Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi

(1)

MODAL SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

EKONOMI KELUARGA DI DAERAH

PERDESAAN PROVINSI JAMBI

SU AN DI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2007

Suandi A561020061


(3)

RINGKASAN

SUANDI. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Dibimbing oleh UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, dan EUIS SUNARTI.

Teknologi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam menentukan kapasitas masyarakat untuk menghasilkan suatu produk. Namun demikian, faktor produksi tersebut belum mampu melihat tingkat interdependensi antar individu dalam masyarakat kalau tidak didukung oleh faktor institusi dan nilai yang berlaku di masyarakat. Pengalaman selama ini, setiap peningkatan kesejahteraan, masyarakat dianggap sebagai “mesin rusak,” dan pengetahuan yang ada digunakan untuk memperbaiki “mesin” tersebut. Disamping itu, determinan kesejahteraan (well-being) hanya terbatas pada faktor fisik (alam, ekonomi, dan sumberdaya manusia), dan sedikit sekali melihat kesejahteraan dalam konteks modal sosial. Padahal modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat formal maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat termasuk masalah peningkatan kesejahteraan keluarga.

Penduduk Provinsi Jambi, seperti penduduk lainnya di Indonesia, mengelompok sesuai dengan ciri yang dianut masyarakat, seperti: pola penguasaan lahan, karakteristik sosio-budaya, dan etnisitas sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Melihat adanya perbedaan pengelompokan masyarakat di Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan yang diharapkan memiliki nilai tersendiri dan peran modal sosial dalam arti jalinan jaringan kerja baik secara formal maupun info rmal satu dengan lainnya adalah cukup penting. Hingga saat ini, penelitian dan pengembangan konsep modal sosial dan perannya dalam pembangunan, terutama kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat di Indonesia masih belum banyak dilakukan.

Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jamb i, (2) Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga, (3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan wilayah agroekologi, (4) Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga, dan (5) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi: Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Waktu pengumpulan data penelitian selama delapan bulan, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2007. Variabel penelitian adalah sosio-demografi, manajemen sumberdaya, modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) dan variabel kesejahteraan ekonomi keluarga (kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif). Data penelitian bersumber dari data sekunder dan primer yang diambil dengan cara observasi, wawancara langsung, indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Jumlah sampel


(4)

penelitian 325 keluarga atau 10 persen dari populasi ( 3.257 keluarga) yang diambil secara berturut-turut dengan cara cluster, purposive, dan simple random sampling. Data dianalisis melalui model Structural Equation Modelling (SEM) dengan program LISREL (versi 8.7).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian tergolong sejahtera. Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga secara positif dipengaruhi oleh faktor manajemen keuangan, tingkat partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi bagi keluarga dan faktor tingkat keterpercayaan masyarakat. Distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga (objektif dan subjektif) di daerah penelitian relatif merata. Tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan di wilayah pesisir pantai. Pengujian melalui model SEM, ternyata laten variabel modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial yang dimiliki oleh keluarga maka tingkat kesejahteraan mereka semakin baik.

Peran modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga dapat dilihat dari berbagai bentuk, yakni: (1) Menurut mekanisme. Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat me ntransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses dari modal sosial yang diharapkan masyarakat sehingga efek modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan ekonomi keluarga yaitu melalui tiga mekanisme, yakni: sharing informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). (2) Menurut tipe interaksi sosial. Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga, seperti: interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (lingking). (3) Menurut dimensi modal sosial. Sesuai dengan konsep yang dikembang dalam penelitian ini dan didukung oleh sosial budaya masyarakat maka dimens i modal sosial yang digunakan yaitu terdiri dari dua dimensi besar yang saling berhubungan secara kausalitas, yakni: asosiasi lokal dan dimensi karakter. Dimensi asosiasi lokal dilihat dari aspek: jumlah asosiasi yang diikuti, tingkat partisipasi, dan manfaat asosiasi, sedangkan dimensi karakter, terdiri dari: keterpercayaan, solidaritas, dan dimensi semangat kerja. Peran lain dari modal sosial yaitu memfasilitasi berbagai akses di masyarakat, seperti: suplai air dan irigasi, kredit, dan akses dalam mendapatkan input pertanian/teknologi. Oleh karena itu, penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.

Kata-kata kunci: kesejahteraan ekonomi keluarga, disparitas, modal sosial, dan pemberdayaan masyarakat.


(5)

ABSTRACT

SUANDI. Social capital and family economic well-being in rural area of Jambi Province. Under the direction of UJANG SUMARWAN, SUPRIHATIN GUHARDJA, PANG S. ASNGARI, and EUIS SUNARTI.

The objectives of this study are: (1) to analyze the family economic well-being, (2) to analyze factors effect on family economic well-well-being, and (3) to comprehend and analyze disparities of family economic well-being, (4) to explore the effect of social capital variables on family objective and subjective economic well-being, and (5) to develop the community development model in rural area of Jambi Province. The research design is cross sectional and was carried out in Kerinci and East Tanjung Jabung districts from January to August 2006. Variables used are socio-demography, family resource management, social capital, and family economic well-being both objective and subjective economic well-being. 325 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive, regression analyze, and Structural Equation Modeling (SEM) models were used for data analyzed. The results show that family economic being consisted of objective and subjective economic well-being are not poor. Management of family livelihood, participation of family in local asociation, using of asociation in family, and trust factors have positive effect on family objective economic well-being. Family economic well-being consisted of objective and subjective economic well-being are equal (no disparities) among family in the research area. Family economic well-being in mountainous area, however, is better than compared to the family in coastal area. Finally, social capital (asociation and people character) both directly and indirectly has a significant effect on family economic well-being in mountainous area. The research finding also showed that there was no significant effect of social capital on family economic well-being in coastal area. The role s of social capital in generating family economic well-being are created through: (1) sharing informations, (2) asociation activities, and (3) collective actions. Besides, the social capital also give access to: (1) irrigation for farming and water supply for household needs, (2) credit for agriculture activities, and (3) agricultural input and technology for farmers. The research come to the conclusion that strengthening social capital is very important in community development to increase family economic well-being in rural area.

Key words: family economic well-being, disparities, social capital, and community


(6)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2007

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

MODAL SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

EKONOMI KELUARGA DI DAERAH

PERDESAAN PROVINSI JAMBI

SU AN DI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Makmur Sunusi, Ph.D. 2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc.


(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi

N a m a : Suandi

NRP. : A561020061

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwa n, M.Sc Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS

Ketua Anggota

Prof. Dr. Pang S. Asngari Dr. Ir. Euis Sunarti, MS

Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Phasing Out Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi GMK

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun judul karya ilmiah ini adalah “Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. ” Karya ilmiah ini dibuat sebagai syarat guna penyelesaian studi Program Doktor (S3) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK).

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc.,

selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS., Prof. Dr. Pang S. Asngari, serta Dr. Ir. Euis Sunarti, MS., masing- masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ali Khomsan selaku ketua Progam Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan mertua, isteri dan anak-anak serta keluarga lainnya atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amien!

Bogor, September 2007


(11)

Riwayat Hidup

Penulis dilahirkan di Jujun Kerinci pada tanggal 01 Nopember 1963 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Sulaiman Taher dan Ibu Siti Aman. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Kependudukan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi dari tahun 1989 sampai sekarang. Bidang keahlian yang menjadi tanggung jawab penulis pa da Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi ialah bidang Ekonomi Sumberdaya Manusia dan Kesejahteraan Keluarga.

Selama bekerja sebagai dosen tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, pe nulis pernah dipercaya memangku jabatan sebagai Ketua Program Studi Agribisnis pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi periode 2001-2004 dan pada periode yang sama sebagai Anggota Se nat Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

Publikasi buku yang dihasilkan penulis selama bekerja sebagai dosen pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi, adalah: (1) Profil Statistik dan Indikator Gender Provinsi Jambi, (2) Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Provinsi Jambi Berbasis Gender, dan (3) Aplikasi Stuctural Equation Modeling (SEM) dalam Penelitian Keluarga. Publikasi ilmiah yang telah diterbitkan selama tiga tahun terakhir, adalah: (1) Kondisi Sosio-demografi dan Kemiskinan di Perdesaan Provinsi Jambi, (2) Hubungan Pekerja Anak terhadap Sosial Ekonomi Rumahtangga di Kota Jambi, dan (3) Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi. Publikasi ilmiah penulis yang terakhir adalah merupakan bagian dari disertasi.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 7

Kegunaan Penelitian ... 7

Keterbatasan Penelitian ... 8

Pembaruan Penelitian ... 8

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Kesejahteraan ekonomi keluarga ... 9

Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan di Daerah Perdesaan ... 13

Persepsi Kesejahteraan ekonomi keluarga ... 16

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 18

Konsep Modal Sosial ... 21

Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial ... 25

Beberapa Dimensi dan Tingkat Hubungan Modal Sosial ... 27

Interaksi Sosial Kehidupan Masyarakat ... 28

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 32

Kerangka Berpikir ... 32

Hipotesis Penelitian ... 34

METODE PENELITIAN ... 35

Desain, dan Lokasi Penelitian ... 35

Sumber, Jenis, dan Metode Pengumpulan Data ... 36

Waktu Pengumpulan Data Penelitian ... 37


(13)

Halaman

Analisis Data ... 42

Uji Reliabilitas ... 57

Definisi Operasional ... 59

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 63

Karakteristik Keluarga Contoh ... 72

ARTIKEL I: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI OBJEKTIF KELUARGA BERDASARKAN WILAYAH AGROEKOLOGI ... 86

ABSTRAK ... 86

ABSTRACT ... 87

PENDAHULUAN ... 88

METODE PENELITIAN ... 90

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 93

Sosio Demografi Keluarga ... 93

Manajemen Sumberdaya Keluarga... 101

Modal Sosial ... 111

Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 121

Kesejahteraan Ekonomi Objektif ... 122

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif ... 125

Disparitas Pengeluaran Keluarga ... 127

KESIMPULAN DAN SARAN ... 130

Kesimpulan ... 130

Saran ... 131


(14)

Halaman

ARTIKEL II: PENGARUH FAKTOR SOSIO-DEMOGRAFI, MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN MODAL SOSIAL TERHADAP

KESEJAHTERAAN EKONOMI SUBJEKTIF KELUARGA DI

PERDESAAN PROVINSI JAMBI ... 133

ABSTRAK ... 133

ABSTRACT ... 134

PENDAHULUAN ... 135

METODE PENELITIAN ... 136

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 139

Sosio Demografi Keluarga ... 139

Manajemen Sumberdaya Keluarga... 142

Modal Sosial ... 145

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 151

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 158

Disparitas Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 160

KESIMPULAN DAN SARAN ... 162

Kesimpulan ... 162

Saran ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 164

ARTIKEL III: PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI WILAYAH PERDESAAN PROVINSI JAMBI ... 166

ABSTRAK ... 166 ABSTRACT ... 167 PENDAHULUAN ... 168 METODE PENELITIAN ... 169

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 172

Modal Sosial ... 172

Asosiasi Lokal ... 172

Karakter Masyarakat ... 185


(15)

Halaman

Kesejahteraan Ekonomi Objektif ... 195

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif ... 199

Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 207

Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Perdesaan ... 216

KESIMPULAN DAN SARAN ... 219

Kesimpulan ... 219

Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA ... 220

PEMBAHASAN UMUM ... 223

Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 223

Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 227

Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga ... 237

Model Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Perdesaan ... 238

KESIMPULAN DAN SARAN ... 241

Kesimpulan ... 241

Saran ... 243

DAFTAR PUSTAKA ... 245


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN

diukur dari HDI (1996-2004) ... 4

2 Sistem, Subsistem dan Faktor- faktor Kesejahteraan ... 12

3 Definisi, Maksud/Tujuan dan Analisis Modal Sosial ... 24

4 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 38

5 Jumlah Responden dan Informan Indepth Intrerview Berdasarkan Kabupaten, Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian, tahun 2006 ....………... 41

6 Matrik-matrik Model Laten Variabel ... 49

7 Matrik-matrik Model Pengukuran ... 51

8 Godness of Fit Indecs ... 55

9 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan, nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 ... 58

10 Konstruk/Variabel Penelitian, Indikator, Nilai dan Skala Pengukuran Penelitian, 2006. ... 61

11 Penduduk Berumur 10 tahun Ke Atas Menurut Jenis Kelamin dan Kepandaian Membaca/Menulis di Provinsi Jambi, 2002-2004 (%) ... 67

12 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SD, SLTP, dan SLTA Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi, 2000 ... ... 69

13 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 ... 73

14 Sebaran Contoh Berdasarkan Status Kepemilikan Rumah, 2006 ... 74

15 Sebaran Contoh Berdasarkan Tipe Rumah, 2006 ... 75

16 Sebaran Contoh Berdasarkan Luas Lantai Rumah, 2006 ... 76

17 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Dinding Rumah, 2006 ... 77

18 Sebaran Contoh Berdasarkan Atap Rumah, 2006 ... 78


(17)

Halaman

20 Sebaran Contoh Berdasarkan Fasilitas Rumah, 2006 ... 80 21 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas

Umum, 2006 ... 82 22 Sebaran Contoh Berdasarkan Jarak Rumah dengan Fasilitas

Umum, 2006 ... 83 23 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan Fasilitas

Umum, 2006 ... 84 24 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Rumah dengan

masing-masing Fasilitas Umum, 2006 ... 85 25 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami,

Tahun 2006 ... 95 26 Sebaran Contoh Berdasarkan Pendidikan Non Formal Suami,

2006 ... 96 27 Sebaran Contoh Berdasarkan Kelompok Umur Terpilih, 2006

... 99 28 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Beban Ketergantungan

Keluarga, 2006 ... 100 29 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Sumberdaya

Keluarga, 2006 ... 105 30 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Waktu Keluarga,

2006 ... 106 31 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Anggota Keluarga,

2006 ... 108 32 Sebaran Contoh Berdasarkan Manajemen Keuangan

Keluarga, 2006 ... 109 33 Sebaran Contoh dengan Manajemen yang Dirasakan Baik

Berdasarkan Sumberdaya, 2006 ... 110 34 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang

Diikuti, 2006 ... 112 35 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota

Keluarga dalam Asosiasi Lokal, 2006 ... 114 36 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota


(18)

Halaman

37 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi

Keluarga, 2006 ... 116 38 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan

Masyarakat, 2006 ... 118 39 Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 ... 119 40 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ... 121 41 Sebaran Contoh Menurut Tingkat Pengeluaran Keluarga,

Tahun 2006 ... 123 42 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan

Keluarga, Tahun 2006 ... 124 43 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan

Ekonomi Objektif Keluarga, Tahun 2006 ... 126 44 Indeks Kuznet Tingkat Pengeluaran Keluarga ... 128 45 Sebaran Contoh Menurut Kepuasan terhadap Pemenuhan

Kebutuhan Sehari-hari, 2006 ... 151 46 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap

Pemenuhan Kebutuhan Pangan, 2006 ... 154 47 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap

Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ... 155 48 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap

Pemenuhan Investasi Sumberdaya manusia, 2006 ... 157

49 Persentase Contoh Merasa Puas Terhadap Pemenuhan Alokasi

Kebutuhan Sehari-hari, 2006 ... 158 50 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kesejahteraan

Ekonomi Subjektif Keluarga, Tahun 2006 ... 159 51 Indeks Kuznet Tingkat Kepuasan Keluarga ... 161 52 Reliabilitas Instrumen Penelitian: Jumlah item Pertanyaan,

nilai ?-cronbach dan ?-cronbach standarisasi, 2006 ... 170 53 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Asosiasi Lokal yang

Dimiliki, 2006 ... 173 54 Sebaran Contoh Berdasarkan Jumlah Asosiasi Lokal yang


(19)

Halaman

55 Sebaran Contoh Berdasarkan Partisipasi Anggota Keluarga

dalam Asosiasi Lokal, 2006 ... 175 56 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Partisipasi Anggota

Keluarga pada Pertemuan Asosiasi Lokal, 2006 ... 177 57 Sebaran Contoh Berdasarkan Pengambilan Keputusan

Keluarga dalam Pertemuan, 2006 ... 177 58 Sebaran Contoh Berdasarkan Manfaat Asosiasi Lokal bagi

Keluarga, 2006 ... 178 59 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Asosiasi Lokal Bagi

Keluarga, 2006 ... 180

60 Sebaran Contoh Berdasarkan Akses Asosiasi Lokal bagi

Keluarga, 2006 ... 183 61 Sebaran Contoh Berdasarkan Berbagai Akses Asosiasi Lokal

bagi Keluarga, 2006 ... 184 62 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Heterogenitas Asosiasi

Lokal, 2006 ... 185 63 Sebaran Contoh Berdasarkan Karakter Masyarakat, 2006 ... 187 64 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Keterpercayaan

Masyarakat, 2006 ... 187 65 Sebaran Contoh Berdasarkan Solidaritas Masyarakat, 2006 ... 190

66 Sebaran Contoh Berdasarkan Semangat Kerja, 2006 ... 193 67 Sebaran Contoh Pengeluaran untuk Berbagai Kebutuhan

Keluarga, Tahun 2006 ... 196 68 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Pangan Keluarga,

2006 ... 197 69 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Non Pangan

Keluarga, 2006 ... 198 70 Sebaran Contoh Berdasarkan Kebutuhan Investasi

Sumberdaya Manusia, 2006 ... 199 71 Sebaran Contoh Kepuasan Terhadap Pemenuhan Kebutuhan

Sehari- hari, 2006 ... 200 72 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap


(20)

Halaman

73 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap

Pemenuhan Kebutuhan Non Pangan, 2006 ... 204 74 Sebaran Contoh Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap

Pemenuhan Kebutuhan Investasi Sumberdaya Manusia, 2006 . 206 75 Persentase Contoh Keluarga Merasa Puas Terhadap

Pemenuhan Alokasi Kebutuhan Sehari- hari, 2006 ... 206 76 Goodness of Fit Index Pengaruh Modal Sosial terhadap

Kesejahteraan Ekonomi Keluarga, 2006 ... 208 77 Nilai Gamma dan Betha antar Variabel Laten Pengaruh Modal


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perkembangan Perekonomian Indonesia dari 1990-2000 ... 3

2 Modal Sosial sebagai Sumberdaya ... 23

3 Kerangka Konseptual Modal Sosial ... 31

4 Kerangka Berpikir: Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Keluarga ... 34

5 Letak Lokasi Wilayah Penelitian ... 36

6 Desain dan Lokasi Penelitian ... 41

7 Kerangka Analisis ... 42

8 Distribusi Contoh di Daerah Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi Anak, 2006 ... 73

9 Kurva Lorenz Tingkat Pengeluaran Keluarga ... 129

10 Kurva Lorenz Tingkat Kepuasan Keluarga ... 162

11 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan Provinsi Jambi ... 209

12 Hubungan Struktural Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai Provinsi Jambi .. 210


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Kerinci Menurut

Kecamatan dan Desa, Tahun 2006 ... 256 2 Deskripsi Wilayah Penelitian di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur Menurut Kecamatan dan Desa, 2006 ... 257 3 Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan

Asosiasi Lokal yang Bermanfaat bagi Keluarga, 2006. ... 258 4 Distribusi Responden di Daerah Penelitian Berdasarkan

Heterogenitas Asosiasi Lokal yang Diikuti Keluarga, 2006... 259

5

Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan

Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan, Tahun 2006 ... 260

6

Matrik Korelasi antara Variabel Sosio-demografi dan Manajemen Sumberdaya Keluarga dengan Kesejahteraan

Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai, Tahun 2006 ... 261

7

Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pegunungan,

2006 ... 262

8

Matrik Korelasi antara Variabel Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai,

2006 ... 263 9 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi

Keluarga di Wilayah Pegunungan ... 264 10 Pengaruh Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi

Keluarga di Wilayah Pesisir Pantai ... 266 11 Alternatif Model Komplit di Wilayah Perdesaan Provinsi


(23)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Fakta menunjukkan bahwa perluasan kerjasama sosial politik dunia belum dapat mencegah adanya perbedaan (disparities) dan ketidaksamaan (inequality) antar negara. Menurut laporan United Nations (Santamarina et al., 2002:93), secara moral hal ini merupakan tantangan besar dari waktu ke waktu dan menjadi pemicu berbagai persoalan dalam perencanaan pembangunan masa mendatang. Beberapa ahli memperkirakan, dengan adanya perbedaan dan ketidaksamaan tingkat kesejahteraan masyarakat antar negara di dunia dapat mengakibatkan terjadinya instabilitas. Oleh karena itu, PBB yang disponsori oleh UNDP, mengadakan ”Millenium Summit” dengan nama ”Millenium Development Goals (MDGs) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara termasuk Indonesia dengan menghasilkan beberapa komitmen resmi, antara lain: mengurangi deprivasi global yang meliputi kemiskinan, kelaparan, kesehatan, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara- negara berkembang.

Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sumberdaya manusia telah disepakati delapan tujuan pembangunan dengan 12 target dan 48 indikator pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015. Apabila komitmen tersebut dapat dicapai sesuai dengan target yang daharapkan maka negara-negara berkembang pada tahun 2015 dapat hidup sejahtera dan makmur seperti negara-negara maju. Pencapaian indikator utama dapat terlihat dari kemajuan pembangunan dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan kelaparan, pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang stabil (United Nations, 2003).

Untuk mempercepat program pembangunan Millenium Development Goals (MDGs), bangsa Indonesia harus bekerja keras terutama meningkatkan kinerja pemerintah dalam arti menerapkan good governance yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tertib, bersih dan berwibawa. Menurut pengamatan dan evaluasi Asian Development Bank (ADB), bangsa Indonesia masih lemah dan rendah dalam menjalankan berbagai indikator pembangunan,


(24)

seperti: (1) indikator kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, (2) kestabilan politik, (3) efektivitas pemerintah, (4) kualitas peraturan, (5) ketaatan atas hukum, dan (6) kontrol korupsi (ADB, 2005;12). Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparancy International, Indonesia menduduki urutan 122 dari 133 negara dan jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (seperti: Malaysia, Thailand, dan Filipina, masing- masing hanya menduduki peringkat 37, 70 dan 92).

Indonesia dengan jumlah penduduk 217,07 juta menyebar kedalam 33 provinsi (BPS, 2004). Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 4,1 persen pertahun dengan pendapatan perkapita sekitar Rp 2.014.565,- per tahun. Lima belas tahun terakhir, seperti terlihat pada grafik, tampak bahwa perkembangan perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan baik diukur dari aspek Gross Domestic Product (GDP), maupun pendapatan perkapita kecuali pada tahun 1998 perkembangan perekonomian Indonesia turun drastis yaitu mencapai -13,3 persen akibat krisis multi dimensi (ekonomi, moneter dan krisis moral). Namun demikian, secara perlahan dari tahun 1999 sampai sekarang, perekonomian Indonesia pulih kembali (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan bidang ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah cukup berhasil, sedangkan tingkat kesejahteraan (sumberdaya manusia) yang mengacu pada nilai Human Development Index (HDI) dari tahun ke tahun terjadi sebaliknya (penurunan).

Merujuk pada laporan UNDP, tampaknya peringkat HDI Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan terus menerus. Hal ini merefleksikan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Dengan arti kata, pembangunan sektor sosial dalam rangka meningkatkan SDM ternyata tidak sejalan dengan pembangunan ekonomi.

Rendahnya investasi pembangunan sektor sosial (gizi, kesehatan dan pendidikan) mengakibatkan kualitas SDM Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan kualitas SDM negara-negara ASEAN. Seperti terlihat pada Tabel 1, kualitas SDM Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM negara-negara tetangga kecuali pada tahun 1998, nilai HDI Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan dengan negara Filipina namun pada tahun 2000 dan 2004,


(25)

indeks HDI Indonesia meningkat cukup drastis yaitu mencapai 109 pada tahun 2000 dan 108 pada tahun 2004, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan HDI negara-negara ASEAN. Data terakhir menunjukkan bahwa indikator HDI, yakni: usia harapan hidup Indonesia baru mencapai 67,2 tahun, tingkat melek huruf sebesar 90,4 persen, rata-rata lama sekolah hanya 7,1 tahun, dan indikator pendapatan per kapita baru mencapai Rp.591.200.- per tahun (Anonim, 2006b:285).

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00

Jumlah (Rp)

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

tahun

GDP (puluhan-triliun) PPK (00.000) Keterangan: GDP (Gross Domestic Product); PPK (Pendapatan Per Kapita)

Gambar 1 Perkembangan Perekonomian Indonesia, Selama 1990 - 2000

Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas SDM. Kemudian, UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak berdampak positif terhadap kualitas SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum tercapai.


(26)

Tabel 1 Perkembangan Kualitas Manusia Indonesia dan ASEAN diukur dari Nilai HDI (1996-2004)

Tahun

No Negara

1996 1998 2000 2004

01 Brunei 36 33 25 34

02 Indonesia 102 96 109 108

03 Malaysia 53 60 56 61

04 Filipina 95 98 77 84

05 Thailand 52 59 67 74

06 Singapore 3 28 22 25

Sumber: Departemen Kesehatan (Baliwati, YF, et al., 2004) dan Anonim (2006b)

Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat disparitas dan inequality yang cukup kentara. Apabila kesejahteraan didekati dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan, Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.

Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat. Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa tingkat kepercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis Fukuyama, (1999). Studi kasus di Indonesia, World Bank melaporkan bahwa


(27)

modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan

kesejahteraan rumahtangga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi program Millenium Development Goals (MDGs) bahwa pemberantasan kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya.

Masalah Penelitian

Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani (Undang Undang Dasar 1945). Kesejahteraan dapat dibedakan melalui dua pendekatan pengukuran, yakni: kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif.

Pengukuran kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat diukur dengan nilai rata-rata dan diukur dengan patokan tertentu (seperti: ekonomi, sosial dan ukuran lainnya). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya diukur dengan patokan yang sama. Menurut Pollak dan Wales (Lokshin dan Ravallion, 2000: 281), pengukuran kesejahteraan obyektif tidak mampu menggambarkan/ mengidentifikasi perilaku permintaan keluarga akan kebutuhannya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan hidup maka paradigma kesejahteraan berubah menjadi pengukuran kesejahteraan dalam konteks “subjektif” atau disebut dengan istilah subjective well-being yaitu melihat standar hidup yang dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat.

Kesejahteraan subjektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat berbeda satu dengan lainnya karena perbedaan tata nilai dan sosio-budaya yang dimiliki. Kesejahteraan subjektif secara filosofis merupakan tipe kesejahteraan yang dapat menyentuh langsung tata nilai kehidupan dan penghidupan masyarakat karena pendekatan ini melihat berdasarkan sosio-budaya dan karakteristik masyarakat. Pendekatan ini dapat


(28)

dirasakan manfaat dan pengaruhnya secara langsung (kebahagiaan dan kepuasan) oleh individu, keluarga dan masyarakat. Sehubungan dengan itu, tingkat kesejahteraan masyarakat dengan indikator subjektif dapat pula melihat tingkat ketergantungan dimensi standar hidup (standard of living) masyarakat.

Penduduk Provinsi Jambi dikenal dengan tiga kelompok komunitas masyarakat, yakni: masyarakat yang berada pada wilayah dataran rendah, dataran tinggi atau pegunungan dan wilayah pesisir pantai atau pasang surut. Wilayah dataran rendah misalnya, didominasi oleh masyarakat Melayu ditambah dengan pendatang (transmigran dari Jawa dan Bali) denga n hasil utama karet dan kelapa sawit, wilayah pesisir pantai atau pasang surut didominasi oleh masyarakat Melayu, Bugis dan Banjar (migrasi spontan) dengan komoditas utama perikanan laut, perkebunan kelapa dalam dan usahatani padi sawah pasang surut, sedangkan di wilayah dataran tinggi atau pegunungan didominasi oleh suku Melayu-Kerinci dengan komoditas utama perkebunan kulit manis (cassiavera), kopi dan usahatani padi sawah irigasi. Dengan kata lain, Provinsi Jambi terutama di wilayah dataran rendah dan wilayah pesisir pantai memiliki etnisitas yang cukup beragam sehingga dapat berpengaruh terhadap income inequality. Etnisitas berperan penting sebagai determinan dalam memicu income inequality (Easterly, 1999); (Lazear, 1995); (Coppin dan Olsen, 1998) dan (Malan, 2000). Setiap peningkatan sebesar satu unit jumlah kelompok ethnics dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat meningkatkan minimal sebesar 3 persen income inequality (Robinson, 2002:8). Namun demikian, dengan etnisitas yang beragam akan kaya dengan modal sosial karena memiliki tingkat koneksi atau jaringan kerja yang banyak dalam kelompok masyarakat baik jaringan sosial maupun ekonomi. Keberagaman modal sosial ini akan sangat bermanfaat bagi keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat sehingga besar kecilnya nilai disparitas dan income inequality di masyarakat dapat mencirikan tingkat kesejahteraan satu keluarga dengan keluarga lainnya, sedangkan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif sangat ditentukan oleh faktor sosio-demografi keluarga, seperti: tingkat pendidikan, keterampilan, struktur umur dan beban


(29)

ketergantungan keluarga. Menurut Deacon dan Firebough (1981), keluarga adalah unik karena setiap keluarga memiliki ciri yang berbeda satu dengan lainnya. Sebagai contoh, ada keluarga yang memiliki kekayaan sumberdaya yang berlebihan tetapi tingkat kesejahteran mereka relatif sama bahkan kadang-kadang lebih rendah dengan keluarga sumberdaya terbatas, dan sebaliknya keluarga yang memiliki kekayaan sumberdaya terbatas tetapi tingkat kesejahteraan mereka berkecukupan. Dengan adanya keunikan keluarga ini, bagaimana peran manajemen sumberdaya dan modal sosial yang dimiliki keluarga? Dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memecahkan berbagai persoalaan yang dihadapi masayarakat?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga dan modal sosial yang ada di daerah perdesaan serta merumuskan model pemberdayaan keluarga.

Tujuan Khusus

(1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi,

(2) Mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga,

(3) Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga berdasarkan wilayah agroekologi,

(4) Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga, (5) Menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan.

Kegunaan Penelitian

(1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam pertimbangan pengambilan berbagai kebijakan pemberdayaan keluarga,

(2) Sebagai bahan kajian dan pengembangan ilmu keluarga khususnya mengenai permodelan peningkatan kesejahteraan keluarga.


(30)

Keterbatasan Penelitian

Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan keluarga dan belum memisahkan unit analisis berdasarkan kelompok/asosiasi yang berkembang di daerah penelitian dan tipe hubungan sehingga tidak dapat membedakan antara proporsi aktivitas masyarakat yang produktif (ekonomi) dan non-produktif (sosial) dari berbagai tipe yang ada.

Kebaruan Penelitian

(1) Mengembangkan konsep modal sosial dengan mengkombinasikan dimensi struktural dan dimensi karakter masyarakat,

(2) Mengembangkan konsep kesejahteraan melalui pendekatan kesejahteraan ekonomi objektif dan pendekatan kesejahteraan ekonomi subjektif, dan

(3) Mengembangkan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial.


(31)

TINJAUAN PUSTAKA Kesejahteraan Keluarga

Secara umum diketahui bahwa dimensi kesejahteraan sangat luas dan kompleks karena suatu taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang dapat terlihat (visible) saja tetapi termasuk kesejahteraan non-visible ( non-material/spritual). Menurut Morris dan Leiser (1979), kesejahteraan penduduk suatu negara dapat diukur dengan pengukuran indeks komposit dari kualitas manusia atau disebut dengan istilah PQLI. Physical Quality of Life Index (PQLI) atau di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Mutu Hidup (IMH) yaitu merupakan indeks komposit dari tingkat kematian bayi (IMR), usia harapan hidup (expectation of life/ei) dan persentase angka melek huruf dari penduduk dewasa berumur 15 tahun keatas (LIT). Angka IMR digunakan angka 229, karena IMR terbesar didunia adalah 229 yaitu di Gabon, sedangkan angka harapan hidup (ei) adalah 38, karena angka (ei) terendah didunia adalah 38. Untuk nilai terttinggi PQLI adalah 100, sedangkan terendah adalah 0. Artinya, semakin tinggi nilai PQLI atau mendekati 100 maka tingkat kesejahteraan (kualitas penduduk) semakin baik, dan sebaliknya.

Kemudian, era tahun 1990-an, yang disponsori oleh UNDP, indikator keberhasilan pembangunan atau kesejahteraan penduduk menggunakan ukuran Human Development Index (HDI) dengan indikator yang tidak jauh berbeda dengan indikator yang digunakan pada pengukuran PQLI, yaitu: tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama sekolah dan tingkat pendapatan perkapita. Namun, beberapa tahun terakhir, pengukuran kualitas manusia (kesejahteraan) berkembang dengan berbagai istilah, yakni: Human Poverty Index (HPI), Gender Development Index (GDI), dan Gender Empowerment Measure (GEM). HPI menggunakan empat indikator, yakni: kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, persentase penduduk yang tidak dapat memiliki akses pada fasilitas kesehatan dan persentase balita yang kurang makan. Pengukuran kualitas manusia (kesejahteraan) dengan pendekatan GDI menggunakan indikator proporsi penduduk laki- laki dan perempuan pada indikator tingkat harapan hidup, tingkat


(32)

melek huruf, rata-rata lama sekolah dan proporsi penduduk laki- laki dan perempuan dalam memperoleh pendapatan, sedangkan pendekatan GEM menggunakan indikator persentase penduduk perempuan terlibat dalam partai politik, jumlah pegawai profesional dan persentase pendapatan yang diperoleh dari penduduk perempuan (UNDP, 2004).

Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga, antara lain: kesejahteraan, kesejahteraan finansial, status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain- lain. Dari beberapa konsep tersebut dapat dijabarkan lebih operasional, terutama dalam konteks kesejahteraan yang bersifat nyata (ekonomi dan finansial). Seperti yang dikemukakan oleh Ferguson, Horwood dan Beutrais (Sumarwan dan Hira, 1993) bahwa kesejahteraan keluarga dapat dibedakan kedalam kesejahteraan ekonomi (family economic well-being) dan kesejahteraan material (family material well-being). Kesejahteraan ekonomi keluarga (family economic well-being) misalnya, diukur dalam pemenuhan akan input keluarga (pendapatan, upah, aset dan pengeluaran), sedangkan kesejahteraan material keluarga (family material well-being) diukur dari berbagai bent uk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga.

Ukuran lain kesejahteraan keluarga yaitu kesejahteraan berdasarkan konsep kebutuhan minimum (kalori) berdasarkan konversi beras yang dikonsumsi oleh keluarga (Sajogyo, 1996). Menurut Sajogyo, keluarga yang tergolong sejahtera dalam arti terpenuhinya kebutuhan fisik minimum yaitu keluarga yang sudah mampu mengkonsumsi beras minimal 320 kg beras/orang/tahun (perdesaan) dan 480 kg beras/orang/tahun (perkotaan).

Menurut Maslow, kesejahteraan keluarga diukur dari kualitas sumberdaya manusia (fisik dan non fisik), sedangkan Word Bank (2004) mengukur kesejahteraan keluarga dilihat dari proxy pengeluaran. Menurut World Health Organization (WHO) (Santamarina et al., 2002:97), terdapat enam kategori dari kesejahteraan(quality of life or individu well-being), yakni: (1) fisik, (2) psikologis,

(3) tingkat kemandirian, (4) hubungan sosial, (5) lingkungan dan (6) spritual. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nsional (BKKBN). BPS misalnya,


(33)

mengukur kesejahteraan dilihat dari konsep kebutuhan minimum (kalori) proxy pengeluaran yaitu rata-rata Rp.152.847,- per kapita per bulan (SUSENAS, 2006), sedangkan BKKBN membagi kesejahteraan keluarga kedalam tiga kebutuhan, yakni: (1) kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari pangan, sandang, papan dan kesehatan, (2) kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang terdiri dari pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal, dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs) yang terdiri dari tabungan, pendidikan khusus/kejuruan, dan akses terhadap informasi.

Cara mengukur kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni: (1) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif atau disebut dengan istilah

kesejahteraan objektif. Pendekatan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Menurut Erik (Milligan et al., 2006:22), ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan, dan lain- lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional dan digunakan untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.

(2) Kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan subjektif. Menurut Noll (Milligan et al., 2006:22), kesejahteraan dengan pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Ukuran ini merupakan ukuran kesejahteraan yang banyak digunakan di negara maju termasuk Amerika Serikat. Hasil penelitian Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat sangat dirasakan melalui ukuran tingkat kepuasan finansial yang dimiliki dan dikuasai (Milligan et al., 2006:22).

Berdasarkan tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup (standard of living) masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan


(34)

kedalam satu sistem kesejahteraan (well-being) dan dua subsistem, yakni: (1) subsistem sosial, dan (2) subsistem ekonomi dengan beberapa faktor (Tabel 2) (World Bank: Santamarina et al., 2002:93), sedangkan di negara- negara maju, seperti Canada menggunakan 19 indikator kualitas hidup masyatakat (quality of life) yang tersebar kedalam empat subsistem, yakni: (1) Indikator ekonomi: (a) GDP perkapita, (b) pendapatan perkapita, (c) inovasi, (d) lapangan kerja, (e) melek huruf, dan (f) tingkat pendidikan; (2) Indikator kesehatan: (a) usia harapan hidup, (b) status kesehatan, (c) tingkat kematian bayi (IMR), dan (d) aktivitas fisik ; (3) Indikator lingkungan: (a) kualitas udara, (b) kualitas air, (c) biodiversity, dan (d) lingkungan yang sehat, (4) Indikator keamanan dan keselamatan masyarakat: (a) sukarela, (b) diversity, (c) berpartisipasi dalam aktivitas budaya, (d) berpartisipasi dalam kegiatan politik, dan (e) keamanan dan keselamatan (Sharpe, 2004:30).

Tabel 2 Sistem, Subsistem dan Faktor-faktor Kesejahteraan Keluarga

Sistem

Subsistem

Faktor-faktor

a. Kesejahteraan Manusia (individu)

- fisik - Psikologi - Spritual

- Skills dan leisure

b. Kesejahteraan sosial

- pendidikan - kesehatan

- Network dan hubungan sosial - life style dan budaya

- struktur dan dinamika penduduk - Kekuatan sosial

Sosial

- Kebersamaan, solidaritas dan tanggung jawab c. Konsumsi

d. Hak pemilikan akan tanah f. Tingkat kemiskinan

Ekonomi

g. Aktivitas ekonomi


(35)

Keterkaitan Institusi Keluarga dengan Sistem Kesejahteraan di Daera h Perdesaan

Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu subsistem dalam masyarakat. Subsistem Keluarga dalam masyarakat memiliki fungsi dan tanggung jawab secara sinergis dengan subsistem lainnya, seperti sistem sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan aga ma. Dengan adanya interaksi subsistem-subsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order), dan selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, keluarga memiliki fungsi mikro dan fungsi makro.

Secara mikro, keluarga berfungsi sebagai penghubung antara keluarga dengan keluarga lain serta hubungan antar anggota kelua rga. Secara makro, terdapat hubungan keluarga dengan masyarakat luas. Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing- masing individu akan mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga diakui dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan, ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, ketiganya saling kait mengkait.

Menurut Parsons (Megawangi, 2001:66), konsep pokok keluarga adalah solidaritas. Maksud dari solidaritas dalam keluarga yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai. Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas keluarga sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan tidak menghilangkan hak azasi manusia sebagai makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian.


(36)

Pendapat Parson ini banyak di dukung oleh ahli-ahli agama yang ada didunia ini terutama yang berkaitan dengan institusi perkawinan dan tanggung jawab.

Implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, menurut Parsonnian (Megawangi, 2001:66), keluarga layaknya seperti organisme hidup. Ia diibarat kan hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Parsonnian melihat bahwa institusi keluarga tidak statis atau tidak dapat berubah. Sebaliknya, keluarga sangat tanggap terhadap perkembangan atau perobahan lingkungan, artinya keluarga selalu dapat beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan atau apa yang disebut dengan istilah keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium).

Teori tentang perilaku yang dihubungkan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat memberikan gambaran bahwa pada tahap awal proses industrialisasi, akumulasi kapital merupakan faktor penentu keberhasilan ekonomi. Karakter masyarakat pada tahap akumulasi kapital dikatakan sebagai karakter yang ”represif” yaitu hemat, disiplin, suka bekerja keras, dan berjiwa wiraswasta. Individu dengan karakter yang demikian mampu menahan dirinya (self-denail), yakni reward harus ditunda sampai terlihat hasil yang nyata. Karakter yang ”represif” ini dibentuk semenjak anak usia dini di dalam keluarga. Otoritas orang tua pada tahap awal industrialisasi di Barat sebetulnya masih dihormati oleh anak-anaknya sehingga secara efektif keluarga dapat membentuk karakter individu.

Sejalan dengan perkembangan konsep basic need, tampaknya diikuti perubahan pandangan gaya hidup masyarakat terutama pada era post-modren (globalisasi). Masyarakat tadinya berperilaku disiplin, hemat dan suka bekerja keras, ternyata pada masa ini nampaknya masyarakat lebih bersifat ekspresif atau konsumtif dibandingkan dengan pola awal industrialisasi. Karakter individu yang ekspresif ini cenderung lebih independen dan ingin bebas, berperilaku untuk memenuhi nafsu konsumsinya. Karakter ekspresif dikenal dengan sikapnya yang senang memanjakan dirinya (self-indulgence) dan mementingkan keuntungan (reward) daripada kerja keras (hard-work). Bahkan reward bisa diperoleh dahulu,


(37)

misalnya dengan adanya credit card, yaitu sistem buy now and pay later. Hal ini tentu berbeda dengan individu yang berperilaku ”represif.”

Globalisasi berarti mendunia, menjadikan semua orang di dunia ini memiliki model yang sama. Menurut Ponomban, Fendry (Manshur, 2003), globalisasi bersumber pada realitas liberalisasi ekonomi. Globalisasi merupakan derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara dan bangsa. Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika sosial lainnya. Sehubungan dengan itu, tidak pelak lagi bahwa globalisasi dapat mengakibatkan pemudaran batasan-batasan ruang yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural. Identitas kultural sebuah bangsa, misalnya: suku, etnis, dan agama serta kebudayaan lain semakin berubah diganti dengan identitas campuran yang plural. Anthony Giddens (1997) melihat bahwa terdapat berbagai implikasi buruk yang diakibatkan gebrakan globalisasi, seperti adanya resiko kehidupan, penetrasi budaya yang menghasilkan ancaman terhadap kultural dan nilai- nilai lokal, termasuk persepsi atas kedaulatan sebuah bangsa. Desakan-desakan globalisasi misalnya tampak terlihat sekali di Indonesia dengan larisnya komoditas Mc Donald, CNN, Jurassic Park, Laser Disc, model pakaian terbaru, bahkan AIDS.

Kembali pada pola atau perilaku masyarakat yang berbasis global ( post-modern) ternyata hal lain tak kalah menariknya pada individu-ekspresif yaitu berorientasi pada kepuasan pribadi, dan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan kolektif. Hubungan kemasyarakatan lebih bersifat instrumental yaitu hubungan berlandaskan untung rugi. Padahal menurut Fukuyama, negara yang maju dan makmur adalah negara yang mememiliki tingkat toleransi dan kebersamaan ya ng tinggi. Tampaknya, hal ini bisa terjadi sejalan dengan teori perkembangan bahwa masyarakat pada industri tinggi (post-mosdern) adalah other-directed: mencari tahu cara berperilaku dari hal- hal lain di lingkungan dekatnya (Riesman, 1953). Disamping itu, ekspansi pasar global ini berpengaruh pula pada hubungan di dalam keluarga. Maka


(38)

terciptalah floating mass, yaitu masyarakat yang sudah tercabut dari akarnya (keluarga, institusi keagamaan, dan komunitas). Fungsi kontrol sosial keluarga, agama dan masyarakat menjadi tidak efektif lagi sehingga terjadilah keruntuhan social order seperti yang terjadi di AS.

Persepsi Kesejahteraan Keluarga

Menurut Kayam (Sugiyanto, 1996:58), persepsi adalah pandangan seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Berdasarkan pendekatan psikologis, persepsi merupakan penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau proses-proses ya ng menghasilkan penghayatan langsung (Noerhadi, 1982), sedangkan pendekatan sosiologis, persepsi merupakan hasil pengalaman sekelompok manusia dalam hubungannya dengan obyek atau peristiwa sosial yang diamati. Kunci pemahaman terhadap persepsi masyarakat pada suatu obyek, terletak pada pengenalan dan penafsiran yang unik terhadap obyek pada suatu situasi tertentu dan bukan sebagai suatu pencatatan terhadap situasi tertentu tersebut (Thoha, 1981).

Kreg (Sugiyanto, 1996:59) mendefinisikan persepsi masyarakat tentang sesuatu adalah proses perubahan kognitif masyarakat untuk manafsirkan serta memahami dunia yang berbeda di sekitarnya. Menurut Litterer (Asngari, 1984), mekanisme pembentukan persepsi seseorang yaitu melalui tiga tahapan, yakni: selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation. Artinya, pembentukan persepsi diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa lalu memegang peranan penting. Informasi yang disampaikan pada seseorang merupakan stimulus, kemudian diteruskan keotak oleh syaraf sensoris sehingga seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang tersebut melakukan tindakan (Asngari, 1984).


(39)

Tinggi rendahnya stimulus seseorang dalam mempersepsikan sesuatu dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Thorndike (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek adalah faktor bawaan dan lingkungan. Faktor bawaan misalnya, adalah faktor bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, dan tanggapan, sedangkan faktor lingkungan adalah faktor pendidikan, lingkunga n sosial masyarakat dan faktor lingkungan lainnya.

Berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, menurut Twikromo et al., (Sumarti, 1999:23), persepsi terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungan mereka. Artinya, persepsi kesejahteraan akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (keluarga, kelompok, dan masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup (Sumarti, 1999:24). Dengan kata lain, kesejahteraan adalah wujud kebudayaan dan terbentuk dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan masyarakat kota bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah na mun kesemuanya dipengaruhi oleh nilai- nilai yang menjadi pedoman hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri. Pada masyarakat desa misalnya, nilai- nilai kesejahteraan diwujudkan dari nilai lokal yang diperoleh dari hasil sosialisasi dari nilai-nilai budaya dan agama, sedangkan nilai-nilai- nilai-nilai kesejahteraan dari sisi pemerintah merupakan kebijakan yang sudah dirumuskan secara baku, misalnya ”keluarga kecil bahagia dan sejahtera” padahal menurut konsep kesejahteraan secara sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai nilai tersendiri tentang persepsi kesejahteraan. Hal ini sependapat dengan Ihromi dan Saifuddin (Sumarti, 1999:25) bahwa rumusan baku tersebut tidak secara langsung menjadi realitas yang terwujud dalam kehidupan masyarakat desa yang memiliki keragaman budaya dan etnis.

Pendekatan yang digunakan seseorang tentang persepsi kesejahteraan (kesejahteraan subjektif) adalah kebahagiaan dan kepuasan. Namun secara operasional, menurut Campbell, Converse, dan Rodgers (Sumarwan dan Hira, 1993:346), variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena ia dapat lebih mudah melihat gap antara


(40)

aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Sen (Peck dan Goodwin, 2003:17), menambahkan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Kemudian, kepuasan (satisfaction) individu, keluarga dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan (Peck dan Goodwin, 2003:7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Seperti yang dibuktikan oleh Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tingkat kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga perdesaan dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control), dan kecukupan pendapatan.

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif

Menurut Hayo dan Seifert (2003:330), ada tiga alasan studi tentang Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) dewasa ini sangat menarik/penting dilakukan oleh beberapa peneliti di dunia, karena:

(1) KES merupakan variabel kunci dalam kebijakan ekonomi. Bukti empiris ditunjukkan oleh Frey dan Stutzer (2000) bahwa lembaga politik berkaitan erat dengan kebahagiaan masyarakat. Hal senada juga dilakukan oleh Di Della et al. (2001) bahwa makro ekonomi suatu negara berkorelasi positif dengan KES. Ia menemukan, kesejahteraan ekonomi subyektif mampu melihat hubungan maksimisasi kesejahteraan secara langsung begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Oswald (Hayo dan Seifert, 2003:330), serta Hinks dan Carola (2005), bahwa KES berkorelasi negatif dengan tingkat pengangguran. Artinya, semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif seorang individu atau kelompok maka tingkat pengangguran semakin kecil, dan sebaliknya.


(41)

(2) KES sebagai dasar pertimbangan dalam politik ekonomi. Menurut Firmuc (Hayo dan Seifert, 2003), kepuasan ekonomi masyarakat akan mempengaruhi dukungannya terhadap ekonomi pasar dan demokrasi,

(3) KES sebagai dasar untuk melihatkan kondisi ekonomi objektif dan subjektif ketika membuat perbandingan kesjahteraan. KES dapat menggambarkan kesejahteraan ekonomi objektif, seperti: pendapatan perkapita. Kemudian, KES tidak hanya dapat merefleksikan kekayaaan tetapi juga dapat menggambarkan kondisi kehidupan obyektif. Sebagai contoh konkrit, studi di negara barat ternyata terdapat perbedaan persepsi antara kondisi kehidupan obyektif dengan kesejahteraan subyektif. Artinya, kondisi kehidupan objektif baik belum tentu kondisi kehidupan subjektif juga baik, dan sebaliknya.

KES tidak hanya dapat merefleksikan tingkat kesejahteraan relatif tetapi juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan absolut. Hal ini sejalan dengan pendapat Kapteyn et al. (1987:240) bahwa pengukuran kesejahteraan subjektif (proxy subjective poverty), keluarga dapat mengukur dengan lebih akurat atas income yang mereka miliki atau kebutuhan atas persepsi mereka sendiri.

Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subyektivitas (subjectivity) atau relativitas (relativity). Kedua-duanya menggunakan terminologi persepsi (Peck dan Goodwin, 2003:16), namun, kedua pendekatan tersebut memiliki dampak atau konsekuensi masing- masing. Pendekatan relativitas misalnya, memiliki beberapa konsekuensi, yakni: (1) ”ever-rising bar of perceived need”. Artinya, kesejahteraan yang dirasakan bukan kesejahteraan sesaat tetapi sudah sampai membandingkan dari waktu tertentu dengan waktu lain, misalnya: membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu lalu atau yang akan datang, (2) ada unsur absorbsi informasi baru dari luar, dan (3) ”relativity well-being” tidak menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan, sedangkan pendekatan subjektifitas dapat menggambarkan kesejahteraan lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar. Artinya, individu/keluarga tidak saja mendapatkan pendapatan yang diharapkan dari kesejahteraan yang dimiliki tetapi lebih dari itu. Kesejahteraan dalam konteks subjektivitas juga dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupannya,


(42)

seperti: lapangan pekerjaan/aktivitas ekonomi, tingkat independensi, semangat hidup, dan kesejahteraan waktu luang (leisure) (Ravallion dan Lokshin, 2001).

Sehubungan dengan hal diatas, menurut Graham dan Pettinato (Peck dan Goodwin, 2003:18), beberapa studi dewasa ini menggunakan pendekatan Kesejahteraan Ekonomi Subjketif (KES) sebagai pendekatan dalam mengukur transisi suatu negara. Hal serupa juga digunakan oleh Stewart (Peck dan Goodwin, 2003:18) dalam mengukur tingkat kesejahteraan wilayah di negara-negara Eropa (European Union). Studi terbaru di negara-negara Eropa Timur menunjukkan bahwa KES berkorelasi positif terhadap kepuasan hidup masyarakat (Hayo dan Seifert, 2003:346). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonomi subyektif maka tingkat kepuasan hidup masyarakat semakin tinggi. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa persepsi kesejahteraan ekonomi subjektif dapat berpengaruh dalam pembentukan pasar. Kasus di China, hasil wawancara terhadap 10.700 keluarga pada 32 kota diperoleh hasil bahwa KES mempunyai efek positif terhadap restrukturisasi pasar ekonomi bagi pemerintah China terutama dalam menghadapi pasar global (Nielsen et al., 2004).

Berdasarkan lapangan pekerjaan, ternyata sektor informal berkorelasi negatif terhadap KES (proksi kepuasan finansial) (Carbonell dan Gerxhani, 2005).

Terdapatnya korelasi negatif antar sektor informal dengan kesejahteraan ekonomi subyektif karena adanya perbedaan perolehan pendapatan. Maksudnya, kesejahteraan ekonomi subyektif individu yang bekerja di sektor informal lebih rendah dari pendapatan yang diterima. Namun disisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Peck dan Goodwin (2003:19), menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga tidak begitu kuat mempengaruhi KES karena tingkat pendapatan keluarga belum mampu menggambarkan tingkat kepuasan keluarga secara keseluruhan

KES adalah individual. Teori ekonomi membuktikan bahwa kesejahteraan secara agregat mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi individu (trickle down effect). Oleh karena itu, kesejahteraan ekonomi masyarakat bisa merupakan jumlah kesejahteraan ekonomi semua individu yang tinggal di beberapa wilayah dalam kelompok masyarakat. Menurut Peck dan Goodwin (2003:22), tingkat kesejahteraan ekonomi subyektif dalam masyarakat dapat mempersepsikan lebih


(43)

adil (fairness) dalam pendistibusian kekayaan (wealth), kepercayaan (trust) dan reciprocity diantara individu dan atau kelompok. Sehubungan dengan itu, World Bank (Peck dan Goodwin, 2003:22) konsep KES berhubungan kuat secara paralel dengan konsep modal sosial, karena konsep modal sosial merupakan bentuk dari interaksi sosial dalam masyarakat (quantity and quality) melalui institusi, relasi, dan norma yang diakui dan dipatuhi secara bersama-sama.

Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh World Bank, terungkap bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial, dan psikologi, seperti: pertumbuhan GDP, efisiensi pasar tenaga kerja, pencapaian tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mengurangi kejahatan (crime), kesehatan, dan peningkatan efektivitas institusi pemerintah. Hasil penelitian lain menunjukkan keterkaitan antara KES dengan modal sosial, seperti dibuktikan oleh Peck dan Goodwin (2003:24). Studi mereka terakhir menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat di Canada, memiliki hubungan yang sangat kompleks diantaranya adalah keterkaitan antara struktur masyarakat dengan kesejahteraan individu sehingga tidak mengherankan bahwa dewasa ini peran modal sosial (hubungan sosial) dalam masyarakat memiliki dampak positif terhadap kualitas hidup.

Konsep Modal Sosial

Menurut Woolcock (Winter, 2000), konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh L.F. Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat Virginia. Menurut Bourdieu (Winter, 2000), modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Bourdieu, 1986:251). Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili.

Bourdieu menggambarkan bahwa modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok yang


(44)

digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan jaringan sosial dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan ekonomi anggota melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil). Menurut Bourdeiu, modal ekonomi merupakan sumberdaya dasar, namun modal sosial berperan besar dalam me ningkatkan modal ekonomi seseorang (individu). Jika dibandingkan dengan Bourdeiu, Coleman menggunakan terminologi berbeda dalam menggambarkan modal sosial. Coleman menggambarkan modal sosial bukan dari sesuatu yang terlihat hasil tetapi lebih kepada sesuatu yang dilakukan atau dengan kata lain fungsi dari modal sosial itu sendiri. Ia memandang bahwa modal sosial memiliki nilai yang terkandung didalamnya terutama dalam struktur sosial. Oleh karena itu, Coleman (Winter, 2000), menyebut modal sosial sebagai

sumberdaya karena ia dapat memberi kontribusi terhadap kesejahterran individu dan masyarakat seperti halnya dengan sumberdaya lain (alam, ekonomi dan sumberdaya manusia) (Gambar 2).

Dengan arti kata, Coleman melihat bahwa struktur sosial memiliki berbaga i bentuk tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan oleh individu dan masyarakat, yakni: kewajiban (obligation) dan harapan, informasi, dan norma-norma yang dapat menghambat dan mendorong perilaku manusia. Disisi lain, Coleman melihat bahwa struktur sosia l memiliki trust yang tinggi. Oleh karena itu, ia percaya kepada orang lain tentang hal-hal yang dikerjakan untuk kepentingan bersama, karena dalam kehidupan manusia yang memiliki struktur sosial pasti memiliki harapan dan kewajiban yang sama antar individu. Coleman mengaplikasikan konsep modal sosial lebih menekankan pada bentuk norma dan sanksi terutama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Salah satu konsep yang ia terapkan pada masyarakat yaitu konsep modal sosial pada lembaga pendidikan. Ia melihat bahwa struktur sosial keluarga cukup berperan dalam meningkatan prestasi belajar anak di sekolah. Dengan kata lain, Coleman mengaplikasikan modal sosial keluarga terhadap peningkatan sumberdaya manusia baik dalam hubungan kekerabatan (bonding) maupun hubungan dalam masyarakat (bridging).


(45)

Kelembagaan, Sosial Budaya, Politik dan Hukum

Dampak Positif dan Negatif

Kesejahteraan Individu dan Masyarakat

- Kesehatan - Kejahatan dan keadilan

- Pendidikan dan pelatihan - Kependudukan

- Lapangan Pekerjaan - Kebudayaan dan leisure

- Rumahtangga - Kualitas lingkungan

- Fungsi keluarga dan masyarakat - Pertumbuhan ekonomi

- Sumberdaya ekonomi - Kepaduan sosial

Sumber: Edwards, (2004:13).

Gambar 2 Modal Sosial sebagai Sumberdaya

Secara makro, Putnam (Winter, 2000) berpendapat bahwa konsep modal sosial dapat berupa: hubungan/jaringan, kepercayaan, dan norma- norma yang

Modal Alam

- Cahaya matahari, - Atmosfir,

- Air, tanah, mineral, - Flora dan fauna, - Sumber energi, - Fungsi Ekosistem, - Dan lain-lain

Modal Ekonomi

- Aset ekonomi: gedung,

lembaga pemerintah, perusahaan,

- Infrastruktur: air, listrik, sportasi dan komunikasi.

- Fasilitas umum: kesehatan, dan pendidikan.

- Teknologi.

Modal sosial - Jaringan/hubungan - kepercayaan, - Asosiasi, - Norma, - Keimanan. - Tipe hubungan:

Bonding, bridging, dan linking

Modal Manusia

Kapasitas Personal:

- Kesehatan - Pendidikan - Keterampilan dan - Ilmu Pengetahuan


(46)

merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Operasionalisasi konsep modal sosial menurut Putnam berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu dan Coleman. Konsep modal sosial menurut Putnam, aplikasinya lebih menekankan pada tingkat wilayah (regional, democratic institutions, dan economic development). Walaupun terminologi modal sosial menurut Putnam agak berbeda dengan Bourdieu dan Coleman namun kepercayaan norma (norms of trust) dan reciprocity dalam jaringan-jaringan atau hubungan sosial/ekonomi merupakan unsur terpenting dalam modal sosial dan merupakan sumberdaya.

Putnam mengukur modal sosial terfokus pada sistem perilaku perkembangan ekonomi dan politik pada tingkat regional dan negara (national). Kemudian, aspek yang dikaji tentang modal sosial menurut Putnam yaitu berkaitan dengan sistem norma yang berlaku pada bidang ekonomi dan politik. Pengukuran modal sosial menurut Putnam harus melibatkan beberapa asosiasi dan institusi formal yang diakui secara syah. Berikut beberapa batasan tentang modal sosial menurut beberapa ahli (Tabel 3).

Tabel 3 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial

- Definisi Maksud/tujuan Analysis

Bourdeiu Sumberdaya sosial yang menyediakan akses untuk kepentingan kelompok Untuk menjamin tercapainya modal ekonomi Individual dalam kelompok Coleman Melihat aspek struktur sosial ,

setiap aktor dapat

memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk mencapai kepentingan bersama Untuk menjamin tercapainya sumberdaya manusia yang berkualitas Individual dalam keluarga dan masyarakat

Putnam Jaringan/hubungan, kepercayaan, dan norma-norma merupakan fasilitas bersama dan dapat

dimanfaatkan bersama Untuk menjamin tercapainya sistem ekonomi dan demokrasi yang efektif

Region dan negara


(47)

Berdasarkan berbagai konsep diatas, maka konsep modal sosial menurut berbagai ahli memiliki terminologi berbeda, seperti: Coleman (1988), melihat modal sosial dari sudut pandang struktur sosial; Fukuyama (1999) berpendapat sebagai budaya dan kepercayaan; Bourdieu (1995) berpendapat sebagai jaringan/hubungan; Woolckok (1998) berpendapat sebagai norma; dan Putnam (1995) melihat modal sosial dari sudut pandang organisasi sosial (Flores, Margerita dan Fernando, 2003:1).

Perkembangan Penelitian tentang Modal Sosial

Konsep modal sosial sekarang ini, banyak menjadi perhatian dan kajian pada berbagai lembaga atau institusi termasuk lembaga riset. Seperti Putman, Leonardi, dan Naneti (Hobbs, 2000) melihat bahwa di masyarakat modern Italia, modal sosial: “corak organisasi sosial, kepercayaan, norma dan jaringan sosial dapat meningkatkan efisiensi dan kemudahan berbagai kehidupan masyarakat melalui pemanfaatan fasilitas bersama”. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian Bank Dunia (2000), bahwa institusi, hubungan kemasyarakatan, dan norma dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat sehingga pada gilirannya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam keperluan individu maupun kepentingan bersama.

Modal sosial merupakan multi konsep, antara lain norma-norma sosial yang dipercayai, hubungan sosial dan organisiasi/asosiasi yang dapat mempengaruhi hubungan diantara anggota masyarakat dan merupakan aset bagi individu dan kolektif dalam menghasilkan kesejahteraan bersama. Secara makro, modal sosial dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Menurut Fernando (2003), modal sosial merupakan modal alamiah, hubungan solidaritas dan asosiasi produktif. Kemudian berdasarkan tipe, modal sosial dapat dilihat secara individu, bisnis, masyarakat, dan pemerintahan. Tipe individu misalnya merupakan hubungan person yang mempunyai relasi dan dapat dimanfaatkan oleh dirinya dan orang lain.

Menurut Narayan dan Pritchett (1999:872-873), modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam


(1)

[National Economic and Social Forum]. 2003. The Policy Implications of Social Capital. Forum Report No. 28. ISBN-1-899276-32-7.

Nielsen Ingrid, Nyland Chris, Smyth Russell, dan Zhu Cherrie Jiuhua. 2004. Perception of Subjective Economic Well-being and Support for Market Reform among China’s Urban Population. Australia: Department of Economics Monash University.

Pakpahan, Agus. 1996. “Penaggulangan Kemiskinan: Prinsip Dasar, Metodologi dan Upaya Penanggulangannya”. Dalam Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Diedit oleh Sajogyo. Grasindo.

Parsley, T.J. 2001. Basic Examination of the Correlation between Crime Rates and Income Inequality. Research Paper. Regional Research Institute, West Virginia University, Morgantown, WV 26506-6825.

Peck Frank, Goodwin Vicki. 2003. Economic Well-being of Communities and Regional Economic Development: Poles Apart?. Research Paper Series- No. 7 January, 2003. Centre Regional Economic Development. Northumbria University.

Pope, Jeanette. 2003. Social Capital and Social Capital Indicators: A Reading List. Working Paper Series No. 1. Australia: Public Health Information Development Unit. National Library of Australia.

Productivity Commission. 2003. Social Capital: Reviewing the Concept and its Policy Implication. Commission Reseacrh Paper. Canberra: ISBN 1 74037 132 2, AusInfo.

Puspitawati, Herien, 2006. “Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor.” Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Reimer, Bill. 2004. Measuring Social Capital at the Community Level. Canada: Social Sciences Humanities Research Council of Canada. reimer@vax2.concordia.ca

Robert A. Hinde, dan Joan Stevenson-Hinde. 1988. Relationships within Families: mutual influences. America: Clarendon Press-oxpord, USA. Robinson, Brooks B. 2002. Income Inequality and Ethnicity: An International

View. Washington: Second Inequality and Pro-Poor Growth Spring Conference the World Bank, Washington DC, June, 9-10, 2002.


(2)

Lembaga Pendidikan Karya terhadap Manfaat Sosioekonomi Warga Belajar.” Disertasi. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sajogyo. 1984. Bunga Rampai Perekonomi Desa. Bogor: Kerjasama Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor.

_______. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. Sajogyo. Yogyakarta: Yayasan Agro Ekonomika Sandefur, Gary, Ann Meter dan Pedro Hernandez. 1999. Families, Social Capital

and Educational Continuation. Center for Demography and Ecology, University of Wisconsin-Madison. CDE Working Paper No. 99-19.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Sharma, M dan M, Zeller. 1997. “Repayment Performance in group-based Credit Programs in Bangladesh: An Empirical Analysis. World Development 25 (10), pp: 1731-1742.

Sharpe, Andrew. 2004. Literature Review of Frameworks for Macro-Indicators. CSLS Research Report 2004-03. Canada: Centre for the Study of Living Standards (CSLS). Ottawa.

Siagian, H. 1996. Manajemen Suatu Pengantar. Bandung: Alumni.

Siegel, Sidney. 1998. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, Soerjono. 1984. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia.

_______. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Ra ja Grafindo Persada.

Strauss, John, Kathleen Beegle, Agus Dwiyanto, Yulia Herawati, Daan Pattinasarany, Elan Satriawan, Bondan Sikoki, Sukamdi, dan Firman Witoelar, 2004. Indonesian Living Standards: Before and After the Financial Crisis. RAND Corporation, Santa Monica, USA, and Institute of Southeast-Asian Studies, Singapure.

Stone, Wendy. 2001. Measuring Social Capital. Australia: Australian Institute of Family Studies, Research Working Paper No. 21.


(3)

Stone, Wendy Matthew Gray dan Jody Hughes. 2003. Social Capital at Work: How Family, friends and civic ties relate to labour market outcomes. Australia: Australian Institute of Family Studies, Working Paper No. 31.

Suandi. 1998. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi. ” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi.

______. 2000. “Studi Kemiskinan di Daerah Perdesaan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi.

______. 2002. “Kondisi Sosio-Demografi dan Kemiskinan di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi.” Laporan Penelitian. Jambi: Lembaga Penelitian Universitas Jambi.

Suandi, dan Bambang. 2003. Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi Jambi. Jakarta: Kerjasama Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Japan

International Cooperation Agency (JICA).

Suandi, dan Ernawati. 2005. “Analisis Kebijaksanaan Pendidikan Provinsi Jambi Berbasis Gender.” Laporan Penelitian. Jambi: Kerjasama Dirjen Dikti dengan Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Jambi.

Sudarsky, John. 1998. Barometer of Social Capital. http://poverty.worldbank.org/library/view/14443

_______. 2004. “Democracy in Latin America: Crisis or Demands of New Citizens? Reflections from the Wave of Democracy, the Accumulation of Social Capital and Bogota’s Practice of Participatory Planning.” To be presented in the meeting of the Wold Value survey Association. Budapest: Panel, The Crisis of Democracy in Latin America, September 2004.

Sugiyanto. 1996. “Persepsi Masyarakat tentang Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan Masyarakat Perdesaan.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sukartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sumarti, Titik MC. 1999. “Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa dalam kaitannya dengan gerakan Masyarakat dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera di Pedesaan.” Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(4)

Control and Percieved Incomes Adequacy on Satisfaction with Financial Status of Rural Households”. In Journal of Family Economic Issues. Vol. 14(4), Winter 1993. pp:343-64.

Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suratiyah, K., Djuwari, Supriyanto, dan Lestari Rahayu. 2003. Studi Analisa Usahatani untuk Tujuh Komoditas di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Yogyakarta: Kerjasama Bappeda bantul Yogyakarta dengan Fakultas Pertanian UGM.

Susman-Stillman, A.R, Appleyard Karen, dan Siebenbruner Jessica. 2003. “For Better or For Worse: An Ecological Perspective on Parents’ Relationships and Parent-Infant Interaction.” Zero to Three Article. (p:4-12).

Tau, L.M. 2003. Investing in Social Capital to Stimulate Economic Growth and Grade in Africa. paper presennted in the Biennial Conference of the Economic Society of South Africa, 17-19 September 2003. Somerset west, Western Cape.

Thomas Frank, dan Jeroen Heres. 2004. Social Capital Communicating. Socquit and results from EURESCOM’S P903 study. E-Living Results Conferences RWI essen, 20-21 January, 2004.

Thomas J. Socha, dan Glen H. Stamp. 1995. Parent, Children, & Communication Frontiers of Theory & Research. Lawrence Erlbaum Associates, USA. Todaro, M. P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga.

Tukiran. 1993. "Penentuan Desa Miskin: Analisis Potensi Desa 1990." Populasi, Yogyakarta: 1(4) : 13-23.

Tuomi, Ikka. 2004. Social Capital Setting the Scene. European Commission, Joint Research Centre.

UNESCO. 2002. Social Capital and Poverty Reduction: Which Role for the Civil Society Organizations and the state?. UNESCO.

Winter, Ian. 2000. Towards a theorised understanding of family life and Social Capital. Working Paper No. 21. ISSN 1440-4761. Australia: Australian Institute of Family Studies.


(5)

(6)