialam, banyak dimanfaatkan masyarakat tetapi jika kurangnya kontrol terhadap perburuan akan menyebabkan jumlah populasi di alam semakin menurun.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan populasi rusa adalah dengan pemeliharaan rusa secara intensif sama halnya seperti ternak lainnya. Dilakukannya pemeliharaan rusa secara intensif maka akan terjadi perubahan pola makan terutama pemberian pakan (hijauan) yang diatur oleh manusia serta dilakukan pemberian konsentrat untuk mencukupi nutrisi rusa tersebut. Kandungan konsentrat yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan rusa tersebut.
Pemeliharaan rusa secara intensif dengan pemberian konsentrat yang mengandung protein kasar sebesar 16% diduga dapat memberi perubahan pada komposisi daging rusa tersebut dibandingkan rusa tersebut hidup bebas di alam. Dari urain tersebut maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk membandingkan kualitas daging yang dipelihara secara intensif dengan daging rusa buruan. Karena Tujuan utama usaha peternakan khususnya untuk menghasilkan daging adalah untuk menghasilkan produk daging dan karkas yang berkualitas baik. Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi kualitas secara fisik dan kimia.
(20)
Rumusan Masalah
1. Data pendukung yang membandingkan antara kualitas daging rusa sambar buruan maupun yang dipelihara intensif belum banyak dikaji.
2. Perlu mengetahui kualitas daging rusa sambar yang dipelihara secara intensif yang diberi pakan berbasis limbah perkebunan dengan kandungan protein kasar 16%.
Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji kualitas daging rusa sambar buruan yang hidup dihabitat alamiah.
2. Untuk menguji kualitas daging rusa sambar yang dipelihara secara intensif yang diberi pakan berbasis limbah perkebunan dengan kandungan protein kasar 16%.
3. Untuk membandingkan kualitas daging rusa buru dan rusa yang dipelihara secara intensif
4. Untuk menguji kualitas tiap bagian karkas daging rusa buru dan rusa yang dipelihara secara intensif
Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti untuk mendapatkan informasi kualitas daging terbaik antara dua sistem pemeliharaan yang berbeda.
2. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi tentang kualitas daging rusa sambar hasil buruan dan yang dipelihara secara intensif dalam upaya pengembangan usaha ternak rusa.
3. Bagi instansi pemerintah, sebagai sumber informasi untuk mengambil kebijakan dalam penentuan harga daging rusa.
Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan kualitas daging antara rusa sambar buru dengan rusa sambar yang dipelihara secara intensif dengan pemberian pakan berbasis limbah perkebunan yang mengandung protein 16 %.
(21)
TINJAUAN PUSTAKA
Rusa Sambar
Rusa sambar (Cervus unicolor brookei), termasuk dalam kategori hewan dengan fisik yang relatif besar. Rusa sambar mempunyai ukuran tubuh paling besar dibandingkan dengan spesies rusa Indonesia yang lain seperti rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii) dan muncak (Muntiacus muntjak).
Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah menurut Eco India (2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: Mamalia, ordo: Artiodactyla, sub ordo: Ruminantia, famili: Cervidae, Sub famili: Cervinae, genus: Cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor.
Rusa tergolong dalam Famili cervidae merupakan kelompok kompleks yang terbagi atas 57 spesies dan hampir 200 sub spesies. Rusa sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia yang mempunyai ciri berwarna coklat gelap dengan tinggi pundak dapat mencapai 102-160 cm , dengan bobot badan dapat mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Tinggi badan pada rusa jantan dapat mencapai 160 cm dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan rusa yang betina dapat mencapai 115 cm dengan berat badan 135-225 kg. Ukuran ini bervariasi tergantung pada sub spesies. Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Peternakan rusa di Australia dilaporkan bahwa rusa Sambar betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984). Rusa telah siap dipotong mulai dari kisaran umur 11 bulan pada jantan tetapi betina biasanya dikembangkan untuk indukan (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Bulu rusa sambar umumnya berwarna coklat dengan peningkatan gadasi sampai agak kehitaman (gelap) pada rusa jantan atau yang telah tua. Ekor rusa sambar agak pendek dan tertutup bulu yang cukup panjang. Keadaan bulu termasuk kasar dan tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane). Perubahan warna bulu dari coklat cerah
(22)
menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004).
Rusa sambar merupakan jenis rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia terbatas di pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994). Rusa sambar yang ada di Kalimantan, mempunyai potensi untuk dikembangkan tidak saja penghasil daging yang berkualitas (venison), tetapi juga beberapa produk untuk pengobatan tradisional Cina. Produk bahan obat tradisional Cina yang telah diproduksi dari hasil tambahan peternakan rusa di Selandia Baru yaitu: royal deer velvet liqueur,dried deer antler velvet, deer horn and ginseng capsules, Versatile venison jerky, deer blood powder capsules, deer tails, dried pizzle and sinew (Bellaney, 1993). Produk peternakan rusa tersebut di ekpor dari Selandia Baru ke Cina, Hongkong, USA, Taiwan, Jepang dan Australia, yang dapat diandalkan menjadi sumber devisa negara. Gambaran produksi peternakan diatas, dapat dikatakan rusa sambar mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai industri peternakan.
Ketersediaan Rusa Sambar sebagai sumber Protein Hewani Rusa sambar dihabitat alamiahnya (insitu)
Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan melindungi diri dari predator. Hutan sampai ketinggian 2.600 m diatas permukaan laut dengan padang rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis, kecuali Cervus unicolor
Rusa sambar tersebar luas hampir di seluruh Asia mulai dari Asia Selatan, Cina bagian selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Sedangkan di Indonesia sendiri penyebarannya banyak di pulau Sumatera dan Kalimantan dan Irian Jaya. Walaupun secara nasional rusa sambar belum berada di ambang kritis, namun populasinya terus mendapat tekanan akibat perburuan dan penyempitan luas lahan hutan akibat perusakan hutan maupun bencana alam seperti kebakaran hutan. Daerah habitat asli rusa sambar berupa daerah payau atau berair, namun yang sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan pada daerah payau (Garsetiasih dan Mariana 2007).
(23)
dengan berkembangnya wilayah perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar, ternyata rusa mampu bertahan dan terbukti dapat berkembang dengan baik (Semiadi, 2004).
Rusa dapat mengkonsumsi hampir semua jenis dedaunan dan rumput, tahan terhadap kekurangan air sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi agoekosistem yang beragam (Naipospos, 2003; Badarina, 1995). Tempat hidup rusa umumnya di daerah yang dekat dengan hutan dan padang rumput. Hutan dijadikan sebagai tempat berlindung dan padang rumput digunakan sebagai sumber pakannya. Jenis ruminansia ini mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru dengan makanan pokoknya adalah jenis dedaunan hijau (Jacoeb, 1994).
Dalam pemanfaatan rusa sebagai sumber gizi, masyarakat daerah telah lama memanfaatkannya. Hampir di setiap habitat yang “dahulu” kaya akan potensi satwa rusa, daging rusa mudah diperoleh. Namun saat ini semakin tingginya minat masyarakat maka perburuan rusa semakin meningkat sehingga populasinya menurun drastis. Pada saat rusa diburu tidak terlalu mempertimbangkan jenis kelamin, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam mendapatkan rusa dengan ukuran badan yang besar. Daging rusa diburu karena banyak peminatnya, dapat diolah menjadi baso dan dilaporkan bahwa rendang daging rusa atau dendeng banyak dijual sebagai produk rumahan (Semiadi, 2007).
Daerah Kalimantan Timur, dalam seminggu masing-masing pengumpul rusa sambar buruan setidaknya mendapat kiriman minimal dua ekor dan maksimal empat ekor. Sebagai sampingan kadang-kadang pengumpul juga menerima kijang (Mutiacus muntjak) sekitar dua hingga tiga ekor per dua minggu. Namun penjualan daging kijang ini tidak begitu intensif. Dengan melihat pada tingkat pengiriman hasil buruan ke pasar, memberikan gambaran bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu kabupaten, hasil perburuan minimal 60 ekor dan maksimal 120 ekor rusa sambar, atau sekitar 600-1400 ekor rusa sambar liar pertahunnya. Untuk kelompok kijang angka perburuan adalah setengah dari rusa sambar pertahunnya (Semiadi dan Jamal, 2002; Semiadi dan Nugaha, 2004).
Rusa buruan merupakan rusa yang diburu untuk diambil dagingnya. Pemanfaatan rusa buruan sebagai sumber protein hewani bukan merupakan hal
(24)
baru. Rusa diburu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan protein tetapi karena rusa juga memiliki daging dengan kandungan nutrisinya yang baik. Pada Tabel 1 dapat dilihat kandungan nutrisi daging rusa sambar buruan.
Tabel 1. Nilai nutrisi (%BK) daging sambar hasil buru berdasarkan bagian karkas
Variabel Rataan
Kaki Belakang Kaki Depan Sadel
Goss energi (Kal/g BK) 5.56 5.43 5.52
Abu (%BK) 3.86 3.73 4.14
Air (%BK) 75.70 76.90 74.9
Lemak (%BK) 3.80 3.60 2.90
Protein (%BK) 90.24 88.84 90.51
Kolestrol (%BK) 0.27 0.31 0.24
Sumber : Semiadi et al. (2003). Keterang: BK = bahan kering
Rusa sambar buruan dapat juga diketahui kualitas fisiknya dengan dilakukannya analisis daging di laboratorium. Pada Tabel 2 dapat dilihat nilai tes fisik pada daging rusa sambar buruan.
Tabel 2. Nilai tes fisik pada daging rusa sambar buru Variabel
Rataan
Kaki Belakang Kaki Depan Sadel
Daya mengikat air (%MgH2O) 33.52 36.25 33.00
pH 6.46 6.41 6.18
Angka keempukan 4.92 5.05 5.38
Persen susut 53.31 46.14 48.49
Sumber: Semiadi et al. (2003).
Rusa sambar di penangkaran (exsitu) dan yang didomestikasi
Industri peternakan rusa berkembang pesat di beberapa negara seperti New Zealand, terdapat sekitar 4000 peternakan dengan populasi rusa mencapai 2,6 juta ekor pada tahun 2001 meskipun rusa tersebut merupakan hewan introduksi (Game Animal Panel, 2007). Hal ini disebakan karena permintaan produk asal rusa yang semakin meningkat, terutama permintaan dari Cina dan Korea. Sedangkan peternakan rusa di Indonesia sampai sekarang ini belum ada kegiatan yang bersifat komersial. Padahal kebijakan pemerintah di Indonesia saat ini cukup mendukung usaha penangkaran dan pemanfaatannya sebagai usaha konservasi
(25)
ex-situ (Saparjadi, 2003) maupun kemudahan dalam hal perizinannya (Susmianto, 2002).
Sistem Peternakan Rusa sambar
Pemberian Pakan Rusa Sambar
Pakan rusa sambar merupakan komponen yang paling penting, Ketersediaan pakan hijauan berhubungan erat dengan perubahan musim, biasanya di musim hujan produksi hijauan berlimpah sedangkan di musim kemarau produksi hijauan berkurang. Pakan pokok rusa adalah hijauan berupa daun-daunan dan rumput yang ketersediaannya kadang terbatas terutama di penangkaran sehingga dibutuhkan pakan tambahan (Garsetiasih dan Mariana 2007). Namun guna mencapai produksi yang maksimal, penambahan konsentrat sebagai bentuk formulasi ransum pada pakan rusa merupakan satu usaha pemenuhan kebutuhan nutrisi yang berkorelasi pada peningkatan produksi dan juga satu bentuk usaha domestikasi rusa dari segi pakannya.
Hijauan
Hijauan adalah bahan pakan yang berbentuk daun-daunan, kadang-kadang bercampur batang, ranting serta bunga. Bahan pakan ternak ruminansia terdiri atas hijauan, hasil tanaman ataupun sisa tanaman setelah hasil utamanya diambil untuk kebutuhan manusia.
Ternak ruminansia mengkonsumsi hijauan sebanyak 10% dari bobot badannya setiap hari dan konsentrat sekitar 1 – 2%, dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karena itu hijauan dan sejenisnya terutama rumput merupakan sumber energi utama ternak ruminansia (Pilliang, 1997).
Hasil penelitian Handarini et al. (2009) pada rusa sambar jantan menunjukkan palatabilitas yang tinggi pada beberapa spesies hijauan. Pemberian rumput dilakukan secara kafetaria sehingga rusa bebas memilih rumput yang diinginkan. Rumput dalam klasifikasi palatabilitas tinggi antara lain: Otochola nodusa (rumput jawa), Eleusine indica (rumput belulang), A. compresus (rumput pait), P. conjungantum (rumput pait) dan legume dalam klaisfikasi palattabilitas tinggi
(26)
antara lain : Mikania scandes (areu caputuheur), Asystasia (bayaman), Pakis, D. trifolium, Ipomea Sp (kangkung darat), Passiflora Sp (markisa), Commelina diffusa (brambangan) dan Pueraria javanica (tanaman kacang-kacangan penutup tanah).
Konsentrat
Pakan merupakan komponen habitat yang paling penting, ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim, biasanya di musim hujan pakan berlimpah sedangkan di musim kemarau pakan berkurang. Pakan pokok rusa adalah hijauan berupa daun-daunan dan rumput-rumputan yang ketersediaannya kadang-kadang terbatas terutama di penangkaran sehingga dibutuhkan pakan tambahan (Takandjandji, 1993). Nilai gizi yang terkandung dalam hijauan tersebut, seperti protein dan energi, relatif rendah sehingga perlu ditambahkan pakan konsentrat berupa jagung untuk mencukupi kebutuhan gizi rusa. Pakan konsentrat biasanya disukai oleh rusa dan mengandung cukup energi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan rusa (Garsetiasih, 1988). Protein dibutuhkan oleh ternak untuk pembentukan sel-sel jaringan baru dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak akibat usia tua dan penyakit (Prijono dan Handini 1998). Protein membentuk blok bangunan dari jaringan hewan. Bangunan blok tersebut adalah asam amino. Protein diperlukan untuk perawatan normal, seperti darah, penggantian sel tubuh, pertumbuhan, reproduksi, dan menyusui. Bahkan pertumbuhan ranggah membutuhkan protein, sebagai velvet sebelum mineralisasi hampir seluruhnya terbuat dari protein yang disebut kolagen, pakan penguat bagi ternak ruminansia dapat memberikan pertumbuhan yang baik. Selanjutnya Soegiri et al. (1981) menyatakan bahwa pakan penguat berupa jagung dan dedak padi mengandung kadar protein yang tinggi, palaTabel dan mengandung vitamin B.
Kebutuhan protein sangat ditentukan oleh kualitas protein dari bahan pakan yang diberikan. Protein sangat diperlukan terutama pada masa periode pertumbuhan. Berdasarkan pakan yang diberikan terlihat bahwa jumlah protein pakan yang diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran kadar protein pakan yang dibutuhkan rusa. Menurut Causey (2006), ternak rusa membutuhkan protein ransum pada masa pertumbuhan sebesar 16% – 20%.
(27)
Kebutuhan protein seekor rusa timor lepas sapih berkisar 13-20 % dan mungkin bahkan lebih tinggi. Rusa dewasa memiliki kebutuhan protein yang cukup rendah sekitar 8-12 %. Rusa dapat bertahan dengan kandungan protein rendah di musim dingin. Pada periode kebuntingan kebutuhan protein semakin meningkat bahkan saat rusa lahir hanya mengandung 525 gam protein dan yang dihasilkan selama masa kebuntingan 6 bulan (Wildlife and Fisheries, 2001).
Rusa sambar lepas sapih yang diberi pakan tambahan konsentrat dengan kandungan protein kasar 20% sama baiknya dengan kandungan protein kasar 16% terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan (Tafsin et al, 2011). Pada rusa sambar selama masa kebuntingan yang diberi tambahan pakan konsentrat kandungan protein kasar 16% pada masa kebuntingan induk rusa sambar sudah memenuhi kebutuhan induk selama kebuntingan dan mendapatkan morfometri anak yang baik (Handarini et al, 2011). Pemberian pakan tambahan selain konsentrat juga baik untuk rusa sambar salah satunya pemberian blok multinutrisi dalam pakan dapat meningkatkan palatabilitas pakan yang menyebabkan tingkat konsumsi pakan meningkat dan pertambahan bobot
badan juga meningkat pada rusa sambar jantan masa ranggah keras (Handarini et al. 2009)
Sumber Bahan Pakan Penyusun Konsentrat
Beberapa faktor yang menghambat penyediaan hijauan yakni terjadinya perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan menjadi lahan pemukiman, lahan untuk tanaman pangan dan tanaman industri (Djajanegara, 1999). Dilain pihak, menurut Kasryno dan Syafa'at (2000) bahwa sumberdaya alam untuk peternakan berupa padang penggembalaan di Indonesia mengalami penurunan sekitar 30%. Disamping itu secara umum di Indonesia ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh iklim, sehingga pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan dan sebaliknya di musim hujan jumlahnya melimpah. Untuk mengatasi kekurangan rumput ataupun hijauan, salah satunya adalah memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan pakan ternak. Dengan demikian untuk pengembangan ternak ruminansia di suatu daerah
(28)
seharusnya dilakukan juga usaha untuk memanfaatkan limbah pertanian dan limbah perkebunan sebagai pakan dan bahan pakan penyusun konsentrat.
Karkas
Komponen utama karkas terdiri dari jaringan otot, tulang dan lemak dan kualitas karkas ditentukan oleh ketiga komponen tersebut (Berg et al., 1978). Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus dan tarsus ke bawah. Dinyatakan bahwa dijumpai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragm dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak ginjal, lemak pelvis temasuk kedalam karkas atau tidak. Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas (Berg dan Butterfield, 1976).
Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urine) dikali 100% (Judge et al.,1989). Menurut Berg dan Butterfield (1976) bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan.
Daging dan Proses Pelayuan
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Dari tingkat kealotan daging merupakan sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Astawan, 2008).
Daging didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Menurut Lawrie (2003) yang dimaksud dengan daging adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan.
(29)
Daging dapat didefinisikan sebagai kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang dikenal sebagai daging atau pangan hewani (Valacute, 2009). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak dan setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati dan otot telah berubah menjadi daging. Terjadi proses konversi dari otot menjadi daging sehingga sesaat setelah ternak disembelih seharusnya kata otot sebagai penyusun tubuh ternak masih digunakan sampai otot telah berubah menjadi daging ditandai dengan timbulnya kekakuan (kejang mayat) dan berangsur-angsur mengalami pengempukan pasca kekakuan tersebut (Abustam, 2009).
Daging
Daging merah adalah daging yang menunjukkan warna merah sebelum dimasak. Daging sapi, domba, kambing, kelinci, kerbau dan daging rusa disebut dengan daging merah. Daging ternak mamalia umumnya disebut daging merah. Warna merah yang terdapat pada daging-daging tersebut disebabkan oleh kandungan pigmen mioglobin (Wikipedia, 2005).
dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih tergantung perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen yang rendah. Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar, sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat/cepat serta kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai kadar protein dan air yang lebih tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar lemak jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih (Usmiati, 2010).
Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), daging masak, daging asap, dan daging olahan (Tafal, 1981). Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna
(30)
ungu tapi lama kelamaan permukaan daging berubah berwarna merah dan akhirnya menjadi coklat.
Konversi Otot menjadi daging
Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno, 2005). Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah : genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stres. Faktor setelah pemotongan dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging.
).
Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (arteri carotis dan vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama isalam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK mentan, 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks didalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan berhentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) oksigen kejaringan, sehingga
(31)
menimbulkan konsekuensi perubahan pada jaringan otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan- perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007)
Rigormortis Daging
Rigor mortis daging adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat. Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
Sirkulasi darah terhenti
Tidak ada supply oksigen
Respirasi terhenti Glikolisis
anaerob
Penurunan kadar ATP dan CP
Penurunan nilai pH
Rigormortis Denaturasi protein Pembebasan dan
(32)
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin (Soeparno, 2005).
Maturasi (aging) pada daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2-5°C) setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin. Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2ºC, waktu yang dibutuhkan untuk pematangan daging adalah 10-15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menjadi 7-8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1-2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut. Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam mendegadasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Ada dua jenis aging pada karkas/daging
1. Dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu
(33)
0-1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21-28 hari.
2. Wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastik hampa udara, suhu 0-1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup.
Proses aging dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kelembaban: kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun.
2. Suhu: pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat,
3. Kecepatan udara: pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan,
Kualitas Daging
Kualitas daging adalah karaketristik daging yang dinilai oleh konsumen. Beberapa karakteristik kualitas daging yang penting dalam pengujian yaitu sifat fisik daging dan sifat kimia kimia.
Sifat Fisik Daging
Sifat fisik daging meliputi nilai pH, daya ikat air, susut masak, dan keempukan (tekstur) daging.
Nilai pH
Nilai pH awal diukur pada awal pengukuran setelah dipotong sampai 45 menit sesudah pemotongan. pH akhir (ultimat) kira-kira 24 jam setelah pemotongan. pH normal daging 5,4-5,8. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress sebelum pemotongan antara lain injeksi hormon/obat-obatan, spesies, individu ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya glikolisis. Setelah hewan mati metabolisme aerobic tidak terjadi karena sirkulasi darah yang
(34)
mem-bawa oksigen ke jaringan otot terhenti, sehingga metabolisme berubah menjadi sistem anaerobic yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan turunnya pH jaringan otot.
Menurut Soeparno (2005) faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara lemak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan.
Menurut Buckle et al. (1987) pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu daging. pH tinggi menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme. Penurunan nilai pH dalam otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dari daging, normalnya adalah 5,4 sampai dengan 5,8 (Soeparno, 1992). Lee et al. (2006) menjelaskan bahwa pada ternak stres cadangan glikogen dan adenosin triphosphate (ATP) rendah sehingga ternak kehabisan energi sesaat setelah ternak mati dan level Ca2+ dalam sarkoplasma akan cepat meningkat. Level Ca2+
Setelah pH menurun pasca pemotongan, kemudian pH akan mencapai konstan pada beberapa waktu dan waktu ini bertambah meskipun daging dalam keadaan dingin dan akan naik lagi pH-nya pada kontaminasi dan kondisi membusuk. Bila pH mencapai 6,7 atau lebih, secara objektif pembusukan telah terjadi dan akan terbentuk perubahan bau, warna, dan susunan komposisinya (Forrest
yang tinggi memicu perombakan glikogen dalam waktu singkat hingga rigormortis lebih cepat sedangkan pH tetap tinggi.
et al. 1975, dalam Aprilya 2010).
Daya Mengikat air
Daya ikat air oleh protein daging disebut juga water holding capacity atau water bonding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat air dalam jaringan daging tersebut atau air yang ditambahkan selama
(35)
ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005).
Salah satu istilah yang terkait dengan WHC adalah drip yaitu kehilangan cairan (eksudasi) dari daging. Drip biasanya terjadi selama pengangkutan, pameran (display) dan penyimpanan. Adanya drip menyebabkan kerugian seperti penerunan berat daging, berkurangnya kelezatan dan berkurangnya nilai gizi.
Bouton et al.
Nilai daya mengikat air oleh protein daging ditentukan dengan metode pengepresan menurut Hamm (Swatland, 1984). Penurunan nilai daya ikat air oleh protein daging, dan pada saat penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku (Bratzler et al .,1977 dan Lawrie, 1979). Proses pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging,sehingga daya ikat air terhadap protein daging akan semakin lemah, yang akan menyebabkan nilai daya ikat air (Bhattacharya et al ., 1988). Hal ini juga akan terlihat pada banyaknya cairanyang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah (Soeparno, 1998). Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai susut masak (Jamhari, 2000).
(1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul air. Pada saat pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging akan terjadi kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang yang lebih banyak bagi molekul-molekul air. Dengan demikian pada saat pH daging diatas atau dibawah titik isolektrik protein-protein daging maka DMA akan meningkat.
(36)
Keempukan
Keempukan adalah salah satu sifat mutu yang penting pada daging. Daging yang empuk adalah hal yang paling dicari konsumen. Salah satu cara untuk mendapatkan daging yang em-puk dilakukan dengan penambahan enzim proteolitik yaitu enzim yang mampu memecah atau mengurai protein. Tingkatan keempukan pada daging, menurut Soeparno (1992), dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein otot yaitu protein jaringan ikat, miofibril, dan sarko-plasma. Laju penurunan nilai pH mempengaruhi keempukan daging.
Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara laian meliputi metode pelayuan (chilling), refrigasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta mode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.
Penggunaan otot longissimus dorsi sebagai sampel juga mempengaruhi nilai keempukan. Shank et al. (2002) menyatakan otot longissimus dorsi merupakan salah satu otot pasif (bukan merupakan otot gerak) sehingga jumlah ikatan silang pada otot sedikit, sehingga mengakibatkan daging lebih empuk dibanding otot aktif.
Susut masak
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno, 1992).
(37)
Shanks et.al. (2002) menyatakan bahwa daging dengan daya mengikat air rendah akan mengeluarkan banyak air ketika daging mengalami pemasakan (pemanasan) akibat kerusakan membran seluler dan degadasi protein. Besarnya nilai susut masak pada daging juga dipengaruhi oleh umur yang relatif masih muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging masih relatif rendah dibanding ternak yang lebih tua.
Menurut Soeparno (1994), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya ikat air (WHC) yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.
Tekstur
Secara teknis pengukuran tekstur dapat dilakukan dengan uji penekanan atau pembuatan lubang kecil. Alat yang digunakan adalah instrumen uji mekanis instron yang mengukur kekerasan dan saya kunyah (Purnomo, 1995). Bahan yang ditekan dengan jarum hard teksturometer adalah pada bagian tengah, kiri dan kanan. Rataan dari ketiga pengukuran tersebut merupakan tekstur bahan (Slamet et al., 1984).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi tekstur bahan pangan antara lain rasio kandungan lemak, protein, jenis protein, suhu pengolahan, kadar air dan aktivitas air (Purnomo, 1995). Sedangkan Soehardjoprasetojo (1993) menjelaskan bahwa lemak diantara kelompok-kelompok daging akan memutuskan serat-serat daging. Lawrie (1995) menyatakan pergerakan otot yang aktif mengakibatkan tekstur otot tersebut terlihat kasar daripada yang tidak aktif. Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah pada saat pemotongan.
(38)
Sifat Kimiawi Daging
Sifat kimiawi daging meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar), analisis kolestrol.
Analisis proksimat
Analisis proksimat meliputi protein kasar, lemak kasar, kadar air dan kadar abu. Daging mentah mengandung protein sekitar 19-23% tergantung dari kadar lemaknya yang mempunyai hubungan negatif antara kedua konstituen tersebut. Setiap 100 g protein daging masak memenuhi sekitar 25-30% atau setara dengan 45-55% dari kebutuhan protein sehari yang dianjurkan NRC (1988). Song (2000) menyatakan hewan yang diberi pakan dengan level energi tinggi berpengaruh terhadap peningkatan kadar lemak daging. Peningkatan kadar lemak diikuti dengan penurunan kadar air daging.
Setiap kandungan nutrisi dalam daging ternak berbeda-beda tiap ternak. Pada Tabel 3 dapat dilihat kandungan komposisi kimia daging dari berbagai jenis ternak.
Tabel 3. Komposisi kimia daging rendah lemak dari berbagai spesies ternak (%) Species Air Protein Lemak Abu
Sapi 1 70-75 20-22 4-8 1
Ayam 1 73.7 20-23 4.7 1
Domba 1 73 20 5-6 1.6
Babi 1 68-70 19-20 9-11 1.4
Rusa 2 71.8+0.7 23.6+0.6 2.8+0.4 1.1+ 0.1
Keterangan:1. Fennema (1985), 2. Wiklund et al. (2007),
Sebagaimana ditunjukkan pada perbandingan nilai nutrisi antara rusa sambar dengan hewan domestik lainnya (Semiadi et al, 2003) tampak bahwa kualitas daging rusa, apapun jenisnya, cukup konsisten dan lebih baik dibandingkan dengan daging asal ternak lainnya.
(39)
Analisis kolestrol
Kolesterol adalah suatu jenis stero (zoosterol) yang banyak dijumpai pada jaringan hewan, kuning telur, dan air susu, dan merupakan zat yang berguna untuk menjalankan fungsi tubuh. Pada produk tersebut, kolesterol terdapat dalam bentuk bebas dan tersterifikasi dengan asam lemak. Rumus molekul kolesterol adalah C27H46
Kolesterol berasal dari lemak yang menghasilkan 9 kalori. Sementara itu, karbohidrat dari tepung dan gula hanya menghasilkan 4 kalori. Lemak yang dimakan terdiri atas lemak jenuh dan lemak tak jenuh yang masing-masingdibutuhkan tubuh. Selain berguna untuk proses metabolism, kolesterol berguna untuk membungkus jaringan syaraf (meilin), melapisi selaput sel, dan pelarut vitamin. Pada anak-anak kolesterol dibutuhkan untuk mengembangkan jaringan otak, daging dan kulit ayam (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002).
O dengan berat molekul 386,64 dan perbandingan C: H: O adalah 83,87%: 11.99%: 4,14% (Robert et al., 2003).
Kolesterol adalah suatu molekul lemak di dalam sel dibagi menjadi LDL, HDL, total kolesterol dan trigliserida. Kolesterol sebenarnya merupakan salah satu komponen lemak. Seperti kita ketahui, lemak merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh kita disamping zat gizi lain seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Lemak merupakan salah satu sumber energy yang memberikan kalori paling tinggi. Disamping sebagaig salah satu sumber energi, sebenarnya lemak atau khususnya kolesterol memang merupakan zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh kita terutama untuk membentuk dinding sel-sel dalam tubuh.
Kolesterol juga merupakan bahan dasar pembentukan hormon-hormon steroid. Kolesterol yang kita butuhkan tersebut, secara normal diproduksi sendiri oleh tubuh dalam jumlah yang tepat. Tetapi ia juga bias miningkatkan jumlahnya karena asupan makanan yang berasal dari lemak hewan, telur da yang disebut sebagai makanan sampah (junkfood). Kolesterol dalam tubuh yang berlebihan akan tertimbun di dalam dinding pembuluh darah dan menimbulkan suatau kondisi yang disebut aterosklerosis (Lee dan Salminen, 2009) yaitu penyempitan atau pengerasan pembuluh darah. Kondisi ini merupakan cikal bakal terjadinya penyakit jantung dan stroke pada manusia (Purnomo et al., 2006).
(40)
Unsur-unsur lemak dalam darah terdiri atas kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas. Hanya seperempat dari kolesterol yang terkandung dalam darah berasal langsung dari saluran pencernaan yang diserap dari makanan, sisanya merupakan hasil produksi tubuh sendiri oleh sel-sel hati (Yayasan Jantung Indonesia, 2003).
Asam lemak bebas sendiri terdiri atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid). Ada dua asam lemak tak jenuh, yakni asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acid). Jenis asam lemak tak jenuh lebih menyehatkan dibanding asam lemak jenuh. Jika asam lemak dibiarkan bebas berlebihan dalam darah, maka akan disimpan sebagai trigliserida. Sebagian kolesterol dalam tubuh dibuat dari trygliserida yang berlebihan juga. Oleh karena itu, jika triglyserida dalam darah berlebih, kolesterol darah juga bisa ikut berlebih. Jumlah kandungan kolesterol pada ternak berbeda beda tiap ternak. Pada Tabel 4 dapat dilihat perbandingan kolestrol daging tiap ternak.
Tabel 4. Perbandingan kandungan kolestrol daging ternak
Hewan Kolestrol (mg/100g)
Kancil1 50.00
Sapi2 86.00
Babi2 85.00
Ayam2 89.00
Domba2 92.00
Itik2 89.00
Angsa2 96.00
Anak sapi (veal)2 118.00
Bison3 54.10
Rusa Jantan3 50.20 Sumber: 1. Rosidi et al. (2010)/
2. Gillespie (1998). 3. Rule et al. (2002).
(41)
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Beberapa lokasi yan terlibat dalam penelitian yaitu: Kecamatan Bireun Kabupaten Tengah Propinsi Aceh untuk pengambilan sampling daging rusa buru. Penangkaran rusa milik Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di depan biro rektor Universitas Sumatera Utara untuk pemeliharaan rusa secara intensif. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk analisis kualitas fisik dan kimia daging dan Balai Laboratorium Kesehatan Sumatera Utara untuk analisis kolesterol daging rusa. Penelitian dilakukan selama 5 bulan yaitu mulai bulan Februari sampai Juli 2012.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian
Rusa hasil buruan
Daging rusa buru yang berasal dari dua ekor yang diambil bagian kaki depan, kaki belakang dan punggung, es untuk menjaga kondisi daging tetap segar.
Pemeliharaan rusa
Dua (2) ekor rusa sambar lepas sapih dipelihara secara intensif dalam kandang dipenangkaran selama 2 bulan. Rusa diberi pakan berupa hijauan dan konsentrat (PK 16%). Bahan lain yang digunakan adalah pakan terdiri atas hijauan (campuran rumput dan legume), konsentrat (campuran dari bungkil inti sawit, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak halus, onggok, tepung ikan, urea dan mineral) dan air minum yang diberikan ad libitum. Obat-obatan yang digunakan selama penelitian untuk menjaga dan mengobati rusa antara lain: obat cacing, obat kutu, cipper killer (obat untuk membasmi serangga), hematophan, biosalamin dan antibiotik pennicilin. Bahan yang dibutuhkan pada pemotongan rusa yang dipelihara adalah air dan es.
(42)
Analisis Laboratorium
Daging rusa buru, daging yang berasal dari rusa yang dipelihara secara intensif, Reagen yang digunakan untuk analisis: air, K2SO4, CuSO4,
NaOH 40%, H2SO4 pekat, H2SO4 0.02N, NaOH 0.02 N, Indikator mengsel,
Heksan, NaCl, KCl, Na2HPO4
.
, aquades, dietil eter, Kit kolesterol dari CE. Dialab (Dialab Production Und Vertrieb Von Chemich-Technischen produkten and laborinstrumenten Geselsschaft mb.H).
Alat Penelitian
Sampling Rusa Buru dan Pemeliharaan Intensif
Box es sebagai tempat sampel daging, plastic wax untuk membungkus daging, pisau untuk memotong daging menjadi ukuran yang lebih kecil, dan freezer. Pemeliharaan rusa dibutuhkan: 2 unit kandang individual masing-masing dengan ukuran panjang 3 m dan lebar 2,5 m. Kontruksi dinding kandang terbuat dari kawat kerangka kayu pada semua sudut kandang dan lantai kandang dari tanah yang dilapisi pasir. Masing-masing kandang individu dilengkapi tempat pakan hijauan yang terbuat dari kayu diletakkan menempel pada dinding kandang, ember untuk tempat konsentrat dan ember untuk tempat minum. Pisau, ember, alat penggantung daging rusa digunakan saat pemotongan rusa. Plastik wax, box es, freezer untuk penyimpanan daging rusa sampai tiba waktu analisis kualitas daging.
Analisis Laboratorium
Peralatan untuk analisis proksimat dan pengukuran kualitas fisik dan kimia daging yaitu: sendok makan, serbet, flannel, cawan pengabuan dan cawan porselen, tanur (muffle), teksturometer, penjepit cawan, oven, desikator, timbangan, spatula, kalkulator, sendok stainless stell, oven (fisher), desikator, cawan aluminium, timbangan, serbet, flannel, sendok makan, serbet, flannel, talenan, pisau stainless steel, kalkulator, tabung Kjedahl, erlenmeyer (pyrex), cawan aluminium, oven (fisher), timbangan (sartorius), perangkat destilasi, masker, sarung tangan, selonsong, soxchlet, pendingin balik, labu didih, oven, timbangan analitik, erlenmeyer, penangas air, hotplate, desikator, selonsong
(43)
karet, kalkulator, label, masker, pipet tetes, erlenmeyer, beaker glass, pisau, gunting, plastic wax, microlab 300 (e-merk ), kertas Whatman-42, pelat besi dengan beban sebesar 35 kg/cm2, micro tube, aluminium foil dan tabung reaksi.
Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis ragam dengan rancangan tersarang dan dilakukan uji lanjut BNJ jika hasil analisis ragam menunjukkan berbeda tidak nyata dan berbeda sangat nyata.
Peubah Penelitian
I. Analisis kualitas fisik daging meliputi: a. Nilai pH
b. Daya mengikat air c. Susut masak d. Tekstur
II. Analisis kualitas kimia daging dibagi 2 yaitu: a. Analisis Proksimat terdiri dari:
1. Kadar air 2. Kadar abu 3. Protein kasar 4. Lemak kasar b. Analisis kolesterol
(44)
Pelaksanaan Penelitian Rusa hasil buruan
Prosedur yang dilakukan dalam pengambilan sampel daging rusa hasil buruan adalah sebagai berikut:
a. Menentukan daerah pengambilan sampel rusa buru
b. Menghubungi pemburu rusa dan menjelaskan bagaimana mengambil sampling daging rusa
c. Rusa hasil buruan diambil dagingnya dari tiga bagian (paha depan, paha belakang dan punggung) diambil sebanyak 1 kg tiap bagian
d. Daging dibungkus plastik wax dan dimasukkan kedalam freezer -150
e. Daging beku dimasukkan kedalam box es yang telah di isi es kemudian sampling dibawa ke medan dan kondisi daging tetap dalam kondisi beku
C
f. Daging beku dibawa ke Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan dilakukan analisis terhadap kualitas fisik dan kimia daging.
Pemeliharaan rusa
Pelaksanaan pemeliharaan rusa yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Persiapan kandang
Kandang terdiri dari 2 unit masing-masing dengan ukuran 1.5 x 3 m yang dilengkapi tempat pakan serta tempat minum.
b. Memasukkan rusa kedalam kandang
Rusa dimasukkan ke dalam kandang dengan cara memberikan konsentrat sebagai umpan yaitu dengan memberikan konsentrat sedikit demi sedikit mulai dari luar kandang hingga masuk ke dalam kandang.
c. Menyusun Ransum Rusa
Ransum yang digunakan dalam penelitian adalah susunan ransum yang telah diteliti sebelumnya untuk melihat pertambahan bobot badan dan konversi pakan pada rusa Sambar jantan lepas sapih (Tafsin et al. 2011). Bahan-bahan
(45)
yang digunakan dalam penyusunan ransum dan susunan ransum dapat dilihat pada Tabel 5, 6 dan 7.
Tabel 5. Kandungan bahan pakan (dalam bahan kering)
No Susunan Bahan Pakan Kandungan (%)
PK TDN LK SK Ca P
1 Bungki inti sawit * 17.9 84 4.8 11.2 0.28 0.51 2 Bungkil kelapa* 21.6 85 10.2 12.1 0.21 0.65 3 Bungkil kedelai* 51.9 79 1.3 5.1 0.34 0.7
4 Dedak padi* 13.8 74 14.1 11.6 0.12 1.51
5 Tepung ikan* 61.2 59 7.9 2.6 6.61 4.34
6 Ultra Mineral** 0 0 0 0 23.3 18
7 Garam 0 0 0 0 0 0
8 Onggok* 11.2 68 4.3 6.5 2.16 0.43
Sumber : * Hartadi et al (1997), ** Ultra mineral produksi Ekafarma, Semarang (2010). Tabel 6. Komposisi konsentrat perlakuan
Susunan Bahan Pakan Perlakuan
No PK (16 %)
1 Bungkil inti sawit 34
2 Bungkil kelapa 4
3 Bungkil kedelai 2.5
4 Dedak padi 32
5 Tepung ikan 1
6 DCP 1
7 Garam 0.5
8 Onggok 25
Total 100
Sumber: Tafsin et al. (2011).
Tabel 7. Kandungan Nutrisi Konsentrat Perlakuan
No Uraian Kandungan Nutrisi (%)
1 Protein Kasar (PK) 16.00
2 Total digesti nutrisi (TDN) 75.21
3 Lemak Kasar (LK) 7.74
4 Serat kasar (SK) 9.78
5 Kalsium (Ca) 0.99
6 Pospor (P) 1.03
(46)
d. Pemberian pakan dan minum
Rusa diberi pakan yang terdiri dari hijauan dan konsentrat yang diukur konsumsinya setiap hari. Air minum tersedia secara terus menerus didalam kandang. Penimbangan bobot hidup dilakukan sebelum masuk perlakuan penelitian dan akhir penelitian.
e. Pemotongan rusa
Rusa yang dipelihara selama 2 bulan dan mendapat perlakuan pakan dipotong untuk diambil dagingnya. Pemotongan rusa dilakukan secara halal setelah dipuasakan selama 24 jam. Pemotongan ternak rusa dilakukan dengan memotong leher sehingga vena jugularis, oesophagus dan trachea terputus sehingga pengeluaran darah dapat berjalan lancar. Kemudian kepala ternak , kaki belakang, dan kaki depan dipisahkan dipisahkan lalu ternak digantung pada kedua kaki belakang dan dikuliti. Setelah selesai kulit dilepas maka diukur semua karkas dan organ tubuh ternak rusa dan diambil daging dari 3 bagian tubuh rusa yaitu paha depan, paha belakang dan punggung sebagai sampel penelitian. Daging langsung dibawa ke Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan dilakukan analisis kualitas fisik dan kimia daging.
Analisis Laboratorium
Daging rusa buru, daging yang berasal dari rusa yang dipelihara secara intensif. Bahan analisis proksimat dan pengukuran kualitas fisik dan kimia daging.
Prosedur analisis Laboratorium I. Pengukuran Kualitas Fisik
a. Nilai pH ((AOAC, 2005).)
Prosedur Pengukuran nilai pH dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Daging rusa dari tiap bagian diambil sebagai sampel yang akan diuji
sebanyak 5 g dan daging dihaluskan
2. Daging yang sudah halus dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahakan aquades 100 ml dan diaduk sampai homogen
3. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan alat pH meter digital. Sebanyak 10 gam sampel daging dihaluskan, ditambahkan 100 ml
(47)
akuades untuk membasahi kemudian dihomogenkan. Nilai pH diukur dengan menempatkan elektroda pada larutan sampel beberapa saat hingga nilai stabil.
4. Data yang ditunjukkan pada pH meter dicatat.
b. Daya mengikat air (Soeparno, 1998)
Prosedur Pengukuran Daya mengikat air dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Daging rusa dari tiap bagian yang akan diuji diambil sebagai sampel sebanyak 0.3 g
2. Sampel diletakkan diantara 2 kertas whatman-42 kemudian dilapis dua pelat besi dengan beban sebesar 35 kg/cm2 selama 5 menit 3. Daerah yang tertutup sampel daging dan daerah yang basah diukur
dan ditandai
4. Daya mengikat air yang diperoleh dengan menghitung kandungan air daging yang bebas (mg H2O) dan dipersentasekan terhadap berat sampel.
Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: mg H2O = (daerah basah (cm2)/ 0,0948) - 8,0 % air bebas = (mg H2O/ bobot sampel) x 100%
c. Susut masak (cooking loss) (Soeparno, 1998)
Prosedur Pengukuran susut masak dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Daging dari tiap bagian yang akan diuji diambil sebagai sampel sebanyak 5 g
2. Air dipanaskan sampai mendidih
3. Sampel daging masing-masing dimasukkan kedalam air yang telah dipanaskan dan dibiarkan selama 10 menit
4. Daging diambil kemudian ditiriskan dan didinginkan hingga beratnya konstan
(48)
6. Penyusutan akibat pemasakan dihitung
Penyusutan akibat pemasakan dihitung dengan rumus berikut: % susut masak = bobot sebelum dimasak – bobot setelah dimasak
Bobot sebelum dimasak
X 100%
d. Tekstur (Soeparno, 1998)
Tekstur yang diukur adalah sampel daging sebelum dimasak dan setelah dimasak, yaitu dengan cara:
1. Daging yang akan diuji sebagai sampel diambil sebanyak 5 g dari tiap bagian daging rusa (paha depan, paha belakang dan punggung).
2. Daging ditempatkan tepat ditengah alat pengukur. Alat yang digunakan adalah teksturometer, kemudian daging ditekan dengan jarum teksturometer dan dilihat berapa angka yang ditunjukan oleh alat tersebut. Tekstur yang diamati yaitu tekstur daging sebelum dimasak dan tekstur daging sesudah dimasak.
3. Uji penekanan atau pembuatan lubang kecil dilakukan pada bahan bahan yang ditekan dengan jarum hard teksturometer adalah pada posisi daging tegak, menyamping dan tidur.
4. Rataan dari ketiga pengukuran tersebut merupakan tekstur bahan.
II.Pengukuran Kualitas Kimia
a. Analisis Proksimat (AOAC, 2005)
Prosedur Penentuan Kadar Air, yaitu
1. Cawan aluminium dicuci bersih dan dikeringkan dalam oven selama 15 menit dengan suhu 100-1050
2. Bahan ditimbang dengan teliti sebanyak 2-5 gam kemudian dimasukkan ke dalam cawan aluminium
C, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang berat cawan aluminium kosong
3. Cawan aluminium yang berisi sampel dimasukkan kedalam oven dengan suhu awal 55-600C selama 1 jam, kemudian dinaikkan suhu
(49)
menjadi 100-1050 C selama 2-3 jam tergantung bahannya. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang.
Perhitungan: % Kadar air = Berat awal – berat akhir Berat akhir
x 100%
Prosedur Penentuan Kadar Abu, yaitu:
1. Bahan dari hasil perhitungan kadar air yang telah di oven disiapkan 2. Cawan pengabuan disiapkan, dikeringkan dalam oven pada suhu
100-1050
3. Sampel daging yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 2-5 gam, kemudian dibakar didalam tanur sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai massa konstan. Pengabu-abuan dilakukan dengan tiga tahap, yakni:
C, didinginkan dalam desikator selama 15 menit
Tahap pertama : dengan menggunakan suhu 1000 Tahap kedua : dengan menggunakan suhu 300
C selama 1 jam
0
Tahap ketiga : dengan menggunakan suhu 500
C selama 2 jam
0
4. Cawan yang berisi sampel dimasukkan kedalam desikator selama 30 menit dan ditimbang.
C selama 2 jam
Perhitungan:
% Abu = Berat Akhir Berat awal
x 100%
Prosedur Penentuan Kadar Protein, yaitu:
1. Bahan sampel daging ditimbang sebanyak 0.2 gam yang telah dikeringkan dalam oven lalu dimasukkan kedalam labu Kjeldahl.
2. Ditambahkan 2 gam campurkan K2SO4 dan CUSO4 dengan
perbandingan 1:1 dan ditambahkan 3 ml H2SO4
3. Labu Kjeldahl yang berisi sampel dan campuran K pekat
2SO4, CUSO4 dan
H2SO4 didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih selama 2 jam
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Abustam E. 2009. Konversi Otot Menjadi daging. http: cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi
daging.html.Valacute.2009
Andarwulan, N. Kusnandar, F. dan Herawati, D. 20011. Analisa pangan. Dian rakyat, Jakarta.
Anderson, R 1984 Deer farming in Australia In: Deer Refresher Course Proceedings no 72 Sydney: University of Sydney.
Astawan, M. 2008. Nikmati burger secara bijak. . Diakses pada tanggal 10 maret 2011.
Aoac. 2005. Official Methods of Analysis of Aoac International. 18th ed. Assoc. Off . Anal. Chem., Arlington.
Awal, A., N.J. Sarker, and K.Z. Husain. 1992. Breeding records of sambar deer (Cervus unicolor) in captivity. Bangladesh Journal of Zoology 20: 285-290. Proceedings. The Royal Society of New Zealand Bulletin 22: 379-380. Bellaney, C.F., 1993. Fallow deer velvet and co-product Proceedings of the
First World Forum on Fallow deer farming Mudgee, NSW Australia:197-198.
Berg, R.T dan R.M. Butterfield.1976. New Concepts of Cattle Growth. Sydney University Press, Sydney. Bovine Tissue II. Genetic Influences of Pattern of Fat Growth and Distribution in Young Bulls. J. Animal Prod. 28: 62-78. Bouton, P.E., A.L. Fort, P.V. Harris, W.R. Sorthose, D. Ratcliff and J.H.L.
Morgan. 1976. Influence cooking loss from meat. J. Anim. Sci. 44: 53. Bouton, P.E., P.V. Harris dan W.R. Shorthose, 1971. The Effect of Ultimate pH
Upon The Water-Holding Capacity and Tenderness of Mutton. J. Food Sci. 36: 435.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H., Fleet dan M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Causey, M.K. 2006. White-Tailed Deer Nutrition off-season Food Management. The School of Forestry & Wildlife Sciences. Alabama University, USA. Collins, A. 2006. Calories in Goat Meat. http://www.annecollins.co/calories/c
(2)
Djajanegara, A. 1999. Local livestock feed resources. In: Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis. RAP Publication 1999/37 : 29-39.
Drajat, A.S. 2002. Lokakarya Strategi dalam pemanfaatan dan pengembangan ternak rusa sebagai ternak alternatif penghasil daging dan hasil ikutannya yang bernilai tinggi. Jakarta, 10 September 2002. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
Eco India. 2008. Sambar Deer, Sambar, Deer in India, Sambar deer in Kaziranga National Park, Eco India.
Forrest , G.J., Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco. Game Animal Panel. 2007. Managing Numbers of Deer, Chamois, Tahr and Pigs.
.
Garsetiasih, R. dan Mariana. 2007. Model penangkaran rusa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. 2007.
Garsetiasih, R. 2007. Daya cerna jagung dan rumputsebagai pakan rusa (Cervus timorensis). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Garsetiasih, R. dan M. Takandjandji . 2007. Model penangkaran rusa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. 2007.
Garsetiasih, R. 1988. Daya cerna rumput dan campurannya dengan daun beringin, daun kabesak, dan daun turi sebagai pakan rusa (Cervus timorensis). Buletin Santalum 3:17-26.
Gillespie, J. R. 1998. Animal Science. Delmar Publishers, New York.
Grun, I. U., J. Ahn, A. D. Clarke, & C. L. Lorenzen. 2006. Reducing Oxidation Of Meat. Food. Tech. 1:36-43.
Hale, D.S. 1994. Grading in Structure and propersies of tissues muscle foods; Kinsman, D.M, Kosula, A.W, Breideunstein, B.C (Editors). Chapman and Hall, New York.
Handarini , R. 2005. Dinamika Aktivitas Reproduksi Berkaitan dengan Tahap Pertumbuhan Ranggah Rusa Timor (Cervus timorensis) Jantan Dewasa. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Handarini, R ND Hanafi, dan M. Tafsin 2009 Upaya Peningkatan Populasi Rusa Sambar (Cervus unicolor) Melalui Pendekatan Nutrisi Dan Manajemen Reproduksi Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Faperta USU Medan . Hartadi, H Reksohadiprodjo, S Tillman AD. 2005. Tabel Komposisi Pakan
(3)
Jacoeb, T. N. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Kanisius, Yogyakarta.
Judge,M.D.,E.D.Aberle, E.D.Forrest, J.C.,Hedrick,H.B and R.A. Merkol. 1989. Principples of Meat Science, Kendall/Hunt. Publishing Co. Dubugue, Lowa.
Kasryno, F dan N. Syafa'at. 2002. Strategi Pembangunan Pertanian yang Berorientasi Pemerataan di Tingkat Petani, Sektoral dan Wilayah. Prosiding PerspektifPembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah (Penyunting: I.W. Rusastra et al.). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Lee, J. H., G. Kannan, & B. Kouakou. 2006. Concentration and distribution of conjugated linoleic acids and trans-fatty acid in small ruminant milk and meat lipids. J. Food Lipid 13:100-107.
Lukman, Denny W. Nilai pH Daging (1). [13 september 2010].
Lawrie, R.A. 1985. Meat Science. Fourth Edition, Pergamon Press. Oxford. Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. UI-Press,
Jakarta.
McCormick, R.J. 1994. Structure and propersies of tissues muscle foods; Kinsman, D.M, Kosula,A.W, Breideunstein, B.C (Editors). Chapman and Hall, New York.
Naipospos T.S.P. 2003. Rencana Strategis Pemanfaatan Rusa Sebagai Usaha Aneka Ternak. Makalah Lokakarya Pengembangan Rusa. Ditjennak, 11 September 2003.
NRC. 1988. Designing Food, Animal Product Option in the Market Place. National Research Council, Academy Press, Washington. DC.
Nugent G, K. W. Fraser, G. W. Asher, K. G. Tustin. 2001. Advances ini New Zealand Mammaligy 1990-2000: Deer. Journal of The Royal Society of New Zealand, 31:263-298.
Page, J. K., D. M. Wolf, & T. R Schwazer. 2001. A Survey Of Beef Muscle Color and pH. J.Anim. Sci. 79: 678–687.
Pilliang, G.W., 1997. Strategi Penyediaan Pakan Ternak Berkelanjutan Melalui Pemanfaatan Energi Alternatif. Orasi Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Prijono, S.N. dan S. Handini. 1998. Memelihara, Menangkar dan Melatih Nuri. Penebar Swadaya Jakarta.
(4)
Purnomo, H. 1995. Aktifitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta.
Purnomo, H., D. Rosyidi, & R. P. Prastiti. 2006. Pro fi l koles-terol daging kambing peranakan etawah (PE) jantan dan kambing persilangan boer (PB) kastrasi. J. Anim. Prod. Sci. and Tech. 1:1-4.
Putri, T.S. 2002. Komoditi rusa ditinjau dari perspektif pengembangan budidaya dan aspek legalitas. Lokakarya Pengembangan Budidaya Rusa Sambar,. Samarinda. Makalah Desember 2002.
Robert, K.M., Daryl, K.G.,Peter, A.M., Viktor, W.R. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Rule, D. C., K. S. Broughton, S. M. Shellito, & G. Maiorano. 2002. Comparison of muscle fa Ĵ y acid pro fi les and choles -terol concentrations of bison, beef caĴ le, elk, and chicken. J. Anim. Sci. 80:1202-1211.
Shanks, B. C., D. M. Wulf, & R. J. Maddock. 2002. Technical note: The Effect Of Freezing On Warner Blatzer Shear Force Value Of Longissimus Steaks Across Several Postmortem Aging Periods. J. Anim. Sci. 80:2122-2125. Semiadi, G. 2007. Pemanfaatan satwa liar dalam rangka konservasi dan
pemenuhan gizi masyarakat. Zoo Indonesia 16: 63 – 74.
Semiadi, G dan Nugrah R.T.P. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bogor. Semiadi, G., Y. Jamal, W.R Farida., M. Muchsinin. 2003. Kualitas Daging Rusa
Sambar (Cervus unicolor) Hasil Buruan Di Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bogor.
Semiadi, G. 2002. Gambaran Umum Dunia Peternakan Rusa dan Harapannya di Indonesia. Workshop Potensi Pengembangan Ternak Rusa. Jakarta 10 September 2002.
Semiadi, G dan Y. Jamal . 2002. Gambaran Awal Mengenai Kualitas Venison Rusa Sambar yang Diperjualbelikan di Pasar Tradisional di Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Puslit Biologi LIPI.
Semiadi, G. 2001. Pemanfaatan Rusa Tropik sebagai Ternak Baru. Makalah Reasonable Discussion Potensi Peternakan Rusa, Puslitbang Pertanian, Bogor 11 Desember 2001.
Slamet, S. Bambang dan Suhardji. 1984. Prosedur dan Analisa Bahan Makanan. Liberty, Yogyakarta.
Soegiri, J , M S Siahaan, dan N M Thaib 1981 Ransum praktis untuk ternak potong Direktorat Bina produksi Dirjen Peternakan Jakarta.
(5)
Soehardjoprasetojo. 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wool. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging cetakan keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan teknologi daging cetakan ke tiga. Gadjah mada university, yogyakarta.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Song, M. K. 2002. Fatty acid metabolism by rumen microorgan-isms. Asian-Aus. J.Anim. Sci. 13:137-148.
Suardana, I. W. & I. B. N. Swacita. 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan Prinsip Dasar. Udayana University Press, Denpasar.
Sudarmadji, S., B. Haryono, & Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Susmianto, A. 2002. Pemanfaatan Satwa Liar Berpotensi Menurut
Perundang-undangan. Workshop Potensi Pengembangan Ternak Rusa, Jakarta 10 September 2002.
Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Takandjandji, M. 1993. Pengaruh Perbedaan Manajemen terhadap Pertumbuhan Rusa Timor (Cervus timorensis) di Oilsonbai dan Camplong, NTT. Santalum Nomor 12. BPK Kupang.
Triatmojo, S. 1992. Pengaruh penggantian daging sapi dengan kerbau, ayam, dan kelinci pada komposisi dan kualitas fisik bakso. Buletin Peternakan 16:63‐71.
Turner, D.C. and Bagnara, T.J. 1976, Endokrinologi Umum. Penerjemah: Harsojo. Airlangga University Press, Jakarta.
Usmiati S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Artikel. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kampus Penelitian Pertanian, Bogor.
Whitehead, G.K. 1994. Ancylopedia of deer. Swann Hill Press,. Shewsbury. 912.pp
Wikipedia. 2008. Sambar Deer. http/wikipedia.org. Diakses tanggal 1 Mei 2008. Wikipedia. 2005. Daging Rusa. http/wikipedia.org
(6)
Wiklund,E.,T.R.Manley, R.P.Littlejoha and M. Stevenson-Barry. 2007. Fatty Acid Composition and Sensory Quality of Musculus Longissimus and Carcas Parameters in Red Deer (Cevus elaphus) Grazed on Natural Pasture or Feed a Commercial Feed Mixture. Journal of The Science of Food and Agriculture. 83: 419-424.
Wildlife and Fisheries. 2001. White-Tailed Deer Nutrition. Mississippi State University Extention Service.
Wiryowidagdo, S, dan Sitanggang,M. 2002. Tanaman Obat Untuk Penyakit Jantung, Darah Tinggi dan Kolesterol. Edisi Revisi Agromedia Pustaka. Hal 13.
Wismer-Pedersen, J. 1971. Pada The Science of Meat and Meat Products. 2nd Ed. J.F. Price and B.S. Schweigert, W.H. Freeman and Co., San Fransisco.