AKUNTABILITAS KINERJA

2. ANALISIS AKUNTABILITAS KINERJA

Sasaran merupakan hasil yang akan dicapai secara nyata oleh instansi pemerintah dalam rumusan yang lebih spesifik, terukur dalam kurun waktu yang lebih pendek dari tujuan. Sasaran Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya akses dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).

Analisis capaian kinerja dari masing-masing indikator adalah sebagai berikut:

1. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas

Kondisi yang dicapai: Realisasi indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tahun

2016 sebesar 81,57%, melebihi target yang telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 80% dengan capaian sebesar 101,96%. Bila dibandingkan dengan realisasi indikator tahun 2015, realisasi indikator tahun 2016 meningkat sebesar 2,19%. Peningkatan realisasi indikator di tahun kedua Renstra menunjukkan hal yang positif dan diharapkan dapat mencapai target indikator akhir tahun Renstra 2015-2019 yakni sebesar 90%.

Tabel 9. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2016

Indikator Kinerja

Target 2016

Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase ketersediaan obat dan

101,96% vaksin di Puskesmas

14 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Grafik 3. Target dan Realisasi Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2019

Hasil tersebut diperoleh dari periode pelaporan bulan November tahun 2016 dimana Jumlah Puskesmas yang melapor sebanyak 1.133 Puskesmas dari 1.328 Puskesmas sampel (85,32%), dan seluruh provinsi mengirimkan laporan. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan ketaatan pelaporan dibandingkan tahun 2015 dimana jumlah Puskesmas yang melapor sebanyak 1.013 dari 1.328 Puskesmas sampel di 34 provinsi (76,28%) dan terdapat empat provinsi yang Puskesmasnya sama sekali tidak mengirimkan laporan (135 Puskesmas).

Provinsi dengan persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tertinggi pada tahun 2016 adalah Sulawesi Barat (100%) sedangkan provinsi dengan ketersediaan terendah adalah Sulawesi Utara (56,39%). Sementara itu di tahun 2015 provinsi dengan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tertinggi adalah DI. Yogyakarta (92,73%) sedangkan provinsi dengan ketersediaan terendah adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Papua Barat (N/A) dikarenakan tidak melakukan pelaporan.

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Gambar 17. Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2016 per Provinsi

N/A

Item obat yang memiliki ketersediaan tertinggi di Puskesmas Tahun 2016 adalah Garam Oralit dengan ketersediaan sebesar 95,32% (terdapat di 1.080 Puskesmas dari 1.133 Puskesmas yang melapor), sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah Diazepam injeksi 5 mg/ml dengan ketersediaan sebesar 53,22% (terdapat di 603 Puskesmas dari 1.133 Puskesmas yang melapor). Kondisi tersebut berbeda dengan tahun 2015 dimana Item obat yang memiliki ketersediaan tertinggi di Puskesmas adalah

16 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Parasetamol 500 mg tablet, sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah Magnesium Sulfat Injeksi 20%.

Gambar 18. Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2016 per Item Obat

Permasalahan: Pelaksanaan kegiatan pengumpulan data indikator persentase ketersediaan obat

dan vaksin di Puskesmas tahun 2016 masih menghadapi beberapa permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan tahun 2015, yaitu sebagai berikut:

1. Kurangnya koordinasi antara Puskesmas, kabupaten/kota dan provinsi.

2. Laporan yang dikirimkan oleh provinsi setiap bulannya tidak lengkap dan tidak tepat waktu seperti yang telah dituangkan di dalam buku Petunjuk Teknis Pemantauan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Tahun 2015-2019 yang sudah disosialisasikan kepada seluruh provinsi.

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

3. Jumlah tenaga kefarmasian yang terbatas dan kompetensi yang belum sesuai di Puskesmas.

Upaya Pemecahan Masalah: Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas antara

lain sebagai berikut:

1. Perlu dibangun koordinasi yang baik untuk pelaporan data ketersediaan obat dan vaksin dari unit pelayanan ke instansi penanggung jawab kesehatan di daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi).

2. Mengirimkan feedback berupa surat pemberitahuan mengenai pelaporan data capaian indikator kinerja kegiatan dari Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota guna menginformasikan ketaatan pelaporan dan juga manfaat hasil laporan bagi daerah.

3. Melakukan pembinaan terhadap SDM pengelola obat secara berkesinambungan dan pemberian reward bagi petugas/pengelola data di daerah.

2. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang diproduksi di dalam negeri

Kondisi yang dicapai: Pada tahun 2016, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan

yang diproduksi di dalam negeri mencapai 23 jenis dari target sebanyak 14 jenis yang telah ditetapkan. Bila dibandingkan dengan realisasi indikator tahun 2015, realisasi indikator tahun 2016 meningkat sebanyak 12 jenis. Peningkatan realisasi indikator di tahun kedua Renstra ini sudah on the track untuk mencapai target indikator akhir tahun Renstra 2015-2019 yakni sebesar 35 jenis. Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kementerian dan stakeholder terkait lain dengan Kementerian Kesehatan sebagai koordinator. Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT dan LIPI) dan Perguruan Tinggi di bidang pengembangan bahan baku obat serta pembentukan jejaring dengan berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan industri dan asosiasi pengusaha. Pada tahun 2016 dilakukan kerjasama

18 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan 18 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Peningkatan kebutuhan terhadap alat kesehatan belum diikuti dengan perkembangan industri alat kesehatan dalam negeri. Hal ini menyebabkan sekitar ±94% produk alat kesehatan yang beredar merupakan produk alat kesehatan impor. Dalam rangka meningkatkan kemandirian produk alkes dalam negeri, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan berbagai upaya mulai dari hulu sampai ke hilir, seperti: mendorong hilirisasi penelitian di bidang alkes; melakukan pembinaan terhadap industri alkes; memberikan bimbingan teknis kepada pelaku usaha yang akan membangun industri alkes; melakukan sosialisasi dan promosi peningkatan penggunaan alkes; kerjasama penelitian dan pengembangan alat kesehatan antara akademisi/universitas/lembaga penelitian, industri alkes dan pemerintah; sosialisasi peningkatan penggunaan alat kesehatan dalam negeri kepada fasyankes; dan mengadakan pameran alkes dalam negeri.

Tabel 10. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2016

Indikator Kinerja

Jumlah bahan baku obat dan obat 14 23 164,29% tradisional serta alat kesehatan (alkes) yang diproduksi di dalam negeri

Grafik 4. Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2015-2019

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 11. Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional yang Diproduksi di

Dalam Negeri Tahun 2016

NO

BBO/BBOT Tahun 2015

1 Ekstrak Terstandar Daun Kepel (Stelechocarpus burahol (BI.) Hook.f. & Th)

2 Ekstrak Umbi Bengkoang (Pachyrrhizus erosus L.) 3 Ekstrak Aktif Terstandar Daun Mimba (Azadirachta indica) 4 Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L.) 5 Pemanis Alami Glikosida Steviol 6 Ekstrak Terstandar Strobilanthes crispus L. 7 Ekstrak Terstandar Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus

sabdariffa L.) 8 Karagenan Pharmaceutical Grade

Tahun 2016

9 Kristal PGV-6 10 Kristal HGV-6 11 Kristal GVT-6 12 Fraksi Gel dan Fraksi Antrakinon Terstandar Daun Lidah

Buaya (Aloe vera L.) 13 Ekstrak Terstandar Daun Sendok (Plantago major) 14 Fraksi Polisakarida Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) 15 Phlobaphene 16 Fraksi Bioaktif Biji Pala (Myristica fragrans Houtt)

Tabel 12. Daftar Nama Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2016

NO

ALAT KESEHATAN

1. Karixa Renograf 2. Triton Synthetic-Biological Sutures 3. Triton T-Skin Marker 4. DOMAS FLEXI-CORD Progressive 5. ORTHINDO Pedide Screw Titanium 6. ID BIOSENS Dengue NS1 7. INA-SHUNT Semilunar Flushing Valve System

Permasalahan: Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja

kegiatan jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat Kesehatan yang diproduksi di dalam negeri yaitu:

20 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

1. Belum terkoordinasinya data hasil penelitian baik antar lembaga penelitian maupun dengan industri alat kesehatan.

2. Masih rendahnya penggunaan alat kesehatan dalam negeri di fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Masih kurangnya produk alat kesehatan dalam negeri yang ada di dalam daftar e- katalog.

Upaya Pemecahan Masalah: Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami dalam pencapaian

indikator kinerja kegiatan jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat Kesehatan yang diproduksi di dalam negeri adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kerja sama lintas sektor antar lembaga penelitian, industri alat kesehatan dan pemerintah melalui forum fasilitasi ABGC (Academic-Business- Government-Community Colaboration).

2. Melaksanakan sosialisasi peningkatan penggunaan alat kesehatan dalam negeri kepada user baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan.

3. Mengajukan usulan kepada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memasukkan produk alat kesehatan dalam negeri ke dalam e-katalog.

3. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat

Kondisi yang dicapai: Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan melakukan upaya

pengendalian post-market untuk memastikan bahwa alat kesehatan dan PKRT yang telah diberikan izin edar tersebut, secara terus menerus sesuai dengan persyaratan keamanan, mutu, manfaat dan penandaan yang telah disetujui.

Salah satu kegiatan pengendalian post-market dilakukan melalui sampling produk alat kesehatan dan PKRT. Sampling alat kesehatan dan PKRT merupakan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap keamanan, mutu dan manfaat alat kesehatan dan PKRT yang telah beredar di wilayah Indonesia.

Pada tahun 2016 dilakukan pengambilan sampel alat kesehatan dan PKRT di 34 Provinsi dan pengujian sampel dilakukan di beberapa laboratorium yaitu di Pusat Pemeriksaaan Obat dan Makanan Nasional (PPOMN-BPOM), Laboratorium Balai Besar Pemeriksaan Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi DKI Jakarta, Balai

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Pengujian Mutu Produk Tanaman Kementerian Pertanian, IPB Culture Collection Departemen Biologi Fakultas Matematika dan IPA, Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), PT Sucofindo.

Produk yang di sampling adalah alat kesehatan non elektromedik steril dan non elektromedik non steril seperti Dysposable Syringe, Benang bedah, Sarung tangan steril, Infusion Set, Sarung tangan steril, IV Catheter, Kasa steril, Kondom, Urine bag, Folley Catheter, Popok dewasa, Pembalut wanita, Pantyliners, Sphygmomanometer, Antiseptik dan Kontak lensa, sedangkan sampel Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) antara lain popok bayi, pembersih lantai, pestisida rumah tangga (anti nyamuk bakar, oles, cairan/aerosol, elektrik), handsanitizer, handwash, antiseptik dan sabun pencuci piring.

Jumlah sampel alkes yang sesuai dengan standar terhadap parameter uji yang telah ditetapkan, sebayak 714 (tujuh ratus empat belas) sampel dari 754 (tujuh ratus lima puluh empat) sampel yang telah memiliki sertifikat hasil uji (94,69%). Sampel PKRT yang sesuai dengan standar terhadap parameter uji sejumlah 540 (lima ratus empat puluh) sampel dari 569 (lima ratus enam puluh sembilan) sampel yang telah memiliki sertifikat hasil uji (94,90%). Sehingga, capaian indikator kinerja persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat sebesar 94.80%, melebihi target yang telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 77% dengan capaian sebesar 123,12%. Bila dibandingkan dengan realisasi indikator tahun 2015, realisasi indikator tahun 2016 meningkat cukup signifikan yakni sebesar 16,62%. Peningkatan realisasi indikator di tahun kedua Renstra perlu dipertahankan sehingga dapat mencapai target indikator akhir tahun Renstra 2015-2019 yakni sebesar 83%.

Tabel 13. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan PKRT

di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2016 Indikator Kinerja

Target 2016

Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase produk alat kesehatan

123,12% dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat

22 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Grafik 5. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan PKRT

di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-2019

Perbandingan pencapaian indikator kinerja persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat pada tahun 2015 adalah 78,18% dan pada tahun 2016 adalah 94,80%. Angka ini naik tajam dikarenakan semakin baiknya sistem pembinaan dan pengawasan produk, sarana produksi dan distribusi alat kesehatan dan PKRT di tingkat pra pemasaran dan pasca pemasaran.

Permasalahan: Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja

kegiatan persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat yaitu:

1. Belum adanya pedoman teknis untuk peningkatan kapasitas petugas dalam pelaksanaan sampling.

2. Belum terstandarnya

tentang sampling di pusat/provinsi/kabupaten/kota.

kompetensi

petugas

3. Beberapa SNI Alat kesehatan yang sudah ada belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh Laboratorium uji dan dibuat sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.

4. Laboratorium yang terkreditasi oleh BSN untuk alat kesehatan masih terbatas pada alat kesehatan sphygmomanometer di BPFK dan LIPI.

5. Belum optimalnya sosialisi e-watch alkes untuk melaporkan KTD alat kesehatan dan/atau PKRT.

6. SNI Alat Kesehatan belum menjadi mandatori sebagai salah satu persyaratan pendaftaran alkes.

7. Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk komprehensif (uji yang meliputi seluruh parameter pengujian suatu produk alat kesehatan) di Indonesia masih sangat minim.

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Upaya Pemecahan Masalah:

1. Penyusunan pedoman teknis pelaksanaan sampling tahun 2017.

2. Peningkatan kapasitas petugas dalam pelaksanaan sampling tahun 2017.

3. Penyusunan SNI Alat Kesehatan agar lebih implementatif.

4. Rapat koordinasi lintas sektor dalam rangka fasilitasi penerapan standar laboratorium uji produk alkes dan/atau PKRT yang terakreditasi.

5. Melakukan sosialisasi e-watch alkes berkesinambungan.

6. Pertemuan Kajian Penerapan SNI Alat Kesehatan Wajib dengan melibatkan Stakeholder terkait antara lain: BSN, LIPI, Ditjen Yankes, IKATEMI, GAKESLAB, ALFAKES dan stakeholder lainnya.

7. Mengadakan survei dan verifikasi untuk mendata seluruh laboratorium di Indonesia beserta kapabilitasnya, sehingga dapat diketahui labaratorium yang mana saja yang memungkinkan untuk melakukan pengujian dan kalibrasi alat kesehatan, antara lain; ALFAKES, BSN, IKATEMI, Ditjen Yankes, dan stakeholder lainnya.

Capaian kinerja dari indikator utama program kefarmasian dan alat kesehatan didukung oleh beberapa kegiatan dengan indikator capaian sebagai berikut:

1) Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar.

2) Persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas.

3) Persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar.

4) Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik (GMP/CPAKB).

5) Persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices

6) Jumlah industri yang memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri.

7) Persentase kepuasan klien terhadap dukungan manajemen.

24 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

INDIKATOR KINERJA LAINNYA SEBAGAI INDIKATOR PENDUKUNG PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Analisis Capaian kinerja dari indikator pendukung program kefarmasian dan alat kesehatan sebagai berikut:

1) Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar

Kondisi yang dicapai: Indikator persentase Puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar meningkat setiap tahun. Peningkatan berkisar pada angka 5% pertahun, dengan memperhitungkan bahwa setiap tahun jumlah puskesmas di Indonesia selalu bertambah. Hal inilah yang membuat Direktorat Pelayanan Kefarmasian perlu melakukan intervensi terhadap stakeholder terkait agar realisasi capaian target indikator selalu mencapai angka 100% setiap tahunnya.

Tabel 14. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

100,87% melaksanakan

Persentase Puskesmas

kefarmasian sesuai standar

Grafik 6. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Puskesmas yang Melaksanakan

Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar Tahun 2015-2019

Capaian indikator tahun 2016 adalah sebesar 45,39% dengan target sebesar 45% dan pada tahun 2015 capaian indikatornya adalah 40,01% dengan target sebesar

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

40%. Dari data diatas tampak bahwa target indikator Persentase Puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian pada tahun 2015 dan 2016 telah tercapai. Permasalahan:

a) Dari hasil Monev dan Bimtek ke Puskesmas, pada umumnya tenaga kefarmasian di Puskesmas sudah melakukan pelayanan kefarmasian, namun tidak mencatat dan melaporkan pelayanan kefarmasian yang dilakukan.

b) Pengelola obat di Puskesmas bukan apoteker atau tenaga teknis kefarmasian.

c) Keterbatasan cakupan pembinaan dari Kementerian Kesehatan sehingga masih banyak Puskesmas yang belum pernah tersosialisasikan tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

Upaya Pemecahan Masalah:

a) Mengadvokasi Dinas Kesehatan Provinsi agar mengirimkan rekap Laporan Pelayanan Kefarmasian Provinsi ke Kementerian Kesehatan.

b) Mensosialisasikan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ke Dinas Kesehatan Provinsi dan diharapkan Dinas Kesehatan Provinsi dapat mensosialisasikan hal tersebut ke Dinas Kesehatan Kabupaten sehingga Dinas Kesehatan Kabupaten dapat memberikan pembinaan ke Puskesmas di wilayahnya.

c) Melaksanakan Monev terpadu dilingkup Direktorat Pelayanan Kefarmasian.

d) Memasukan Pelaporan Yanfar kedalam Sistem Informasi Puskesmas (SIP).

2) Persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas

Kondisi yang dicapai: Perhitungan capaian Indikator Penggunaan Obat Rasional berdasarkan rekapitulasi

data capaian Penggunaan Obat Rasional secara berjenjang mulai dari Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi yang kemudian

dilaporkan ke Kementerian Kesehatan c.q. Direktorat Pelayanan Kefarmasian setiap tiga bulan.

Indikator Penggunaan Obat Rasional merupakan indikator majemuk/komposit yang terdiri dari komponen Penggunaan Antibiotika pada ISPA Non Pneumonia, Penggunaan Antibiotika pada Diare Non Spesifik, Penggunaan Injeksi pada Myalgia dan Rerata Jumlah Resep per Lembar Resep. Masing-masing komponen indikator dihitung terhadap jumlah kasus ISPA non-pneumonia, diare non-spesifik dan myalgia yang diambil di sarana yang sama, dengan menggunakan rumus tertentu, kemudian dibandingkan dengan target capaian per tahun.

26 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Indikator Penggunaan Obat Rasional pada tahun 2015-2016 yaitu persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas, dengan target capaian 62% pada tahun 2015 dan 64% pada tahun 2016. Dari data diatas tampak bahwa target indikator Persentase Penggunaan Obat Rasional di Sarana Kesehatan Dasar Pemerintah pada tahun 2015 dan 2016 telah tercapai. Pada akhir tahun 2015 tercapai realisasi sebesar 70,64% Penggunaan Obat Rasional di Sarana Kesehatan Dasar Pemerintah, dengan persentase capaian 113,94%. Pada akhir tahun 2016 tercapai realisasi sebesar 71,05% Penggunaan Obat Rasional di Sarana Kesehatan Dasar Pemerintah, dengan persentase capaian 111,01%.

Selanjutnya terdapat perubahan Indikator Penggunaan Obat Rasional untuk tahun 2017-2019 yaitu Persentase Kabupaten/Kota yang menerapkan penggunaan obat rasional di Puskesmas. Kabupaten/Kota yang menerapkan Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas adalah Kabupaten/Kota yang 20% Puskesmasnya memiliki nilai rerata Penggunaan Obat Rasional minimal 60%. Target indikator Penggunaan Obat Rasional tahun 2017-2019 secara berurutan adalah 30%, 35%, dan 40%.

Tabel 15. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Penggunaan Obat Rasional di

Puskesmas Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase Penggunaan Obat

111,01% Rasional di Puskesmas

Grafik 7. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Penggunaan Obat Rasional di

Puskesmas Tahun 2015-2019

a. Terbatasnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam penganggaran program yang terkait dengan peningkatan Penggunaan Obat Rasional (POR), sehingga Dinkes Provinsi maupun Kabupaten/Kota belum dapat menindaklanjuti program

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

b. Kurangnya koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga pelaksanaan Peningkatan POR dan pemberdayaan masyarakat belum optimal.

c. Terbatasnya sebaran media promosi kepada masyarakat sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi tentang POR masih terbatas.

d. Kurangnya koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja lain yang terkait dalam pelaksanaan program POR sehingga program POR belum terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain.

e. Kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga kesehatan di Puskesmas dalam pengumpulan data indikator sehingga menghambat terlaksananya pemantauan dan evaluasi POR.

f. Belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang penggunaan antibiotika, sehingga penggunaan antibiotika secara tidak rasional oleh tenaga kesehatan masih tinggi, serta pembelian antibiotika secara bebas oleh masyarakat banyak terjadi.

g. Masih kurangnya pedoman POR, sehingga penggunaan obat yang tidak rasional oleh tenaga kesehatan masih banyak terjadi.

Upaya Pemecahan Masalah:

a. Perlu dorongan kepada Dinas Kesehatan untuk melakukan advokasi secara intensif kepada Pemerintah Daerah agar dapat mendukung penganggaran program yang terkait dengan peningkatan POR dan pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah.

b. Perlu dilakukan koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah secara kontinu agar pelaksanaan peningkatan POR dan pemberdayaan masyarakat dapat optimal.

c. Perlu peningkatan sebaran media promosi kepada wilayah yang lebih luas sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi tentang POR dapat ditingkatkan.

d. Perlu dilakukan koordinasi dengan lintas sektor dan unit kerja lain yang terkait dengan program POR sehingga dapat terintegrasi dengan program di unit kerja yang lain.

e. Perlu dilaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis kepada tenaga kesehatan di puskesmas dalam pengumpulan data indikator peresepan sehingga memperlancar terlaksananya pemantauan dan evaluasi POR.

28 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan 28 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

g. Perlu disusun pedoman POR, sehingga penggunaan obat yang tidak rasional berkurang .

3) Persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar

Kondisi yang dicapai: Realisasi indikator persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang

melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar tahun 2016 sebesar 63,88%, melebihi target yang telah ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 60% dengan capaian sebesar 106,47%. Capaian tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan capaian tahun 2015 yaitu 104,25%.

Tabel 16. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota

yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase Instalasi Farmasi

Kabupaten/Kota

pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar

Grafik 8. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar Tahun 2015-2019

Target Realisasi

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Jumlah IFK di Indonesia tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi 515 dibandingkan tahun 2015 yaitu 511 (100,78%). Hal ini disebabkan adanya pemekaran kabupaten/kota di dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara yang semula berjumlah 14 IFK menjadi 17 IFK dan Provinsi Papua Barat yang semula 13 IFK menjadi 14 IFK.

Grafik 9. Komposisi Jumlah IFK yang Melakukan Manajemen Pengelolaan Obat dan Vaksin Sesuai Standar Tahun 2015-2016

Tahun 2015 terdapat empat Provinsi dengan persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar tertinggi yaitu Provinsi Jambi, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Bali (100%). Sementara di tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi lima, dimana empat Provinsi dengan persentase tertinggi di tahun 2015 tidak berubah nilainya, ditambah dengan Provinsi Kalimantan Selatan (100%).

Sedangkan Provinsi dengan persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar terendah baik di tahun 2015 maupun 2016 adalah DKI Jakarta (N/A). Rendahnya nilai tersebut dikarenakan Provinsi DKI Jakarta memiliki bentuk pemerintahan daerah khusus sehingga berdampak kepada organisasi institusi kesehatan, dimana sebagian besar pengelolaan obatnya dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan.

Dari 34 Provinsi yang telah mengumpulkan data capaian skor IFK yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar di tahun 2015, masih terdapat dua belas Provinsi yang mempunyai skor rata-rata di bawah 70, yaitu Maluku, Kalimantan Utara, NTT, Banten, Papua Barat, Papua, Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan DKI Jakarta. Tahun 2016 jumlah tersebut berkurang menjadi hanya tujuh Provinsi. Provinsi Kalimantan

30 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Utara, Banten, Papua, Aceh dan Maluku Utara telah berhasil meningkatkan skornya menjadi di atas 70.

Skor rata-rata tertinggi di tahun 2015 dimiliki oleh Provinsi D.I. Yogyakarta (87,07), sedangkan di tahun 2016 dimiliki oleh Provinsi Sumatera Barat (87,29). Skor rata-rata terendah baik di tahun 2015 maupun tahun 2016 dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta.

Grafik 10. Komposisi Jumlah IFK yang Melakukan Manajemen Pengelolaan Obat dan Vaksin

Sesuai Standar per Provinsi Tahun 2015-2016

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Grafik 11. Skor Rata-Rata Persentase IFK yang Melakukan Manajemen Pengelolaan Obat dan Vaksin Sesuai Standar per Provinsi Tahun 2015-2016

Permasalahan: Permasalahan dalam pencapaian indikator persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar tahun 2016 tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi di tahun 2015. Permasalahan terjadi dalam proses penilaian dan pelaporan data sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

32 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan 32 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

b) Masih terdapat Kabupaten/Kota yang menyampaikan hasil penilaian IFK sesuai standar tidak tepat waktu kepada Dinas Kesehatan Provinsi, sehingga terjadi keterlambatan dalam melakukan rekapitulasi dan penyampaian hasil ke pusat.

c) Seringnya mutasi tenaga kefarmasian yang bertugas di Instalasi Farmasi. Upaya Pemecahan Masalah:

a) Melakukan sosialisasi terkait teknik perhitungan dan penilaian IFK yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar kepada petugas penanggung jawab data di daerah.

b) Perlu dibangun koordinasi yang baik untuk pelaporan data IFK yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar dari daerah ke pusat dan mengirimkan feedback berupa surat pemberitahuan mengenai pelaporan data capaian indikator kinerja kegiatan dari Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/ Kota guna menginformasikan ketaatan pelaporan dan juga manfaat hasil laporan bagi daerah.

c) Melakukan peningkatan kapasitas SDM dalam pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Provinsi dan Kabupaten/Kota.

4) Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik (GMP/CPAKB)

Kondisi yang dicapai: Jumlah sarana produksi alkes pada tahun 2016 sejumlah 632 sarana produksi alat kesehatan dan PKRT. Jumlah sarana produksi alkes dan PKRT yang memenuhi

CPAKB sebanyak 297 sarana. Sehingga, persentase sarana produksi alkes dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik (CPAKB/GMP) pada tahun 2016 adalah 47% sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 17. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik (GMP/CPAKB) Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase sarana produksi

alat kesehatan dan PKRT yang

(GMP/CPAKB)

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Grafik 12. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik (GMP/CPAKB) Tahun 2015-2019

Permasalahan: Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja Persentase Sarana Produksi alat Kesehatan dan PKRT Yang Memenuhi Cara Pembuatan Yang Baik (CPAKB/GMP) yaitu:

1. Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) belum diterapkan oleh sebagian besar produsen dalam negeri.

2. Kurangnya kepatuhan pimpinan dan penanggung jawab sarana dalam kepatuhan perizinan misalnya tidak melaporkan pindah alamat atau sarana produksinya sudah berhenti memproduksi alat kesehatan/PKRT.

3. Kurangnya petugas inspeksi baik di tingkat pusat maupun daerah untuk melakukan inspeksi sesuai dengan pedoman Cara Pembuatan Alat Kesehatan Yang Baik.

Upaya Pemecahan Masalah: Upaya pemecahan masalah terhadap permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja Persentase Sarana Produksi alat Kesehatan dan PKRT Yang Memenuhi Cara Pembuatan yang Baik (CPAKB/GMP) adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan sosiasilasi dan advokasi kepada pimpinan perusahaan, penanggung jawab teknis dalam penerapan Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik dengan

kegiatan peningkatan kemampuan SDM industri alat kesehatan dan PKRT dalam penerapan CPAKB.

2. Melakukan analisa dan evaluasi laporan pengawasan sarana produksi alkes dan PKRT untuk memberikan sanksi administratif berupa surat peringatan tertulis sampai dengan pencabutan sertifikat produksi. Sejumlah 3 (tiga) perusahaan industri alkes direkomendasi untuk mendapatkan CPAKB dan 6 (enam) perusahaan industri PKRT yang di rekomendasi untuk mendapatkan Cara Pembuatan PKRT yang Baik (CPPKRTB).

34 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

3. Melakukan advokasi kepada asosiasi terkait seperti ASPAKI (Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia) dan Persatuan Perusahaan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Indonesia (PEKERTI) dan Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium di Indonesia (GAKESLAB).

4. Melakukan peningkatan kemampuan SDM untuk SDM Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT dan SDM Dinas Kesehatan Provinsi antara lain pada kegiatan Peningkatan Kemampuan SDM Dinkes Provinsi Dalam Pelaksanaan Penerapan CPAKB, CPPKRTB, CDAKB, Peningkatan petugas dalam pengawasan dan pembinaan sarana produksi dan distribusi alat kesehatan dan PKRT.

5) Persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices

Kondisi yang dicapai: Jumlah permohonan pre-market yang masuk selama tahun 2016 sejumlah 10.483

berkas. Dari jumlah tersebut, perizinan yang sudah selesai tepat waktu sesuai Good Review Practice tahun 2016 sejumlah 9.457. Sehingga capaian indikator kinerja kegiatan persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practice tahun 2016 adalah 90,21% dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 18. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase penilaian pre-

market tepat waktu sesuai Good Review Practices

Grafik 13. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices Tahun 2015-2019

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Pada tahun 2015, capaian indikator kinerja kegiatan persentase penilaian pre- market tepat waktu sesuai Good Review Practice adalah sebesar 78,18% dengan target sebesar 75% sehingga diperoleh persentase capaian indikator kinerja sebesar 104,24%, sedangkan pada tahun 2016 capaian indikatornya adalah sebesar 90,21% dengan target sebesar 77% sehingga diperoleh persentase capaian indikator kinerja sebesar 136,68%. Dari data diatas tampak bahwa target indikator kinerja kegiatan persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practice pada tahun 2015 dan 2016 telah tercapai dengan kenaikan 25% dari tahun 2015 dengan capaian 32,44%.

Permasalahan: Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja kegiatan persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices yaitu:

a. Perubahan Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) menyebabkan perubahan nomenklatur, sehingga dibutuhkan waktu untuk penyesuaian konfigurasi sistem perizinan dan pembayaran PNBP.

b. Kurangnya kompetensi SDM pendaftar dalam tata cara permohonan izin edar alat kesehatan dan PKRT.

Upaya Pemecahan Masalah: Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja kegiatan persentase penilaian pre-market tepat waktu sesuai Good Review Practices adalah sebagai berikut:

a. Melaksanakan koordinasi kepada pihak terkait dalam rangka penyesuaian proses perizinan dan pembayaran PNBP.

b. Mengadakan bimbingan teknis dalam rangka pengajuan permohonan izin edar alat kesehatan dan PKRT (asistensi).

6) Jumlah industri yang memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri

Kondisi yang dicapai: Pada tahun 2016, jumlah industri yang memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri adalah sebanyak 4 industri dari target sebanyak 4 industri yang telah ditetapkan. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan penjajagan ke industri mitra yang bekerjasama dengan Pihak Kedua pada fasilitasi pengembangan dan peningkatan kapasitas produksi bahan baku obat dan obat

36 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan 36 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Pada tahun 2016 dilakukan kerjasama dengan 2 industri mitra, yaitu CV Agaricus Sido Makmur Sentosa dan PT Kimia Farma.

Tabel 19. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Jumlah Industri yang Memanfaatkan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

Memanfaatkan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi

Grafik 14. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Jumlah Industri yang Memanfaatkan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri Tahun 2015-2019

Daftar industri yang memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri pada tahun 2016 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 20. Industri yang Memanfaatkan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi Dalam

Negeri Tahun 2015-2016

No

Industri

BBO / BBOT Yang Dimanfaatkan Tahun 2015

1 PT Swayasa Prakarsa - Ekstrak Aktif Terstandar Daun Awar-awar Ficus septica (hasil tahun 2014)

- Ekstrak Terstandar Daun Kepel Stelechocarpus burahol (BI.) Hook.f. & Th (hasil tahun 2015)

- Ekstrak Umbi Bengkoang Pachyrrhizus erosus L. (hasil tahun 2015)

- Ekstrak Aktif Terstandar Daun Mimba Azadirachta indica (hasil tahun 2015)

2 PT Kimia Farma - Ekstrak Terstandar Daun Tempuyung Sonchus arvensis L. (hasil tahun 2014)

- Ekstrak Biji Klabet Trigonella foenum-graecum L. (hasil tahun 2015)

- Pemanis Alami Glikosida Steviol (hasil tahun 2015) - Ekstrak Terstandar Strobilanthes crispus L.(hasil

tahun 2015)

Tahun 2016

Sido - Ekstrak Terstandar Kulit Buah Manggis Garcinia Makmur Sentosa

3 CV Agaricus

mangostana L. (hasil tahun 2013)

4 PT Kimia Farma - Fraksi Bioaktif Biji Pala Myristica fragrans Houtt. (hasil tahun 2016)

7) Persentase kepuasan klien terhadap dukungan manajemen

Kondisi yang dicapai: Persentase kepuasan klien terhadap dukungan manajemen menggambarkan kinerja kegiatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya di Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Yang dimaksud dengan kepuasan klien terhadap dukungan manajemen adalah tersedianya pelayanan kesekretariatan yang sesuai standar dan memenuhi kebutuhan klien, dalam hal ini semua pihak yang menerima layanan dari Sekretariat Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Realisasi indikator persentase kepuasan klien terhadap dukungan manajemen tahun 2016 sebesar 87,03%, melebihi target yang telah ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 85% dengan capaian sebesar 102,39%. Capaian tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan capaian tahun 2015 yaitu 85,71%.

38 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 21. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Kepuasan Klien Terhadap Dukungan Manajemen Tahun 2016

Indikator Kinerja Target 2016 Realisasi 2016 Capaian 2016

Persentase kepuasan klien

Grafik 15. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Kepuasan Klien Terhadap Dukungan Manajemen Tahun 2015-2019

Indikator ini diukur dengan jumlah item yang memenuhi kepuasan klien yaitu jumlah layanan dukungan manajemen yang diselesaikan tepat waktu sesuai dengan janji layanan dibandingkan dengan jumlah layanan dukungan manajemen. Adapun 8 (delapan) jenis pelayanan Sekretariat Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan beserta capaiannya di tahun 2016, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 22. Pengukuran Persentase Kepuasan Klien Terhadap Dukungan Manajemen Tahun 2016

Tahun 2016

No Jenis Pelayanan

TW IV Persentase

1 Penerbitan STRA

100% 99,31% 2 Penyelesaian Penilaian Angka Kredit (PAK)

26,32% 37,37% Apoteker dan Asisten Apoteker

3 Penyelesaian Layanan Pengadaan

69,57% 74,70% 4 Penyelesaian Rancangan Permenkes

100% 93,75% 5 Respon Time terhadap Keluhan Pelanggan

100% 100% 6 Penyelesaian Revisi

90,91% 97,73% 7 Tindak Lanjut LHP

100% 100% 8 Pencairan Dana

Kepuasan Pelanggan

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Permasalahan:

a. Belum optimalnya sistem track and trace serta verifikasi dokumen untuk penyelesaian Penilaian Angka Kredit (PAK) Apoteker dan Asisten Apoteker.

b. Proses resertifikasi ISO 9001:2008 menjadi ISO 9001:2015 mengalami kendala dalam proses lelang.

Upaya Pemecahan Masalah:

a. Pembenahan sistem track and trace serta verifikasi dokumen untuk penyelesaian Penilaian Angka Kredit (PAK) Apoteker dan Asisten Apoteker

b. Proses resertifikasi ISO 9001:2008 menjadi ISO 9001:2015 dilaksanakan di awal tahun 2017 untuk mencegah gagal lelang.

B. REALISASI ANGGARAN

Pagu alokasi APBN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan terus mengalami peningkatan, ini menunjukkan bahwa pengelolaan kegiatan dalam upaya pencapaian sasaran program kefarmasian dan alat kesehatan dinilai baik. Peningkatan program tidak hanya dilakukan di tingkat pusat tapi juga program di daerah. Alokasi APBN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada tahun 2016 sebesar Rp3.251.823.220.000,00

2016 sebesar Rp2.723.129.974.694,00 dengan persentase sebesar 83,74%.

1. KANTOR PUSAT

Keberhasilan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam mencapai target indikator kinerja di tahun kedua Renstra 2015-2019 merupakan hasil kerja keras seluruh komponen, pendayagunaan sumber daya yang optimal dan penguatan terutama dalam perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan bidang kefarmasian dan alat kesehatan serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan yang berkelanjutan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan didukung oleh anggaran yang dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2016 dengan alokasi sebesar Rp3.100.850.646.000,00. Selama pelaksanaan kegiatan tahun 2016, anggaran Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan mengalami efisiensi/penghematan sebanyak 2 (dua) kali. Efisiensi/penghematan yang pertama melalui Instruksi Presiden No.4 Tahun 2016 sebesar Rp24.112.000.000,00 yang kemudian ditindaklanjuti melalui Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI selaku mitra kerja Kementerian Kesehatan dengan menyetujui pelaksanaan efisiensi/penghematan dan

40 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan 40 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Sesuai dengan Instruksi Presiden No.8 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2016, anggaran Kementerian Kesehatan dilakukan efisiensi/penghematan kembali. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan memperoleh penghematan anggaran sebesar Rp455.568.900.000,00. Efisiensi tahap 2 ini dilakukan melaui mekanisme blokir mandiri (Self blocking) pada DIPA Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan kembali memperoleh Hibah Luar Negeri Langsung dari Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI) sebesar Rp110.084.574.000,00 sehingga merubah alokasi anggaran Direktorat

menjadi sebesar Rp3.186.823.220.000,00 (Tiga triliun seratus delapan puluh enam miliar delapan ratus dua puluh tiga juta dua ratus dua puluh ribu rupiah).

Tabel 23. Alokasi Dana dan Realisasi Anggaran DIPA Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016 Berdasarkan Inpres No.4 Tahun 2016

NO SATUAN KERJA

ALOKASI

REALISASI %

1 Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan

2.482.995.585.076 84,01% Perbekalan Kesehatan

Rp

2.955.647.197.000 Rp

2 Direktorat Pelayanan Kefarmasian

3 Direktorat Produksi dan Distribusi

4 Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan

Rp

29.368.049.000 Rp

5 Diirektorat Pengawasan Alat Kesehatan

16.392.095.047 81,10% dan PKRT

Rp

20.212.478.000 Rp

77.508.765.266 80,45% Kefarmasian dan Alat Kesehatan

6 Sekretariat Direktorat Jenderal Bina

Adapun realisasi anggaran tahun 2016 adalah sebesar Rp2.666.579.319.125,00 (Dua triliun enam ratus enam puluh enam miliar lima ratus tujuh puluh sembilan juta tiga ratus sembilan belas ribu seratus dua puluh lima rupiah). Bila dibandingkan dengan alokasi anggaran termasuk self blocking yaitu sebesar Rp3.186.823.220.000,00, maka persentase realisasi sebesar 83,68%. Sementara bila dibandingkan dengan alokasi anggaran tanpa self blocking yaitu dengan alokasi sebesar Rp2.731.254.320.000,00, maka persentase realisasi sebesar 97,63%.

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 24. Alokasi Dana dan Realisasi Anggaran DIPA Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016 Berdasarkan Inpres No.8 Tahun 2016

NO SATUAN KERJA

ALOKASI

REALISASI %

1 Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan

2.482.995.585.076 98,65% Perbekalan Kesehatan

Rp

2.517.036.899.000 Rp

2 Direktorat Pelayanan Kefarmasian

3 Direktorat Produksi dan Distribusi

4 Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan

Rp

29.086.365.000 Rp

5 Diirektorat Pengawasan Alat Kesehatan

16.392.095.047 85,42% dan PKRT

Rp

19.191.077.000 Rp

6 Sekretariat Direktorat Jenderal Bina

77.508.765.266 84,38% Kefarmasian dan Alat Kesehatan

2. DANA DEKONSENTRASI

Untuk mendukung penyelenggaraan program kefarmasian dan alat kesehatan di daerah, tahun 2016 disediakan dana Dekonsentrasi sebesar Rp65.000.000.000,00 (Enam puluh lima miliar rupiah). Realisasi dana Dekonsentrasi tahun 2016 adalah Rp56.550.655.569,00 (Lima puluh enam miliar lima ratus lima puluh juta enam ratus lima puluh lima ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah) dengan persentase realisasi sebesar 87,00%. Alokasi dana dan realisasi DIPA Dekonsentrasi Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan seperti diuraikan pada tabel di bawah ini:

42 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 25. Alokasi Dana dan Realisasi Anggaran DIPA Dekonsentrasi Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016

NO SATUAN KERJA

ALOKASI

REALISASI %

1 Dinkes Provinsi DKI Jakarta

1.940.636.000 96,56% 2 Dinkes Provinsi Jawa Barat

Rp

2.009.682.000 Rp

1.459.201.228 46,31% 3 Dinkes Provinsi Jawa Tengah

Rp

3.150.745.000 Rp

2.288.358.394 73,87% 4 Dinkes Provinsi D.I. Yogyakarta

Rp

3.097.775.000 Rp

1.076.917.982 77,73% 5 Dinkes Provinsi Jawa Timur

Rp

1.385.484.000 Rp

2.072.189.698 61,68% 6 Dinkes Provinsi Aceh

Rp

3.359.578.000 Rp

1.932.006.324 87,06% 7 Dinkes Provinsi Sumatera Utara

Rp

2.219.245.000 Rp

2.493.416.486 88,16% 8 Dinkes Provinsi Sumatera Barat

Rp

2.828.378.000 Rp

1.966.570.629 95,20% 9 Dinkes Provinsi Riau

Rp

2.065.774.000 Rp

1.611.504.580 93,35% 10 Dinkes Provinsi Jambi

Rp

1.726.370.000 Rp

1.521.740.894 94,68% 11 Dinkes Provinsi Sumatera Selatan

Rp

1.607.321.000 Rp

1.759.934.853 93,04% 12 Dinkes Provinsi Lampung

Rp

1.891.488.000 Rp

1.769.974.500 97,69% 13 Dinkes Provinsi Kalimantan Barat

Rp

1.811.903.000 Rp

1.603.100.800 90,61% 14 Dinkes Provinsi Kalimantan Tengah

Rp

1.769.178.000 Rp

1.532.470.511 88,21% 15 Dinkes Provinsi Kalimantan Selatan

Rp

1.737.248.000 Rp

1.790.801.511 97,00% 16 Dinkes Provinsi Kalimantan Timur

Rp

1.846.232.000 Rp

1.412.005.618 90,56% 17 Dinkes Provinsi Sulawesi Utara

Rp

1.559.249.000 Rp

1.800.657.000 98,88% 18 Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah

Rp

1.821.107.000 Rp

1.670.300.193 95,59% 19 Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan

Rp

1.747.364.000 Rp

2.181.753.480 93,91% 20 Dinkes Provinsi Sulawesi Tenggara

Rp

2.323.156.000 Rp

1.729.174.442 97,18% 21 Dinkes Provinsi Maluku

Rp

1.779.315.000 Rp

1.474.342.150 88,20% 22 Dinkes Provinsi Bali

Rp

1.671.518.000 Rp

1.471.484.609 91,77% 23 Dinkes Provinsi Nusa Tenggara Barat

Rp

1.603.491.000 Rp

1.420.781.625 91,23% 24 Dinkes Provinsi Nusa Tenggara Timur

Rp

1.557.378.000 Rp

1.839.909.333 86,34% 25 Dinkes Provinsi Papua

Rp

2.131.098.000 Rp

2.136.683.500 78,16% 26 Dinkes Provinsi Bengkulu

Rp

2.733.562.000 Rp

1.409.856.400 90,97% 27 Dinkes Provinsi Maluku Utara

Rp

1.549.733.000 Rp

1.504.274.000 94,16% 28 Dinkes Provinsi Banten

Rp

1.597.492.000 Rp

1.384.251.010 91,47% 29 Dinkes Provinsi Kepulauan Bangka

Rp

1.513.295.000 Rp

1.403.067.240 98,80% 30 Dinkes Provinsi Gorontalo

Rp

1.420.154.000 Rp

1.346.676.800 97,05% 31 Dinkes Provinsi Kepulauan Riau

Rp

1.387.624.000 Rp

1.273.498.740 88,46% 32 Dinkes Provinsi Papua Barat

Rp

1.439.551.000 Rp

2.118.033.000 100,00% 33 Dinkes Provinsi Sulawesi Barat

Rp

2.118.033.000 Rp

989.146.000 79,35% 34 Dinkes Provinsi Kalimantan Utara

C. SUMBER DAYA MANUSIA

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung tercapainya indikator kinerja. Secara teknis SDM dapat menunjang keberhasilan dalam mencapai tujuan apabila mencukupi dari sisi jumlah dan kualitas serta profesional di bidangnya.

Keadaan pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan sampai akhir tahun 2016 berjumlah 263 orang dengan rincian sebagai berikut:

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 26. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Tahun 2016 Menurut Jabatan

Keterangan

Jumlah

Menurut Jabatan

Jabatan Struktural

Jabatan Fungsional Tertentu

Grafik 16. Komposisi Sumber Daya Manusia di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016 Menurut Jabatan

Jabatan Struktural

Jabatan Fungsional 67,30%

Tertentu Staf

Tabel 27. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Tahun 2016 Menurut Golongan

Keterangan

Jumlah

Menurut Golongan

Golongan II

Golongan III

Golongan IV

Jumlah

44 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Grafik 17. Komposisi Sumber Daya Manusia di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016 Menurut Golongan

Golongan II Golongan III

Golongan IV

Tabel 28. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Tahun 2016 Menurut Pendidikan

Keterangan

Jumlah

Menurut Pendidikan

Spesialis 1/2/A V

Grafik 18. Komposisi Sumber Daya Manusia di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016 Menurut Pendidikan

23,57% Spesialis 1/2/A V

S1 D3 Akademi

SMA SMP

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tabel 29. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Tahun 2016 Menurut Jenis Kelamin

Keterangan

Jumlah

Menurut Jenis Kelamin

Grafik 19. Komposisi Sumber Daya Manusia di Lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2016 Menurut Jenis Kelamin

46 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan