Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) Dengan Berbagai Ratio Betina

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN
BERBAGAI RATIO BETINA

SKRIPSI

Oleh:
JULI MUTIARA SIHOMBING
060306020

DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2010

Universitas Sumatera Utara

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN
BERBAGAI RATIO BETINA

SKRIPSI
Oleh:

JULI MUTIARA SIHOMBING
060306020/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2010

Universitas Sumatera Utara

Judul
Nama
Nim
Departemen
Progam Studi


:iPola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor)
dengan Berbagai Ratio Betina
: Juli Mutiara Sihombing
: 060306020
: Peternakan
: Peternakan

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ristika Handarini, MP
Ketua

Ir. Eniza Saleh, MS
Anggota

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP
Ketua Departemen Peternakan


Tanggal Acc :

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus
unicolor) dengan berbagai Ratio Betina. Dibimbing oleh RISTIKA HANDARINI
dan ENIZA SALEH.
Informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan untuk penerapan
teknologi reproduksi pada ternak rusa. Penelitian ini menguji perbedaan pola
perkawinan rusa sambar (cervus unicolor) dengan berbagai ratio jantan dan
betina. Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan
peternakan rusa . Pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina untuk setiap
ratio jantan dan betina yang diamati adalah 1:1, 1:3 dan 1:5. Pencatatan data
meliputi tingkah laku reproduksi rusa jantan, tingkah laku estrus pada rusa betina
dan pola perkawinan yang muncul dan frekuensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perkawinan dengan rasio jantan
dan frekuensi pemunculan gejala estrus dan tingkah laku kawin dikandang 1:3

lebih tinggi dibandingkan dengan dikandang 1:1 dan 1:5. Not Return Rate pada
kandang ratio 1:3 yaitu 100 % artinya betina berhasil dikawini pejantan dan tidak
menunjukkan gejala estrus pada siklus berikutnya.
Kata kunci : Pola Perkawinan, Rusa Sambar (Cervus unicolor), Rasio Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pattern of Matting Behavior of Sambar Deer
(Cervus unicolor) in
various ratio of hinds. Supervised by RISTIKA
HANDARINI and ENIZA SALEH.
Information on reproductive patterns is required for the application of
reproductive technology in breeding deer. Purpose of this research was to study
differences pattern of matting behavior of sambar deer (Cervus unicolor) with
various ratio of hind. This research could be used as a reference in the
development of farmer deer. Profile of reproductive interactions between stag and
hinds were observed on 1:1, 1:3 and 1:5. Data collected were patterns of: sexual
behavior of sambar stags, estrous behavior of sambar hinds and matting behavior

(frequency and time duration) of sambar stags and hinds.
The results showed that the pattern of matting behavior with ratio 1:3
indicates that behavior frequency of of stags in hard antler stage higher than ratio
1:1 and 1:5, respectively. Frequency of estrous signs and matting behavior on
ratio 1:3 higher than ratio 1:1 and 1:5, respectively. Not Return Rate on ratio 1:3
is 100%. It means that successfully matting can be showed by no estrous sign of
hinds in the next estrous cycle.
Keywords: Pattern of matting behavior, sambar deer (Cervus unicolor), matting
ratio

Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tarutung, Tapanuli Utara, 15 Juli 1988 dari ayah
W. Sihombing dan

Ibu A. Panggabean. Penulis merupakan putri keempat dari

lima bersaudara.

Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMU. Negeri 2 Tarutung dan pada tahun
yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur PMP (Pemanduan
Minat dan Prestasi). Penulis memilih program studi Ilmu Produksi Ternak,
Departemen Peternakan.
Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. INDOJAYA
AGRINUSA, COMFEED Mei 2009 sampai bulan Agustus 2009 dan
melaksanakan penelitian Skripsi pada bulan Maret 2010 hingga bulan Juni 2010 di
Penangkaran Rusa Universitas Sumatera Utara, Medan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Departemen Peternakan dan menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa
Departemen Peternakan Agustus 2009 sampai Mei 2010. Selain itu, penulis juga
aktif sebagai Asisten Dosen di Laboratorium Dasar Reproduksi Ternak dan Ilmu
Reproduksi Ternak dan Inseminasi Buatan (IB) Juni 2008 sampai bulan Juni
2010.

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skipsi ini dengan baik.
Proposal dengan judul “Pola perkawinan Rusa Sambar (Cervus
unicolor) dengan berbagai ratio betina” merupakan salah satu syarat untuk
dapat melakukan memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. sebagai dosen ketua pembimbing dan Ir. Eniza
Saleh, MS. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dalam penulisan skipsi ini. Ucapan terimakasih kepada Bapak Rektor
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas hewan penelitian
yaitu rusa sambar yang berada di penangkaran rusa USU. Ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan
dan memberikan dukungan moril serta materil sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya skripsi ini, semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2010


Penulis

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Hal
ABSTRAK............................................................................................................ i
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian ................................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian .............................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Rusa Sambar ..................................................................................... 5

Habitat ................................................................................................................... 7
Karakteristik Reproduksi Rusa Jantan dan Betina................................................... 8
Pola Kopulasi ....................................................................................................... 13
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................ 16
Bahan dan Alat ...................................................................................................... 16
Metode Penelitian ................................................................................................ 17
Parameter Penelitian ............................................................................................. 17
Pelaksanaan Penelitian ........................................................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkah Laku Reproduksi Rusa Jantan .................................................................. 21
Tingkah Laku Estrus Rusa Betina .......................................................................... 27
Tingkah Laku Kawin Rusa Jantan dan Betina ........................................................ 31
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan............................................................................................................ 39
Saran ................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No.
1.

Hal
Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras
dalam kandang kelompok

17

2.

Tingkah laku estrus pada rusa betina dalam kandang kelompok

18

3.

Tingkah laku kawin rusa dalam kandang kelompok


18

4.

Rataan frekuensi tingkah laku rerpoduksi rusa jantan pada tahap
ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina

21

Rataan durasi tingkah laku repoduksi rusa jantan pada tahap
ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina

22

6.

Rataan frekuensi gejala estrus

27

7.

Rataan lama (durasi) dari setiap gejala estrus

29

8.

Rataan frekuensi tingkah laku kawin

32

9.

Rataan Lama (durasi) tingkah laku kawin

34

10. Jumlah siklus estrus dengan berbagai ratio betina

37

5.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

No

Hal

1. Denah kandang rusa penelitian

19

2. Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada ranggah keras: (a) berkubang
(wallowing), (b) menguak, (c) membuat mahkota, (d) berguling-guling

26

3. Grafik rataan frekuensi tingkah laku reproduksi rusa jantan

27

4. Tingkah laku estrus rusa betina: (a) jantan nyengir, (b) betina urinasi dan
jantan melakukan rub urination, (c) posisi betina lordosis, (d) Betina
berkubang dengan jantan

30

5. Grafik rataan frekuensi gejala estrus rusa betina

31

6. Tingkah laku kawin: (a) jantan mencium genital betina, (b) ereksi, (c)
mounting dan intromisi, (d) ejakulasi dan posisi betina lordosis

35

7. Grafik rataan tingkah laku kawin

36

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus
unicolor) dengan berbagai Ratio Betina. Dibimbing oleh RISTIKA HANDARINI
dan ENIZA SALEH.
Informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan untuk penerapan
teknologi reproduksi pada ternak rusa. Penelitian ini menguji perbedaan pola
perkawinan rusa sambar (cervus unicolor) dengan berbagai ratio jantan dan
betina. Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan
peternakan rusa . Pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina untuk setiap
ratio jantan dan betina yang diamati adalah 1:1, 1:3 dan 1:5. Pencatatan data
meliputi tingkah laku reproduksi rusa jantan, tingkah laku estrus pada rusa betina
dan pola perkawinan yang muncul dan frekuensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perkawinan dengan rasio jantan
dan frekuensi pemunculan gejala estrus dan tingkah laku kawin dikandang 1:3
lebih tinggi dibandingkan dengan dikandang 1:1 dan 1:5. Not Return Rate pada
kandang ratio 1:3 yaitu 100 % artinya betina berhasil dikawini pejantan dan tidak
menunjukkan gejala estrus pada siklus berikutnya.
Kata kunci : Pola Perkawinan, Rusa Sambar (Cervus unicolor), Rasio Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pattern of Matting Behavior of Sambar Deer
(Cervus unicolor) in
various ratio of hinds. Supervised by RISTIKA
HANDARINI and ENIZA SALEH.
Information on reproductive patterns is required for the application of
reproductive technology in breeding deer. Purpose of this research was to study
differences pattern of matting behavior of sambar deer (Cervus unicolor) with
various ratio of hind. This research could be used as a reference in the
development of farmer deer. Profile of reproductive interactions between stag and
hinds were observed on 1:1, 1:3 and 1:5. Data collected were patterns of: sexual
behavior of sambar stags, estrous behavior of sambar hinds and matting behavior
(frequency and time duration) of sambar stags and hinds.
The results showed that the pattern of matting behavior with ratio 1:3
indicates that behavior frequency of of stags in hard antler stage higher than ratio
1:1 and 1:5, respectively. Frequency of estrous signs and matting behavior on
ratio 1:3 higher than ratio 1:1 and 1:5, respectively. Not Return Rate on ratio 1:3
is 100%. It means that successfully matting can be showed by no estrous sign of
hinds in the next estrous cycle.
Keywords: Pattern of matting behavior, sambar deer (Cervus unicolor), matting
ratio

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketercukupan dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya protein
hewani pertanian selama ini, selain komoditas ternak unggulan (ayam, sapi,
kambing, domba), beberapa komoditas "minor animals/livestock" perlu mendapat
perhatian (Bahri et al. 2004). Pengembangan komoditas baru tentu harus
disesuaikan faktor-faktor fisiologi, biofisik dan sosial ekonomi yang merupakan
sumber keunggulan wilayah (Simatupang et al. 2004). Rusa merupakan salah satu
alternatif sebagai hewan yang mempunyai potensi untuk ditingkatkan statusnya
mengingat ketersediaannya yang meluas hampir di setiap pulau di Indonesia.
Keunggulan rusa, venison (dagingnya) mempunyai kandungan lemak
rendah dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain kulit,
ranggah, velvet, tulang, darah, kulit dan gigi. Bahkan by product dari rusa (penis,
otot kaki belakang, ekor, fetus yang telah mati) tetap mempunyai nilai tinggi
untuk pengobatan China. Rusa menghasilkan daging (venison) dan sumber protein
yang sangat baik. Proporsi berat karkas dan berat hidup (dreesing percentage)
rusa mencapai 56 – 58% dibandingkan sapi (51 – 55% dan domba (44 – 50%).
Perbedaan nilai nutrisi daging rusa dengan beberapa jenis ternak lain
menurut Naipospos (2003) yaitu rusa (protein; 32 g, kalori; 159 kkal, lemak; 3,30
g, kolestrol; 66 mg), sapi potong (protein; 31 g, kalori; 214 kkal, lemak; 9,76 g,
kolestrol; 92 mg), babi (protein; 29 g, kalori; 219 kkal, lemak; 10,64 g, kolestrol;
101 mg), domba (protein; 25 g, kalori; 178 kkal, lemak; 7,26 g, kolestrol; 83 mg),

Universitas Sumatera Utara

ayam (protein; 31 g, kalori; 159 kkal, lemak; 3,42 g, kolestrol; 83 mg), kalkun
(protein; 29 g, kalori; 154 kkal, lemak; 3,45 g, kolestrol; 68 mg).
Mengingat potensinya, maka upaya peningkatan populasi rusa didukung
sepenuhnya

oleh

Direktorat

Jenderal

Bina

Produksi

Peternakan

agar

pengembangan rusa dapat semakin memasyarakat. SK Menteri Pertanian No.
362/KPTS/TN/12/V/1990, menyatakan bahwa rusa masuk dalam kelompok ternak
yang dapat dibudidayakan seperti ternak lainnya dan termasuk pula didalamnya
mengatur tentang peraturan izin usaha. Peraturan Pemerintah RI No 8 Tahun
1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar khususnya pasal 11 telah
memberikan peluang bahwa generasi ke dua (F2) hasil penangkaran sudah
merupakan ternak budidaya (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). SK Menteri
pertanian No. 404/KPTS/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan
Pendaftaran Usaha Peternakan: rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis hewan
yang dapat dibudidayakan dan dikembangbiakkan sebagai ternak, untuk
mendukung otonomi daerah maka dalam pengembangan budidaya rusa
kewenangan pemberian izin dan pengawasan dilimpahkan kepada Pemerintah
Daerah melalui BKSDA (Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam) setempat.
Pemanfaatan pada generasi ke dua (F2 atau G2) membutuhkan pencatatan
yang mampu menerangkan silsilah, struktur dalam populasi dan jumlahnya serta
asal muasal ternak rusa di suatu penangkaran. Data-data seperti bobot badan,
ukuran dimensi tubuh dan reproduksi sangat dibutuhkan untuk memprediksi
potensi produksi dan peluang peningkatan produktivitas melalui teknologi
pemuliabiakan. Melalui penomoran dan pencatatan yang teratur yang dilakukan
pada setiap rusa, dapat diperoleh proyeksi produksi ternak dari suatu populasi dan

Universitas Sumatera Utara

dapat mengatur ketersediaan rusa bagi pemenuhan produksi daging, ranggah, dan
kulit.
Upaya pengembangbiakan rusa diluar habitatnya membutuhkan kajian
yang

mendalam

agar

secara

alamiah

tidak

mengganggu

kemampuan

reproduksinya. Untuk tujuan peningkatan rusa dapat dipercepat dengan
memanfaatkan teknologi dan manajemen reproduksi. Dengan melibatkan
teknologi reproduksi maka selain tujuan peternakan tercapai juga sebagai upaya
konservasi plasma nuftah untuk mencegah kepunahan. Penerapan teknologi
reproduksi memerlukan informasi mengenai sifat-sifat fisiologis dan pola
reproduksi alamiah yang akurat. Untuk spesies rusa tropis, informasi pada kondisi
alamiahnya tersebut belum diperoleh.
Laju peningkatan populasi di habitat penangkaran tanpa introduksi
teknologi reproduksi masih kurang memuaskan. Disisi lain untuk penerapan
teknologi reproduksi diperlukan data-data dasar sifat-sifat fisiologis dan pola
reproduksi pada rusa sambar didaerah tropis belum tersedia. Data yang ada masih
diadopsi dari negara-negara empat musim yang secara fisiologi mempunyai
perbedaan terhadap respon panjang hari dan pemunculan aktivitas reproduksinya.
Oleh karena informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan sebelum
diterapkan teknologi reproduksi pada ternak rusa.

Tujuan Penelitian
Menguji perbedaan pola perkawinan rusa sambar (Cervus unicolor)
dengan berbagai ratio betina.

Universitas Sumatera Utara

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti,
masyarakat dan kalangan akademik tentang pola perkawinan dengan berbagai
ratio betina pada rusa Sambar (Cervus unicolor) sebagai komoditas ternak baru
yang cukup berpotensi. Hasil penelitian nantinya diharapkan dapat digunakan
sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan rusa, serta dapat digunakan
sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Rusa Sambar
Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk
daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu
pulau Sumatera, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara Timur dan Barat serta pulau
kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994).
Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah menurut
(Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class:
Mamalia, ordo: Artiodactyla, sub ordo: Ruminantia, famili: Cervidae, Sub famili:
Cervinae, genus: Cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor.
Famili cervidae merupakan kelompok kompleks terbagi atas 57 spesies
dan hampir 200 sub spesies. Rusa Sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi
man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia yang mempunyai ciri
berwarna coklat gelap dan tinggi pundak mencapai 102-160 cm dengan bobot
badan mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Tinggi badan pada rusa jantan
dapat mencapai 160 cm dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan rusa
yang betina mencapai 115 cm dengan berat badan 135-225 kg. Ukuran ini
bervariasi tergantung pada sub spesies. Ada kecenderungan sub spesies rusa
sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar (Awal et
al., 1992, Lewis et al., 1990). Peternakan rusa di Australia mencatat, rusa Sambar
betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984).
Warna bulu rusa sambar jantan umumnya coklat dengan variasi agak
kehitaman (gelap) pada yang tua. Ekor rusa sambar agak pendek dan tertutup bulu

Universitas Sumatera Utara

yang lebih panjang dibandingkan bulu pada badan rusa. Bulu rusa Sambar kasar
dan tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu
surai/malai (mane). Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap,
khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya
pejantan ke masa aktif reproduksi (Semiadi, 2004 tidak dipublikasi).
Rusa mempunyai ranggah yang spesifik terdiri atas jaringan kartilago
yang berbeda secara struktural dengan tanduk yang terdiri atas jaringan keratin.
Bentuk dan struktur ranggah rusa spesifik untuk tiap spesies. Pada rusa sambar
struktur ranggah terdiri atas cabang pertama yang letaknya paling bawah disebut
brow tines, sedang cabang kedua dengan dua ujung masing-masing inner top tines
yang terletak dibagian dalam dan outer top tines di bagian luar (Anderson, 1978).
Ranggah akan mengalami siklus pertumbuhan dan ranggah muda yang
baru tumbuh tersusun oleh cartilago (Haigh dan Hudson, 1993). Pada masa
pertumbuhan ranggah, mempunyai banyak pembuluh darah dan jaringan syaraf
dan berwarna hitam (Gray et al., 1992), serta diselimuti kulit yang halus dengan
bulu yang lembut (Wilson, 1989) dikenal dengan sebutan velvet antler.
Berikutnya ranggah rusa yang telah berkembang maksimal akan berhenti
pertumbuhannya dan mengalami kalsifikasi, yaitu pembuluh darah dan jaringan
syaraf menjadi mati, jaringan cartilago mengalami pengerasan (tulang) dan fase
ini disebut dengan tahap ranggah keras.
Tahap ranggah keras ditandai dengan tingkah laku rusa yang mengasahkan
ranggahnya pada benda keras sehingga kulitnya mengelupas. Pada akhir tahap
ranggah keras, ranggah akan tanggal, berikutnya ranggah rusa yang baru akan
tumbuh lagi. Peristiwa ini disebut dengan siklus pertumbuhan ranggah

Universitas Sumatera Utara

(Goss, 1983). Hasil penelitian (Handarini, 2006) siklus ranggah rusa timor terdiri
atas 3 tahap yaitu ranggah velvet (rataan 148.8 ± 11.44 hari), tahap ranggah keras
(208.8 ± 3.44 hari ) dan tahap casting (16 ± 0.80 hari).

Habitat, Upaya Penangkaran dan Sistem Peternakan Rusa Sambar
Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang
dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat
untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan menghindarkan diri dari predator.
Hutan sampai ketinggian 2.600 m di atas permukaan laut dengan padang rumput
merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis,
kecuali Cervus unicolor yang sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan pada
daerah payau (Garsetiasih, dan Mariana 2007). Daerah habitat asli rusa sambar
berupa daerah payau atau berair, namun dengan berkembangnya wilayah
perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar, ternyata rusa mampu bertahan
dan terbukti dapat berkembang dengan baik (Semiadi, 2004 pengamatan pribadi).
Habitat penangkaran berbeda dengan habitat alami. Berdasarkan ciri
habitatnya, pada habitat penangkaran terdapat peningkatan nutrisi, bertambahnya
persaingan intraspesifik untuk memperoleh makanan, berkurangnya pemangsaan
oleh predator alami, berkurangnya penyakit dan parasit serta meningkatnya
kontak dengan manusia (Grier dan Burk, 1992). Selain itu penangkaran juga dapat
meningkatkan produktifitas dan reproduksi rusa sambar karena dengan
penangkaran akan pengukuran-pengukuran terhadap nilai satuan produksi dan
reproduksi satwa yang didomestikasi. Dari hasil-hasil penelitian yang telah
banyak dilakukan ternyata rusa sambar mempunyai adaptasi yang tinggi dengan
lingkungannya sehingga mudah untuk ditangkarkan. Rusa termasuk satwa yang

Universitas Sumatera Utara

produktif karena dapat bereproduksi setiap tahun dan mempunyai tingkat produksi
yang tinggi dengan persentase karkas yang lebih tinggi dibandingkan satwa lain.

Karakteristik Reproduksi Rusa Jantan dan Betina
Dilihat dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa
aktif reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun- 12 tahun dan umur maksimum
yang dapat dicapai sekitar 15-20 tahun (Garsetiasih dan Herlina, 2004). Di China
rusa mampu beradaptasi pada habitat dengan iklim yang berubah-ubah
(Li et al., 2001). Di zona temperate, musim kawin rusa white-tailed (Odocoileus
virginianus) sangat dipengaruhi oleh iklim, akan tetapi ruminansia ini dapat kawin
sepanjang tahun jika hidup di kawasan tropis.
Karakteristik reproduksi rusa jantan mempunyai korelasi dengan tahap
pertumbuhan ranggah.

English (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan

rangggah rusa jantan yang hidup di daerah tropis sama dengan rusa jantan di
daerah empat musim yang melewati empat tahap pertumbuhan ranggah yaitu:
pedicle, velvet, ranggah keras dan lepas ranggah (casting). Beberapa peneliti juga
mengemukakan bahwa aktivitas reproduksi rusa jantan di daerah empat musim
mempunyai siklus yang berhubungan dengan tahap pertumbuhan ranggah (Brown
et al. 1983; Mylrea 1992) dan panjang hari (Bubenik et al. 1987). Sedangkan
siklus reproduksi rusa tropis diyakini tidak dipengaruhi oleh panjang hari. Nalley
et al., (2005) mengemukakan adanya perbedaan aktivitas reproduksi pada tahap
ranggah keras dan velvet pada rusa timor. Dimana aktivitas reproduksi tertinggi
terjadi pada tahap ranggah keras. Diperkuat oleh hasil penelitian Handarini et al.,
(2005) bahwa kualitas semen rusa timor lebih tinggi pada tahap ranggah keras

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan ranggah velvet.

Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas

reproduksi erat kaitannya dengan pertumbuhan ranggah.
Fungsi ranggah selain sebagai penanda aktifitas reproduksi dengan cara
menggaruk-garukkan ranggah pada batang pohon, membuat tanda teritori yang
tidak boleh dijamah pejantan lain, juga digunakan sebagai alat perlindungan diri
pada saat perkelahian untuk memperebutkan rusa betina.
Pada kelompok rusa ketika memasuki musim kawin, pejantan akan
berkompetisi dengan pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang
dapat dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan
penguasaan yang disebut hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok
betina

disebut

pejantan

dominan.

Sedangkan

sifat

mengumpulkan

beberapa ekor betina oleh seekor pejantan disebut pengumpulan harem
(Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada
beberapa spesies rusa tropis pada saat musim kawin mengeluarkan suara yang
khas, lebih ganas, berguling dan berendam dalam lumpur, seperti pada rusa
sambar (Schroder, 1976) dan rusa totol (Hadi, 1984).
Penelitian pada kondisi kandang yang berbeda menunjukkan perbedaan
tingkah laku reproduksi rusa jantan. Tingkah laku yang umum tampak di habitat
alaminya pada masa aktif reproduksi rusa jantan akan menunjukkan: rutting
(mengasah tanduk), menandai daerah teritori dengan cara urinasi (urine spray),
wallowing (berkubang) bila ada kubangan, membuat lubang di tanah dengan
tanduk, berguling-guling membalut semua badan dengan lumpur, membuat
mahkota diatas ranggah dengan rumput atau serpihan tanaman tahunan
(Asher et al., 1996). Bila dikandangkan dengan fasilitas kubangan dan lantai

Universitas Sumatera Utara

semen maka beberapa tingkah laku akan menghilang menyesuaikan dengan
kondisi kandang. Rusa jantan tidak dapat membuat lubang dan mengasah tanduk
dilakukan pada kayu kandang (Toelihere et al., 2005).
Tingkah laku seksual pada berbagai musim kawin rusa telah diteliti
Gastal et al. (1996) dengan penampakan tingkah laku reproduksi: flehmen,
mounting tanpa ereksi dan gerakan kopulasi dari pelvis. Karakteristik dari tingkah
laku seksual lain yang diamati adalah mencium daerah genital betina, menggigit
dan mengeluarkan suara khas untuk aktivitas reproduksi (vocalization). Tingkah
laku seksual pada hewan jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual dan
kemampuan kopulasi (Becker et al., 1992). Sedangkan menurut Bearden dan
Fuguay (1997) tingkah laku seksual pada hewan jantan lebih, mengarah pada
tingkah laku kawin yaitu keinginan untuk mencari pasangan dan kemampuan
untuk kawin (kopulasi).
Tingkah laku reproduksi pada jantan menurut Becker et al. (1992) ada dua
yaitu tingkah laku pre-copulation dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku precopulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah
laku courtship (percumbuan) dengan tidak hanya menerima hewan jantan secara
seksual tapi juga menghasilkan bau yang khas (pheromon), suara dan stimulasi
fisik yang menandakan betina tersebut dalam kondisi estrus. Tingkah laku
kopulasi ditandai dengan penerimaan jantan secara seksual. Performa yang
tampak adalah lordosis yang ditandai dengan dengan tidak bergeraknya tubuh
betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan
membentuk lengkungan.

Universitas Sumatera Utara

Angka kebuntingan tertinggi pada rusa betina dicapai saat pejantan
menunjukkan

tingkah

laku

rutting

dan

berada

pada

tahap

keras.

Lincoln (1992) mengemukakan bahwa pada rusa merah perkawinan atau
introduksi rusa jantan pada kelompok rusa betina dilakukan selama musim panas
(bulan September sampai Februari), pada tahap ini velvet sudah mulai digantikan
dengan ranggah keras. Pejantan sangat agresif untuk memperebutkan betina dan
perhatian secara khusus diberikan pejantan terutama pada betina yang sedang
estrus. Di Scotlandia mayoritas kebuntingan rusa betina terjadi pada bulan
Oktober dan kelahiran pada bulan Mei tahun berikutnya. Maka dapat diasumsikan
bahwa pola reproduksi berkorelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah.
Terdapat berbagai kemungkinan penyebab rendahnya produktivitas rusa
sambar, antara lain rusa sambar betina bersifat non seasonal polioestrus artinya
dapat birahi kapan saja sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan birahi pada
siklus berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001).
Bila rusa melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk
mempunyai beban yang sangat berat (English, 1992) yaitu terbatasnya produksi
air susu, lambatnya pengembalian kondisi tubuhnya setelah melahirkan dan
kembali birahi yang lambat yang menyebabkan postpartum anestrus yang
panjang. Dampak pada anak yang dilahirkan yaitu pertumbuhan lambat,
kematian anak tinggi karena air susu tidak mencukupi kebutuhan anak
(Nelson dan Wolf, 1987; English dan Mulley, 1992). Penyebab rendahnya
reprodukstivitas rusa yang kedua adalah karena rusa jantan mempunyai
siklus reproduksi, yaitu pada saat ranggah luruh dan atau ranggah sedang
tumbuh

produksi

spermatozoa

minimal

yang

kemungkinan

infertil

Universitas Sumatera Utara

(Haigh and Hudson, 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002; Handarini et al., 2004;
2005). Handarini (2006) melaporkan bahwa pada tahap ranggah velvet
abnormalitas sperma secara individu pada rusa timor mencapai 96%.
Untuk mencapai kesuburan yang tinggi, pada betina birahi diperlukan rusa
jantan yang berada pada fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan
menghasilkan spermatozoa yang berkualitas baik dengan kesuburan tinggi. Seperti
hewan jantan lain, rusa memiliki beberapa pola perkawinan yang bervariasi.
Puncak musim kawin pada rusa sambar dihabitat asli (seperti di Indonesia) belum
diketahui secara jelas. Rusa sambar yang dipelihara di Australia mengalami
puncak musim kawin pada bulan Mei sampai Juni dan September sampai
November. Di New Zealand musim kawin terjadi pada bulan Mei atau awal Juni
(Semiadi et al. 1994; Semiadi, 1995). Hasil penelitian Imelda (2004)
memperlihatkan bahwa tingkah laku kawin rusa sambar muncul antara bulan Juni
hingga Agustus.
Tingkah laku lain adalah dengan membentuk mahkota. Ranggah
merupakan pertanda dominasi seekor rusa jantan dalam suatu kelompok. Sifat
jantan yang akan mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada
tingkat dominasi jantan (agresivitas), daya tarik antara jantan dan betina yang
sedang estrus, tahapan interaksi tingkah laku (kesiapan untuk mating) dan reaksi
jantan untuk menaiki betina (Anonimous, 1995).
Hewan yang tidak dalam masa birahi akan menolak untuk kawin. Pada
hewan yang tidak bunting, periode birahi dimulai sejak dari permulaan birahi
sampai ke permulaan periode berikutnya (Akoso, 1996). Gejala kebuntingan sapi
setelah pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam praktek

Universitas Sumatera Utara

bukan berarti bahwa tidak timbulnya birahi sapi betina menyatakan adanya
kebuntingan. Hal yang harus dicatat adalah bila sapi betina sudah dikawinkan
mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding
perut terlihat. Sapi betina menjadi lebih tenang, pada sapi betina yang baru
pertama kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya
gerakan pada perut sebelah bawah, sisi kanan, dan belakang. Maka gejala
kebuntingan positif (Murtidjo, 1990).
Pada rusa timor betina pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat
bereproduksi dengan lama bunting antara 7.5 bulan sampai 8.3 bulan. Bila
ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting
lagi terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan. Setiap
tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu
ekor. Untuk Penangkaran rusa , jumlah betina lebih banyak dibandingkan jumlah
jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini beberapa betina dan pada
rusa timor Ratio seks jantan: betina yaitu 1:2 (Takandjandji, 1993) dan menurut
Garsetiasih dan Takandjandji (2007) bahwa rusa jantan dalam penangkaran dapat
mengawini empat ekor rusa betina.

Pola Kopulasi Rusa
Pola kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan
aktifitas prekopulatori. Dimulai dengan percumbuan (courtship), pada periode
ini biasanya pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina lain
bahkan mengusir pejantan-pejantan sub ordinat (secara hirarki lebih rendah
tingkatan sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual juga
ditunjukkan dengan cara menciumi daerah perineal betina dan roaring

Universitas Sumatera Utara

(vocalization). Flehmen (nyengir atau lip curl) juga merupakan komponen
percumbuan yang khas pada Artiodactyla. Rusa mengambil posisi kepala tegak
pada mulut ke arah atas dan bibir atas terangkat. Stimulus flehmen dapat berupa
urine betina atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina estrus,
rusa jantan akan flehmen (Toelihere, 1983).
Mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali
pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan).
Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan
akan diikuti dengan

kopulasi.

Pejantan meletakkan dagunya pada bagian

belakang betina dan betina memberikan respon dengan memberi tekanan dengan
menggunakan punggungnya ke arah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan
akan memfiksir kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis ke arah
depan. Selama proses penunggangan organ kopulatori ereksi secara partial dan
keluar dari preputium. Bila ada cairan yang keluar dari organ kopulatori
merupakan eksresi dari kelenjar Cowper bukan semen.
Intromisi terjadi karena adanya kontraksi musculus rectus abdominalis.
Setelah semua organ kopulatori keluar dari preputium, intromisi baru terjadi.
Lama waktu intromisi yang bervariasi antar jenis ternak. Ejakulasi terjadi setelah
intromisi sempurna sehingga semen dapat dideposisikan pada tempat yang sesuai
dengan anatomi organ reproduksi betina. Rusa jantan deposisi semen mendekati
mulut serviks. Ejakulasi aborsif dapat terjadi apabila betina menolak intromisi
organ kopulatori pejantan.

Refraktori adalah masa istirahat sementara dari

aktivitas reproduksi. Menurut Toelihere et al. (2005) frekuensi kopulasi berbeda
menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio, luas atau kandang, periode

Universitas Sumatera Utara

istirahat kelamin dan rangsangan seksual. Bila kondisi iklim memungkinkan
untuk kopulasi maka kopulasi dapat terjadi pada waktu siang atau malam hari.

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa Universitas
Sumatera Utara (USU), Padang Bulan, Medan. Penelitian dilakukan selama 2
bulan (sekitar 3 kali siklus estrus betina) dimulai bulan Maret sampai Juni 2010.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Hewan penelitian yang digunakan: tiga ekor rusa jantan pada fase ranggah
keras dengan kisaran umur 3 – 4 tahun (syarat lain: ranggah simetris, sehat dan
mempunyai proporsi tubuh dan kaki kuat), sembilan ekor rusa betina dengan
kisaran umur 2 – 4 tahun (syarat lain: pernah beranak satu kali, sehat). Bahan lain
yang digunakan: pakan terdiri atas hijauan (campuran rumput dan legume) dan
konsentrat serta air minum diberikan secara ad libitum. Obat-obatan yang
disediakan: obat cacing, obat kutu, cipper killer, hematophan, biosalamin dan
pennicilin.
Alat
Alat yang digunakan ialah: tiga unit kandang masing-masing dengan
ukuran 2.5 x 7 m (untuk ratio 1:1), 6 x 7 m (untuk ratio 1:3) dan 9 x 7 m (untuk
ratio 1:5). Setiap unit kandang dilengkapi dengan tempat pakan, minum, kubangan
dan sarana rutting untuk rusa jantan. Pengambilan data menggunakan digital
camera, handycam dan timer.

Universitas Sumatera Utara

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Setiap pola
interaksi reproduksi antara jantan dan betina untuk setiap ratio jantan dan betina
diamati. Pencatatan data meliputi tingkah laku yang muncul dan frekuensinya.
Perlakuan pada penelitian ini adalah:
P1 = ratio jantan dan betina 1:1.
P2 = ratio jantan dan betina 1:3.
P3 = ratio jantan dan betina 1:5.

Parameter Penelitian
1.

Tingkah laku reproduksi rusa jantan.
Beberapa data yang diambil untuk pengamatan tingkah laku reproduksi
rusa jantan tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras dalam
kandang kelompok

No

Parameter tingkah laku reproduksi
rusa jantan

Frekuensi
Pemunculan
(kali/hari)
I II
III

Lama (jam)

I

II

III

1.
2.
3.
4.
5.
6
7.

Berkubang (wallowing)
Mengasah tanduk (Rutting)
Urine spray
Memilih harem
Menguak (Roaring)
Mengenali betina estrus (Flehmen)
Menciumi urine betina estrus (rub
unination)
8.
Menegakkan kepala
9.
Mengikuti betina `
10. Berguling-guling
11. Membuat mahkota di ranggah
Sumber: Nalley et al. (2005).

Universitas Sumatera Utara

2.

Tingkah laku estrus pada rusa betina
Data pengamatan tingkah laku estrus pada rusa sambar betina tertera pada
Tabel 2.
Tabel 2. Tingkah laku estrus pada rusa betina dalam kandang kelompok

No

Parameter Gejala Estrus

Frekuensi
Pemunculan
(kali/hari)
I
II
III

Lama (jam)

I

II

III

1.
2.
3.

Sering mengeluarkan suara
Menaiki betina lain
Pembengkakan vulva
(mengeluarkan lendir)
4.
Bersedia di dekati rusa jantan
5.
Urinasi
6.
Mendekati betina lain
7.
Nafsu makan turun
8.
Posisi punggung lordosis
Sumber: Nalley et al. (2005).
3.

Pola perkawinan
Data pola perkawinan tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkah laku kawin rusa dalam kandang kelompok
Frekuensi
Lama (menit)
No
Parameter Tingkah Laku Kawin
Pemunculan
(kali/hari)
I II
III
I
II
III
1.
Percumbuan (coutship)
a. Memisahkan betina estrus
b. Menciumi genital betina
c. Roaring
d. Flehmen
e. Menegakkan kepala
2.
Penunggangan (mounting)
3.
Ereksi
4.
Intromisi
5.
Ejakulasi
6.
Refraktori
Sumber: Nalley et al. (2005).

Pelaksanaan Penelitian

Universitas Sumatera Utara

1.

Persiapan Kandang
Kandang terdiri atas 3 masing-masing dengan ukuran 2.5 x 7 m, 6 x 7 m
dan 9 x 7 m. Kontruksi kandang terbuat dari kawat dengan kerangka kayu,
lantai kandang tanah. Masing-masing kandang dilengkapi tempat pakan dari
kayu menempel pada dinding kandang, tempat minum dan kubangan (denah
pada Gambar 1).

P1

P2

Pintu

P3

Tempat pakan

7m

Kubangan
2.5 m

6 m

9m

Gambar 1. Denah kandang rusa penelitian
2.

Pengelompokan Rusa
Rusa yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor terdiri atas 3
ekor rusa jantan dan 9 ekor rusa betina. Pengelompokan rusa:
a.

Kandang 1 terdiri atas sepasang rusa sambar (satu ekor
rusa sambar jantan dan satu ekor rusa sambar betina).

b.

Kandang 2 terdiri atas satu ekor rusa sambar jantan dan
tiga ekor rusa sambar betina.

c.

Kandang 3 terdiri atas satu ekor rusa sambar jantan dan
lima ekor rusa sambar betina.
Cara memasukkan rusa ke dalam kandang diupayakan dengan

memancing rusa menggunakan hijauan di dalam kandang kemudian dilakukan
seleksi pada rusa jantan dan betina yang sesuai dengan kriteria, yang tidak

Universitas Sumatera Utara

sesuai dikeluarkan dari kandang. Tiap rusa betina diberi tanda cat pada bagian
kepalanya.
3.

Pemberian Pakan dan Minum
Rusa diberi pakan hijauan berupa campuran rumput lapangan dan legume
sebanyak 10% dari bobot badan rusa. Frekuensi pemberian 2 kali sehari pada
pagi dan sore hari.

Konsentrat diberikan sekitar 250 g/ekor. Pemberian air

minum dilakukan secara ad libitum. Air diganti setiap hari dan tempatnya
dicuci dengan bersih.
4.

Setiap hari dilakukan pengamatan tingkah laku reproduksi jantan dan
setiap muncul siklus estrus betina, pengamatan lebih intensif untuk melihat
pola perkawinan dan interaksi jantan dan betina yang sedang estrus.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkah Laku Reproduksi Rusa Jantan
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan tingkah laku reproduksi pada
rusa yang dibagi dalam beberapa kelompok pengamatan yaitu: tingkah laku
reproduksi rusa jantan (dari 3 ekor rusa jantan), tingkah laku estrus rusa betina
dalam kandang (dari 9 ekor rusa betina), tingkah laku kawin rusa jantan dan
betina pada setiap ratio perlakuan. Hasil pengamatan dari tiap perlakuan sangat
bervariasi mengikuti pemunculan gejala estrus atau tingkah laku reproduksi di
lapangan. Untuk tiap kandang dengan berbagai ratio jantan dan betina
menunjukkan hasil yang berbeda-beda termasuk tingkah laku reproduksi rusa
jantan. Parameter tingkah laku reproduksi rusa jantan selama penelitian untuk
tiap kandang (ratio perkawinan) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan frekuensi tingkah laku rerpoduksi rusa jantan pada tahap ranggah
keras dengan berbagai ratio jantan dan betina
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tingkah laku reproduksi
Berkubang (wallowing)
Mengasah tanduk (rutting)
Urine spray
Menguak (roaring)
Flehmen
Menciumi urine betina estrus
(rub urination)
Menegakkan kepala
Berguling-guling
Membuat mahkota di ranggah
Mencium genital atau perial betina

Frekuensi (kali/hari)
Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5
4.75
5.75
4.25
5.25
5.50
9.00
5.00
9.75
7.25
3.25
4.63
6.50
5.25
2.50
1.00
4.75
3.00
2.00
2.50
8.25

6.25
5.38
2.63
2.88
18.88

9.00
7.00
2.00
1.50
13.00

Keterangan: Data diambil dua kali seminggu selama 3 bulan penelitian

Universitas Sumatera Utara

Dari data yang diperoleh selama penelitian untuk tingkah laku reproduksi
rusa jantan dalam kandang menunjukkan perilaku yang tidak sama untuk tiap
kandang dengan jumlah betina yang berbeda di tiap kandang. Tingkah laku
reproduksi rusa jantan didominansi dengan aktivitas menciumi genital atau
perineal rusa betina, aktivitas mencium genital betina yang tertinggi yaitu pada
ratio 1:3 yaitu 18 kali per hari artinya semakin tinggi ratio rusa jantan dan betina
semakin meningkat aktivitasnya mencium genital betina. Berbanding terbalik
dengan tingkah laku flehmen (nyengir) dimana semakin tinggi rasio jantan dan
betina semakin rendah frekuensinya yaitu rasio 1:1 sebanyak 5.25 kali per hari,
1:3 sebanyak 2.50 kali per hari dan rasio 1:5 sebanyak 1.00 kali per hari. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Asher et al (1996) yang menyatakan bahwa penelitian
pada kondisi kandang yang berbeda menunjukkan perbedaan tingkah laku
reproduksi rusa jantan maupun interaksinya dengan betina. Tingkah laku yang
umum tampak di habitat alaminya pada masa aktif reproduksi rusa jantan akan
menunjukkan: rutting (mengasah tanduk), menandai daerah teritori dengan cara
urinasi (urine spray), wallowing (berkubang) bila ada kubangan, bila tidak ada
kubangan rusa jantan akan membuat lubang di tanah dengan tanduk, bergulingguling membalut semua badan dengan lumpur, membuat mahkota diatas ranggah
sesuai dengan tingkat dominansinya.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Rataan durasi tingkah laku repoduksi rusa jantan pada tahap ranggah
keras dengan berbagai ratio jantan dan betina
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tingkah laku reproduksi
Berkubang (wallowing)
Mengasah tanduk (rutting)
Urine spray
Menguak (roaring)
Flehmen
Menciumi urine betina estrus
(rub urination)
Menegakkan kepala
Berguling-guling
Membuat mahkota di ranggah
Mencium genital atau perial betina

Durasi (Detik)
Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5
1842.75
1762.50
1785.00
14.75
29.375
35.50
64.25
30.375
26.50
9.75
14.06
20.50
11.25
37.88
9.00
13.50
7.25
183.00
855.00
37.25

18.25
16.00
186.25
840.00
46.25

31.50
19.00
190.50
648.75
39.50

Keterangan: Data diambil dua kali seminggu selama 3 bulan penelitian

Pada penelitian ini meskipun frekuensi berkubang pada rusa jantan
mempunyai kisaran antara 4.25 – 5.75 kali per hari namun secara keseluruhan
mempunyai durasi yang paling lama dibandingkan tingkah reproduksi lain yaitu
berkisar 1762.50 sampai 1842.75 detik. Hal ini disebabkan karena dalam kandang
kebutuhannya akan sarana untuk berkubang telah mencukupi berbeda dengan rusa
yang ada di luar kandang atau di habitatnya biasanya membutuhkan waktu lebih
lama karena rusa cenderung membuat kubangan (mengorek tanah) dengan
ranggahnya sebelum atau pada saat berkubang. Durasi mengasah tanduk
meningkat seiring dengan peningkatan rasio jantan dan betina, hal ini
menunjukkan adanya perilaku perlindungan terhadap banyak betina yang
dimanifestasikan dengan persiapan diri menghadapi pejantan lain yang akan
mengusik dengan cara mengasah tanduk.
Terjadi penurunan durasi urine spray seiring dengan peningkatan rasio
jantan dan betina yaitu sebesar 64.25, 30.38 dan 26.50 detik per hari. Spray urin
di luar kandang berguna untuk menentukan daerah teritori sehingga pejantan lain

Universitas Sumatera Utara

tidak menguasai daerah tersebut. Tetapi didalam kandang saat penelitian, tingkah
laku urine spray tetap muncul meskipun bukan bertujuan untuk menentukan
wilayah (daerah teritori).

Saat

rusa jantan melakukan

urine spray, organ

kopulatori mampu berputar 360 derajad.
Tingkah laku menguak (roaring) terjadi saat ada atau tidak ada betina
yang mengeluarkan suara. Begitu rusa jantan mengenali betina estrus akan
mengeluarkan suara khas demikian juga dengan rusa betinanya. Roaring biasanya
terjadi setelah rusa jantan mencium urine betina.
Rusa jantan juga melakukan aktivitas berguling- guling dilantai tanah
dalam kandang saat ada betina yang estrus dan frekuensinya rata-rata 2 kali/hari
dengan durasi antara 183.00 detik sampai 190.50 detik per hari. Rusa jantan
dalam kandang juga menunjukkan aktivitas mengasah ranggah karena berada pada
fase

rusa ranggah keras yang mana pada tahap ranggah keras ini aktivitas

reproduksinya lebih tinggi dibandingkan ranggah velvet. Hal ini sesuai dengan
dengan pernyataan Handarini et al., (2005) yang menyatakan bahwa kualitas
semen rusa timor lebih tinggi pada tahap ranggah keras dibandingkan ranggah
velvet.

Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi erat kaitannya

dengan tahap pertumbuhan ranggah, terutama pada ranggah keras.
Fungsi ranggah selain sebagai penanda aktifitas reproduksi dengan cara
menggaruk-garukkan ranggah pada batang pohon, membuat tanda teritori yang
tidak boleh dijamah pejantan lain, juga digunakan sebagai alat perlindungan diri
pada saat perkelahian untuk memperebutkan rusa betina. Pada pengamatan yang
dilakukan frekuensi rutting untuk kandang ratio 1:1 yaitu 5.25 kali/hari, ratio 1:3
yaitu 5.5 kali/hari, ratio 1:5 yaitu 9 kali/hari dalam kandang rusa mengasah tanduk

Universitas Sumatera Utara

ke kayu sebagai sarana rutting yang telah disediakan tetapi walaupun telah
disediakan sarana rutting rusa juga mengasah tanduknya ke pagar kandang sesuai
pernyataan Toelihere et al (2005) yang menyatakan bahwa bila dikandangkan
dengan fasilitas kubangan dan lantai semen maka beberapa tingkah laku akan
menghilang menyesuaikan dengan kondisi kandang. Rusa jantan tidak dapat
membuat lubang dan mengasah tanduk dilakukan pada kayu kandang.
Selama penelitian terjadi perkelahian antara rusa jantan pada kandang
dengan rasio 1:3 (kandang 2) dan jantan dengan rasio 1:5 (kandang 3) dimana saat
ada betina yang estrus dikandang 3, ternyata rusa jantan yang ada dikandang 2
lebih dominan sehingga menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif
dibandingkan dengan rusa jantan yang ada di kandang 3 (pada posisi sub ordinat).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonimous (1995) bahwa sifat jantan yang akan
mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada tingkat dominasi
jantan (agresifitas). Rusa jantan kandang 2 mendobrak pintu penghubung kandang
2 dan kandang 3 dan terjadi perkelahian antara dua pejantan (kandang 2 dan
jantan kandang 3) untuk memperebutkan betina yang sedang estrus. Perkelahian
itu mengakibatkan terlukanya lambung rusa jantan kandang 3 yang tertusuk
ranggah jantan kandang 2. Untuk pengobatan luka dilakukan penyuntikan
Hematopan dan

Biosalamin

dan di beri antibiotik pennicilin dengan cara

memasukkan pil ke dalam pisang. Perkelahian itu juga menyebabkan rusa-rusa
yang ada di kandang 2 dan 3 terkejut dan stres.
Tingkah laku reproduksi rusa jantan termasuk salah satunya membuat
mahkota yang tujuannya untuk menarik perhatian betina. Pada pengamatan saat
penelitian mahkota terbuat dari rumput yang diletakkan diatas ranggah. Rusa

Universitas Sumatera Utara

jantan yang berada diluar kandang akan memanfaatkan daun-daunan atau akarakar kayu untuk dinaikkan ke atas ranggah.

Rumput yang digunakan untuk

membuat mahkota tersebut tersebut berasal dari hijaun pakan pakan rusa.
Frekuensi dan lama membuat mahkota pada kandang ratio 1:1 yaitu 2.5 kali/hari
dan lama 855 detik/hari, kandang ratio 1:2 yaitu 2.875 kali/hari dan lama 840
detik/hari, ratio kandang 1:5 yaitu 1.5 kali/hari dan lama 648.75 detik/hari.
Frekuensi membuat mahkota di ranggah cenderung rendah dibandingkan dengan
di habitat aslinya hal ini disebabkan karena ketersediaan sarana untuk membuat
mahkota terbatas dalam kandang berbeda dialam liar sesuai pernyataan Asher et al
(1996) yang menyatakan bahwa membuat mahkota diatas ranggah dengan rumput
atau serpihan tanaman tahunan dihabitat aslinya. Dokumentasi tingkah laku
reprod